Anda di halaman 1dari 10

Mobile Security

MODEL KEAMANAN ANDROID

Tanya: Seberapa amankah Android sebenarnya?


Banyak informasi yang beredar selama ini tapi isinya bertentangan satu sama lain, sehingga
membingungkan pengguna Android. Baru-baru ini Eric Schmidt mengatakan Android lebih
aman daripada iPhone dan orang-orang menertawakannya. Belum lagi berita-berita yang santer
terdengar tentang ancaman malware di Android.Yang mana yang benar? Apakah Android
aman? Haruskah saya menginstal aplikasi antivirus/anti malware seperti di Windows PC?

Jawab:Pro kontra mengenai keamanan platform Android tidak akan segera usai. Terdapat
orang-orang yang smart di kedua belah pihak, tapi pada hakekatnya ada beberapa hal yang
mesti diketahui pengguna Android.

Mari kita jernihkan beberapa hal.

Versi pendeknya: Android itu aman....


Penggunalah yang tidak aman.Mari kita tuntaskan pertanyaan ini. Android sebagai suatu
Sistem Operasi (OS) sangatlah aman. Dia memiliki pengamanan berlapis guna menghempang
malware, dan dia butuh izin pengguna secara spesifik untuk melakukan hampir tiap hal yang
dapat membahayakan baik data Anda atau sistem Androidnya.

Namun di sisi lain, Android adalah satu sistem yang terbuka, yang mempercayakan Anda –
pengguna- dan komunitas pengembang untuk melakukan hal yang tepat dan benar. Setiap kali
Anda menginstall aplikasi, Anda akan disodorkan sejumah permintaan izin (permission) yang
jika Anda terima maka Anda telah menyerahkan kontrol tertentu terhadap aplikasi tersebut.
Izin-izin tersebut dapat mengakses bahkan bagian lebih dalam dari System Android, jika Anda
telah melakukan Root terhadap handset Anda. Andrid sebenarnya mencoba melindungi Anda
dari diri Anda sendiri, tapi dia menyerahkan keputusan akhir di tangan Anda untuk apa yang
Anda install, dari sumber mana Anda menginstalnya (Play Store sebagai sumber resmi Google
atau dari sumber tak resmi) dan Izin/Permission apa yang Anda setujui.

Sebagaimana dengan setiap wacana tentang keamanan, sejumlah mengundang acaman


malware bukan karena hal itu jelek, tapi karena pengguna adalah titik lemahnya. Jadi ketika

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 1


Mobile Security

orang bicara tentang keamanan Android, bukanlah karena Android dari dirinya sendiri tidak
aman. Android memberi kita kebebasan dan wewenang yang besar, dan bersamaan dengan
wewenang itu dibutuhkan tangggung jawab besar juga.

Versi panjang: Bagaimana pengamanan Android bekerja

Android dirancang dengan keamanan sebagai salah satu pilar utamanya. Tanpa bermaksud
membandingkannya dengan platform lain, Android melakukan tugasnya dengan baik,
memastikan tidak terlalu banyak informasi yang dapat dikumpulkan oleh suatu aplikas/proses
tanpa izin usernya. Tak satupun aplikasi atau proses mendapatkan akses ke level Sistem tanpa
diberi hak itu secara khusus, dan umumnya user menyadari apa yang sedang terjadi di latar
belakang.

Baru-baru ini, Steven Max Patterson mengajukan pernyataan bahwa Android hampir tak
tertembus malware. Meski terdengar berlebihan, dia mendasarkan pernyataannya pada
presentasi yang disampaikan Kepala Keamanan Android, Adrian Ludwig. Dalam presentasi itu
Ludwig mengungkapkan bahwa “kurang dari 0.001% dari instalasi aplikasi di perangkat
Android yang mampu menghindar dari pertahanan berlapis System Android dan merugikan
pengguna”. Sederhananya, Android punya sejumlah lapisan pertahanan yang melindunginya
dari serangan malware, dan sejak Google mulai memperhatikan apa yang diinstal pengguna di
perangkat mereka, sangat sedikit malware yang muncul.

Meski peneliti keamanan dan bahkan Depertemen Keamanan Dalam Negeri A.S telah
menyadari peningkatan malware Android, tak satupun pihak selain Google yang punya alat
untuk melihat data instalasi aktual, dan mereka tidak melihat adanya kemunculan malware
dalam jumlah besar.

