Anda di halaman 1dari 211

ALBERTUS GREGORY TAN

He Was Born
to Serve

Hatinya Tertambat Pada Para Umat di Pelosok Nusantara

1
2
Kerangka Buku Albert

Kata Sambutan dari Uskup Emeritus AGP Datubara 1


Kata Pengantar dari Penulis 3

Bab I: Perjalalan Hidup


1. Mendengar Bisikan Sejak Kecil 7
- Kemelut Batin Itu Menguatkannya; Jalan Tuhan Baginya 7
untuk Membantu Umat di Daerah Terpencil
- Hikmah Sebuah Prahara 11
- Saya Eksis karena Banyak Orang 15
- Doa Adalah Andalannya 16

2. Dari Kecil Sudah Dekat ke Tuhan 17


- Menyalakan Lilin Saat Berdoa 17
- Sentuhan Kuat Bapak dan Ibu Serani 17
- Mempraktikkan Pastor Memimpin Misa 20
- Sibuk tetapi Perhatian 21

3. Guru Agama SMA 68 yang Menyentuh 22


- Lingkungan yang Menyenangkan 27
- Para Sahabat Sudah Melihat Keistimewaan Albert 28

4. Hobi Memotret Gereja 31

5. Pengalaman Mistis di Stasi Rawa Kolang 35


- Lari dari Rumah Malah “Bertemu” Tuhan 35
- Seorang Pastor pun Ikut Terharu 51
- Di Desa Terpencil Tuhan Sering Hadir 54

6. Kesaksian Pastor Nikolaus Sitanggang ?


- Kisahku Hingga Bertemu Albert ?

7. Kesaksian Pastor Albert Simbolon ?

8. Tangisan Haru Sang Ayah 77

9. Seeing Is Believing 80
- Ibunda Tak Kuasa Menahan Haru 80
- Gereja Stasi Itu Hampir Tutup Saat Albert Datang 80

i
Bab II: Memulai PPGK untuk Membantu Gereja-gereja Terpencil 87
1. Terima Kasih Internet 87
- Admin Bernama “Deo Gratias” Menjelahi Dunia Maya 87

2. Awalnya Sekadar Niat Menolong Gereja di Desa Terpencil 94


- Tanpa Diduga Bantuan Berdatangan 94
- Kisah Satu Dollar AS dari Dona, Warga Amerika Serikat 96

3. Bagaimana Donatur Menjadi Sangat Percaya? 99


- Sebagian Menelisik Kejujurannya dengan Cara Tersendiri 99
- Keluarga pun tak Boleh Meminjam Uang Para Donatur 101

4. Albert Pernah mengalami Penolakan 102


- Saya Sempat Merasa Lelah 102
- Banyak Pihak Memberikan Dukungan Moral 105

5. Pastor Liberius Menjelaskan Laman Gereja Katolik 108


- Salah Satu Alasan di Balik Protes 108

6. Donatur Terpukau dan Terkesima 112


- Dia Seperti Saudara Bagi Saya 112
- Albert Bukan Soal Uang, Dia Tentang Kasih 112
- Si Penyemangat Hidupku 114
- Anak-anakku Memanggilnya “Tulang” 115
- Aku pun Rela Mengenalkannya kepada Para Donatur 116

7. Setiap Donatur Menjadi Sahabat 119

8. Prosedur untuk Mendapatkan Bantuan PPGK 122


- Albert Proaktif Mencari Gereja 122
- Para Pastor Mencari dan Menemukan Albert 123
- Repons Albert Cepat 125
- Para Pastor Mendapat Info Soal Sumber Bantuan 128
- Prosedur Bantuan Tidak Rumit 131

ii
Bab III: Laporannya Sistematis 132
- Menelisik Para Penerima Bantuan 134
- Memaklumi Persyaratan 135

Bab IV: Decak Kagum Padanya 136


1. Umat Terpencil Terenyuh 136
- Hadir Saat Nestapa Mendera 140

2. Para Pastor Hingga Uskup Terkesima 142


- Monsigneur (Mgr.) Ludovikus Simanullang: 142
Albert Memiliki Karisma
- Mgr. Nicholas Adi Seputra: “Albert Gereja” 145

3. Para Suster Berdecak Kagum 148


- Namanya Mengingatkan Saya pada Dua Santo 148
- Pengikut Sejati St. Fransiskus Assisi 150
- Doa Intensi Khususku Untuknya 153
- Kehadirannya Memberikan Kebahagiaan Bagi Saya 153

4. Usia Sebaya Mengagumi Albert 156

5. Rekan Muda Mau Jadi Relawan 168

Bab V: Siapa Itu Albert 171


1. Kepribadian Albert Tersingkap 171
Lewat Kesaksian Sahabat
- Albert Menyukai Suara Jangkrik Malam di Pedesaan 171
- Tempat Angker Tak Membuatnya Surut 173
- Tak Mau Menandatangani Prasasti 175
- Fransiskan Awam Sejati 175
- Dia Harum Semerbak 176

2. Pernah Juga Terpikir untuk Kaya 177


- Ekstraksi dari Para Narasumber 177
- Kehadirannya adalah Jawaban 178
- Menjadi Karyawan Terbaik 180
- Kitalah yang Harus Mengubah Cara Pandang 180
- Kapan Menikah? 181

iii
Bab VI: Penutup: Albert Menyerukan Kepedulian pada Sesama, 182
Bukan Membangun Gereja Semata
- Romo Andreas Basuki Wagiman Projo: 183
Yang Bagus-bagus dari Cah Bagus
- Albert Memperbaiki Gereja: Kalau Cinta dan 188
Kesediaan Diri Tampak Utopis (Lusius Sinurat)
- Dia Mencintai Doa (Pastor Masseo Sitepu) 193
- Setelah Mengamatimu, Aku Mengikutimu 196
(Andersius Ginting OFS)
-Hahomion Ni Partonduion 197
(Pastor Walden Sitanggang OFMCap)

iv
v
vi
Kata Sambutan dari Uskup Emeritus AGP Datubara

Imannya Benar,
Sesuai Ajaran Injil
D ia adalah seorang dari kaum muda Katolik yang beriman secara benar
sesuai ajaran Injil. Dia seorang yang idealis soal iman, kasih, keyakinan,
dan harapan. Pikiran, usaha, serta perbuatannya menyatu di dalam dirinya.
Kebutuhan akan pembangunan gereja di sejumlah tempat seiring dengan
bertambahnya jumlah umat. Sedikitnya, hal itu telah turut dia dilakukan.
Hal ini menunjukkan betapa Albert adalah sosok pemuda beriman teguh.
Dia sangat peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan gereja Katolik.
Kemurahan hatinya membuat banyak umat terbantu dengan dukungan para
donatur yang menjadi andalannya.
Keteguhan, iman, serta keyakinannya membuat Albert tidak pernah
mengeluhkan keletihan. Dia senang menempuh perjalanan berjarak sangat
jauh.
Sesungguhnya Albert menjadi orang yang dipercayai karena dia
seorang kaum muda Katolik beriman benar. Ini sesuai dengan ajaran Injil;
mengorbankan diri, memberi diri, dan tidak hirau pada kenyamanan pribadi.

1
Saya belum pernah menemukan orang seperti Albert. Pada usia muda, ia
sudah sangat peduli pada umat di desa-desa terpencil. Belum pernah bertemu
orang dalam konteks persis seperti yang dia lakukan. Tentu banyak saya
temukan donatur yang baik hati, tetapi belum pernah menemukan pemuda
yang bersengaja dan mengkhususkan diri untuk penggalangan dana demi
gereja-gereja terpencil.
Saya sangat mendukung dan memang sangat penting menuliskan biografi
Albert. Supaya dia dan karyanya bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Pada
dasarnya, dia telah menunjukkan hakikat Kristiani yang berdevosi. Sangat
bagus ada orang seperti dia.
Seandainya pun dia kelak memilih untuk tidak menikah agar terus bisa
melakukan pelayanannya, tidak apa-apa. Dia tetap masuk kategori orang yang
tidak menikah demi Kerajaan Allah, seperti tertulis di Injil Korintus. Dia tetap
dia masuk kategori itu, dalam bentuk lain, dalam arti tidak harus jadi pastor
dan tidak menikah demi Kerajaan Allah. Ini wujud lain pengorbanan diri demi
orang banyak.
Sangat bagus apa yang dia lakulan dan caranya melakukan. Ini ada-
lah pilihannya soal hidup dan mewujudkan jati diri seorang Kristiani.
Tidak usah khawatir siapa yang akan merawat jika dia sudah tua kelak.
Akan selalu ada yang bersedia mengurusnya. Saya pun sudah berusia di atas
80 tahun dan sangat banyak yang memberi perhatian.

Hormat Saya
Uskup Emeritus Alfred Gonti Pius Datubara

2
Kata Pengantar dari Penulis

P astor Daniel Erwin suatu waktu pernah berkata, “Biarkan Roh Kudus
mengalir ke mana saja.” Ucapan ini merujuk pada orang yang didampingi
Roh Kudus karena melakukan tugas dengan tulus, jujur. Orang tersebut juga
mau melakukan tugas karena menganggapnya sebagai melayani Tuhan.
Pastor Erwin mengatakan tanpa ragu, ada penyertaan Roh Kudus bagi
orang yang melakukan pekerjaan tanpa bersungut-sungut. Dengan ucapan ini
agak mudah menangkap seseorang seperti Albertus Gregory Tan.
Ada pre-destinasi untuknya, menjadi seorang yang mau mengasihi Tuhan.
Mengasihi dan menjabarkannya lewat perbuatan serta mengukuhkannya
dengan doa.
Sikap Albert ini tergambar pada salah satu statusnya di akun Facebook:
“Memaknai kehadiran sebagai salah satu pemberian diri yang sempurna.
Karena sejatinya persaudaraan adalah pemberian diri yang diwujudkan
dengan kehadiran berbasis belas kasih.”
Albert hadir dan mengasihi tanpa pamrih. Penugasan dan kewajiban itulah
dia menamai apa yang dia lakukan. Dia dimampukan Tuhan untuk melakukan
itu.
Benarlah seperti tertulis, “... Allah turut bekerja dalam segala sesuatu yang
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka
yang terpanggil sesuai dengan rancana Allah. ... Semua orang yang dipilih-Nya
dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa
dengan gambaran anak-Nya, Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula,
mereka itu juga dipanggil-Nya. … Mereka yang dipanggil-Nya, dibenarkan-
Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (Roma 8:28-30).
Albert memiliki pre-destinasi, yang dia dengarkan. Pre-destinasi ini dia
pikirkan dan selami. Sebelum terlibat dalam pembangunan gereja, dia kejar
segala pemahaman tentang Tuhan. Dia tekuni bacaan Kitab Suci yang sering
memerlukan interpretasi. Untuk ini, dia suka diskusi soal keagamaan.
Para pastor dan para ahli teologia menjadi sasarannya bertanya. Dia
menerima penjelasan dan kepada biarawan serta nonbiarawan juga dia
bertanya lagi. Dia mencari pengejawantahan iman dan kasih lewat bacaan
tentang kisah-kisah para orang suci.
Tidak sedikit ungkapan orang suci yang dia kenang dan kutip. “Jezu Ufam
Tobie” kutipan sari Santa Faustina yang artinya, “Yesus, kepada-Mu Aku
Percaya.”

3
“Dia yang percaya akan kemampuannya akan kehilangan, tetapi dia yang
percaya pada Tuhan bisa berbuat semua hal,” kutipan lain yang dipakai Albert
dari Santo Alfonso Maria de Liguori.
Penguatan juga dia dapatkan dari kisah Santo Fransiskus Assisi, Padre Pio.
Ini membawanya pada pemahaman mendalam tentang iman.
Dasar imannya tidak vertikal atau melulu soal Tuhan. Ini dia kombinasikan
dengan kasih terhadap sesama. Ini pas dengan kutipan, “Memang mengasihi
Dia dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga
mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama
daripada semua korban bakaran dan korban sembelihan.”
Albert, bagi saya, adalah pribadi dengan iman yang berakar kuat.

4
5
6
Bab I:

Perjalanan Hidup
1. Mendengar Bisikan sejak Kecil
• Kemelut Batin Itu Menguatkannya; Jalan Tuhan Baginya
untuk Membantu Umat di Daerah Terpencil

L
ahir dekat jejeran gedung pencakar langit di
kota termakmur di antara kota-kota makmur
Indonesia. Tangisannya pecah pada 8 April 1990
di Metropolitan Jakarta. Ibu yang berbahagia,
Katarina Yullany, dan ayah yang tersenyum
Athanasius Andry menamainya Albertus Gregory Tan. Dia
adik kandung bagi sang abang, Michael Noviando.
Albert adalah sebuah penantian lama dan beda usia jauh dengan Michael,
kelahiran 26 November 1980. Etnisnya biasa disebut keturunan Tionghoa dan
sudah turun-temurun berada di Indonesia.
Sang Ibu kelahiran Padang, 10 April 1943, hijrah ke Jakarta. Dia Katolik
sejak lahir berkat misi para misionaris Kapusin Belanda.
Ayahnya kelahiran Jakarta, 2 Mei 1949, seorang pemeluk Protestan
berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) dan punya darah Betawi. Ayah
besar di lingkungan yang dulu disebut Segi Tiga Senen, Jakarta.
Katarina dan Athanasius menikah pada tahun 1977 dengan beda usia.
Kesibukan pada masa muda membuat mereka asyik dengan profesi. Keduanya
bertemu karena diperkenalkan dan menjadi jodoh.

7
Sejoli berkeluarga dengan anutan masing-masing. Di luar rumah sibuk
dengan pekerjaan berbeda. Katarina bekerja kantoran, Athanasius sibuk
dengan bisnis percetakan yang menjanjikan.
“Bisa dibilang, kami dulu sempat kaya raya,” kata Albert.
Ayahnya pun mengatakan, prospek bisnis percetakan sangat cerah. Ada
banyak order berkat ketekunan dan sentuhan artistik tangan Athanasius.
Kehidupan berlangsung rutin. Lingkungan di Metropolitan berpacu pada
pengejaran materi dan semuanya tampak baik-baik saja.
Seiring berjalannya waktu dan usia bertambah, Albert muda mulai
merasakan sesuatu keunikan. Di dalam rumah, dia mulai merasakan rutinitas
semata. Sentuhan tidak mendalam, tak menyentuh sukma. Ibu selalu ada,
tetapi sibuk juga. Ayah sering pulang larut malam saat keluarga sudah tidur
lelap. Albert menginginkan hal lebih.
Albert pada masa kecil sudah terbawa angan akan gambaran nirwana. Dia,
misalnya, tertarik mengabadikan bangunan-bangunan gereja.
Dia sempat bingung, mengikuti ibu yang Katolik atau ayah yang tidak
jelas. Ibu berpegang pada Katolik walau tidak rutin ke gereja. “Sejauh saya
ingat, kami ke gereja paling hanya pada saat Natal dan Paskah. Itu pun tanpa
kehadiran ayah,” kata Albert.
“Ayah Protestan berdasarkan KTP, tetapi ritual yang diikuti lebih ke
Buddha,” ujar Albert.
Dua anutan membuat si anak pernah terpecah perhatian. Dia sayang
orangtua, tetapi keduanya tak pernah beribadah bersama. Kadang ada
ketidaksesuaian karena anutan dan hal lain, sesuatu yang sebenarnya lumrah
saja terjadi pada satu keluarga.
Untungnya, cekcok besar tidak akut. Ayah memilih diam sebisa mungkin
atau menyibukkan diri di luar rumah, sebuah kiat menghadapi istri yang talk
active, tetapi cintanya utuh pada keluarga.
Albert yang dalam darahnya tertanam religi sangat mendambakan
keluarga yang memiliki iman sempurna dan harmonis. Tak mengherankan
jika dia sering menjadi bingung dan gelisah.
Berkat pengaruh yang ibu lebih besar, Albert cenderung ke Katolik. Dia
seorang anak mama yang juga merindukan ayah hadir selalu. Namun, dia
tidak merasakan kebersamaan. Ibu pun kurang rajin dulu ke gerja.
Untung keluarga ini akrab dengan lingkungan dan memiliki satu tetangga
baik, keluarga Katolik. Pada keluarga ini, sang ibu turut menyerahkan
pembinaan iman Albert. Bahkan, Albert menjadi seperti anak kandung bagi
tetangga ini (baca: Dari Kecil Sudah Dekat ke Tuhan).
Akan tetapi, di rumah, keadaan sama saja. Dalam kehidupan sehari-hari

8
Albert merasa ada yang tidak lengkap.
Apa merasa “jauh” dari orangtua? “Kalau jauh enggak juga, ya. Hanya
mereka sibuk, tetapi karena sibuk bisa juga jadi jauh,” kata Albert.
Mencoba memaklumi keadaan, tetapi tak bisa menerima. Albert terbawa
menjadi seorang pendiam dan terbiasa memendam apa yang dia pikirkan.
Bermain di luar rumah dengan teman seusia bukan bakatnya. Dia juga tak
tertarik menghabiskan waktu di mal-mal.
Dan lagi, ibu sangat ketat mengontrol. Dia akan ditanyai ke mana saja dan
alasan mengapa pulang terlambat ke rumah. “Keberadaanku selalu dikontrol,”
katanya.
Dididik disiplin waktu dan dia mau saja. Akan tetapi, dia ingin sukma
dipeluk syahdu. Dia terlahir berjiwa sosial dan benih altruistik ada dalam
dirinya. Ini kurang terpenuhi. “Sharing iman ada, tetapi tidak banyak karena
mama dulu sibuk mengurus rumah tangga.”
Penghayatan iman kurang dan keteladanan iman dia lihat. Dia menjadi
pribadi yang kesepian. Ini sempat membuatnya terpikir untuk mencoba
masuk agama non-Katolik.
“Keputusan ini saya ambil karena pernah ada pacar saya yang non-
Katolik.” Tak ada beban dengan keputusan itu. Selama dua tahun, ia sering
ikut kebaktian. “Saya ingin menemani pacar juga.”
Meninggalkan Katolik bukanlah hal luar biasa. Kedua orangtua relatif tidak
peduli karena memang tidak ada kebiasaan membicarakan iman. “Semuanya
diserahkan pada saya,” kata Albert.
Hanya sang ibu dengan segala kekurangan tetap mempertahankan
kekatolikannya.
Setelah dua tahun berlalu, Albert tidak juga merasa tenteram. Dia tidak
merasakan pengalaman berjumpa dengan Tuhan. Albert pun kembali fokus
ke Katolik. Meski jarang mengikuti misa, di Katolik masih ada yang sungguh
menyentuhnya. “Saya merasakan perbedaan besar,” katanya.
Kembalinya Albert ke Katolik mengakhiri pula hubungan dengan sang
pacar. Ini memberinya sebuah titik cerah. Sebagai siswa di SMA Negeri 68
Jakarta, Albert menemukan satu figur, guru agama Katolik (baca: Guru
Agama SMA 68 yang Menyentuh).
Albert lulusan SD Katolik Santa Ursula, Jalan Pos, dan lulusan SMP Katolik
Santo Robertus Bellarminus, Menteng. Sekolah ini turut memberi sentuhan,
tetapi guru agama SMA 68 itu sangat memukaunya.
Ada guru agama yang sederhana dan bersahaja yang seperti garam dan
terang baginya. Ini mengingatkannya pada memori lama, peran bapak dan
ibu serani.

9
Albert dan keluarganya, ayah, ibu dan abang kandung.

Ada hal unik dalam perjalanan hidupnya. Albert menemukan pijakan


iman pada orang-orang sederhana, guru agama, serta bapa dan ibu serani itu.
Dalam diri mereka, Albert melihat sebuah kekuatan yang menguatkan. Para
idola ini sederhana, pegawai biasa, tetapi terasa bersinar.
Dia melihat hal itu sangat berbeda dengan lingkaran dalam dirinya. Di
rumah, dia dicekoki agar meraih cita-cita tinggi, sukses, dan kelak menjadi
pengusaha. Dorongan-dorongan ini dia rasakan aneh.
“Pernah tebersit mengikuti anjuran ini. Sempat tertanam cita-cita untuk
kaya raya agar memiliki prestise,” kata Albert. Akan tetapi, saat mencoba, dia
menemukan sebuah kekosongan.
Dalam dirinya ada bisikan lain. “Aku ingin menjadi berkat bagi sesama,”
katanya. Cita-cita duniawi itu dia rasakan tidak akan membuatnya menjadi
teman bagi yang lain. “Aku tidak bisa ikut jalur ini; materi, sukses, dan terkenal.
Aku mau spiritualitas yang berkualitas.”
Rohani adalah bagian dari raga dan hidup bukan hanya soal roti. “Saya
selalu mudah terenyuh pada orang yang menderita; mereka yang papa; meski
kusadari kemampuanku sangat terbatas,” lanjut Albert.
Jiwanya mendengar melodi indah. Di dalamnya ada pesan, “Kamu ada di
relung-relung hati manusia dan relung hati sesama menantikan sentuhanmu.”
Anak bernama Albert ini merasakan seruan tak berkesudahan. Seruan
terngiang kapan saja dan di mana saja. “Bahwa kamu bisa, dimampukan,
dijagai, dan jalankanlah kasih kepada sesama.”

10
Itulah melodi-melodi indah yang tidak berani dia ungkapkan. Menjadi
aneh baginya jika bercerita tentang itu kepada keluarga. Menjadi sukses,
banyak materi, memikirkan peruntungan sendiri, itulah yang dulu sering
menjadi tema pembicaraan di dalam keluarganya.
Sebab itu, dia memilih diam saja dan semakin terbentuk menjadi pribadi
pendiam. Dia gelisah tingkat tinggi. Namun, di permukaan, Albert patuh pada
orangtua, rajin belajar. Talenta Tuhan menjadikannya sebagai pelajar cerdas
dan sering menggondol piala serta penghargaan atas prestasi akademis.
Balik ke rumah, dia menjadi pribadi terkungkung. Dia ingin lari, bebas
seperti burung, terbang untuk menebar kasih. Dalam alam pikirannya selalu
terbayang nirwana. Ini menyemangati hidupnya sekaligus membuatnya
bingung, bagaimana melakukan ini semua.

• Hikmah Sebuah Prahara

S epi, bingung sering melanda. Di tengah keadaan seperti itu, sebuah


kejadian besar bahkan bisa dibilang tragedi menerpa keluarga. Sesuatu
yang mengempaskan muncul tak diduga.
Krisis ekonomi dahsyat melanda republik ini pada tahun 1997. Ini berujung
pada huru-hara sosial politik. Bisnis sang ayah ikut terpengaruh. Rezeki
keluarga amblas. Akibatnya, semangat ayah sempat jatuh dalam dan lunglai.
Kejadian ini sebuah situasi yang membenarkan persepsi anak. Materi bisa
dikejar, tetapi semua itu ada yang menentukan, yakni Dia. Inilah rupanya
bisikan halus yang konstan terjadi pada sang anak selama ini, yang tidak
pernah disadari sang ayah. Berbaktilah kepada Tuhan, bukan hanya mengejar
materi.
Krisis yang terjadi memberi keluarga sebuah momen sangat mengharukan.
“Aku mohon maaf kepada istri dan anak-anak,” kata Athanasius. Semuanya
mendadak bertangisan. Ada benci, iba, dan sayang yang campur aduk tak
karuan.
Akan tetapi, keluarga lega. Albert paling lega. “Ayah telah kembali dari
selama ini sibuk. Pada ayah, aku paling sayang sekarang. Dialah yang paling
taat setelah itu dibandingkan dengan kami semua. Ini yang terpenting bagi
saya ketimbang kehilangan rezeki,” kata Albert dalam nada yang berbahagia.
Apakah krisis ekonomi berpengaruh pada Albert? “Saya katakan tidak.
Saya sebenarnya tidak merasa down atau bagaimana. Saya tetap melanjutkan
hidup seperti biasa karena sejak dulu terbiasa hidup sederhana. Meskipun ada
mobil, saya tidak pernah minta dijemput. Saya memilih naik angkot. Setelah

11
besar, saya naik sepeda motor atau kereta api.”
Namun, dulu kondisi keluarga yang sempat karut-marut berdampak
banyak pada diri Albert. “Banyak berpikir, bertanya, melamun, tidak bisa
fokus. Setelah krisis ayah telah kembali pada keluarga dan saya sangat senang.”
Ini semakin membuat Albert yakin pada pilihannya, menjadi orang
sederhana dan penolong bagi sesama. Albert, yang dulu sering bergelut dalam
pikiran, justru tumbuh sebagai pribadi yang makin dewasa dan kuat. Dia
kemudian terbiasa menghadapi keadaan sekitar, yang membuat rumit dan
ruwet, walau kebanyakan membahagiakan.
Untuk pendidikan, keluarga ada uang sebelum krisis sehingga bisa
bersekolah di sekolah berkualitas. Untuk level SMP, SMA hingga universitas,
lembaga swasta bukan lagi pilihan. “Ya, krisis dan faktor lainnya membuat
ayah terlilit utang banyak. Semua modal yang ada akhirnya habis, mesin-
mesin dan aset-aset pun dijual.”
“Semua kegiatan percetakan yang masih bisa dilakukan berpindah ke
rumah karena ruko terjual. Usaha tanpa modal dilakukan. Ayah memulai
lagi dari nol. Dari hasil percetakan yang ada, utang pelan-pelan dilunasi,” kata
Albert. “Dan akhirnya semua lunas.”
Meskipun utang lunas, status ekonomi keluarga Albert tidak lagi
seperti dulu. Kondisi itu tidak menjadi masalah bagi Albert. Prestasinya
memungkinkan Albert masuk sekolah negeri berkelas hingga universitas
negeri nomor satu di kotanya, Universitas Indonesia. “Kuliah saya dibantu
oleh tante juga.”
Menambahi sumber biaya, Albert menjual gorengan buatan ibunya. “Saat
kuliah, saya jualan gorengan setiap hari. Ada tiga kotak yang terjual dengan
untung per hari Rp 45.000. Dalam sebulan Ada untung Rp 900.000. Itulah
yang saya pakai untuk makan dan membeli buku.”
Apa tidak malu berjualan gorengan sambil kuliah? “Oh, sama sekali tidak,
meski memang ada orang merasa sangat aneh melihat saya dan mungkin
berpikir, ‘orang keturunan China, kok, mau melakukan itu’. Yah, tetapi itulah
prinsip yang tertanam. Apa pun yang bisa dilakukan, ya, dijalankan agar ada
uang. Enggak ada kata malu.”
Dia menjadi kebanggaan, juga karena prestasi akademisnya saat kuliah.
Pada usia dini, belasan tahun, dia relatif cepat dewasa. Dia sudah memiliki
pijakan, jati diri. “Sebelum krisis itu, saya sering melamun, tetapi setelah itu
tidak lagi.”
Saat kuliah, batinnya sudah mulai tenang. Berbagai kesibukan di UI
membuatnya ceria. Di kampus, Albert mengikuti kegiatan rohani seperti ikut
organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) di mana dia terpilih sebagai

12
bendahara umum. Dengan KMK, ia belajar berorganisasi, terlibat bersama
teman-teman KMK UI mengumpulkan dana. Mereka berupaya mandiri
dengan berjualan kue di kampus di sela-sela waktu kuliah atau pada jam-jam
istirahat. Dana-dana itu mereka pakai untuk membiayai kegiatan-kegiatan
KMK, seperti rekoleksi, retret, dan sebagainya.
Seiring waktu, sang ayah dibaptis menjadi Katolik serta mulai rajin
ke gereja. “Mulailah pula Albert aktif dan mendekat ke urusan rohani di
Paroki Katedral Jakarta. Di situ, Albert menjadi salah satu pemazmur tetap.
Kedekatan dengan urusan altar membuat kehidupan imannya makin mantap.
Selain rutin mengikuti misa hari Minggu, saya mulai aktif dalam kegiatan-
kegiatan lain di Paroki Katedral,” katanya. Dia temukan sebuah dunia yang pas
dan melekat di sana. Di rumahnya, situasi sudah sangat kondusif.
Namun, Albert terus berjalan dan mencari sahabat. Dia ingin pendalaman
iman dengan bergaul. Keberadaan media sosial membuat kontak terbina
dengan semua kalangan tanpa sekat ruang dan waktu. Dia bergaul luas.
Albert memasuki dunia lewat media sosial. Dulu ada media sosial
Friendster untuk menjaring para sahabat. Kemudian ada Facebook, yang
memperluas cakupan perkawanan di seluruh Nusantara bahkan dunia. Lalu
ada media sosial BBM, LINE, Whatsapp. Ini membuatnya semakin hidup.
Lewat media sosial, dia memiliki sahabat dari kalangan biarawan dan
biarawati. Lingkungan ini memang selalu dia sukai sejak kecil. Dia bertemu
Pastor Nikolaus Sitanggang OFMCap. Saat itu Pastor Nikolaus masih sebagai
frater di Jalan Medan, Pematangsiantar. Pastor Nikolaus dia anggap sebagai
abang kandung.
Saat masih sebagai frater, Nikolaus Sitanggang sedang bertugas di Stasi
Rawakolang, Keuskupan Sibolga, Sumatera Utara. Albert pun datang
berkunjung ke Stasi Rawakolang, sebuah desa terpencil. Kedatangannya
ke Rawakolang ia lakukan dengan berbohong kepada orangtua bahwa
kedatangannya karena ada kegiatan kampus di daerah itu.
Di desa terpencil ini dia bertemu Tuhan. Dia merasakan jiwanya tertambat
di pelosok, di alam kesederhanaan, di mana cinta sejati ada. Imannya semakin
bergairah. Di gereja desa itu dia menangis, ada umat sederhana dengan gereja
jelek, tetapi terlihat ceria dan beriman. Dia tersentak.
Inilah awal Albert berpikir bagaimana cara membantu pembangunan
gereja-gereja tak layak di desa-desa terpencil. Pertemuan dengan Tuhan lewat
umat dan gereja sangat sederhana menjadi sebuah babak baru hidupnya (baca:
Pengalaman Mistis di Stasi Rawakolang).
Albert juga berkenalan dengan Pastor Albert Simbolon, juga saat masih
berstatus frater. Kepada Pastor Albert (nama serupa), Albert banyak curhat

13
tentang kehidupan.
Pastor Albert Simbolon termasuk salah satu peneguh iman bagi Albert
(baca Kesaksian Pastor Albert Simbolon dengan judul: “Ogahhh …!)
Meskipun kembali ke rumah, jiwa Albert telah melanglang buana. Dia ada
di dua dunia, lingkungan dan pengembaraan ke mana-mana. Albert semakin
tertarik mengunjungi daerah-daerah lain yang miskin dan terpencil. Dia
semakin larut pada kegiatan membantu pembangunan gereja-gereja usang
atau tidak layak.
Kegiatan ini berlangsung saat Albert masih menjadi mahasiswa. Hal ini
sama sekali tidak mengganggu kehidupannya. Dia tetap bisa fokus pada
kuliah, bahkan lulus dengan predikat magna cum laude. Saat kuliah, karena
prestasi akademisnya, Albert pernah menjadi salah satu mahasiswa UI yang
mengikuti pertukaran pelajar ke Jerman.
Setelah lulus dia kemudian mendapatkan pekerjaan dengan mudah di
suatu bank swasta, BCA.
Relasi sosialnya semakin masif. Dia menjadi seperti bintang. Iman dan
keyakinan telah menyelamatkannya. Dia bahkan tak ragu sebab ada kekuatan
paling dahsyat menjagainya.
Bekerja, dapat bonus, dan tetap menunaikan tugas sosial. Albert bersyukur
lingkungan kerjanya memahami apa yang dilakukannya. Meskipun begitu,
Albert tetap bekerja baik dan disiplin dengan waktu.
Its all coming back to me now. Begitu dia memekik dalam sanubari.
Lingkungan salut akan dirinya, sampai ada sanak saudara yang mengatakan
kepada anaknya, “Tirulah anak ini.” Maksudnya, Albert.
Dia kini dipuji dan pilihannya diapresiasi. Materi tidak dia lupakan, prestasi
tidak diabaikan. Hanya semua itu dia kombinasikan dengan pemenuhan
kebutuhan rohani. Ada kombinasi antara “roti” dan roh.
Pekerjaan membuat dia bertemu kaum kaya di mana dia lihat juga sisi
dalamnya. Benar, materi hanya di permukaan dan kadang di dalam kekayaan
ada duka.
Permenungan dan perjalanan hidup mensahihkan pilihannya sejak kecil.
Albert adalah seorang anak yang against all odds....

14
• Saya Eksis karena Banyak Orang

M engapa Albert menjadi peduli pada sesama? Ini bukan kejadian satu
arah. Ada kausalitas. Albert mengatakan, dalam perjalanan hidupnya
banyak pertolongan orang. “Mengapa saya bisa tetap berdiri sampai sekarang,
kurasakan juga itu karena pertolongan banyak orang. Karena itu, hatiku
sebisa mungkin selalu terbuka untuk mereka yang kesulitan.”
Ada sapaan, penguatan, dan materi, “Materi bukan yang utama. Yang
utama adanya perhatian dan cinta. Pekerjaan saya di BCA juga dibantu orang
sehingga masuk dengan mudah.”
Dengan khalayaklah Albert dimungkinkan turut membantu pembangunan
gereja-gereja kurang layak di daerah pelosok Nusantara.
Refleksi menggambarkan masa lalu yang kini dia rasakan memberi
hikmah. Dia telah dibuat bahagia dengan semua itu. Dia torehkan ungkapan
hati yang jernih.

18 Juli 2017: Perasaan sepi, jauh, dan ditinggalkan sering kali memberi kita
ruang untuk melihat perjalanan hidup dan semakin memampukan
kita untuk hadir menjadi saudara bagi semua orang, siapa pun itu….
Selamat pagi.

11 Juli 2017: Bagaimana aku bisa menemukan kebahagiaan?


Saat kamu bisa melihat orang kecil tertawa dengan bahagia, itulah
penemuan kebahagiaan.

9 Juli 2017: Tambahkanlah beban itu di pundakku supaya aku selalu belajar
untuk rendah hati dan semakin merasakan bersama-Mu ada
sukacita dan kelegaan. Selamat hari Minggu…

3 Juli 2017: Setiap orang yang ditambahkan ke dalam persaudaraan adalah


rahmat Allah.

15
• Doa adalah Andalanya
Albert merasakan semua itu adalah juga buah doa-doanya.

Apakah butuh landasan doa?


Selalu. Pelayanan ini tidak melulu soal kerja, tetapi juga butuh doa sebagai
fondasi. Jika terus bekerja tanpa doa lelah rasanya. Sudah raga lelah, jiwa juga
lelah. Untuk hal ini biasanya saya selalu berusaha menerima komuni kudus
setiap hari.
Apakah senang memohon doa dari sahabat atau siapa saja?
Senang sekali. Kepada orang-orang terdekat, saya selalu meminta
didoakan. Kepada para imam yang saya jumpai, saya selalu minta doa sebelum
saya pergi jika sedang mengunjungi mereka.
Kepada para kudus, antara lain St Fransiskus Assisi, St Albertus, St
Gregorius saya turut memohon doa sebagai jalan menuju Tuhan.

Keluarga Albert bersama Kardinal Julius Darmaatmadja.

16
2. Dari Kecil Sudah Dekat ke Tuhan
• Menyalakan Lilin Saat Berdoa

B awalah anak-anak ke gereja dan biasakanlah mereka dengan kehidupan
gereja,” demikian disampaikan Pastor Antonius Siregar saat perayaan
50 tahun imamatnya.
Tidak kenal maka tak saying. Karena itu, sejak dini kehidupan gereja wajib
diperkenalkan kepada anak-anak. Inilah yang terjadi pada Albert. Ibundanya,
Katharina Dorotea Yullany, tidak pernah luput menyirami iman anaknya.
“Anak ini sejak kecil manis-manis saja, tuh,” kata Katharina.
Ayahnya, Athanasius, juga berpendapat serupa. “Aku bangga pada anakku
ini. Sejak dulu baik saja adanya, penurut dan juara di sekolah. Bahkan, saya
sering terenyuh. Pulang ke rumah pada akhir semester kerap membawa piala
dan penghargaan. Saya sangat sayang sama anak saya ini.”
Dua orangtua yang sebisa mungkin menunjukkan dari lubuk hati
terdalam, rasa sayang pada Albert. Bapak dan ibu ini ramah dan bersahabat
pada siapa saja. Ini memungkinkan Albert berkembang baik di lingkungan
dan tidak hanya di rumahnya. Bahkan, faktor lingkungan ini membuat Albert
bukan hanya anak bagi kedua orangtuanya, tetapi juga menjadi anak bagi
tetangganya.

• Sentuhan Kuat Bapak dan Ibu Serani

A da satu keluarga yang sangat dekat dengan keluarga Albert, yang menjadi
bapak dan ibu baptisnya. Memori Albert sangat kuat tentang mereka.
Alfonsus Rodriguez Johanes Djuwarta, seorang guru di SMP/SMA Kolese
Kanisius Jakarta. Bapak yang sudah almarhum kelahiran Klaten, 17 Agustus
1941, ini menjadi bapak serani untuk Albert.
Istrinya, Lidwina Susanti Prihatini, seorang asisten apoteker di Kimia
Farma. Almarhumah ini kelahiran Semarang, 15 Desember 1941, ini menjadi
ibu serani.
Sejoli ini menikah di Jakarta pada 31 Mei 1970 dan dikaruniai anak dan
putri. Albert turut menjadi seperti anak kandung bagi bapak dan ibu serani
ini.
Putri sejoli ini, Esti Djuwarta, berkata, ”Albert dari kecil suka main di rumah
saya. Dia anak baptis papi dan mami saya. Jadi, dia seperti adik kandung kami.

17
Albert dalam gendongan sang ayah (atas). Albert saat menerima komuni pertama (bawah
kiri). Albert saat SMA dengan prestasi akademis (bawah kanan).

18
Sejak anak balita sampai lulus SD, Albert rutin berkunjung ke rumah saya,”
lanjut Esti.
“Pada waktu itu, kami semua anak-anak mami dan papi sudah besar, jadi dia
anak terkecil bagi mami-papi di rumah. Saat itu, saya sudah SMA dan setelah
itu kuliah di UI. Jadi tidak pulang setiap hari. Namun, ketika saya masih di
rumah, dari kecil sudah saya saksikan, dia seorang anak-anak yang suka main
dengan mempraktikkan doa. Sambil berdoa, dia menggunakan lilin juga. Dulu
kita kira dia hanya senang bermain dengan api, maklum anak laki-laki kan.”
Ternyata, Albert sedang mempraktikkan doa sembari menyalakan lilin.
Lebih dari itu, Albert ternyata saat itu di benaknya sedang membayangkan
diri sebagai seorang pastor yang berdoa dan memimpin misa di gereja.
“Ya, saya pada masa kanak-kanak memang suka berdoa,” kata Albert
mengukuhkan kenangan Esti.
Esti melanjutkan, “Di rumah kami ada mbak yang membantu. Sampai
Sekarang mbak itu masih ada di rumah saya. Dulu kami panggil mbak. Sekarang
atau hampir 35 tahun kemudian kami panggil si mbah ... karena sudah berusia
tua.”
Esti berkara, ”Albert punya panggilan khusus untuk mbah Semi… Sejak dia
anak balita, dia kerap memanggil mbakku. Waktu Albert masih TK atau SD,
kalau dia mau main ke rumah, dia akan telepon mbakku untuk menjemput ke
rumahnya. Lama-lama dia hanya minta jemput di ujung jalan supaya diawasi
saat menyeberang jalan.”
“Setiba di rumah, dia main sendiri … atau ngobrol sama mami yang sudah
pensiun … atau sama papi yang punya kebiasaan pulang saat makan siang
sebelum kerja di tempat lain.”
“Menjelang Natal, biasanya Albert akan datang untuk memasang pohon
Natal di rumah saya karena rumah kami sudah menjadi rumahnya juga. Di
rumah, dia main ... makan ... tidur siang... Kalau sudah bosan baru dia minta
diantar pulang.”
“Di rumah saya juga ada keponakan saya, yang juga bernama Albert.
Si mbah punya panggilan khusus buat Albert yang ini, Albert Baba, artinya
bandel banget. Pasalnya, waktu dia main-main dengan lilin dan berdoa dan
berdoa ... pernah api lilin hampir membakar taplak meja.”
“Sampai hari ini, kalau ditanya, Albert yang mana, mbah selalu menjawab,
Albert Baba. Ini untuk membedakannya dari ponakan saya yang sekarang
tinggal dan berkeluarga di Belanda.”
“Iya … kami semua sayang sama Albert. Mami Albert dekat dengan mami
saya…. Kita berada di satu lingkungan gereja. Keluarga kami dekat dengan
keluarga Albert. Semua suka duka kita sama-sama tahu.”

19
Bapak dan Ibu Serani (depan) yang turut memberi sentuhan iman pada Albert.

“Setiap Albert ada keputusan besar, misalnya pindah sekolah ... masuk
kuliah ... mencari kerja ... biasalah, dia selalu mampir ke tempat saya, ngajak
diskusi, biarpun belum tentu saya bisa memberikan masukan yang pas untuk
kondisi dia sebetulnya.”
“Sekarang, saya hanya melihat dari jauh waktu dia memulai kegiatannya
soal gereja. Ya, saya turut bangga karena dia sungguh bisa jadi berkat bagi
banyak orang. Jadi, saya terkenang akan masa lalu di mana dia sangat dekat
dengan papi dan mami saya.”

• Mempraktikkan Pastor Memimpin Misa

B icara tentang bapak dan ibu serani ini, Albert memiliki kenangan yang
indah dan tetap kuat. “Yah, saya ingat di rumah bapak-ibu serani saya
berperan sebagai pastor yang memimpin misa,” kata Albert sembari tertawa
mengenang itu semua.
“Semua rangkaian acara tertulis di buku Puji Syukur. Maka sejak kecil, saya
sudah hafal semua lagu yang ada dalam Puji Syukur meski jarang ke gereja waktu
itu. Itulah bagian kecil yang kuingat tentang masa kecil di rumah orangtua
serani. Setiap tahun, saya selalu memasang pohon natal dan gua natalnya.”
“Kehadiran mereka itu menumbuhkembangkan iman saya yang tidak saya
dapatkan di keluarga saya sendiri. Setiap hari Sabtu, saya selalu berkunjung ke
rumah mereka. Digendong-gendong oleh asisten rumah tangga mereka yang
sudah puluhan tahun bekerja bahkan sampai sekarang, kupanggil Mbakku.”

20
“Di sana, saya suka minta dibuatkan makanan mi instan, lalu mulai acting
jadi pastor. Lalu sore, ketika papa serani pulang mengajar, selalu senang dengan
kehadiran saya. Dia menggendong dan mencium saya kemudian mengajak
saya ngobrol. Kadang saya pijit kakinya di bangku. Begitu juga dengan mama
serani, banyak bercerita tentang iman kepada saya.”
“Bagi saya, mereka menjalankan peran dan tugas secara maksimal sebagai
orangtua serani dengan penuh tanggung jawab.”

• Sibuk, tetapi Perhatian

B apak dan ibu serani teladan, yang mungkin juga bisa menjadi contoh
bagi banyak pihak lain. Di tengah kesibukan, selalu bersedia hadir untuk
mengisi relung hati Albert. Bapak serani bukan tidak sibuk.
Selain sebagai guru, “Ayah saya menyambi beberapa pekerjaan. Selain di
Kanisius ketika masih hidup, beliau membantu karya pendidikan di Keuskupan
Agung Jakarta (KAJ), termasuk merintis pendirian sekolah-sekolah milik
Yayasan Strada di pinggiran Jakarta, sebelum wafat pada 17 Juni 2012. Bahkan,
pada masa tuanya bapak serani membantu di Majelis Pendidikan Katolik
(MPK) KAJ,” kata Esti.
“Ibu saya juga pernah menjadi penyiar agama Katolik di Radio P2SC
dengan dukungan bahan-bahan dari Sanggar Prathivi sampai kemudian
terbentuk Komsos KAJ,” lanjut Esti.
Bapak-ibu serani telah turut mengembangkan iman Albert di tengah
kesibukan orangtua kandung. “Hal yang saya ingat, mama melaksanakan
kewajiban untuk membaptiskan saya. Komuni pertama saya berlangsung di
sekolah. Lalu saya menerima Sakramen Krisma setelah papa jadi Katolik.”
Sebelumnya ayah Albert penganut Buddha.
“Keluarga saya tidak setiap minggu ke gereja, paling saat Natal dan Paskah
saja. Sharing iman, ya, ada, tetapi tidak banyak karena mama sangat sibuk
mengurus rumah tangga dari dulu.”
“Saya tidak jauh dari bapak dan ibu kandung, hanya mereka sibuk. Akan
tetapi, karena sibuk bisa juga menjadi jauh, he-he-he.”

21
3. Guru Agama SMA 68 yang Menyentuh

M enjadi murid beragama Katolik di sekolah negeri otomatis masuk


kelompok minoritas. Jumlah siswa sedikit dan tidak gebyar-gebyar dari
segi kuantitas. Namun, meski sedikit sering mengesankan. Dan ada sebutan
“small is beautifull”. Karena sedikit para siswa Katolik dari berbagai kelas
bergabung di dalam satu ruangan. Karena murid sedikit, guru yang mengajar
pun sedikit, bahkan bisa hanya satu orang.
Di SMA Negeri 68, Jakarta Pusat, Albert berada dalam kelompok minoritas
itu di kelas pelajaran agama. Selama tiga tahun dia diajari seorang guru saja.
Dialah guru yang akrab dipanggil oleh Albert dan kawan-kawan dengan Pak
Padma. Rupanya Pak Padma ini memberi kenangan yang luar biasa. Bukan
saja soal pelajaran, melainkan ada kesan yang tertancap dalam.
Kesan mereka yang tak terlupakan itu terlihat dari torehan pena Albert.
Pada 13 September 2010 Albert menuliskan kisah dengan guru agama di
Facebook berjudul “Kisah di SMA 68”.

13 September silam bersama pahlawan iman kami di


SMAN 68 Jakarta.

Kisah kasih di sekolah ... Tiada masa paling indah selain


masa-masa di sekolah ...

3 tahun lamanya aku menghabiskan masa-masa


sekolahku di SMAN 68 Jakarta ...

Itulah masa-masa terakhirku bersekolah sebelum


akhirnya aku melangkah menuju pendidikan tinggi …

Banyak sekali kenanganku akan sekolah yang


mendidik aku.

Kisah kasih di sekolah … Bukan hanya kisah cinta semata


... Bukan cinta kawula muda …

22
Albert merasakan cinta pada Tuhan tumbuh dalam selama di SMA 68 ini.
Ada cinta yang baginya adalah hal yang memiliki nilai lebih.

Terlebih cintaku akan Tuhan yang tumbuh di dalamnya.


... SMA Negeri 68 Jakarta memiliki komunitas Katolik di
dalamnya... Jumlah kami hanya 33 orang dari sekitar
900 siswa.

Dan hanya ada 1 guru Katolik di antara sekitar 70 guru ...

Dalam waktu 3 tahun itu, selama 1 tahun aku dipercaya


menjadi Ketua Komunitas Katolik, dikenal dengan Seksi
Rohani Katolik (SRK), di samping Seksi Rohani Protestan
(SRP), dan Rohani Islam (Rohis) ...

Menjadi Katolik di kala itu adalah suatu peluang, yakni


bagaimana kami bisa menjadi terang …

Kami menjadi minoritas kreatif ... Meski kecil, bukan


kami ikut arus mayoritas … Kami tampil beda ... Kegiatan
belajar-mengajar agama biasa dilakukan di sebuah
laboratorium Kimia.

Kami tidak memiliki ruangan khusus untuk kami


berkumpul, lain halnya dengan saudara-saudara
yang lain …

Tapi di tengah segala keterbatasan yang ada, kami tetap


setia berhimpun setiap hari Jumat di
laboratorium tersebut....

Dalam kondisi itu pula, hadir satu sosok yang sungguh


menguatkan kami, Fransiskus Johanes Padmanaba ...

Dialah guru agama kami yang selalu setia menemani


kami selama 3 tahun.... Sosoknya yang tidak lagi muda,
71 tahun. Kulitnya yang telah keriput, jalannya yang
tidak lagi cepat.... Tapi aku melihat semangat yang terus
membara dalam dirinya …

23
Beliaulah pahlawan iman kami di SMAN 68 Jakarta ...
Beliaulah yang berusaha menanamkan dan memelihara
iman Katolik ...

Beliau hanya pegawai honorer di tengah kondisi ekonomi


yang memprihatinkan …

Tapi tidak pernah ada kata mengeluh yang keluar dari


bibirnya.. Tapi kami mengerti apa yang beliau rasakan ...

Father Padma ... Kami begitu mencintai dan


mengagumimu ...

Pada satu tanggal, 13 September waktu di SMA itu, kami


merayakan hari Ulang tahunnya yang ke-71 ...

Kami hanya menyiapkan sebuah kue ulang tahun dan


bingkai foto ucapan selamat ulang tahun ...

Jumat siang itu, pukul 12.00 kami semua berkumpul di


laboratorium Kimia ...

Beliau datang dan kami langsung bernyanyi ... Waktu itu


aku memimpin doa sebelum akhirnya beliau meniup lilin
di kue ulang tahunnya ...

Saat itu aku terharu luar biasa ... Di masa senjanya,


kami bisa memberikan sebuah kebahagiaan kecil dan
senyuman di wajahnya ...

Hanya itu yang bisa kami berikan sebagai tanda balas


jasa kami ...

30 Januari pada tahun berikutnya, beliau pun pamit pada


kami untuk kembali ke rumah yang telah Tuhan sediakan
baginya ...

Kami kehilangan ... Sungguh luar biasa kesedihan yang


kami rasakan waktu itu ...

24
Pada acara pemakaman itu, kami dibuat terharu luar
biasa ...

Salah satu anak beliau mengatakan, “Terima kasih


untuk para anak didik Bapak yang selalu memperhatikan
Bapak, terutama ketika ulang tahun Bapak dirayakan.
Kami bahkan tidak ingat ulang tahun Bapak dan kami
tidak pernah merayakannya. Tapi ketika itu, Bapak
pulang ke rumah dan dengan bahagia mengatakan bahwa
muridnya memberikan bingkai ini. Pada saat itulah kami
baru menyadari bahwa hari itu adalah hari ulang tahun
Bapak”.

Demikian anak pak guru itu bertutur dan membuat para muridnya
terenyuh luar biasa hingga ada yang menangis tersedu-sedu.
Albert melanjutkan…

Saat itu bingkai tersebut menjadi bingkai untuk foto


Beliau pada hari kepergiannya, dengan kertas ucapan
kami di belakangnya ...

Hanya sebuah bingkai dengan ucapan selamat ulang


tahun... Bingkai itu menunjukkan betapa berartinya kami
bagi beliau…

Terima kasih Pak Padma... Tiada kata yang lebih pantas


kami ucapkan selain terima kasih ...

