Anda di halaman 1dari 140

Modul I - IV

PENGANTAR PAJAK
Diklat Teknis Substantif Dasar ( DTSD)
Kepabeanan dan Cukai

Oleh :
Drs. Arif Surojo, M Hum
( Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan


Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai
Jakarta
2010
DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i


PENGANTAR PAJAK
1. Pendahuluan ………………………………………………………………... 1
1.1 Deskripsi Singkat ……………………………………………………... 1
1.2 Tujuan Instruksioan Umum …………………………………………... 2
1.3 Tujuan Instruksional Khusus ………………………………………… 2
2. Kegiatan Belajar (KB) 1
PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA HUKUM PAJAK –
MACAM-MACAM PUNGUTAN – ASAS-ASAS PEMUNGUTAN
PAJAK
2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......………………………………... 3
A. Peraturan Perungang-undangan Perpajakan Yang Berlaku sejak
Proklamasi Sampai dengan 1983 .................................................... 3
B. Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Yang Berlaku sejak
1983 yang Belum Diperbaharui ...................................................... 5
2.2 Latihan 1 ……………………………………………………………… 6
2.3 Rangkuman …………………………………………………………… 7
3. Kegiatan Belajar (KB) 2

HUKUM PAJAK
3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .……………………………………. 8
A. Pengertian Hukum Pajak …………………………………………. 8
B. Kedudukan Hukum, Pajak Dalam Sistem Hukum Di Indonesia … 9
C. Pembagian Hukum Pajak ...………………………………………. 10
D. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata ……………..… 11
E. Pengaruh Hukum Pajak Terhadap Hukum Perdata ………………. 12
F. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana .......................… 13
G. Penafsiran Dalam Hukum Pajak …………………………………. 17
3.2 Latihan 2 ……………………………………………………………… 20
3.3 Rangkuman …………………………………………………………… 20

i
4. Kegiatan Belajar (KB) 3

BEBERAPA MACAM PUNGUTAN DI INDONESIA


4.1 Uraian, Contoh dan Skema …………………………………………… 22
A. Pajak ..…. ………………………………………………………… 22
B. Retribusi……….. ………………………………………………… 24
C. Sumbangan ………………………………………...……………... 24
4.2 Latihan 3 ……………………………………………………………… 25
4.3 Rangkuman …………………………………………………………… 25
5. Kegiatan Belajar (KB) 4

ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK


5.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ……………………………………... 26
A. Asas-asas Menurut Falsafah Hukum………………………............ 27
B. Asaa Yuridis ……………………………………………………… 31
C. Asas Ekonomis …………………………………………………. 32
D. Asaa Finansial …….……………………………………………… 32
5.2 Latihan 4 ……………………………………………………………… 33
5.3 Rangkuman …………………………………………………………… 33
6. Test Formatif ……………………………………………………………….. 34
7. Kunci Jawaban Test Formatif ……………………………………………… 36
8. Umpan Balik dan Tindak Lanjut …………………………………………… 36
9. Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 37

ii
PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN

1.1. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR.


Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, pemungutan pajak di Indonesia harus
berdasarkan Undang-Undang, tidak boleh dilakukan dengan sewenang-
wenang. Dasar pemungutan pajak ditetapkan dalam Pasal 23 Ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1946 yang berbunyi “Segala Pajak untuk keperluan
negara berdasarkan Undang-Undang”.
Alinea keenam memori penjelasan menyatakan bahwa “Oleh karena
penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri,
maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada Rakyat, sebagai
pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu
dengan persetujuan DPR.”
Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada masyarakat wajib
pajak sendiri. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian
kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-
sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, sudah
sepantasnya apabila masyarakat dan aparat perpajakan mengerti peraturan
perundang-undangan perpajakan, sehingga masyarakat Wajib Pajak
mengerti dan sadar serta patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya,
aparat pajak mampu membina, meneliti dan mengawasi pelaksanaan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Aparatur pajak sebagai pembina, peneliti dan pengawas dan penerap
sanksi perpajakan dituntut lebih mengerti dan memahami serta menguasai
Hukum Pajak, agar dalam pelaksanaan tugasnya berjalan dengan baik,
menjamin kepastian hukum kepada para Wajib Pajak.
Dalam rangka mengantarkan para peserta diklat dilingkungan Direktorat
Jendral Pajak maka disusunlah Modul Pengantar Hukum Pajak ini.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 1