Kata Patterson, “Masalah yang ingin dipecahkan Google adalah bahwa para peneliti keamanan
tak punya akses terhadap paltform Android untuk bisa mengukur seberapa sering aplikasi
malware diiinstal. Hal ini dapat disamakan dengan peneliti penyakit manusia yang tak punya
data dari institusi Pusat Kontrol Penyakit (CDC) ketika hendak mengukur seberapa besar
tingkat penyebaran penyakit. Peneliti keamanan sangat hebat dalam menemukan dan
mengatasi malware, tapi tanpa keberadaan data terpercaya yang mencatat seberapa seringnya

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 2


Mobile Security

aplikasi malware terinstall, maka angka tingkat ancamanan tidak akan akurat dan sering
dibesar-besarkan. Laporan yang masuk ke media sangat sering terlalu dilebih-lebihkan.

Untuk menekankan poin ini Ludwig dalam presentasinya mengungkapkan analisanya bahwa
temuan malware terakhir yang paling besar publikasinya ternyata terinstal kurang dari 1 per 1
juta instalasi.

Google mengumpulkan data instalasi setiap kali user menginstal aplikasi di perangkatnya,
dengan catatan hal itu dilakukan lewat pilihan “Verify and Install” (di perangkat lain mungkin
berbunyi “Package Installer”), atau langsung lewat Google Play.

Jika Anda melakukan instalasi dengan cara-cara di atas, inilah alasannya kenapa Anda harus
melakukannya:

Mekanisme pengamanan mulai muncul sekitar setahun lalu ketika versi baru Android mulai
dikapalkan dengan “Verify Apps”. Verify Apps melakukan campur tangan ketika sebuah
aplikasi didownload, lalu membandingkannya dengan database yang berisi informasi malware
yang dikelola Google, lalu mengingatkan pengguna jika aplikasi tersebut potensil berbahaya.

Fitur Verify Apps juga disebarkan ke Android versi lama dengan menyertakannya ke dalam
aplikasi Google Play, dimana lewat aplikasi Google Play ini lah user mendownload dan
menginstal aplikasi dari Play Store. Pengecekan dan pemblokiran aplikasi diaktifkan secara
default, dan user harus menonaktifkannya kalau ingin mem-bypass proteksinya.

Jadi kelihatannya semua berjalan baik. Jika Anda menggunakan perangkat Anda secara normal,
menginstal dari sumber terpercaya dan menggunakan akal sehat ketika menginstal aplikasi,
kemungkinan Anda terkena malware sangatlah kecil.

Tetapi ini belumlah merupakan gambaran utuh dari Android.

Ada beberapa hal penting yang tidak disebutkan dalam presentasi tentang kemampuan Android
menghalau malware tersebut.

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 3


Mobile Security

Hal pertama, Google tidak bisa menghitung malware yang tidak terdeteksi olehnya. Semua
data di atas diambil dari instalasi yang dilakukan lewat “Verify Apps” yang tersedia bersama
dengan Google Play di Android v2.3 ke atas. Jika Anda tak menggunakan metode ini ketika
melakukan instalasi, atau jika Anda mendapatkan aplikasi itu dari sumber lain misalnya
Amazon Appstore, atau dari pihak ketiga (forum, blog dll), maka Anda tidak disertakan dan
Anda tidak dilindungi.

Jadi dengan kata lain, Google hanya mendata keberadaan malware dari aplikasi yang bisa
dimonitor olehnya.

Fakta bahwa Google tidak menemukan malware dalam jumlah yang banyak di jalur instalasi
yang termonitor olehnya, tidaklah berarti tidak ada banyak malware di luar sana, tidak pula
berarti bahwa ancaman malware itu tidak nyata. Itu artinya mitos tentang handset-handset yang
terinfeksi terlalu dilebih-lebihkan oleh perusahaan keamanan. Tetapi jangan pula hal ini
membuat user merasa yakin handsetnya tidak akan terserang malware jika dia mendownload
file apk tertentu (misalnya “AngryBirdsPremiumLulz.apk”) dari situs yang tidak jelas
kredibilitasnya, karena yakin sistem pertahanan Android akan mengatasi malware tersebut.

Sebagain besar pengguna Android langsung mencentang instalasi lewat “Sumber Tak
Dikenal/Unknown Source” di setting Keamanan handset Androidnya supaya bisa menginstal
langsung dari file .apk yang didownload dari sumber selain Play Store. Tindakan itu dengan
sendirinya mem-bypass sistem pengamanan Android.

Jadi bagaimana Anda melindungi diri?

Pada akhirnya faktor utama kenapa malware di Android ini tidak bisa disepelekan adalah
penggunanya. Penggunalah yang menjadi titik lemah di rantai pengamanan. Dan ini bukan
hanya pada Android; setiap platform, mobile maupun desktop, punya masalah yang sama. Tak
peduli halaman anda terbuka atau dipagari, jika pengguna memilih “install”, berakhirlah sudah.
Itulah sebabnya mengapa penting sekali mengenali apakah sebuah aplikasi adalah malware
atau bukan sebelum menginstalnya.

Selalulah skeptis dan jangan gampang percaya. Rajin membaca info dan ulasan aplikasi
tersebut. Ulasan tidak selalu bisa diandalkan sebagai ukuran kualitasnya tapi dengan

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 4


Mobile Security

membacanya Anda akan segera mengetahui jika ada laporan atau keluhan tentang tingkah laku
aplikasi tersebut.

Jangan lupa perhatikan juga “permission” yang diminta aplikasi sebelum penginstalnya.
Jangan langsung pilih “Accept”, tanya diri Anda: apakah izin ini atau itu memang diperlukan
untuk fitur-fitur aplikasi tersebut, apakah izin-izin itu masuk akal?

Jika Anda punya handset Android lama, installah di handset itu dulu sebelum menginstalnya
di handset yg Anda gunakan sehari-hari.

Dan yang terakhir, pertimbangkanlah memasang aplikasi anti virus/anti malware. Carilah
aplikasi yang selain bisa melakukan scanning juga bisa memblock secara aktif malware yang
menyusup ke aplikasi yang didapatkan dari pihak ketiga.

Jadilah pengguna yang cerdas. Pada akhirnya keamanan handset Anda ditentukan olah Anda
sendiri.

Keamanan dan Privasi Android

Aplikasi Android berjalan di sandbox, sebuah area terisolasi yang tidak memiliki akses pada
sistem, kecuali izin akses yang secara eksplisit diberikan oleh pengguna ketika memasang
aplikasi. Sebelum memasang aplikasi,Play Store akan menampilkan semua izin yang
diperlukan, misalnya: sebuah permainan perlu mengaktifkan getaran atau menyimpan data
pada Kartu SD, tapi tidak perlu izin untuk membaca SMS atau mengakses buku telepon.
Setelah meninjau izin tersebut, pengguna dapat memilih untuk menerima atau menolaknya,
dan bisa memasang aplikasi hanya jika mereka menerimanya.
Sistem sandbox dan perizinan pada Android bisa mengurangi dampak kerentanan terhadap bug
pada aplikasi, namun ketidaktahuan pengembang dan terbatasnya dokumentasi telah
menghasilkan aplikasi yang secara rutin meminta izin yang tidak perlu, sehingga mengurangi
efektivitasnya. Beberapa perusahaan keamanan perangkat lunak seperti Avast, Lookout Mobile
Security, AVG Technologies, dan mcafee, telah merilis perangkat lunak antivirus ciptaan
mereka untuk perangkat Android. Perangkat lunak ini sebenarnya tidak bekerja secara efektif

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 5


Mobile Security

karena sandbox juga bekerja pada aplikasi tersebut, sehingga membatasi kemampuannya untuk
memindai sistem secara lebih mendalam.
Hasil penelitian perusahaan keamanan Trend Micro menunjukkan bahwa penyalahgunaan
layanan premium adalah tipe perangkat perusak (malware) paling umum yang menyerang
Android; pesan teks akan dikirim dari ponsel yang telah terinfeksi ke nomor telepon premium
tanpa persetujuan atau sepengetahuan pengguna. Perangkat perusak lainnya akan menampilkan
iklan yang tidak diinginkan pada perangkat, atau mengirim informasi pribadi pada pihak ketiga
yang tak berwenang. Ancaman keamanan pada Android dilaporkan tumbuh secara
eksponensial, namun teknisi di Google menyatakan bahwa perangkat perusak dan ancaman
virus pada Android hanya dibesar-besarkan oleh perusahaan antivirus untuk alasan komersial,
dan menuduh industri antivirus memanfaatkan situasi tersebut untuk menjual produknya
kepada pengguna. Google menegaskan bahwa keberadaan perangkat perusak berbahaya pada
Android sebenarnya sangat jarang, dan survei yang dilakukan oleh F-Secure menunjukkan
bahwa hanya 0,5% dari perangkat perusak Android yang berasal dari Google Play.
Google baru-baru ini menggunakan pemindai perangkat perusak Google Bouncer untuk
mengawasi dan memindai aplikasi di Google Play. Tindakan ini bertujuan untuk menandai
aplikasi yang mencurigakan dan memperingatkan pengguna atas potensi masalah pada aplikasi
sebelum mereka mengunduhnya. Android versi 4.2 Jelly Bean dirilis pada tahun 2012 dengan
fitur keamanan yang ditingkatkan, termasuk pemindai perangkat perusak yang disertakan
dalam sistem; pemindai ini tidak hanya memeriksa aplikasi yang dipasang dari Google Play,
namun juga bisa memindai aplikasi yang diunduh dari situs-situs pihak ketiga. Sistem akan
memberikan peringatan yang memberitahukan pengguna ketika aplikasi mencoba mengirim
pesan teks premium, dan memblokir pesan tersebut, kecuali jika pengguna mengijinkannya.
Telepon pintar Android memiliki kemampuan untuk melaporkan lokasi titik akses Wi-Fi,
terutama jika pengguna sedang bepergian, untuk menciptakan basis data yang berisi lokasi fisik
dari ratusan juta titik akses tersebut. Basis data ini membentuk peta elektronik yang bisa
memosisikan lokasi telepon pintar. Hal ini memungkinkan pengguna untuk menjalankan
aplikasi seperti Foursquare, Google Latitude, Facebook Places, dan untuk mengirimkan iklan
berbasis lokasi. Beberapa perangkat lunak pemantau pihak ketiga juga bisa mendeteksi saat
informasi pribadi dikirim dari aplikasi ke server jarak jauh. Sifat sumber terbuka Android
memungkinkan kontraktor keamanan untuk menyesuaikan perangkat dengan penggunaan yang
sangat aman. Misalnya, Samsung bekerjasama dengan General Dynamics melalui proyek
"Knox" Open Kernel Labs.

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 6


Mobile Security

Lisensi dan Penerimaan Android


Kode sumber untuk Android tersedia di bawah lisensi perangkat lunak sumber terbuka dan
bebas. Google menerbitkan sebagian besar kode (termasuk kode jaringan dan telepon) di
bawahlisensi Apache versi 2.0. Sisanya, perubahan kernel Linux berada di bawah GNU
General Public License versi 2. Open Handset Alliance mengembangkan perubahan kernel
Linux dengan kode sumber terbuka yang dipubikasikan setiap saat. Selebihnya, Android
dikembangkan secara pribadi oleh Google, dengan kode sumber yang diterbitkan untuk umum
ketika versi baru diluncurkan. Biasanya Google bekerjasama dengan produsen perangkat keras
untuk mengembangkan sebuah perangkat "andalan" (misalnya seri Google Nexus) yang
disertai dengan versi baru Android, kemudian menerbitkan kode sumbernya setelah perangkat
tersebut dirilis.
Pada awal 2011, Google memilih untuk menahan sementara kode sumber Android untuk tablet
yang dirilis dengan versi 3.0 Honeycomb. Menurut Andy Rubin dalam sebuah posting blog
resmi Android, alasannya karena Honeycomb dirilis untuk berjalan pada produk Motorola
Xoom, dan Google tidak ingin pihak ketiga "memperburuk pengalaman pengguna" dengan
mencoba mengoperasikan versi Android yang ditujukan untuk tablet pada telepon pintar. Kode
sumber tersebut akhirnya dipublikasikan pada bulan November 2011 dengan dirilisnya
Android 4.0 Ice Cream Sandwich.
Meskipun bersifat terbuka, produsen perangkat tidak bisa menggunakan merek dagang
Android Google seenaknya, kecuali Google menyatakan bahwa perangkat tersebut sesuai
dengan Compatibility Definition Document (CDD) mereka. Perangkat juga harus memenuhi
lisensi persyaratan aplikasi sumber tertutup Google, termasuk Google Play. Richard Stallman
dan Free Software Foundation telah mengkritik mengenai rumitnya permasalahan merek
Android ini, dan merekomendasikan sistem operasi alternatif seperti Replicant. Mereka
berpendapat bahwa pemacu peranti dan perangkat tegar yang diperlukan untuk
mengoperasikan Android bersifat eksklusif, dan Google Play juga menawarkan perangkat
lunak berbayar.
Android disambut dengan hangat ketika diresmikan pada tahun 2007. Meskipun para analis
terkesan dengan perusahaan teknologi ternama yang bermitra dengan Google untuk
membentuk Open Handset Alliance, masih diragukan apakah para produsen ponsel akan
bersedia mengganti sistem operasinya dengan Android. Gagasan mengenai sumber terbuka dan
platform pengembangan berbasis Linux telah menarik minat para pakar teknologi, tapi juga
muncul kekhawatiran mengenai persaingan ketat yang akan dihadapi Android dengan pemain
mapan di pasar telepon pintar seperti Nokia dan Microsoft.

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 7


Mobile Security

Android dengan cepat tumbuh menjadi sistem operasi telepon pintar yang paling banyak
digunakan, dan menjadi "salah satu sistem operasi seluler tercepat yang pernah ada." Para
peninjau memuji sifat sumber terbuka Android sebagai salah satu kekuatan yang menentukan
keberhasilannya, memungkinkan perusahaan-perusahaan seperti Amazon (Kindle Fire),
Barnes & Noble (Nook), Ouya, Baidu, dan yang lainnya, untuk berbondong-bondong merilis
perangkat lunak dan perangkat keras yang bisa beroperasi pada versi Android. Alhasil, situs
teknologi Ars Technica menyebut Android sebagai "sistem operasi standar untuk meluncurkan
perangkat keras baru" bagi perusahaan tanpa harus memiliki platform seluler sendiri. Sifat
Android yang terbuka dan fleksibel juga dinikmati oleh pengguna: Android memungkinkan
penggunanya untuk mengkustomisasi perangkatnya secara ekstensif, dan aplikasi juga tersedia
bebas di toko aplikasi non-Google dan di situs-situs pihak ketiga. Faktor ini menjadi salah satu
keunggulan yang dimiliki oleh ponsel Android jika dibandingkan dengan ponsel lainnya.
Meskipun Android sangat populer, dengan tingkat aktivasi perangkat tiga kali lipat lebih tinggi
dari ios, ada laporan yang menyatakan bahwa Google belum mampu memanfaatkan produk
mereka secara maksimal, dan layanan web pada akhirnya mengubah Android menjadi
penghasil uang, seperti yang telah diperkirakan oleh para analis sebelumnya. The Verge
berpendapat bahwa Google telah kehilangan kontrol terhadap Android karena luasnya
kustomisasi yang bisa dilakukan oleh pengembang dan pengguna, juga karena tingginya
proliferasi aplikasi dan layanan non-Google – misalnya Amazon Kindle Fire mengarahkan
pengguna untuk mengunjungi Amazon app store, yang bersaing langsung dengan Google Play.
SVP Google, Andy Rubin, yang posisinya sebagai kepala divisi Android digantikan pada bulan
Maret 2013, disalahkan karena gagal dalam membangun kemitraan yang sehat dengan para
produsen ponsel. Pemimpin utama produk-produk Android di pasar global adalah Samsung;
salah satu produknya, Galaxy, berperan penting dalam pengenalan merek Android sejak tahun
2011. Sedangkan produsen ponsel Android lainnya seperti LG, HTC, dan Motorola Mobility
milik Google, telah berjuang keras untuk memasarkan produknya sejak tahun 2011. Ironisnya,
di saat Google tidak mendapatkan apapun dari hasil penjualan produk Android secara langsung,
Microsoft dan Apple malah berhasil memenangkan gugatan atas pembayaran royalti paten dari
produsen perangkat Android.
Tablet Android
Meskipun sukses di telepon pintar, pengadopsian Android untuk komputer tablet awalnya
berjalan lambat. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya situasi yang dikenal dengan
"ayam atau telur", di mana konsumen ragu-ragu untuk membeli tablet Android karena
kurangnya aplikasi tablet yang berkualitas tinggi, di sisi lain, para pengembang juga ragu-ragu

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 8


Mobile Security

untuk menghabiskan waktu dan sumber daya mereka untuk mengembangkan aplikasi tablet
sampai tersedianya pasar yang signifikan bagi produk tersebut. Konten dan "ekosistem"
aplikasi terbukti lebih penting jika dibandingkan dengan spesifikasi perangkat keras setelah
dimulainya penjualan tablet. Karena kurangnya aplikasi untuk tablet pada 2011, tablet Android
awalnya terpaksa harus memasang aplikasi yang diperuntukkan bagi telepon pintar, sehingga
ukuran layarnya tidak cocok dengan layar tablet yang besar. Selain itu, lambannya
pertumbuhan tablet Android juga disebabkan oleh dominasi ipad Apple yang memiliki banyak
aplikasi ios yang kompatibel dengan tablet.
Pertumbuhan aplikasi tablet Android perlahan-lahan mulai meningkat, namun, di saat yang
bersamaan, sejumlah besar tablet yang menggunakan sistem operasi lain seperti HP touchpad
dan blackberry playbook juga dirilis ke pasaran untuk memanfaatkan keberhasilan ipad.
Infoworldmenjuluki bisnis ini dengan sebutan "bisnis Frankenphone"; suatu peluang investasi
rendah jangka pendek yang memaksakan penggunaan OS telepon pintar Android yang
dioptimalkan (sebelum Android 3.0 Honeycomb untuk tablet dirilis) pada perangkat dengan
mengabaikan antarmuka pengguna. Pendekatan ini gagal meraih traksi pasar dengan konsumen
serta memperburuk reputasi tablet Android. Terlebih lagi, beberapa tablet Android seperti
Motorola Xoom dibanderol dengan harga yang sama, atau lebih mahal dari ipad, yang semakin
memperburuk penjualan. Pengecualian ada padakindle Fire Amazon, yang dijual dengan harga
lebih murah dan kemampuan untuk mengakses konten dan "ekosistem" aplikasi Amazon.
Hal ini mulai berubah pada tahun 2012 dengan dirilisnya Nexus 7, dan adanya dorongan dari
Google kepada para pengembang untuk menciptakan aplikasi tablet yang lebih baik. Pangsa
pasar tablet Android akhirnya berhasil menyalip ipad pada pertengahan 2012.

Kelebihan dan kekurangan android

Kelebihan Android antara lain:

· Android bersifat open source, karena bebasis Linux. Sehingga banyak developer
yang ingin mengembangkan Android.
· Merupakan realisasi Cloud Computing, karena semua fitur Google sudah
terintegrasi dengan mobile yang terpasang Android. Contact pada telepon seluler
pun akan tersimpan secara otomatis pada account google.
· Dengan tersedianya Android Market, cara mendapatkan Android ini pun terbilang
mudah.

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 9


Mobile Security

· Fleksibel, karena bisa digunakan pada banyak platform hardware.


· Android memberikan pilihan untuk memilih Hardware yang digunakan.
· Android dapat menjalankan beberapa Aplikasi pada waktu bersamaan atau
disebut juga multitasking.
· Home Screen Informatif, konsep home screen pada Android seperti windows
Mobile di mana segala notifikasi dapat dipantau dari home screen. Namun
Android juga menyediakan tempat bagi widget-widget notifikasi lain untuk
berada di home screen. Cara ini mempermudah akses info cepat ketimbang home
screen di BlackBerry ataupun iPhone.
· Bebas memodifikasi sistem, Android mengijinkan kamu untuk melakukan
jailbreaking untuk memodifikasi sistem. Selain itu kamu juga bisa melakukan
modifikasi pada ROM sistem. Ada beberapa komunikasi di internet yang menjadi
wadah dan menyediakan customed ROM untuk perangkat Android.
· Setting yang mudah, sistem Android memang diluncurkan demi alasan
kemudahan. Pengesetan ponsel berbasia OS ini untuk keperluan sehari-hari sesuai
keinginan dan aktifitaspribadi bisa dilakukan dengan mudah.
· Harga relatif murah.
· Stabil dan tidak mudah eror atau hang.

Kekurangan Android antara lain:


· Kurang nyaman untuk telepon.
· Masih membingungkan bila pertama pakai.
· Tidak ada Microsoft office.
· Harus terkoneksi internet.
· Belum banyak aplikasi yang tersedia.
· Boros Baterai, ya memang android lebih boros dibandingkan dengan OS yang
lain. hal ini karena memang OS ini banyak “process” di background yang
mengakibatkan baterai cepat habis.

Iwan Fitrianto Rahmad, M.Kom 10

Anda mungkin juga menyukai