Terima kasih atas pengabdianmu pada Gereja Allah,


Gereja yang Hidup, yaitu kami ...

Kini, hanya doa ini yang kami ucapkan untuk


mengingatmu...

Albert menuliskan ini sembari berterima kasih kepada rekan sekelasnya


yang memungkinkan kisah indah ini terjadi. “Terima kasih juga untuk
persahabatan kita selama 3 tahun,” kata para sahabatnya. Albert pun sejak itu
mencanangkan diri menjadi Katolik yang lebih baik lagi.

25
Keharuan pada guru agama tidak hanya milik Albert. Para sahabatnya
merasakan hal serupa. Ini terlihat dari komentar para sahabat atas tulisan
Albert.

Arichi Christika:
Love it very much, man gw nangis pas baca ini, love u pak padma, thx Bert.

Maria Violetta Louliana:


Albertuss! Gilaa gw nangis lho bert.:), gilaa ya! Beliau emang patut banget dicontoh,
pengabdian sampai akhir hayat! Gw masih inget banget 2 hari sebelum meninggal masih
ketemu dan beliau masih ngajar. Meskipun gw kadang sebel, klo ulangan, essay gw pasti
ga pernah bener semua ha-ha, padahal uda nulis panjang lebar he-he. Kiss and huge for
Pak Padma.

Avinia Permata Sari:


Eh gw bwneran nangis nih, aduh, sediihhh. Iya, gw ingat waktu kitat ngrayain ulang
taunnya. Beliau seneng banget kliatan dari mukanya… Love you Pak Padma… Pasti Pak
Padma dapat tampat yang layak di sisi Bapa.

Albert merespons para sahabatnya dengan menuliskan,


I love you all … Gw juga nangis pas nulisnya …

Wimastio Aryo Baskoro:


Gw terharu bacanya ... Speechless… Ini udah sembab… Pak Padma, you are the best
teacher we’ve ever had, and you are the spirit and the light for us... Kami yakin, Bapak
pasti udah di Surga sekarang, dan sekarang tinggal melihat anak didik Bapak sukses.
Kalo inget Pak Padma, gw pasti inget eyang gw… hiks…
Yang paling bikin terharu tuh, ungkapan trima kasih anaknya Pak Padma, gw baru tau,
dan gw gak bsa bayangin senyumnya Pak Padma sampe rumah waktu dapet surprise
dari kita…

Alexander Christian Girsang:


Huhu… Keren banget notes mu Tus,,, sedih ya ... emang kita baru ngerasain betapa
berartinya seseorang bagi kita ketika dia udah ngga ada… Keep faith in Jesus Bro! Miss
you!

Bagi para siswa Katolik SMA 68, almarhum Fransiskus Johanes Padmanaba
merupakan pahlawan dan pejuang iman. “Sosok bersahaja, penuh kasih,
dan seorang guru yang kami anggap seperti seorang bapak atau pun eyang

26
bagi kami. … Sudah tidak muda lagi kala itu, tetapi semangat yang membara
masih terlihat dalam dirinya, seorang guru honorer yang selalu menemani
kami selama 3 tahun di SMA, dan senantiasa berusaha mengajarkan pokok-
pokok iman Kristiani, berusaha menanamkannya dalam diri kami para anak
didiknya,” kata sekelas Albert, Wimastio Aryo Baskoro.

• Lingkungan yang Menyenangkan

P erkembangan iman juga tergantung pada keadaan lingkungan. Di samping


guru yang baik, suasana kekerabatan para siswa Katolik di SMA 68 juga
pernah singgah di hati Albert, demikian juga bagi para kolega SMA-nya. Saat
mulai masuk di awal sekolah di SMA itu, “Kami semua yang beragama Katolik
diajak oleh para kakak kelas dari Seksi Rohani Katolik 68 (SRK 68) untuk doa
bersama di ruang laboratorium Kimia,” kata Wimastio.
“Jumlahnya mungkin kurang dari 35 orang saat itu. Walau sedikit, tapi
lebih dari cukup bagi saya untuk dapat menganggap mereka sebagai sahabat-
sahabat dan merasakan kasih keluarga di dalam Kristus di sekolah. Masuk
sekolah negeri, menjadi tantangan tersendiri bagi saya secara pribadi.
Sebelumnya, saya bersekolah di salah satu sekolah swasta Katolik di Bekasi.
Masuk ke sekolah negeri membuat saya belajar akan banyak hal, terutama
dalam hal iman, dan keberagaman. Dan yang paling penting adalah toleransi
dan kedewasaan dalam menyikapi berbagai perbedaan,” lanjut Wimastio.
Menjalani itu semua tentu membutuhkan proses dan adaptasi. “Saya tidak
menyangka proses adaptasi ini tidaklah sulit. Saya bersyukur kepada Tuhan
karena memiliki keluarga SRK 68 dan sahabat-sahabat yang luar biasa dalam
Kristus, seperti Albert, Santi yang akrab saya panggil Mami, Gunawan, Nia,
Arichi, Loli, Kris, dan Isa. Bahkan, beberapa dari kami, termasuk Albert dan
saya, selalu berada dalam satu kelas yang sama selama 3 tahun di jurusan IPA.
Ini karena para siswa Katolik di sekolah saya digabung ke dalam satu kelas
bersama teman-teman yang lain. Mereka semua adalah sahabat-sahabat
seiman saya, sahabat-sahabat tempat saya bercerita, sahabat-sahabat yang
saling menguatkan dan selalu ada pada saat kami menghabiskan masa-masa
SMA yang penuh kenangan, penuh perjuangan dan penuh gejolak dibumbui
tawa, canda, sedih, dan suka kami rasakan bersama kala itu.”
“Karena kami tidak memiliki ruangan khusus kala itu, semua kegiatan
kami berpusat di laboratorium, mulai dari kegiatan belajar hingga berkumpul
setiap Jumat untuk berdoa sampai dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Kami
juga tidak pernah lupa untuk Misa Jumat Pertama, yang rutin kami laksanakan

27
bersama-sama di Kapel Sint Carolus yang letaknya persis di depan sekolah.
Kami selalu ke sana bersama-sama pada hari Jumat pertama. Komunitas dan
organisasi ini sungguh telah mengajarkan banyak hal kepada saya, hingga
membentuk iman saya hingga sekarang,” lanjut Wimastio.
Perasaan ini dirasakan serupa oleh rekan-rekan Wimastio yang lain. Ini
juga menjadi kenangan mendalam bagi Albert. Bersekolah di SMA 68 bukan
lagi sekadar sarana untuk pendalaman akademis, melainkan juga bagian dari
mata rantai pengembangan iman.

• Para Sahabat Sudah Melihat Keistimewaan Albert

G uru yang baik, lingkungan baik. Demikian kesan para siswa. Akan
tetapi, rupanya Albert sendiri adalah juga salah satu katalis dalam
pengembangan iman dalam kebersamaan itu. Albert adalah siswa dengan
devosi tinggi pada imannya secara lahirian dan bertengger di lingkungan dan
kerabat seiman yang baik.
Mewakili rekannya, Wimastio memotret profil Albert sebagai siswa
Katolik yang diandalkan di SMA 68 itu lewat catatan berikut ini.

Saya secara pribadi mengenal sosok Albertus Gregory


Tan, akrab dipanggil Albert atau Bertus semenjak tahun
2005. Itu saat kami mulai duduk di bangku SMA 68.
Saya masih ingat kala itu tidak ada seorang pun yang
saya kenal. Saya masih ingat duduk di bangku baris paling
belakang sementara Albert duduk di bangku paling depan.
Saat itu, saya bergumam, wah, dia pasti anak yang rajin.

Pas istirahat, saya berkenalan pertama kali dengan


Albert, yakni saat kami semua yang beragama Katolik
diajak berdoa bersama di ruang laboratorium Kimia. Saat
inilah saya mulai mengenal sosok seorang Albert.

Bagi saya, Albert adalah sosok yang sangat religius,


pintar, dan cermin pribadi yang baik dan bersahaja serta
dapat diandalkan. Sehingga karena itu ia terpilih menjadi
Ketua SRK 68 pada saat itu. Sebagai pemimpin, ia adalah
sosok yang menginspirasi. Saya secara pribadi kagum
dengan Albert yang begitu religius dan berdedikasi dalam

28
memimpin Seksi Rohani Katolik 68 saat itu. Ia aktif
dalam Persink (Perkumpulan Siswa Siswi Negeri Katolik
Se-Keuskupan Agung Jakarta). Kami pernah ikut retret
bersama yang diadakan oleh Persink Jakarta.

Oh ya, pernah suatu ketika, kami, saya, Santi, dan Albert


ikut lomba debat dan diskusi Agama Katolik se-SMAN
DKI Jakarta di Jakarta Timur mewakili sekolah kami.
Saat lomba kala itu, saya melihat sosok Albert sebagai
pribadi yang penuh pengetahuan akan Iman dan dapat
menjelaskan banyak hal dengan baik, hingga kami bisa
memperoleh peringkat ketiga. Prestasi kami yang sangat
membanggakan saat itu.

Albert juga merupakan pribadi yang humoris, sahabat


yang baik, setia kawan, sahabat yang sangat peduli
terhadap sahabat dan teman-temannya yang lain.
Bahkan, adalah sahabat yang peduli terhadap orang lain,
termasuk guru kami, satu-satunya guru Katolik SMAN
68 di saat itu.

Begitulah sosok seorang Albert yang sangat peduli


terhadap teman-temannya, orang-orang di sekitarnya,
dan juga merupakan pribadi yang peka di mata saya
semenjak saya mengenal dia hingga saat ini. Kepekaannya
dan kepeduliannya itulah yang membawa Albert
menjadi perpanjangan tangan Tuhan serta pembawa
berkat dari Tuhan untuk membantu, mendirikan, dan
memperbaiki gereja-gereja-Nya yang kudus di seluruh
penjuru Nusantara melalui Program Peduli Gereja Katolik
(PPGK).

Imannya teguh, ada semangat yang pantang menyerah,


punya dedikasi dan perjuangan yang menjadi inspirasi
bagi saya. Tentu saya juga berharap dapat membawa
inspirasi bagi para Orang Muda Katolik saat ini untuk
bergerak dan melibatkan diri dalam karya nyata sosial,
menjadi berkat di mana pun mereka berada.
Beberapa waktu lalu, Albert pernah berkata kepada

29
saya, dia juga sangat ingin membantu gereja saya,
yaitu Gereja Santo Leo Agung, untuk dapat memiliki
bangunan fisik. Ini karena paroki kami yang terletak di
daerah Jatiwaringin hanya paroki tenda tanpa bangunan
fisik. Setelah bertahun-tahun akhirnya kami pun bisa
memperoleh izin mendirikan bangunan pada tahun 2016
dan Albert bersedia membantu melalui PPGK.

Puji Tuhan, saya merasa sangat senang karena Albert


mau membantu…. Beberapa waktu lalu, sebelum saya
berangkat untuk belajar S-2 di Ingris, kami pernah
bertemu dengan Ketua Panitia Pembangunan Gereja
St. Leo Agung untuk mendiskusikan hal ini sehingga
pembangunan gereja ini dapat segera terealisasi dengan
baik.

Ternyata benar anggapan saya dulu itu, sewaktu pertama


kali melihat dia pada hari masuk sekolah bahwa dia
pasti anak yang rajin. Kini terbukti, Albert adalah
pemuda yang rajin dan setia membantu membangun dan
mendirikan Rumah Tuhan.

Dan tentu, bersahabat dengan Albert serta teman-teman


SRK lain, seperti, Santi, Gunawan, Nia, Loli, Arichi,
Isa, dan Kris, hingga kini membawa perasaan penuh
syukur karena telah mengenal mereka. Persahabatan
yang terjalin dalam nama Kristus hingga sekarang terus
membawa kerinduan khusus bagi saya. Ingin rasanya
mengulang kembali masa-masa indah SMA dulu, penuh
kenangan yang berkesan.

Perjuangan dalam Iman, sikap saling mengasihi dan


semangat saling mendukung satu sama lain. Begitu
banyak pelajaran hidup dan Iman saya dapatkan dari
mereka, terutama Albert yang terus menginspirasi saya
hingga saat ini. Saya bangga punya sahabat sepertimu,
sobat. Teruskan perjuanganmu dan selalulah menjadi
garam dan terang yang benderang, tak pernah padam di
mana pun kamu berada! Tuhan memberkati!

30
4. Hobi Memotret Gereja

J angan melihat gereja sebab jika melihatnya pikiran Albert langsung


menerawang ke mana-mana. Dia tidak melihat bangunan fisik semata. Dia
akan melihat para malaikat menghinggapi lingkungan gereja. Dia terbawa
pada Tuhan. Apalagi, menurut kepercayaan Kristiani, gereja adalah rumah
bagi Tuhan.
Angannya melayang pada keagungan, hidup yang indah, dan nyamannya
nirwana. Dia tidak bisa melihat langsung para malaikat, tetapi dia kuat
merasakan itu di dalam batinnya. Ada yang memesona baginya disertai
perasaan kasih yang penuh. Lewat fisik bangunan gereja, dia terbuai hal-
hal ilahi. Karena itu, setiap kali berkunjung ke sebuah daerah, dia pasti
selalu menanyakan di mana ada gereja. Jika tidak ada tempat bertanya,
pandangannya akan mengarah ke setiap sudut tempat, kalau-kalau ada gereja.
Tidak akan sulit baginya menemukan gereja sebab Albert punya sahabat
di mana saja. Bisa dibilang, sahabatnya ada di seluruh dunia dan kebanyakan
dia temukan lewat media sosial.
“Albertus Gregory pertama kali saya kenal tahun 2001 lewat Facebook,”
kata Albertus Wibisono, kelahiran Surabaya yang kini tinggal di Jakarta.
“Kami pertama kali bertemu langsung di Surabaya, tepatnya di Katedral
Surabaya. Waktu itu, Albert bersama rekannya dan rekan saya juga, Anna
dan Chicca, datang berkunjung. Kami berangkat menuju Katedral. Albertus
memotret rekannya dengan lokasi Katedral. Kali ini untuk kepentingan
katekese liturgi di Facebook di laman Gereja Katolik,” kata Albertus Wibisono.
Pemotretan ini dikatakan untuk tujuan katekese liturgi lewat media
sosial. Akan tetapi, Albert juga sedang memenuhi hobi memotret gereja dan
menyebarkannya di media sosial. Dia ingin menularkan semangat cinta gereja
dengan cara uniknya. Foto yang diambil itu memang memukau banyak orang.
“Saya dan seorang rekan menjadi komentator dan pengarah gaya.
Kemudian foto itu menjadi viral. Entah sudah berapa ratus ribu orang
melihatnya di berbagai media sosial,” kata Albertus Wibisono, kelahiran 1967.
Memotret dan memotret gereja. Itulah kesukaannya yang luar biasa.
Jarang orang memberi perhatian begitu besar pada pemotretan dan dengan
niat khusus. Sebab itu, di lokasi lain pun dia akan mengajak para sahabat
menemani.
Spy Mandrasari, salah seorang umat Paroki Pugeran, Yogyakarta, juga
memiliki kenangan soal potret-memotret gereja ini. “Pertama kali mengenal
dan bertemu Albert pada Januari 2011. Dia datang ke Yogyakarta. Saya pun

31
dengan senang hati menawarkan diri mengantarnya berkeliling. Tujuannya
untuk mengambil dokumentasi berupa foto-foto gereja di Yogyakarta. Hari itu
dia meminta saya mengantarnya keliling ke sembilan gereja. Untuk itu, kami
jalan mulai dari pagi hingga malam,” kata Mandrasari mengenang kejadian itu.
Mandrasari menawarkan diri karena dia sedang bersama seorang yang
hobinya mengambil gambar-gambar gereja. “Ini pikiran saya. Saat tiba di
sebuah gereja, ia langsung mengeluarkan kamera saku. Seketika juga saya
melihat ia ‘menyala’. Gereja jelas terlihat sebagai passion dalam hidupnya.”
“Caranya memandang gereja agak beda dari orang kebanyakan. Mimik
dan gesturnya menandakan bahwa ia tidak hanya melihat fisik gereja. Saat
dia memegang kamera untuk mengambil foto, wajahnya berubah ... yang
tadinya seperti anak kecil nan manja, seketika berubah, terlihat mantap dan
matang. Setelah memahami ini, sejak itu juga saya terus berkomunikasi dan
semakin mengenalnya. Pertumbuhan semangat terlihat semakin berkobar.
Di permukaan, ia seperti anak muda yang lain pada umumnya, tetapi dia
berbeda. Ada niat dan tekad yang kuat soal gereja.”
“Setelah pertemuan pertama itu, saya beberapa kali melakukan perjalanan
bersama Albert. Kami mencari gereja-gereja ke daerah yang belum pernah
kami datangi. Kadang saya merasa, Albert ini dilengkapi sinyal. Dia seperti
memiliki radar sehingga lokasi gereja mudah didapat. Penciumannya
tajam seperti hewan berindera kuat di alam bebas. Dia benar-benar punya
kemampuan mencium lokasi gereja terdekat.”
“Dia juga tidak mengenal lelah. Padahal, tidak jarang dia melakukan
perjalanan di sela-sela waktu bekerja untuk kantor. Ampun deh, saya langsung
ke tukang pijat sangking capeknya setiap kali menemaninya. Dia? Seperti tak
pernah mengenal lelah, ia tetap kelihatan segar.”
“Demi gereja, ia ‘terbang’ ke sejumlah daerah terpencil. Dari kejauhan
mungkin terkesan hobi ini sangat menyenangkan. Orang-orang mungkin
melihatnya keren. Akan tetapi, dari dekat, saya melihat seorang adik yang
gemetar dan cemas luar biasa. Ini terutama ketika naik pesawat saat akan
lepas landas dan mendarat. Saya sih ketawa ngakak di sebelahnya ketika tahu
ini. Dia fobia ‘terbang’,”
“Demikian pula dalam speed boat yang terayun ombak, dia langsung
pegangan ke tiang. Dia terlihat takut. Aku lihat dia sambil mengelus dada
dan berdoa sekaligus. Ini menggemaskan. Dia mengalahkan ketakutan demi
passion-nya.”
Ada beberapa hal yang ia cemaskan dan takutkan sebagai manusia. Akan
tetapi, itu semua ia hadapi satu per satu.
Dalam tugasnya ini tidak jarang ia kelelahan dan tertidur lelap di mobil saat

32
Gereja Stasi Rawakolang dengan salib yang sudah oleng. (dokumentasi pribadi).

perjalanan menuju daerah yang tidak mudah dijangkau. Hanya dia yang tahu
bagaimana rasanya. “Satu hal yang hingga sekarang masih jadi kebiasaannya
adalah mengopeki jari-jari tangannya hingga berdarah tanpa sadar. Uniknya, dia
merasa itu wajar saja. Semoga kebiasaannya yang satu ini bisa segera berakhir.”
“Ada sebuah perjalanan bersamanya yang jelas berkesan. Ia nekat
mengambil gambar beberapa gereja di Flores ke arah Danau Kalimutu. Dia
tidak mengenal medan di Flores, tetapi nekat mengendarai sepeda motor
sendiri, hanya ditemani seorang pastor di belakangnya. Dia akhirnya jatuh
di jalan berpasir hingga darah dari pelipisnya keluar. Badan sepeda motor,
dari spion hingga dashboard belepotan darah, tetapi ia tetap saja melanjutkan
perjalanan tanpa sedikit pun mengeluh.”

33
“Salahnya sendiri sih. Disuruh gabung di mobil enggak mau. Namun,
itulah Albert, anak muda dengan niat dan kenekatannya yang luar biasa. Ia
mengikuti kata hatinya meski dengan kecemasan dan keraguan pada dirinya.
Ia percaya pada satu kekuatan yang mendorongnya dan selalu menyertainya.”
“Anak kecil polos dan menggemaskan ini mengagumi bangunan gereja. Dia
sekarang telah dan akan terus bertumbuh serta ‘menyala’. “Maju terus bapak
‘Uskup Nusantara’!”
Andreas Erick A. Lega juga berkisah tentang hobi Albert ini. “Saya ingat,
pada 28 September 2009 saya ke Malang untuk menjemputnya. Malamnya
kami ke Surabaya dan singgah di Paroki Hati Kudus Yesus, Surabaya. Esoknya
kami singgah di beberapa gereja. Dia bukan hanya memotret gereja-gereja
tetapi juga mengumpulkan jadwal-jadwal misa di setiap gereja.”
Andreas menuturkan lagi, di lain waktu Albert mengatakan ingin tau
Goa Maria Poh Sarang, Kediri. “Jadi kami bersama naik sepeda motor ke Poh
Sarang dan berdoa di sana, melihat keadaan sekitar Goa. Sesekali dia sambil
mengabadikan beberapa foto dari berbagai sudut. Kami kembali ke Surabaya
dan keesokan harinya dia saya bawa ke paroki Kelahiran Santa Perawan Maria
(Kelsapa) untuk misa dan berkenalan dengan teman-teman REKAT paroki
saat itu. … Kami bertemu lagi pada 14-17 September 2012 dan berkeliling ke
beberapa Gereja di Keuskupan Surabaya yang sebelumnya belum sempat
dikunjungi.”
Itulah Albert, menikmati ketuhanan lewat gereja. Sudah merasa demikian
dalam pikirannya dan dia tambahkan dengan menjadi perpanjangan tangan
Tuhan untuk gereja. Hobi memotret gereja ini kemudian semakin lengkap
dengan semangatnya menggalang bantuan untuk pembangunan gereja-gereja.
“Saya merasakan kesukaan memotret gereja sejak duduk di bangku SMA.
Selalu kurasakan indah saja setiap kali masuk rumah Tuhan. Seperti kata
pemazmur, ‘Sebab aku akan tinggal dalam Rumah Bapa sepanjang masa’
(Mazmur 23)”.
Mengapa demikian? “Karena secara nyata aku merasa kehadiran Tuhan di
situ dengan segala keindahan-Nya,” demikian kata Albert tentang hobinya ini.
Di semua gereja, baik itu bangunan lama maupun baru, modern atau gaya
lama, di sana Albert merasakan keindahan-Nya. Bahkan, bisa dikatakan, dia
lebih tertarik pada bangunan gereja yang usang dan berada di desa terpencil.
Namun, tentu dia menikmati bangunan gereja modern, termasuk yang
bergaya gotik, seperti di Katedral Surabaya.
Akan tetapi, hobi ini juga menjadi pengantar baginya untuk masuk ke
jaringan gereja, yang terdiri atas banyak orang. Pada diri orang-orang tersebut,
dia semakin menemukan jati diri gereja.

34
5. Pengalaman Mistis di Stasi Rawakolang
• Lari dari Rumah Malah “Bertemu” Tuhan

D iproteksi, dilindungi … Itulah perasaan Albert tentang cara orangtuanya


menjagainya sejak kecil. Tidak salah sebab mana ada orangtua yang ingin
anaknya melenceng dari jalur. Albert terbiasa dengan hal seperti itu sejak kecil.
Perkembangan usia membuatnya merasa tidak lagi eranya dia dikontrol
ketat. Pada usia 20 tahun, Albert berpikir jika terus-terusan begini, “Maka
bagaimanalah saya melihat dunia lain.”
Pada usia ini dia menghardik dirinya sebab sudah cukup matang mencari
jati diri yang lebih luas dan matang.
Tanggal 4 Agustus 2010, dia memutuskan hadir pada acara penahbisan
sebagai diakon salah satu frater yang dia anggap sebagai saudara kandung.
Ini kedua kalinya Albert berangkat ke luar Jawa tanpa permisi terlebih
dahulu kepada orangtua. Pertama, pada Juli 2010, juga mengunjungi
sahabatnya itu.
Kedua orangtuanya selalu mengingatkan Albert agar selalu memberi
tahu ke mana saja ia pergi. Ketika itu, Albert tidak permisi karena merasa
tidak yakin diizinkan jika bepergian ke luar Jakarta apalagi ke lokasi yang tak
pernah dikunjungi sebelumnya.
Akhirnya, dia pun nekat.
Meskipun ia tidak memberi tahu ke mana ia pergi, orangtuannya pun secara
kebetulan mengetahuinya. Mungkin benar apa yang selalu disampaikan oleh
orangtua bahwa apa pun yang dilakukan, anak harus selalu meminta restu
dari orangtua.
Saat itu, Albert ketahuan sedang check-in di Bandara Soekarno-Hatta,
Jakarta. Ketika itu, listrik bandara mati. Terjadi kisruh yang masuk ke
pemberitaan media massa, termasuk televisi, yang melaporkan secara
langsung (live). Masalahnya, terjadi kemacetan lalu lintas pengunjung karena
serba manual, termasuk menangani tiket jutaan penumpang.
Wajah Albert pun ikut tersorot salah satu kamera televisi. Ibunya kaget
setelah melihat ada Albert di bandara. “Kamu di bandara?” Tanya ibunya.
Albert berkelit. “Akh, enggak, di bandara mana?” Albert mencoba berkelit.
“Itu, Mama lihat wajah kamu ada di televisi.”
“Mirip aja ngkali, Mah,” kata Albert menjawab dengan prokem Jakarta.
“Mirip saja barangkali, Mama”.

35
Setelah itu, ibunya tidak bertanya lagi dan jadilah Albert terbang menuju
Kualanamu, Medan.
Albert berkilah, dia ada acara kampus yang membutuhkan waktu berhari-
hari dan kemungkinan tidak segera pulang ke rumah.
Padahal, pada Agustus 2010 itu, Albert hendak menghadiri tahbisan
diakon di Paroki Padang Sidimpuan, Keuskupan Sibolga.
“Lagi-lagi nekat,” katanya.
Sebab, pada Juli, dia juga sudah melakukan perjalanan serupa, berangkat
diam-diam ke Pematang Siantar, ketika itu menemui dua frater sahabat
dekatnya.
Pada perjalanan Agustus itu, Albert berangkat dari Jakarta menuju Medan
dan naik travel sendirian menuju Padang Sidimpuan. Ini ditempuh kira-kira
8-9 jam waktu itu.
“Saya pikir-pikir, saya ini siapa? Tapi tidak ada sedikit pun ada rasa
takut dalam diri saya berjalan di daerah orang yang tidak saya kenal. Sejak
perjumpaan saya dengan dua saudara Kapusin itu, banyak yang berubah
dalam diri saya, terutama dalam olah hidup rohani.”
Seusai tahbisan diakon itu, Albert ikut pergi ke Paroki Tarutung Bolak
tempat di mana Diakon Nicolas bertugas dengan kondisi cukup tertinggal.
Tak berhenti di situ saja, diakon langsung menjalankan tugas berstasi ke
Stasi Rawakolang. Ini perjalanan tak direncanakan.
Dari namanya, Rawakolang, mungkin sudah bisa terbayang akan rawa-
rawa, berlumpur, dan semak belukar. Memang begitu-lah adanya. Stasi ini
berjarak 30 kilometer dari pusat Paroki Tarutung Bolak.
Jalan ke stasi ini masih berupa jalan tak beraspal juga tak berfondasi batu
kerikil. Jalanan sering dilewati truk pengangkut sawit. Tidak mengherankan
jika jalannya berlubang di sana sini, sering tergenang air saat hujan. Intinya,
tidak mudah menempuh jalan menuju stasi ini.
Pada tahun 2010, Pastor Nicolas Sitanggang dan Albert mengunjungi stasi
ini, tiga hari setelah Nicolas menerima tahbisan diakonat. Stasi inilah tempat
kunjungan pastoral pertama Nicolas.
Kedatangan Albert awalnya sekadar berkunjung karena memiliki kesukaan
berkunjung lokasi perdesaan. Albert sebagai adik datang dari Jakarta pada
tahbisan diakonat dan mendampingi Nicolas karena para anggota keluarga
berhalangan hadir.
Tak dinyana, Albert tinggal lebih lama. Ikut ke Tarutung Bolak di mana
Nicolas ditugaskan dan antusias menemani Nicolas bertugas ke Rawakolang.
Sore itu, ketika hendak berangkat dari pastoran, sudah ada tanda-tanda
hujan kemungkinan akan turun karena sore itu langit terlihat dipenuhi

36
Lokasi Rawakolang ada di titik merah dalam peta. (Google Earth)

awan hitam pekat. Akan tetapi, tugas mengunjungi stasi Rawakolang harus
dijalankan karena sudah terjadwal dan umat sudah menunggu.
“Kami berangkat pada Sabtu, 7 Agustus 2010, pukul 5 sore dengan
mengendarai sepeda motor bebek, memanggul ransel berisi jubah, pakaian
ganti, dan komuni kudus yang sudah dikonsekrasi untuk dibagikan kepada
umat beriman.”
Bermisi ke stasi ini harus menginap karena jarak tempuh lama untuk
mengejar acara pada pagi hari. Pada malam itu, Nicolas dan Albert hendak
menginap di rumah voorhanger marga Situmorang.
“Dalam perjalanan menuju stasi, hujan lebat turun mengguyur kami,” kata
Albert.
Di tengah jalan, alam semakin gelap karena sudah beranjak malam. Hujan
disertai kabut menutupi langit dan lokasi hitam pekat. Hujan deras begitu
dahsyat mirip ditumpahruahkan dari langit.
Jalanan yang mereka lalui memunculkan kekhawatiran. Tidak ada sama
sekali lampu penerangan jalan di sepanjang jalan menuju stasi ini. Desa ini
memang belum dialiri listrik dari PLN.
“Arah jalan pun kami tebak-tebak saja. Kami hanya bersenjatakan cahaya
dari lampu sepeda motor yang rabun. Jalanan tanah menjadi licin karena
mirip lumpur dengan lubang-lubang bak kubangan.”
“Kami terjebak dan tidak ada pilihan, tetap melanjutkan perjalanan sebab

37
kembali ke paroki bukanlah sebuah pilihan tepat. Ketika itu, kami beberapa
kali terjebak dan terjerembap di kubangan yang sudah penuh air. Kami sudah
tidak bisa membedakan mana permukaan jalan yang rata dan berlubang
karena sudah tergenang.
“Saat hampir terjerembap, kutopang sepeda dengan kaki berpijak ke
tanah. Jangan sampai kami jatuh. Jangan sampai anak kota ini terjerembap,”
kata Nicolas.
Ada kegelisahan hingga ketakutan yang campur aduk. Mereka terhenti
sejenak untuk berdoa bersama. “Serius, ini bukan mengada-ada, kami bahkan
bernyanyi. Kami bernyanyi dengan lirik seperti ini:

‘Aku selalu bergembira melaksanakan tugasku,


walau susah walau duka tetap aku ke jalan-Nya,
aku dipanggil Tuhanku,aku dipilih Tuhanku,
untuk bawa kabar ria bagi orang miskin papa.”

“Oh my God … ternyata sekarang saya baru sadar, lagu ini memang menjadi
kenyataan bagi saya sendiri,” kata Nicolas.
“Kami juga mewujudkan doa yang indah. Kami sungguh basah kuyup.
Rumah voorhanger belum juga dekat. Saya belum pernah ke lokasi ini dan
praktis kami hanya modal bertanya saja kepada warga setempat untuk bisa
tiba di tempat tujuan!”
Dalam empat jam perjalanan itu, ada beberapa saat lamanya tak ada
seorang pun manusia kami temui di sepanjang jalan yang dilewati dalam
gelapnya malam. Rumah-rumah penduduk hampir tak ada yang kelihatan
di pinggir jalan. Kadang hanya ada satu bayangan pelita dari satu rumah di
pinggir jalan, yang kelihatan dari jauh. Ini menambah keberanian mereka
untuk terus melanjutkan perjalanan.
Setelah berkubang lumpur di jalanan dan seluruh badan basah, keduanya
akhirnya mulai dekat ke tujuan. Arah ke rumah voorhanger tidak jelas. Mereka
melihat sebuah rumah dari kejauhan ditandai dengan cahaya lampu. Nicolas
bertanya kepada seorang ibu yang ada di rumah itu.
“Inang, di dia do jabu ni Situmorang voorhanger ni Katolik Rawakolang?” (Ibu, di
mana rumahnya Situmorang yang voorhanger Katolik Rawakolang). Si ibu yang
kami tanya menjawab bahwa rumah Situmorang masih jauh. “Oo…, dao dope
amang, torushon hamu ma.”
Mereka pun meneruskan perjalanan dengan guyuran hujan yang tidak
kunjung berhenti. Makin malam, udara makin dingin dan mereka benar-benar
menggigil. Angin dan petir pun ikut menemani sepanjang perjalanan mereka.

38
Jalan menuju Stasi Rawakolang.

Di siang hari pun kurang lebih seperti inilah kondisi jalan menuju Rawakolang. Foto diambil
dari blog pribadi Dame Ambarita, seorang wartawati.

39
“Diam-diam saya salut pada Albert. Saya pada level terharu hingga
menaruh respek dan bangga. Tak ada keluhan darinya dan tak ada sedikit pun
kulihat atau kurasakan dia merasa ketakutan.”
“Justru saya yang menjadi terlalu cemas akan dirinya, sebab saya harus
bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada dirinya. Seorang anak yang baru
lepas usia belasan tahun, anak metropolitan sekarang ada bersama saya
kehujanan dalam perjalanan menuju pedalaman.”
“Saya sampai bergumam dan bermohon, ‘Oh Tuhan, jangan sampai Albert
sakit.’”
“Takut dek?” Nicolas bertanya kepada Albert demikian.
“Tidak bang, kenapa harus takut?” jawab Albert.
“Oh my God anak ini sebenarnya dari mana dan makhluk apa?” demikian
Nicolas bergumam dalam pikiran sekaligus bersyukur. Dia malah menguatkan
Nicolas dengan sendirinya.
Diakui Albert, ia menjawab demikian hanya untuk menghilangkan rasa
cemas Nicolas. “Sebenarnya saya sangat takut,” kata Albert. “Saya harus akui
bahwa saya menderita secara fisik dan batin dalam perjalanan itu. Melalui
jalanan lumpur tanpa aspal, kehujanan, melewati gelapnya hutan sawit.
Saya pasrah. Di balik itu semua saya mulai mengenal sebuah pengorbanan,
harga yang harus dibayar seorang imam untuk melayani umatnya di daerah
terpencil, yang mungkin tidak dialami oleh para imam yang melayani di kota
besar, seperti Jakarta.”
Mengapa Nicolas bertanya, apakah Albert takut. Sebab, di kegelapan itu
dia harus ditinggal sebentar karena Nicolas harus berjalan menuju rumah di
kejauhan untuk menanyakan arah jalan.
“Dek …! Kamu di sini dulu ya, jaga motor ya, biar coco tanya sebentar orang
yang di rumah sana. Gak takut, kan?”
Coco, adalah sebutan untuk orang yang dianggap abang kandung.
Albert menjawab: Enggak, co (coco), gak takut!
“Oke bentar, ya,” kata Nicolas kepada Albert.
“Hallo! Hallo! Ada orang? Arah ke rumah voorhanger Situmorang sebelah
mana, ya?” demikianlah sepanjang jalan di malam gulita itu, Nicolas mencari
arah stasi yang dia tidak pernah kunjungi.
Nicolas melanjutkan, “Dengan perlahan sepeda motor kami terus melaju
sambil terus mewaspadai jalan yang licin dan berlumpur. Kami bukan lagi
basah, dingin, tetapi kami sudah kotor karena belepotan lumpur.”
Menurut Nicolas, perjalanan mereka malam hari itu sungguh aneh. Hujan
seperti begitu setia turun mengguyur berjam-jam. “Semua isi tas basah,
termasuk bahan-bahan ibadah dari kertas hancur lebur, tidak saja basah,

40
Para umat stasi Rawakolang (dokumentasi pribadi).

41
tetapi robek sendiri kembali mendekati bubur,” kata Albert.
Hujan belum juga berhenti saat mereka bertemu satu rumah panggung di
pinggir jalan, kali ini bercahaya cukup terang.
Dari jalanan Nicolas berteriak, “Horas Amang! Di dia do jabu ni Situmorang
voorhanger Rawakolang?” Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12.00
malam.
Seorang bapak muncul dari pintu dan menjawab, “On do, amang!”
Ternyata yang mejawab adalah si pemilik rumah itu sendiri. “Hati saya
begitu gembira, bahagia, akhirnya setelah perjuangan di jalanan, kami sampai
di rumah ini.”
“Saya parkirkan sepeda motor dan spontan saya katakan, ago i amang nunga
manongnong hami!” Begitu saya mencoba beramah-tamah dengan voorhanger.
“Daong amang, dao dao ma na manongnong!”
Dijelaskan Nicolas, dalam pengertian bahasa Batak Tapanuli Tengah,
daerah asalnya, kata manongnong artinya basah kuyup. Ia memilih kata
manongnong.
Nicolas tahu bahwa arti manongnong dalam bahasa orang Samosir, daerah
asal voorhanger itu, adalah ‘tenggelam’ sedangkan basah kuyup adalah mosapan.
Itu sebabnya Situmorang menjawab, “Dao-daoma na manongnong!” 1
Belum sempat disapa, istri voorhanger langsung datang menyambut tamu
yang basah kuyup itu. Ibu itu sampai-sampai memeluk mereka bergantian
karena begitu terharu setelah melihat keadaan mereka.
“Horas ma amang, horas ma ... nunga sahat hamu tu jabu,” 2 kata ibu itu
menyambut haru dalam kehangatan jiwa.
“Pertama yang saya selamatkan dari ransel ialah Hosti Kudus,” kata
Nicolas. Ia bersyukur hosti 3 tidak ikut basah karena tersimpan dalam sibori 4
yang tertutup rapat dan dibungkus dengan kain putih yang diikat kuat supaya
tidak tumpah.
Pakaian yang ada dalam tas yang mereka bawa semua basah.
Istri voorhanger menyiapkan air panas untuk air mandi bagi keduanya.
Namun, karena tidak ada kamar mandi, mereka pun membersihkan diri
seadanya di teras rumah.
“Kami mandi seadanya di teras rumah panggung sekadar membersihkan
badan dan mencuci diri dari guyuran air hujan dan celometan lumpur.”
Demikian Nicolas melanjutkan cerita.
_____________________________________________________________________________________________________
1
Artinya, “iya, di sini.”
2
Artinya, “Selamat datang Bapak-bapak karena sudah sampai di rumah ini.”
3
Hosti adalah “Tubuh Kristus”, setelah roti dikonsekrasikan oleh pastor yang memimpin misa
4
Sibori adalah salah satu perlengkapan dalam ritual Gereja Katolik

42
Rumah Bapak Situmorang, voorhanger Stasi Rawakolang.

43
Keluarga voorhanger Situmorang memberikan pelayanan dengan tulus
terhadap Nicolas dan Albert.
Setelah mandi, persoalan berikutnya adalah pakaian buat ganti tidak ada
karena semua pakaian mereka sudah basah.
“Ya, rupanya voorhanger sudah mempersiapkan pakaian ganti berupa kaus
Yubileum Keuskupan Sibolga dengan gambar ‘Kerahiman Ilahi’ untuk Albert
dan saya memakai baju yang lain,” kata Nicolas.
Bagi Nicolas dan Albert, sambutan keluarga ini seperti menyapu segala
derita di perjalanan mereka.
Tidak lama setelah itu, mereka kemudian makan malam. Keluarga
Situmorang sudah mempersiapkan lebih dari menu yang biasa mereka santap
sehari-hari. Ada gulai ayam kampung. “Wah, dengan lahapnya kami makan
karena memang sudah sungguh lapar.”
Makan dengan umat di stasi-stasi, kata Nicolas, selalu indah dan
menyenangkan. Ada bentangan tikar dan semua duduk melingkar. Piring,
gelas dan menunya tersaji di hadapan mereka yang duduk melingkar.
Kebersamaan bersama umat sederhana, kata Nicolas, selalu berkesan.
Demikianlah pada malam itu Nicolas melukiskan pengalamannya, makan
yang berkesan bersama voorhanger Situmorang, istri, dan anak-anak mereka.
Setelah makan mereka masih mengobrol dan tertawa bersama keluarga ini.
Selesai segala acara, semua kemudian istirahat di atas tikar pandan, di lantai
rumah papan dan kepala beralaskan bantal seadanya.
Namun, sebelum tidur, Albert merasakan derita lain lagi. Malam itu Albert
makan seadanya karena ingin cepat-cepat istirahat. Maklum, sangat capek
menempuh perjalanan itu. Akan tetapi, ternyata masih ada sesi katekese
untuk umat yang datang.
Selama katekese, Albert hanya bisa menangkap suasana, tetapi tidak bisa
menyatu dengan bahasa yang dia tak mengerti, bahasa Batak.
“Itulah kali pertama saya mendengar penuh bahasa lokal yang bagi saya
seperti bahasa alien, tidak ada satu kata pun yang dapat saya pahami. Namun,
mau tidak mau saya harus menunggu sampai acara selesai. Tidak mungkin
saya tidur, sedangkan yang lain sedang mendengarkan katekese di ruang
panggung yang terbuka.”
Albert adalah pribadi yang tidak tega dan selalu mencoba menjaga suasana.
Alhasil Albert tidur hampir mendekati pukul 12.00. Begitu merebahkan
badan, ia tidak ingat lagi apa yang terjadi hingga ia bangun keesokan paginya.
“Itu karena saya dibangunkan sendirinya oleh suara ibu pemilik rumah
yang sedang latihan menyanyikan mazmur pada hari Minggu itu. Setelah
bangun, saya ingin mandi, tetapi tidak tahu di mana kamar mandi. Ternyata

44
tidak ada kamar mandi di desa situ, di mana semua orang harus mandi di
pancuran di bawah bukit tanpa sekat. Alamak. Tempat apa ini, mengerikan!
Terucap demikian dalam batin saya. Setelah mandi dengan terburu-buru saya
bersiap ke gereja. Saya tidak punya lagi pakaian karena semua masih basah.”
“Tubuh saya yang kurus waktu itu mau tidak mau harus memakai
celana panjang milik ketua stasi dan baju kaus “partai tertentu” yang sangat
kedodoran di badan saya. Aneh, sedih sekaligus lucu juga jika saya ingat lagi
kondisi waktu itu.”
Dengan pakaian melar di badan, Albert berjalan menuju gereja bersama
diakon dan umat. “Saya terus terang terkejut dengan apa yang saya lihat setiba
di lokasi gereja.”
“Gereja apa ini? Demikian saya bertanya dalam hati karena spontan
berkata, seperti kandang hewan dilihat secara fisik.”
Albert seakan tidak percaya saat matanya melihat kondisi fisik gereja itu.
Dinding bolong-bolong, lantai tanah dan terlihat bergelombang, atapnya pun
mengerikan karena terlihat lapuk.
Terbiasa bergereja di Katedral Jakarta, Albert merasakan perbedaan
bak bumi dan langit wujud fisik gereja itu. Pikiran Albert berubah total dan
drastis dalam waktu yang begitu cepat. Dengan lamunan dalam diamnya yang
diwarnai gereja tak layak dalam ukurannya, dia seperti tersihir seketika.
Sebelum acara gereja untuk umat dewasa, Nicolas lebih dulu memimpin
acara sekolah minggu untuk 12 orang anak-anak.
Albert seperti sedang mengalami sebuah peristiwa mistis. Ia bahkan
menjadi menangis ketika anak-anak sekolah minggu di gereja itu terdengar
bernyanyi. Ia mengamati raut wajah anak-anak dengan suasana riang gembira
di bawah atap gereja yang hampir roboh. Mereka tidak takut dan jijik seperti
yang saya rasakan.
“Saya merasa teralienasi, terpisah, dan sendirian dalam rasa serta lamunan
saya sendiri. Kulihat mereka penuh sukacita, bahagia dan merasakan Tuhan
yang nyata di gereja itu. Wow, saya tidak mengalami keindahan iman yang
kurasakan telah menyergap perasaan mereka saat itu. Ini kutangkap dari raut
wajah mereka yang begitu ceria dan semangat tinggi dalam Ketuhanan.”
Diakui Albert, suasana itu tak seindah yang ia rasakan saat dia ada pada
usia anak-anak sekolah minggu itu. Saat itulah ada semacam puzzle, yang
sempat hilang, dalam diri Albert seperti terisi lagi. “Masa kecil saya yang jauh
dari Tuhan seperti terisi penuh di lokasi ini.”
Albert menangis lagi diam-diam karena anak-anak itu ternyata lebih
bahagia pada masa kanak-kanak mereka, di mana Albert belum pernah
merasakannya.

45
Pastor Nikolaus Sitanggang (saat masih berstatus Frater) dengan sepeda motor yang
membawa Albert ke Stasi Rawakolang.

Nicolas memimpin misa sekolah minggu. Nicolas Sitanggang (saat itu diakon) tidak pakai alas
kaki karena sepatu masih basah. (Dokumentasi pribadi)

46
Dalam pikiran Albert ketika itu, anak-anak sekolah minggu ini yang
hidup dan tinggal di daerah terpencil, merasakan Tuhan. Ia yang datang dari
metropolitan, sangat maju, modern malah mengalami kekosongan jiwa.
“Sekaligus saya merasa tidak tahu tahu diri di hadapan Tuhan dan seolah
tidak bersyukur. Saya yang lebih beruntung dalam kehidupan, sekaligus tidak
memiliki rasa keilahian yang dalam seperti anak-anak itu.”
Albert mengakui, dirinya tidak dapat menjelaskan dengan kata-kata
lebih lanjut lagi betapa bahagianya dirinya waktu itu sembari ia tak henti
meneteskan air mata. Ia hanya larut dalam pemikiran dan kemudian seakan
melihat Tuhan di kandang domba-Nya.
“Saya juga jadi teringat saat Ia lahir dalam kemiskinan dan keterbatasan.
Inilah Yesus yang sebenarnya, yang saya imani dalam keberdosaan dan
kerapuhan manusiawi saya.”
“Dalam kondisi ini, di gereja itu saya yakin Tuhanlah telah berbicara
dengan saya,” lanjut Albert.
Pembicaraan dengan Tuhan seperti tidak terhenti saat Albert sudah
merasa terisi energi imani. Ia tersambung ke dalam pemikiran, di sini ada
iman kuat, tetapi fisik bangunannya tidak layak.
Ia terbawa lamunan bahwa iman kuat dan terasa indah agaknya jika
dikombinasikan dengan bangunannya yang indah, setidaknya lebih layak dari
yang ia lihat di gereja itu.
Ini begitu kuat dalam benak Albert ketika itu. Aneh saja, seakan ia
terpanggil untuk membangunnya. Saat Albert larut dalam permenungan itu,
ia sadar diri hanyalah seorang mahasiswa semester IV, tanpa kemampuan
ekonomi apa pun.
Sekelebat ada tanya, “Saya hendak berbuat apa Tuhan dengan rumah-Mu
ini? Saya tidak memiliki kemampuan apa pun.”
Inilah yang terjadi pada Albert dalam kunjungan ke stasi itu. Ia sibuk dengan
pemikirannya dan tak seorang pun tahu itu. Ini mirip dengan keadaan di mana
ia sibuk sendiri dengan pembicaraan mistis bersama Tuhan, sementara yang
lain larut dalam alur acara gereja pada hari Minggu itu.
“Apa yang saya alami ini mungkin terasa biasa saja atau tanpa makna
bagi umat dan imam setempat. Apalagi mereka sudah terbiasa hidup dengan
kondisi demikian. Akan tetapi, bagi saya ada sesuatu yang sangat jauh berbeda
dalam rasa.”
Albert tidak bisa menerima bahwa ada bangunan fisik gereja amat
terbelakang di tengah kemajuan pembangunan nasional. “Ada Tuhan di sana
dan bait-Nya harus indah terbangun walau saya tahu kualitas ketuhanan
begitu kuat di sana.”

47
• Albert bermazmur

S eusai sekolah minggu, umat yang sudah berkumpul langsung duduk untuk
memulai ibadat. “Mereka membawa benih-benih padi untuk diberkati,”
kata Nicolas Sitanggang. Sungguh sebuah tanda akan kuatnya keyakinan
mereka akan doa di altar gereja agar berlimpah ruah hasil panenan. Ini pun
sebuah sentuhan lain di batin yang menyaksikan, termasuk Albert.
Jumlah mereka hanya sedikit, tidak sampai 30 orang dan itulah jumlah
umat dan semua umat hadir mulai dari orang dewasa sampai anak-anak.
“Ketika itu, tiba giliran saya bermazmur. Saya menuju mimbar dengan
perasaan sangat gugup waktu itu. Terpikir karena hanya mengenakan kaus,
celana panjang, sandal, dan semuanya milik voorhanger. Sungguh tidak layak
sebenarnya penampilan saya dengan pakaian itu apalagi para umat datang
dengan pakaian seperti menghadiri pesta dan ini pesta ekaristi,” kata Albert.
Pikiran gugup membuatnya sempat tak lancar mengucapkan kalimat
mazmur. “Saya sangat malu waktu itu karena bait pertama mazmur salah
ucap. Untung saja bait selanjutnya benar.”
Selama ibadat berlangsung, Albert terus sibuk sendiri dengan lamunannya.
Ia hanya dapat menahan rasa haru dalam hati. Ada perasaan karut-marut
karena banyak hal berkecamuk dalam pikirannya.
“Saya dibesarkan dan tumbuh di Paroki Katedral Jakarta. Setiap saya
melangkah ke Katedral megah, ada ribuan umat. Saat di stasi itu, saya berkata
dalam hati, kok jadi lebih berarti buat saya berada di tempat ini.”
Setelah ibadat selesai, mereka makan siang di rumah voorhanger bersama
semua umat. Lagi-lagi ini mengagetkan Albert karena sebagai anak Jakarta
tak pernah merasakan pengalaman baru seperti ini. Ada kebersamaan dan
persaudaraan di tempat itu, meskipun Albert sering kali merasa asing berada
di tempat yang baru.”
“Tuhan, terima kasih atas pengalaman ini.” Begitu doa Albert bersyukur
atas pengalaman-pengalaman rohani yang tengah ia kecap.
Pada Minggu sore, 8 Agustus itu, Albert dan Nicolas pulang ke paroki. Akan
tetapi, ada jiwa baru, semangat baru. “Pengalaman mistis di stasi itu membawa
saya pada pengenalan akan Sang Santo Fransiskus dari Assisi.”
Perkenalan dengan dua Frater Kapusin sudah membuat Albert mulai kenal
Ordo Kapusin dan Santo Fransiskus Assisi. Santo ini sangat terkenal karena
kedinaannya. Ia meninggalkan harta dunia setelah merasakan panggilan
Tuhan.