1.2. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM.
Dengan mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan dapat
memahami Pengantar Hukum Pajak (PHP) sebagai pelajaran dasar (basic
leervak) untuk mempelajari Hukum Pajak, baik Hukum Pajak Material maupun
Hukum Pajak Formal atau dapat dikatakan bahwa PHP tersebut merupakan
Pengetahuan Dasar yang mengantarkan kepada pembahasan hukum pajak.

1.3. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS.


Setelah selesai mempelajari modul ini para peserta diklat, diharapkan
mampu:
a. Menjelaskan perkembangan perpajakan di Indonesia;
b. Menjelaskan arti beserta bagian-bagian dari Hukum Pajak;
c. Menjelaskan arti Pajak beserta pembagian jenis pajak;
d. Menjelaskan macam-macam asal pemungutan pajak;
e. Menjelaskan macam-macam sistem pemungutan pajak;
f. Menjelaskan macam-macam tarif pajak;
g. Menjalaskan macam-macam surat ketetapan pajak;
h. Menjelaskan kapan timbul dan hapusnya hutang pajak;
i. Menjelaskan keberatan dan banding dan menerangkan tata cara
keberatan dan banding;
j. Menjelaskan mengenai perjanjian perpajakan meliputi sebab-sebab
timbulnya pajak berganda dan cara menghindarkannya.
k. Menjelaskan tentang penagihan pajak, meliputi dasar penagihan, hak
mendahulu dan kadaluarsa penagihan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 2


MODUL I
PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA
HUKUM PAJAK – MACAM-MACAM PUNGUTAN - ASAS-ASAS
PEMUNGUTAN PAJAK

2. Kegiatan Belajar (KB) 1

PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Zaman dahulu sebelum terdapat negara yang teratur masih bersifat
sederhana, dikuasai oleh seorang raja yang bertugas memelihara keamanan
di wilayah kekuasaannya serta mempertahankan wilayahnya dari serangan
musuh, rumah tangga keuangannya belum sempurna dan masih sederhana.
Namun pada zaman itu terasa juga kebutuhan akan uang membiyai
pengeluaran umum negara seperti untuk membayar pegawai kerajaan,
mengaji para prajurit, membangun gedung, jalan dan lain-lain.
Pada waktu itu pemungutan pajak belum teratur, masih berupa setoran
innatura seperti padi, ternak dan lain-lain atau melakukan pekerjaan guna
kepentingan umum seperti mempelihara jalan, melaksanakan jaga bergiliran,
rodi dan lain-lain.
Dengan majunya suatu negara modern, maka tata cara pemungutan
pajakpun menjadi teratur.
Dalam modul ini penyusun akan mensajikan sepintas tentang
perkembangan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang.

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG


BERLAKU SEJAK PROKLAMASI SAMPAI DENGAN 1983
Pada umumnya peraturan-peraturan perundang-undangan
perpajakan pada masa ini adalah peninggalan zaman belanda yang
karena beberapa kesulitan belum dapat diganti, hanya mengalami
beberapa perubahan untuk disesuaikan dengan kemajuan perekonomian.
Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang
No. 4 Tahun 1952 antara lain menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951,
semua Undang-Undang, Undang-Undang Darurat dan Ordonasi tentang

