Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

DERMATOSIS AKIBAT KERJA


Disusun untuk Memenuhi Syarat Dalam Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Tugurejo Semarang

Disusun oleh:

Jibril Ali Syariati A


119810027

Pembimbing:
dr., Winda, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


REFERAT
SISTEMIK LUPUS ERITROMATOSUS
Referat ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr.Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:

Jibril Ali Syariati A

119810027

Cirebon, Mei 2021


Pembimbing,

dr., Winda, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan laporan kasus yang berjudul “Dermatosis Akibat
Kerja”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas Pendidikan
Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RSUD Dr.Adhyatma, MPH
Tugurejo Semarang. Kami menyadari sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan tugas ini
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan sampai dengan
terselesaikannya laporan kasus ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana dan prasarana kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
2. dr. Agnes Sri Widajati, Sp.KK selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a, dukungan moral
maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya secara
langsung maupun tidak langsung sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon, Juni 2021

Jibril Ali Syariati A

3
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Pengesahan............................................................................ I
Kata Pengantar...................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................ iii

I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
Latar belakang ........................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 1
Definisi .................................................................................................. 5
Etiologi .................................................................................................. 5
Klasifikasi .............................................................................................. 6
Penegakan Diagnosis .............................................................................. 11
Penatalaksanaan ..................................................................................... 14
Edukasi .................................................................................................. 15
III. KESIMPUAN................................……………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 18

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan
kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi
sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis,
anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat 1. Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang
lalu dengan berbagai nama yang merupakan sinonim dari lupus, seperti yang
dikemukakan oleh Hippocrates (460-370 s.m) sebagai herpes esthiomenos dan herpes
ulcerosus dari Amatus Lusitanus (1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan
adanya suatu seborhea kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan
gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya
manifestasi sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William
Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan
endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan gambaran
patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan Schifrin serta Gross,
Keith dan Rowntree2.
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi selama 2010. Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ
yang terlibat, dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan

5
klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi
menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat3,4.
Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data yang
diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien dengan
LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun- tahun pertama
mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan
dengan penyakit vaskular aterosklerosis5.
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan risiko
kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat, untuk inilah referat ini dibuat.

B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis serta terapi dan prognosis dari Lupus Eritematosus Sistemik
(LES).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh4.
Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada
setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan
organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir
dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila
anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis,
psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor
dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

B. EPIDEMOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama didunia.
Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia,
tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 111.

7
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah
sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-
1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di
Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di
Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.

C. PATOGENESIS
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak
bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang
peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara
kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor
kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah
terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel
T, imunoglobulin dan sitokin6.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus
(kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-
15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh
sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun6.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV
menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan

8
dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi
kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung
dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga
memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya
yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis6.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun.
Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES7,8. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk
menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap
struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi
respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal9.

D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis
yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal
ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara
bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis
lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi
kriteria LES.
1. Manifestasi konstitusional1

9
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia, meningkatya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu
kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain
seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering terjadi
pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot (myalgia),
nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi
sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya
deformitas , kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi
steroid.
3. Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly
rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain
sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit,
misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada
wajah, leher, ekstremitas dan tubuh. Lesi yang tersering, kira-kira 40% dari
penderita LES memiliki lesi yang khas berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) di area
malar dan nasal dengan sedikit edema, eritema, sisik, telangiektaksis dan atrofi. Lesi
10
berupa erupsi makulo-papular, polimorfi dan eritematosa bulosa di pipi. Fotosensitivitas
di daerah yang tidak tertutup pakaian. Lesi papular dan urtikarial kecoklatan–coklatan.
Kadang-kadang terdapat lesi LED (Lupus Eritematosus Diskoid) atau nodus-nodus
subkutan yang menetap. Vaskulitis sangat menonjol. Alopesia dan penipisan rambut.
Sikatrisasi dengan atrofi progresif dan hiperpigmentasi dan ulkus tungkai. Pada
mukosa mulut timbul stomatitis, mata (keratokonjungtivitis) dan vagina timbul
kolpitis dengan ptekie, erosi bahkan ulserasi.

