Anda di halaman 1dari 5

Kasus Aborsi Banyak Dilakukan Remaja

Written by Adek Ratna Jameela   


Page 1 of 2 Article Index
Kasus Aborsi Banyak Dilakukan Remaja
Page 2

Menjadi remaja berarti menjalani


proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan.
Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu
masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami
oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga
kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu
dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon
generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya.
Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka
lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi
bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat
remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang
lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus
membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan reproduksi
memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus
komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang
menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks
tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus
dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap "pelajaran" seks dari
internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah
muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa
generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia
dini, 13-15 tahun!
Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah
belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 - 5%
Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali:
perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%.
Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-
30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah
melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan
siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan
hubungan seks yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa
mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan
tanpa paksaan.
Mana yang lebih akurat? Beberapa pakar berpendapat bahwa angka yang diperoleh
melalui penelitian itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es, yang kakinya masih
terbenam dalam samudera.
Biaya Sosial
Kelalaian untuk menanggapi kebutuhan remaja (dan sejujurnya, masyarakat luas)
akan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seks yang bertanggung jawab
ternyata berbuah pahit. Begitu populernya perilaku berisiko, begitu banyak korban
berjatuhan, begitu tinggi biaya sosial yang harus kita bayar.
Percaya atau tidak, angka statistik pernikahan dini --dengan pengantin berumur di
bawah 16 tahun-- secara nasional mencapai lebih dari seperempat. Bahkan di
beberapa daerah sepertiga, dari pernikahan yang terjadi, tepatnya di Jawa Timur
39,43%; Kalimantan Selatan 35,48%; Jambi 30,63%; Jawa Barat 36% . Di banyak
daerah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan
mendapat haid pertama. Padahal pernikahan dini berarti mendorong remaja untuk
menerabas alur tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa
memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial si pengantin.
Di sebuah daerah, 36% penderita penyakit menular seksual adalah pelajar.
Mengejutkan memang, tetapi dapat dipahami karena dalam sebuah survei
ditemukan hanya 27% remaja Indonesia yang tahu kegunaan kondom, artinya
kurang lebih 27% pula yang tahu bahwa kondom dapat mengurangi risiko tertular
penyakit seksual. Dari jumlah itu, 1% pernah memakai, 10% mungkin akan
membeli bila perlu, sedangkan 12% menyatakan tidak tahu .
Dari 14.628 kasus HIV/AIDS, 242 kasus di antaranya adalah anak muda berusia 15-
19 tahun (98 kasus karena penggunaan narkoba suntik),4.884 kasus terjadi pada
remaja 20-29 tahun (3.089 kasus karena penggunaan narkoba suntik ). Ini artinya,
1 dari 2 penderita HIV/AIDS adalah remaja berusia 15-29 tahun.
Jumlah ini masih dapat berlipatganda dan nyatanya banyak remaja memiliki
informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Hasil survei UNICEF menunjukkan bahwa
20% dari responden remaja yakin bahwa Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pasti
terlihat sangat sakit, 7% mengenali ODHA dari bercak di kulitnya, 4% dari wajah
yang pucat pasi, dan 41% mengaku tidak tahu bagaimana mengenali ODHA. Hanya
12% yang percaya pada hasil tes darah.
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja
putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang
no. 20/ 1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang
belum menikah.
Bahkan mitos pun memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka
supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks
yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode
kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan
minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah
berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang
harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan
9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada
saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas , disertai
kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani
pilihan lain yang tersedia: aborsi!
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya
remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa
mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-
sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-
50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tiudak
aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi
700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana
sebgaian besar dilakukan oleh dukun.
Dari penelitian yang dilaukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan
37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien yang belum menikah dan
biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan
meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh klien dengan
kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.
Pengetahuan Seks
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan bahwa remaja
butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi yang benar, telah
menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas: bapak-ibu belia yang
tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi orangtua, ibu tanpa suami, juga anak-anak
yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan.
Padahal memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak serta-merta
memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman
menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan
reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas di
kalangan remaja seperti yang selalu dikuatirkan, tetapi sebaliknya pendidikan
kesehatan reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.
Meski perdebatan belum surut, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia pun
memaklumkan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Ini sudah tertuang dalam
Propenas 2001. Betapa melegakan, Indonesia akhirnya menapak maju mengejar
ketertinggalannya dibanding negara lain, setidaknya dengan mengawali upaya untuk
memberikan informasi yang benar dan akurat tentang kesehatan reproduksi remaja.
Tetapi untuk mengejar ketertinggalan dari masalah yang terus berlipatganda bagai
deret ukur dibutuhkan lebih dari sekedar pencanangan pelaksanaan pendidikan
kesehatan reproduksi remaja.
Begitu banyak hal terkait yang bisa dilakukan melalui kerja sama antara pemerintah
dengan berbagai pihak antara lain:
Mengkaji ulang dan membuka peluang perubahan aturan, hukum dan perundangan;
seperti Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang memberikan celah bagi terjadinya
pernikahan dini, dan Undang-undang nomor 20 tahun 1992 yang mengganjal
layanan kesehatan reproduksi untuk remaja putri yang belum menikah, serta
seluruh aturan dan kebijakan yang dibuat berlandaskan undang-undang tersebut.
Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru yang lebih peka
gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif
yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas
kepentingan mereka sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang
keluarga berencana dan hubungan antargender, diberikan tak hanya untuk remaja
melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat.
Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan tanggung jawab dan saling
menghormati dalam relasi antargender perlu pula dipopulerkan di antara remaja
putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus mulai dipikirkan,
dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja': menjaga kerahasiaan, tidak
menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan agama dalam persoalan
reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok masyarakat yang lebih
luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk menilai, merencanakan dan
melaksanakan program yang paling tepat untuk kesehatan reproduksi remaja,
termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga.
Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan sempurna tanpa kerja yang
sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya memenuhi kebutuhan
psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari mengajari mereka menjalani
kehidupan dengan bertanggung jawab.
 