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 3


Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia.
Undang-undang yang menyatakan berlaku dalam Undang-Undang
No.4 Tahun 1952 adalah :
1. Undang-undang Pajak Radio (U.U. No 12 Tahun 1947).
2. Undang-undang Pajak Pembangunan (U.U. No 14 Tahun 1947).
3. Undang-undang Darurat Pajak Peredaran (U.U. No. 12 Tahun 1952).
4. Ordonansi Pajak Peralihan 1944 (Stbl. 1994 No. 17) kemudian
menjadi Ordonasi Pajak Pendapatan 1944.
5. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611).
6. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 13)
7. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718).
8. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No. 291).
9. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No 671)
10. Aturan Bea Materai 1921 (Stbl. 1921 No. 498)
11. Ordonansi Successie 1901 (Stbl. 1901 No 471)
12. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Stbl. 1932 No 405)

Pajak-pajak negara lain yang tidak disebutkan dalam Undang-


undang No 4 Tahun 1952 diumumkan secara tersendiri seperti Pajak
Perseroan 1925 (Lembaran Negara 1952 No. 83). Dalam perkembangan
selanjutnya, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan
ekonomi keuangan Negara, atas Undang-undang perpajakan tersebut
mengalami berbagai perubahan, misalnya dengan penghapusan
peraturan, penggantian nama, perubahan status pajak negara menjadi
pajak daerah dan lain-lain.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, kemudian
diundangkan beberapa Undang-undang perpajakan antara lain:
1. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 (kemudian diperbarui dengan
Undang-undang No. 2 Tahun 1968).
2. Undang-undang Pajak Deviden (U.U. No. 21 Tahun 1959 yang
kemudian diperbaruhi dengan Undang-undang Pajak atas Bunga
Dividen dan Royalty 1970 (U.U. No. 10 Tahun 1967).
3. Undang-undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (U.U.
No. 19 Tahun 1959).
4. Pajak Bangsa Asing (U.U. No. 74 Tahun 1958)

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 4


5. Undang-undang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (U.U. No. 27
Tahun Tahun 1959).
6. Undang-undang No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan
PPd. PKk dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Perkembangan selanjutnya ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke
Pemerintah Daerah yaitu :
1. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan Negara antara Pusat dan Daerah yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri jo Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 1957 tentang penyerahan Pajak Negara kepada Daerah,
telah diserahkan :
a. Kepada Daerah Tingkat I :
1) Pajak Rumah Tangga 1908
2) Pajak Kendaraan Bermotor 1934
3) Verponding 1928
b. Kepada Daerah Tingkat II :
1) Pajak Jalan 1942
2) Pajak Kopra
3) Pajak potong 1936
4) Pajak pembangunan I
5) Verponding Indonesia
2. Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak-pajak Negara kepada :
a. Daerah Tingkat I :
Pajak Bangsa Asing 1958
b. Daerah Tingkat II
Pajak Radio 1947

B. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG


BERLAKU SEJAK 1983 YANG BELUM DIPERBARUHI
Menimbang bahwa peratran perundangan perpajakan yang
merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini,
sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat
semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah
Penjajahan dalam rangka memperbesar kekuasaannya di tanah air kita.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945,
terhadap berbagai peraturan perundang di bidang perpajakan telah

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 5


dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian terhadap keadaan dan
tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah merdeka. Namun perubahan-
perubahan tersebut belum menjawab secara fundamental tuntutan dan
kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-
undangan perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan tersebut harus dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjujung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
Berdasarkan perkembangan serta alasan tersebut diatas maka
Pemerintah mensahkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang
baru, yaitu :
1. Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) (L.N. No. 49 Tahun 1983, TLN No.
3262), yang telah berkali-kali diubah dengan Undang-undang No. 28
Tahun 2007.
2. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
(PPh)(L.N. No. 50 Tahun 1983, TLN No. 3263), yang telah berkali-kali
diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan PPn Barang Mewah (L.N. No. 51 Tahun 1983,
TLN No. 3264) yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan UU No.
18 Tahun 2000.
4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) (L.N. No. 68 Tahun 1985, TLN No. 3312) yang telah
berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994.
5. Undang-undnag No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (L.N. No. 69
Tahun 1983, TLN No. 3313).

