Anda di halaman 1dari 3

Dewa Ruci:

Ihwal Menemui Guru Sejati


Oleh: Bentara Bumi

Lukisan setinggi 3 meter dengan lebar setengah dari tingginya ini dibuat oleh Eyang Kakung saat
bapakku SMA hampir 50 tahun lalu. Sejak kecil aku sering berdiri di hadapan lukisan ini dengan mulut
ternganga lebar. Aku tak pernah tahu makna lukisan itu, sampai suatu ketika Eyang Kakung bercerita
kepada seorang pemuda yang kami temui dalam perjalanan kereta api dari Bandung menuju Surabaya.
Seingatku saat itu aku masih SD dan sedang libur sekolah. Eyang Kakung sengaja menjemput kami,
para cucu, agar bisa menemui Eyang Putri di Surabaya. Yang aku rekam sekilas dalam pembicaraan
antar Eyang Kakung dan pemuda itu adalah bagaimana ia membuat lukisan Werkudara di luar pakem.
Ia “memaksa” Werkudara untuk duduk. Sesuatu yang tidak pernah Bima atau Werkudara lakukan
bahkan saat berhadapan dengan dewata sekalipun.

Memasuki masa kuliah barulah aku tahu bahwa lukisan yang dibuat atas permintaan Eyang Kakung itu
mengisahkan riwayat Dewa Ruci, proses pencarian Bima menemukan air kehidupan (tirta perwita).
Awalnya, kupikir ini adalah kisah petualangan biasa mengenai putra kedua Pandu, yakni Bima, yang
diperintahkan oleh gurunya, Resi Dorna, mencari dan menemukan tirta pewirta. Pengalaman, cerita,
dan bacaan yang kutemui bertahun-tahun setelah itu mengajarkan aku bahwa Dewa Ruci bukan
sekadar kisah petualangan biasa. Ia adalah lambang dari sebuah proses perjalanan hidup manusia
memahami intisari kehidupan.

Tiga Gunungan, Tiga Tahap Perjalanan

Ada tiga gunungan yang muncul di lukisan Dewa Dewa Ruci milik Eyang Kakung. Gunungan pertama
berkisah tentang pertempuran antara Bima dengan dua raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala.
Rukmuka, berasal dari kata “ruk” yang berarti rusak. Rukmuka berarti hambatan yang berasal dari
makanan yang enak (kemukten). Rukmuka adalah lambang dari tantangan pertama yang akan
mendera manusia yakni kenikmatan badaniah, yaitu kenikmatan yang didapat dari beragam hal yang
membangkitkan sensasi menyenangkan di dalam tubuh. Sedangkan Rukmakala berasal dari kata
“rukma” yang berarti emas dan “kala” yang berarti bahaya. Rukmakala dimaksudkan sebagai
perlambang bahaya dari segala kenikmatan yang sifatnya material duniawi, seperti emas, permata,
harta, pakaian, dan tahta. Gunungan pertama melambangkan dua tantangan terberat yang ditemui
manusia saat memulai pencarian hidup. Untuk bisa berlanjut ke tahap selanjutnya, manusia perlu
melampaui gunungan pertama tersebut.

Gunungan kedua berkisah tentang naga yang ditemui Bima di dalam samudra. Alkisah naga itu sebesar
anak sungai dengan mulut bagai gua dan menyemburkan bisa bagai hujan. Mengira hampir mati, Bima
menancapkan kuku Pancanaka ke badan naga tersebut. Darah memancar seketika, naga berhasil
dikalahkan dan Bima pun selamat. Ular adalah simbol kejahatan, dalam pencarian hidup manusia tidak
cukup hanya sekadar menyingkirkan kamukten dan kamulyan tapi juga perlu menghilangkan sifat
jahat di dalam dirinya.

