Anda di halaman 1dari 8

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STIGMA TERHADAP

DEPRESI
Oleh
Rangga Kembang Taruna, S.Ked
Roro Giri Noto Kusumo, S.Ked
Anggelia Erin, S.Ked
Nike Suci Dewi Anjani, S.Ked
Pembimbing
dr.Putu Agus Grantika, Sp.KJ

PENDAHULUAN
Stigma merupakan penilaian masyarakat terhadap perilaku atau
karakter yang tidak sewajarnya dan ketidaksetujuan yang mengakibatkan
seseorang ditolak, didiskriminasi, hingga dikecualikan dari berbagai wilayah
masyarakat. Stigma terdiri dari masalah pengetahuan, sikap, dan perilaku.
Stigma juga bisa dikategorikan sebagai stigma publik (atau stigma sosial) dan
pengalaman pribadi / internal stigma, yang diukur pada pasien dengan
penyakit mental, termasuk stigma yang dirasakan, dialami, dan diinternalisasi
(Alemaheyu, dkk. 2020)..
Stigma internal juga disebut sebagai stigma diri yang mengacu pada
proses di mana individu dengan penyakit mental menerapkan stereotip negatif
pada diri mereka sendiri, diharapkan untuk menjadi ditolak oleh orang lain,
dan merasa terasing dari masyarakat. Stigma internal biasanya terjadi melalui
tiga langkah; Pertama, seseorang dengan kondisi yang tidak diinginkan
menyadari stigma publik tentang kondisinya, kemudian setuju bahwa stereotip
publik yang negatif ini benar tentang kelompoknya, dan selanjutnya, orang
tersebut setuju bahwa stereotip tersebut berlaku untuk dirinya sendiri. Stigma
yang terinternalisasi juga bisa ada tanpa adanya stigma yang sebenarnya dari
masyarakat, yang lebih tersembunyi dan di dalam, sehingga seolah menjadi
bentuk stigma terburuk terhadap penderita gangguan jiwa dan dapat langsung
dll kesejahteraan secara keseluruhan (Alemaheyu, dkk. 2020).
Depresi adalah penyakit mental yang sangat umum. Ini adalah
penyebab utama kecacatan gangguan mental di seluruh dunia. Untuk
meminimalisir kecacatan akibat depresi, penderita depresi perlu mendapat
pengobatan lebih awal dan tidak terputus, serta kembali ke kegiatan sosialnya.
Beban depresi dipengaruhi oleh kepercayaan, stigma, dan perilaku masyarakat
yang ditimbulkannya. Kurangnya pengetahuan, kesalahpahaman, dan stigma
tentang orang yang depresi dan lingkungannya merupakan hambatan untuk
meningkatkan kesehatan mental mereka (Yokoya, dkk. 2018).
Stigma tampaknya menjadi hambatan utama dalam mencari
pengvbobatan dan melanjutkan pengobatan dalam jangka panjang. Secara
global, lebih dari 300 juta orang dari segala usia dengan depresi menurut
laporan WHO tahun 2017. Depresi adalah penyumbang utama ketiga pada
beban penyakit di seluruh dunia, membentuk stigma tinggi pada individu dan
diprediksi menjadi penyebab utama kedua dari beban penyakit global pada
tahun 2030. Di Ethiopia, depresi menyumbang sekitar 6,5% dari total beban
penyakit (Alemaheyu, dkk. 2020).
Sebagian besar penelitian yang dilakukan di negara-negara barat dan
Asia menunjukkan bahwa besarnya stigma yang diinternalisasi di antara
pasien dengan gangguan depresi berkisar antara 21,7 hingga 51,4%. Dengan
demikian, sebuah penelitian yang dilakukan di 13 negara Eropa menilai
tingkat stigma yang diinternalisasi di antara pasien dengan gangguan mood
dan mereka menemukan bahwa tingkat stigma yang diinternalisasi sedang
hingga tinggi terdapat pada 21,7% individu. Studi yang dilakukan di
Singapura menunjukkan bahwa tingginya tingkat selfstigma sebesar 51,4%
pasien depresi (Yokoya, dkk. 2018). Oleh karena itu, dalam review jurnal ini
akan lebih membahas secara spesifik faktor yang mempengaruhi sigma
terhadap depresi.

ISI

Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan
kesedihan yang amat sangat, perasaan yang tidak berarti dan bersalah,
menarik diri dari orang lain dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan,
hasrat dan minat. Sering kali pasien dengan gejala depresi kurang membuka
diri untuk mencari pengobatan, dan menghalangi individu untuk percaya pada
teman dan keluarga ataupun masyarakat dikarenakan stigma masyarakat yang
tinggi terhadap orang dengan gejala depresi. Sehingga menyebabkan kasus
depresi sulit untuk menurun. Dalam review jurnal ini akan dibahas faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya stigma terhadap depresi.

Berdasarkan Hasil jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental yang


dilakukan Shabrina Dirmayanti dan Atika Dian Ariana menyebutkan bahwa
stigma diri memiliki hasil lebih tinggi pada usia yang muda dengan rentang
usia 17-22 tahun yang dikatakan berada pada tahap masa remaja tengah dan
akhir (Dhirmayanti, dkk. 2018). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Alemaheyu pada tahun 2019, yang mengambarkan usia
dengan presentasi tertinggi mengenai stigma ini adalah di usia 25 tahun – 34
tahun dengan presentasi 31,3%. Dapat disimpulkan bahwa, terdapat hubungan
yang signifikan antara tingkat stigma mengenai depresi dengan perbedaan
tingkat usia (Alemaheyu, dkk. 2020). Namun terdapat penelitian yang berbeda
hasil dengan kedua penelitian ini, dijelaskan bahwa pada hasil penelitian
terkait usia. Semakin bertambah usia individu (lansia) akan semakin
meningkat stigma pada keadaan depresi. hal ini jelas tidak sejalan dengan
penelitian sebelumnya dan mengakibatkan gambaran stigma pada lansia
menjadi salah satu penghambat tatalaksana pada pasien depresi (Anne, dkk.
2001).
Sejalan dengan hasil jurnal Anastasia dan kawan-kawan, menyatakan
bahwa tingkat pengetahuan yang memadai ternyata tidak memiliki stigma
mengenai gangguan depresi. Kurangnya keterbukaan dan penerimaan
masyarakat terhadap penderita gangguan kesehatan mental menjadikan
masyarakat terjebak di perspektif masing-masing. Oleh sebab itu, pengetahuan
yang memadai mengenai gangguan depresi sangat dibutuhkan agar dapat
menurunkan stigma mengenai gangguan depresi (Okta, dkk. 2015). Yakoya
melakukan penelitian pada tahun 2018 di Jepang, mendapatkan hasil bahwa
tingkat pendidikan rendah memiliki stigma yang tinggi pada keadaan depresi.
tingkat pendidikan yang dimaksud ini tidak dibandingkan dengan tingkat
pendidikan pada Negara lainnya, sehingga hasil dari penelitian ini hanya
menggambarkan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian yang
dilakukan di Jepang pada tahun 2018 (Yakoya, dkk. 2018).

Selain penelitian yang dilakukan oleh Shabrina dan Atika, penelitian


mengenai hal ini juga dilakukan oleh Alemayehu dkk di Ethiopia pada tahun
2019. Penelitian ini dilakukan dengan menilai beberapa faktor yaitu ; jenis
kelamin, usia, agama dan status pernikahan. Hasil penelitian menunjukan
bahwa dengan faktor jenis kelamin menggambarkan presentasi 53% tinggi
pada perempuan, kemudian dinilai dari segi agama ortodoks memegang
presentasi tinggi pada stigma dengan depresi dengan presentasi 54,7%.
Pernikahan 45,1% didapatkan presentasi tertinggi pada status responden yang
telah menikah, dan tingkat pendidikan berhubungan erat dengan stigma pada
depresi yang tinggi, dimana dijelaskan pada penelitian ini. Bahwa tingkat
pendidikan rendah memiliki stigma yang tinggi pada keadaan depresi
(Alemaheyu, dkk. 2020).
Penelitian lainnya yang dilakukan di Ethiopia oleh Alemaheyu ini
memiliki hasil yang hampir serupa dengan peneilitian yang dilakukan oleh
Yakoya, dkk pada tahun 2018. Dimana hasilnya menjelaskan bahwa faktor
yang berperan erat dengan stigma pada depresi itu adalah usia, status
pernikahan dan jenis kelamin. Dalam faktor status pernikhan ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fang Yang dkk, dengan
menggambarkan bentuk stigma masyarakat china perihal status pernikahan
yang menjelaskan mengenai stigma akan depresi (Fang Yang, 2020). Hanya
saja pada penelitian yang dilakukan ini tidak menilai faktor agama, sehingga
dapat diakitkan dan melengkapi dari kedua sisi jurnal (Yakoya, dkk. 2018).

Penelitian yang dilakuakan oleh Fang Yang dkk pada tahun 2020,
menunjukan hasil bahwa usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan,
status pernikan dan lokasi geografis serta pengalaman dan fungsi keluarga
dalam depresi, merupakan faktor yang mempengaruhi stigma karakter
masyarakat China akan persepsi stigma depresi. Hasil menunjukan bahwa
laki-laki menjadi salah satu faktor penyebab tingginya stigma pada gangguan
depresi, dengan usia tertinggi pada rentang usia tua dan status pengangguran
juga menjadi faktor yang meningkatkan stigma pada gangguan depresi (Fang
Yang, 2020).

Penelitian trevor 2010, meneliti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan


dan status imigran. Jenis kelamin pria lebih besar memiliki pandangan stigma
terhadap depresi. Tingkat pendidikan yang rendah memiliki pandangan stigma
terhadap depresi. Selain itu, status imigrasi juga mempengaruhi orang yang
yang tidak lahir di Canada lebih berstigma dibandingkan dengan lahir di
Canada (Cook, dkk. 2010).

Penelitian dilakukan oleh Olife dkk pada tahun 2015, yang meneliti
bagaimana stigma pada laki-laki yang depresi mengenai suatu kondisi bunuh
diri. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa laki-laki berstigma lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan perihal keadaan percobaan bunuh diri. Hal
ini dijelaskan karena ditemukan banyaknya kasus atau tingginya insidensi
bunuh diri pada laki-laki yang mengalami depresi dibandingkan dengan
perempuan. Keadaan ini dijelaskan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan dan
penjelasan mengenai stigma bunuh diri pada pasien depresi (Olife, dkk. 2015).

KESIMPULAN

Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan
kesedihan yang amat sangat, perasaan yang tidak berarti dan bersalah,
menarik diri dari orang lain dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan,
hasrat dan minat. Sering kali pasien dengan gejala depresi kurang membuka
diri untuk mencari pengobatan, dan menghalangi individu untuk percaya pada
teman dan keluarga ataupun masyarakat dikarenakan stigma masyarakat yang
tinggi terhadap orang dengan gangguan depresi. Berdasarkan hasil review
beberapa jurnal, didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya
stigma terdahap depresi, antara lain adalah ; usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status perkawinan, agama, dan letak geografis.

DAFTAR PUSTAKA
Alemaheyu Yadeta, Demilew Demeke, dkk. 2020. Internalized Stigma and
Associated Factor amoung Patient With Major Depression Dissorder an the
Outpatient Departemen of Amanuel Mental Specialized Hospital, Addis
Ababa, Ethiopia, 2019 with Cross-Sectional Study. University Mettu :
Ethiopia.

Anne Sirre Jo, Bruce L Martha, dkk. 2001. Perceived Stigma as a Predilactor of
Treatment Discontinuation in young and older Outpatient with Depression.
American Journal Psikiatry : America.

Cook M Trevor, Wang Jiangli. 2010. Descriptive epidemiology of Stigma Against


Depression in a General Population Sample in Alberta. University Calgary
Faculty of Medicine : Canada.

Dirmayanti Shabrina, Dian Artika. 2018. Hubungan Stigma Diri dengan Health
Seeking Behaviour pada Remaja yang Mengalami Kecenderungan Depresi.
Fakultas Psikologis Universitas Airlangga : Surabaya.

Fang Yang, Bing xiangyang, dkk. 2020. Stigma towards depression in a


community-based sample in China. School of Health Sciences, Wuhan
University, China

Okta Anastasia, Bagus Ida, Hulu Feronika. 2015. Pengetahuan Mengenai Depresi
dan Stigma Mengenai Orang dengan Gangguan Depresi pada Orang Muda
Usia 15 tahun hingga 25 tahun di Indonesia. Universitas Katolik Indonesia
Atma jaya : Jakarta.

Olife L Jhon, Susan, dkk. 2015. Stigma in Male Depression and Suicide :A
Canadian Sex Comparison Study. University of British : Columbia.

Yokoya Shoji, Maeno Takami, dkk. 2018. A Brief Survey of Public Knowledge
and Stigma Toward Depression. Clin Med Article : Japan.

Anda mungkin juga menyukai