2.2. LATIHAN 1
1. Apa yang dimaksud dengan Pengantar Hukum Pajak?
2. Sebutkan dasar hukum berlakunya undang-undang perpajakan hasil
peninggalan Pemerintah Hindia Belanda pada awal kemerdekaan?
Jawab : Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo Undang-Undang No. 4
Tahun 1952
3. Undang-undang pajak apa yang disahkan pada masa 17-8-1945 s/d
1983?

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 6


Jawab : a. UU Pajak Penjualan 1951
b. Undang-undang Pajak Dividen 1959 jo UU PBDR tahun 1967
c. Undang-undang Penagihan Pajak Negara No. 19/1959
d. Undang-undang Pajak Bangsa Asing 1958
e. Undang-undang Balik Nama Kendaraan Bermotor 1959
f. Undang-undang No. Tahun 1967 tentang tata cara MPS-MPO.
4. Sebutkan Pajak Negara yang diserahkan ke Pemda Tingkat I !
Jawab : Pajak Negara yang diserahkan ke Pemda Tingkat I adalah PRT,
PKB, Verponding, BBN Kendaraan Bermotor
5. Pajak-pajak apa yang menjadi wewenang pengelolaan Direktorat Jenderal
Pajak sekarang?
Jawab : Pajak Negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak saat
ini adalah PPh, PPN dan PPnBM, PBB, dan BM, BPHTB

2.3. RANGKUMAN
1. Berlakunya Undang-undang Perpajakan setelah Proklamasi
Kemerdekaan yang berasal dari Pemerintahan Hindia Belanda
berdasarkan Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo Undang-undang
No. 4 tahun 1952.
2. Dalam rangka perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke Pemerintah Daerah
antara lain Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak
Verponding, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ke Pemda Tingkat I
dan Pajak Jalan, Pajak Kopra, Pajak Potong, Pajak Pembangunan I,
Pajak Bangsa Asing, Pajak Radio ke Pemda Tingkat II.
3. Pembaharuan perpajakan dengan disahkannya Undang-undang :
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP yang berkali-kali diubah terakhir
dengan UU No. 28 Tahun 2007
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh yang berkali-kali diubah terakhir
dengan UU No. 36 Tahun 2008
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPn BM yang berkali-kali
diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000
d. UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB yang berkali-kali diubah terakhir
dengan UU No. 12 Tahun 1994
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang BM

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 7


3. Kegiatan Belajar (KB) 2

HUKUM PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Pemungutan pajak di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang tetapi harus berdasarkan Undang-undang; hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 23A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan undang-Undang”.
Dalam modul ini akan diuraikan tentang pengertian Hukum Pajak,
pembagian Hukum Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hubungan Hukum Pajak
dengan Hukum lainnya serta penafsiran dalam Hukum Pajak.

A. PENGERTIAN HUKUM PAJAK


Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang
tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan
dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu
itu.
Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak
ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang
masing-masing sarjana yang membuat definisi tersebut. Namun dalam
bermacam-macam bunyi definisi itu, intinya akan sama.
R. Santoso Brotodihardjo, S.H., (1986 : 1) menyatakan bahwa
“Hukum Pajak yang disebut juga Hukum Fiskal, adalah keseluruhan dan
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian
dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar
negara dan orang-orang atau badan-badan (Hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak)”.
Di dalam Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tata
Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan lain-
lain.
Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, S.H., (1977 : 23) menyatakan
bahwa “Hukum Pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan
rakyat sebagai pembayar pajak”.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 8


Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha
Negara, yang didalamnya termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara,
Hukum Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain.