48
“Sejak kunjungan ke stasi itu, saya berdevosi secara khusus padanya (Santo
Fransiskus).”
Pengalaman khusus dari perjalanan ke Stasi Rawakolang membawa
Albert pada semangat yang sangat tinggi untuk menyebarkan solidaritas dan
kepedulian memperbaiki rumah Tuhan yang hampir roboh itu kepada semua
temannya di Facebook.
Stasi Rawakolang sudah menambat hati Albert akan sebuah tugas mulia,
peduli pada sesama dari sebelumnya. Panggilan Tuhan, lewat para umat papa,
ternyata amat kuat menarik jiwa dan perjalanan hidupnya kelak.
Bukan saja berkesan bagi Albert yang pertama kali datang. Stasi ini pun
serupa kesannya bagi Nicolas Sitanggang saat itu. “Saya memimpin ibadat
sabda dengan ritus tambahan pemberkatan benih. Sentuhan baru juga terjadi
dalam hati. Inilah saat pertama saya memimpin ibadat sebagai diakon dengan
pemberkatan benih-benih padi,” kata Nicolas.

Albert bersama Uskup Sibolga Ludovikus Simanullang (tengah) dan Pastor Nikolaus
Sitanggang.

49
Dia pun turut larut dalam permenungan seperti Albert. “Bukankah benih
adalah awal kehidupan. Benih-benih sabda Tuhan ditaburkan di hati bila
tanah di hati subur. Bukankah akan berlipat ganda panenannya?”
Doanya pun saat ibadat itu sangat khusuk termasuk saat mendoakan
benih-benih. Maklum, umat Rawakolang hidup dari hasil pertanian. Ada
umat yang bekerja sebagai karyawan di kebun sawit, ada yang mengolah sawah
untuk menanam padi.
Ekonomi umat sangat sederhana. Hal ini bisa tergambarkan dari rumah-
rumah panggung kecil sederhana. Namun, mereka hidup gembira dan hangat
menyambut setiap kedatangan gembala mereka.
Mereka hidup berdampingan harmonis. Ini adalah para umat sederhana
yang polos dan jauh dari pengetahuan teologis dan modernitas.
Sudah cukup bagi mereka untuk dapat rezeki demi hidup sehari-hari serta
menyekolahkan anak-anak. “Akankah dia seperti Betlehemyang kecil teduh?
Apakah Gereja ini seperti Gereja San Damiano di mana Tuhan berseru kepada
Santo Fransiskus Assisi, “Anakku, perbaikilah Gereja-Ku yang nyaris roboh
ini!”
Tuhan telah menunjukkan arah hidup Albert! “Dalam benak saya
terngiang kalimat serupa. ‘Pergilah Albert ke pelosok-pelosok Nusantara, Aku
akan menunjukkan kepadamu gereja-Ku. Perbaikilah sebab nyaris roboh oleh
rayap dan jamur!” kata Nicolas.
Inilah semua berkat kunjungan ke stasi ini.

50
• Seorang Pastor pun Ikut Terharu

S tasi Rawakolang ini memang seperti memiliki daya mistis tersendiri.


Albert Simbolon yang sudah dikenal Albert sejak masih frater dan kini
secara kebetulan menjadi pastor. Uniknya, pastor ini pun sekarang termasuk
yang melayani di Stasi Rawakolang.

Pastor Albert Simbolon sedang memimpin ibadat di Stasi Rawakolang.

Pastor Albert Simbolon pun menuliskan tulisan dari hatinya.

Oh…, Daerah itu peruntukan transmigrasi. Dulu semua


penduduk manyoritas etnis Jawa dan beragama Islam.
Mereka adalah transmigran. Kemudian sebagian dari
para transmigran tidak bertahan dan menjaul lahannya
ke perantau orang Batak.

51
Nah, daerah sekitar Stasi Rawakolang itu terdiri dari 3 SP,
semacam blok. Satu SP bisa ribuan hektar luasnya. Stasi
lokasi Gereja Katolik berada di SP 2. Lokasi gereja ini lebih
jauh lagi ke dalam lingkungan transmigrasi.

Jalannya rawa-rawa dan tentu sangat berlumpur. Karena


itulah daerah ini disebut Rawakolang.

Tidak ada air bersih yang layak diminum karena payau.


Listrik juga tidak ada. Baru pada Januari 2017, aliran
listrik dari PLN mulai masuk.

Pada musim hujan sering terjadi banjir. Tak jarang


ular-ular besar keluar dari sarang.

Masyarakat daerah ini hidup sangat sederhana. Mereka


pada umumnya bertani sawit seadanya. Sebab, hanya
jenis tanaman itu yang dapat tumbuh di lahan gambut
berawa-rawa.

Rumah para warga tentunya rumah panggung. Struktur


ini bertujuan menghindari serangan binatang dan banjir.
Jarak antar-rumah berjauhan. Masing-masing dari
mereka mendirikan rumah panggung di lahan mereka
sendiri. Jarak antarrumah paling dekat 200 meter.

Kehidupan ekonomi mereka, menurut saya, sangat


pas-pasan.

Voorhanger di Stasi Rawakolang ini bermarga


Situmorang, seorang umat yang sangat baik.

Para warga yang menjadi umat stasi ini pada umumnya


para perantau dari Tomok, Samosir.

52
Sawit tak memadai untuk menopang kehidupan. Untuk
menambah penghasilan, mereka memelihara beberapa
sapi ... Ini turut menopang biaya sekolah anak-anak
mereka.
Umat stasi ini tak lebih dari 15 keluarga.

Medannya memang berat. Akan tetapi, saya tidak pernah


malas berkunjung ke sana, walau harus melewati jalan
berlumpur dan tidur seadanya di tikar beralaskan papan.

Nyamuk besar saat tidur pada malam hari sudah


merupakan hal biasa.
Saya bangga dengan mereka yang sederhana, bahkan bisa
dikatakan hidup miskin. Akan tetapi, saya menemukan
keteguhan iman di sana. Saya temukan mereka sangat
beriman dan bersedia berbagi.

Mereka sangat bersemangat dalam hidup menggereja.

Hampir dapat dipastikan, tidak akan ada yang tidak ke


gereja pada setiap hari Minggu. Semua hadir walau pastor
tidak ada. Mereka para pekerja keras dan tidak
gampang mengeluh.

Ini adalah satu hal yang kadang membuatku meneteskan


air mata karena terharu batin.

Saya tau keluarga voorhanger ini bukanlah orang kaya.


Dia butuh uang untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Semua anaknya disekolahkan di sekolah Katolik
di kota Sibolga.

Uniknya, setiap kali saya mengunjungi stasi ini, Inang


atau istri voohanger pasti memberi saya uang minimal
50.000 rupiah apabila hendak pulang ke pastoran. Ini
yang sering membuatku menangis dalam hati.

53
Mereka masih memperhatikanku walau mereka
butuh uang. Bagi saya, hanya iman yang kuatlah yang
memampukan dia melakukan hal itu.

Sikap kerja keras dia tularkan kepada semua umat.


Semua umat pun dekat dan erat tanpa ada sekat satu
sama lain.

Saya sering makan bersama mereka. Saya pernah


saksikan setiap anak diberi dekke “upa-upa” (semacam
simbol doa dan berkat) oleh orangtua masing masing.
Ini adalah bentuk dukungan supaya anak-anak mereka
mencintai ekaristi dan setia menjadi Katolik.

• Di Desa Terpencil Tuhan Sering Hadir

M eski sentra tema kisah pada bab ini adalah Stasi Rawakolang, bukan
berarti hanya stasi ini yang memesona. Adalah hal umum terjadi
percikan permenungan tentang Ketuhanan sering muncul di desa-desa
terpencil.
Mengapa bisa demikian?
Pastor Gok Lian memberikan penjelasan versi pribadinya soal ini.

Kalau kita kembali pada permulaan penciptaan, akan


tampak bahwa pada awal penciptaan, dunia terasa
indah dan sempurna.... Alam dan manusia hidup saling
berdampingan dengan penuh kasih dan pengertian.

Alam semesta mencakup tumbuhan dan hewan.


Semuanya terjagai dengan baik dan saling melindungi.

Tuhan menciptakan permulaan itu baik adanya dan itu


adalah untuk kebaikan semuanya. Dalam dunia yang
demikian rahmat Ilahi menjadi lebih terasa.

54
Dengan perkembangan dunia serta berbagai situasinya
sering kali sesama manusia dan dengan semesta menjadi
tidak atau kurang saling melindungi. Bahkan, sering
kali para makhluk bertindak sebaliknya, dengan saling
memangsa.
Tidaklah mengherankan jika dalam dunia modern situasi
surgawi begitu sulit tercipta.

Sebaliknya, di sudut-sudut dunia dan terpencil, terpelosok


atau pedalaman pada umumnya manusia masih
dalam situasi bersatu dengan alam. Karena itu, tidak
mengherankan jika karakter yang ditampilkan pasti
selalu bernuansa surgawi.

Sukacita ada di situ meski hidup dalam situasi gelap gulita


karena tidak ada lampu PLN.

Ketulusan hati dan sikap mau memberi ada juga di situ


meski kebutuhan ekonomi warga amat pas-pasan.

Pengorbanan waktu dan dirinya sendiri pun selalu siap


untuk diberikan, tentu dengan kemampuan diri seadanya
tanpa ada perasaan curiga dan takut gagal.

Di situlah nuansa surgawi tadi. Di situlah rahmat Ilahi.


Itu semua bukan karena materi dan prestasi, melainkan
karena ketulusan hati dan kebersatuan insani dan alam
semesta.

Menurut saya poinnya di situ….

Stasi Rawakolang adalah lokasi di mana Albert merasa disapa Tuhan.


Inilah yang membawanya ke dalam aksi penggalangan dana demi membantu
pembangunan gereja-gereja di desa-desa terpencil. Lebih tepatnya dan pada
umumnya merenovasi gereja-gereja yang sudah sangat usang dan ada yang
hampir roboh.

55
Pastor Gok Lian saat berkunjung ke Gua Maria Lourdes, Perancis.

56
6. Kisahku Hingga Bertemu ”Anggi Naburju”,
Albert
• Albert Diberi Marga Sitanggang
Semoga saya semakin peka menangkap isyarat dan
tanda-tanda dari Tuhan Sang Kasih dan pemberi hidup
itu di setiap perjalanan hidup ini.

• Pengantar

M engapa Albert masuk dalam kultur Batak “bermarga Sitanggang”.


Jujur, saya ingin agar buku ini biarlah murni tentang Albert dalam
melaksanakan misi atas nama-Nya. Namun, karena kisah ini menyangkut
sesuatu yang indah dalam rajutan rencana-Nya, biarlah saya kisahkan. Dengan
rendah hati, saya bertutur, semoga berkenan bagi mereka yang berkehendak
baik.

• Kisahku

S aya lahir pada tahun 1981 sebagai anak pertama di sebuah desa di
Kecamatan Barus, pantai barat Sumatera, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Nama desa saya Sigambogambo.
Ah, namanya menggambarkan lokasinya ... gambo. Artinya lumpur.
Ada kota Kuala Lumpur ibu kota Malaysia, tentunya tak sebanding dengan
desaku yang tetap statis bahkan layu. Banyak masyarakat yang hidup miskin
di balik kisah kejayaan Barus masa silam.
Sinonimlah secara etimologis antara gambo-gambo dan rawa-rawa, yang
dengannya saya teringat Desa Rawakolang. Lokasinya ada di daerah rawa-
rawa. Rawakolang menjadi sumber ungkapan hati yang kaya inspirasi.
Dari desa inilah muncul atensi bagi gereja-gereja tertinggal di pelosok
negeri ini.
Sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, anak panggoaran dan pahompu
panggoaran, dari kecil saya merasakan banyak kasih sayang dari semua anggota
keluarga. Saya memiliki empat adik perempuan dan dua adik laki-laki. Saya
memilih hidup sebagai Imam Kapusin, dua adik laki-lakiku tersebut sudah
berkeluarga, dan dua adik perempuanku juga. Tinggal dua saja dari mereka
yang belum menikah sampai cerita ini kutuliskan.

57
• Ayah, Ibu, Saya, dan Adik-adikku

A yah seorang nelayan tradisional yang tangguh, berlayar mencari ikan


sampai ke lautan Bengkulu, Aceh, dan Mentawai. Jangan bayangkan
peralatan mereka secanggih kapal feri atau kapal besar. Kapal ayah dan teman-
temannya adalah kapal kayu tradisional berukuran kecil.
Ayah mengarungi lautan, “bermain” di atas gelombang Samudra Hindia,
berteduh di pulau kecil jika ada terjangan badai. Itulah sepenggal kisah ayah,
begitu kaya tentang pengalaman di laut. Sekali sebulan bahkan pernah sampai
tiga bulan ayah baru bisa kembali ke gubuk kami beratap rumbia kala itu.
Namun, bagi kami inilah istana cinta.
Sepulang ayah dari lautan, ada kegembiraan besar bagi kami anak-anaknya,
sesuatu yang sangat indah dikenang soal masa kecil. Dengan melihat ayah
saja dari kejauhan, dengan tas yang disandangnya, hati kami melonjak sangat
girang. Kami serentak berlari menemuinya ke jalan, menyambut kedatangan
ayah tersayang dan kami rindukan.
Ayah pun rupanya begitu rindu. Dia memeluk kami semua. Dari badannya
tercium aroma pakaian berkeringat, bau ikan dan aura lautan. Tubuhnya
mungkin sudah puluhan hari tidak tersentuh air tawar. Namun, ayah
tetap harum bagi kami, yang girang dan penuh bahagia saat berada dalam
pelukannya.
Setiap kali ayah pulang, pastilah membawa untuk kami, roti-roti dan
makanan ringan. Senang sekali menikmati oleh-oleh dari ayah tercinta.
Pernah suatu waktu ayah membawa oleh-oleh khas Padang, kerupuk balado,
manis pedas, enak sekali.
Ibu tercinta kami, boru Manalu, seorang petani sawah dengan menanam
padi. Ibu orang yang tahan menderita, kuat berlama-lama di bawah terik
matahari di persawahan. Ibu, perempuan kuat yang mengandung, melahirkan,
serta membesarkan kami, tujuh putra-putrinya.
Sebagian dari masa kecil saya lalui dengan turun ke sawah, mencangkul
dan berkubang lumpur, memanen padi dengan sabit dan mengiriknya. Selain
ke sawah, sebagai anak pertama saya bertugas menjagai adik-adik, istilah kami
marorot. Saya menggendong dan membuai mereka sampai tertidur.
Jika adik sudah tertidur, senanglah hati karena saya bisa bermain atau
menanak nasi. Suatu pengalaman biasa bagi kami anak-anak kampung.
Adik-adikku yang kusayang dan kugendong ke sana kemari pada masa kecil
mereka. Saya menyayangi meski kadang memarahi mereka jika ada yang
tidak berkenan di hati.

58
Saya memandikan adik-adik, memakaikan baju, hingga bermain bersama
mereka. Apabila sudah tiba hari Minggu, saya membawa mereka bersekolah
minggu walau ayah dan ibu bukan Katolik.
Ibu seorang Protestan dan ayah belum masuk jadi anggota gereja mana
pun. Maka kisah berikut akan berlanjut.

• Oppung Boru Manullang

O ppungku (nenek) boru Manullang, ibu dari ibuku. Dia secara khusus
sangat dekat di hati. Amat sering saya bersamanya sejak kecil. Hatinya
lembut dan sangat menyayangi saya. Ada kisah tentangnya.
Ibuku bersaudara-saudari tiga orang. Ibu anak pertama. Dua adiknya,
yakni tante dan tulang (paman). Tulang meninggal pada Desember 1987
waktu saya masih kelas I sekolah dasar (SD).
Sejak tulang meninggal, nenek sering terlihat sedih hingga menangis di
tengah malam. Dia tidak bisa menerima kematian tulang, anaknya laki-laki
satu-satunya. Dia begitu dalam mengalami depresi.
Karena keadaan ini, sayalah yang paling sering tinggal bersama untuk
menemaninya. Bagiku dia sangat lembut dan murah hati, juga demikian untuk
setiap orang yang dijumpainya. Rasanya, kelemahlembutan, kemurahan hati
oppung ini memengaruhi dasar jiwaku.
Kemiskinan tidak menghambat nenek memberikan apa yang dia miliki
untuk tetangga dan keponakan-keponakannya, walau itu sekadar buah pisang
yang banyak tumbuh di sekitar rumahnya. Sebagi janda, dia tidak punya apa
pun untuk dibagikan selain sikap lemah lembut dan bersahabat bagi siapa saja.
Waktu saya duduk di kelas II SMA, oppung menerima kebahagiaan surgawi,
pergi ke rumah Bapa untuk selamanya. Kasih sayang dan kelembutannya
sangat memengaruhi hidupku.

• Sekolah Mingguku yang Pertama

T ahun 1986 adalah permulaan bisikan panggilan bagi saya. Putri bungsu
voorhanger marga Purba yang bertetangga dengan oppung mengajakku
bersekolah Minggu pada suatu hari Minggu yang cerah, “Beta sikkola minggu.” 5
Ajakan ini begitu istimewa dan saya mengikutinya. Dengan gembira saya pergi
ke gereja RK. Begitu senangnya saya dan tidak menyadari ayah ibu bukan
Katolik. Ini sesuatu yang sangat langka bahkan unik sekali. Akan tetapi, saya
_____________________________________________________________________________________________________
5
Ayo ke sekolah Minggu.

59
sama sekali tidak terganggu.
Ayah-ibu serta oppung sangat senang melihat saya ke gereja bersama teman-
teman sebaya. Bahkan, mereka jadi rutin mengingatkanku ke gereja jika hari
Minggu tiba.
Masih kuingat jelas ayat-ayat Natal pertama bagiku ”Sai ro ma Ho
Emmanuel … (Datanglah Emmanuel)”
Emmanuel, kata atau nama ini kemudian kujadikan moto tahbisanku.

• Katekis Nadeak

S aya menerima baptisan saat sudah memahami arti pembaptisan. Meski


sejak kecil sudah menjadi anak sekolah minggu yang baik, belajar agama
Katolik sejak SD, barulah saat kelas III SMP saya menerima baptisan. Ikut
saat itu juga ito-ku 6, adik perempuan. Kami berdua menerima komuni
pertama juga dari tangan imam yang rendah hati Pastor Leonhard Beikircher,
OFMCap. Sungguh suatu pengalaman yang indah dan ada kebahagiaan yang
tidak terlukiskan.
Orangtua saya barulah resmi menjadi Katolik pada tahun 2000. Selain
keinginanku yang kuat bahwa saya harus dibaptis, banyaklah jasa-jasa rohani
dan tenaga serta teladan yang baik dari Katekis Nadeak yang memungkinkan
semua ini terjadi. Demikian juga untuk kedua orangtuaku, serta seluruh umat
Paroki Pangaribuan secara umum.
Katekis Nadeak sungguh dekat di hati seluruh umat Barus dan Paroki
Pangaribuan. Jasa-jasanya membangun iman umat sungguh suatu yang
istimewa. Dengan sepeda dayung dan sepeda motor GL Max-nya dia
mengunjungi umat dan mengajar di SMP dan SMA Negeri Barus, tempat saya
mengecap pendidikan.
Katekis Nadeak yang mempersiapkan pembaptisanku dan ito-ku dengan
pengajaran-pengajaran imannya. Dialah pula guru agamaku di sekolah dan
yang mempersiapkan penerimaan sakramen krisma untukku dan kawan-
kawanku. Pendampingannya di sekolah sebagai guru agama, di stasi sebagai
katekis lapangan sungguh istimewa. Oleh sebab itu, saya boleh mengatakan
beliau itu pendamping perjalanan imanku.
Setelah tamat SMP, Pak Nadeak mengusulkan saya masuk seminari.
Namun, saat itu kiranya bukanlah waktu yang tepat untuk saya, anak pertama.
Saya tergantung pada putusan orangtua yang saat itu belum resmi menjadi
Katolik. Saya pernah merenung dan sedih sendiri, belum bisa memutuskan
_____________________________________________________________________________________________________
6
Ito adalah panggilan untuk lawan jenis (saudara ke saudari dan sebaliknya) dalam tradisi Batak.

60
apa-apa dan belum mengerti semua perkara.
Saya malah takut mengutarakan ini kepada orangtuaku, takut ditolak
karena tidak ada uang, lebih-lebih orangtua saya tidaklah begitu setuju jika
anak pertamanya menjadi pastor.
Hati saya gembira setelah menerima informasi bahwa menjadi pastor tidak
harus ke seminari menengah dulu, boleh setelah tamat SMA. Maka hatiku
berbunga dan bertekad setelah SMA masuk seminari tinggi dan menjadi calon
frater!

• Aktif Membina Sekolah Minggu dan Mudika

K emudian saya menjalankan sakramen krisma 7 dari Monsinyur Anicetus


B. Sinaga. Saat itu, saya semakin yakin saya akan perutusan menjadi
“nabi, imam, dan raja”, itulah konsep sederhanaku waktu itu. Lagipula, itulah
yang diajarkan kepada saya di sekolah dan katekese-katekese yang kuterima.
Hatiku berkobar dan ingin membuat sesuatu yang baik sebagai orang yang
dibaptis dan menerima sakramen penguatan.
Maka saya menjadi guru sekolah minggu secara penuh sejak kelas II SMA
sampai saya menyelesaikan sekolah. Sebagai pelajar sekolah tingkat atas, saya
aktif sebagai sekretaris mudika di stasiku. Banyaklah kegiatan-kegiatan rohani
yang saya ikuti yang memupuk imanku.
Dengan menjadi guru sekolah minggu dan pengurus mudika, saya menjadi
sangat sering ke paroki mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
paroki. Dengan demikian, pertemuanku dengan pastor, frater, dan diakon
semakin sering. Panggilan itu semakin bergelora di batinku saat melihat
mereka mengenakan jubah coklat dan memakai pakaian imam dan diakon
saat misa. Baik panggilan secara halus maupun kuat terus terngiang terus di
hati saya.

Menjadi Kapusin

K ehadiran imam kapusin yang sederhana di parokiku, Leonhard


Beikircher, OFMCap, turut memengaruhi panggilanku. Sekarang beliau
tinggal di Bruneck, kota di Italia dekat perbatasan dengan Austria.
Panggilan semakin kuat, saat melihat putra Bapak Nadeak, katekis andal
_____________________________________________________________________________________________________
7
Sakramen krisma adalah sakramen inisiasi dalam Katolik, selain baptis dan ekaristi, yang dilakukan terhadap
seseorang untuk menerima Roh Kudus sebagai penggenapan dari Kis. 8:16-17. Setelah menerima sakramen krisma
dan mengalami kepenuhan Roh Kudus sebagai sakramen penguatan, seseorang dapat secara penuh dan aktif
berkarya dalam gereja.

61
itu, pulang ke Barus menggunakan kalung Tau. Putra bungsu Pak Nadeak
menjalani postulan satu tahun di Mela, Sibolga. Informasi tentang kehidupan
postulan Kapusin di Mela saya terima dari dia. Pada tahun 1999, jadilah saya
diterima di postulan dengan rekomendasi khusus dari Pastor Leonhard
Beikircher, OFMCap.
Ada yang bertanya, mengapa saya tertarik menjadi Kapusin? Saya
tidak tahu. Yang jelas, saya suka melihat jubah coklat Kapusin dengan tali
pinggangnya. Bagi saya, jubah itu indah dan berkarisma. Mereka yang
memakainya terlihat sangat elegan. Pastor Leonhard dengan janggut putih
panjang seperti Yesus bagiku saat merayakan ekaristi. Sederhana saja cara
berpikir saya saat itu.
Dari kedua orangtua, ibu paling tidak rela jika saya menjadi pastor. Ayah
bersifat netral dan menyerahkannya kepada saya. Sebagai anak pertama dan
pahoppu panggoaran 8, saya sadar hal itu dan memakluminya. Namun, keinginan
saya sudah bulat, setelah lulus SMA akan mengambil keputusan sendiri. Inilah
saatnya jangan sampai kesempatan kedua gagal.
Ibu akhirnya mengapresiasi keputusanku meski dengan hati yang berat.
Dia menyadari bahwa yang menjalani kehidupanku adalah saya sendiri.
Ibu tercinta merelakanku ke postulan meski dengan tangisan, sebenarnya
pertanda setengah rela. Namun, tidak sedikit keluarga dan tetangga yang
berkumpul memberangkatkanku ke postulat. Hampir tidak ada yang tak
menangisi keberangkatanku seolah saya tidak akan kembali lagi. Mungkin
karena konsep mereka, jika menjadi pastor seolah sudah tidak ada lagi kaitan
dengan keluarga dan akan dikirimkan jauh ke negeri seberang.
Maklum dari desaku yang bertetangga dengan banyak muslim baru saya
yang pertama masuk menjadi seorang calon pastor. Maka banyak juga yang
kagum dan heran saat saya pulang pada liburan Natal dan Tahun Baru! “Boi do
hape mulak?” 9 demikian ungkapan tetangga yang saya dengar.
Selanjutnya, jiwa yang bergelora saat mendengar ajakan sekolah minggu
dari sahabat turut membuatku aktif di stasiku. Ini telah mengantarku pada
panggilan yang memuncak menjadi Kapusin. Hal itu semakin saya sadari
saat menjalani persiapan kaul kekal selama 40 hari di rumah pembinaan
Fransiskan di Nagahuta, Pematang Siantar.
Pada saat sesi retret intensif selama seminggu, kenangan masa kecil itu dan
pengalaman-pengalaman selama di stasi muncul kembali. Saya merasakan
panggilan Tuhan sudah bermula dan bertumbuh sejak itu. Saya disadarkan
soal ini pada setiap sesi permenungan pribadi.
_____________________________________________________________________________________________________
8
Nama cucu paling sulung yang juga menjadi nama panggilan untuk kakek dan neneknya.
9
“Bisa pulang juga, ya

62
Setelah semua permenungan itu, saya yakin Tuhan memanggilku.
Permohonanku untuk berkaul kekal pun diterima. Saya mengikrarkan kaul
kekal pada 15 Agustus 2009 di parokiku juga, Paroki Pangaribuan. Kemudian
saya meneruskan pendidikan untuk tahun terakhir di STFT St. Yohanes
Pematang Siantar.

• Bertemu Albert Gregory via Facebook

S elama di STFT 2003, kami secara umum sebagai “frater student” tidak
mengenal dunia internet. Namun, dengan berjalannya waktu, Facebook
adalah media sosial pertama yang saya kenal pada akhir 2009. Ini bertepatan
karena saluran internet di rumah pendidikan Kapusin, Jalan Medan, sudah
dipasang.
Akun Facebook pun saya buat. Untuk sekian lama rasanya tidak ada
yang begitu menarik di Facebook, hanya perkara tambah teman. Teman
yang ditambahkan dan menambahkan kita jadi temannya pun adalah teman
sendiri.
Dari antara saudara Kapusin waktu itu sepertinya banyak anti-Facebook.
Ada yang berpendapat, buat apa Facebook, toh kita bukan kekurangan teman.
Orang yang tidak punya temanlah yang perlu Facebook. Sempat saya berpikir
ada benarnya juga ungkapan ini.
Namun, suatu waktu, Bapa Suci Paus Benediktus XVI berpesan, hendaknya
para imam juga mengenal dunia teknologi dan media sosial demi suatu
evangelisasi baru. Surat Paus ini sangat menarik dan tepat karena tidak ada
seorang pun yang dapat menolak kehadiran media sosial dan internet yang
sudah mewarnai kehidupan modern.
Pesan Paus Benediktus ini juga disebarkan melalui Facebook dan Twitter.
Maka, akun Facebook yang hampir saya tutup kubiarkan saja dan kubuka
pada saat-saat tertentu.
Pada akhir Januari 2010, seseorang bernama Albertus Gregory meminta
pertemanan. Ini berlanjut dengan perkenalan dan sapaan. Dia agak berbeda
dengan teman-teman lain di Facebook yang cenderung mengomentari foto
atau status untuk sekadar lucu-lucuan.
Albert sungguh serius menyapa, kemudian dia sharing kepada saya tentang
bagaimana kuliah, kegiatan sehari-hari, keluarga dan cita-citanya. Saya pun
tidak tahu mengapa seorang Albert begitu memercayai saya untuk hal-hal
yang menyangkut pribadi dan keluarganya.
Akan tetapi, saya menyadari bahwa hal itu suatu rahmat. Dalam sharing-

63
nya saya tidak pernah hadir sebagai hakim melainkan sahabat yang mau
mendegarkan, termasuk keluhan-keluhannya. Hal ini membawa kami ke
dalam suasana komunikasi yang baik dan jujur. Tumbuh rasa bersaudara
antara saya dan Albert.
Sebaliknya saya memberikan peneguhan, nasihat dan mungkin pernah
memberi peringatan kepada Albert. Sekaligus saya memperkenalkan Ordo
Kapusin kepadanya, yang belum pernah dia ketahui.
Dalam penjelasan soal Kapusin itu, antara lain kusebutkan bahwa aku
bangga telah mengenal Padre Pio, satu figur besar dari Ordo Kapusin. Saya
juga menguraikan sedikit siapa itu Santo Fransiskus dari Assisi sebagai bapa
serafik kami. Saya pun memintanya mencari lebih dalam informasi tentang
sang Santo Fransiskus lewat internet.
Demikianlah seterusnya dan terjadilah keakraban walau kami belum
pernah bertemu secara langsung, hanya lewat Facebook.
Ini terjadi jauh sebelum dia terpikir untuk turut membantu pembangunan
gereja-gereja di desa-desa terpencil.
Sharing-sharing Albert yang mendalam membawa saya pada keyakinan
terkait pesan Paus Benediktus XVI bahwa media sosial bisa menjadi saluran
alternatif yang sangat efektif.
Sebagai calon imam waktu itu adalah suatu peneguhan bagi saya bahwa
internet berguna demi kebaikan. Waktu terkait Facebook memang saya
gunakan intensif ketika itu untuk menjawab pesan-pesan Albert. Saya
memutakhirkan status dengan renungan singkat.
Saat itu saya sangat yakin, kebaikan akan mengalir lewat media sosial jika
memang digunakan demi kebaikan.
Albert dan karyanya telah membuktikannya!

• Berziarah ke makam Pak Nadeak

M engingat segala jasa Pak Nadeak, muncul keinginan berziarah ke


makamnya, yang saya rencanakan pada bulan Juli 2010, setelah
menyelesaikan semua studi di STFT. Rencana ini saya sesuaikan dengan
rencana kedatangan Albert berkunjung ke Pematang Siantar.
Keinginan ini terwujud. Saya bersama Albert berziarah dan setelahnya
menginap di rumah keluarga Pak Nadeak di mana istrinya masih sehat sampai
sekarang.
Di makam kami berdoa bagi kebahagiaan jiwa Pak Nadeak dan keluarga
yang ditinggalkan. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Pak

64
Nadeak atas segala jasanya. Saya telah menyelesaikan pendidikan imamat di
STFT dan akan menerima tahbisan diakonat dalam waktu dekat.
Ucapan saya di makam Pak Nadeak waktu itu membuat istri katekis
berhati mulia itu terharu dan menangis.

• Berdoa di Kapel Pangururan

S eusai semua itu, kami menuju Gereja Katolik Pangururan mengkuti misa.
Kebetulan saat itu hari kaum muda Katolik untuk seluruh Kabupaten
Samosir. Misa berlangsung di halaman gereja bernuansa inkuluturatif itu.
Sebelum perayaan ekaristi mulai, kami berjalan-jalan melihat pastoran
Pangururan dan kapelnya. Di kapel Pangururan itu kami berdoa bersama di
hadapan altar dan di hadapan patung Hati Kudus Yesus. Di sanalah Albert
menangis dan berdoa. Saya turut terharu.
Setelah itu, saya semakin terharu atas apa yang dilakukan Albert
selanjutnya. Dia menceritakan semua kisahnya. Albert seorang pribadi yang
sangat tulus dan polos. Dia membutuhkan pribadi yang dipercayai untuk
mengerti dan menerima siapa dirinya secara jujur. Dia rupanya sedang
mencari-cari juga apa panggilan Tuhan untuknya.
Sejak itu, saya berjanji dalam hati dan janji itu kuungkapkan kepada Albert.
Saya sebagai anak pertama yang dulu mengasihi adik-adikku, tetap sebagai
anak pertama yang mengasihi mereka yang kini bertambah, yaitu Albert.
Di kapel itu hari itu juga, Albert berjanji sebagai adik yang baik dan berjuang
menggapai harapan-harapannya. Mulai saat itu saya mematrikan akan hadir
sebagai saudara tuanya yang harus menjaga, menasihati bahkan memberikan
teguran sejauh hal itu tepat demi pengembangan pribadinya.
Di kapel itu kami berdoa bersama agar Tuhan menunjukkan kasih-Nya
senantiasa di jalan panggilan saya sebagai calon diakon. Kami juga berdoa
agar Tuhan menunjukkan jalan panggilan bagi Albert, seorang mahasiswa
yang memiliki keinginan menjadi imam. Tentu tak lupa kami mendoakan
keluarganya ayah dan ibu serta semua orang yang berjasa dalam kehidupannya.
Setelah perjalanan ke Pangururan, sekitar dua hari Albert tinggal di Biara
Kapusin Jalan Medan, Pematang Siantar. Dia ingin melihat secara langsung
kehidupan saudara-saudara muda Kapusin. Ternyata, hal seperti itu sudah
pernah dia lakukan di rumah pendidikan calon-calon imam SVD di Malang.
Dia sangat serius untuk melihat dan merefleksikan apakah memang
panggilannya adalah menjadi imam atau awam religius.

65
• Kehadiran Albert dalam Tahbisan Imamatku

S aya ditahbiskan di Stasi Kristus Raja Semesta Alam, Sarudik, Paroki


Katedral, Keuskupan Sibolga pada 28 Januari 2011. Di gereja dengan
bangunan berikulturasi Batak Toba ini saya bersama tiga saudara Kapusin dan
enam saudara dari Ordo Projo menerima tahbisan imamat dari tangan Uskup
Ludovikus Simanullang OFMCap.
Moto tahbisan yang kupilih ialah “Immanuel, Allah Beserta Kita”, seperti
isi ayat-ayat Natal pertama yang kuucapkan pada tahun 1986.
Albert berangkat dari Jakarta tanggal 27 Januari 2011 menuju Medan
lalu menuju Sibolga. Tekadnya untuk hadir sungguh kuat. Albert berangkat
malam hari pada 27 Januari dengan Simpati Taxi menuju Sibolga. Semua
dilalui tanpa keluhan.
Saya merenung betapa berharganya tahbisan ini bagi Albert dan semua
umat yang merindukan imam senantiasa. Saya terharu dan semakin yakin,
Albert sungguh benar seperti yang dikatakannya, menjadi saudara yang benar
dan sungguh baik.
Pusat Bina Iman (PBI) di Biara Kapusin Mela adalah tempat retret kami
untuk persiapan tahbisan ini. Karena di PBI terdapat akomodasi yang memadai
dan cukup, semua keluarga, undangan dan para sahabat calon tertahbis juga
menginap di PBI ini, demikian juga Albert.
Adapun PBI ini terletak di puncak Bukit Mela. Di kaki bukit ini terdapat
gedung Lembaga Pengembangan Tekhnik Katolik (LPTK), sebagai gerbang
satu-satunya menuju bangunan di atas bukit, yakni Biara Kapusin Mela dan
PBI Mela-Sibolga.
Sesampainya di Mela dini hari sekitar pukul 03.00, gerbang LPTK yang
berada dekat jalan raya ini belum terbuka dan tidak ada penjaga. Albert
sendirian saja di depan gerbang LPTK yang sepi itu. Solusi terakhir adalah
melompati gerbang LPTK.
Albert melompat dan berjalan mendaki Bukit Mela yang belum dia kenal.
Dia harus melewati pekuburan Kapusin dan bangunan-bangunan pertukangan
untuk sampai ke biara Mela di ketinggian Bukit Mela.
Sungguh anak kota yang pemberani dan kuat!
Ada rasa bersalah, kala itu saya ketiduran, tidak melihat panggilan di HP
yang memang saya setel silent waktu itu. Ternyata sudah beberapa kali Albert
memanggil lewat Nokia yang saya pakai.
Walau sudah melompat pagar dia belum tahu ke mana menuju dan tidak

66
orang untuk ditanya. Saya terbangun dan melihat HP sejam setelah Albert
mengitari kompleks Mela yang berbukit.
Saya buru-buru meneleponnya dan bertanya sedang di mana. Ternyata
Albert kembali lagi ke arah pintu gerbang. Dengan cepat saya ambil sepeda
motor dan menjemputnya.
Kembali hati saya tersentuh melihat pengorbanan Albert untuk
menghadiri tahbisanku. Tak dapat disangkal bahwa Albert pasti kelelahan.
Karena kelelahan, dia sempat membaringkan diri di salah satu bangku di
taman Bukit Mela dengan gigitan nyamuk-nyamuk.
Pengorbanan seorang Albert. Betapa tulus hatimu, demikian ungkapan di
hati saat itu.
Kabar tentang Albert yang berhati baik sudah saya ceritakan kepada ayah,
ibuku, serta adik-adikku. Mereka pun sudah menunggu kedatangan Albert.
Setelah bertemu, mereka begitu gembira.
Ibuku begitu hangat dan ramahnya menyapa Albert seperti anaknya
sendiri dengan bahasa Indonesia-nya yang bercampur bahasa daerah. Albert
juga begitu senang bahwa sekarang mereka bisa bertemu dan bercerita. Di
tahbisan Albert duduk bersama keluarga saya.

• Albert “Diupa-upa”

S etelah tahbisan, misa pertama saya diadakan di stasi asal saya, 6 Februari
2011. Pesta misa pertama ini meriah. Pada misa perdana di Stasi Santa
Maria Immaculata, di kota Barus ini, Albert pun hadir bersama ayah ibuku
dan adik-adikku. Dia turut menangis bersama ibu, ayah, dan adik-adikku saat
saya menyenandungkan lagu pada acara resepsi misa pertama ini:

Diparmahan Tuhan I do parngoluanhi,


Diparorot Tuhan I do partondianki,
Tung mansai basa do Tuhan I di ngolunghi,
Asi roham di ahu Tuhan, husomba do Ho.

Ho do Rajanghu, Ho do rajanghu
Ditobus Ho do nasa dosanghi
Ho do Rajanghu, Ho do Rajanghu
Husomba Ho Tuhan husomba Ho Tuhan.

67
Tibalah waktunya pesta syukuran di rumah, 8 Februari 2011, tepat pada
hari ulang tahun ke-30 saya. Pesta berlangsung sampai 9 Februari sebagai
puncak pesta.
Orangtua dan adik-adikku serta Albert ikut di sana melebur dalam satu
keluarga. Demikian juga Pastor Albert Simbolon hadir kala itu karena dia
sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Tarutungbolak, tempat
masa diakonatku.
Malam 8 Februari 2011 setelah acara ulang tahun, acara diteruskan
dengan gondang, mambuat tua ni gondang. Albert ikut manortor dengan
seluruh keluarga tak ada bedanya dengan adik-adikku laki-laki yang lain yang
semuanya menggunakan batik kala itu.
Ikatan emosional Albert antara ibuku, ayahku, adik-adikku dan Albert
sangat terasa. Oleh sebab itu, keesokan harinya, ibu dengan sungguh bertanya
kepada Albert, anakku ma ho da, anakku do ho 10. Karena Sudah sejak awal bertemu,
Albert selalu memanggil ayahku dengan bapa dan ibuku dengan mama.
Memang begitulah Albert yang tulus dan rendah hati ini memanggil orang-
orang yang dirasakannya sebagai ayah atau ibu. Dia memanggil dengan sangat
sopan siapa pun dengan panggilan kekeluargaan. Begitulah ibu dan ayahku
serta adik-adikku jatuh hati akan kebaikan hati seorang Albert yang mau
turun ke perkampungan ke rumah kami yang kecil dan tinggal di dalamnya
dengan senang hati.
Bagi ibu dan ayahku Albert itu istimewa. Maka pada puncak pesta pada
tanggal 9 Februari itu, para keluarga yang berkumpul saat itu, melihat
kehadiran Albert dan berinisiatif manduda itak putih 11 yang dibagikan untuk
semua orang yang ada saat itu.
Acara ini menandakan ayah dan ibuku memiliki “anak” yang baru.
Kemudian Albert “diupa-upa” 12 dengan dekke 13 dan diulosi sebagai pertanda
kasih sayang kepada seorang putra yang baru.
Tibalah saatnya manortor 14 untuk menyambut keluarga Dalihan
Natolu 15, tulang atau hulahula 16, boru, dan semua unsur yang terkait dalam Adat
Batak Toba. Albert hadir sebagai anak yang penuh dari ayah dan ibuku.
Pada saat acara mangulosi (memberi pakaian adat) dari pihak tulang, tulang
menghitung kami bere 17-nya bukan lagi tujuh, melainkan delapan. Maka kami
_____________________________________________________________________________________________________
11
Manduda itak putih: Menumbuk beras putih untuk dijadikan “itak”, jenis menu Batak untuk acara adat.
10
Artinya, anakku lah kau ya, anakkunya kau.
12
Diupa-upa merupakan sebuah tradisi dalam adat Batak Toba dengan memberinya semacam sajian makanan.
13
Dekke adalah ikan (biasanya berupa ikan emas).
14
Manortor artinya menari (dalam hal ini ritual adat).
15
Dalihan Natolu (tiga tungku), simbol hierarki dalam adat Batak
16
Hula-hula, dalam acara ini merujuk pihak saudara dari ibu kandung (yang amat dihormati)
17
Bere artinya kemenakan keponakan.

68
Albert sangat peduli pada warga yang sedang sakit. Kali ini dia mengunjungi langsung keluarga
Pastor Walden Sitanggang.

Albert bersama warga di Papua.

69
semua diulosi oleh tulang, termasuk Albert. Inilah kiranya Albert pertama
diulosi secara resmi dalam adat Batak dan untuk seterusnya lihatlah betapa
Albert sudah puluhan kali diulosi pada setiap acara pemberkatan gereja yang
dibantunya di Sumatera Utara.
Tanggal 28 Desember 2012, ada pesta adat pernikahan adikku. Sungguh
istimewa pula pada saat itu, meskipun Albert tidak hadir, pihak tulang kami
yang datang mangulosi kami mempersiapkan ulos juga buat Albert. Sebab,
mereka sungguh ingat bahwa anak ayah dan ibuku bukan lagi tujuh melainkan
delapan. Hal itu juga diungkapkan oleh pihak tulang saat mandok hata 18, ulos itu
harus sampai pada Albert.
Sesuatu yang indah pula bahwa setelah Albert ‘menyandang marga
Sitanggang’ ini, dia seperti terasuki rasa kekeluargaan yang indah dan utuh.
Pernah suatu waktu Albert bercerita bahwa di salah satu stasi di Paroki
Pangururan yang pernah dia bantu, umat begitu bangga saat Albert mandok
hata.
“Cina do ahu alai Batak do anggo rohanghu, jala anakmuna do ahu alana marga
Sitanggang do ahu,” itulah kalimat langsung Albert. (Aku keturunan China
tapi hatiku ada di Batak, dan aku adalah anakmu karena saya bermarga
Sitanggang).
Begitulah umat menjadi sangat antusias dan bertepuk tangan saat
mendengar ungkapan hati seorang Albert kala itu masih berusia 21 tahun.
Demikianlah Albert masuk dalam kultur budaya Batak yang sudah sebelumnya
pun dicintainya.
Darah yang mengalir dalam diri Albert tetaplah darah Cina (Tionghoa)
dan secara eksistensial dia tetaplah Tionghoa. Dia tetap dilahirkan dari
seorang ibu berdarah Cina dan itu adalah rahmat. Namun, secara sosial dan
kekerabatan serta ikatan emosional, Albert masuk dalam satu kultur, yakni
kultur Batak, yang sangat dia hargai. Ternyata, di balik semua itu, seolah ada
tangan yang merangkai sulaman-sulaman benang untuk menghasilkan suatu
sulaman indah dalam karya seorang Albert.

• Berziarah ke Makam “Oppung”

K emudian Albert sangat ingin tahu di mana oppung-ku, ayah dari ayahku
dikuburkan. Dia juga mencari di mana oppung-ku boru Manullang yang
kisah tentangnya kuceritakan pada Albert. Saya pada awalnya tidak langsung
menuruti keinginannya ini. Namun, karena keinginannya kuat ziarah ke
_____________________________________________________________________________________________________
18
Mandok hata, semacam memberikan kata petuah.

70
makam ini pun terjadi.
Saya menyadari bahwa dalam menghormati jiwa leluhur, orang-orang
Batak ada kemiripannnya dengan orang-orang Cina. Keinginan Albert untuk
mengunjungi makam oppung yang sangat dekat padaku semasa hidupnya
menyentuh perasaanku.
Menuju pekuburan oppung doli-ku tidaklah mudah, kita harus melewati
pematang-pematang sawah dan melewati lumpur persawahan Desa
Sigambogambo serta sekali menyeberangi kali. Saya dan ibuku serta adik-
adikku dan Albert pergi berziarah ke makam itu. Di sana kami berdoa dan
memohon doa-doa dari mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kami.
Kunjungan ke makam oppung doli dari pihak ayahku selesai, saatnya kami
mengunjungi makam oppung-ku Boru Manullang dan berdoa di sana. Saat
melewati pematang-pematang sawah dan menyeberangi kali, Albert tidak
kelihatan kaku, seolah dia terbiasa berjalan di pematang-pematang sawah,
putra metropolitan yang langka dan karena itu istimewa.
Inilah yang bisa saya tuliskan tentang riwayat singkat panggilanku sampai
saya bertemu seorang pribadi yang istimewa ini, Albertus Gregory Tan. Sejuta
rasa dan subyektivitas tidak dapat dirangkai oleh untaian huruf dan kalimat.
Namun, kisah ini saya kisahkan spontan, apa adanya yang mengalir dari hati
dan pikiran dan diketik oleh tangan secara langsung tanpa ada konsep dan
guratan-guratan pulpen sebelumnya. Semua mengalir dari hati dan diketik di
atas komputer secara langsung.
Unsur subyektivitas dalam suatu tulisan tak mungkin bisa dilepaskan.
Namun, hal yang kutuliskan ini bukanlah untuk tujuan subyektivitas,
melainkan mengalir dari ketulusan dan kesungguhan. Semoga saya semakin
peka menangkap isyarat dan tanda-tanda dari Tuhan Sang Kasih dan pemberi
hidup itu di setiap perjalanan hidup ini.

• Ogahhhhh…!

S aya tidak tahu harus mengatakan apa. Hal yang jelas, saya sedang
menuliskan sosok anak muda bernama Albertus Gregory Tan. Bagi
sebagian umat Katolik Indonesia, teristimewa yang aktif di media sosial, nama
ini sudah tak asing lagi.
Mungkin orang bertanya, bagaimana Albert ini sebelum berkecimpung
di Facebook Gereja Katolik untuk Program Peduli Gereja Katolik (PPGK)?
Wataknya bagaimana?
Saya berkenalan dengannya lewat Facebook pada Maret 2010. Saat itu saya

71
seorang frater yang sedang menyusun skripsi. Albert seorang mahasiswa di
Universitas Indonesia.
Percakapan pertama kami di FB terjadi pada pukul 23.39 WIB, 31 Maret
2010. Tidak ada pembukaan, tetapi sapaan langsung.

Saya: “… Hidup ini tidak selalu mudah dek … tapi itulah hidup. Klo semuanya ok2
azz, huhhh … kurang seru dan agak sulit ambil maknanya. Keberhasilan itu hanya dapat
dipahami dan diukur jika disandingkan dengan kegagalan. Segalanya harus dijalani
sebagai loncatan menuju kesuksesan. Ok … setuju khan???”

Albert: Hehehe … yah … bener kok… klo gak gagal, kita gak tau keberhasilan itu
seperti apa. Setuju setuju! Thx abang, aku harus jadi orang yang makin kuat!!

Percakapan ini menyangkut pencarian jati diri Albert, seorang pemuda


yang sedikit bingung akan arah hidupnya.
Perbincangan lewat FB, telepon berlanjut hingga Juni 2010. Albert
berkunjung ke Pematangsiantar saat saya menjalani pendidikan sebagai calon
imam Kapusin. Itu adalah perjalanannya yang pertama keluar dari rumah. Dia
ada di daerah yang sungguh baru. Tidak ada keluarga kandung di Siantar.
Ketika itu, dia mengunjungi Nikolaus Sitanggang dan saya, ketika itu kami
masih sama-sama berstatus frater. Nikolaus adalah abang kelas saya dan lebih
dulu dikenal Albert Gregory, mungkin selisih sebulan.
Semenjak kenal, Albert tidak pernah sungkan-sungkan untuk bertutur.
Mungkin karena dia merasa diterima, cocok ngobrol. Mungkin karena nama
awal kami sama. Malah hingga kini dia tak pernah memanggil saya pastor,
tetapi abang. Demikian dia memanggil sejak berkenalan.
Pada tahun pertama kenal, dia masih kurus. Otaknya tidak kurus tentu.
Dia orang cerdas! Dia sebagai mahasiswa UI berangkat ke Jerman mengikuti
program pertukaran mahasiswa, sesuatu yang patut diacungi jempol.
Hobinya fotografi dengan menyasar gedung-gedung gereja Katolik. Hasil
jepretannya bagus, menurutku.
Namun, dia tak jarang bingung akan tujuan hidupnya, kesan saya demikian.
Perbincangan demi perbincangan berlanjut. Saya melihat Albert nyaman
sharing. Saya hargai keterbukaannya. Saya mencoba seandainya mampu
membantu pencarian jati dirinya.
Saya pernah memberinya motivasi untuk menyelesaikan kuliah, yang tak
jarang dia utarakan hendak ditinggalkan. Hingga suatu saat dia mengutarakan
ingin menjadi seorang Kapusin. Sebagai seorang Kapusin, mungkin orang
berpikir bahwa langsung bangga dengan adanya seorang Kapusin baru. Tidak!

72
Saat itu dia utarakan, saya malah sedih karena merasa pemuda ini tidak
berani berjuang menyelesaikan kuliahnya dan permasalahan hidupnya. Biara
bukan pelarian dari kebingungan, tetapi arah kepastian setelah lepas dari
permasalahan.
Nilai akademiknya pernah turun dan pernah terucap seakan “gila” dalam
hidupnya. Menanggapi hal ini di laman Facebook-nya pada 25 Maret 2010
saya menuliskan,

“Masih mending gila daripada gila-gilaan. Karena banyak


hal gila yang dilakukan orang yang gila-gilaan, justru
sebaliknya hal serupa itu tidak pernah dilakukan oleh
orang gila. Tapi saya yakin ‘de Albert gak sampe seperti
mereka itu. Syukuri apa adanya. Itu kuncinya dek.
Sukses!”

Takkan ada atau jarang orang berhasil tanpa perjuangan. Tak akan ada
orang yang berubah tanpa ada niat tulus sembari terus berjuang.
Albert lahir dari keluarga yang bisa dikatakan berkecukupan dari segi
materi. Namun, hatinya kurang terisi atau minim sentuhan afeksi. Dia relatif
sangat dekat dengan maminya walau juga tidak begitu “jauh” dengan papinya.
Namun, rasa nyaman bersama mami tampaknya telah lama terpupuk.
Mungkin kesibukan papi membuat dia tidak sungguh merasakan kasih
sayang walau saya yakin, sang papi pasti memperhatikannya dengan caranya
sendiri. Terkadang anak tidak bisa memahami perhatian sang ayah. Itulah
mungkin yang pernah dialami Albert bersama sang papi.
Saya mencoba mendengar dan mencermati sosok Albert. Sejauh
mengenalnya dia tidak pernah berkata ada dendam terhadap papi walau
papinya terkadang menuntut lebih, terutama agar nilai di sekolah atau
kampus bagus.
Saya selalu mengingatkan, supaya bersyukur atas segalanya dan
menganggapnya sebagai anugerah. Tidak baik membandingkan orangtua
sendiri dengan orang lain.
Albert mengamini itu. Terbukti saat ini mereka sekeluarga begitu kompak
walau saya belum pernah menyaksikannya secara langsung. Saya belum
berkesempatan bertemu keluarganya. Mungkin suatu saat nanti!
Perjalanan dan perjuangannya mencari identitas diri sudah mulai
menampakkan hasil. Tidak mudah tentunya!
Sekitar Agustus 2010, kami bertemu kembali. Kali ini saat dia liburan ke
Pulau Samosir. Ini ketika ada pesta Budaya Samosir yang diprakarsai Paroki

73
Pastor Albert Simbolon (tengah), salah satu yang pernah menjadi sahabat rohani Albert
(kanan).

St. Mikael Pangururan dalam bentuk temu OMK se-paroki selama 4 hari.
Dia masih sama, belum berubah, masih Albert yang gampang ngambek dan
sedikit pendiam.
Dari Samosir bersama Nikolaus Sitanggang, yang saat itu baru
menyelesaikan studi theologi di STFT St. Yohanes Pematang Siantar, berangkat
ke Sibolga. Keberangkatan ini hanya karena ingin berburu foto gereja di
Sibolga dan tentunya melihat tempat karya baru Nikolaus Sitanggang, saat itu
sebagai frater calon diakon. Saat itu aku sedang menyelesaikan sidang meja
hijau di STFT St. Yohanes Pematang Siantar.
Seakan direncanakan, saya mendapat surat dari pimpinan yang
mengatakan, saya akan menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki
St. Hilarius Tarutungbolak. Saya pun menyusul Nikolaus Sitanggang yang
telah mendapat SK satu bulan lebih awal.

74
Saya dan Nikolaus ditempatkan di Paroki yang sama, yakni Paroki St.
Hilarius Tarutungbolak, Keuskupan Sibolga. Niko sebagai calon diakon dan
saya sebagai frater yang sedang menjalani masa TOP.
Albert senang karena, menurut dia, tidak akan kesulitan jika hendak
mengunjungi kami berdua. Albert pun mengunjungi kami di Pastoran Paroki
St. Hilarius Tarutungbolak.
Pastoran kami sangat sederhana, tetapi Albert malah senang. Namun,
selama berkunjung, dia sering tidak makan. Di meja makan sering tersaji
hanya kepala ikan dan sayur sawi pahit.
Dia pernah berucap, “Kok kepala ikan melulu sih, badan ikannya di mana,
bang?”
Kisah kepala ikan ini selalu membekas dalam ingatannya hingga saat ini.
Pada kesempatan kunjungan ini Albert diajak Nikolaus berpastoral ke salah
satu stasi, yakni Stasi Rawakolang Trans.
Albert mungkin merasa mengalami sentuhan Tuhan melihat situasi
perjuangan pelayanan: jalan yang hancur, umat yang sederhana dengan
gedung gereja stasi yang tanpa pintu, jendela, dan berlantai tanah.
Foto gereja bersama umat stasi ini dia posting di laman Facebook-nya. Ini
mendapatkan respons beragam. Ada yang menuliskan, “Kok gak dibangun?
Bagaimana kalau kita menyumbang? Ini di daerah mana? Kok bisa sampai ke
sana?”.
Diskusi kami pun berlanjut menyikapi komentar-komentar itu. Dari sini
embrio PPGK, yang sekarang sudah membantu puluhan bangunan gereja di
penjuru Indonesia mulai muncul.
Masa berganti masa, perkembangan dan kematangan semakin
menunjukkan jati dirinya. Ketika sedang menyelesaikan masa kuliahnya
saya bertanya. “Bagaimana dek, apa masih ingin mengikuti jejak saya sebagai
Kapusin?”
Saat itu saya tidak memberi dia kesempatan menjawab, tetapi langsung
menimpali dengan peneguhan, “Dek, bermacam cara Tuhan memanggil kita
untuk melayaninya. Caramu saat ini juga adalah perpanjangan tangan Tuhan.
Tekuni dengan baik dan itulah mungkin cara Tuhan saat ini memakaimu.”
Saat hal ini saya katakan dia sudah mulai berani meledek saya dengan
kalimat, “He-he-he … menasihati ni ye!”
Dia memilih bekerja di Bank BCA hingga sekarang dan sebelumnya sempat
bekerja sebulan di satu perusahaan lain.
Sekian tahun pertemanan berjalan. Dulu intens. Kini tidak lagi karena
kesibukan masing-masing.
Lebih luhur lagi, saya melihat adekku Albert sudah menemukan jalan

75
panggilan, tidak harus dibimbing lagi. Dia sudah dapat membimbing diri
sendiri dan bisa membimbing yang lain.
Kini dia hanya akan berkomunikasi jika ada yang sangat menjengkelkannya,
termasuk pengguna dana bantuan yang terkadang tidak membuat laporan
rinci.
Atau kalau dia menyapa, malah sudah kebalikan. Dia tak sungkan
mengingatkan saya akan panggilan imamat saya.
Ucapan ulang tahun kelahiran, imamat, dan ucapan lainnya selalu dia
kirimkan lewat SMS atau WA sebagai bentuk dukungannya pada perjalanan
panggilanku.
Sekian lama berkenalan dengannya, kini saya menyimpulkan: Orang bisa
berubah dan mengubah orang lain dengan cara terlebih dahulu mengubah diri
sendiri.
Percayalah, Tuhan sanggup melakukan yang mustahil di mata manusia!
Albert sudah mensyukuri hal itu hingga saat ini.
Dulu dia pendiam, sekarang tidak lagi. Dia pekerja keras, ulet, dan kreatif.
Dia sederhana serta gampang iba terhadap orang yang sangat butuh bantuan.
“Tuhan tidak pernah memandang kesempurnaan seseorang untuk dipakai
bekerja untuk-Nya”.
Tetap rendah hati anggia (adinda)!
Mari tetap saling dukung dan mendoakan.
Terima kasih!

Salam!
Pastor Albert Simbolon OFM Cap

76
7. Tangisan Haru Sang Ayah
• Namanya Berarti Kebaikan, Kesejahteraan,
dan Kebaikan

A
“ ku bangga pada anakku ini. Sejak dulu baik saja adanya, penurut dan
juara sekolah. Saya selalu terharu dengan prestasi anakku.”
Saat bertutur, suara Athanasius agak macet, raut wajah sendu dan
menunduk. Coba melanjutkan kisah, timbre gemetar.
Lha, bapak menangis? Saya tanya demikian. Ini saat kami berdua mojok
menjauh dari Albertus Gregory Tan, Ibundanya serta abangnya. Ini sekadar
melihat bekas ruang kantor percetakan.
Ya, Athanasius menangis.
Dia merasa pernah “disalahmengertikan” keluarga. Kartu dan minum jadi
pelarian, sempat demikian. Makau dan Genting Highland (Malaysia) sempat
jadi jelajahannya.

Ayahanda dan ibudanya Albert.

77
“Setiap aku pulang, istri yang kucintai bawel melulu. Aku diam saja jika
sudah begitu dan membuat aku sempat mencari pelarian.”
“Masalah lain, aku Buddha dan istri Katolik. Ini turut memusingkanku.
Bagaimana aku melestarikan debu leluhur, salah satu kepusinganku yang
sudah ditancapkan sejak kecil.”
“Usaha cetakku dengan omzet ratusan juta dulunya pun amblas termasuk
karena efek krisis sosial-politik-ekonomi 1998. Aku terpuruk. Aku yang
sama sekali tidak ingin pernah bahtera rumah tangga diakhiri atau berakhir,
menemukan istri dan dua anak pemaaf.”
Waktu berjalan, Albert dan Ando, abangnya, lancar saja dalam kehidupan
mereka. “Sejak mereka kecil, aku mencintai tetapi aku ada masalah dengan
senandung mama mereka, yang kucintai, mirip nada lagu.”
Athanasius menangis lagi. Tangisan bahagia. Terkenal kisah pahit masa
lalu, tetapi dia tetap memiliki keluarga utuh.
“Aku cinta mereka sejak dulu sekarang dan nanti. Akulah yang paling tahu
isi hatiku. Penerimaan dan pemahaman mereka membuat aku jadi Katolik
pada tahun 2009.”
Athanasius yang menyenangkan. Aku yang baru saja dia kenal dan baru
kali itu ketemu, dia jadikan sasaran curhat yang indah.
Panjang wawancaranya, tetapi berakhir indah. Ada bilur-bilur kasih
di tengah parahara masa lalu. Iman sebenarnya telah turut berperan dan
menyelamatkan.
Tutur kata yang lembut, mimik yang datar. Namun, dia tidak
menyembunyikan rasa bahagia yang sangat besar. Ada rasa syukur yang tak
terhingga.
Terlahir dengan nama asli Albertus Nirwanto Tjiptadiharja. Albertus
berarti anak yang baik. Tjiptadiharja berarti kesejahteraan dan kesejukan.
Waktu memang membuktikan kebaikan melekat padanya. Waktu juga
membuktikan kesejahteraan, di atas nilai uang, telah dia rasakan. Ada rasa
tenang, teduh, lega dan bahagia juga kini.
Benar saja, saat berbicara, dia tak bisa menyembunyikan rasa bernuansa
sejuk. Dia tidak berang, marah, dia maklum pada keadaan pahit yang sempat
dia rasakan pada masa lalu. Akhirnya, kesejukan itulah yang membuatnya
menangis karena semua teratasi dengan baik pada waktunya.
Dia pun menyejukkan hati istri dan anak-anaknya. Bapak yang baik dan
beruntung dan teberkati.

78
Diam-diam Albert pernah berjanji dalam hati, walau sibuk dengan urusan gereja, dia juga akan
bisa membahagiakan ibunda dari hasil keringat sendiri, antara lain jiarah rohani ke Eropa.

79
8. Seeing Is Believing
• Ibunda Tak Kuasa Menahan Haru
• Gereja Stasi Itu Hampir Tutup Saat Albert Datang

A lbert adalah anak yang mampu mengubah. Dia telah mengubah ayahnya
lewat doa-doa. Dia pun mengubah ibundanya lewat karyanya. Mengubah
bukan dengan marah anak kepada orangtua, melainkan dengan perbuatannya.
Kisahnya, pernah sang ibu dia ajak menghadiri peresmian beberapa gereja
hasil renovasi seperti di Cilicap (Jawa Tengah), Soping (Sumatera Utara).
Nah, saat di Stasi Soping, Albert didaulat memberikan ekspresi. “Ada
ibuku di situ hadir. Saat itulah aku mengatakan kepada beliau, inilah pekerjaan
Tuhan yang dinyatakan dalam diri saya. Saya mohon izin dan kerelaan dari ibu
untuk semua karya pelayanan ini.”
“Saat itulah saya menangis dan memeluk ibu. Hingga Pastor Ambros pun
ikut menangis,” kata Albert.
Katarina, ibunya, merinding. “Kok bisa, ya, anak saya semuda ini sudah
berbuat begini? Itu bikin saya merinding, tidak menyangka,” kata Katarina.
Katarina telah menyaksikan sendiri betapa umat berbahagia. Gereja
mereka yang hampir rubuh dan umat mulai berlarian, kembali memiliki
semangat baru. Pemicunya adalah kebanggaan setelah stasi mereka kembali
baru setelah renovasi.
Sudah berusia puluhan tahun tetap seperti itu, tak bisa direnovasi.
Kemampuan ekonomi warga memang minim. Albert datang menawarkan
diri setelah Pastor Ambrosius, saat itu Kepala Paroki Saribudolok (Sumut),
memajang foto gereja lama di laman Facebook.
Pada peresmian itu, ramai pengunjung dan serasa para malaikat hadir.
Katarina merasakan itu dan dia dengar bahasa-bahasa Roh Kudus lewat
orang-orang. “Saya pun akhirnya rela anak saya melanjutkan karyanya,” kata
Katarina, yang sebelumnya fokus mengarahkan Albert untuk karier dan masa
depannya sendiri.
Ini terjadi setelah Albert memohon kerelaan ibu, lalu diiringi pelukan. Hal
mengharukan. Pastor Ambrosius pun ikut terharu dan memeluk anak dan
ibu.
Tangisan bahagia anak dan ibu adalah soal ikrar mereka bahwa Albert
akan terus melayani dan ibu merestui. Tangisan Pastor Ambrosius adalah
kebanggaan tiada tara pada ibu dan anak. Dari keluarga ini, Tuhan telah

80
memberikan sebuah harapan baru yang membantu untuk para umat di Stasi
Soping.
Pastor Ambrosius pun berkisah:
Stasi Soping sebelumnya sudah hampir tutup. Umatnya relatif sedikit,
SDM-nya juga memprihatinkan dan gereja hampir rubuh. Sudah agak lama
stasi ini tak dikunjungi oleh pastor sebelumnya. Karena selain jalan ke sana
masih sulit semangat umatnya juga sudah sempat padam.
Berdasarkan cerita dari umat, sempat ada cekcok di antara beberapa dari
mereka. Berbagai masalah kehidupan yang melanda membuat semangat
bergereja umat sempat memudar sekian lama (Red).
Ketika saya pertama sekali ke Soping, saya merasa bahwa mereka perlu
disemangati. Dengan pola pikir bahwa gereja tidak hidup hanya dari stasi
besar, tetapi juga stasi kecil. Saya pun mulai membangkitkan harapan mereka.
Mereka umat pun mulai bercerita tentang masa lalu mereka dengan
Oppung Dolog (almarhum misionaris asal Belanda Pastor Elpidius van
Duijnhoven OFMCap). Ini termasuk cerita tentang bagaimana pakaian misa
Oppung Dolog masih ada tinggal di Soping, di simpan satu keluarga yang
awalnya Katolik, tetapi akhirnya pindah jadi GKPS.
Yang membuat saya kagum, walaupun dia sudah pindah ke GKPS, tetapi
hormatnya kepada Oppung Dolog masih tetap terjaga; pakaian misa itu
tidak dibuang tetap dijaga dan disimpan dengan rapi. Dari kisah itu, saya
melihat suatu nilai sejarah yang tinggi sehubungan dengan keberadaan Paroki
Saribudolok, ditopang dengan keberadaan stasi-stasi kecil di sekitarnya,
termasuk Soping.
Pendirian Kapel Oppung Dolog di Simpang Haranggaol pun
dilatarbelakangi kisah kasih kegembalaan Oppung Dolog di Soping. Kapel di
Simpang Haranggaol (Stasi Santo Pio) diperuntukkan sebagai penyimpanan
segala barang/benda yang ada kaitan langsung dengan Oppung Dolog,
termasuk pakaian misa yang sudah saya ambil dari Soping.
Apa kaitannya dengan tangisan Albert saat peresmian Gereja Stasi Soping?
Benar, dia dan ibundanya memang meneteskan air mata bahagia. Akan tetapi,
bagi saya, saat peresmian itu saya pun ikut larut dalam keharuan sambil
meneteskan air mata. Karena saya sungguh merasakan kebahagiaan yang
sangat besar karena apa yang tidak pernah saya bayangkan akhirnya terjadi
dan sungguh menjadi kenyatan.
Hal yang membuat saya larut dalam keharuan antara lain:
Pertama, saat pakaian misa Oppung Dolog dikembalikan oleh keluarga
yang sudah menjadi GKPS itu kepada paroki Saribudolok.

81
Kedua, Stasi Soping tidak jadi punah, tetapi dapat bangkit dan
hidup lagi.
Yang ketiga, saya sungguh terharu melihat Albert di luar dugaan membawa
semangat yang luar biasa bagi Stasi Soping dan bagi saya sendiri. Kaharuan
saya bukan menyangkut uang yang dia kumpulkan untuk pembangunan itu
melainkan sosoknya yang sangat mengagumkan.
Dia masih sangat muda, bukan orang Batak, bukan pastor atau calon
pastor, bukan umat Paroki Saribudolok, tetapi dia hadir sebagai sosok dan
pribadi yang sangat luar biasa pada saat itu. Bagi saya, saat itu, Albert adalah
seorang makhluk surgawi yang tinggal di bumi.
Itu membuatku memang tanpa sadar meneteskan air mata saat dia
memberi kata sambutan. Itulah yang paling kuingat. Dia tidak panjang pidato.

82
Singkat dia bicara, tetapi sungguh berisi.
Saat itu yang dia sampaikan supaya umat Soping mensyukurinya kepada
Tuhan karena Albert pun sadar bahwa uang itu bukan uangnya, tetapi uang
dari banyak orang.
Lalu sangat dia tekankan supaya umat Soping dapat merawat gereja itu
dan mempergunakannya dengan maksimal sebagai tempat doa/ibadah. Dua
pokok itu selalu ia tekankan dalam pidatonya saat peresmian gereja
Setelah kisah Soping itu, saya tidak begitu mengikuti semua sepak
terjangnya. Namun, untukku dialah salah satu di Indonesia ini umat Katolik
yang berjiwa besar serta beriman untuk melayani dengan penuh keikhalasan
dalam membangun gereja-gereja yang membutuhkan.
Albert adalah anak muda yang punya iman dan karya besar dan aktual

Ibunda Albert sangat mengingat gereja di


Stasi Soping ini. Saat peresmian gereja baru
(kanan), Ibunda akirnya merelakan anaknya
tulus dan fokus saja untuk urusan gereja.

83
untuk Gereja. Saya kagum sama dia. Saya panggil dia “abang” karena begitu
respek padanya walau dia tidak sudi.
Dalam hal iman dan pelayanan, saya masih menganggap dia sebagai abang.
Walaupun sebagai pastor, saya masih merasa imannya lebih berbuah
daripada saya. Dan tidak pernah dia harapkan supaya dibanggakan dan
dihormati atas segala perbuatannya.

Albert dan Ibunda saat berjiarah rohani ke Roma, Italia.

84
• Penuturan yang Mengharukan Katarina

K atarina, juga mendengar penuturan ini. Dia pun terbawa pada kisah
pribadi masa lalu, di mana dia menjadi terharu dan semakin kukuh pada
pelayanan gereja, antara lain dengan merelakan anaknya.
Menikah pada usia 30-an lebih, dengan pria yang dikenalkan rekan. Hanya
karena kebetulan lokasi kerjanya dekat dengan bidang usaha calon suami,
terjadi penjodohan yang tak disangka. Tak banyak perkenalan, serasa cocok
maka jadilah mereka sejoli.
Istri yang berdevosi, sekali Katolik tetap Katolik. Nenek moyang bermukim
di Sumatera karena peran misionaris jadilah Katolik dan begitulah seterusnya.
Dia tidak memaksa, tetapi berharap, semoga suatu saat suami mengikuti
Katolik. Sebab, dalam dirinya Katolik menjadi jalan kedekatan paripurna bagi
Tuhan. Devosi pada Bunda Maria, dia ikuti.
Dekat kepada siapa saja, ramah kepada siapa saja, Katolik ataupun non-
Katolik, jangan bayangkan dia absen dari rangkaian acara keagamaan. Dia
kampiunnya agama di lingkungannya kini.
Dia jalani walau dia sering sendirjan saja dulu. Anak-anak dia cekoki
keimanan dengan contoh. Dia dampingi tak sekalipun lowong menjadi ibu
bahkan kemudian menjadi seperti sahabat dengan anak-anaknya.
Suami ke mana? Belum berhasil ikut Katolik dan ini berlangsung demikian
lama. Namun, dia terlalu tangguh untuk luluh. Sebab, dalam dirinya, Yesus
adalah penentu hidupnya dan alam semesta.
Dalam dirinya tak ada yang lain hanya Yesus. Maka dalam dirinya saban
hari adalah senandung Yesus.
Tidak mengisahkan sedu sedan tentang suami, sebab bagi dirinya suami
adalah jodoh dari Tuhan, anugerah baginya. Dia jalani ringan segalanya.
Pastor Paroki Katedral dan umat di lingkungannya sering meminta jadi
tokoh atau pengurus. Dia tolak bukan karena tak mau. Salah satu alasannya,
aku pun belum berhasil merangkul suami jadi Katolik. Dia tolak, tetapi terus
ikut dan aktif sebagai umat. Dia ada beban agar bisa “menyelamatkan” suami.
Jangan kira ibu ini mengucapkan satu kata negatif pun tentang suami, tak
akan ada itu.
“Memang aku cerewet, ha-ha-ha.... Namun, aku memang senang omong.
Aku bawel, tetapi hatiku ceria. Setiap hari ada senandung Tuhan, semasa gadis
sampai sekarang.”
Ibu yang demokratis, tidak memaksa, asal semuanya tetap Katolik, ini
enggak boleh tidak.

85
Kepada dua anaknya memang dia berpesan, “Kalian harus menikah agar
ada yang mengurus kelak.”
Albert bergeming soal ini. Abangnya sedang merencanakan.
Ya, sudah, jalani semuanya di jalur-Nya saja. Katarina tidak lagi mau
memaksa Albert, tetapi membiarkannya memilih kehidupannya.
Itulah sekilas ekspresi Ibundanya Albert, yang berbangga hati. Dia bahagia
pada usia sekitaran 70-an.

86
Bab II

Memulai PPGK
untuk Membantu
Gereja-gereja
Terpencil
1. Terima Kasih Internet
• Admin Bernama “Deo Gratias” Menjelajahi Dunia Maya

P
aus Fransiskus menyebut internet sebagai sebuah
hadiah dari Tuhan. Sebab, dengan internet, semua
manusia bisa berinteraksi untuk tujuan yang
baik. Internet memungkinkan interaksi yang
dahsyat serta bisa menjadi sarana menanamkan
solidaritas. Demikian lebih kurang opini Paus Fransiskus
tentang internet, seperti ditulis di harian AS, The Washington
Post, edisi 23, 2014.

Bahkan, pendahulunya, Paus Benediktus XVI, adalah Paus pertama yang


memiliki akun Twitter. Pada 2001, almarhum Paus Yohannes Paulus II telah
menyebut manfaat penggunaan internet tentu dengan segala pertimbangan
yang didasari kebaikan.

87
Atas dasar itu, didukung impiannya menolong gereja terpencil, seorang
admin (pengelola) laman Facebook Gereja Katolik bernama Deo Gratias
merambah dunia internet. Dia adalah Albert sendiri, Deo Gratias.
Ini merupakan keharusan karena para admin sebanyak 13 orang wajib
menggunakan ungkapan Latin sebagai nama admin. Akan tetapi, ini bukan
admin anonim total. Sebab, admin Deo Gratias dirinci sebagai seorang yang
bekerja di sebuah bank swasta, gemar mengoleksi gambar-gambar gereja, dan
peduli pada dukungan renovasi gereja-gereja di desa-desa terpencil dan relatif
kurang mampu.
Disebutkan, Deo Gratias sama artinya dengan syukur kepada Allah. Dia
seorang awam yang bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta dan berasal
dari Keuskupan Agung Jakarta. Rajin mengumpulkan foto-foto gereja di
Indonesia dan mengusahakan penggalangan dana untuk pembangunan gereja
di berbagai pelosok Indonesia.
Laman Facebook Gereja Katolik yang didirikan pada 2009 oleh para umat
Katolik berdevosi ini bertujuan membuat agama Katolik lebih dikenal. Akan
tetapi, Deo Gratias sempat kebingungan karena saran rekan admin agar laman
itu tidak dipakai untuk menggalang dana dengan segala argumentasi.
Deo Gratias, generasi muda yang lahir pada era gawai (gadget), tak luput
dari dunia internet. Dia sudah tercekoki impian menolong desa terpencil
untuk penggalangan dana renovasi gereja.
Dia memikirkan berbagai cara, salah satunya pemanfaatan laman FBGK
untuk itu. Ia membicarakannya dengan teman-teman admin. Saat itu, idenya
tidak mendapat sambutan positif.
“Ada yang berpikir, nanti mekanismenya bagaimana, rentan terhadap
penipuan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, niat saya tidak kendur. Saya
tunggu waktu yang tepat untuk melontarkan lagi ide ini,” ungkap Deo Gratias.
Niatnya makin kuat ketika pada Februari 2011, Pastor Antonius Manik
OCarm, seorang imam di Dairi, Sumatera Utara. Pastor Anton Manik OCarm
menghubunginya untuk mencari dana pembangunan gereja.
“Saat itu, saya memutuskan untuk mem-posting isi permintaan itu di
laman FBGK tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan teman-teman”.
Ia kaget karena ternyata banyak respons positif. “Banyak yang berniat
membantu. Melihat hal ini, teman-teman sesama admin tidak komplain.
Dalam waktu dua bulan, dana yang terkumpul mencapai Rp 270 juta”.
Melihat keberhasilan itu, Albert terus berpikir bagaimana mengoptimalkan
FBGK, seiring dengan makin banyaknya gereja yang mengirim proposal.
Untuk 6 gereja awal, sistemnya, ia hanya mem-posting informasi di FBGK dan
bagi yang ingin menyumbang, uangnya langsung ditransfer ke rekening milik

88
Gereja di Stasi Wananuk, Wamena, Papua, sebelum dibangun kembali (atas). Gereja di Stasi
Wananuk, Wamena, Papua, dalam renovasi dan sudah rampung (bawah).

89
Gereja Stasi Lae Ardan, sebelum renovasi (atas) dan setelah renovasi (bawah).

90
panitia pembangunan gereja bersangkutan. Setelah itu, pihak gereja mengirim
laporan yang kemudian di-posting di FBGK oleh Albert.
Namun, menurut dia, dalam perjalanan waktu muncul sejumlah persoalan.
Sebagian donatur mengatakan, mereka sudah menyumbang tetapi namanya
tidak tercatat dalam laporan keuangan. “Karena kasus-kasus demikian,
saya memutuskan untuk menggunakan rekening milik saya. Setelah dana
terkumpul, baru saya teruskan ke gereja. Tugas saya pun makin berat karena
mesti selalu membuat laporan setiap kali ada uang yang masuk ke rekening.
Bagaimanapun juga donatur ingin tahu apakah uang mereka benar-benar
digunakan untuk membangun atau tidak. Pada awalnya banyak yang tak
percaya. Saya berusaha meyakinkan mereka dengan menjunjung tinggi
kejujuran. Sekarang tak masalah, mereka percaya,” katanya.
Karena itulah, setiap hari saat pulang kerja, biasanya lewat dari pukul 20.00
WIB, ia mem-posting laporan dana yang masuk hingga bukti-bukti transfer ke
rekening gereja yang dibantu.
Ia juga memanfaatkan situs www.peduligerejakatolik.org dan Blackberry
miliknya untuk menyebarkan informasi terbaru soal perkembangan dana
yang terkumpul.
Raquel Eugina, salah seorang donator di Surabaya, Jawa Timur, yang sejak
awal selalu ikut menyumbang, mengatakan, ia percaya sepenuhnya pada apa
yang dilakukan oleh Albert.
“Saya tidak ragu sama sekali dengan dia (Albert)”, katanya. “Saya ingin
agar rumah Tuhan lebih layak karena Tuhan sendiri berdiam di sana. Juga,
supaya umat bisa beribadah dengan lebih nyaman,” kata perempuan 32 tahun
ini ketika ditanya alasannya menjadi salah satu donor. Ia menambahkan, “Ada
sukacita yang besar yang tidak bisa dibeli, yaitu saat memberi”.
Donatur datang dari berbagai latar belakang. “Bukan hanya orang kaya.
Bahkan, yang membuat saya terharu ada seorang janda yang hanya hidup
dari dana pensiunannnya sendiri dan suaminya, tetapi ia masih menyisihkan
sebagian pendapatanya itu,” kata Albert.
Ia menjelaskan, tidak semua gereja yang mengajukan proposal dibantu.
“Kami memiliki syarat-syarat, yaitu gereja itu terletak di pelosok, di mana
masyarakatnya miskin. Kami juga tidak membantu semua biaya, biasanya 10
persen dari dana yang mereka butuhkan. Namun, kalau umatnya sama sekali
tidak mampu, biasanya kami mengambil kebijakan kusus, membantu lebih
dari itu,” ujarnya.
Selain itu, kata Albert, sebelum membantu, ia membuat perjanjian dengan
pihak gereja agar yang akan membangun gereja adalah umat sendiri, bukan
memakai jasa kontraktor.

91
Saat ini ( Januari 2013), ia sedang membantu renovasi Gereja Paroki
Lahurus, Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu gereja tua di
Pulau Timor yang dibangun sejak tahun 1930.
Pastor Paroki Lahurus Romo Kristo Oki mengatakan, mereka masih
membutuhkan dana Rp 1,2 Miliar. Menurut rencana, gereja ini harus selesai
pada November 2013.
“Kondisi umat di sini tidak memungkinkan untuk mengumpulkan dana
sebanyak itu. Kalau mengandalkan kemampuan mereka yang umumnya
merupakan petani sederhana, pembangunan gereja ini akan selesai pada 7
atau 10 tahun ke depan,” katanya.
Menurut Pastor Kristo, umat sudah diminta untuk menyumbang 200.000
per keluarga yang jumlahnya 1.400. “Namun, sampai sekarang belum semua
terkumpul, baru Rp 300 juta, meski proses mengumpulkan sudah dimulai
sejak 2010. Kami tidak bisa memaksa, karena pertimbangan kondisi umat,”
katanya.
Setelah dua tahun berjalan, Albert memaknai usahanya sebagai bagian
dari tanggung jawab iman. “Kita semua umat Katolik, di mana pun, baik kaya
maupun miskin adalah sama di hadapan Allah”.
Ia mengaku semakin dikuatkan lewat perjumpaan langsung dengan umat
Katolik di daerah pelosok, karena setiap kali proses pembangunan sebuah
gereja selesai, ia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung.
“Saya tinggal bersama umat, menikmati hidup bersama mereka. Di sana
saya merasakan kebahagiaan. Mereka menerima saya dengan senang hati.
Mereka itu sederhana, ada yang makan sekali sehari, tetapi mereka juga masih
bisa bersenda gurau, tertawa. Pengalaman-pengalaman itu menguatkan saya.”
Albert pun mengakui, kini ia mengalami pembalikkan cara berpikir.
“Dahulu saya berpikir, bahagia itu identik dengan memiliki segala-galanya,
tetapi sekarang saya menyadari itu bukan yang utama, tetapi bagaimana
memberi hidup bagi orang lain,” katanya.
Menurut Albert, sama sekali tidak merasa rugi karena banyaknya waktu
yang ia berikan, juga pulsa yang selalu ia pakai untuk menghubungi para
donatur.
“Lewat FB, Tuhan pun bekerja, menjadikan sesuatu yang maya menjadi
nyata. Ini panggilan Tuhan untuk saya,” kata pria asal Paroki Katedral Jakarta
ini.

Ryan Dagur, Jakarta, 30/12/2013

92
Gereja Stasi Lau Mandin, Aceh, sebelum renovasi (atas) dan setelah renovasi (bawah).

93
2. Awalnya Sekadar Niat Menolong Gereja
di Desa Terpencil
• Tanpa Diduga Bantuan Berdatangan
Bahagia kuterikat pada Yahwe, harapanku pada Tuhan
Allahku…

(Tung sonang do rohangku dompak Tuhan,


panghirimonhi tongtong tu Ho Tuhan…) – Versi Bahasa
Toba

W alau ada kaitan erat, lupakan dulu tujuan dari pemasangan lirik
mazmur yang bisa dilantunkan di gereja ini.
Sekembali ke Jakarta setelah kunjungan ke Rawakolang, sudah terpatri
niat menolong pembiayaan renovasi gereja-gereja di desa-desa terpencil. Akan
tetapi, Albert sebenarnya tidak tahu harus bagaimana menolong dan apa yang
harus dilakukan. Dia hanya spontan berniat menolong.
Albert bukan anak keluarga kaya dan tidak memiliki relasi dari kelompok
berpunya. Jadi tidak jelas pada awalnya kepada siapa dia minta tolong. Hanya
tetap terngiang betapa umat papa di desa terpencil tidak mampu membangun
gereja secara swadaya.
“Saya bahkan tidak terlalu terpikir ke arah sana sebab masih kuliah
Semester IV ketika itu,” kata Albert. Kala itu harapannya hanya agar suatu
saat ada jalan untuk mewujudkan impian. Jadi, angan itu tidak membebani
pikiran, santai, dan rileks saja. Semuanya berjalan dan berlangsung rutin.
Albert pun kembali pada rutinitas biasa, termasuk kegemarannya membina
relasi lewat media sosial.
Jepretan kamera kegiatan gereja di Stasi Rawakolang tersimpan di telepon
seluler. Ini dia posting di laman akun FB pribadi. Kegemaran mengoleksi dan
memajang foto gereja-gereja memang melekat dalam dirinya.

94
Gereja di Curah Jati, Banyuwangi, sebelum dan setelah renovasi.

Ternyata posting-an ini adalah awal dan bagai akar bagi pohon kuat yang
membesar kemudian. Ada dari para pembaca postingan itu berkata, “Akh
benar, nih? Gerejanya jelek banget, kasian. Bagaimana bisa membantu
renovasinya?”
Dari sini muncul pemikiran spontan Albert, “Rupanya lewat medsos bisa,
kok, bantuan digalang!” Keadaan yang terlibat baik ini membuat pikirannya
beranjak. Dari sebatas laman pribadi dia tertarik memajang foto gereja unik
itu di laman Facebook “Catholic Church” dan “Gereja Katolik”. Sambutan pun
ternyata ada.
Perasaan eforia dalam dirinya seakan tersentak. Di sisi lain, sempat ada
sambutan yang mementalkan optimism, padahal sudah sempat melambung.
Pasalnya adalah Albert mulai menawarkan diri sebagai penampung dana-
dana untuk renovasi gereja kategori miskin dan terpencil. Saat itu sempat
ada komentar bernada kecurigaan bahwa jangan-jangan ini adalah kedok
penipuan.
Dia coba juga menulis di media sosial lainnya dan komentar serupa muncul.
Ada dukungan sekaligus ada yang dia rasakan mementalkan semangat. “Ya,
sudahlah, mau apa lagi jika memang saya tidak bisa mewujudkan keinginan
menolong.” Albert sempat mengurungkan niat menggalang dana lewat media
sosial. Ada keadaan kosong untuk sementara.

95
• Kisah Satu Dollar AS dari Dona, Warga Amerika Serikat

N amun, beberapa bulan kemudian mendadak muncul hal mengagetkan.


Ada kiriman surat dari seorang ibu warga Amerika Serikat bernama
Dona. Di dalam surat itu ada uang satu dollar AS. Jika dirupiahkan saat itu
sekitar Rp 9.000 (sembilan ribu rupiah).
Dia ingat, Dona adalah satu-satunya dari 200.000 anggota laman Facebook
Catholic Church yang dulu memyambut postingan dan berjanji mengirimkan
uang satu dollar AS itu.
Kiriman ini disertai kalimat,

“Albert Gregory. Here is the one dollar. I promised to send


to you. If you harm one hair of God’s children you go
against God Himself. I hope you achieve your goal to build
your church for God. Dona.”

Kiriman satu dollar AS dari Amerika Serikat bernama Dona disertai ucapannya.

96
Albert Gregory. Ini satu dollar AS yang kujanjikan kukirimkan padamu.
Jika kamu menyalahgunakan satu dollar milik anak Tuhan sama artinya kamu
menentang Tuhan itu sendiri. Saya harap kamu bisa mencapai angan untuk
membangun gereja bagi Tuhan. Dona.
Ini dia rasakan nyata saat itu sebagai dorongan moral yang kuat. Datangnya
dari kejauhan pula, seorang umat Katolik Amerika Serikat lewat kiriman surat
pada Februari 2011. Dona berjanji mengirim lewat laman Facebook Catholic
Church. Ini sehubungan permintaan salah seorang administrator laman
Gereja Katolik (GK) yang sedang mencari dana untuk pembangunan Gereja
Katolik Tiga Lingga, Keuskupan Agung Medan.
Agak aneh jika dipikirkan logika kiriman ini secara umum. Sudah jauh-
jauh dan bantuan satu dollar AS pula. Secara spontan bisa terpikir berapalah
bantuan sebesar itu untuk kebutuhan puluhan hingga ratusan juta. Namun,
inilah keunikan Albert. Dia memercayai mistis dari bantuan yang sedikit itu.
Bahkan, dia katakan, “Dona si penyumbang kita anggap saja seperti seorang
Madonna, merujuk pada Bunda Maria.”
Unik dan aneh barangkali bagi khalayak. Akan tetapi, tidak demikian
bagi Albert. Dia yakin ini adalah awal yang membuka gerbang. “Sejak itu, saya
terjangkit semangat besar dan berkata dalam hati bahwa aku akan jalan terus
apa pun komentar miring yang ada.”
“Bahagia kuterikat pada Yahwe, harapanku pada Tuhan Allahku…” Dia pun ingat
mazmur yang pernah dia bawakan sendiri di Stasi Rawakolang.
Keputusan Albert sudah bulat akan terus gencar menggalang dana. Dia
pun kembali bersemangat tinggi dengan terus memohon dan memohon. Kali
ini upayanya makin lancar mendatangkan bantuan. Lebih setahun setelah
Februari 2011 ini, atau persisnya 31 Mei 2012, Albert menulis. “Jumlah bantuan
untuk gereja-gereja di daerah pelosok Indonesia telah mencapai Rp 1,5 miliar.
Pikiran Albert pun tercekoki beberapa kutipan dari Kitab Suci yang pernah
didengar dan dia baca. Peneguhan makin dia dapatkan. “Ya, kami teringat
pemberian seorang janda miskin yang dipuji Yesus, Ia memberikan seluruh
hartanya kepada Tuhan dan tidak merasa miskin dan menderita …”.
“Terima kasih Dona untuk 1 dollar-mu untuk Gereja Katolik di Indonesia.
Kini 1 dollar itu telah berbuah banyak dan menggerakkan ribuan orang
Katolik Indonesia untuk berbagi.... Syukur kepada Allah... Mari bergerak terus
membangun Gereja Katolik Indonesia.”
Inilah keyakinan Albert yang membuahkan. Dia tidak lagi gundah pada
penolakan bahkan kritikan. “Realitas dalam kehidupan apalagi di zaman
sekarang, memang semua orang rasanya tidak lagi mudah percaya pada dunia
maya.... Siapa yang mau tertipu? Tak ada yang mau, bukan?”

97
Akan tetapi, dalam hal ini, dia tetap yakin akan ada yang percaya walau
itu lewat dunia maya dan kepercayaan ini terbukti sudah dia dapatkan. “Di
tengah gersangnya kejujuran, sebuah gerakan untuk mewujudkan harapan
anak-anak Tuhan di pelosok pun dimulai....
“Membangun kepercayaan itu tidak mudah, meyakinkan banyak orang itu
juga tidak gampang…. Akan tetapi, kita hanya mencoba melakukan apa yang
menjadi bagian kita. Biarkan Tuhan yang melanjutkannya sampai usai…”
Devosinya memuncak. “Tuhanlah yang memulai, Tuhan juga yang akan
menyelesaikannya kelak dengan cara-Nya sendiri …”.
Dari sebelumnya, “Ada rasanya ingin mundur, merasa putus harapan.”
Kini dia biarkan semuanya mengalir. “Dukungan dan perhatian yang terus
mengalir dari banyak orang lewat dunia maya meneguhkan untuk terus maju….
Harapan dan senyuman anak-anak Tuhan di pelosok itu mengingatkanku
akan sapaan Tuhan sendiri.
Albert pun kembali mengingat orang-orang yang telah mendorongnya,
Pastor Nikolaus Sitanggang, “Yang mengajak saya ke Stasi Rawakolang, tempat
Yesus yang menderita menyapa dan memanggilku, semua cita dan cintaku
kepada-Nya berawal di Rawakolang.”
“Semoga voorhanger Stasi Rawakolang, Situmorang itu, masih mengingatku.
Untuk Pastor Willem Sibagariang, Suster Lidwina Napitupulu, Suster Auxil
Siringo, Pastor Jamannes Servas Sihotang, Pastor Yulius Simatupang, Pastor
Dion Lukas Laia, Pastor Albert Simbolon (saat masih frater), yang menerimaku
dengan hangat di Keuskupan Sibolga.”
“Semua kisah ini berawal dari Keuskupan Sibolga, tempat semua nama
disebut di atas merasul dan berkarya. Tetaplah semangat dan makin setia.
Terima kasih telah mengajarkan banyak hal, yakni kesederhanaan dan
ketulusan.”
“Amor non amatur (Kasih tak dikasihi)” —Bapa kita, Fransiskus. Albert terus
seperti tercekoki ungkapan-ungkapan indah agamis.

98
3. Bagaimana Para Donatur
Menjadi Sangat Percaya?
• Sebagian Menelisik Kejujurannya
dengan Cara Tersendiri
Dan kejujuranku akan terbukti di kemudian hari, apabila
engkau datang memeriksa upahku –Kejadian 30:33

Kokoh untuk seterusnya dan selamanya, dilakukan dalam


kebenaran dan kejujuran –Mazmur 111:8

Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab


aku menanti-nantikan Engkau –Mazmur 25:11

L
” ove all, trust a few,” kata William Shakespeare. Ungkapan Shakespeare ini
mungkin menggambarkan tidak semua orang jujur. Akan tetapi, siapa
yang bisa dipercayai dan siapa yang tidak.
Dalam konteks posisi Albert sebagai penggalang dana pembangunan
gereja di pelosok, tidak semua percaya begitu saja pada awalnya. Dia ditelisik
dengan cara tersendiri.
Julie Laurus, salah satu donatur tetap PPGK. Dia melakukan riset dengan
caranya. “Pertama kali saya kenal Albertus tahun 2013 melalui media sosial
Facebook. Saat itu, saya belum begitu mengetahui tentang program PPGK
yang dijalankan Albertus. …”
Karena ia berminat menyumbang walaupun sedikit, ia mencari tahu,
apakah memang benar sumbangan yang dikelola Albert ini bisa dipercaya
atau tidak. Karena itu, ia mencoba mencari data tentang Albert dari mesin
pencari Google. “Hasil pencarian di Google, bisa dibilang, membuat saya mulai
percaya pada Albert,” kata Julie.
Setelah membaca sebuah artikel, Julie juga tahu bahwa Albert masuk
dalam liputan Majalah Hidup terkait kegiatannya. Namun, ini belum cukup
bagi Julie. “Saya juga buka akun pribadi Facebook Albert. Sampai saat itu, saya
masih belum mengenal dia secara langsung,” lanjut Julie.
Suatu hari, ada teman yang mengundang Julie ke dalam grup BBM
Katolik di mana Albert ada di dalamnya. Ia tidak menyangka bisa mengenal
Albert melalui Facebook dan grup BBM. “Mungkin ini juga jalan Tuhan. Aku
dipertemukan dengan Albert,” kata Julie.

99
Dari grup BBM berlanjut dengan komunikasi dua arah melalui BBM antara
Albert dan Julie. “Kami jadi kenal satu sama lain secara virtual. Albert bercerita
bahwa kebanyakan Gereja yang dibantu adalah berasal dari Sumatera Utara,
khususnya Medan,” kata Julie yang warga Medan.
Julie menyatakan dirinya ingin mengenal Albert lebih dalam dan juga ingin
bertemu secara langsung. Mereka pun janjian. Jika Albert ke Medan, mereka
bertemu. Setelah bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan Albert, diakui Julie,
ia malah tidak hanya sekadar percaya. Ia merasa salut. Ia juga bangga pada
anak muda Katolik ini. Pada usianya yang muda, Albert benar-benar menjadi
pelayan-Nya.
“Kemudian juga saya tahu, demi membantu gereja yang kekurangan,
Albert rela pergi sampai ke pelosok-pelosok Nusantara. Dia mengorbankan
waktu dan tenaga bahkan mungkin kesehatannya. Kemudian saya juga kenal
dengan Ibundanya Albert bahkan sudah dua kali bertemu.”
Apa yang dikerjakan Albert tidaklah gampang. Bagi Julie, untuk
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat tidak semudah membalikkan
tangan.
“Akan tetapi, saya percaya Tuhan akan memudahkan Albert dalam segala
hal. Karena semua yang dia lakukan adalah untuk melayani-Nya. Jadi, sampai
sekarang saya sudah menganggap Albert seperti saudara saya sendiri. Albert
juga menganggap saya seperti “cici”-nya sendiri,” kata Julie. “Cici” merujuk
pada suadari kandung.
Begitulah cara Julie menelisik, apakah Albert orang yang bisa dipercaya.
Julie tidak sendirian melakukan hal seperti itu. Elianta Bangun, juga salah satu
donatur, dalam benaknya ingin ada kepastian. Apa yang dia lakukan? “Pernah
sepintas saya tanya, apakah pernah ada dari uang yang dia kumpulkan dipakai
sendiri atau oleh keluarga?”
“Jawab Albert, ‘Tidak pernah sekali pun dan sepeser pun. Sebab, jika
dana bantuan sudah terpenuhi, maka dana langsung ditransfer pihak yang
membutuhkan. Kebutuhanku selalu dicukupkan Tuhan, kok.”
Segala cara dilakukan orang untuk menelisiknya. Sebab, seperti kata
Stanislaus Susetio, juga seorang donatur, “Awalnya orang yang tak kenal Albert
pasti tidak yakin dengan programnya. Para donatur bertanya, apakah dananya
sampai ke tujuannya.”
Stanis menambahkan, “Karena niatnya yang tulus dan semua
perkembangan pengumpulan dana diperbarui di medsos, kepercayaan

100
menumpuk. Apabila ada yang tidak percaya, Albert memberi mereka hasil
wawancara tentang dirinya dan kegiatannya yang sudah dipublikasikan di
Majalah Hidup. Dari sana lama-kelamaan banyak orang yang menghargai jerih
payahnya.”

• Keluarga pun Tak Boleh Meminjam Uang Para Donatur

N amun, penelusuran ini tidak pernah cukup pada masa-masa awal.


“Pernah juga saya tanya begini. Kalau seandainya abang kandung Albert
yang minta pinjam apa dikasih dengan menggunakan dana itu, biarpun hanya
tempo seminggu,” kata Elianta.
“Jawabannya langsung, ‘Ooo, enggak akan ... Gak usah dulu urusan ke
Tuhan. ... Mau jika kita semua sekeluarga didatangi kepolisian?” demikian
Albert merespons seperti dikenang kembali oleh Elianta.
“... Akhirnya saya pun mengatakan, tetaplah pertahankan kepercayaan
semua orang. ... Karena memang itulah yang tersulit, menjaga kepercayaan,”
kata Elianta. Dia mencecar halus karena penasaran saja soal kejujuran Albert.
Pesan Elianta agar Albert menjaga kepercayaan sangat berdasar. Ada
ungkapan yang pernah disampaikan tokoh besar dunia yang juga mantan
Presiden AS, Abraham Lincoln. “If you once forfeit the confidence of your fellow
citizens, you can never regain their respect and esteem.” Jika Anda menyalahgunakan
kepercayaan wargamu, Anda tidak akan pernah lagi bisa meraih hormat dan
kepercayaan mereka.
Untuk itu, Albert memang menjaga betul karena tahu risiko, bukan saja
tidak dipercayai, melainkan berisiko terkena sanksi hukum. Keteguhan Albert
terlihat juga dari penuturan ayahnya sendiri, Athanasius.
“Saya pernah benar-benar sedang putus uang. Saya tahu anak saya Albert
ada uang banyak dari bantuan donatur untuk pembangunan gereja-gereja.
Saya tahu itu bukan untuk siapa pun kecuali untuk gereja. Nah, suatu saat
saya memohon agar dia pinjamkan barang dua minggu atau sebulan. Saya
memohon dengan amat sangat dan pasti saya kembalikan. Memang pastilah
saya kembalikan. Tidak banyak, karena itu saya minta tolong karena darurat,”
kata Athanasius.
Apa reaksi Albert? Dia menjawab tegas. “Tidak, tidak boleh dan tidak....
Ya tidak.... Aku sedikit jengkel dan kecewa tetapi akhirnya saya mengatakan
dalam hati, betapa teguhnya anak ini.... Saya salut. Saya bangga.”

101
4. Albert Pernah Mengalami Penolakan

M enggalang dana pada awalnya sulit. Respons agak lama muncul dan
ada penolakan. Hingga setelah berjalan sekian tahun, ada saja yang
menentang upaya Albert. Rekan-rekan Albert mengenang banyak hal tentang
perjuangan di awal. Stanislaus Susetio, misalnya. Ia mengenal Albert sejak
2013 dan turut menyaksikan adanya penolakan ini.
“Saya suka mengikuti program yang dia lakukan. Albert adalah anak muda
yang mendapat karunia luar biasa. Pada usia muda ia terpanggil menjadi
pelayan Tuhan,” kata Stanislaus, warga Paroki Sunter, Jakarta. Stanislaus
masuk kategori donatur dalam relasi Albert. “Setahu saya di awal misinya
banyak orang yang tidak percaya.”
Hal serupa diutarakan Andreas Erick Lega. “Respons pertama
memperlihatkan beratnya meraih kepercayaan, banyak komentar
bermunculan. Memang ada yang positif dan iba serta mau menyumbang. Di
samping itu ada yang berkomentar sinis.”
Menurut Andreas, tidak mudah membuat orang lain percaya bahwa
penggalangan dana ini berujuan baik, benar, dan tidak fiktif. “Albert tidak
dipercaya oleh beberapa orang. Akan tetapi, itu semua dia coba hadapi dengan
tenang walau sempat gelisah. Dia kemudian menjadi tidak takut lagi karena
memang karyanya benar, bukan penipuan.”

• Saya Sempat Merasa Lelah

D alam perjalanannya, Albert berkata bahwa memang dia sempat gemetar.


Ini bukan karena dia salah atau tidak jujur. Kegelisahannya tergambar
dari kata-katanya pada 4 Februari 2013. “Aku depresi. Salibku rasanya berat
sekali, enggak sanggup kupikul … Ada saja yang berusaha meruntuhkan
pelayananku. Aku semakin bimbang … mau terus atau tidak …”
Dia bimbang, mau berhenti, tetapi begitu banyak yang mendukung.
“Padahal, aku menjalankan ini bermodalkan kepercayaan dari banyak
orang ... dan banyak yang sudah sangat percaya dengan ku. Kini aku enggak
ngerti, andai mereka (penentang, Red) bisa merasakan perjuanganku … Ingin
menangis rasanya ....”
Dari sekian kritikan pada Albert, salah satunya adalah agar dia meminta
izin ke Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) atau Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KWI). Albert memang sempat mencoba berkomunikasi. “Aku sudah coba
komunikasi, tetapi tidak ditanggapi …,” kata Albert. Ia juga pernah mengobrol

102
Seorang suster senior, salah satu yang memberi semangat besar untuk Albert.

103
dengan Pastor Paulinus Simbolon yang mengatakan agar Albert jangan
menyerah dan ia mendorong untuk maju terus.
Disampaikan Albert, ia melakukan komunikasi ini karena ia merasa
tidak kuat lagi karena disudutkan terus. “Kalau saya enggak jujur, saya sudah
dipenjara. Karena saya jujur, ribuan orang mau memberi. Semua laporan saya
juga sangat jelas, semua bukti ada.” Ia tak habis pikir mengapa masih saja ada
orang yang menyudutkannya.
Sebagai manusia biasa, Albert sempat lunglai. Bahkan ia sampai
kebingungan kepada siapa ia harus meminta pertolongan dan pembelaan.
“Siapa yang bisa membantu ya? Saya manusia biasa. Kadang saya merasa apa
yang kulakukan ini berat sekali.” Untungnya, selama beberapa saat, Albert
pun kemudian bangkit. Ia tidak perlu lama-lama berkutat dengan masalah
yang sedang ia hadapi. Ini bisa tergambar dari postingannya di media sosial.
“Thank youuuuu!!! Aku kembali kuat. I feel stronger than before….”
Meski demikian, Albert tidak pernah takabur. Dia selalu merasa akan ada
ancaman dan harus siap untuk itu. Ia selalu meminta dukungan dari sahabat-
sahabatnya agar ia bisa kuat dan melewati setiap hambatan yang ada. “Bantu
saya,” katanya. “Selama para sahabat ada di sampingku saya pasti kuat dan
Tuhan-lah pelindungku.”
Ketika dikonfirmasikan, Pastor Paulinus memang pernah berkata tidak
perlu menanggapi setiap respons-respon sumbang yang selalu berpikiran
negatif. “Karya Albert didukung secara moral.”
Di sisi lain, dalam hati Albert, meskipun setiap kritik terkadang
melemaskan otot-ototnya, ia selalu mengambil hikmat dari setiap kritik itu.
Satu hal yang sempat menggelayuti pikirannya bahwa jangan sampai karya
dengan tujuan mulia ini berakhir di persidangan. “Meski aku enggak salah, jika
sampai ke pengadilan, kan sasya tak punya uang untuk menjalani persidangan
itu.” Pemikiran ini sempat membuat Albert gugup.
Lagi-lagi, karena dukungan dari para sahabat, Albert pun bisa melewati
fase itu. “Kayaknya saya terlalu khawatir saja. Saya mudah ciut orangnya. Kini
saya tidak lagi terlalu khawatir.”
Tantangan baru muncul lagi, seperti yang ia utarakan pada 4 April 2013.
“Ada yang menentang … saya dianggap mencari popularitas. Agak sakit
mendengar kata-kata itu. Semua orang mengenal saya. Saya sempat kecewa,
kok bisa-bisanya dibilang mencari popularitas.”
Namun, kekuatan pun selalu datang untuk bangkit dari setiap masalah
yang ia alami. “Ya sudahlah, orang seperti itu akan selalu ada. Saya memilih
untuk tidak merespons.” Begitu Albert mengabari di media sosialnya.
Aman sebentar, lalu Albert keringat dingin lagi. Pada 14 Mei 2013 Albert

104
berkisah, “Aku diprotes lagi…”.
Akhirnya, masalah beres dan kegiatan Albert segera dijalankan lewat
pembentukan yayasan. Rekannya Andreas mengenang, “Intinya, memang kita
tidak akan bisa membuat semua orang percaya, apalagi hal ini menyangkut
masalah sensitif, uang. Hanya orang yang punya hati dan memakai hati nurani
yang menyatakan ini benar dan bahkan mau menyumbang.”
Andreas memberi dukungan. Menurut dia, kegiatan mulia ini harus
berlanjut sampai semua gereja di pelosok dapat menikmati lokasi ibadat yang
layak.
“Namun karya ini memang harus bisa dipertanggungjawabkan jika ada
yang meminta. Untuk itu, perlu transparansi keuangan,” kata Andreas.
Terkait transparansi keuangan sebenarnya Albert sejak awal sudah
melakukannya. “Dokumen asli tersimpan rapi dan lengkap. Ini perlu untuk
menunjukkan sekaligus bahwa kegiatan ini bukan fiktif,” kata Andreas, yang
selalu mendukung Albert.
Sejak Agustus 2011, Albert telah membuat laporan keuangan yang dapat
dipantau. “Ini perlu termasuk untuk memelihara kepercayaan para donatur
antara lain dengan memberikan kabar terbaru, pelaporan, dan mencantumkan
nomor telepon pastor yang bertugas di stasi, termasuk lokasi gereja yang
mendapatkan bantuan,” kata Andreas.

• Banyak Pihak Memberi Dukungan Moral

S ebenarnya hanya segelintir yang pernah mempertanyakan. Pada umumnya,


khayalak berpikiran luwes dan mendukung penuh. Seperti disampaikan
Stanislaus, berkat karya nyata Albert, gereja-gereja lama di pelosok-pelosok
yang tertunda pembangunannya bisa diselesaikan karena peran Albert. “Kita
patut bersyukur dengan keberadaan Albert ini,” kata Stanislaus.
Sebagai sahabat dan donator, Julia Laurus terus memberikan dukungan.
“Tetaplah kuat!” Kalimat-kalimat penguatan seperti ini terus muntuk untuk
mendukung Albert.
Pastor Masseo Sitepu memberikan dukungan kuat walau memang sempat
agak heran dengan beberapa penolakan. “Satu hal yang cukup menarik
perhatian saya adalah ketika mengikuti proses pengumpulan dana untuk
Stasi Pusuk 1, di wilayah saya bertugas. Ternyata tidak semua followers laman
PPGK memberikan respons positif.”
Ia mengungkapkan bahwa sejumlah komentar bernada negatif muncul,
termasuk yang mencurigai gerakan PPGK ini bermotif penipuan. “Saya

105
berharap dan berdoa. Saya punya keyakinan bahwa rekan imam yang
memperkenalkan Albert kepada saya benar-benar memberikan solusi atas
persoalan pembangunan gereja di Stasi Pusuk 1.”
Kenyataannya memang benar, gerakan Albert aktual dan akurat.
Ketika buku rekening Panitia Pusuk 1 dicetak di BRI Dolok Sanggul, angka
pengumpulan dana yang tertera di laman Facebook PPGK sesuai dengan uang
yang tercatat buku bank.
PPGK yang sepertinya sempat diragukan oleh segelintir orang kini telah
menjadi gerakan yang kredibel, dikoordinasi Albert.
Albert andal dokumentasi juga. Setelah pemberkatan gereja yang dibantu,
tugas berikut membuat adalah laporan pertanggungjawaban dana. Berkat
kerja sama yang baik dengan panitia, laporan selesai cepat dan dikirimkan ke
PPGK melalui Albert.
“Laporan yang cepat dan jelas merupakan bagian penting dalam program
PPGK. Kredibilitas PPGK memang dipertaruhkan sejak pengumpulan dana
sampai pembuatan laporan pertanggungjawaban,” kata Pastor Masseo.
“Selaku Pastor Paroki, saya merasa bertanggung jawab penuh
mengawal pekerjaan panitia hingga laporan pertanggungawaban dikirim
kepada Albert. Inilah bentuk terima kasih saya kepada Albert yang telah
membantu saya membangun gereja umat saya. Bantuan yang diterima harus
dipertanggungjawabkan.” Demikian Pastor Masseo memberi dukungan
kepada Albert.
Oleh sebab itu, Pastor Masseo sempat merasa heran mengapa ada sesama
umat Katolik yang bersikap negatif. Menurut dia, bersikap kritis boleh-boleh
saja, tetapi jangan sampai memberi penghakiman bahwa gerakan ini penipuan
tanpa merujuk silang terlebih dahulu. Bagi Pastor Masseo, sikap demikian
merupakan kekonyolan yang tak pantas dihidupi dalam Gereja Katolik.
Di laman Facebook PPGK secara rutin Albert mengunggah perjalanan
PPGK. Setidaknya di situ terbentang transparansi, kejujuran, dan juga
kepolosan. Banyak cara lain yang bisa dicari untuk menguji kredibilitas PPGK
termasuk membaca artikel di Majalah Hidup yang mewawancarai Albert. Ini
bisa juga dilakukan dengan melihat siapa saja pengikut laman PPGK atau bisa
langsung bertanya kepada uskup atau pastor paroki yang mendapat bantuan
PPGK.
“Saya sangat bersyukur, Albert cukup kuat bertahan melawan badai
kecurigaan yang sempat menghantam PPGK. Ketekunannya berkunjung ke

106
Keluarga yang berbahagia ini juga menjadi salah satu pihak dari sekian banyak yang terus
menyemanganti Albert.

lapangan, kerajinan memampangkan laporan, keramahannya menyapa para


followers sedikit demi sedikit memperkuat pertahanan PPGK. Saya belum
pernah membaca komen di laman PPGK bahwa bantuan tersendat di PPGK.
Semua mengalir deras ke lapangan. Saya pun semakin kagum di mana banyak
orang berpartisipasi. Bahkan, ada sponsor yang memanggil Albert bertemu
dan memintanya merekomendasi satu gereja untuk dibantu langsung tanpa
publikasi di laman PPGK. Sponsor tunggal itu diarahkan Albert ke Stasi Santa
Maria, Lae Ardan, Paroki Parlilitan,” kata Pastor Masseo.
Semua pengamatan ini meyakinkan kita bahwa Tuhan berkehendak
dan telah memilih Albert sebagai saluran kasih-Nya, siapa pun tak bisa
menghadangnya. Roh Tuhan yang kuduslah menggerakkan banyak orang
untuk bekerja sama dengan Albert membangun rumah Tuhan di dunia ini.

107
5. Pastor Liberius Menjelaskan Laman
Gereja Katolik
• Salah Satu Alasan di Balik Protes

P ertama sekali berkenalan dengannya lewat chating di Facebook pada 16


Desember 2010. Saat itu, saya bertugas sebagai misionaris di Thailand—
kini di Berastagi. Penampilannya lewat status-status dan foto-foto di Facebook
meyakinkanku untuk menerimanya sebagai teman di dunia maya.
Lagi pula, daftar pertemanannya adalah orang-orang yang kukenal, yakni
para biarawan dan biarawati ataupun awam yang baik. Saya yakin, dia bukan
orang jahat atau pemakai akun palsu.
Malah ada rasa penasaran, ingin mengenal pribadi Albert lebih jauh. Saya
pun semakin merasa enjoy dengannya dan menerimanya sebagai seorang
saudara. Kami semakin akrab dan intens berkomunikasi.
Suatu saat, ia memintaku untuk ikut ambil bagian menjadi admin atau
pengelola pada fanpage Gereja Katolik. Mungkin dia melihat saya kala itu cukup
rajin mem-posting renungan harian di laman Facebook ku. Terkadang saya
ikut nimbrung diskusi di fanpage tersebut, menjawab pertanyaan-pertanyaan
seputur iman. Karena saya rajin mengikuti dan menanggapi pertanyaan,
Albert mungkin tertarik mengajukan saya menjadi salah seorang admin.
Setelah diskusi panjang lebar tentang apa yang dia harapkan dan
sebatas mana fungsiku sebagai admin, akhirnya saya menyanggupinya. Saya
menyatakan komitmen tiap hari bersedia mem-posting renungan pagi atau
menjawab pertanyaan umat.
Fanpage Gereja Katolik (GK) itu dulu beranggotakan hampir 500.000
orang. Sebagai fanpage yang didirikan oleh awam (orang-orang muda) yang
sangat peduli dengan Gereja Katolik, lahan katekese dan pengajaran di dunia
modern, tentulah sebagai imam saya sangat senang menjadi bagiannya.
Orang yang tidak kita kenal dan berasal dari berbagai belahan dunia masuk
di dalamnya sebagai anggota, entah menjadi pembaca pasif atau aktif ikut
belajar bersama dari apa yang kita sampaikan. Saya gembira masuk menjadi
bagian grup itu.
Di dalam grup admin itulah saya makin banyak tahu soal Albert dan
teman-teman yang lain kendati belum pernah bertemu secara langsung. Kami
hanya dipersatukan oleh baptisan air dalam Gereja Katolik.

108
Keberadaan Albert semakin kuat dengan gerakan-gerakan yang
dikembangkan di dalam grup dunia maya itu, termasuk gerakan membangun
gereja di pelosok-pelosok Tanah Air. Pada awalnya, gerakan ini hanya
spontanitas dari Albert. Ternyata begitu banyak respons postitif dari para
anggota.
Gerakan penggalangan dana untuk pembangunan gereja pertama
berlanjut ke gereja kedua, ketiga, dan ke puluhan gereja hingga saat ini. Pada
pembangunan gereja berikutnya memang mulai ada pro-kontra dari anggota
tentang legalitas gerakan ini. Potensi penipuan yang cenderung marak di
dunia maya menjadi alasan dari pihak yang kontra.
Mereka meributkan kebenaran dari gerakan ini sehingga Albert sempat
merasa takut jangan-jangan ia dituduh menipu umat dengan dalil mulia
membangun gereja. Kami banyak diskusi tentang poin ini bagaimana supaya
umat yang menyumbang tidak merasa ditipu. Dari diskusi muncul ide agar
ada bukti penerimaan dan pengeluaran uang dan anggota grup bisa melihat.
Sebagai salah seorang admin yang juga imam (ada dua imam di grup admin),
apalagi saya saat itu sedang jauh dari Indonesia, tetapi ikut bertanggung jawab
dengan gerakan ini. Ada sedikit rasa takut bilamana kelak ada unsur pidana
dalam gerakan ini, bukan khawatir pada Albert.
Saya menguatkan hati Albert dengan menawarkan diri ikut bertanggung
jawab manakala ada tuntutan dari pihak mana pun mengenai gerakan
pengumpulan dana recehan ini. Saat itu bantuan memang terakumulasi dari
bantuan-bantuan kecil semisal Rp 10.000.
Sebagai anak muda dan awam pastilah Albert ingin mendapatkan
perlindungan dan dukungan dari semua anggota admin. Kecurigaan para
anggota semakin menjadi-jadi karena kami admin tidak diperkenankan,
oleh aturan dalam Grup Admin, mencantumkan nama asli. Menurut aturan,
kami mesti mencantumkan signature masing-masing setiap kali menurunkan
tulisan atau artikel.
Signature itu adalah sebagai penanda bagi sesama admin sekaligus
mempertanggungjawabkan tulisan atau artikel sendiri. Mengapa signature itu
perlu? Ini untuk menjaga nama baik seseorang.
Sering terjadi ketika satu artikel atau ajaran iman disampaikan oleh
seseorang yang dikenal sebagai awam, pembaca merasa tidak yakin atau ragu-
ragu. Seolah-olah ajaran iman yang benar itu hanya yang disampaikan oleh
kaum hierarki saja, sementara yang disampaikan awam dianggap kurang
berbobot.

109
Untuk itu, supaya para anggota grup “tidak melihat siapa yang
menyampaikan sesuatu, tetapi melihat apa yang disampaikannya”. Karena
itu, dalam aturan grup admin disepakati supaya setiap renungan, artikel,
atau ajaran iman yang disampaikan tanpa menuliskan nama pribadi, tetapi
signature masing-masing.
Sesama anggota admin tentu mengetahui siapa yang mempunyai signature
itu. Dalam internal admin, kami bisa saling mengevaluasi atau menasihati jika
ada sesuatu yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Gereja yang sebenarnya.
Kesulitan dan tantangan terjadi dengan sistem signature ini. Dalam gerakan
pembangunan gereja di pedalaman, Albert sering memasang gambar-gambar
gereja darurat yang memprihatinkan dan membutuhkan uluran tangan para
anggota grup. Lantas pada akhir tulisan dia mencantumkan nomor rekening
dengan nama asli Albert.
Albert yang mem-posting itu tidak mencantumkan nama asli sesuai nama
di rekening, tetapi signature-nya, Deo Gratias. Para anggota mulai ribut dan
komplain karena dianggap penipuan atau bersembunyi di balik topeng Gereja
Katolik. Ini salah satu kesulitan besar pada awal-awal gerakan ini.
Maka mau tak mau, Albert menyingkap indentitas dirinya dan mulai
menghilangkan signature, “Deo Gratias”.
Dalam perjalanan waktu, gerakan ini menjadi concern pribadi Albert.
Uniknya, gerakannya ini semakin lama semakin baik dengan manajemen
yang makin baik pula. Para penyumbang juga sudah makin percaya, apalagi
dengan melihat hasil dari gerakan ini, terbangun banyak gereja di berbagai
pelosok Indonesia.
Itu semua berkat keuletan, kerajinan, ketelatenan dan kejujuran Albert.
Albert merupakan orang muda Katolik yang sangat unik, istimewa dan luar
biasa. Tuhan sungguh-sungguh mengutusnya sebagai malaikat penolong bagi
Gereja Katolik Indonesia.
Misinya untuk membangun gereja-gereja di pelosok mengingatkan kita
akan St. Fransiskus Assisi yang membangun gereja San Damiano dari hasil
mengemis dan meminta-minta. Gerakan itu juga kemudian telah diikuti
Bruder Kapusin yang sangat miskin, yakni Felix dari Cantalice di Italia. Ia
meminta-minta dari rumah ke rumah untuk membantu orang miskin.
Setiap kali Felix memperoleh sesuatu dari umat Bruder Kapusin ini pasti
mengatakan, “Deo Gratias (Syukur kepada Allah).” Karena itulah ia digelari
sebagai Bruder Deo Gratias.
Signature Deo Gratias juga yang dipakai Albert. Setiap kali ia membangun
satu gereja hasil recehan umat, ia pasti mengatakan, “Deo Gratias.”

110
Semoga misi pengembangan iman dan Gereja yang dirintis saudara
Deo Gratias (Albert) menjadi kemuliaan bagi Tuhan dan pengudusan bagi
manusia. Saya doakan engkau Saudaraku supaya Tuhan memberikan yang
terbaik bagimu. Jangan pernah merasa lelah melayani Tuhan dengan cara
yang ditentukannya bagimu.

Dari Saudaramu Admin GK


Pastor Liberius Sihombing
Signature Deus Meus et Omnia

111
6. Donatur Terpukau dan Terkesima

P ara donatur mengenalnya pertama kali sebagai sahabat. Uniknya, para


donatur ini kemudian jatuh cinta pada karyanya dan sangat sudi menjadi
donatur. Alasan mereka pada umumnya, Albert adalah orang yang dikaruniai
dan dipilih Tuhan untuk tugas khusus. Tentu kepribadian Albert tak
diragukan lagi, membuat para donatur ingin mendukung. Mereka ingin Albert
selalu sehat, kukuh, kuat, dan setia pada pelayanannya. Dari sini para donatur
bertambah karena para donatur saling mengajak rekannya mendukung.

• Julie Laurus:
Dia Seperti Saudara bagi Saya

S aya tidak menyangka bisa mengenal Albert melalui Facebook dan BBM.
Mungkin ini juga jalan dari Tuhan aku dipertemukan dengan Albert, puji
Tuhan. Dari grup BBM akhirnya kami berkomunikasi dan kenal satu sama
lain. Karena saya ingin mengenal Albert dan bertemu secara langsung, kami
janjian. Jika Albert datang ke Medan, kami janji bertemu. Dan benar, saat
Albert ke Medan, saya berjumpa dengannya.
Jujur, setelah bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan Albert, saya merasa
salut dan bangga dengan anak muda Katolik ini. Pada usianya yang masih
muda, Albert benar-benar menjadi pelayan-Nya. Demi membantu gereja
yang kekurangan, Albert rela pergi sampai ke pelosok-pelosok daerah,
mengorbankan waktu dan tenaga bahkan kesehatannya.
Saya benar-benar bangga. Saya juga kenal Mamanya Albert dan sudah dua
kali bertemu. Saya sudah menganggap Albert seperti saudara saya sendiri dan
Albert juga menganggap saya seperti cici-nya sendiri (cici: kakak).
Sampai sekarang setiap Albert berkunjung ke Medan, kami selalu
menyempatkan diri untuk bertemu.

• Veronica Sitepu:
Albert Bukan soal Uang, Dia tentang Kasih

H alo Ito Albert, yang suka bilang aku jugul. Terima kasih atas kesempatan
memberi sedikit opini tentang Ito. Albertus Nirwanto, namanya yang

112
pertama kali aku ingat.
Sejujurnya di bayanganku saat awal komunikasi via dunia maya, Albert
merupakan sosok yang sudah berusia sekitar 50 tahun dan pasnya sudah
menikah. Eh, ternyata pas mulai ber-BBM ria ketahuanlah bahwa usianya
masih muda, singel, ganteng pula… Cuit … cuit….(pasti langsung merah
mukanya Ito-ku ini)…. He-he.
Kali pertama berkomunikasi adalah saat Albert menggalang dana untuk
Stasi Pusuk di Sumatera Utara. Pada kesempatan itu pula saya jadi mengenal
Program Peduli Gereja Katolik (PPGK) yang punya laman di Facebook. PPGK
dan Albert sudah sepaket, tidak bisa dipisahkan.
Apabila dia sedang di luar kota, apalagi di pelosok, pasti sedang membawa
misi PPGK. Kedatangannya dilakukan, baik saat gereja masih dalam proses
pengecekan lokasi maupun saat menghadiri peresmian gereja yang selesai
dibangun.
Perkenalan dengannya mendorong aku mulai ikut ambil bagian
mendukung PPGK. Terus terang agak ragu awalnya, apakah PPGK ini benar.
Keraguanku sirna karena terbukti begitu banyak gereja yang sudah berdiri atas
uluran tangan para donatur. Yang paling membuat aku tercengang-cengang,
setiap gereja yang akan dibangun selalu didukung oleh sekian banyak donatur.
Target penggalangan dana untuk satu gereja yang dibantu selalu tercapai.
Menurutku, ini luar biasa. Dia kredibel dan didukung tanpa henti.
Pada usia yang muda, dia bisa meyakinkan para donatur lewat karya
dengan komitmen tinggi. Aku pun sama, sudah merasa dekat seperti saudari
kandung untuknya. Kalau sudah bertemu, ada saja topik yang kami bicarakan
dan tentunya sambil makan karena kami sama-sama suka makan, ha-ha-ha….
Dia pribadi yang mengejutkan. Pernah beberapa kali, aku tiba-tiba muncul
di lobi kantornya, padahal sebelumnya masih saling berkabar ada di kantor
masing-masing. Setelah memberi kabar bahwa aku sedang di lobi, Albert
turun dan baru percaya karena dikira bohong.
Demikianlah aku memberi kejutan lagi kemudian. Saya sudah ada di lobi
kantornya bersama abang saya, Pastor Masseo Sitepu OFMCap. Akhirnya,
responsnya, keluarlah kata “jugul” (keras kepala) ke aku karena ia merasa
kedua kalinya kecolongan. Akhirnya, Albert mengatakan, ”Jangan sampai tiga
kali nih aku kecolongan.“
Albert sosok yang kalem dan tenang serta lembut dalam bertutur kata.
Akan tetapi, aku pernah merasakan kepanikan pada dirinya. Kejadiannya, pas
mau mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Eh, dengan nada lirih dan
sedikit gundah, Albert curhat, “Aku lagi stres, Ito.”
Trus kujawab, “Bah, kenapa stres? Kalau ulang tahun gak boleh stres?”

113
Ketahuanlah Albert sedang mengajukan visa ke Eropa dan ternyata ditolak.
Untungnya, masalah terselesaikan. Bisa kubayangkan kebahagiaan Albert
dan Mamanya, yang akhirnya jadilah mereka ke Eropa.
Aku sebagai “Ito jugul”-mu ini berpesan, tetaplah semangat menjalankan
misi PPGK itu, ya, Ito. Akan tetapi, jangan lupa menjaga kesehatan. Karena
kalau tidak sehat, kegiatan Ito pasti akan terkendala. Tuhan memberkati
segala karyamu, ya, Ito, walau saya tahu banyak rintangan yang dihadapi dan
tidak selalu mulus segala kerja kerasmu.
Semoga Mama, Papa, dan Kokomu selalu mendukung walau Ito jarang
di rumah dan membuat Mama merasa kesepian karena anak siampudan-nya
sering “kabur” ke pelosok Indonesia ini.
Ini ada lirik lagu untuk Ito Albert:

Tuhan tak pernah janji langit selalu biru.


Tetapi Dia berjanji selalu menyertai.
Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata.
Tetapi Dia berjanji, berikan kekuatan.
Jangan pernah menyerah, jangan berputus asa.
Mukjizat Tuhan ada, saat hati menyembah.
Jangan pernah menyerah, jangan berputus asa,
Mukjizat Tuhan ada, bagi yang setia dan percaya.

• Masrina Elfrida Sitinjak:


Si Penyemangat Hidupku

A lbert, yang selalu menjadi sumber semangat saya dalam pelayanan


di gereja. Dia dikenal bukan saja di kalangan biarawan-biarawati,
melainkan juga oleh awam di seluruh pelosok Nusantara ini. Rugi rasanya jika
tidak mengenal beliau.
Saya sering iri sama Albert karena pada akhir pekan kerap berkelana ke
pelosok Tanah Air sendirian. Perkenalan saya dengannya adalah lewat Pastor
Nikolaus Sitanggang OFMCap. Kemudian saya paham karyanya dan mulai
tertarik membantu. Lewat laporan-laporan di PPGK, saya tertarik menjadi
bagian dari PPGK. Melalui Albert-lah saya jadi bagian dari PPGK sampai
sekarang.
Tidak pernah terlintas di benak hingga sekarang sudah banyak gereja
dibangun. Oh Tuhan, sungguh luar biasa karya Tuhan lewat Ito ini.

114
Sosok Albert selalu memberikan semangat untuk saya, terutama dalam
pelayanan di gereja. Pertemuan langsung pertama dengan beliau adalah saat
peresmian Gereja Katolik St. Yoseph, Pandan, Tapanuli Tengah. Selama ini,
komunikasi dengan Albert hanya melalui SMS, telepon, BBM, FB, dan WA.
Setelah bertemu langsung, oh... inilah sosok yang selama ini
menyemangatiku. Sosok yang sederhana, murah senyum, dan langsung akrab
layaknya saudara atau teman lama. Tidak salah lagi jika Albert diterima di
semua kalangan.
Dalam doa-doaku, nama Albert selalu kusebut. Berbahagialah juga
orangtua Albert. Semoga lahir banyak Albert lain yang punya semangat tinggi
membantu pembangunan gereja di pelosok Nusantara ini. Nama Allah tetap
dimuliakan.
Harapan dan doa saya, semoga Tuhan selalu menyertai seluruh usaha dan
karya Albert dalam membangun rumah Tuhan.
Tetap semangat Albert …

• Rohanta Saragih:
Anak-anakku Memanggil Dia “Tulang”

P ribadi Albert tak asing lagi bagi keluarga kami, juga bagi putra dan putri
kami. Saya mengajarkan mereka panggil “Tulang” padanya. (Tulang adalah
julukan bagi setiap saudara lelaki seorang ibu. Ini adalah pangkat yang tinggi
dalam adat Batak. Lewat tulang, anak-anak Batak memohon berkat).
Saya kenal pertama kali di dunia maya atas saran Pastor Ambrosius
Nainggolan. Berteman di Facebook saja terasa seperti lama kenal. Selang
tiga hari, kami pun bertemu di pesta peresmian Gereja Stasi Soping, Paroki
Saribudolok, Sumut, yang dia bantu.
Ketika bertemu ia langsung berkata, “Halo botou. Rohanta, kan?” Saya pun
mengulurkan tangan menyalamnya. Mami (saya panggil mami juga ke ibunya
Albert) turut hadir saat itu pun langsung akrab. “Sepertinya saya pernah lihat
kamu, di mana, ya?” Itu kalimat mami pertama kali kepada saya.
Itulah pertemuan pertama kami. Kali kedua bertemu, ketika ibunda saya
dirawat di RS Cikini, Jakarta, tahun 2014. Albert mengajak saya, mami juga
Ando (abangnya Albert), berdoa untuk kesembuhan ibundaku. Saya merasa
ada mukjizat di dalam doanya. Dengan tulus dan khusyuk, ia mendoakan
ibuku, yang sejak pagi tidak bisa tidur dan terus ngoceh.
Albert datang malam hari kira-kira pukul 20.00. Tak lama setelah berdoa,

115
ibuku pun tidur pulas hingga pagi hari. Sejak saat itu, saya tak ragu lagi
padanya. Bahwa ia adalah orang yang dipilih Tuhan dan diberi rahmat khusus
dalam karya pelayanan bagi kemajuan umat beriman.
Sejak itu pula saya tak pernah ragu memberi sedikit rezeki yang kami
terima untuk ia salurkan lewat PPGK. Dia punya keyakinan penuh akan
penyelenggaraan ilahi dalam dirinya. Karena itu, ia tak pernah takut melangkah
ke daerah rawan. Itu saya lihat ketika saya ikut dengannya ke Stasi Lau lingga,
Paroki Tigabinanga. Banyak kesan tentangnya, yang jelas menurutku, dia
punya “talenta khusus dari Allah”.

• Elianta Bangun:
Aku Pun Rela Mengenalkannya kepada Donatur

M engenal Albert pertama sekali saat melihat laman PPGK di Facebook.


Saat itu ingin mulai ikut, tetapi sungkan. Terpikir, kalau saya
membantu dengan kemampuanku, apakah tidak diketawain. Ternyata tidak.
Dia menghargai bantuan seberapa pun nilainya.
Suatu hari ada lagi gerakan, kali ini bukan untuk gereja, melainkan untuk
membantu para pengungsi korban letusan Gunung Sinabung, Tanah Karo.
Gerakan ini kemudian yang turut membawa saya tertarik mendukung gerakan
PPGK soal pembangunan gereja.
Soal bantuan korban letusan Gunung Sinabung, saya pun mulai mengajak
satu keponakan untuk turut terlibat. Kami ada tiga orang dan bekerja sama
menyatukan bantuan agar total dananya kelihatan lumayan gede.
Saya beri tahu lewat Whatsapp (WA) bantuan sudah masuk. Ini langsung
dia jawab, “Sudah diterima, Bu... terima kasih. Berkat Tuhan melimpah ya...!”
Kemudian pembicaraan berlanjut ke topik lain. Dia tahu daerah Karo. Kok
dia banyak tahu daerah Tanah Karo? Demikian pikirku. Apa lagi saat dia tanya
soal kampung saya dan langsung dia bilang, “Gerejanya St Petrus, ya, Bu...?”
Sudah mulai ada rasa persaudaraan terjalin.
Suatu hari di lain waktu, Albert menghubungi saya lewat WA. Dia minta
tolong untuk dibuatkan kata-kata dalam bahasa Karo untuk program
pembangunan Gereja Katolik di Kuta Doulu, Paroki Berastagi....
Mendengar itu, saya jelas ketawa. Ya, karena bahasa Karo saya adalah
bahasa Karo orang kebanyakan.... Saya bilang sembari bercanda agar dia minta
saja ke umat Karo yang lain.
Waktu berlanjut dan perkenalan menguat. Albert membuat saya semakin

116
penasaran dengan kegiatan PPGK-nya. Dari pembicaraannya, saya pun
semakin tertarik untuk ikut membantu PPGK. Saya beranikan ikut dengan
segala kemampuan saya. Hari itu juga saya merasa tambah bahagia karena
mendapatkan ponakan yang amat baik, yakni Albert.
Ini karena Albert memanggil saya “bibik” berdasarkan marga yang diberikan
padanya sesuai adat Karo, Ginting.
Suatu saat, saya berjumpa langsung, kesan pertama saya adalah kaget
karena yang saya lihat langsung tidak sesuai dengan bayangan saya sebelumnya.
Saya memang sudah melihat wajahnya di Facebook. Kesan sekilas, Albert
itu seperti anak usia yang baru tamat SMA nan polos dan baik. Namun, tentu
dalam bayangan saya, sebelum bertemu langsung, dia adalah orang yang
dewasa dan berwibawa. Ini saya simpulkan dari kata-katanya jika bercerita
lewat WA.
Saat bertemu, dia begitu sederhana dan bersahaja. Jika dia menulis atau
bertutur lewat media sosial, dewasa banget. Saat ketemu, dia rileks, tenang,
santai. Enak sekali berkomunikasi nyata dengannya. Kesan wibawa kelas
tinggi sirna dan yang ada adalah respek padanya. Tidak membosankan dan
mau berlama-lama dengannya.
Saat berjumpa dengan Albert, ada perasaan semakin bangga dan senang.
Ada anak muda yang mau melaksakan pekerjaan yang luar biasa.
Setelah beberapa kali berjumpa dan berkomunikasi, saya melihat Albert
adalah “yang dipilih Tuhan dalam tugas khusus”. Setelah berkali-kali bertemu,
ada beberapa poin yang saya dapatkan dari diri Albert.
1. Bekerja harus jujur, bertanggung jawab, dan semangat.
Dia pun bertutur bahwa setiap pekerjaan itu harus selalu selesai.
“Kita rela berkorban dari segi waktu dan tenaga,” katanya.
2. Memberi atau membantu.
Saat jumpa lagi, saya pernah katakan, “Sebenarnya Bibik malu juga ya.
Bibik-lah yang paling sedikit menyumbang.” Namun, luar biasa
jawabannya. “Bibik, uang Rp 10.000 atau Rp 10 juta buat saya sama
saja. Semua jadi berkat karena dari uang 10.000 juga gereja itu telah
berdiri. Tuhan tahu semua yang Bibik berikan dan selalulah Bibik
kiranya diberkati.”
3. Ucapan terima kasih dan doa bagi yang sudah membantu.
Suatu saat ada gereja yang saya ikut terlibat mencari donatur. Setiap
saya katakan si A sudah menyumbang atau si B sudah membantu ... dia
langsung ucapkan terima kasih kepada yang bersangkutan dan
mendoakannya. Padahal, mereka itu bukan membantu lewat PPGK.
Itu sampai sekarang tidak pernah dia lupa untuk mengatakannya.

117
Kadang dia bilang kepada saya kalau saya konfirmasi bahwa dana
sudah masuk, “Bibik baik sekali, ya.”
Ha-ha-ha. Dasar Albert, deh. Pintar banget ngerayunya.
4. Rendah hati dan selalu ramah.
Saya tahu dia pasti capek dalam memenuhi keinginan umat untuk
dekat dengan dia, tetapi dia selalu bersedia dan selalu tersenyum
termasuk saat sesi pemotretan di mana dia ditarik sana sini. Akan
tetapi, dia tetap saja tersenyum dan posisinya saat dipotret oke ha-ha-
ha. Dia memang fotogenik.
5. Tidak mau membahas berapa donasi orang lain.
Tidak pernah mau memberi tahu si A atau si B menyumbang sekian.
Saya termasuk orang yang ingin tahu saja. Pernah saya tanya si A kan
sudah transfer, berapa, ya? Jawabannya amat bijak, “Gak boleh gitu
Bik…. Coba kalau Bibik ditanya berapa sumbangannya? Gak enak, kan,
ha-ha-ha. Pikirku, iya juga ya.
Selain itu, dia juga akan selalu bilang, “Syukur loh Bik si A sudah ikutan.
Terima kasih, ya, Bik udah dikenalkan PPGK kepada para donatur
budiman.”
Dengan 5 poin itu saya pun akhirnya berani dan semangat mengenalkan
Albert dan kegiatannya kepada beberapa teman dan saudara. Saya tahu,
mereka ini semua sekarang menjadi sebagian kecil dari donatur-donatur
PPGK. Bahkan, para donatur semakin bersemangat berbagi buat siapa pun, di
antaranya Rosta Adelina Ginting, Sri Muliana Bangun, Tina Bangun, Thomas
Surbakti, Maghdalena Sitepu, Sehati Sitepu, Indra Sembiring, Fitri Surbakti,
Yovita Sitepu, dan Asmaria Bangun.
Para donatur juga mengenalkan Albert kepada Keluarga Karo Katolik
Bogor bahkan mengundangnya saat misa bulanan Karo Katolik di Obor,
Jakarta.
Lalu adakah kekurangan Albert? Kekurangannya pastilah ada, yakni
kesehatannya sendiri masih kurang dia perhatikan. Kekurangan dia yang
lainnya? Saya belum ketemu.
Akhir kata, Bibik-nya yang begitu menyayanginya hanya bisa berdoa,
agar tetaplah keponakanku ini seperti Albert yang kami kenal, yakni selalu
semangat dalam tugas dan pelayanan. Tetaplah memegang teguh kejujuran
dan kepercayaan semua orang karena masih banyak gereja di pedalaman yang
memerlukan uluran tangan dari para penderma melalui tangan Albert yang
dipercayai.
Tentu saja yang tidak kalah penting, kiranya Albert mendapatkan
pasangan hidup yang terbaik.

118
7. Semua Donatur Menjadi Sahabat

T idak akan ada diskriminasi dari Albert terhadap para donatur, besar-kecil
sumbangan dia tetap menghargai setara. Hal ini membuat para donatur
semakin jatuh cinta pada karyanya. Kebetulan aksi Albert merupakan
pemenuhan bagian iman para donatur. Ini juga merupakan wujud cinta
kepada sesama lewat tindakan berbagi. Para donatur menyukai dan sejauh ini
tidak pernah bosan mendukung.
Elianta Bangun adalah salah satu dari antara para donator tersebut. “Saat
saya mulai ikut membantu ada rasa sungkan dan perasaan malu. Terpikir,
membantu dengan kemampuanku yang tidak seberapa, apakah tidak
ditertawakan? Ternyata tidak,” begitu Elianta menyampaikan kepada penulis.
Menurut Elianta, Albert menghargai semua donatur, seberapa pun nilai
bantuan yang diberikan.

Pastor Angelo PK (paling kanan) bersama Albert dan rekan-rekan yang selalu mendukung
dan turut menjadi donatur.

119
“Saat berjumpa dengannya, saya pernah berkata, sebenarnya malu juga
ya... Bibi paling sedikit menyumbang. Namun, luar biasa jawabannya. ‘Bi, uang
Rp 10.000 atau Rp 10 juta buat saya sama saja. Semua jadi berkat. Karena uang
10.000 juga gereja itu telah berdiri. Tuhan tahu semua yang Bibi berikan dan
selalulah Bibi kiranya diberkati,’” demikian kenang Elianta yang dipanggil Bibi
(tante, dalam Bahasa Karo) oleh Albert.
Albert pun tidak pernah mau memberi tahu si A menyumbang sekian atau
si B sekian. “Saya termasuk orang yang ingin tahu saja. Pernah saya Tanya, ‘Si
A kan sudah transfer, berapa ya?’ Jawabannya amat bijak, ‘Gak boleh begitu,
Bi. Coba kalau Bibi ditanya berapa sumbangannya? Gak enak, kan,’ ha-ha-ha”.
“Pikirku, iya juga, ya.”
“Dan dia akan selalu bilang, ‘Syukur lo Bi si A sudah ikutan. Terima kasih,
ya, Bi sudah memperkenalkan PPGK kepada para donatur budiman,” kata
Elianta mengenang respons Albert.
Albert juga responsif pada setiap pesan kepadanya untuk memberitahukan
bahwa bantuan sudah ditransfer. “Saat saya konfirmasikan lewat media sosial
bahwa bantuan sudah masuk, langsung dia jawab dengan kalimat, ‘Sudah
diterima Bi, terima kasih. Berkat Tuhan melimpah, ya...!”
Albert memiliki insting alamiah yang bagus untuk mendekati rekanan.
Dia, misalnya, akan memicu simpatik lebih dalam dengan mengenal lebih
detail daerah asal donatur. Adapun Elianta berasal dari Batukarang, Tanah
Karo, Sumatera Utara.
“Nama pelindung Gerejanya St. Petrus, ya, Bi...?” demikian Albert pernah
berbincang lewat media sosial dengan Elianta.
“Aku penasaran. Kok dia banyak tahu daerahku? Demikian pikirku.
Apalagi, saat dia tanya soal kampung saya, rasa persaudaraan langsung
terjalin,” kata Elianta dan seorang perawat yang bertugas di sebuah rumah
sakit di Bogor, Jawa Barat.
Elianta mengamati Albert memang berperilaku mengagumkan bagi
siapa saja, termasuk kepada donatur. Oleh sebab itu, Albert menjadi mirip
seorang selebritas di lingkungannya dan sering diajak berkunjung. Albert
pada umumnya memenuhi undangan seperti itu. Walau sibuk dan tugasnya
memenatkan, Albert selalu tampil tenang dan tersenyum.
“Saya tahu dia pasti capek dalam memenuhi keinginan umat untuk
dekat dengan dia, tetapi dia selalu bersedia dan tersenyum, termasuk saat
sesi pemotretan di mana dia ditarik sana-sini oleh khalayak. Dia tetap saja
tersenyum. Raut wajahnya saat dipotret pun selalu oke, ha-ha-ha. Dia memang
fotogenik.”

120
Albert adalah figur magnet yang mengundang orang antusias mendukung
kegiatannya. Elianta pun akhirnya berani dan bersemangat mengenalkan
Albert serta kegiatannya kepada beberapa teman dan saudaranya.
Menurut Elianta, teman-temanya sekarang banyak yang telah menjadi
bagian dari donatur-donatur PPGK. Bahkan, para donatur ini semakin
bersemangat berbagi buat siapa pun, di antaranya Rosta Adelina Ginting, Sri
Muliana Bangun, Tina Bangun, Thomas Surbakti, Maghdalena Sitepu, Sehati
Sitepu, Indra Sembiring, Fitri Surbakti, Yovita Sitepu, dan Asmaria bangun.
Para donatur ini juga mengenalkan Albert kepada Keluarga Karo Katolik
Bogor bahkan mengundangnya saat misa bulanan Karo Katolik di Obor,
Jakarta.

Bi, uang Rp
10.000 atau

Rp 10 juta
buat saya
sama saja.
Semua jadi
berkat.
121
8. Prosedur Mendapatkan Bantuan PPGK

B agaimana mendapatkan bantuan dana pembangunan dari Program Peduli


Gereja Katolik (PPGK)? Program ini awalnya belumlah tersistematis
dengan baik. Kemunculannya pun berjalan begitu saja. Albert mengandalkan
saja semuanya pada Providencia Dei (penyelenggaraan ilahi).
Dengan niat yang tulus, semuanya berjalan baik dan semakin lancar. Pada
kesempatan ini, perlu rasanya kita mengetahui kisah bantuan dari PPGK ini,
terutama soal bagaimana proses mendapatkannya.

• Albert Proaktif Mencari Gereja

P astor Karolus Lanang Ona memberikan kesaksian bagaimana dirinya


berkenalan dengan Albert dan bisa mendapatkan bantuan dari PPGK.

Albert saya kenal karena beliau “mencari” saya. Ini setelah


saya posting gambar gereja salah satu stasi di Paroki St
Yosef, Lawe Desky, Sumatera Utara, di laman Facebook.
Komunikasi kami berlanjut.

Sebelum terpikir untuk menciptakan PPGK, Albert sudah


terbawa arus untuk berteman lewat dunia maya dengan
banyak biarawan dan biarawati. Albert pun membantu
kami mencari dana untuk pembangunan gereja Stasi St.
Petrus Kinangkong, yang rusak karena terkena longsor.
Saat itu kami belum pernah sekali pun berjumpa dengan
orang yang baik hati bernama Albertus Gregory Tan.

Namun, tindakan “mencari”-nya membawa dia merasuk


ke dalam hati kami. Pertemuan pertama terjadi justru
setelah pembangunan gereja selesai. Satu sore hari Albert
tiba di paroki kami. Tanpa ragu, saya langsung mengenali
Albert.

Pribadi yang tenang dengan suara yang halus. Ini


melukiskan seperti apa hatinya. Pencariannya terhadap
kami membuatnya paham tentang keadaan gereja di
paroki kami. Ini membuat stasi kedua juga mendapatkan

122
uluran tangan, sebuah stasi baru, Stasi St. Carolus
Borromeus di Lau Mandin. Rumah ibadat stasi ini masih
darurat.

Menarik mencermati keuletannya “mencari” gereja-gereja


yang sangat membutuhkan uluran tangan. Tanpa kenal
lelah Albert berjibaku dengan waktu hanya untuk melihat
dari dekat situasi gereja yang membutuhkan uluran
tangan.

Semangat “mencari” ini mengingatkan kita akan sang


guru, Yesus, yang selalu mencari dan menolong mereka
yang susah. Saudara kami Albert, janganlah lelah
“mencari” karena engkau akan mendapat yang lain dari
Tuhan. Selamat berjuang saudaraku.

Pastor Ambrosius Nainggolan termasuk yang dicari Albert, untuk


pembangunan gereja Stasi Soping. Awalnya adalah postingan gereja lama yang
reyot di Facebook dari Pastor Ambrosius dan kebetulan terlihat oleh Albert.

• Para Pastor Mencari dan Menemukan Albert

D alam kasus lain setelah berjalan sekian lama, rupanya laman PPGK
mulai besar. Ini menolong beberapa pihak untuk mendapatkan bantuan,
seperti dikisahkan Pastor Stefanus Rehi Mete.

Tahun 2013 saya adalah seorang pastor di sebuah paroki


yang baru diresmikan, yakni Quasi paroki St. Paulus,
Karuni, Sumba. Saya seorang diri melayani 17 stasi.
Bukanlah jumlah yang luar biasa mengingat ada juga
paroki-paroki raksasa, seperti cerita kawan-kawan dari
bumi Kalimantan atau Sumatera, bahwa ada paroki
dengan 50 stasi atau bahkan lebih.

Namun, seorang diri melayani 17 stasi bukan hal yang


mudah. Sebelumnya, saya adalah seorang pastor yang
terbiasa dengan karya bersama tim, berenam atau bahkan
bersama 8 teman imam. Saya sebelumnya terbiasa

123
bertugas bersama di sebuah stasi selama 3 hingga 6 bulan.
Ini disebut misi umat dan merupakan karya pastoral khas
para imam CSsR.

Sebagai pastor di Paroki Karuni, saya harus bekerja


sendiri bersama umat, tanpa seorang pastor atau pun
seorang frater. Hampir setahun berkarya tak terasa dan
ada saja cara Tuhan membuat karya berjalan baik, antara
lain selalu ada sesama imam dari luar paroki yang datang
membantu setiap saya membutuhkan pelayanan pastoral
di paroki.

Dalam pelayanan ini ada hal lain yang sangat


memprihatinkan, kondisi rumah ibadat di beberapa
stasi yang jauh dari layak. Umat mempunyai semangat
iman tinggi, tetapi tempat beribadat kurang nyaman, di
antaranya Stasi Pageso Tobbu.

Ingin sekali saya menata dan membenahi, tetapi tentu


membutuhkan biaya. Soal ini tak tahu bagaimana cara
bahkan tak tahu bicara kepada siapa.

Mengharapkan swadaya dari umat sangat tidak mudah


karena mereka pun hidup dengan kemampuan ekonomi
terbatas. Jangankan dimintai sumbangan, untuk
memenuhi kebutuhan hidup harian saja umat masih
kesulitan. Maka suatu kali dalam sebuah perbincangan
dengan seorang kawan pastor, saya mendengar informasi
tentang PPGK.

Lewat Facebook, saya mengontak Albert yang saat itu


belum kukenal. Saya mengundangnya sebagai teman di
Facebook dan menceritakan kondisi paroki dan stasi serta
harapan untuk diberi bantuan. Terus terang saya benar-
benar hanya mencoba-coba saja. Saat itu lebih besar rasa
tak yakin dan tidak terlalu berharap.

Karena perasaan tak yakin itu, permintaan saya sebatas


rehab, artinya tak harus ditembok, yang penting cukup

124
mengerjakan atap dan lantai permanen. Untuk dinding
cukup dibuat dari belahan bambu. Saya berpikir saat itu,
jika permintaan dana tidak besar, kemungkinan lebih
besar untuk dikabulkan.

Tiga hari kemudian Albert langsung merespons dan


meminta proposal. Saya merasa heran, beliau tidak
menanyakan siapa saya dan latar belakang dan segala
macam. Beberapa waktu proposal yang saya kirimkan
diterima Albert. Dia langsung menghubungi saya lewat
telepon.

Saya memanggilnya, bapak. Albert menjawab, “Romo,


jangan panggil saya ‘bapak’ karena saya lebih muda dari
Romo … “

Tak terbayang Albert itu masih sangat muda untuk


urusan sebesar itu. Hal yang luar biasa proposalku
diterima. Albert menambahkan, “Jangan hanya direhab,
agar dibangun permanen saja”. Saya mengiyakan.

Tidak berharap begitu mudah, tetapi ternyata sangat


mudah, tidak ribet, tidak banyak prosedur. Saya membatin
bahwa ini adalah sebuah kepercayaan dan harus
dipertanggungjawabkan semestinya. Sebulan kemudian,
dana dikirimkan. Pembangunan Gereja St. Bernardus,
Pageso Tobbu, pun dilaksanakan.

• Respons Albert Cepat

L ain lagi apa yang dirasakan Pastor Petrus Julianus terkait karya Albert
dalam menghimpun dana untuk pembangunan gereja-gereja di pelosok.
Berikut penuturan Pastor Petrus Julianus.

Saya mencoba mengontak Albert dan direspons sangat


baik. Setelah mendapat info yang cukup, saya mengajukan
proposal untuk pembangunan Gereja Stasi St. Thomas
Rasul Buntut, Pimpinan Paroki Ambalau, Keuskupan

125
Sintang Kalimantan Barat. Proposal ditanggapi dan
gereja stasi dibangun dan sudah diresmikan oleh bapak
Uskup Sintang Mgr. Agustinus Agus.

Albert tidak hanya melayani permohonan dari para pastor. Awam, seperti
Tonny Sutedja, juga dilayani. Tonny Sutedja pun berkenan membagikan
pengalamannya.
Tonny adalah Wakil Ketua Stasi Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga,
Anduonohu, Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Kendari. Sama seperti Pastor
Petrus Julianus, Tonny sudah mengenal Albert lewat Facebook.

Saya mengapresiasi upayanya mencari dana demi


pembangunan gedung gereja, khususnya di daerah yang
jauh dan terpencil.

Dalam satu kesempatan pada tahun 2013, bersama Romo


Martin Solon Pr, kami meminta tolong agar Stasi Santo
Raymundus, Punggaluku, dibantu. Permohonan disetujui.
Proses pencarian dana tersebut berlangsung dalam dua
tahap. Keseluruhan pembangunan gereja Stasi Santo
Raymundus, Punggaluku, selesai pada Desember 2014,
menjelang perayaan Natal.

Pada hari Sabtu, 17 Januari 2015, Albert ditemani


Theresia Ann berkunjung ke Kendari serta menginap
di Pastoran Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Kendari.
Pada hari Minggu, 18 Januari 2015 kemudian kami
mengunjungi Stasi Santo Raymundus, Punggaluku
(berjarak sekitar 60 km dari Kendari, pusat paroki)
ditemani oleh Romo Herman Panggalo Pr (Pastor paroki
yang menggantikan Romo Martin Solon Pr).

Setelah Perayaan Ekaristi, Albert dan Theresia


membagikan rosario kepada anak-anak SEKAMI Stasi
tersebut. Sore harinya, Albert dan Theresia meninggalkan
kota Kendari, Sulawesi Tenggara, dan kembali ke Jakarta.

126
Albert kadang harus bersampanuntuk mencapai daerah terpencil (atas). Albert naik jeep
untuk menembus daerah yang sulit (bawah).

127
• Para Pastor Mendapat Info Soal Sumber Bantuan

K isah lain adalah Albert telah memiliki banyak kerabat. Maka kerabat ke
kerabat bertutur hingga terdengar ke telinga Pastor Masseo Sitepu, saat
bertugas di Paroki Santa Lusia Parlilitan.

Pada tahun 2012, saya kesulitan mendapatkan dana


untuk pembangunan Gereja Katolik Santa Maria Pusuk
1. Pembangunan sudah berlangsung lama sebelum saya
datang, tetapi tak juga kunjung selesai.

Kemampuan umat sangat terbatas mengingat Paroki


Parlilitan berada di daerah pelosok Sumatera Utara. Jika
hanya mengandalkan swadaya umat, pembangunan
takkan pernah kelar. Saya tergerak membantu umat
mendapatkan bantuan dana dari luar paroki. Mereka
sudah terlalu lama berjuang.

Saya mendapat kabar dari rekan imam di paroki lain,


ada seorang anak muda di Jakarta yang suka membantu
umat di pelosok untuk membangun gereja, Albert. Saya
diperkenalkan kepada Albert. Dari sini kami berbincang
lewat telepon seluler. Saya mendapat kesan bahwa Albert
ramah dan cepat akrab, tetapi ada ketegasan.

Albert langsung merespons dengan meminta proposal.


Albert juga memperkenalkan laman Facebook PPGK
untuk membantu saya lebih jauh mengenal program
tersebut.
Tak sampai seminggu, proposal yang diminta Albert kami
kirimkan ke Jakarta. Sambil menunggu balasan Pastor
Maseo memperdalam pemahaman atas PPGK yang
dikoordinasikan Albert.

Di situ saya memahami, Albert memanfaatkan Facebook


untuk mengajak umat Katolik peduli pada gereja-gereja
Katolik yang ada di pelosok. Sifat gerakan itu tidak
memaksa. Saya cukup kagum dengan metode kerja

128
Albert yang simpel, tetapi transparan. Semua sumbangan
terpampang dengan jelas dan transparan di akun
Facebook PPGK.

Tiga bulan menunggu antrean untuk dipublikasikan di


laman Facebook PPGK, akhirnya proprosal Stasi Santa
Maria Pusuk 1 muncul ke publik. Sungguh luar biasa
kasih Tuhan yang tampak dalam proses pengumpulan
dana untuk Stasi Pusuk 1. Dalam dua pekan, target
pencapaian terpenuhi.

Stasi Santa Maria Pusuk 1 mendapat bantuan sebesar


Rp 129 juta. Angka yang sangat fantastis dan tidak saya
duga sebelumnya. Jumlah bantuan yang terpampang di
akun Facebook PPGK kemudian ditransfer seluruhnya ke
rekening panitia. Satu rupiah pun tidak ada hilang!

Tuhan mengabulkan doa umat Stasi St. Maria


Pusuk 1. Kini waktunya umat stasi bekerja keras
mempertanggungjawabkan bantuan tersebut dengan
segera melanjutkan pembangunan. Dalam waktu empat
bulan, pembangunan akhirnya tuntas. Umat bahagia.
Pastornya juga bahagia.

Tak ketinggalan tim PPGK sebagai mediator bantuan


pem-bangunan turut berbahagia bahwa sumbangan
kepeduliaan umat se-Nusantara sungguh-sungguh
dipakai sesuai peruntukannya.

Pada bulan Agustus 2013, Gereja Santa Maria Stasi


Pusuk 1 diberkati oleh Uskup AG Pius Datubara dan
langsung disaksikan Albert.

Hari pemberkatan gereja tersebut menjadi hari yang


sangat membahagiakan bagi umat Tuhan di Pusuk 1.
Mereka mulai memahami arti kesatuan umat Katolik.
Dalam kata sambutannya, Albert menceritakan awal
kepeduliannya kepada umat Katolik di pelosok.

129
Batin Albert sangat kaget dan terpukul melihat umat
Katolik beribadat di gereja yang sudah reyot dan berlantai
tanah, sementara gereja Katolik di daerahnya di Jakarta
sangat mewah dan nyaman untuk berdoa.

Dia merasa bahwa umat di pelosok pun punya hak untuk


berdoa dan memuji Tuhan di gedung gereja yang layak.
Dengan keprihatinan itu, dia pun mulai menggunakan
media sosial Facebook bukan hanya sebatas “say hallo”,
tetapi untuk menjaring kepedulian sesama umat Katolik
demi membantu umat lain yang berada di pelosok.

Untuk memenuhi persyaratan PPGK itu, tentu Pastor


Paroki punya peran penting mengawal bantuan dari
PPGK supaya tepat peruntukannya dan pembangunan
berpuncak pada pemberkatan gereja.

Albert merasa sedih sekali jika ada gereja yang dibantu


PPGK tidak tuntas dan tidak punya laporan. Bantuan
yang diberikan tidak dikoordinasi oleh pastor paroki dan
malah “buang badan” dari pertanggungjawaban.

Saya mencoba mengikuti perkembangan pembangunan


yang dibantu PPGK di mana Albert cukup rajin
menginformasikan di Facebook PPGK tentang gereja yang
dibantu dan yang sudah selesai pembangunannya. Saya
memperhatikan bahwa sejumlah gereja yang dibantu
PPGK cukup lama proses penyelesaiannya, bahkan ada
yang tidak tuntas. Situasi seperti ini, menurut saya, tidak
lagi sesuai dengan spirit PPGK di mana gereja yang
dibantu harus berjuang menuntaskannya.

Ketidakberesan dalam pembangunan gereja, seperti itulah


yang saya hindari ketika mendapatkan bantuan dari
PPGK. Sebagai pastor paroki, saya harus menimbang
banyak hal, ketika saya mendapatkan bantuan dari
PPGK. Saya tidak asal menyodorkan proposal ke PPGK.
Saya harus bisa memastikan pembangunan tuntas dan
bisa diberkati secepatnya ketika PPGK “turun tangan”

130
memberi bantuan. Kemudian, saya akan berjuang keras
dan mengajak umat untuk tidak mengkhianati kebaikan
orang yang dimediasi PPGK.

Dengan cara itulah saya ikut serta menjaga kredibilitas


PPGK dan menghormati kebaikan donatur yang
dikoordinasi Albert. Secara pribadi, saya sebagai pastor
kampung sungguh sangat terbantu dan sangat bersyukur
dengan adanya program PPGK. Saya merasakan
manfaatnya di Paroki Parlilitan. Harapan saya, PPGK
tetap berkembang sebagai saluran kasih Allah untuk
membantu umat Katolik di pelosok membangun
gerejanya. Secara khusus, saya berharap Albert tetap kuat
menjalankan misi luhur PPGK.

• Prosedur Bantuan Tidak rumit

D ari penuturan pengalaman terkait perolehan bantuan lewat PPGK di atas


terlihat bahwa proses mendapatkan bantuan dari PPGK tidaklah rumit.
Andreas Erik Lega, rekan Albert di PPGK, menuliskan mekanisme pengajuan
permohonan bantuan.
Untuk meminta bantuan tidak membutuhkan syarat yang rumit, hanya:
1. Unggah foto stasi/gereja yang akan dibangun di Facebook PPGK.
2. Kirimkan proposal dilengkapi struktur panitia pembangunan
3. Proposal itu ditandatangani uskup setempat dan dibubuhi stempel.
Sasarannya adalah gedung gereja yang kurang layak, bukan yang
bagus untuk dipermewah. Untuk saat ini, bantuan hanya ditujukan untuk
pembangunan gereja yang kurang layak dan berada di daerah.
Sebenarnya, menurut tim PPGK, ada banyak kegiatan sosial lain yang bisa
dilakukan. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia, tim akhirnya
fokus pada satu hal supaya terarah dan bisa diwujudkan.

131
Bab III

Laporannya
Sistematis
Kejujuran adalah pilar kepercayaan. Orang jujur akan
meraih segala manfaat berkat kepercayaan itu. Dan
orang jujur mengatakan yang benar, tulus, tidak menipu,
tidak mengecoh, tidak bertindak menyimpang atau lihai.
Orang jujur tidak menyalahgunakan kepercayaan, tidak
menyimpan informasi penting dalam hubungan berasas
saling percaya, tidak mencuri, tidak menipu.

—Michael Josephson, pakar kepemimpinan dan etika


bisnis dari Josephson Institute.

U
ngkapan di atas agaknya mengena dengan
apa yang terjadi dan yang dilakukan Albert.
Kejujuran telah membuatnya dipercayai. Kata-
kata dan tindakan Albert soal kejujuran pun
seiring. Itu dia buktikan secara otentik lewat
dokumen-dokumen pengisi laporan keuangan.
Anak muda lulusan jurusan Administrasi Pemerintahan Universitas
Indonesia ini memang jelimet.
Dia catat setiap dana masuk, lengkap besaran, nama donatur dan jam
transfer. Dia merespons semua donatur jika memberi tahu telah mentransfer
dana. Bahkan, dia memberikan informasi dana yang sudah masuk kepada

132
donatur yang mentransfer walau tidak meminta konfirmasi balik.
Albert menggunakan sistem phone-banking untuk ini sehingga
memungkinkan dia tahu otomatis bahwa dana sudah masuk. Tidak
mengherankan, hari-hari Albert pun disibukkan dengan gawai untuk
keperluan ini.
Sering nama donatur tidak tercatat dalam buku tabungan. Akan tetapi,
Albert membuat format yang memungkinkan donatur memberi tahu transfer
telah dilakukan lewat pesan singkat (SMS). Format ini dengan sendirinya
memunculkan informasi siapa yang mentransfer, besaran, dan informasi
lainnya.
Siapa saja yang perlu bukti-bukti, Albert punya laporan lengkap. Sebab, dia
menyusun semua detail transfer yang tersimpan rapi.

Proposal-proposal yang ditolak karena tidak sesuai kriteria.

133
• Menelisik para Penerima Bantuan
Pertanyaan lanjutan, benarkah dana-dana tidak disalahgunakan? Benarkah
tepat dipakai stasi, lokasi gereja penerima sumbangan? Kejujuran Albert tidak
sebatas rincian dana-dana donatur yang masuk.
Kepada calon penerima bantuan, Albert meminta proposal permohonan
bantuan. Proposal-proposal diseleksi dan tidak semua lolos.
Apa alasan di balik proposal yang titolak?
1. Membangun terlalu mewah di kampung yang notabene umatnya
miskin. Tidak boleh ada unsur kemewahan dan terkesan berlebihan.
2. Ada indikasi penggelembungan anggaran pembangunan.
3. Rekam jejak penerima bantuan yang kurang solid soal pengelolaan
uang.
Albert punya trik tersendiri melacak semua ini. Bukan saja memeriksa
proposal, dia juga mendalami saksama kredibilitas calon penerima bantuan.
Untuk proposal lolos seleksi, laman Facebook PPGK segera memampangkan
rincian proposal. Siapa pun donatur yang merasa perlu memeriksa proposal
yang lolos, bebas mangakses.
Proposal yang lolos memampangkan nomor telepon penerima bantuan
sehingga khalayak bisa menghubungi.
Inilah sebabnya, mulai dari penerimaan hingga pemberitahuan, apakah
proposal diterima atau tidak, ada waktu. Sebab, sebelum menyetujuinya,
berbagai aspek diamati secara saksama.
Pertanggungjawaban tidak hanya sebatas itu. Setelah dana dipakai, rincian
penggunaan pun harus disusun oleh penerima. Ini conditio sine qua non. Sebelum
dana dialirkan ke penerima, ada perjanjian bahwa setelah gereja selesai
dibangun atau direnovasi, laporan penggunaan dana harus disusun. Jika tidak,
akan rawan masuk kategori wanprestasi. Albert akan terus meminta hingga
mendesak agar laporan dibuatkan.
Soal laporan ini tidak berlaku asas belas kasih, tidak berlaku asas
pertemanan. Laporan adalah laporan, apa pun konsekuensi ketidaksukaan
yang mungkin akan dihadapi Albert. Jika penerima dana kebetulan sedang
sibuk, ada toleransi waktu, tetapi pada waktunya harus melaporkan.
Jika sudah selesai, semua laporan penggunaan dana ini juga bisa diakses di
laman PPGK. Namun, sebelum itu Albert akan memeriksa setiap rupiah yang
dipakai. “Sebab, kita tidak mau dana-dana yang kita alirkan menjadi sumber
dosa bagi penerima,” kata Albert.
Para donatur dan publik sudah yakin bahwa Albert begitu saksama. Atas

134
segala upaya ini, donatur tetap setia mendukung dan jumlah donatur sudah di
atas 5.000 orang.

• Memaklumi Persyaratan
Seperti gayung bersambut, penerima bantuan umumnya maklum pada
asas resiprokal, dalam hal persyaratan. Tonny Sutedja, Wakil Ketua Stasi Santa
Perawan Maria Diangkat ke Surga, Anduonohu, Paroki Santo Fransiskus
Xaverius, Kendari, salah satu yang mendukung penuh.
Dikatakan, upaya pencarian dana untuk pembangunan di daerah yang
jauh tidaklah mudah. Sebab, itu dimaklumi jika ada persyaratan se-hingga
memunculkan kepercayaan para donatur. Ini akan melanggengkan aliran
bantuan.
Hanya persoalan di lapangan, ada masalah terkait karakter panitia
pembangunan yang beragam. Ada persoalan menyangkut pertanggungjawaban
pemakaian dana seperti kesulitan dalam proses penyusunan. Para bendahara
adalah mereka yang dipercaya memegang uang, tetapi kurang memahami
pembuatan laporan.
“Hal inilah yang sering menjadi hambatan bagi PPGK selama ini, khususnya
yang saya tahu di wilayah KAMS. Saya berharap hambatan tersebut tidak
menjadi rintangan, tetapi tantangan ke depan. Selain paham proses pencarian
dana, penerima juga sebaiknya paham penyusunan laporan keuangan,” kata
Tonny.
Dalam penyusunan laporan, sebenarnya Albert tidak mempersulit. Albert
hanya meminta rincian pengeluaran yang sederhana, tetapi lengkap setiap
aliran rupiah. Albert bersedia menyusun kembali semua catatan dengan
format yang layak sesuai dengan kaidah laporan keuangan.
Albert memahami bahwa tidak semua bendahara bisa menyusun laporan,
tetapi dia siap memandu.

135
Bab IV

Decak Kagum
Padanya
1. Umat Terpencil Terenyuh

Saudara kami Albert, janganlah lelah “mencari”


karena engkau akan mendapat yang lain dari Tuhan.
Selamat berjuang saudaraku. Semangat “mencari-mu”
mengingatkan saya akan Sang Guru, Yesus, yang selalu
mencari dan menolong mereka yang susah.

B
egitulah ungkapan kebahagiaan para umat, juga
pastor. Lebih kurang mirip dengan kalimat di atas
yang ditorehkan Pastor Karolus Lanang Ona, Lau
Desky, Aceh. Kadang hingga muncul rasa lega
yang menorehkan air mata karena terbantu oleh
karya Albert.
Yohannes Widodo juga menyampaikan betapa istrinya, Yohana Watini
Vitrianti (Wati), benar-benar terharu karena bahagia.
Kisahnya, pada Juli 2014, para pengurus Stasi Purwoharjo, Keuskupan
Malang, Jawa Timur, baru saja terpilih. Ketua stasi baru adalah Wati.
Dia mewarisi bangunan gereja stasi yang sangat memprihatinkan.
Bagian atap dan dinding berbahan kayu sudah lapuk dan kapasitas ruangan
sangat kecil, tidak mampu lagi menampung umat yang semakin bertambah.

136
Khalayak umum tidak tahu bahwa bangunan itu adalah gereja Katolik karena
mirip kandang.
Wati berusaha mencari cara untuk sekadar renovasi. Wati merasa sangat
pesimistis bisa berhasil membangun Gereja Stasi Purwoharjo. Akan tetapi, dia
mencoba meminta anak perempuannya, Joanita Chita, untuk berselancar di
internet, siapa tahu ada yang bersedia dimintai tolong.
Chita pun menemukan laman Facebook Program Peduli Gereja Katolik
(PPGK). Dari pencarian ini, dia menemukan akun Facebook Albert. Chita
menanyakan Albert melalui messenger, apakah gereja di Stasi Purwoharjo
bisa mengajukan permohonan bantuan?
Albert menjawab, “Bisa, silakan.”
Wati serasa tidak percaya karena ternyata begitu mudahnya. Wati dengan
gembira mengontak langsung Albert. Ia begitu kaget karena Albert mengenal
pastor di Paroki Tanggul, membawahi stasi itu. Lalu Albert juga menyarankan
agar stasi Purwoharjo mengirimkan proposal segera.
Begitu proposal diterima selang beberapa hari, tepatnya 12 Agustus 2014,
bersamaan dengan hari ulang tahun ke-44 Wati, Albert memberi kabar
proposal dikabulkan. Bantuan sebesar Rp 100 juta segera dikirimkan. Wati
saat itu sedang dalam perjalanan pulang dari rumah orangtuanya.
Suaranya bergetar, air matanya meleleh saking senangnya mendapat kabar.
Dia membuat tanda salib dan menyampaikan kepada suami yang duduk di
sebelahnya bahwa proposal ditanggapi dengan baik. Lewat telepon, Albert
memberi tahu dana akan dikirimkan pada Januari 2015.
Ibu Wati langsung mengumumkan berita gembira ini kepada umat saat
acara doa di rumah keluarga Suprayono. Mereka pun mengucapkan doa
syukur serta mendoakan PPGK serta Albert.
Pada Februari 2015, stasi berkoordinasi untuk pelaksanaan renovasi
gereja. Kegiatan diawali dengan pembongkaran atap. Namun, ketika itu baru
saja dimulai, diketahuilah bahwa fondasi gereja diprediksi kurang kuat untuk
menahan atap yang baru.
Akhirnya Gatot, ketua panitia, bersama para tukang merobohkan semua
tembok, dan membuat fondasi baru dengan ukuran lahan lebih luas. Rangka
atap baja dipesan, pembangunan fondasi dan dinding pun diteruskan.
Sayangnya, pada Oktober 2015 dana habis, bangunan belum jadi. Kegiatan
pembangunan terhenti. Ketua stasi kembali bingung, dari mana lagi dana
untuk meneruskan bangunan. Doa Novena pun digiatkan kembali di stasi.
Laporan penggunaan dana disampaikan kepada Albert. Kondisi bangunan
yang gantung saat itu juga difoto dan dikirimkan. Stasi sudah berterima kasih
karena sudah dibantu dan berharap akan bisa mendapatkan bantuan dari

137
Aneka ritual adat yang dihadiri Albert, simbol penghargaan tinggi dari para umat.

Para umat menyampaikan rasa syukur dan terima kasih dengan memberi Albert ulos, salah
satunya sebagai simbol kehangatan hati dari pemberinya dan yang diberi.

138
Albert duduk, berbincang dan makan bersama para umat.

Uskup Emeritus AGP Datubara salah satu tokoh agama yang selalu bersedia meresmikan
gereja hasil renovasi. Bersama Albert, Uskup Emeritus sering tampil bersama.

139
sumber lain.
Ternyata pada November 2015, Albert memberi kejutan bahwa akan
dipasok lagi dana. ”Jangan khawatir Bu, bangunan gereja ini pasti selesai, kami
akan bantu hingga selesai,” kata Albert kepada Wati.
Ketua stasi itu menangis lagi karena terharu. Dia merasakan begitu besar
karya Allah melalui orang orang baik, seperti Albert. Gereja sedang dibangun
dan pada Januari 2016, Albert bekunjung di Purwoharjo.
Saat menjemput di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, Albert
mengagetkan dengan wajahnya yang muda dan bersahaja. Dia dibawa ke
stasi dan ditawarkan tidur di paroki, bahkan ditawarkan penginapan di hotel.
Wati kaget lagi karena Albert memilih bermalam di rumah ketua stasi yang
sederhana itu.
Pada kunjungan Albert ini kebetulan ada misa di gereja yang belum
rampung. Seusai misa, Albert diberi kesempatan memperkenalkan diri
kepada seluruh umat. Pada acara ramah-tamah, umat sangat bersimpati atas
keramahannya dan visi hidupnya yang sungguh mulia.
Saat itu Albert berbicara langsung kepada ketua panitia dan mendapatkan
informasi, dana tambahan yang dibutuhkan Rp 150 juta lagi. Albert tidak
serta-merta menyanggupi semua, tetapi pasti ia memikirkannya. Kemudian
selepas kunjungannya, dana Rp 150 juta itu direalisasikan.
Gereja ini adalah bangunan ke-76 yang dibantu PPGK. Pada 6 Agustus 2016,
gereja diberkati oleh Pastor Eko Aldilanto O.Carm (Sekretaris Keuskupan)
mewakili Uskup Malang.
Stasi merayakan pemberkatan dengan misa syukur yang dihadiri para
umat paroki Curahjati, para donatur lokal, dan Albert.

• Hadir Saat Nestapa Mendera

T idak mereka bayangkan, awalnya sekadar mau rehabilitasi atap malah


yang terjadi pembangunan gereja baru dengan lahan lebih luas. Wati
merasa paling bersyukur. Dia melewati gejolak batin karena sempat bingung,
dituduh tanpa penghitungan matang, bangunan menggantung hingga muncul
cap sembrono.
“Terkenang, sempat saya setiap hari duduk termenung di halaman
bangunan yang menggantung sambil menangis. Ke mana, di mana, dan dengan
cara apa bisa menyelesaikan bangunan?” Wati Bingung dan bingung, bahkan
pernah jatuh sakit karena itu.
Dia mengenang ketika umat berdoa novena meski di tempat yang

140
berantakan dan dalam kegelapan di ruangan gereja menggantung. “Kami
membawa senter dan lampu seadanya. Puji Tuhan, anak muda yang luar
biasa, Albert, menelepon hanya untuk menanyakan, ‘Sudah sampai di mana
bangunannya, Bu, lanjut enggak?’”
“Rasa haru dan tangisan bahagia, itulah yang kurasakan,” kata Wati.
Rasanya tidak percaya rezeki terus mengalir. Donatur datang bergantian, satu
per satu menawarkan bantuan. Setelah bangunan selesai perlengkapan dan
peralatan serta isi gereja semuanya serba baru.
Wati pun berpesan dan menyampaikan terima kasih atas bantuan yang
diberikan Albert. “Terima kasih Albert dan para donatur atas kasih dan
perhatian yang diberikan kepada kami umat Stasi Purwoharjo. Tanpamu,
kami tidak bisa memiliki gereja sebagus ini. Luar biasa. Tetap semangat dan
teruskan karyamu. Masih banyak gereja yang menanti dan menunggu uluran
tanganmu. GBU?” kata Wati.

141
2. Para Pastor Hingga Uskup Terkesima
Pengantar: Albert memiliki hubungan dekat dengan banyak uskup. Dua artikel
berikut ini, dikirimkan khusus mengirimkan tulisan khusus tentang pandangan dan
kesan mereka tentang pribadi Albert.

• Monsinyur (Mgr.) Ludovikus Simanullang:


Albert Memiliki Karisma

J udul ini tidak bermaksud mau menyamakan Albertus Gregory Tan dengan
para pendiri ordo atau tarekat religius, yang disebut memiliki karisma.
Ini karena gerakan atau karya yang didirikan (tarekat dan ordo) telah diuji
dan diperiksa oleh Gereja secara luas. Ini dilakukan dengan sangat cermat
sebelum Gereja mengakuinya sebagai ordo atau tarekat yang sah di dalam
Gereja Katolik serta mengesahkan anggaran dasarnya.
Saya menyebut Albert punya karisma. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Rasul Paulus: “Roh Kudus memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara
khusus menurut kehendak-Nya.” (1 Kor 12:11).
Karunia-karunia itu membuat orang beriman cakap dan bersedia
menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membarui gereja
serta meneruskan pembangunannya. Konsili Vatikan II menyebut karunia-
karunia Roh Kudus itu karisma-karisma (bdk LG 12).
Saya menyebut Albert punya karisma karena dengan cara sederhana ia
dapat menggerakkan hati banyak orang untuk memberi sumbangan seturut
kerelaan mereka. Ini untuk pembangunan gedung-gedung gereja Katolik

142
yang sangat membutuhkan bantuan. Dari gerakan awalnya yang sangat
sederhana dan polos, sekarang telah menjadi gerakan yang telah membantu
pembangunan lebih dari 85 gedung gereja di seluruh Nusantara.
Sejauh yang saya dengar, awal mula gerakan hingga kini disebut Program
Peduli Gereja Katolik (PPGK) terjadi dalam peristiwa yang tak terduga-duga.
Dalam mengunjungi sahabatnya, Pastor Nikolaus Sitanggang OFMCap, Albert
dibawa ke satu stasi namanya Rawakolang, Paroki Tarutungbolak, Keuskupan
Sibolga.
Kehidupan ekonomi umat di stasi ini sederhana dan rumah ibadatnya
(gerejanya) juga sangat sederhana bahkan memprihatinkan. Tempat ibadat
seperti itu di daerah ini disebut “los”, bahannya dari kayu yang sederhana dan
masih ada lubang di sana-sini serta atap yang sederhana. Melihat itu, Albert—
orang Jakarta yang biasa dengan gereja besar, mewah, indah, dan nyaman—
merasa tersentak, kaget, serta berpikir: tempat ini tidak layak untuk tempat
ibadat.
Sejak itu, Albert—yang masih duduk di bangku kuliah—mulai berpikir,
bagaimana cara membantu pembangunan gereja-gereja Katolik yang seperti
ini, supaya umatnya dapat beribadat dengan baik dan nyaman.
Albert mulai menyampaikan idenya di Facebook dengan tujuan mengetuk
hati pembaca agar tergerak memberi sumbangan untuk pembangunan
gereja-gereja Katolik yang tidak layak menjadi layak sebagai tempat beribadat.
Ternyata, idenya cepat mendapat tanggapan positif, sumbangan mulai
datang. Penyumbangnya semakin banyak karena Albert terus-menerus
memutakhirkan laporannya secara transparan. Semua sumbangan yang
diterima dipakai untuk pembangunan gereja-gereja yang dibantu.
Mulai dari kegiatan yang sederhana menjadi satu gerakan yang meluas
dan buahnya dapat dirasakan banyak umat, khususnya di daerah-daerah yang
ekonominya sulit.
Timbul pertanyaan, dari mana datang kemampuan dan daya gerak yang
begitu besar? Pasti bukan dari kemampuan pribadi Albert saja, melainkan
daya Roh Kudus yang dia yakini turut bekerja di dalam dirinya dan bagi
mereka yang tergerak hatinya. Karena itu, gerakan ini bukanlah karya manusia
semata, melainkan karya Roh Kudus.
Roh Kudus menyentuh Albert ketika bertemu dengan umat Allah yang
sedang beribadat di tempat yang sangat sederhana dan memprihatinkan.

143
Sejak itu, hatinya tergerak untuk mengajak orang lain membantu biaya
pembangunan gereja-gereja yang sangat sederhana.
Albert terbuka akan Roh Kudus sehingga diberikan karunia khusus
kepadanya sehingga dapat berkarya melalui pribadinya. Demikian juga Roh
kudus menggerakkan hati orang-orang beriman sehingga rela memberikan
sebagian dari penghasilan mereka melalui Albert.
Mungkin juga dapat menjadi bukti bahwa ini gerakan Roh Kudus, di mana
gereja tempat munculnya ide bukanlah yang pertama dibantu. Itu menyatakan
bahwa Albert dan para donatur dipanggil bukan hanya untuk membangun
satu gereja untuk kepentingan umat tertentu, melainkan untuk banyak umat
yang membutuhkan bantuan.
Saya tidak tahu spiritualitas apa yang menggerakkan Albert hingga menjadi
seperti ini. Akan tetapi, kalau kita bawa ke refleksi biblis, memperhatikan awal
mula perjalanan gerakan ini, tampaknya Albert mirip kisah Bunda Maria pada
pesta perkawinan di Kana. Tuan rumah pesta kehabisan anggur dan Bunda
Maria merasa prihatin akan situasi itu. Bunda Maria lalu berkata kepada
Yesus: “Mereka kehabisan anggur.”
Albert juga berkata kepada Yesus (dalam doanya) yang didengar banyak
orang melalui akun Facebook-nya: “Gereja mereka tidak layak sebagai tempat
beribadat.”
Terima kasih Albert atas iman dan keterbukaanmu mendengarkan bisikan
Roh Kudus, yang membuatmu bertindak sebagai hamba Tuhan yang melayani
banyak orang. Terima kasih kepada para donatur yang tergerak hati oleh belas
kasihan melihat saudara seiman yang rumah ibadatnya tidak layak.
Anda semua seperti Yesus yang tergerak hati-Nya oleh belas kasihan
melihat orang banyak tanpa gembala, tanpa makanan; orang sakit dan
menderita. Tuhan memberkati Albert dan gerakan PPGK.
Saya berharap dan memohon kepada Tuhan agar gerakan ini semakin
kokoh, semakin meluas di tengah umat, dan semakin banyak umat merasakan
buahnya.

Mgr. Ludovikus Simanullang, OFM Cap.


Uskup Keuskupan Sibolga

144
• Mgr. Nicholas Adi Seputra:
”Albert Gereja”

S aya tidak ingat kapan kenal dengan Albert. Saya juga tidak ingat siapa yang
memperkenalkan saya dengan dia. Yang saya ingat ialah bahwa relasi dan
jalinan kerja sama saya dengan dia sudah lebih dari lima tahun.
Ketika itu, saya mendengar bahwa ada donatur yang bisa membantu
pembangunan gereja. Memang waktu itu saya membutuhkan dana untuk
pembangunan gereja di salah satu stasi.
Ada beberapa orang bernama Albert yang saya kenal. Karena dia ini
berurusan dengan pembangunan gereja, di HP saya, namanya saya tulis Albert
Gereja.
Dana itu dikhususkan untuk pembangunan gereja, bukan untuk
membangun pastoran atau renovasi bangunan lainnya, juga bukan untuk
membangun susteran. Sementara bagi saya yang ada di lapangan, kebutuhan
pembangunan gereja, pastoran, dan susteran merupakan kebutuhan konkret
dan mendesak.
Pembangunan gereja yang dibutuhkan paroki-paroki pun cukup banyak.
Kalau mau didaftar, setiap tahun lebih dari 10 gedung gereja yang perlu
dibangun. Pada umumnya setiap paroki rata-rata mempunyai 15 stasi.
Paroki se-Keuskupan Agung Merauke berjumlah 32. Jumlah stasi
seluruhnya adalah 32 x 15 = 480. Kalau setiap tahun keuskupan membangun
10 gereja, berarti dibutuhkan waktu 48 tahun untuk menyelesaikan semua
bangunan gereja di keuskupan ini. Kemampuan riil keuskupan untuk
membantu pembangunan gereja hanya untuk 5 bangunan dalam setahun.
Jadi, dibutuhkan waktu jauh lebih panjang lagi, yaitu 98 tahun.
Ketika saya memulai pelayanan sebagai uskup, banyak pastoran dan
gereja yang sudah berusia tua. Kayu-kayu penyangga gedung sudah banyak
yang lapuk. Sementara itu, umat tetap berpandangan: “Bahwa keuskupan itu

145
kaya. Umat tidak punya apa-apa dan perlu dibantu. Uskup wajib membantu
pembangunan gereja, pembangunan dan perbaikan pastoran, serta mencukupi
kebutuhan umat”.
Menyalahkan umat yang mengeluh dan mengeluh, banyak bicara
tetapi tidak ada tindakan nyata, merupakan beban tersendiri ... dan tidak
ada gunanya. Karena itu, perlu diambil langkah-langkah untuk membuat
terobosan sehingga terjadi sesuatu yang baru.
Ketika dikontak, Albert menunjukkan simpati yang besar untuk
membantu pembangunan gereja. Awalnya saya pikir dialah donatur untuk
pembangunan itu. Ternyata, dia adalah “jembatan” dan sekaligus koordinator
dari banyak orang yang hendak menyalurkan tanda simpati mereka untuk
mendukung pembangunan gereja di banyak tempat di Indonesia.
Albert menyuarakan kebutuhan gereja-gereja lokal kepada mereka
yang hendak menyumbang, tetapi tidak tahu ke mana bantuan itu hendak
disalurkan. Bukan hanya itu, dia juga mengajak para dermawan ambil bagian
dalam pembangunan gereja di tempat-tempat terpencil. Albert memuat
jumlah dana yang dibutuhkan untuk pembangunan gereja di situs PPGK dan
laman Gereja Katolik.
Albert juga meminta laporan pertanggungjawaban dari mereka yang telah
dibantu, dilengkapi dengan foto-foto dan masih banyak lagi yang dia kerjakan.
Dia dan timnya akan melihat langsung ke lapangan. Beberapa waktu lalu, dia
berkunjung ke Erom, Merauke, dan melihat dari dekat bangunan gereja yang
telah mendapat bantuan. Dia meluangkan waktu untuk melihat, mengalami,
dan merasakan situasi riil dari masyarakat/umat yang dibantu.
Ketika saya bertemu Albert secara langsung, saya amat terheran-heran dan
serentak muncul penghargaan yang tinggi untuk dia. Orangnya masih muda.
Pekerjaan pelayanan dan mengelola/menyalurkan dana dari banyak pihak
kadang tidak mengenakkan dan menuntut pengorbanan besar. Apa yang
dimulainya makin hari makin berbuah. Telah banyak bangunan gereja berdiri
karena hasil kerjanya. Saya sendiri tidak tahu para donatur itu siapa dan
mereka tinggal di mana. Mereka semua memercayakan dana pembangunan
itu melalui Albert.
Melalui tulisan ini, saya hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada
para donatur yang telah mengulurkan bantuan untuk pembangunan gereja di
wilayah Keuskupan Agung Merauke (KAME).
Atas dasar pekerjaan yang telah dilaksanakan Albert dan banyaknya
donatur yang terlibat, serta sejumlah bangunan gereja yang telah selesai
dibangun, dapat dikatakan beberapa hal tentang Albert.
Dia adalah orang yang bekerja keras, tulus, dan peduli pada kehidupan

146
rohani. Dia tidak ingin hanya dirinya sendiri yang menjadi saluran kasih
Allah, tetapi mengajak banyak orang untuk ambil bagian dalam pekerjaan
kemanusiaan ini. Dia juga seorang manajer yang baik, sopan, dan bertanggung
jawab. Ia memberikan laporan pertanggungjawaban secara periodik,
transparan, dan akuntabel.
Albert tetap setia dan teguh dalam memegang prinsip bahwa dana untuk
pembangunan gereja harus untuk pembangunan gereja dan tidak boleh
digunakan untuk pembangunan pastoran atau maksud lain.
Saya salut atas hal ini. Saya kira, hal ini juga yang membuat orang berani
memercayakan dana mereka kepada Albert untuk diteruskan kepada panitia
pembangunan di paroki yang membutuhkan.
Secara khusus, atas nama umat di KAME, saya menghaturkan banyak
terima kasih kepada Albert dan semua donatur. Semoga Anda sekalian
mendapat karunia Allah yang makin berlimpah. Berkat Tuhan untuk Anda
semua.

Mgr. Nicholas Adi Seputra


Uskup Keuskupan Agung Merauke
23 Maret 2017

Demikianlah Albert menjalankan tugasnya dengan memohon restu kepada


para uskup. Ketika awal melakukan tugasnya, Albert juga ingin mendapatkan
pengukuhan atas apa yang dia lakukan.
Dalam kesempatan talk show di Jakarta pada November 2011, Albert
mengajukan pertanyaan saat sesi tanya-jawab kepada Bapa Uskup Jakarta,
Mgr Ignatius Suharyo. “Bagaimana perhatian Gereja terhadap anak-anak
muda yang menggunakan Facebook sebagai media pewartaan?”
Monsinyur mengatakan bahwa tugas mewartakan Injil itu bukan hanya
tugas orang berjubah. “Jadi, selama kamu membawa nama Gereja Katolik dan
apa yang kalian sampaikan itu benar, silakan jalan, ada atau tidak ada kami
(imam, Red).”
Untuk itu, sampai sekarang, admin PPGK sepakat untuk tidak mengajukan
izin resmi di bawah hierarki untuk laman Facebook Gereja Katolik. Monsinyur
Suharyo tidak meminta harus di bawah keuskupan/hierarki.

147
3. Para Suster Berdedak Kagum
Pengantar: Semua lapisan dikenal Albert. Seperti kata ibundanya Albert, banyak
yang dia sebut sebagai ayahnya, terutama para bapak. Semua orang dia panggil saudara
dan saudari. Bukan hanya para pastor, para suster pun bagian hidupnya, yang balik
memberi apresiasi tinggi kepada Albert. Berikut penuturan beberapa suster.

• Suster Urbana Sirait, KYM:


Namanya Mengingatkan Saya pada Dua Santo

M engenal anak muda yang satu ini adalah kegembiraan tersendiri bagi
saya. Tanpa disengaja, Facebook mempertemukan dan membuat saya
bertegur sapa dengannya. Berandanya penuh dengan kegiatan pembangunan
atau rehab gereja Katolik. Sukacita dan empati saya terpatri untuknya.
Pada 28 Juni 2015, saya bertemu langsung dengan pemuda yang satu ini, saat
peresmian Gereja Paroki Kristus Raja di Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun.
Saat itu, kami berbagi cerita dalam kehidupan pelayanan.
Seorang pegawai bank swasta yang penuh kesibukan, tetapi masih memberi
waktu dan menyempatkan diri ikut ambil bagian dalam Program Peduli
Gereja Katolik. Ini mengingatkan saya pada prinsip pelayanan St. Vincentius
A. Paulo:
“Cintailah Tuhanmu dengan kedua tanganmu sampai kecapaian dan
dengan butir-butir peluh yang mengucur dari wajahmu.”
Mungkin prinsip ini telah dijalani pemuda ini. Simpatik, apresiasi, dan
syukur teramat dalam. Masa mudanya berwarna kredibel, berdedikasi
terhadap gereja.
Kegiatan dan kepribadiannya membuat saya teringat akan dua tokoh,
perpaduan nama yang dimilikinya, yakni Albertus dan Gregory.
St. Albertus Agung menyukai keindahan alam sehingga senang menjelajahi
hutan dan sungai-sungai. Hidupnya suci dan rendah hati. Ada kemiripan
dengan Albert yang penuh semangat menjelajah Nusantara.

148
Nama satu lagi, St. Gregorius X. Santo ini dulu berupaya mengumpulkan
dana dari beberapa Negara, seperti Perancis dan Inggris, untuk membangun
gereja-gereja. Ini mirip dengan apa yang dilakukan Albert, bernama lengkap
Albertus Gregory Tan.
Sungguh menjadi inspirasi dan semoga banyak kaum muda yang peduli
terhadap Gereja.
Salam

Suster Urbana Sirait, KYM

Albert dan Suster Urbana Sirait.

149
• Suster Aurelia Simbolon FCJM:
Pengikut Sejati St. Fransiskus Assisi

P erjumpaan dengan Albert terjadi pada Agustus 2013. Saat itu ada pesta
pemberkatan Gereja Stasi Pusuk I. Kami sama-sama berada di dalam
mobil rombongan Oppung Uskup Emeritus Alfred Gonti Pius Datubara.
Saat bersalaman, dia langsung menanyakan marga saya. Aku merespons,
“Suster Aurelia Simbolon, FCJM.”
Dia menyahut, “Bah, ito saya rupanya, saya marga Sitanggang, ito”. Ito adalah
sebutan bagi lawan jenis, bersaudara dan bersaudari kandung atau semarga di
daerah Batak.
Saya pun melanjutkan, ”Ito kan adiknya Pastor Niko Sitanggang!”
Dia terkejut, “Kok tahu?”
Kemudian saya menjelaskan informasi yang kudapat ketika bertugas di
Nias. Setelah perkenalan singkat itu, kami langsung akrab seolah sudah lama
saling kenal.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah keakraban ini disebabkan oleh
marga atau spontanitas. Saya belum menemukan jawabannya. Saya tidak
heran dan tidak perlu mencari jawaban. Dia memang sangat menyenangkan,
mudah menyesuaikan diri, ramah, dan rendah hati.
Rasa kagum saya semakin melambung terlebih karena dia rupanya
terinspirasi hidup bapak serafik kami, St. Fransiskus Assisi. Santo ini dulu
mendengar bisikan, “Perbaikilah gereja yang hampir roboh ini.”
Semangat hidup St. Fransiskus ini menyatu. Dia pengikut Santo Fransiskus
yang sejati.
Rasa penasaran membuat saya ingin menggali lebih jauh soal tantangan
yang dihadapi dalam melaksanakan misinya ini. Dia katakan banyak
tantangan dalam melakukan kebaikan, baik itu dari diri sendiri maupun dari
luar diri. Sangat matang.
Saya pun senang melakukan sesuatu yang dia minta dilakukan. Ketika ia
memberikan bantuan ke Paroki St. Lusia, Parlilitan, saat itu Pastor Masseo
Sitepu sebagai Pastor Paroki sedang sakit. Albert meminta saya membantu
Pastor Masseo membuat laporan keuangan atas gereja yang dibantu. Agar
keterlambatan ini tidak menjadi kendala bagi dia melanjutkan misi.

150
Saya melakukannya sebab dia pun tidak peduli dengan rasa capek dan
lelah. Dia selalu berusaha walaupun terkadang semua waktunya seolah-olah
tidak cukup, harus mengemban dua tanggung jawab. Di tengah pekerjaan
sebagai pegawai bank, dia menjalankan misi gereja.
Ini kebanggaan Gereja. Anak muda ini peduli pada Gereja. Ia telah
memikirkan misi ini ke depan dengan mengader orang-orang muda lain yang
peduli.
Terima kasih telah bekerja sama dengan Paroki St Lusia, Parlilitan.
Kehadiranmu membawa suasana sukacita dan kebahagian bagi kami.
Pengabdianmu membuat kita saling mengenal, mendukung, dan saling sapa
baik saat berjumpa maupun lewat telepon. Semoga pengabdianmu berbuah
baik bagi iman umat dan bagi kami.
Salam sejahtera dan Tuhan memberkatimu ito, Albert.

Suster Aurelia Simbolon FCJM

Albert dan Suster Aurelia Simbolon.

151
Albert dan Suster Laurensia Harianja.

Albert dan Suster Lidwina Napitupulu.

152
• Suster Laurensia Harianja, KSSY:
Doa Intensi Khususku Untuknya

A lbert pemuda yang tulus dan jujur. Dalam suatu kesempatan, saya
mengundang dia berkunjung ke komunitasku, di Medan. Saya merasa
sangat heran dan sulit percaya. Pemuda di hadapanku sangat muda, tetapi
sudah banyak membangun gereja.
Saya pribadi tidak bisa membantu melalui materi. Hal yang dapat
kulakukan mengajak saudara-saudari, kenalan, dan sahabat untuk turut ambil
bagian menjadi donatur sesuai kemampuan mereka.
Kalau Albert berkunjung ke suatu daerah dan di tempat itu ada komunitas
KSSY, selalu saya meminta kesediaan Albert mengunjungi mereka. Dia sudah
mengunjungi KSSY di Palangkaraya, Ruteng (Flores), Marauke, dan Tanjung
Selor. Albert menjadi tamu yang ramah. Ia berkomunikasi dalam suasana
persahabatan. Demikian pula dengan semua tingkat usia.
Tentu ini semua bersumber dari relasi hidupnya yang akrab dengan
sumber kasih, yaitu Kristus.
Dalam misinya sering menemukan kesulitan dari awam dan imam yang
tidak bisa memenuhi kesepakatan yang telah disetujui bersama. Dalam hal
ini, saya memberi dukungan dan semangat melalui doa-doaku. Doa dengan
intensi khusus, itulah satu satunya yang bisa kuberikan.
Sampai sekarang, saya masih tetap berkomunikasi. Kami tetap
mendukungmu di dalam doa.
Salam kasih dari saya

Suster Laurensia Harianja, KSSY

• Suster Lidwina Napitupulu:


Kehadirannya Memberikan Kebahagiaan bagi Saya

B ertemu pertama kali pada 2010, langsung bisa kurasakan kedekatan hati.
Nyaman berbicara padanya. Dia tenang, perhatian, terbuka, dan tentu
saja tampan. Pembawaannya polos dan bersemangat. Dia melakoni kehidupan
apa adanya.
Dalam menjalin relasi, dia sungguh memberi perhatian. Hal itu saya lihat
sendiri. Ada hubungan kekeluargaan antara Albert dan sebuah keluarga di
sebuah desa di Sumatera Utara. Kedekatannya dengan orang menunjukkan

153
bahwa dia percaya dan orang lain pun percaya padanya. Sikap ini memang
miliknya dan menjadi modal untuk bisa mengajak sekian banyak orang untuk
dengan rela merogoh kantong dan menyumbang untuk membangun gereja di
negeri tercinta ini.
Albert adalah anak muda yang “terpesona” pada sapaan Tuhan lewat
bangunan gereja yang sangat sederhana di pelosok. Pengalaman mistisnya di
sana mambawa kegembiraan juga bagi saya.
Sekembalinya ke kota kelahirannya, Jakarta, ia bertanya, “Apa yang
bisa kulakukan?” Inilah yang membawanya menjadi penggalang dana
pembangunan gereja di desa-desa terpencil. Sudah banyak umat yang merasa
nyaman untuk beribadah. Banyak pula umat yang mau ikut menyumbang. Ini
sesuatu yang luar biasa. Mengajak umat peduli dan membangun gereja, walau
bukan di daerah mereka sendiri.
Kesediaannya memanfaatkan fasilitas zaman ini patut diacungi jempol.
Gadget menjadi alat yang efektif baginya guna menunjang keinginan untuk
berbuat bagi banyak orang.
Sikap peduli kepada orang lain sejatinya membutuhkan usaha, kerja keras,
tekun, “mau lebih”. Hanya segelintir orang yang berkehendak baik dan mau
menekuninya.
Peduli sesama yang berkekurangan membutuhkan kiat tersendiri.
Memberi bantuan, dibutuhkan orang yang ulet. Ini mesti dengan membangun
kepercayaan orang lain.
Mudahkah ini? Saya mengatakan tidak. Segala bantuan sudah pasti
terkait dengan uang. Ada istilah, “Mata hijau jika melihat uang.“ Ada marak
penyelewengan uang. Ada saja celah untuk mengambil uang sebanyak-
banyaknya untuk memperkaya diri. Kerugian negara sekian banyak dalam
kasus pengadaan e-KTP, sebagai contoh.
Albert memang unik. Setiap sumbangan dia catat rapi. Tidak ada
penyelewengan dalam karyanya.
Dalam menggalang dana, peribahasa “sedikit-demi sedikit, lama-lama
menjadi bukit” sangat nyata dalam karyanya.
Albert pernah mengungkapkan kepada saya, “Ada donatur yang setia dan
selalu menyumbang.” Ekspresinya terlihat bahagia ketika mengungkapkan
ini.
Semoga cita-cita Albert menjadi cita-cita saya dan kita semua, khususnya
orang muda.
Ada aspek lain yang menarik dengan keberadaan Albert. Para orang
muda Katolik membutuhkan panutan terlebih dari teman sabaya. Ini penting
karena ada kecenderungan hidup dengan budaya “instan”. Sikap tekun

154
tampaknya menurun.
Banyak pemuda menggunakan gadget untuk hal-hal sepele, kurang
dimanfaatkan untuk menambah wawasan guna meningkatkan kualitas
pribadi. Orang muda kebanyakan menggunakannya untuk bersenang-senang.
Albert menjadi salah satu panutan yang pas bagi pemuda masa kini.
Albert menggunakan gadget untuk berbuat kepada sesama. Menggalang dana
untuk membangun gedung gereja. Itulah mimpi Albert. Banyak orang muda
Katolik yang belum memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk berbuat,
membantu sesama.
Kiranya sosok Albert menjadi sumber inspirasi bagi mereka untuk
memberi nilai tambah pada masa muda. Kepedulian Albert mendatangkan
kebahagian bagi umat Katolik. Kepedulian Albert menggugah hati banyak
orang muda untuk peduli pada sesamanya.
Albert, berbuatlah dan teruslah peduli untuk membangun gereja, kami
mendukungmu. Doa dariku mengiringi langkahmu.
Salam

Suster Lidwina Napitupulu

155
4. Usia Sebaya Mengagumi Albert
• Berikrar untuk Saling Mengisi Lewat Pelayanan

D i hadapan para peserta “Indonesia Youth Day”, Oktober 2016, di Manado,


persenter Daniel Mananta memberi pujian tersendiri pada Albert.
Daniel memberikan pujian kepada karya Albert di hadapan para generasi
muda Katolik.
Banyak kawula muda Katolik mengapresiasi sepak terjang Albert. Mereka
memuji bukan saja karyanya, melainkan juga kepribadiannya. “Aku tidak
mudah dekat kepada orang, apalagi baru saja bertemu,” kata Rany Yuni
Tamsar. Akan tetapi, sikap saya ini tidak berlaku untuk Albert.
Saat pertama bertemu, “Dia menyapa dan saya merespons, tetapi dia tidak
tahu saya menjaga jarak dan memang sikap ini tidak saya tunjukkan. Bukan
karena dia jahat dan tak nyaman diajak bicara. Kebetulan tak punya naluri
alam mendekat otomatis saat lihat tampangnya. Aku menganggapnya bukan
bagianku, bukan kelompokku,” kata Imelda Damanik.
Keadaan mendadak berubah kala pertama bertemu itu. Dia menyebut
saya, ‘Kak,’” ujar Imelda. “Saya mendadak berubah persepsi. Dia saya terima
membatin sebagai adik dan aku menyediakan diri bak seorang kakak yang
melindungi.”
Sejak kenal beberapa tahun silam, Imelda menjadi salah satu yang sering
menjadi kawan berjalan Albert. Dua sahabat mirip kakak-adik kandung ini
sering curhat-curhatan. Imelda memiliki satu pemahaman khusus tentang
Albert. “Tidak mudah, lho, Albert itu kecewa atau sakit hati. Pribadinya luwes.”
Akan tetapi, jika itu menyangkut bantuan, Albert agak beda. Dia tidak
mudah menyalurkan bantuan. Dia menjalankan itu dengan ketat, jelimet. Hal
ini memang merupakan prinsip yang tak bisa ditawar dalam karyanya lewat
PPGK sebab ini menyangkut tim, jaringan, dan kepercayaan donatur.
Dalam hal menyalurkan bantuan, sekali Albert tidak percaya, tidak
akan mudah merebut kembali kepercayaannya. Sikapnya ini tidak muncul
sembarangan, tetapi berdasarkan pemantaun, pengamatan, dan investigasi
saksama. “Dia mau menjembatani bantuan, tetapi prinsipnya, janganlah
bantuan menjadi sumber dosa bagi orang lain,” kata Rany Yunita Purba
Tamsar.
Bantuan donatur adalah berkat dan kepercayaan harus dijaga ketat. Bagi
yang menyalahgunakan, menurut Albert, hal itu justru mendatangkan dosa.
“Begitulah pandangannya,” ujar Rany.

156
Dalam hal pergaulan dan keseharian, Albert itu seorang OMK yang “aneh”.
Lazim, seusia dia dugem, dunia gemerlapan. Dia OMK yang unik nyentrik.
Albert tidak mau buang-buang waktu percuma serta tidak melakukan hal biasa
dilakukan seusianya. “Namun, dia pribadi yang menyenangkan. Kudoakan dia
sehat dan langgeng dalam karya. Dia tidak memiliki kepribadian yang sulit,
hanya prinsipil soal nilai-nilai kehidupan,” kata Rany yang juga diakui Imelda.
“Dia anak muda OMK yang melampaui usianya,” tambah Yasinta Arianti.
Imelda menuturkan jika belanja barang keperluan pribadi, Albert itu amat
pelit untuk dirinya. Membantu orang mau, tetapi tidak enjoy membeli produk
berkualitas yang dia sukai jika itu berharga mahal.
Trio ini asyik ngakak dan ceria saat bicara soal Albert. Ada respek amat
tinggi dari trio ini kepada Albert, tergambar dari tata kalimat mereka. Albert,
bagi trio ini, adalah pribadi yang meraih respek. Ada wibawa dan tata krama
serta nilai yang membuatnya sebagai pribadi berharga.
Uli Gultom termasuk yang sudah lama mengenal Albert, yang diapanggil
ito (saudara lelaki jika yang menyebutnya perempuan terhadap pria dan
demikian sebaliknya). “Ito Albert selalu membuatku malu,” kata Uli Gultom
yang kini seorang ibu, tetapi sudah mengenal Albert saat dia masih gadis.
“Saya bertemu ito ini lewat komunitas Naposo Bulung Batak Katolik pada
2010. Dia kan orang Batak, ya, wajarlah masuk komunitas Batak dan dia
kupanggil ito.”
“Eits, tunggu dulu....”
“Ternyata setelah beberapa kali bertemu dengan ito ini, banyak cerita dan
kisah yang kami bagikan dan lewati bahkan ada hal gila yang tak terlupakan
“WisKul”, wisata kuliner sampai keliling Jakarta naik bus transjakarta dan
sengaja cari tempat makan yang all you can eat. Tahulah alasannya kenapa.
Mungkin dari sinilah awal masa pertumbuhan badan ito ini dimulai. Plus dia
makan “na marmiak-miak” alias B2 saat berkunjung ke stasi-stasi.
Walau kedengarannya “wiskul” ini seperti happy-happy gaya anak muda
masa kini, tetapi ada nilai filosofisnya. “Menghargai diri sendiri, menikmati
berkat, kemudian berbagi juga,” lanjut Uli Gultom.
Nah, setelah banyak berbagi cerita, ternyata dia bukan orang Batak.
“Akh ... ito ini membuatku malu jadi orang Batak justru dia yang buat laman
Facebook Naposo Bulung Batak Katolik. Lewat komunitas ini, banyak kegiatan
dan pelayanan yang kami lakukan. Hingga akhirnya dia sering absen dan
mengundang tanya dari members, kok moderator sering absen?”
“Si ito ini melimpahkan tugas padaku untuk menjawab pertanyaan ini
itu dan harus jaga rahasia ke mana dia pergi, orang lain enggak boleh tahu
katanya.”

157
“Kembali Albert membuatku malu. Dalam keabsenannya dia ternyata
menjelajahi pelosok Nusantara, menemukan rumah Tuhan yang sudah rusak
dan mencari dana untuk diperbaiki.”
“Iya aku malu, aku tidak berbuat apa-apa untuk gereja, Katolik apa aku
ini? sementara ito ini berbuat untuk gereja dengan segala upayanya dan tak
berharap dapat pujian.”
“Dalam kesibukannya menjelajahi pelosok biasanya pada akhir pekan,
Albert meyempatkan diri menyampaikan pesan padaku, ‘Ito, iman Katolikmu
harus kuat ya, kamu harus menikah di Katolik,’”
“Aku tidak akan mempermalukan diriku lagi ito, karena dukungan bahkan
doamu semua sudah terjawab. Selamat berjuang ito-ku Fransiskus Indonesia....”
Berbicara soal Albert dari rekan sesuianya, hampir tiada kata yang habis.
“Seorang yang sederhana, tulus, tanpa basa-basi. Aku biasa panggil dia dengan
sebutan Bang Greg atau bos, he-he-he. Awal berkenalan kurang lebih sekitar 6
tahun lalu (2011),” kata Yasinta.
Facebook menjadi sarana kami bertemu. “Dulu kusangka Bang Greg
adalah seorang Frater tingkat pertama karena foto profil pada FB-nya saat
itu sedang mengenakan kalung TAU mirip seorang Frater. Tidak ingat betul
kapan bertemu untuk pertama kalinya, tetapi kami bertemu di Pastoran
Bekasi Utara. Seiring berjalannya waktu, kuamati FB-nya dengan penuh rasa
penasaran karena banyak gereja yang ia bantu. Kok bisa dia bantu banyak
gereja, ya?”
“Sedikit menjadi pengagum rahasianya kala itu demi mendapat info siapa
dia sebenarnya dan mengapa mau membantu pembangunan gereja di pelosok-
pelosok Indonesia. Akhirnya aku mulai mengenal PPGK.”
“Akh salut. Kayaknya enggak akan pernah habis kata kalau bercerita
tentang Bang Greg. Dia benar-benar alat Tuhan. Tidak banyak bicara, tetapi
langsung bertindak nyata. Aku pun malu ketika mendengar cerita awal
perjalanannya hingga memutuskan untuk sungguh-sungguh melayani seperti
ini. Pada usia muda mau melayani, aku ke mana aja saat umur segitu?”
“Hingga kesempatan baik datang pada Juli 2016, Bang Greg mengajakku
untuk bermisi ke satu stasi di Aceh Tenggara. Ini pengalaman pertamaku. Bang
Greg adalah sahabat yang baik. Saya yakini itu. Ketulusan hatinya membantu
gereja yang membutuhkan sungguh luar biasa. Semangat bos. Tetap seperti
bos dan sahabat yang kukenal, ya. Kalau capek, lihat salib San Damiano dulu
supaya semangatnya ditambahkan. Tuhan memberkati!”

158
Friesca Vienna Saputra membuatkan tulisan khusus berjudul
“Dia Membuat Saya Merasa Masa Kuliahku Seakan Hura-hura”.

Halo, salam kenal. Saya Friesca, orang muda dari


Keuskupan Agung Jakarta.

Perkenalan saya dengan Albertus Gregory akrab saya


panggil “Greg” dimulai sejak saya mengikuti laman
Facebook page Gereja Katolik. Waktu itu saya baru saja
kembali “pulang” ke pangkuan Gereja setelah sekian tahun
memberontak dan saya menemukan laman Gereja Katolik
yang berakar kuat dan sarat penjabaran iman.

Saya yang berusaha belajar berbagi dalam hal-hal kecil,


tertarik ikut ambil bagian dalam PPGK, dipromosikan
di laman tersebut. Setelah saya transfer sejumlah kecil
uang, seseorang bernama Albertus Nirwanto memberikan
konfirmasi dan ucapan terima kasih.

Beberapa waktu berlalu. Saya banyak belajar dari artikel-


artikel di laman Gereja Katolik. Dari situ saya mulai
memahami iman saya sendiri, dan aktif diskusi di dunia
maya. Aktivitas saya tampaknya masuk radar admin,
yang membuat saya berkenalan dengan banyak dari
mereka, salah satunya Greg.

Komentar Greg yang samar-samar saya ingat, “Oh, kamu


yang transfer buat PPGK, ya?” Dan kami memulai sebuah
lingkaran pertemanan dengan admin-admin muda,
masing-masing dengan ketertarikan dan spesialisasinya,
tetapi saling melengkapi.

Saya jelas kagum melihat Greg yang bekerja di salah satu


bank di Jakarta, merelakan akhir pekannya berkeliling ke
daerah-daerah terpencil yang aksesnya sulit. Pergi Jumat,
pulang Minggu. Greg membuat laporan transparan,
mempertanggungjawabkan sisa dana. Ini patut diacungi

159
jempol. Menurut hemat saya, institusi dan hierarki layak
belajar mengenai pengelolaan finansial dari pengalaman
Greg.

Kekaguman saya diperkuat saat berkenalan dengan


salah seorang senior Greg dari Universitas Indonesia,
di Facebook teman saya dan Greg juga. Senior ini
menceritakan Greg sudah merintis PPGK sejak kuliah.
Di tengah kesibukan perkuliahan, Greg tetap gigih dan
konsisten menjalankan karyanya. Saya terpana, karena
dibanding Greg, masa kuliah saya jadi tampak seperti
masa hura-hura.

Dalam lingkaran pertemanan kami—Greg, Harry, Anna,


Ko Albert, dan saya—kami ngobrol banyak hal, mulai dari
iman Katolik sampai hal-hal receh.

Kecintaan dan “kegilaan” Greg terhadap iman Katolik dan


gereja terlihat dalam diskusi-diskusi kami. Mungkin itu
yang membuat kami berlima cocok. Namun, siapa sangka
manusia satu ini ternyata juga jahil dan troll nggak
ketulungan? Kami sering tertawa terpingkal-pingkal
mendengar cerita-ceritanya menegur beberapa orang
dengan cara jahil, tetapi tetap menggugah nurani.

Bagi saya pribadi, selain mengagumi karya Greg, saya


juga senang bisa mengenal Greg. Saling berbagi cerita;
dipercayakan untuk mendengar mimpi-mimpi dan
impian-impiannya; saling membantu dalam karya
pelayanan; melihat kehidupan pribadinya dengan mata
kepala sendiri (belum lama ini, kami berhasil crashing
into Greg’s room); sampai janjian untuk saling membantu
di masa depan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Friesca Vienna
In vino veritas! #OFI

160
Anna Elissa sahabat Albert yang lain juga menulis dengan judul
“Jika Bukan Tuhan yang Membangun”.

Kali ini saya akan menulis tentang seseorang yang sangat


istimewa di hati saya. Dia begitu baik dan murah hati.
Melayani di tengah kaum sederhana senantiasa menjadi
keinginannya. Dia telah banyak berkarya jauh sebelum
saya mulai mengenalnya secara pribadi. Namanya
dikenal di mana-mana, meskipun tidak semua orang
menyukainya. Ada saja yang membenci, merasa iri
dengki, tidak percaya, menuduh macam-macam, atau
simply tidak mengerti mengapa ia melakukan apa yang ia
lakukan, tetapi saya menyayanginya.

Firesca Saputra dan Anna Alissa (kanan), para sahabat baiknya Albert.

161
Saya selalu tak sabar untuk berbagi cerita dengannya.
Dialah sahabat sejati saya, orang yang selalu saya
rindukan. Orang itu adalah Yesus dari Nazareth. Yesus-
lah yang ingin saya tuliskan di sini.

Yesus, Tuhan dan Juru Selamat kita, Putra Bapa, yang


dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan
Maria, yang disalibkan, dimakamkan, bangkit, dan kini
duduk di sisi kanan Bapa. Tuhan Yesus yang harus selalu
menjadi awal, akhir, dan pusat seluruh karya kita. Tuhan
yang sama yang mengerjakan hal-hal besar lewat alat
yang rapuh seperti seorang Albertus Gregory Tan.

Tuhan menunjukkan kepada kita hal-hal menakjubkan


yang mungkin terjadi apabila kita mau menuruti
kehendak-Nya. Lewat Greg, Tuhan Yesus menyapa umat-
Nya yang jauh di pedalaman, yang kerap terlupakan oleh
saudara-saudara mereka sendiri. Lewat Greg, Tuhan
mengatakan kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan
takut!” (Matius 14:27).

Lewat Greg pula, Tuhan memberikan saya oase dalam


perjalanan panjang menuju Emaus. Dalam Tuhan
yang sama, saya, Greg, Friesca, Harry, dan Ko Albert
menemukan indahnya kasih persaudaraan, dahsyatnya
keteguhan iman, dan bahagianya menjadi “gila”, “bodoh”,
“aneh” untuk Dia.

Persahabatan yang tak terduga, yang bermula lewat


Facebook lalu berlanjut di darat, dalam Roh dan
kebenaran. Persahabatan yang senantiasa dijaga oleh-
Nya melampaui segala tanya dan retak yang tak urung
melanda semua jenis hubungan.

Tidak banyak yang mendalami betapa cinta antara


Greg dan Tuhannya itu bersifat timbal balik. Orang
mungkin melihat Greg hanya dari karya sosialnya, tetapi
Tuhan Yesus memberinya cinta yang lebih jauh lagi.
Cintanya Greg merambah pula ke ranah Liturgi Suci dan

162
Arsitektur Kudus. Kami sepakat bahwa Kristus juga mesti
diwartakan melalui keduanya.

Lewat Greg, Tuhan menunjukkan, bahwa ternyata ada


sesama anak muda yang mencintai liturgi yang benar,
yang lurus, yang tradisional, serta arsitektur gereja yang
indah serta setia pada pakem Katolik.

Sayangnya, hal seperti ini malah jarang kita temukan di


kota-kota besar, ya, Greg?
Pesan buat Greg: aku pernah bilang ini sama kamu, dan
aku akan terus mengulang-ulangnya. Ingatlah bahwa
karya dan misi yang baik sekalipun, yang sendirinya suci
dan mulia, adalah sia-sia belaka apabila tidak mengalir
dari hidup batin yang mesra dengan Tuhan. Tetaplah
lekat dengan doa dan sakramen, supaya itu semua yang
menjadi batu karangmu.

Nisi Dominus aedificaverit domum, in vanum


laboraverunt qui aedificant eam; jikalau bukan Tuhan
yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang
membangunnya (Mazmur 127:1).

Dearest Greg, ingatlah selalu Siapa yang memberimu


tugas ini. I love you, my brother in Christ.

Anna Elissa, O.P.


Dominikan Awam
Paroki Beatae Mariae Virginis (BMV) Katedral Bogor

163
Andreas Erick Lega.

Curahatan hati tentang Albert ini tidak pernah pendek dari para
sahabatnya. Ini menggambarkan rasa kagum yang tulis pada sahabat mereka
ini, Albert.

Berikut Andreas Erick A Lega dari Surabaya juga menuliskan dengan judul
“Pantang Menyerah dan Realistis”.

Albert Nirwanto, begitu aku mengenal namanya.


Saya Andreas Erick A. Lega, dari Surabaya, saat ini
mengemban tugas sebagai Ketua Pemuda Katolik Kota
Surabaya periode 2015-2018.

Berawal dari media sosial, friendster, saya dan Albert


berkenalan, kurang lebih tahun 2007. Waktu itu, saya
menjadi ketua umum dari camping akbar misdinar se-
Keuskupan Surabaya yang dilangsungkan pada 1-3 Juli
2008.

164
Dalam perkenalan singkat itu, kami sering berbagi cerita,
mulai dari cerita tentang seputar liturgi, pelajarannya
di sekolah hingga ke angan-angan yang nanti akan
diwujudkan. Kalau tidak salah ingat, waktu itu dia kelas II
SMA. Dulu kami berkomunikasi lewat SMS atau telepon.
Kemudian masih saya ingat dia akan mengikuti tes
masuk di Universitas Indonesia. Dia sempat begitu gelisah
dan takut tidak lolos. Ketakutannya sirna tatkala dia
menerima pengumuman lolos masuk UI, dia senangnya
bukan main.

Suatu ketika saat liburan kuliahnya, dia main ke Malang


dan akan live in di beberapa biara, salah satunya di Biara
SVD, Malang. Dia memberi tahu pada 28 September
2009 pagi, dia berada di Malang. Saya menemuinya di
Malang dengan naik sepeda motor dari Surabaya. Itu kali
pertama bertemu Albert.

Kemudian dari Malang kami sepeda motor ke Surabaya.


Saya bawa dia keliling Surabaya dan singgah ke Paroki
Hati Kudus Yesus, Surabaya. Keesokan harinya, dia
kembali ke Malang menggunakan travel dan dia
melanjutkan kegiatannya di Malang.

Itu bukan pertemuan terakhir. Pada kali kedua bertemu,


yakni pada 4-6 Desember 2009. Dia ingin tau Goa Maria
Puh Sarang, Kediri. Jadi kami bersama lagi naik sepeda
motor ke Puh Sarang dan berdoa di sana.

Tiga tahun kemudian, mungkin dia sudah mulai


disibukkan dengan banyaknya proposal dan/atau
tugas-tugas di kampusnya, akhirnya baru bisa bertemu
lagi pada 14-17 September 2012. Kami berkeliling lagi
ke beberapa Gereja di Keuskupan Surabaya. Kali ini
kami berkeliling sampai ke gereja-gereja di Manukan,
Jombang, Mojokerto, Nganjuk.

Sangat terkesan ketika singgah di Paroki St. Paulus,


Nganjuk, di mana terdapat tulisan “Silakan masuk,

165
Tuhan menunggumu!”
Selama lebih kurang tiga hari kami naik sepeda motor.
Pertemuan selanjutnya pada 2014, saat itu saya sedang
mengumpulkan informasi di Pengadilan Agama Depok
untuk keperluan skripsi S-1 Hukum saya. Pada 31 Mei-02
Juni 2014, saya ke Jakarta dan bertemu dengan keluarga
besar Albert, mendapat sambutan hangat dari keluarga
membuat diri merasa seperti bagian dalam keluarga.

Enam bulan kemudian, saya mengundang dia untuk hadir


dalam wisuda saya pada 1 Desember 2014. Di sela-sela
kesibukannya, dia meluangkan waktu ke Surabaya.

Setelah 2014 hingga 2017 ini, mungkin kesibukannya


makin bertambah, mungkin membuat kurang ada waktu
panjang untuk main ke Surabaya. Namun, pada satu
dan dua kesempatan, ketika transit di Bandara Juanda,
saya sering sekadar bertemu dan menemani sembari
menunggu jam terbangnya.
Andreas salah satu yang paling lama dan paling dekat
dan tahu sepak terjang Albert soal PPGK. Andreas
menuliskan Albert pernah, Tidak dipercaya orang,
dibilang penipu, mau dilaporkan ke polisi, tetapi itu semua
dihadapi dengan tenang dan tidak takut. Karena memang
tugasnya benar dijalankan dan bukan penipuan.”

Intinya, memang tidak akan mampu membuat semua


orang percaya, apalagi hal ini masalah sensitif. Hanya
orang yang punya hati, dengan memakai hati nuraninya,
merasa kalau ini memang benar, ya mereka mau
menyumbang. Tidak bisa memaksa, karena ini sifatnya
sukarela.

Karya Albert adalah salah satu bentuk legitimasi kepada


orang-orang bahwa ini adalah suatu karya nyata, bukan
hanya menghabiskan waktu di Facebook untuk like dan
atau comment. Kehadiran Albert memberi semangat dan

166
kesan tersendiri bagi umat.
“Tidak ada yang tidak dapat dilakukan, meski dalam
hal kecil atau mungkin dalam hal sederhana, itu bisa
dilakukan dan hasilnya bisa besar,” ujar Albert suatu
waktu.

Sebagai kenalan, Albert sudah menjadi seperti saudara


sendiri. Saya mengingat masa lalu dan melihat masa
sekarang yang menjadikan Albert seperti pribadi saat ini.
Kiranya pada usia yang makin matang ini, memasuk usia
ke-27 tahun, semoga tetap diberi kesempatan oleh Tuhan
untuk terus berkarya dengan cara yang berbeda.

Dia menggerakkan kepedulian umat bagi saudara yang


membutuhkan, khususnya yang memerlukan bantuan
untuk perbaikan bangunan gereja sehingga umat dapat
beribadah dengan lebih khidmat.

Albert, selamat berkarya, selamat melayani Tuhan.


Mimpi untuk membawa mama ziarah ke Vatican sudah
tercapai, mungkin masih banyak cita-cita yang belum
tersampaikan, semoga dapat terwujud seiring berjalannya
waktu. Salam untuk mama, papa dan kokomu.

Berkah Dalem
Andreas Erick Lega

167
5. Rekan Muda Mau Jadi Relawan
• Kala Orang Peduli Bertemu Orang Peduli

R ekan muda Katolik ternyata memiliki kepedulian. Di tengah zaman yang


membawa arus kepedulian diri masih banyak yang peduli pada sesama.
Kepedulian inilah yang juga membawa mereka sangat berkenan jadi relawan,
menemani Albert.
Orang peduli ketemu orang peduli, sinerginya jadi dahsyat. Bahasa di
antara sesama orang peduli pada sesama ini penuh kasih dan saling ingin
menopang, demi gereja.
Hal itu tergambar pada curahan hati Theresia Aniek Soetaryo, salah satu
dari sekian banyak relawan.

Pertama kali tahu program ini (PPGK) adalah lewat


Facebook. Langsung tergerak hati untuk terlibat.
Setahu saya, belum ada program terkoordinasi demi
pembangunan atau renovasi gereja-gereja di seluruh
Indonesia. Jika ada koordinasi, hanya secara internal
untuk kepentingan gereja sendiri.

Saya tertarik kepedulian ini. Saya mencoba terlibat


untuk berbuat lebih dari sekedar dana, yang juga terbatas
apalagi untuk orang kismin (miskin) seperti saya.

Terkenang, saya memberanikan diri bertanya pada sang


founder, Albert. Apakah saya bisa membantu donasi
dalam bentuk lain? Yang lalu diawali dengan donasi
berupa rosario untuk Kalimantan Barat.

Saya coba tanyakan pula, bolehkah saya ikut dalam


kunjungan ke gereja terpencil? Kebetulan, adrenalin saya
adalah charity, volunteering and traveling. Maka saya pun
ikut dalam beberapa kunjungan gereja bersama Albert.
Sangat membahagiakan.

Ketika Albert berencana membentuk tim untuk


membantunya dalam kegiatan PPGK, tentu saja saya

168
bersedia. Apa pun, sesederhana apa pun, sekecil apa pun,
demi Tuhan kita Yesus Kristus dan Gereja Katolik, saya
bersedia.

Saya berharap PPGK terus bisa dijalankan dan dikelola


dengan lebih baik oleh Albert. Bahkan, semoga PPGK bisa
terus maju menjadi sebuah institusi/lembaga/yayasan
yang terus berkarya berkesinambungan demi Gereja
Katolik.

Karena, kalau bukan kita, siapa lagi?

Ketertarikan saya juga terdorong figur Albert.

Luar biasa, anak tua eh muda ini dengan ide


dan kesungguhan besar. Menggalang dana,
mempertimbangkan, menyurvei, dan akhirnya
memutuskan gereja mana yang layak dibantu. Ini jelas
pekerjaan rumit. Tadinya Albert melakukanya seorang
diri. Standing applause kayaknya gak cukup.

Saya tertarik pada Albert yang santai sekaligus serius,


muda sekaligus tua. Santai diajak becandaan tidak jaim,
serius karena PPGK adalah bukti tak terbantah. Muda
usia tetapi matang pemikirannya tentang gereja, iman
Katolik. Pelayanannya sungguh matang. It’s such an
honor to know you, Albert.

Sedikit saran dan kritik, mungkin karena terbiasa


one man show, menurut saya Albert masih kurang
aktif membina dan mendelegasikan tugas. Ini perlu
dimodifikasi sehingga dia tidak kepayahan. Grup tim
PPGK Whatsapp tidak ada update ataupun program kerja
yang jelas, komunikasi tidak intens.
Menurut saya, dua atau tiga atau banyak kepala tidak
selalu lebih baik daripada satu kepala. Namun, jika bisa
menemukan dan mengorganisasi dua, tiga, empat apalagi
banyak kepala yang bervisi dan berkomitmen selaras,
Albert pasti merasa lebih ringan.

169
Albert memesona umat di daerah terpencil, termasuk karena kedekatannya dengan umat,
termasuk anak-anak.

170
Bab V

Siapa Itu Albert


1. Kepribadian Albert Tersingkap
Lewat Kesaksian Sahabat

Setiap orang hampir kesulitan melukiskan siapa sejatinya


Albert ini. Akan tetapi, tanpa sadar para narasumber
telah melukiskan dengan sendirinya siapa Albert.
Mereka mengatakan tidak terlalu paham bermain kata,
tetapi justru berhasil memotret Albert dari pengamatan
langsung.

• Albert Menyukai Suara Jangkrik Malam di Pedesaan

K
epribadiannya sulit saya ungkapkan. “Dia orang
aneh.” Begitu Rohanta Saragih menggambarkan
Albert. Usia muda tetapi tak memilih berakhir
pekan dengan pacar atau teman istimewa. Malah
lebih doyan terbang, kencan dengan angin
malam, ditimpali suara jangkrik di perdesaan.

Berangkat Jumat malam, tiba Sabtu subuh, tidur sebentar lalu bergerak
menuju stasi tujuan. Esoknya, Minggu, kembali dengan selalu terbirit-birit
mengejar penerbangan terakhir. Agar esoknya, Senin, bisa kembali masuk
kantor. Jika ada kalender merah akan dia manfaatkan juga untuk bertualang.
Rohanta mengatakan bahwa Albert tak pernah mengeluh walau pasti

171
capek dengan perjalanan yang selalu berpacu dengan waktu. Buktinya,
perjalanan hectic ia jalani terus sampai sekarang. Sering ia terpaksa tidur
bangku-bangku bandara kalau angkutan sudah tak ada. Ini tidak dia beri tahu
ke Mami-nya agar sang Mami tidak cemas. “Sebab, Mami-lah yang cemas,
Albert tak mencemaskan apa pun,” kata Rohanta.
Inilah salah satu alasan mengapa Rohanta menyebut Albert “aneh”.
“Kadang saya terpikir, apa sih yang dicari si anak muda ini dari kegiatan seperti
ini. Banyak awam cinta gereja, tetapi belum pernah kulihat seekstrem dia,”
ujarnya.
Jadwal perjalanannya pun aneh. Ia pernah tiba di tempat tujuannya pukul
satu pagi karena pesawatnya delay sampai tiga jam. Namun, Albert seperti
tidak pernah jera. Saat kembali ke Jakarta Rohanta bertanya, apakah Albert
sudah sampai di rumah? “Iya. Ini baru saja tiba.” Saat itu sudah pukul satu pagi
dan pukul enam pagi Albert sudah harus ke kantor.
“Capek botou (capek kak), tetapi saya puas dan senang dapat hadir di sana.”
Itulah jawabannya kepada Rohanta. Apakah dia pura-pura saja bahagia demi
menyenangkan lawan bicara? Kalau dia pura-pura, dalam benak Rohanta,
Albert tidak akan mengulangi lagi perjalanan serupa itu.
Rohanta pun sampai pada kesimpulan, Albert selalu bergairah dengan
apa yang ia lakukan. Gairah itulah alasan satu-satunya yang membuatnya
menjalani kegiatan yang sangat merepotkan hingga melelahkan. Bayangkan,
dia kerja dari Senin hingga Jumat. Layaklah jika Sabtu-Minggu istirahat untuk
melonggarkan saraf tegang akibat kerjaan atau penat badan di Jakarta yang
sangat macet. Namun, itu tidak ia lakukan.
Sejak kuliah hingga sudah bekerja bertualang salah satu kesukaannya.
Namun, menurut Rohanta, ada hal aneh lagi soal kesukaan Albert ini.
Bertualang bukan mencari kesenangan, seperti menikmati wisata pantai atau
tinggal di hotel-hotel. Dia malah menghabiskan waktu memeriksa lokasi gereja
yang hendak dibantu. Jika selesai, dia ikuti acara pemberkatan. Bukan itu saja,
Albert sangat suka menemui sesamanya di pelosok yang sering terlupakan
oleh kebanyakan orang.
Dia sangat bahagia bertemu para sahabat. Pastor Masseo menyaksikan
sendiri Albert punya banyak teman. Jika sedang di Sumatera Utara, misalnya,
dia berusaha mengunjungi para sahabatnya sekadar bertemu singkat. Pasti
sangat singkat karena jadwalnya padat untuk kunjungan gerejawi ini.
“Pernah sepulang pemberkatan Gereja di Parlilitan, saya mengantarnya ke
Bandara Kualanamu,” ujar Pastor Masseo. Dalam perjalanan itu dia bertanya,
‘Bisakah kita singgah sebentar?’ Tentu saya tidak menolak. Kami pun singgah
di Siborong-borong untuk bertemu sahabatnya, seorang suster,” kata Pastor

172
Masseo.
Dia singgah di daerah Porsea ke rumah seorang donatur; singgah di Parapat,
Pematang Siantar, hingga hampir terlambat tiba di Bandara Kualanamu.
Pastor Masseo melihat Albert sangat menghargai persahabatan. Sebaliknya,
kehadirannya juga dinantikan para sahabat.
Kunjungannya selalu soal relasi rohani di mana pun itu. Pastor Stef Rehi
Mete CSsR, yang tinggal di Sumba, sebelum belajar di Roma, turut menjadi
orang yang merasakan kunjungan Albert. “Bersama beberapa donatur
lain yang baik dan tulus, Ibu Paula Lusiana dan Ibu Anastasia, Albert
mengunjungiku di Sumba,” kata Rehi Mete.
Pastor Johan Wahyudi, yang bertugas di Pontianak, juga sangat menyetujui
bahwa Albert menikmati persahabatan. Perjumpaan langsung dengan sosok
inspiratif ini, demikian Pastor Wahyudi menyebut Albert, terjadi ketika ia
berkunjung ke Kalimantan Barat. “Dia berkenan mampir di paroki tempat
saya bertugas. Masih ada dua kesempatan lagi bertemu dengannya setelah
itu,” kata Pastor Johan, yang sempat mengira Albert seorang imam.
Setelah bertemu, Pastor Johan kagum walau dia bukan imam. “Albert
adalah salah satu pemuda yang memiliki keprihatinan dan kepedulian
terhadap pembangunan gereja. Dia inspirasi bagi banyak orang.”
Menurut Pastor Johan, tidak mengherankan jika para sahabat senang
bertemu dengannya. Albert berpengetahuan luas dan punya selera humor.
Nyambung berbicara tentang banyak hal dengan Albert.
“Ia ceria dan supel, bisa menempatkan atau menyesuaikan diri dengan
berbagai situasi. Diajak santai oke, serius oke.”

• Tempat Angker Tak Membuatnya Surut

B erjalan dan berjalan, mengunjungi dan mengunjungi. Itulah Albert. Usia


mudanya memberi dia energi untuk itu, tahan banting, dan seperti tidak
ada rasa takutnya sama sekali.
Rohanta pernah Ikut dengannya dalam kunjungan ke beberapa stasi di
Keuskupan Agung Medan. Dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Daerah-
daerah yang dikunjungi sering harus melewati hutan-hutan lebat.
Tak jarang warga setempat mengingatkan agar hati-hati jika menuju
lokasi tertentu. Pernah seorang pastor berkelakar, “Jika berhasil menembus
daerah ini, berarti di mana pun kamu selamat,” demikian Rohanta mengenang
kelakar itu ketika hendak merujuk lokasi yang dipersepsikan angker.
“Saya sebenarnya terpengaruh walau itu hanya kelakar karena sering

173
mendengar peringatan serupa,” kata Rohanta. Dalam diri Albert tidak
ada ketakutan. Pernah Albert mengatakan, “Jika kita tulus Tuhan pasti
melindungi.”
Rupanya karena sering bepergian, Albert sudah mendengar hal serupa,
seperti ada daerah angker di lokasi tertentu. “Itu dia katakan kepada saya.
Karena rasa percaya dirinya, saya yang sempat gugup pun ikut-ikutan percaya
diri menyusuri daerah yang tak saya tahu sebelumnya. Dia lebih paham
banyak daerah di Sumatera Utara ini ketimbang saya yang sejak lahir tinggal
di Sumatera Utara,” kata Rohanta.
Percaya diri dan punya daya tahan. Pastor Karolus Lanang Ona dari Lau
Desky menggambarkan Albert memiliki hal tersebut. “Albert pernah datang
bersama Yasinta Arianti saat peresmian Stasi St Petrus Kinangkong, Aceh. Saat
itu, kami berjalan kaki menuju stasi lain di pegunungan, Stasi Bukit Makmur.”
Diceritakan Pastor Karolus, Albert mendaki stasi ini secara perlahan
tetapi pasti. Untuk tiba ke stasi ini memang mesti melewati pergunungan yang
tentu sangat melelahkan dan menguras tenaga. Albert yang adalah orang kota
sebenarnya diragukan tidak kuat melewati perjalanan ini. “Ternyata, Albert
tahan banting,” kata Pastor Karolus.

Albert dalam kunjungan ke daerah terpencil.

174
• Tak Mau Menandatangani Prasasti

H al menarik lain tentang Albert adalah saat datang lagi untuk pemberkatan
gereja yang telah selesai dibangun. Seperti cerita Rohanta, ia beberapa
kali dimintai panitia untuk menanyakan nama lengkap Albert dengan tujuan
untuk dibuatkan namanya di batu marmar. Namun, Albert tidak pernah mau.
Ia memilih tidak mau meneken prasasti dengan tulisan namanya.
Tidak hanya itu, diulosi (diberi ulos) pun dia sering enggan. Albert sering
mengatakan, “Jika bisa jangan diberi ulos lagi.” Namun, panitia umumnya
menunjukkan perhargaan tertinggi lewat ulos. Jika sudah demikian, dia tak
tega menolak.
Dalam acara pemberkatan, Albert memilih duduk di deretan belakang.
Kursi untuknya ada di depan, tetapi kepada panitia ia minta diizinkan duduk
bersama umat agar bisa melihat semua umat dari jejeran belakang.
Albert tak menyusahkan dan tak susah dilayani. Beberapa kali dia
menginap di rumah Rohanta. Saat pertama menginap, bahkan Rohanta
pernah bingung karena dia tiba dini hari, pukul satu.
“Aku berpikir apa yang pas dihidangkan untuknya. Dia tidak mau dilayani
dan memakan apa saja yang tersedia. Kalau tak cocok dia tidak makan tanpa
omong ini dan itu,” kata Rohanta.
Ia pernah mendadak masak mi instan yang kebetulan tersedia. Mendadak
Rohanta hendak mengambil alih, tetapi Albert katakan, “Gak usah, saya saja.”
Dia memasak mi instan dengan cara yang unik, air mi rebusan pertama dia
tiriskan lalu dia masak kedua kali. “Mungkin dia pikir, saya tidak tahu dan
memang saya tidak demikian memasak mi instan. Namun, saya kira, dia hanya
tidak mau merepotkan padahal dia tamu yang pantas dilayani,” kata Rohanta.
Soal lokasi tidur saat bertamu di rumah sahabat, Albert tak pernah
mempermasalahkan. Di pelataran luar rumah pun dia mau melewati malam.
“Karena saya datang bukan sebagai tamu agung, melainkan sebagai sehabat,”
kata Albert menjawab itu semua.

• Fransiskan Awam Sejati

P astor Stef Rehi Mete, CSsR, menyimpulkan Albert dari perjumpaannya.


Albert dilukiskan sebagai pribadi yang sederhana, bersahaja, tak mau
dilayani dan mempunyai prinsip iman yang kuat.
“Rupanya ini karena kecintaannya pada orang kudus Santo Fransiskus
Assisi, yang membawanya ke karya ini.”

175
Pengaruh Santo ini pula yang membuat Albert bertekad menabung untuk
berziarah ke Fatima, Lourdes, Roma, dan tentu tak lupa ke Assisi, tempat
kelahiran St. Fransiskus.
Pastor Yohan Wahyudi menyebut Albert sebagai Fransiskus awam
masa kini. Ia menyampaikan bahwa dalam diri Albert ia melihat semangat
dan makna hidup seperti dalam diri St. Fransiskus Assisi tempo dulu; yang
dihadirkan kembali oleh Albert dalam situasi kekinian.
Segala keprihatinan tidak hanya diungkapkan lewat kata, meniru
Fransiskus Assisi yang juga dulu prihatin tentang gereja, Albert berbuat lewat
tindakan nyata tanpa banyak teori dan kata. Ia telah berbuat banyak dalam
hidupnya, meniru Fransiskus yang telah memukau dunia.

• Dia Harum Semerbak

P astor Petrus Julianus, Imam Keuskupan Sintang Kalimantan Barat,


memberi unsur teologia pada Albert dan karyanya. Ia menyatakan bahwa
Albert adalah penyebar keharuman Kristus sebagaimana tertulis di Surat
Rasul Paulus. Albert adalah “bau yang harum dari Kristus” (Lihat. 2 Kor 2:15).
“Saya bukan hanya berjumpa dengannya. Saya sudah bertemu keluarga
Albert dua kali di kediaman mereka,” kata Pastor Petrus. Bagi dia, Albert
merupakan sosok anak muda yang punya kepedulian besar. Ia utusan Tuhan
dan rahmat bagi umat Katolik, khususnya di pedalaman, dan penyalur berkat
bagi umat yang mampu untuk berbagi dengan umat tak mampu.
Demi tugas itu, dia meraih kepercayaan para donatur. Dia membawa bau
harum dan kumpulannya menjadi pembawa harum semerbak.
Dia memperkenalkan diri serta keluarganya ia perkenalkan kepada
sahabatnya. Lalu sahabatnya menjadi sahabat bagi keluarganya. Keharuman
bunga mawar makin tercium kuat karena dia selalu ingin bersama dan selalu
rindu dalam kebersamaan.

176
2. Pernah Juga Terpikir untuk Kaya
• Ekstraksi dari Para Narasumber

S pontanitas kemanusiaan membuat saya juga pernah ingin kaya.


Mungkin saya bisa kaya dengan segala kesempatan dan potensi yang
ada. Mengasyikkan rasanya membayangkan jadi pengusaha kaya atau orang
berduit. Akan tetapi, ada kalanya saya melihat kekayaan tak menjamin nilai-
nilai hidupku ada di sana. Saya berpikir, walau bisa kaya suatu saat biarlah itu
senapas dengan jiwaku. Biarlah mengalir saja tanpa aku harus memburunya
atau tanpa berambisi soal itu.”
Itulah jawaban Albert saat ditanyakan, apakah dengan potensinya tak
berminat memasuki bisnis atau karier lain agar berlimpah materi. Rupanya
pertanyaan seperti ini tidak terlalu menarik perhatiannya.
Mengikuti jejak Albert lewat opini-opini narasumber dan segala aksinya,
ada beberapa hal bisa dicatat dan perlu dibagikan dalam dalam buku ini.
Pertama, dia mengoptimalkan energi, sebuah anugerah bagi usia muda.
Energi muda masih full jarang membuat penat dibandingkan dengan usia
tua. Meski kesehatan harus dijaga, usia muda memiliki produktivitas tinggi.
Maka sayang sekali jika usia muda diisi dengan keluhan, tak bersemangat, dan
“melempem”.
Albert yang berenergi muda tak pernah mengeluh dan memang dahsyat
seakan tak pernah mau diam. Dia seakan telah “menyalibkan” dirinya sendiri.
Kedua, boleh tidak sependapat atau berbeda dalam cara memandang
sesuatu, tetapi bagi Albert, itu tak boleh memutus hubungan pertemanan.
Tak ada kalimat sarkas jika dia tidak setuju akan sesuatu hal. Penilaian tak pas
dia simpan saja mungkin bertujuan menjaga persahabatan karena memang
disadari bahwa ada perbedaan preferensi.
Ketiga, dia prinsipil. Selalu mau mendengar saran dan siap berbagi.
Namun, pada akhirnya jika prinsipnya tidak sesuai dengan prinsip orang, dia
jalan dengan prinsipnya. Akan tetapi, tidak perlu khawatir sebab prinsip dia
melayani demi kepentingan banyak orang. Albert selalu menghargai prinsip
orang lain sebagaimana dia meminta orang-orang menghargai prinsipnya.
Keempat, secara keseluruhan susah mencari sisi negatif dalam diri Albert.
Dia menabuh kekaguman personal. Dengan raut wajah ganteng, otak pintar,
memiliki kepedulian terhadap sesama, terlebih dalam pelayanan buat gereja
Tuhan. Bisa dibilang, dia adalah angel pada usia muda zaman modern ini.

177
Kelima, semua pihak hampir senada dengannya tentang urusan gereja.
Militan soal iman, tetapi dia bukan orang chauvinistic. Dia prodigy keimanan.

• Kehadirannya adalah Jawaban

M engapa Albert hadir? Tentu karena dia cinta gereja. Namun, mengapa
harus ada orang seperti Albert terjun membangun gereja di pelosok
bersama jaringannya? Apakah karena dana kurang? Apakah ini karena tidak
ada organisasi khusus dalam Katolik untuk melayani perdesaan?
Katolik terkenal dengan organisasi kuat dengan hierarki sampai ke Roma.
Mengapa gereja di pelosok tak menjadi perhatian kekardinalan Indonesia?
Apakah keuskupan-keuskupan menyekatkan diri ke wilayahnya semata, tidak
saling berkoordinasi untuk daerah terpencil di negara yang luas ini?
Ini hanya permenungan saja, sebab akhirnya terpikir juga, untunglah
ada orang seperti Albert. Dia bisa menyapa dan menyentuh daerah-daerah
terpencil agar Katolik Nusantara bersinergi dan yang di pinggiran tidak
merasa berjalan sendirian, tetapi ada sesama umat yang menopang. Terlebih
sekarang Indonesia makin maju dari segi ekonomi dan lebih mampu memberi
perhatian, termasuk donasi.
Aspek lain, mengikuti “weird God’s child” ini muncul pertanyaan, saat mana
Albert merasakan kebahagiaan. Kapan dia memiliki leisure time? Bukankah
ada hakikat homo ludens bahwa manusia itu perlu juga fun, rileks, dan happy?
Melihat ada 84 gereja sudah terbangun dalam 5 tahun belakangan ini,
kerja Senin-Jumat, masih adakah leisure time untuknya? Seperti kita tahu, libur
Sabtu-Minggu malah dimanfaatkan Albert untuk bertualang.
Apakah tidak ingin cari bahagia, menikmati hidup, walau di benaknya
ada kasih? Tampak tidak ada waktu senggangnya. Sibuk dengan gawainya
merespons donatur dan menyapa saudara dan saudari yang ada di mana-
mana.
Saya teringat penyataan Steffi Graf, juara 22 kali tenis Grand Slams. Graf
dijuluki orang sekelilingnya sebagai “tidak pernah terlihat bahagia, santai,
dan berbincang-bincang rileks”. Jawaban Graf mengejutkan. “Saya bahagia
ketika menikmati pertandingan dan menjadi juara, serta amat bahagia saat
mengangkat trofi.”
Albert bahagia dengan capek di jalan, tidur di emperan. Dia tidak
menikmati leisure time di lokasi diskotik, camping muda-mudi, makan minum
dengan remaja-remaja seusianya. “Saya merasa kosong menjalani hal seperti
itu,” kata Albert suatu ketika.

178
Dia menikmati hiburan lain, yang tidak kalah kualitas dan penuh syahdu.
Dia menikmati adat-budaya dan tradisi daerah yang ia kunjungi, di antaranya:
• Papua: dengan tradisi bakar batu
• Simalungun: dengan “Tortor Sombah”
• Manggarai, Flores: dengan kombinasi ayam jago dan bir
• Sumba: ada pemakaian sirih, pinang, dan tarian adat
• Atambua, Timor: dengan kain adat diletakkan di bahu
• Dayak: dengan minuman nira (tuak)
• Maumere: ada kue cucur
• Purwoharjo, Banyuwangi: dengan kesenian Balaganjur.
Ini hanya beberapa dari warna adat yang amat dia sukai. Masih banyak
lagi kekayaan budaya bangsa ini yang memikat hatinya. Sebut saja adat
pemberian simbi—tradisi khas Nias—kala ia dijamu saat menyalurkan bantuan
di Kabupaten Nias Barat. Albert mensyukuri bisa mengenal itu semua lewat
pekerjaan membantu pembangunan gereja Katolik di berbagai pelosok. Umat
setempat membalas karya Albert dengan ritual adat setempat.
Albert sangat bersyukur bahwa kehadiran gereja Katolik tidak pernah
mematikan akar budaya-adat-tradisi lokal. Iman kepada Tuhan harus selaras
dengan cinta terhadap lingkungan dan seluruh ciptaan-Nya, termasuk budaya-
adat dan tradisi.

Albert menyukai suasana pedesaan.

179
• Menjadi Karyawan Terbaik

D i tengah kesibukan, Albert menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya,


sebuah bank swasta besar di Tanah Air. Padahal, dia bukanlah ekonom
dari jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi pembangunan, di mana daya analisis
ekonomi diajarkan. Dia terbaik di bidang kredit dan analisis kredit. Diakui
Albert, bosnya di kantor tahu bahwa dia sering pergi keluar daerah pada akhir
pekan dan sangat sibuk untuk urusan pelayanan. Akan tetapi, bosnya senang
dengan cara kerjanya yang perfek dan memuaskan. Kuncinya, Albert bekerja
dengan total. “Sebab, saya tidak pernah menomorduakan pekerjaan,” katanya.
Bagaimana dia menilai kredit dan menyusun dalam laporan yang disukai
pimpinan? “Saat mendengar nasabah saya selalu mencoba menjadi pendengar
yang baik. Tentu harus menjaga jarak, semisal tak terlibat dalam secara
personal dengan masalah personal nasabah. Menjaga jarak karena harus
menyelamatkan kredit yang menjadi tugas saya.”
Strategi ini membuatnya tahu dan bisa memilah mana masalah bisnis
murni yang mendera nasabah dan mana yang tercampur dengan karakter
nasabah. Dari mendengar, Albert paham masalah bisnis dan masalah nasabah.
Dia kombinasikan pemahaman ini dari history dan searching teori serta ilmu.
Ini hanya dimungkinkan karena talenta, dipadukan dengan ketelitian dan
kejelimetan kerja. Muncullah laporan kerja yang superb. Sungguh seorang
karyawan berdedikasi tinggi.

• Kitalah yang Harus Mengubah Cara Pandang

B erparas ganteng, pintar, dan prospektif dengan jodoh cantik serta karier
melejit. Semua rela melihat dia tumbuh dalam bingkai modern itu, dengan
tangan mengapit gadget atau gawai iPhone 6 atau Samsung Galaxy terbaru.
Dia mumpuni untuk itu, lulusan kuliah di Universitas Indonesia tepat waktu.
Orangtua mana tidak senang melihat putranya berbinar karier.
Oopps. Namun, kita mungkin salah dan benar-benar tidak mengenalnya.
Kita luput memahami isi hatinya luar-dalam. Kita salah jika memikirkan
hal duniawi akan menyejukkan jiwanya. Sebab, nyatanya Tuhan telah
merancangnya menjadi alat menyalurkan berkat bagi umat.
Dia adalah kumbang yang mengerubungi bunga-bunga yang dia jadikan
sahabat, bukan hubungan muda-mudi ala cinta remaja dengan menonton
di bioskop 21 berdua-duaan. Orientasinya bukan itu. Hari-harinya adalah
keilahian. Jika banyak yang cemerlang dalam melayani Tuhan, Albert adalah

180
salah satu di antaranya.
Memotret jalan hidup Albert, kita menjadi teringat akan moto Kwik
Kian Gie, seorang ekonom Indonesia yang kesohor dan mantan menteri.
“Mampukan dulu dirimu secara finansial sehingga bisa melakukan sesuatu
yang lain tanpa tergantung pada apa yang ingin kamu lakukan kemudian.”
Albert diberi Tuhan talenta alamiah yang bagus, pintar. Dia kuliah dan
bekerja dengan baik dan mendapatkan ganjaran setimpal sehingga mampu
berdiri di atas kaki sendiri, terutama secara finansial.
Menurut Kwik Kian Gie, “Jika kamu ingin berkiprah, kamu harus mandiri
secara rezeki sehingga jika ada masalah suatu saat pada apa yang kamu
kerjakan, rezeki kamu tidak terganggu.”
Seperti kita ketahui, Kwik Kian Gie pun berbakti pada negara setelah
memiliki uang banyak. Dia tidak tercekoki isu korupsi. Barangkali semangat
yang sama itulah yang dimiliki Albert pun. Ia tidak mempan tercekoki isu
manipulasi. Sebab, dia mandiri secara finansial.

• Kapan Menikah?

A da pertanyaan umum, kapan menikah? Pertanyaan itu akan selalu


mewarnai perjumpaan Albert dengan umat. Pertanyaan itu muncul
karena Albert tampaknya telah membenamkan diri sepenuhnya untuk
publik. Kapan bisa mencari jodoh jika waktunya habis untuk pelayanan. Tak
salah jika ada sebagian umat menyampaikan, “Jika demikian mengapa tidak
sekalian saja jadi rohaniwan?”
Bicara soal panggilan memang sebuah misteri. Ada yang bilang panggilan
melayani Tuhan itu terkadang unik. Tampaknya Albert sejauh ini memilih
untuk menjadi seperti sekarang ini, yang dia jiwai dan dia nikmati.
“Bagaimana nantilah, memang pernah tertarik, sih (untuk menikah),”
ujar Albert singkat ketika pertanyaan yang sama penulis sampaikan, ‘Kapan
menikah Albert?’.
Dalam surat Korintus memang dikatakan, ada yang tidak menikah atau
memilih hidup selibat demi kerajaan Tuhan.
Albert, untukmu saya angkat bahu, angkat tangan, seraya angkat jempol.
Salut….!

181
Bab VI

Bagian Penutup

A
khirnya ini semua bukan sekadar seruan untuk
membangun .... Ini juga seruan soal gerakan
kepedulian. Saya pribadi mengamati, not as
theological scholar, Tuhan pada dasarnya tak
henti-henti memberi tanda-tanda.

Dari zaman ke zaman, Dia tunjukkan dengan cara tersendiri


pengejawantahan tentang iman itu. Tuhan konstan menyertai hingga melirik
siapa saja yang bisa Dia pakai sebagai alat-Nya.
Atas segala yang dilakukan Albert lewat PPGK, ini jelas bukan semata-
mata soal seruan tentang membangun gereja secara fisik. Ini soal makna yang
tersirat di balik semua itu.
Peduli, inilah dasarnya. Peduli pada yang lemah. Ini meningkat lebih jauh,
rasa peduli yang telah diwujudkan.
Dia tidak mengejar duitnya para donatur semata, dia ingin donatur
menjadi sahabat sejatinya.
Albert bukan seorang developer bangunan fisik, dia inspirasi kasih dan
kepedulian. Dia developer yang membangun rasa kebersamaan. Dia adalah
gambaran cinta yang mengingatkan kita kembali sebagai umat-Nya yang
sejati.
Menurut ayahnya, Athanasius, Albert itu juga peduli pada sesama di
luar pembangunan gereja. “Saya pernah meminta dia mengulurkan tangan
kepada seseorang, ternyata di luar dugaan saya, itu sudah dia lakukan,” kata
Athanasius tentang anaknya, Albert.

182
• Romo Andreas Basuki Wagiman Projo:
Yang Bagus-bagus dari Cah Bagus

P erkenalan dengan Albert terjadi melalui Martinus Suramto (Ramto),


Bendahara Panitia Pembangunan Gereja Hati Kudus, Sidoharjo, Lampung
Selatan. Via telepon, Suramto memberi tahu bahwa ada laman Program Peduli
Gereja Katolik (PPGK).
Ramto tahu soal ini dari Romo Mateus. Sejak saat itu, saya berkomunikasi
langsung dengan Albert meski hanya lewat pesan SMS atau telepon. Saat itu
kami sedang membangun gereja berbiaya sekitar Rp 1,3 miliar. Lebih dari Rp
200 juta sumbangan mengalir pada kami lewat bendahara.
Saat pembangunan gereja itu, saya pun menjadi anggota laman PPGK,
yang dibuatkan pada 2008 dan saya masuk pada tahun 2010. Ini masih masa-
masa laman tersebut sepi pengunjung. Perlahan-lahan pengunjung ramai dan
muncullah kriteria gereja mana dan seperti apa yang layak dibangun.
PPGK menjadi lebih selektif menentukan kriterianya. Saya sempat
terkaget-kaget karena Gereja Hati Kudus tak masuk kriteria, tetapi tetap
dibantu.
Waktu berjalan, saya terus mengingat Albert dan PPGK. Tak lama
kemudian, terus terang saya terkaget-kaget dibuatnya. Ini setelah saya melihat
dan membaca Majalah Hidup edisi No. 6 Th. ke-66 5/2/2012 dengan sampul
wajah Albert berjudul “Generasi Facebook untuk Gereja”.
Hal yang membuatku kaget adalah Ketua PPGK itu masih bocah jika
dibandingkan dengan saya yang sudah lewat setengah abad. Rupane bagus
(wajahnya ganteng). Saya katakan masih bocah karena usianya saat itu atau
pada tahun 2012 baru 21 tahun. Kumisnya saja seperti baru tumbuh. Terlihat
wajahnya bersih plus, lesung pipitnya pun ada. Karena itulah, saya panggil
Albert dengan sebutan cah bagus.
“Halo Cah Bagus, apa kabar?” Sapaan pembuka saya kala lama tak

183
berkomunikasi. Keheranan saya tak sebatas itu saja. Meski usia masih
belia, tetapi sudah duduk di bangku kuliah. Heran saya, kok masih sempat-
sempatnya ngurusi PPGK, apakah enggak mumet? Apa bukan kurang kerjaan?
Bagaimana dengan mengatur waktu kuliah dan buat skripsinya?
Menjadi penanggung jawab PPGK yang dikenal seluruh penjuru Nusantara
tak cukup hanya dengan duduk di balik meja. Kesimpulan saya bahwa ini
anak tak hanya punya ide (terobosan) cerdas dengan PPGK-nya, tetapi juga
intelektualitas akademiknya pasti lancar. Buktinya, aktivitas di PPGK lancar
dan kuliahnya pun selesai tepat waktu.
Kabar yang mengejutkan saya lagi adalah saat “Cah Bagus” memberi
informasi bahwa dia ingin melihat Gereja Hati Kudus yang selesai dibangun.
Saat itu tinggal tempat kursi baru dengan tempat lutut berbusa yang belum
dibuat. Namun, langsung saya katakan dengan semangat, “Kapan, jam berapa,
saya akan jemput di Bandara (Raden Intan), Bandar Lampung?”
Dari tempat saya tinggal, di Pastoran Katolik Keluarga Kudus Sidomulyo,
Lampung Selatan saat itu, kira-kira 2 jam jika lancar.
Sesampai di bandara, Cah Bagus baru saja keluar dari pintu. Saya pun pas di
depannya. Tak sulit mengenali wajarnya yang sudah saya kenali via Facebook
dan lebih besar dan jelas di majalah.
Langkahnya cepat, menandakan cara kerjanya pun cepat, dengan sedikit
senyuman yang menawan, Cah Bagus saya arahkan ke mobil, lalu kami
meluncur ke pastoran. Kamar untuknya sudah disiapkan. Beristirahat sejenak,
mandi, makan bersama, dan usai itu kami pun berbincang-bincang ringan.
Terus terang, saat itu, saya masih merasa ragu-ragu apa yang disukainya,
termasuk soal tempat, makanan, dan tema perbincangan. Bagaimana dia
menilai sikap atau penerimaan saya. Namun, tampaknya semuanya “baik-
baik” saja, termasuk hidangan yang disediakan di meja.
Saya katakan, “Maaf Cah Bagus, romo menghidangkan daging tiruan
bukan daging sungguhan. Ini semur jengkol.”
Di luar dugaan saya, Cah Bagus komentar, “Wah, enak ini Romo. Saya suka.”
Sesudah pulang ke Jakarta pun kami tetap menjalin komunikasi. Saat kami
bertelepon Albert berkata, “Romo, di Jakarta jengkol mahal?”
Kata saya dalam hati, “Ealah, anak kota Jakarta ganteng-ganteng kok
kesukaannya jengkol?”
Juga jauh lebih kaget lagi saat saya ajak dia ke stasi, yang agak masuk lebih ke
pedalaman untuk misa kudus. Ndilalah (kebetulan) makannya kok ya di rumah
satu keluarga muda yang sangat sederhana dengan dinding gedek (anyaman
bambu) dan berlantai tanah. Hidanganya sayur bunga dan daun pepaya.
Saya mulai mbatin (walaupun saya bukan penganut aliran kebatinan), “Cah

184
Bagus ini mengerti dan mau tidak sayur ini?”
Saya tak tahan, lalu langsung tanya, “Albert tahu tidak ini sayur dari apa?”
Dia menjawab, “Tahu, ini bunga dan daun pepaya.”
Saya Tanya lagi, “Tahu kalau rasanya pahit?”
Dia jawab lagi, “Tahu, Romo.”
Mungkin karena bisa membaca rasa keheranan saya, Albert menukas,
“Kalau masuk ke pelosok-pelosok, saya biasa mendapatkan menu seperti ini.
Makanan alami. Sehat.”
Dan, astaga, saya lihat, ternyata Cah Bagus, tamu saya dan juga tamunya
stasi miskin yang saya layani ini, makan dengan lahapnya. Dengan begitu,
segala kekhawatiran saya pun enyah dan senanglah tuan rumah yang
menghidangkannya.
Saya terkesan dengan Cah Bagus ini, anak yang rendah hati, apa adanya.
Dia mudah menyesuaikan diri. Perjumpaannya dengan orang sederhana
membuktikan, pantaslah dia seorang yang peduli pada sesamanya. PPGK-nya
menunjukkan hal ini.
Seperti dikatakannya dan dinyatakannya dalam Majalah Hidup No. 40,
Th. Ke-70, 2/10/2016, h. 35, dia telah membuat maya jadi nyata. “Kunci
keberhasilannya adalah menjadi orang muda yang jujur, berintegritas, dan
bisa dipercaya.”
Seusai membaca majalah tersebut, saya langsung menghubungi, “Hai Cah
Bagus, Romo sudah baca tulisannya di majalah. Bagus banget.”
Jawabnya, “Ah, Romolah pakarnya.”
Kesan saya, tak mudah baginya mengakui terus terang apa prestasi yang
telah diukirnya. Saat kunjungan ke pastoran tempat saya tinggal, ada beberapa
hal yang dengan cara hati-hati saya tanyakan kepadanya. Semua dijawabnya
dengan kalimat-kalimat pendek. Namun, kesan saya, Cah Bagus ini bukan
orang yang tertutup, malah suka berbagi cerita. Termasuk pengalaman suka
dan dukanya di PPGK.
Juga saat memperhatikan Gereja Hati Kudus yang semua dinding dan
pintunya dari kaca tebal, Albert mengusulkan agar khususnya pintu diganti
dengan pintu yang terbuat dari kayu. Maksud panitia, dengan menggunakan
pintu kaca adalah agar Gereja Hati Kudus saat misa Natal atau Paskah
gabungan dari tiga stasi (umat gereja sekitar), umat yang duduk di luar bisa
melihat ke dalam gereja.
Ada saran kesederhanaan darinya soal jendela kaca itu, agar gereja tak
tampak seperti supermarket.
Pastilah dalam kunjungannya ke gereja-gereja yang telah didanai
lewat PPGK banyak masukan, akan selalu ada suatu pemikiraan tentang

185
kesederhaan-kesederhanaan yang lain. Ini pula tampak dari penampilannya.
Cah Bagus menyadari bahwa baginya sebenarnya terlalu dini untuk
memikirkan masalah-masalah yang luas serta melibatkan orang banyak yang
sudah memercayainya.
Saat kutanya soal hubungan dengan lain jenis dan bahkan memintanya
untuk berkabar jika menikah, jawabnya belum ada hubungan secara
khusus dan belum. Kalau saya tak salah, dia malah mengatakan, “Tidak
memikirkannya.”
Pikir saya, apalah lagi yang ditunggunya. Pekerjaan sudah didapatkannya
di sebuah bank ternama di Indonesia. Kini usianya 26 tahun. Jika memang
benar belum menikah, karena belum mengabari saya, kapankah dia akan
menikah?
Disadari atau tidak, perbuatan sosial sifatnya akan ada kecenderungan
untuk bisa membuat siapa pun menjadi “kecanduan”, tetapi ini adalah
kecanduan yang positif. Namun, sisi positif ini dapat menimbulkan efek negatif
bagi dirinya sendiri. Tergantung dari mana memandangnya, yaitu semakin
mengesampingkan kepentingan diri sendiri, termasuk dalam memperhatikan
keinginannya untuk membangun keluarga.
Karena ada persoalan serius di sini, yakni apakah pasangan hidupnya
nanti bisa memahami apa yang kerjakannya? Apakah karena itu mereka yang
fokus pada karier atau aktivitas sosial lalu tidak atau kurang memikirkan soal
jodoh? Misalnya, Cah Bagus, jika sudah punya calon atau pasangan, bisakah
mengerti jika setiap hari Sabtu-Minggu yang seharusnya hari libur untuk
istirahat bersantai, tetapi malah digunakannya untuk pergi ke pelosok-pelosok
menengok gereja-gereja yang mendapat saluran dana dari PPGK?
Memang syarat mutlaknya “saling pengertian” siapa pun pasangannya.
Adakah pasangan yang demikian bisa dengan mudah didapatkan? Entahlah,
apakah dengan pertimbangan ini jika Cah Bagus belum juga menikah atau
setidaknya belum berpacar.
Meskipun kini usia relatif muda, baru 26 tahun, bukankah sudah waktunya
untuk memikirkan soal membangun keluarga? Juga tak mustahil siapa pun
yang membahagiakan orang lain dengan cara apa pun (dalam hal ini Cah
Bagus dengan PPGK-nya) akan amat membahagiakan hidupnya.
Maka tak mengherankan ada para romo dan suster yang berasal dari
kalangan ini, yaitu mereka yang telah duluan aktif dalam kegiatan sosial atau
tekun berkarier dan akhirnya berubah haluan. Mereka menjadi imam atau
hidup membiara.
Di paroki yang saya layani, ada sejumlah pria dan perempuan yang sudah
memasuki usia “kepala tiga” atau malah ada yang empat belum juga menikah.

186
Di Majalah Hidup, No. 09, Th. 71, 26/2/2017 dengan sampul Jojoba (Jomblo-
Jomblo Bahagia) dipaparkan kisah dari kalangan ini.
Saya berpikir, jangan-jangan mereka yang belum menikah itu termasuk
dalam Jojoba ini.
Sampai-sampai saya pernah berujar, “Apakah sebaiknya kita dirikan “panti”
saja? Panti Jomblo! Seandainya Panti Jomblo terwujud, pasti akan saya tutup,
khususnya untuk Cah Bagus ini. Cah Bagus yang memang bagus wajah dan
pribadinya. Aku ingin agar ada gadis manis yang beruntung mendapatkannya.
Membahagiakan umat Katolik yang kekurangan dana untuk membangun
gerejanya itu perbuatan sangat mulia. Membahagiakan diri dan pasangan
untuk membangunan keluarga tentu mulia juga.
Pengenalan saya memang amat terbatas. Pastilah masih banyak yang
bagus-bagus dari Cah Bagus. Ini hanyalah sedikit pendapat saya untuk Cah
Bagus.

187
• Lucius Sinurat:
Albert Memperbaiki Gereja:
Kalau Cinta dan Kesediaan Diri Tampak Utopis
Memahami misi Albert dari perspektif ajaran dan ajakan
Paus Fransiskus.

T iga kali Yesus menyentil hati Simon Petrus dengan tiga pertanyaan yang
sama, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”
Tiga kali pula Simon Petrus memberi jawaban yang sama, “Benar Tuhan,
Engkau tahu (segala sesuatu), bahwa aku mengasihi Engkau.”
Setelah jawaban Petrus, Yesus selalu menyisipkan tugas perutusan yang
sama, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (Yoh. 21:1-18).
Percakapan dari hati ke hati antara Yesus dan Petrus ini menjadi dasar
perutusan Petrus dan para penerusnya hingga saat ini.
Di tangan Paus ke-266, Bapa Suci Paus Fransiskus, ketegasan sikap Petrus
ditampilkan kembali. Sebagai penerus Petrus, ia berani mengkritik dunia yang
tak lagi bersahabat dengan orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Sebagai pemegang tampuk kepemimpinan Gereja Katolik, Paus Fransiskus
kembali menggiring Gereja untuk merangkul orang miskin dan terpinggirkan
oleh dunia, sebagaimana telah dilakukan oleh St. Fransiskus Assisi.
Sejak diangkat pada 13 Maret 2013, Paus Fransiskus selalu memperhatikan
mereka yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Tak hanya itu, lewat
ensikliknya “Laudato Si”, Bapa Suci kembali menggugah masyarakat dunia
tentang eksploitasi berlebihan terhadap alam semesta.
Paus Fransiskus tak segan menghardik para kardinal, uskup, dan imam-
imamnya. Ini bertujuan membuat Gereja merangkul mereka yang miskin,
terpinggirkan, merawat kelestarian alam, hingga mewujudkan persaudaraan

188
sejati lintas batas demi kedamaian dunia. Bagi Paus Fransiskus, upaya terus-
menerus dari para imam untuk menjadi “gembala yang baik” adalah kunci
keberhasilan Gereja dalam membangun kerajaan Allah di dunia.

Menghardik Kaum Awam


Di sisi lain, Paus Fransiskus juga memecut kita sebagai pengikut Kristus
agar berbuat sesuatu untuk memperbaiki gereja-Nya, terutama memberi hati
bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Paus yang sering dijuluki sebagai “Paus Kontorversial” ini sungguh
mengajak kita dari ketulusan hati menanggapi panggilan Tuhan, tepatnya
“menggembalakan domba-domba” yang dipercayakan Tuhan kepada kita,
entah sebagai imam ataupun sebagai awam.
Sebagai pastor, ia harus menuntun umat ke “padang rumput yang hijau” agar
umat mengalami kebahagiaan di dalam Tuhan. Paus Fransiskus mengecam
para imam yang tidak mempraktikkan apa yang mereka sampaikan dalam
khotbah. Sebab, menurut Paus Fransiskus, kualitas seorang gembala bukan
pertama-tama pada apa yang dikatakannya, melainkan pada apa yang
dilakukannya. Bahkan, para kardinal pun tak luput dari teguran keras Bapa
Suci, yakni agar mereka tak bertindak seolah-olah mereka adalah pangeran.
Sebagai umat biasa, kita juga dipanggil menjadi pribadi-pribadi yang
mengayomi siapa saja, apalagi yang sedang berada dalam situasi sangat sulit,
termasuk mereka yang miskin dan tersingkir oleh kekejaman dunia. Bapa
Suci pun mengetuk kesadaran kita. “Banyak umat yang kerap membanggakan
diri karena rajin beribadah dan mengikuti berbagai macam organisasi Katolik,
tetapi tidak menjalankan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Kristen.
Misalnya, banyak orang yang membayar gaji karyawannya tidak sesuai dan
tidak tepat waktu,” kata Paus, sebagaimana dikutip harian Inggris The Guardian
(23/2/2017).
Di titik ini, Bapa Suci menegaskan, seorang majikan Katolik yang mendapat
tugas “menggembalakan” karyawannya harus memperlakukan karyawan-
karyawannya dengan penuh kasih, termasuk menyejahterakan mereka.
Paus Fransiskus juga menyoroti perilaku orang Katolik yang
mengeksploitasi orang lain, melakukan bisnis tak etis, mencuci uang (money
laundry). Paus menyebut perilaku mereka sebagai perilaku orang yang
menjalani kehidupan ganda dan membuat skandal.
Dengan keras, Paus Fransiskus bahkan mengusulkan agar orang Katolik
yang melakukan hal-hal tersebut lebih baik menjadi seorang ateis.

189
Lantas apa yang dimaksud Paus Fransiskus dengan semua kecaman di
atas?
1) Bahwa setiap orang Katolik yang percaya kepada Kristus HARUS
BERSEDIA MENANGGAPI PANGGILAN-NYA. Ini berarti kita
harus bersedia dibentuk oleh Tuhan hingga hidup menyerupai Kristus
(bdk. Thomas a Kempis, “Imitatio Christi”) dan menjadikan cinta-Nya
kepada Allah sebagai dasar cintanya kepada manusia.
2) Bahwa Allah mencintai kita dan memanggil kita untuk MENCINTAI
SESAMA. Hal ini hanya akan terwujud jika kita menyadari kehadiran-
Nya secara nyata di dalam hidup kita.
3) Membangun keberanian untuk MEMBANTU SESAMA, terutama
mereka yang miskin dan tersingkir.
Ini bukan tugas yang mudah, tetapi tak berarti hal itu tak bisa diwujudkan.

Albert Menjabarkan
Albert adalah salah seorang yang menyediakan diri untuk memperbaiki
Gereja-Nya. Sosok Albert adalah antitesis dari anggapan bahwa banyak anak
muda tak terlalu peduli pada hidup menggereja. Seingatku, belum pernah
bertemu langsung dengannya, tetapi ada masa di mana kami berkomunikasi
di dunia maya, entah sekadar basa-basi atau berdiskusi tentang hidup
menggereja.
Sesekali Albert kusapa, kupuji upaya dan sosoknya. Apa yang dia lakukan
sering kujadikan sebagai “bahan seminar, retret dan training” di kalangan
gereja.
“Albert, kamu sekalian jadi pastor, kenapa enggak?” godaku iseng saat kami
bertukar sapa di bilik chat Facebook.
Dasar Albert. Dia ini nakal. Anda tahu apa jawabannya? “Gak akh. Habis,
yang udah nyaris jadi pastor aja malah keluar tuh,” sindir Albert. Nyatanya
aku yang pernah nyaris jadi pastor merasa kesindir juga. Ha-ha-ha. Kami pun
terbahak bersama, kendati hanya di dunia maya, dengan berbagai emoticon
lucu.
Di kalangan sebagian umat Katolik, nama Albert sudah dikenal luas.
Begitu terkenalnya hingga banyak mengira kalau ia adalah seorang frater,
romo, bahkan utusan khusus KWI untuk membangun gedung gereja Katolik
di pelosok-pelosok negeri.
Mengenai aktivitasnya ini, masih di media sosial, aku pernah berbuat usil
sekaligus menggodanya. “Albert, buat apa kamu capek-capek ngumpulin dana

190
dari para donatur demi membantu umat yang kepengen punya gereja sendiri?”
tanyaku bermaksud mengingatkan Albert pada tugas yang diberikan Yesus
kepada St. Fransiskus Assisi yang dikaguni Albert.
Sebelum menanggapi, aku menambahkan, “Albert, kamu tahu enggak.
Kerjaan pastor dengan segala kepanitiaan pembangunan gereja justru kamu
ambil. Apa kerjaan mereka, dong?”
Tidak lama dia mengirimkan jawaban ini, “Justru karena itulah maka
kubantu, Bang. Dengan bantuan Aksi Peduli Gereja, tugas para imam lebih
mudah.”
Selama ini, terlalu banyak imam kita yang terlalu fokus pada pembangunan
fisik gereja hingga lupa “membangun kehidupan rohani umatnya”. Jadi,
setidaknya dengan bantuan kami, para imam kita akan kembali punya waktu
berkatekese,” demikian jawaban lanjutan Albert.
Pada usia belia, Albert malah lebih banyak menghabiskan waktu menjalani
misinya ke pelosok-pelosok, melacak gedung-gedung gereja mana yang butuh
uluran tangan.
“Kapan kamu pacaran. Apa tidak suka nongkrong di Hardrock Café dan
lainnya? Kamu malah berteman sama uskup, romo, frater, bruder, bahkan
suster.”
Albert yang suka memakai salib Tào ala Kapusin ini menjawab dengan
mengutip catatan para Pengkhotbah dalam Kitab Suci, “Tenang saja, Bang.
Segala sesuatu ada waktunya.”
Jawaban ringkas, padat, jelas, dan mendalam. Albert bergeming. Bertahun-
tahun lamanya ia dan teman-temannya malah semakin berkobar menjalankan
misinya.
Seakan-akan ingin memberikan alasan ini untuk misinya, “Dalam
menjalankan ibadah, umat harus nyaman. Jangan sampai tetesan air hujan
dan bara api mentari siang menjadi halangan bagi mereka”.
Inilah kegilaan pertama dari Albert. Tentu ia tak sendiri. Dengan
kemampuan berkomunikasi dengan berbagai kalangan, Albert sangat

191
terbantu.
Kegilaan kedua dari Albert terletak pada kejujurannya. Tak bisa
kubayangkan betapa orang dengan mudah memercayai Albert. Aliran uang
masuk ke rekeningnya memperlihatkan itu.
Kegilaan ketiga Albert adalah keberanian memberikan ketegasan kepada
para pastor dan umat (terutama yang masuk dalam kepanitiaan pembangunan
gereja) dengan sistem yang ia “ciptakan”. Tidak semua mampu bekerja sama
dengan Albert. Selain karena persyaratan yang ia minta, juga karena target
pembangunan yang harus jelas serta laporan keuangan yang harus dibuat
secara profesional dan selanjutnya harus dikirim tepat waktu.
Masih banyak paroki yang dikelola secara tradisional hingga sering abai
dari keharusan membuat laporan tertulis. Paroki yang termasuk ke dalam
kategori di atas hampir pasti tak dilayani. Mungkin cara Albert sedikit
agak saklek. Kendati demikian, permintaan bantuan pembangunan gereja
bukannya berkurang. Para imam dan umat justru semakin sadar bahwa
pengelolaan keuangan dan manajemen bantuan itu demi kebaikan semua
pihak.
Itulah Albert. Baginya, membangun gedung gereja itu ibarat menyediakan
“tabut suci” bagi umat Israel yang sedang dalam peziarahan menuju Kanaan
di tengah hamparan gurun yang sangat panas. Rasanya tak cukup ribuan kata
untuk mengurai misinya. Namun, pada akhirnya aku bisa mengerti mengapa
ia melakukannya. “Karena Tuhan membutuhkan bantuannya.”

Sahabat lawasmu
Lusius Sinurat

192
• Dia Mencintai Doa

P embangun Gereja Stasi Pusuk membuat saya sedikit banyak mengenal


kepribadian Albert. Menurut hemat saya, Albert memiliki perhatian
pada hal-hal yang sifatnya rohani. Dia mencintai doa. Kecintaannya pada doa
membuatnya mencintai ekaristi.
Tak jarang dia mengunjungi banyak gereja di sejumlah daerah untuk
merasakan suasana ekaristi. Albert sering meninggalkan Jakarta menuju
daerah-daerah terpencil di Nusantara untuk melihat langsung gereja yang
akan dibantu atau yang sudah dibantu. Dalam kunjungan itu, dia hadir bukan
hanya mengurus bantuan. Dia hadir untuk berdoa bersama umat dan imam.
Suatu waktu, saya cuti dan pergi ke Jakarta. Saya ingin bertemu Albert.
Kami janjian bertemu pada hari Jumat petang setelah jam kerja usai. Untuk
pertemuan ini, saya dibantu saudari saya Veronica Sitepu bersama suaminya,
Frando Manurung.
Lokasi kami bertemu cukup ramai pengunjung dan umumnya kaum
muda. Menurut Albert, di tempat inilah banyak orang melepas kepenatan
kerja di pengujung minggu.
Penuturan Albert ini membuat saya berkata dalam hati, “Aneh juga si
Albert ini. Sementara teman-temannya asyik melepas penat di tempat-
tempat ramai seperti ini dengan berbagai makanan enak dan banyak hiburan,
kok dia ini malah hampir setiap hari Jumat sore berjalan mengejar pesawat
malam menuju daerah pelosok hanya untuk memikirkan pembangunan
gereja kampung. Kok bisa gitu, ya?”
Begitu juga ketika pulang dari daerah, Albert tiba di Jakarta pada hari
Senin pagi dan langsung masuk kantor. Rutinitas ini membuatnya jauh dari
habitus kaum muda yang hidup di Jakarta.

Katolik Militan

T entunya rutinitas seperti ini membutuhkan stamina kuat dan kekuatan


batin yang tangguh. Di sini saya benar-benar kagum kepadanya. Saya
menduga-duga, boleh jadi lewat cara ini, Albert hendak mengajak orang lain
untuk memiliki karakter militan sebagai seorang Katolik.
Albert seorang pengagum Santo Fransiskus dari Assisi. Ini diungkapkannya
kepada saya di sela-sela diskusi kami. Suara Tuhan kepada Santo Fransiskus
Assisi, “Perbaikilah Gerejaku” sangat mengena di hatinya. Kesalehan dan
kesederhanaan orang kudus itu menginspirasinya dalam menggerakan

193
Program Peduli Gereja Katolik (PPGK).
Dalam beberapa pertemuan dengannya di Sumatera Utara, saya melihat
sendiri bagaimana dia mencoba menginternalisasi permenungannya atas
hidup Santo Fransiskus Assisi. Sebagai contoh, sikap sederhananya dalam
kunjungannya ke daerah. Dia tidak mau merepotkan pastor dengan jemputan
ke bandara. Dia tidak mau dianggap orang penting.
Dia mengurus sendiri perjalanannya dari naik pesawat hingga bus malam
yang akan ditumpanginya. Tiba di paroki tujuan, dia menerima situasi paroki
dengan segala fasilitas yang minim. Dia memakan apa yang terhidang di meja
pastoran. Dia tidak rewel. Ke mana pun pakai sandal, termasuk pada acara
pemberkatan gereja.
Albert berusaha menunjukkan bahwa kehadirannya murni untuk
membantu, bukan untuk merepotkan. Pada acara pemberkatan gereja, Albert
tidak mau tampil menonjol. Dia tidak mau duduk di bangku VIP melainkan
lesehan duduk di tikar.
Sikapnya humble membuat banyak orang bersimpatik, baik kaum bapak,
ibu, kawula muda, maupun anak-anak. Seorang ibu pernah berbisik kepada

Pastor Masseo Sitepu (kiri) dan Pastor Walden Sitanggang (kanan).

194
saya, “Tar songon on ma nian dapot hela niba, burju, bagak berengon, serep muse.”
Artinya, anak seperti inilah dambaan menjadi menantu. Baik orangnya,
wajahnya enak dipandang, rendah hati pula.
Relasi saya dengan Albert berlanjut setelah pembangunan gereja Stasi
Pusuk 1. Saya masih dibantu PPGK membangun dua gereja lagi, seperti di Stasi
Santo Fransiskus Assisi, Mungkur, dan Stasi Santa Maria, Lae Ardan. Menurut
penuturan Albert, PPGK mau membantu paroki tempat saya bertugas karena
semua bantuan terealisasi tepat dan cepat pula laporan pemakaian dana
sehingga Albert cepat pula membuat laporan akhir.
Albert punya ide cemerlang perihal gerakan sosial PPGK, yang lahir dari
pikirannya dan berbuah manis di tangannya. Banyak umat Katolik rela berbagi
rezeki lewat PPGK untuk pembangunan rumah Tuhan. PPGK semakin
tepercaya sebagai sarana Gereja Katolik Nusantara berbagi kasih. Semua itu
berkat kerja keras Albert.
Albert menjadi inspirasi bagi kaum muda Katolik untuk berbuat untuk
Bunda Gereja.
Seiring perjalanan waktu, Albert semakin dimatangkan oleh tuntutan
kerja dan pengembangan PPGK. Dia harus berbagi waktu antara profesi dan
karya sosial. Kunjungan daerah tidak lagi dilakoni sendiri. Bertambah kaum
muda seperti dirinya yang tertarik mengunjungi daerah dan terlibat dalam
gerakan PPGK. PPGK sudah memiliki sejumlah relawan sebagai delegatus
PPGK ke daerah.
Tentu saya berharap, PPGK pada masa depan menjadi satu lembaga kuat
dan kredibel yang dapat menampung suara-suara daerah yang kesulitan
mencari dana pembangun gereja. Masih banyak daerah yang membutuhkan
uluran tangan saudara-saudari seiman untuk membangun gereja.
Berdasarkan pengalaman saya di kampung, jika mengandalkan kekuatan
sendiri, umat tak mampu membangun gerejanya. Untuk kebutuhan keluarga
saja sudah kewalahan, apalagi jika harus total membangun gereja. Hal itu
merupakan keniscayaan. PPGK merupakan salah satu solusi bagi gereja-gereja
di kampung.
Pengalaman Albert bertahun-tahun pulang-balik ke daerah membuatnya
mengerti dan memahami apa yang dibutuhkan dan apa yang bisa dibuat di
gereja-gereja pelosok. Semoga suara Tuhan kepada Santo Fransiskus Assisi,
“Perbaikilah GerejaKu” takkan pernah padam dari lubuk hati Albertus
Gregory Tan.

Salam persaudaraan–Pace e bene


Pastor Masseo Sitepu OFMCap

195
• Setelah Mengamatimu, Aku Mengikutimu
Tentang Albertus Gregory Tan, “Pace e Bene ...
Saudaraku.

D apat diandaikan pada zaman St. Fransiskus dari Assisi, Ia kerap diamati
terlebih dahulu oleh para calon saudara, kemudian ikut bergabung.
Demikian halnya aku dan mungkin banyak orang yang mengamatimu
dulu lalu percaya berkelanjutan untuk mendukung, mendengarkan arahanmu
sehingga kebaikan Tuhan melalui dirimu terkenal di mana-mana.
Aku yang bukan siapa-siapa memberikan pengamatanku.
Sama halnya bagai Raja Ludovikus OFS saat berkunjung ke biara St.
Fransiskus dan bertemu dengan St. Egidius. Mereka bertatap muka, saling
memandang dalam kasih Tuhan tanpa berkata-kata, cukup dalam batin. Akan
tetapi, perasaan masing masing sama gembiranya.
Begitulah aku denganmu, mengamati, mengagumi karismamu yang dapat
mempersatukan, menggugah, mengingatkan orang-orang yang berkehendak
baik. Ini semua demi kegembiraan umat beriman demi memuji Tuhan dalam
rumah ibadat yang lebih nyaman.
Kawan kerendahan hati. Kasih dalam nama Tuhan yang memancar dari
dirimu dan sekelilingmu agaknya akan termuat dalam bentuk catatan berupa
buku yang dituliskan ini. Sekali lagi, ini menurut pengamatanku, adalah hal
baik dan perlu untuk dibaca generasi mendatang sebagai acuan dan teladan
tentang kebaikan yang dapat dilakukan lewat berbagai cara.
Semoga pembaca buku ini dapat memetik makna iman dari seorang yang
beriman teguh serta tiada kecurangan, tiada beban. Sebab, pekerjaan besar,
niscaya dapat dilakukan oleh orang yang tidak memelihara kerendahan hati,
kasih, dan kejujuran.
Dalam Kapasitasku sekarang ini, Fransiskan Awam, aku menaruh hormat
dan kasih dalam nama Tuhan kepadamu. Doaku sejauh didengarkan Tuhan,
salam serta ajakanku untuk meniru teladanmu kepada para pembaca.

Andersius Ginting OFS


Minister Regio Ordo Fransiskan Sekular,
Wilayah Keuskupan Agung Medan

196
• Pastor Walden Sitanggang OFMCap
“Hahomion Ni Partonduion”
Albertus Gregory Memancarkan Keilahian

N ama Albertus Gregory pertama kali saya tahu melalui sampul Majalah
Hidup edisi 5 Februari 2012. Dipaparkan siapa Albert dan apa yang dia
buat. Spontan muncul tanya, “Masih ada orang muda seperti dia di zaman
ini?” Tidak jarang terdengar orang-orang muda Katolik mulai kehilangan
militansinya. Namun, persepsi saya berubah. Masih ada pemuda yang punya
militansi.
Terima kasih pada media sosial, memungkinkan saya melihat dunia yang
lebih luas. Saat tinggal di Biara Kapusin Alverna Pematang Siantar, Sumatera
Utara, mulai terbiasa dengan Facebook. Albert dan saya berteman melalui
Facebook. Saling sapa, dan saling menanyakan kabar.
Ini menumbuhkan persahabatan walau lewat dunia maya. Ternyata nama
Albert sudah akrab di antara kami para frater saat itu. Saya bukan yang
pertama merasakan sapaannya. Menurut penuturan seorang frater rekan
saya, Albert mudah akrab dengan biarawan/biarawati. Dia tidak sungkan-
sungkan mengomentari status termasuk memuji, bercanda, atau mengkritik.
Albert mudah beradaptasi.
Perkenalan dengannya tak disangka berlanjut di dunia nyata. Kami
bertatap muka ketika saya menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP)
di Paroki Saribudolok. Nama Albert pun kudengar dari Pastor Paroki kala itu,
Pastor Ambrosius Nainggolan OFMCap. Kebetulan saat itu Albert dan PPGK
berpartisipasi pada renovasi gereja Stasi Soping, Paroki Saribudolok.
Albert pun datang saat pemberkatan gereja itu. Pertemuan pertama
mematahkan dugaanku. Sebelumnya saya membayangkan Albert yang
berwibawa. Namanya Albertus Gregory Tan, mengandung nama seorang
kudus dalam Gereja Katolik. Mungkin juga dia terlalu elegan untuk didekati
apalagi namanya populer dari timur sampai ke barat negeri tercinta,
setidaknya di lingkungan Katolik.
Kesan spontan saya, penampilannya bersahaja. Tutur katanya pun
sederhana, luwes. Amat santun dan bersahabat. Ini sangat terasa dalam
pembicaraan pada pagi hari Minggu, 21 April 2013, sebelum dia berangkat
bersama rombongan ke Stasi Soping. Saya tak bisa ikut karena ada tugas
paroki ke Rayon Garingging.
Seusai pertemuan kali ini, kami larut dengan dunia masing-masing tetapi
kesan telah membekas di hati.

197
Rupanya persahabatan terbawa semakin dalam. Angkatan kami sedang
menjalani “Tahun Persiapan Kaul Kekal”, antara lain dengan melakukan
sebuah kegiatan di antara para pengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung,
yang meletus kembali pada pengujung tahun 2013. Saat ini saya sedang tinggal
di Komunitas Kapusin Berastagi.
Albert hadir tanpa saya duga. Kesempatan itu membuat kami berceritera
lagi. Kali ini saya mengetahui Albert lebih dalam, bekerja di mana dan apa
motivasinya melanglang buana dari Sabang sampai Merauke dalam rangka
memperbaiki gereja-Nya.
Albert menuturkan latar belakang panggilannya bahwa ini mengkristal
saat perjumpaannya dengan Pastor Nikolaus Sitanggang, kebetulan semarga
dengan saya.
Kali ini saya juga menangkap kesan kuat, Albert itu tulus. Dia juga bertutur
apa adanya. Dari sini saya mulai berkesimpulan, dia sedang menunaikan
panggilan ilahi untuknya. Semakin saya pahami, Albert adalah pendengar
yang baik dan pribadi yang memahami. Dia tidak mudah berkomentar miring
atas pendapat orang lain walau tak sepaham. Tampaknya dia memegang moto
“pikir itu pelita hati”.
Dalam rangkaian diskusi ringan dengannya ada yang membuat saya
terpaku. Dia sering mengucapkan kata ”kasihan.” Dia kasihan pada umat
terpencil di desa-desa.
Aku kebetulan mudah kasihan melihat orang. Kurasakan pemuda ganteng
brilian ini sebagai langka dengan kepekaan dan kata “kasihan” itu.
Kata “kasihan” ini tidak berhenti pada ucapan. Dia berpikir untuk berbuat
sesuatu. Dia ingin hadir sebagai saudara bagi sesama. Dia mirip dengan sebuah
kisah di Kitab Suci tentang orang Samaria yang baik hati. Saya makin salut.
Albert merasakan, memikirkan, lalu berbuat. Hal itu, misalnya, terjadi
saat mengetahui atau melihat sebuah bangunan gereja yang kurang layak,
dia berbuat sesuatu agar berdiri bangunan yang lebih layak bagi umat untuk
bertemu Allah.
Untuk itu, dia juga membangun relasi dengan banyak orang untuk bersama-
sama membantu pendirian Bait Allah. Albert menuturkan, dalam melakukan
ini modal utamanya adalah kejujuran dan transparansi. “Mengemban
kepercayaan orang, khususnya donatur, tidak mudah,” tuturnya. Namun, dia
kukuh mempertahankan kepercayaan itu.

198
Dia Memiliki Afeksi

K omunikasi dengan Albert beranjak lebih jauh hingga saya ditahbisan


sebagai imam pada 4 Februari 2017. Dia makin kukenal bukan hanya
sebagai yang peduli Gereja. Dia memiliki afeksi. Hidupnya tidak hanya sibuk
menggalang dana dan pembangunan gereja. Dia seorang yang peka pada
sahabat dan semua orang adalah sahabatnya.
Saya pribadi adalah sahabat yang merasakan afeksinya. Saya merasakan
dukungan dari Albert sejak menjalani pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat
Teologia (STFT), Sinaksak, Pematang Siantar. Kalimat yang sering dia
tuliskan, “Tetap semangat, ya, appara. Hati-hati selalu, ya! Kalau ada masalah
berceritalah, bercerita setelah muncul masalah.”
Ungkapan ini turut meneguhkan. Albert menjadi teman seperjalanan
walaupun dengan jalur hidup yang berbeda.
Akhirnya, setelah sekian tahun berteman terhadap Albert, saya memilih
kata, hahomion. Dia adalah salah satu gambaran dari hahomion di partondion.
Kata ini tidak mudah kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kalaupun
ada yang bisa menerjemahkan mungkin tidak pas di hati. Barangkali karena
dasar pemilihan kata ini terlalu subyektif.
Ini mungkin tidak berdimensi nalar kuat. Namun, ini soal pengalaman
bertahun-tahun berkomunikasi sehingga muncul sebuah rasa, hahomion. Hati
saya nyaman dan sangat yakin dengan kata ini.
Kata hahomion muncul pertama sekali dari mulut saya untuknya ketika
kami jalan bersama dari Pangururan menuju Parlilitan, tempat saya bertugas.
Pada masa Lebaran 2017, Albert berlibur mulai dari Saribudolok, lanjut
ke Pangururan, kemudian ke Parlilitan dan Pakkat. Di ujung liburan, dia akan
terbang dari Bandara Silangit menuju Jakarta via Kualanamu dan kembali
menggeluti rutinitas.
Ketika Albert menginformasikan rencana ini, hatiku sangat gembira.
Kami mengatur jadwal agar sinkron dengan perjalanan saya. Sebagai imam,
saya tentu punya tugas-tugas yang menjadi prioritas di paroki.
Sesuai jadwal, 30 Juni 2017, saya berangkat dari Medan menuju Pangururan
untuk menjemput Albert. Dia sudah duluan ke sana setelah liburan dan
menghadiri peresmian Gereja Saranpadang, yang baru direnovasi berkat
bantuan dari PPGK.
Tiba di Komunitas Pangururan, saya minum melepas dahaga sebentar lalu
bersama Albert berangkat ke Parlilitan. Sepanjang perjalanan kami bertukar
cerita sembari saya berkonsentrasi menyetir mobil.

199
Canda dan tawa kami menghiasi perjalanan. Saat itu, diskusi kami bukan
lagi sekadar pengusir bosan atau penghalau kantuk di jalanan dengan jarak
tempuh berjam-jam.
Kami banyak berdiskusi tentang kehidupan, keyakinan, dan hal lain yang
menaikkan semangat untuk berbuat dan berbuat pada sesama.
Kesempatan ini memenuhi kerinduan saya sebab pernah berniat bercerita
soal perjalanan hidupku. Sebaliknya saya niat bertanya lebih dalam kepada
Albert tentang dirinya yang semakin saya kenal, semakin membuat penasaran.
Diskusi menjawab apa dan siapa Albert. Sebaliknya demikian, Albert
makin paham tentang saya.

Satu Memori Saat Tahbisan

M engapa saya ingin bercerita padanya? Niat muncul saat saya tahbisan
imamat saya pada 4 Februari 2017. Ini terpotret lewat sebuah foto yang
tidak pernah saya tahu.
Bukan kebetulan, saat tahbisan itu, Albert menyambut komuni dari tangan
saya. Kemudian dia melihat saya kepanasan saat membagi-bagikan komuni di
tengah terik. Albert beranjak dan memayungi saya.
Seusai perayaan ekaristi, banyak orang meminta berkat pertama dari
“hamba-Nya” yang baru ditahbiskan ini. Di antara antrean ada Albert. Saat
kutumpangkan tangan di atas kepalanya, seluruh diriku tertegun spontan
memohon kepada Sang Khalik. Kurasakan kontak batin yang kuat dengan
Albert dan tersambung dengan Tuhan. Saat itu, doaku, semoga dia kukuh
sepanjang masa.
Maka, seusai doa, dan tumpangan tangan, Albert pun kurangkul. Saat
itulah ungkapan batin terdalam tentangnya muncul.
Di tengah keramaian umat, saat tahbisan itu, saya seperti fly. Air mata
menetes tanpa terbendung walau kucoba menahannya.
Albert menanyakan soal ayah saya dan apa yang terjadi padanya.
Saat aku ditahbiskan, ayahku tidak bisa hadir di tengah kerumunan.
Malam menjelang tahbisan, ayah terserang strok dan hanya bisa terbaring di
ambulans saat ritual tahbisan. Ini memang sempat menjadi sebuah desahan
batin bagi saya.
Albert peduli. Dia bertanya dan menghiburku, “Sabar, ya, Pastor.”
Aku pun langsung mendekap erat Albert. Uniknya, dia ikut menitikkan air
mata. Dia ke ambulans melihat ayah dan memberi penguatan lewat doanya.
Aku penasaran mengapa dia melakukan itu.

200
Ini berlanjut. Saat liburannya di Pangurusan pada Juli 2017, Albert singgah
ke rumah kami. Ia menemui ayah saya, sementara saya masih di Medan.
Hingga ayah saya mengatakan, “Saya ingin memiliki sebuah kenangan
dengan Albert.”
Ayah ternyata ikut terharu dengan sapaannya. Ada penguatan batin ayah
untuk terus mendukung aku menjalani panggilan hidup ini.
Di dalam mobil sepanjang perjalanan ke Parlilitan kukatakan, “Albert,
saya sangat mengapresiasi apa yang telah kamu perbuat. Kamu membantu
pembangunan Rumah Allah di perdesaan. Aku melanjutkan lebih dari itu,
saya tidak melihatmu sebagai figur pembangun gereja semata. Saya melihatmu
sebagai orang yang turut mengisi kekosongan hati sesame, termasuk hati saya.”
“Kamu pribadi yang mendengarkan, mengerti. Kehadiranmu melegakan
hingga ke hati ayah. Itulah pribadimu yang tak tergantikan dengan materi
atau apa pun kekayaan di dunia ini. Saya melihat dan menilaimu bukan dari
materi, sebanyak apa pun yang pernah kamu beri pada siapa saja. Pribadimu
memiliki hahomion”.
Saat ini terucap sejenak kami membisu. Tinggal ada suara mobil Strada
Triton yang meliuk-liuk di jalanan berliku menurun dari Dolok Sanggul ke
Parlilitan.
Kemudian Albert berkata, “Baru appara yang berkata begitu.”
Saya coba menjelaskan apa arti kata hahomion kepada Albert dengan
menghubungkan berbagai perjalanan hidup dan afeksinya yang berefek
membatin.
Hahomion adalah kata bernuansa misteri, memiliki kandungan misteri di
balik yang terlihat.
Sebagai orang Batak, saya cukup mengatakan kata hahomion. Sebab, ini
tentang satu istilah metafisika dalam kosa kata Batak.
Albert, barangkali kamu bisa menerangkan dengan kata-kata bagaimana
kamu sampai di Saranpadang, menerima uis (kain adat) dan kemudian sampai
di Samosir menerima “Ulos Ragi-idup”.
“Albert, bisa kamu jelaskan apa di balik semua perjalananmu itu?”
demikian tanyaku.
Penjelasan dengan kata-kata akan berakhir, tetapi tak pernah tuntas
menjelaskan makna kehadiranmu dalam hidup saya dan juga di tengah
berbagai suku yang berbeda-beda di negeri ini. Kamu ada bagi orang-orang
yang lahir dari rahim yang berbeda, tinggal di daerah yang berbeda, mulai dari
Sabang sampai Merauke. Kamu telah menjadi saudara bagi banyak orang.
Ketika kata-kata penjelasan soal aksimu habis, bagiku ada satu kata,
Hahomion. Ini aku ungkapkan dengan perasaan bergelora.

201
Akhirnya perjalanan kami berakhir dan kami tiba di Parlilitan. Kemudian
kami melalui hari bersama menikmati panorama alam, termasuk situs
bersejarah, yakni markas dan makam Sisingamangaraja XII dan putrinya,
Lopian.
Setelah itu, kami berencana ke Paroki Pakkat dan kembali lagi ke Parlilitan.
Rangkaian perjalanan ini membuat kami telah bercerita panjang. “Abang
akan makin banyak tahu tentang diri saya, bahkan tentang banyak hal yang
orang lain tidak tahu,” kata Albert.
Begitu juga tentang saya, Albert menjadi salah satu saksi sejati atas tawa
dan tangisan dalam perjalanan hidupku.
Liburannya berakhir dan Albert pun berangkat ke Silangit menuju Jakarta
via Kualanamu.
Saya seakan tidak rela Albert pulang segera. Namun, tiket sudah dipesan
dan dia harus berangkat. Saya tinggal di Parlilitan melanjutkan pelayanan
kepada umat.
“Sehat-sehatlah kamu adekku na burju. Banyak hal tidak bisa kukatakan
tentang hidupmu, tetapi sungguh kurasakan arti kehadiranmu.”

Buah Cintanya pada Gereja

T entu bukan hanya saya yang merasakan dukungannya. Banyak biarawan/


biarawati mendapat dukungan moral darinya. Ini karena cintanya kepada
Gereja dan para pelayannya.
Saya sungguh yakin apa yang dibuatnya bersumber dari pengalaman
religiusnya. Ide-idenya mengalir buah doanya kepada Allah. Karyanya pun
tercipta dari cintanya yang mendalam akan gereja.
Albert, kaum muda awam yang memiliki militansi pada zaman ini. Albert
menghayati cita rasa Konsili Vatikan II, yakni gembala dan umat bersama-
sama membangun gereja-Nya, baik dalam arti fisik maupun rohani.
Kehadirannya bisa membangkitkan optimisme kita tentang generasi
muda Gereja. Kita berharap melalui program pembinaan kaum muda akan
muncul pemuda militan dalam Gereja lewat karya-karya masing-masing demi
kemajuan dan pertumbuhan Kerajaan Allah.
The last but not the least, profisiat buatmu appara Greg! Kamu telah mewarta
dengan karya. Pelayananmu sungguh teruji. Telah berlelah dan berjerih payah
menelusuri gereja-Nya di daerah pedalaman. Doa kami menyertaimu!
Namamu, Albertus Gregory Tan, impian bagi misi “Youth Day”. Entalah
program “Youth Day” telah memunculkan pionir dari kawula muda. Namun,

202
kamulah juga pionir itu. Pemuda pintar, prospektif karier, dan memiliki
segalanya untuk standar pemuda. Lazim pemuda brilian ini memikirkan
dirinya, menapaki karier, berduit banyak kelak. Ini tidak, dia malah
memikirkan orang lain.
Di dalam dirinya ada ‘holong’. Dia seperti perintah Yesus itu sendiri,
mangasihlah pada sesama.
Aku memuji dirimu. Jangan katakan pujian saya ini demi menyenangkanmu.
Aku telah menyaksikan sendiri aksimu. Keharuan saya padamu apa adanya.
Kamu mungkin orang yang pernah bergelut atau mengalami pergulatan
nurani dan rohani. Aku melihat itu. Namun, kamu kukuh. Jika orang ragu,
apakah kamu yang masih muda, akan lestari religius, aku tidak ragu.
Tidak mudah bagi orang seusiamu menjadi seperti sekarang tanpa
melewati permenungan batin mendalam.
Sulit menumbangkan pohon kukuh yang berakar dalam. Kamu contoh
awam berusia muda yang sudah berakar dalam.
Aku kaget sekaligus kagum. Di dalam dirimu ada religi kuat, yang jarang
kutemukan pada kebanyakan orang seusiamu.
Kamu punya hahomion ni partondion!
Ulos suri-suri, riong-riong di tonga-tonga.
Anggikku parlagu na uli, tung so lupa sian roha saleleng badan mardomu dohot hosa.

Parlilitan, 21 Juli 2017


Rekan di Paroki St. Lusia Parlilitan

203

Anda mungkin juga menyukai