Gambar 2.1 SLE butterfly rash

Berbagai lesi pada kulit terdapat lebih dari 80% kasus LES. Empat gejala
utama dari LES, yang termasuk dalam kriteria diagnostik ARA adalah eritema di
pipi, LED (Lupus Eritematosus Diskoid) kronis, ulkus mulut dan fotosensitifitas.
a. Eritema pada pipi
Disebut juga ruam kupu-kupu (butterfly appearance) ini adalah erupsi yang
paling khas, ruam ini pada daerah yang terpapar matahari. Hal ini terlihat
pada 90% kasus. Eritema edematous menyebar secara simetris pada pipi
dengan pusat di dorsal hidung, membentuk pola kupu-kupu. Lesi berupa
bercak ungu kemerahan, edematosa, terkadang berskuama halus. Lesi di
wajah mempunyai distribusi sesuai paparan cahaya matahari, tidak mengenai
philtrum dan lipat nasolabial. Pasien tidak merasakan apapun (asimptomatik)
atau terdapat gejala subjektif yang ringan, seperti sensasi terbakar.
Lesi ini sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.

11
b. Eritema Diskoid
Eritema discoid dengan batas tegas. Hal ini terlihat pada 30% pasien dengan
LES, dapat terjadi pada wajah, bibir dan telinga. Sering terbentuk skuama
dan krusta. Secara bertahap berkembang menjadi lesi atrofik jaringan parut
(sikatriks atrofik) dan menyebabkan alopesia jika mengenai kulit kepala.
c. Eritem Palmar
Hal ini terlihat pada 50% kasus LES. Eritema terjadi di telapak tangan,
thenar dan hypothenar. Lesi yang hiperkeratotik dan sering disertai oleh
skuama
d. Alopesia
Hal ini terjadi dengan cepat dan difus di rambut kepala. Rambut patah di
atas permukaan kulit kepala, rambut terlihat lebih tipis dan panjang rambut
tidak sama (rambut lupus). Tingkat keparahan alopesia dianggap
mencerminkan tingkat perkembangan LES.
e. Enanthema
Ini terlihat pada 40% kasus LES. Lesi hemoragik kecil dengan lingkaran
merah dan bisul kecil muncul di bibir, mukosa mulut, faring dan mukosa
faring. Hal ini juga bisa ditemukan di LED selaput lendir.
f. Nodul Subkutaneus
Bentuk nodul pada wajah, pinggul dan lengan atas. Ini berasal dari
peradangan jaringan lemak, juga disebut lupus eritematosus profunda.12
Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan
atas. Kulit di atas nodus eritematosa, atrofik atau berulserasi.
g. Gejala Kulit Lain
Hal ini termasuk keratosis palmoplantar, purpura, fenomena Raynaud, eritema
multiforme, dan ulkus di kaki.

12
Gambar 2.2 Plak eritomatosa pada dahi menunjukan hiperkeratosis dan
aksentuasi folikel rambut

Gambar 2.3 Alopesia

Gambar 2.4 Eritema palmar terutama pada ujung jari, patognomonik

13
Gambar 2.5 Nodul subkutaneus

4. Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik,
pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai
dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus
ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka
penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum terjadi
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal pada penderita
LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara klinis
tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis, inflamantory
bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri
14
perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.

8. Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES
ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula- mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi
anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT
scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS

15
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
 Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
 Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
 Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
 Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
 Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
 Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
 Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
 Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
 Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
 Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
 Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium. American
College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan
(lihat tabel 1).
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis SLE10

No Kriteria Batasan

Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
1. Ruam malar
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada
2. Ruam diskoid LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
3. fotosensitivitas baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
4. Ulkus mulut dokter pemeriksa.

16
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
5. Artitritis ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. serositis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
a. Pleuritis
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
b.
terdapat bukti efusi perikardium
Perikarditis
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
7. Gangguan renal
pemeriksaan kuantitatif. atau
Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
8. Gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
neurologi elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan
9. hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
10. abnormal.
imunologik
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau

17
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurang-
kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an• bodi treponema.

11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel
darah merah pada urin.
2) Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah
tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
18
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai
LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti- dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang
rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan
LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai
pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan
dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk
LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
3) Histopatologi
Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi, dengan cara
biopsi. Hasil biopsi memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis, infiltrasi
limfosit dan membran basale yang menebal, hiperkeratosis, follicular plugging
(dibentuk oleh keratin yang berlebihan di dalam folikel rambut yang tidak aktif),
19
dan adanya infiltrasi sel inflamasi. Tes lupus band memperlihatkan deposit
imunoglobulin pada membaran dasar epitel. Deposit glanular terutama IgM
ditemukan pada membrane dasar dari lesi.

Gambar 2.6 Histologi SLE

Gambar 2.7 Lupus band test, tampak deposisi linear IgG (neon hijau) di membran basal
epidermis. inti berwarna jingga

G. PENATALAKSANAAN
1. Edukasi12
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga
20
penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari.
Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju
lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga
harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga
harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita
dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis
antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi
untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat
mencetuskan eksaserbasi akut LESdan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh
sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini
mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian
terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES dibiarkan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan
kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai
latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas •fisik seperti
pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan
kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous
21
electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien
dengan nyeri atau kekakuan otot.
3. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia1
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana
atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat
ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek
samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan,
misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respons
yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan
efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau
hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini
mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15
mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES.
b) Lupus Kutaneus1
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut
LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas
dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca
jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap
sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat.
22
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
depigmentasi,
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit
badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah
palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan
tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan
lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik
lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES
berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam
LES di kulit.

c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik1


Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat
terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi
masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat
dipertimbangkan.
d) Serositis1
23
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari).
Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya
4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid12
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan LES.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid
tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiin•lamasi dan imunosupresi. Dosis
kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.

Tabel 2.2 Terminologi Pembagian Kortikosteroid

Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari


Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison
atau setara perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison
atau setara perhari
Dosis sangat tinggi >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari
untuk 1 hari atau beberapa hari
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam


nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena
dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.
24
Untuk lesi kulit harus digunakan kortikosteroid topical dengan potensi
terendah yang masih dapat mengendalikan lesi.12 Triamcinolone acetonide 0,1%, untuk
daerah sensitif seperti wajah, atau clobetasol propionat 0,05% / betamethasone
dipropionate 0,05%. Dua kali sehari selama 2 minggu. bisa juga digunakan obat topikal
penghambat calcineurin seperti krim Pimecrolimus 1% dan salep tacrolimus 1%.
Penggunaan kortikosteroid intralesi seperti suspensi triamcinolone acetonide 2,5-5,0
mg/mL.

b) Sparing Agen Kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis
kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering
digunakan sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan
metrotrexate.

1) Siklofosfamid1

Indikasi siklofosfamid pada LES :

1.1) Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).

1.2) Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.

1.3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau
berulang.

1.4) Glomerulonefritis difus awal.

1.5) LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

1.6) Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

1.7) LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60
menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak
digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan

25
dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila


jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan
25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia,
sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.

2) Azatioprin1

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif


terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral.
Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya
dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga
dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol
dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan
enzim hati dan mencetuskan keganasan.

3) Siklosporin1

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah


Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian
harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian
siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

26
Keterangan :

TR : tidak respon

RS : respon sebagian,

RP : respon penuh

OAINS : obat anti inflamasi non steroid,

CYC : siklofosfamid,

NPSLE : neuropsikiatri SLE.

KS : kortikosteroid setara prednison

AZA : azatioprin

MP : metilprednisolon

H. PROGNOSIS
27
Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita lupus
eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak
menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada beberapa kasus perlu dilakukan
dialisis dan transplantasi ginjal. Lebih dari 85% penderita lupus mengalami
kelainan darah seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan miokarditis. 1,12
Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih
banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil yang
menyatakan kematian selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian
biasanya terjadi karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP
(36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum usia 15 tahun,
maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi dapat menyebabkan kematian. 1,12

BAB III

28
KESIMPULAN

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

2. FitzpatrickTB. Dermatology in general Medicine Wolff K, Goldsmith LA, Katz


SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, detitors. New York; The McGraw Hill
Companies; 2012. P.454-455.

3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus


rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.

4. Hamzah M. Dermatoterapi. In Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Jakarta: FK UI; 2010.

5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA.
1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus Erythematosus. Am J
Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.J Clin
Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum; 2100-2110
8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production By human
peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282-288
9. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis.
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth•ield NF, et al.1982. The
1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum; 1271-1277
11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta

30
31

Anda mungkin juga menyukai