Gunungan ketiga mengisahkan pertemuan Bima dengan Dewa Ruci, dewa kerdil yang wajahnya
menyerupai Bima sendiri. Dewa Ruci meminta Bima untuk masuk ke telinga kirinya, sebuah perintah
yang mustahil. Dikisahkan sambil tertawa Bima bertanya, “Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh
besar. Dari mana jalanku masuk, kelingking pun tak mungkin masuk?” Dewa Ruci tersenyum dan
menjawab lirih, “Besar mana dirimu dengan dunia? (Namun) seluruh isi dunia, hutan, dan gunung,
samudera dengan semua isinya, tak sarat (tidak kepenuhan, dalam artian cukup) masuk ke dalam
tubuhku.”

Akhirnya melalui telinga kirinya, Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan seketika tampaklah
pemandangan terhampar luas. Batas langit dan laut tidak dapat dibedakan, begitu juga arah mata
angin tidak dapat ditentukan. Kemudian tampak Dewa Ruci memancarkan sinar terang, barulah
kemudian diketahui arah mata angin, batas langit dan laut, serta rasa nyaman di hati.

Gunungan ketiga menjadi inti dari perjalanan Bima memahami intisari kehidupan, sebab di situ terjadi
diskusi mendalam antara dia dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak
ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan
berada di dalam diri manusia itu sendiri. Dewa Ruci juga menjelaskan mengenai Pancamaya dan empat
cahaya yang dilihat Bima, yakni: hitam, merah, kuning, dan putih.

Dalam lukisan Werkudara di atas, gunungan ketiga memiliki alur yang makin meruncing ke arah
puncak. Dengan sebuah bintang terang bersinar di atas ketiga gunungan tersebut dan bertengger di
pojok kanan atas lukisan.

Perjalanan Menemui Diri

Kita tidak bisa melompati gunung, kita perlu melampauinya. Perjalanan mengenai kesadaran adalah
sebuah perjalanan yang sangat sulit untuk bisa dijelaskan lewat kata-kata. Sekadar memiliki
pengetahuan lengkap, jauh dari cukup. Pengetahuan adalah nihil jika tanpa pengalaman. Namun
mengalami pun belum tentu mendapati jalan kesadaran yang tepat. Banyak yang tersesat, banyak
yang terjebak dalam lajur permainan yang ia buat sendiri. Batas sadar dan tidak sadar setipis ego.

“When you know, you know. And when you know, you need no explanation no validation from no
one.” Lalu kemudian aku teringat dua istilah yang sering digunakan dalam doa, “taufik” dan “hidayah”.
Siapapun bisa mendapatkan taufik atau ilmu pengetahuan ketika ia berusaha, belajar, mendapatkan
apa yang ingin ia dapatkan. Namun hidayah adalah hak prerogratif Tuhan, kita perlu izin-Nya untuk
mendapatkan hidayah. Semua orang bisa mendapatkan taufik, tapi hanya mereka yang terpilih yang
bisa mendapatkan hidayah. Begitupun dengan kesadaran, semakin kita ingin “naik tingkat” menjadi
yang paling sadar; semakin tidak sadar kita. Sebab “ingin” masih berputar di sekitar ego. Semakin kita
fokus pada usaha untuk memperbaiki diri dan melepaskan keingin untuk menjadi yang “paling sadar”,
semakin kita didekatkan kepada Sang Kesadaran.

Aku kemudian teringat kembali pada Bima yang “dipaksa” dan dibuat duduk oleh Eyang Kakung dalam
lukisan Dewa Ruci itu. Bima, yang dikisahkan tidak pernah duduk ketika berhadapan dengan siapapun
termasuk dewata agung, adalah perlambang manusia yang merasa “paling” atas segala sesuatu yang
ia punya dan ketahui. Padahal ia jelas bukan siapa-siapa dibanding luasnya alam semesta. Sebuah
pesan berharga dalam lukisan berumur 50 tahun dari seorang kakek kepada cucu pertamanya si Sabtu
Pahing, “Kamu mungkin tahu banyak, tapi kamu tidak tahu segala. Kesombongan tidak
mengantarkanmu kemana-mana.”

Kemudian, duduklah sang Bima.

----

Jakarta, Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai