Nama :
1. Bayu Dwiyanto (3019210183)
2. Silvia Dantyana (3018210082)
3. Wenny Parliana (3018210127)
4. Ratu Cahaya Fortuna (3018210181)
5. Habib Nur Fauzan (3018210280)
Universitas Pancasila
Tahun Ajaran 2020/2021
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sifatnya
dikatakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia
yang berbedabeda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang
berdasarkan Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal Ika. Hal mana berarti
walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum perkawinan yang berlandaskan
kesatuan namun kebhinekaannya tetap masih berlaku. Mengapa demikian dikarenakan yang
berbeda-beda itu masih kuat pengaruhnya. Oleh karenanya jika yang berbeda bertemu dalam
ikatan perkawinan (campuran) sedangkan salah satu pihak masih tetap mempertahankan
pegangannya maka ada kalanya menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya bahkan
dapat berakibat terganggunya kerukunan hidup berumah tangga. Di dalam kehidupan
pergaulan hidup masyarakat dengan keanekaragaman agama, kepercayaan dan budaya yang
ada, dijumpai berbagai permasalahan berkaitan dengan perkawinan antara seorang pria dan
wanita yang hanya dilakukan melalui pemberkatan di gereja sehingga tidak ada pencatatan
perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku atau sebaliknya terdapat perkawinan
yang hanya dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil dan tidak melakukan acara pemberkatan
nikah di gereja, bahkan ada masyarakat yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang
sah di sisi lain suatu perkawinan yang sah akan berakibat bagi kedudukan suami isteri yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri; kedudukan anakanak yang dilahirkan dalam
suatu perkawinan yang sah; serta berkaitan erat dengan harta kekayaan dalam perkawinan.
ISI
Adapun pengertian perkawinan yang telah diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan, sebagai berikut :
Bila definisi tersebut diatas kita telaah, maka terdapat 5 unsur di dalamnya :
Sebuah perkawinan tidak cukup dengan kata lahir saja atau kata batin saja,
akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan
yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria
dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri; dengan kata lain, hal itu
disebut hubungan formal.Hubungan formal ini nyata, baik bagi pihak-pihak yang
mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga.Sebaliknya suatu ikatan batin
merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak
nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihakpihak yang bersangkutan.Ikatan batin
ini merupakan dasar ikatan lahir.Ikatan batin inilah yang dapat dijadikan dasar dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia.Dalam membina keluarga yang
berbahagia sangatlah perlu usaha sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan
sebagai ikatan suami istri atau calon suami istri dalam kedudukan mereka yang
semestinya dan suci seperti yang diajarkan dalam agama yang kita anut masing-
masing dalam negara yang berdasarkan pancasila. Perkawinan bukan hanya
menyangkut unsur lahir, akan tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan
luhur.
Ad. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seoarng pria dan seorang
wanita. Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan
perkawinan selain antara seorang pria dan serorang wanita tidaklah mungkin terjadi,
misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan
seorang wanita ataupun seorang wadam dengan seorang wadam lain. Dalam hal ini,
terdapat kesimpulan bahwa dalam kedua unsur tersebut terkandung asas monogami.
Ad. 3. Sebagai suami istri
Suatu ikatan atau persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita
dapat dikatakan sebagai suami istri apabila, ikatan mereka didasarkan pada suatu
perkawinan yang sah.Suatu perkawinan adalah sah, bilamana memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, baik syarat-syarat intern maupun
syarat-syarat eksternnya.
Ad. 4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Keluarga yang dimaksud di sini ialah satu kesatuan yang terdiri atas Ayah,
Ibu dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat
Indonesia. Masyarakat yang berbahagia akan terdiri dari keluarga yang berbahagia
pula. Membentuk keluarga yang bahagia dekat hubungannya dengan keturunan yang
merupakan tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini, maka
diharapkan kekekalan dari perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan
perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena
kematian.
Suatu perkawinan yang tidak bertujuan membentuk keluarga seperti yang
dikenal sebagai nikah mut‟ah, yaitu kawin untuk kesenangan haruslah dilarang,
walaupun mengenai hal ini ada madhabmadhab yang menerimanya, kecuali
madhabsyafi‟i. Nikah mut‟ah adalah suatu perkawinan hanya untuk suatu waktu
tertentu, misalnya untuk 3 hari, 1 minggu, 1 bulan, akan tetapi tidak lebih dari 45
hari.
2. Syarat-syarat ekstern/formal
Syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas
yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan.
Syarat-syarat tersebut, yaitu :
1. Barang siapa yang berkehendak melangsungkan
perkawinan, maka wajib memberitahukan pada
pejabat Catatan Sipil untuk dibukukan dalam daftar
pemberitahuan kawin (pasal 50-51 KUH Perdata);
2. Sebelum perkawinan dilangsungkan oleh pejabat
Catatan Sipil, pemberitahuan tersebut harus
diumumkan selama 10 hari (pasal 52-57 KUH
Perdata).
3. Menurut Hukum Adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi
masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi
penganut agama tergantung pada agama yang dianut
masyarakat adat bersangkutan.Maksudnya jika telah
dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka
perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat.Kecuali bagi
mereka yang belum menganut agama yang diakui
pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut
kepercayaan agama lama (kuno) seperti “sipelebegu”
(pemuja roh) di kalangan orang Batak.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama
kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah
menjadi warga adat dari masyarakat adat yang
bersangkutan.Misalnya di Lampung, walaupun sudah
terlaksana perkawinan yang sah menurut agama, tetapi
apabila mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga
adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka belum diakui
sebagai warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini
merupakan upacara perkawinan adat. Misalnya di Lampung,
Tulang-bawang upacara perkawinan adat ini dilaksanakan
dengan acara “mosokmajew” (menyuap mempelai) dengan
tindih sila. Upacara mosok ini dipimpin oleh tua adat
wanita, biasanya isteri atau penyimbang (pemuka adat) dan
dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara dan
pembawa syair perkawinan.
4. Menurut Hukum Islam
Menurut ketentuan pasal 14 Kompilasi Hukum Islam,
rukun perkawinan terdiri atas 5 hal yang harus terpenuhi :
1. Calon suami;
2. Calon istri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi;
5. Ijab dan Kabul.