Suara Karya Online 

9.000 Perempuan di Indonesia Aborsi

Setiap tahun rata-rata 9.000 perempuan di Indonesia melakukan aborsi. Dari jumlah itu, 30%
adalah remaja berusia 15-24 tahun. Demikian hasil studi Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) yang dilakukan 2000 sampai 2004 di sembilan kota besar seperti Medan,
Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Denpasar, Surabaya, Mataram dan Manado.

Hasil studi ini mengambarkan, 37.700 perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Dari jumlah itu, 30% adalah masih remaja, 27% belum menikah, 12,5% masih berstatus pelajar
atau mahasiswa dan sisanya adalah ibu rumah tangga. “Persentase besar ada di tiga kota, yaitu
Yogyakarta, Denpasar dan Mataram. Untuk itu, PKBI melakukan studi banding secara kualitatif
di tiga kota besar itu. Hasilnya belum dipublikasikan,” kata Direktur Eksekutif PKBI Inne
Silviane di sela-sela sebuah seminar. (Media Indonesia, 29/11/05)

700 Ribu Aborsi Dilakukan Remaja


JAKARTA -- Setiap tahun terjadi 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia. Jika dirata-rata, setiap
jamnya terdapat 300 wanita telah menggugurkan kandungannya.
Kalian tahu siapa yang menggugurkan kandungan itu? "Dari jumlah itu, 700 ribu di antaranya
dilakukan oleh remaja usia di bawah 20 tahun," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Siswanto
Agus Wilopo, di Jakarta, Kamis (23/11).
Ia mengatakan, data aborsi tersebut meliputi kasus aborsi yang terjadi secara spontan maupun
dengan induksi. Mengapa terjadi penguguran kandungan? Sebanyak 11,13 persen dari semua
kasus aborsi di Indonesia dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted
pregnancy). Ngeri nggak sih, hamil di luar nikah, kemudian membuang bayi yang tak bersalah?
Di Indonesia tindakan aborsi yang tidak aman juga berdampak besar terhadap peningkatan angka
kematian ibu (Maternal Mortality Ratio/MMR). Siswanto mengatakan saat ini sekitar 11 persen
kematian ibu terjadi karena berbagai komplikasi akibat aborsi tidak aman sedangkan menurut
data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 lima persen kematian maternal
terjadi akibat komplikasi aborsi yang tidak aman.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa aborsi dan komplikasinya sebenarnya bisa dicegah atau
setidaknya ditekan kejadiannya dengan meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi. "Meskipun
tidak ada kontrasepsi yang sempurna namun kontrasepsi dapat mencegah terjadinya kehamilan
yang tidak diinginkan, pemicu utama dilakukannya aborsi," katanya.
Posted by Yudhi at Thursday, January 24, 2008
Kategori Kesehatan
Comments :

0 comments to “9.000 Perempuan di Indonesia Aborsi”

Post a Comment

Informasi Pilihan Identitas:


Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).

← Newer Post Older Post → Ho

Anda mungkin juga menyukai