B. KEDUDUKAN HUKUM, PAJAK DALAM SISTEM HUKUM DI


INDONESIA
Secara umum Hukum terbaggi atas Hukum Publik dan Hukum
Perdata. Hukum Publik mencakup Hukum Pidana dan Hukum Tantra
yang meliputi Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Negara. Hukum
Perdata mencakup Hukum Perdata arti sempit (B.W. = Burgelijke
Wetboek) dan Hukum Dagang (W.v.K = Wetboek van Koophandel).
Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan Hukum
antara Pemerintah dengan warganya, sedangkan Hukum Perdata ialah
Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara perorangan di dalam
masyarakat.
Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara
ialah segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga-lembaga negara
serta aparaturnya dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
(Hukum Tata Usaha Negara Materil).
Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha
Negara, namun Prof. Adriani menghendaki bahwa Hukum Pajak berdiri
sendiri merupakan suatu ilmu pengetahuan yang terlepas dari Hukum
Tata Usaha Negara karena Hukum Pajak mempunyai tugas yang bersifat
lain daripada hukum administratif pada umumnya, yaitu hukum pajak juga
digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian dan
mempunyai istilah-istilah tersendiri di bidang perpajakan. Namun
kemandirian Hukum Pajak, umumnya dirasakan kurang tepat karena
seolah-olah menyatakan bahwa Hukum Pajak berdiri terlepas dari hukum-
hukum lainnya, padahal Hukum Pajak mempunyai hubungan dengan
hukum lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pudana, Prof. Adriani
menyatakan bahwa Hukum Pajak mendasarkan tafsirannya atas bagian-
bagian lainnya dari Ilmu Hukum, tetapi ia tidak berdiri di bawah telapak
kakinya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 9


HUKUM

Hukum Perdata Hukum Publik


(Arti Luas)

Hukum Perdata (BW) Hukum Tata Negara

Hukum Dagang (W.V.K) Hukum Tata Usaha Negara

Hukum Pajak

Hukum Pidana

C. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK


Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan
Hukum Pajak Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau
Hukum Perdata.
Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan
Hukum Pidan Formal (Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke
dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi
PPd 1944, Ordonasi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan
Material dan Formal ada di dalam Undang-undang pajak itu sendiri.
Dengan adanya pembaharuan perundang-undnagan perpajakan
sejak awal 1984 Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal terpisah
dan diatur dalam Undang-undang tersendiri.

a). Hukum Pajak Material


Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat
norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-
perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak,
sisapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau
dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 10


hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan
wajib pajak.
Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum Pajak
Material ialah :
a. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
b. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
c. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
d. Undang-undang No. 13 Taun 1985 tentang Bea Material.

b). Hukum Pajak Formal


Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat
peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material
menjadi kenyataan.
Hukum ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk
memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan,
cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara
penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain.
Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal
ialah :
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UNDANG-
UNDANG No. 16 Tahun 2000.
b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana teah diubah dengan
UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.

D. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA


Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum
Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar
kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa (kematian,
kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa)
yang diatur dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang
dituangkan dalam Undang-undang pajak, dan bila dipenuhi syarat-
syaratnya akan menyebabkan seseorang atau badan dikenakan pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 11


Sebagian Sarjana mengatakan bahwa bukan itu yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang erat antara Hukum Pajak
dengan Hukum Perdata, melainkan suatu ajaran di bidang hukum yang
menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale, yaitu hukum yang
khusus menyimpangkan hukum yang umum.
Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van
Indonesie, menyatakan bahwa “hubungan erat ini sangat mungkin sekali
timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam
Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh, bahwa
pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut
dalam Hukum Pajak”.
Misalnya mengenai istilah “tempat tinggal” atau domisili, diatur
baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak.
Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai
denagn Pasal 25 BW., sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dama
Undang-undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal
1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru
Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah :
1. Pasal 17 B.W. : “Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya
dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya
tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya
dianggap sebagai tempat tinggal”.
2. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 : “ Seseorang atau suatu
badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia
ditentukan menurut keadaan sebenarnya”.
3. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 : “Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada,
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan”.
4. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada
dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan
ketentuan yang khusus (lex spescialis).

E. PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA


Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari Lex
specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-undang,

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 12


penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan
yang khusus.
Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan
dalam Hukum Perdata, antara lain :
Hak majikan memotong Pajak.
a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : “Si majikan
diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang
telah ditentukan”.
b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama
maupun yang baru.
Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944
menyatakan bahwa “majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu
Pajak Upaj/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji”.
Di dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1)
“Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh :
a). Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan
nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia.
b). Dan seterusnya.
Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-undang
Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan
wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undang-
undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu
pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini
ketentuan dalam Undang-undang pajaknya yang dianut.

F. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA.


1) Umum
Ancaman Hukuman Pidana tidak saja terdapat dalam
K.U.H.P., tetapi banyak juga tercantum dalam Undang-undang di luar
K.U.H.P. hal ini disebabkan antara lain :
a. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-
perubahan itu perlu disertai dan diikuti peraturan-peraturan hukum
dengan sanksi pidana
b. Kehidupan moderen semakin kompleks, sehingga disamping
adanya peraturan pidana berupa unifikasi yang bertahan lama

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 13


(KUHP) diperlukan pula peraturan-peraturan pidana yang bersifat
temporer.
c. Pada banyak peraturan hukum yang berupa Undang-undang di
lapangan hukum administrasi Negara, perlu di kaitkan dengan
sanksi-sanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu
agar ditaati.
Sanksi-sanksi pidana terdapat dalam Undang-undang di luar
KUHP antara lain dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Tindak
Pidana Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pajak
dan lain-lain. Antara K.U.H.P. dengan delik-delik/tindak pidana
yang tersebar di luar K.U.H.P. ada pertalian yang terletak dalam
Aturan Umum Buku I K.U.H.P. Berlakunya Ketentuan Umum
dalam K.U.H.P. tercantum dalam Pasal 103 K.U.H.P. yang
berbunyi : “Ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I juga
berlaku bagi tindak pidana yang oleh ketentuan perundang-
undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-
undang ybs. Diatur lain”.
Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perpajakan antara
lain diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 43
UNDANG-UNDANG KUP, Bab XIII Pasal 24 sampai dengan Pasal
27 UU PBB dan Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU Bea Meterai.

2) Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang


perpajakan yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam
Undang-undang Pajak.
a. Membuka rahasia / rahasia jabatan..
Pasal 322 KUHP :
(1). Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, sekarang
maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.
(2). Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang lain.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 14


Pasal 41 Undang-undang KUP :
(1). Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahu
dan denda paling banyak Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah).
(2). Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah).
(3). Penuntutan terhadap) ha tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) nya dilakukan atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

b. Pemalsuan Surat.
Pasal 263 KUHP.
(1). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menimbulkan suatu hak atau pembebasan hutang
atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak
dipalsukan, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan
pidana penjara paling lama enam bulan.
(2). Diancam dengan pidana yang sama, barang siap dengan
sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan, seolah-olah
sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 39 ayat (1) huruf e U.U. KUP.
Setiap orang yang dengan sengaja :
a, b, c, dan seterusnya.
e. Memperhatikan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.
f. Dan seterusnya.
Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 15


dan denda paling tinggi sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3) Ketentuan KUHP yang mengancam tindak pidana di bidang
perpajakan .
a. Menyuap
Pasal 209 KUHP :
(1). Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
• Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada
seorang pegawai negeri dengan maksud membujuk dia,
supaya dalam pekerjaannyaia berbuat atau mengalpakan
sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya;
• Barang siapa memberikan hadiah kepada seorang
pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan
pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan
sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
(2). Dapat dijatuhi hukuman Pencabutan hak-hak tertentu
(jabatan, ABRI) yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4
(KUHP.92, 149, 210, 418a). Pasal ini oleh U. U. No. 3 Tahun
1971 dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi.

b. Menerima hadiah/pemberian.
Pasal 418 KUHP :
Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia
tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan
atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak
karena jabatannya, atau yang menurut pkiran orang yang
menghadiahkan atau berjanji itu ada berhubungan dengan jabatan
itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-
(KUHP 35, 36, 92, 309, 419)
pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 419 KUHP :
Dengan hukuman selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai
negeri :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 16


(1). Yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang
diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan
kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya
melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang beerlawanan
dengan kewajibannya;
(2). Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa
pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau
berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau
dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan
kewajibannya. (KUHP 35, 36, 92, 209, 418, 420, 437).
Pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi.

G. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK


Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas
diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang
pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti
memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum
yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah
atau persoalan yang sedang dihadapi.
Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba
mengetahui dan memahami arti kadah-kaedah hukum.
Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatika).
Penafsiran tata bahasa, ialah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi
ketentuan undang-undang, dengan berpedomen pada arti perkataan-
perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat
yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semat-mata arti
perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam
pemakaiansehari-hari.
b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap
kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk Undang-
undang. Misalnya arti “malam” dalam Pasal 98 KUHP yang berarti
waktu antara matahari terbenam dari matahari terbit.
c. Penafsiran histories :
1). Sejarah hukumannya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 17


2). Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu,
misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I.,
sebesar Rp.10,-
d. Penafsiran sistematis (dogmatis).
Penafsiran sistematis ialah penafsiran memiliki susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-
undang itu maupun dengan undang-undang yang lain.
e. Penafsiran sosiologi.
Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan
tujuan undang-undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan
berubah menurut masa, sedangkan undang-undang tetap saja.
f. Penafsiran ekstensip.
Penafsiran ekstensip ialah penafsiran dengan memperluas arti, kata-
kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat
dimaksudkan dalam ketentuan itu. Misalnya “aliran listrik termasuk
benda”.
g. Penafsiran restriktif.
Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti kata-
kata dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk
kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dan lain-lain.
h. Penafsiran analogis.
Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan
memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas
hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut.
i. Penafsiran a contrario.
Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang
yang didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut.
Contoh Pasal 34 BW yang menyatakan bahwa seorang perempuan
tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah
perkawinannya terdahulu diputuskan.
Bagaimana hanya dengan laki-laki ? Tidak berlaku karena kata laki-
laki tidak disebutkan.
Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu
pada umumnya berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 18


Undang-undang pajak sering dilihat dengan kaca mata yang istimewa,
sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai masalah yang luar
biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena
berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh
besar atas cara-cara penafsiran itu.
Mr. Santoso Brotodihardjo, S.H. (1982 : 147), menyatakan
bahwa hingga kini yang merupakan titik persengketaan di antara para
sarjana adalah penafsiran analogi dalam Hukum Pajak, sekali pun
pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka cenderung kepada
pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan
dalam penafsiran perundang-undangan pajak.
Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak
untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang. Artinya bahwa
tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak selain
berdasarkan Undang-undang. Maksud dari ketentuan ini agar wajib
pajak tidak diperlakukan semena-mena oleh Fiskus.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 19


3.2. LATIHAN 2
a. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Pajak Materil ?
hukum Pajak Material ialah hukum pajak yang memuat norma-norma
yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa
hukum yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat
pula dikatakan segala sesuatu tentang timbulnya. Besarnya dan
hapusnya utang pajak dan hubungan antara pemerintah dan Wajib Pajak.
b. Berikan contoh U.U. Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formil !
hukum Pajak Formil.
Contohnya: U.U. KUP.
U.U. PPSP.
c. Dalam pasal berapa ketentuan yang menyangkut sanksi pidana dalam
U.U. Pajak ?
Pasal-pasal yang memuat sanksi-sanksi pidana :
Pasal 38 s/d 43 U.U. KUP, Pasal 24 s/d 27 U.U. PBB dan Pasal 13 a/d 14
U.U. BM.
d. Sebutkan macam-macam penafsiran dalam ilmu hukum !
Macam-macam penafsiran dalam ilmu hukum :
a. Penafsiran menurut Tata Bahasa.
b. Penafsiran autentik.
c. Penafsiran historis.
d. Penafsiran Sistematis.
e. Penafsiran Sosiologis.
f. Penafsiran eksensip.
g. Penafsiran restriktif.
h. Penafsiran analogis.
i. Penafsiran a contrario.

3.3. RANGKUMAN.
1. Hukum Pajak adalah keselruh dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui Kas Negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum Publik yang mengatur
hubungan hukum antara Negara dengan orang-orang atau badan hukum
yang berkewajiban membayar pajak.
2. Hukum Pajak termasuk bagian Hukum Publik dalam hal ini Hukum Tata
Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 20


3. Hukum Pajak terbagi dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak
Formal.
4. Adanya hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata karena sebagian
besar peristiwa, perbuatan atau keadaan yang menjadi dasar pengenaan
pajak diatur dalam Hukum Perdata.
5. Hubungan Hukum Pajak dan Hukum Pidana, karena di dalam Hukum
Pajak juga mengatur pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan
hukuman pidana.
6. Penafsiran hukum ialah ialah suatu upaya yang pada dasarnya
menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas
atau membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam
rangka penggunannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang
dihadapi.
7. Analogi tidak dipergunakan dalam penafsiran Undang-undang pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 21


4. Kegiatan Belajar (KB) 3

BEBERAPA MACAM PUNGUTAN DI INDONESIA

4.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh.


Negara dalam menjalankan pemerintahannya memerlukan dana yang
tiak sedikit untuk membiyai pengeluaran umum Negara berupa biaya rutin
dan biaya pembangunan.
Sumber-sumber pendapatan Negara untuk masing-masing Negara
berbeda-beda, tergantung dari sumber-sumber yang dimiliki di Negara yang
bersangkutan.
Modul ini menguraikan tentang beberapa macam pungutan yang
menjadi sumber pendapatan Negara di Indonesia antara lain pajak, restibusi,
sumbangan dan penerimaan Negara bukan pajak (PNPB).

A. PAJAK
1. Arti Pajak
Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain
dikemukakan oleh para sarjana, yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H.
(1982 : 2) yaitu :
a. Definisi Leroy Beaulieu yang berbunyi : “Pajak adalah bantuan,
baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup
belanja Pemerintah”.
b. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) :
“Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik
(dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan
yang bersifat Umum (Negara), untuk mempeloreh pendapatan,
dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang
karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak”.
c. Definisi Prof Edwin R.A. Seligman.
“Tax is a compulsory contribution from the person, to the
government to defray the expenses incurred in the common
interest of all, without reference to special benefit conferred”.
Banyak terdengar keberatan atas kalimat “without reference”
karena bagaimana juga uang pajak tersebut digunakan untuk

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 22


produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat,
hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara perorangan.
d. Philip E Taylor, mengganti “without reference” menjadi “With little
reference”.
e. Defenisi Mr. Dr. N. J. Feldmann :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terhutang kepada Penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum”.
f. Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets :
“Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual,
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran Pemerintah”.
g. Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja :
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang
dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.”
h. Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H. :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan
Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Desinisnya yang lain (1974 : 8), menyatakan :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya
digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai Public Investment.
i. Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 23


2. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, tersimpul
ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu :
a. Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan Undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra
prestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Daerah).
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment.
e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu
mengatur.
3. Fungsi pajak.
Fungsi pajak ada dua :
a. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair) ialah fungsi pajak disektor
publik, merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukkan
uang dari masyarakat berasarkan undang-undang ke Kas Negara,
hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum Negara.
b. Fungsi mengatur (Regulerend) ialah fungsi pajak yang
dipergunakan untuk mengatur atau untuk mencapai tujuan tertentu
dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan
misalnya dengan mengadakan perubahan-perubahan tarif,
memberikan pengecualian atau keringanan-keringanan.

B. RETRIBUSI
Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang
dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Dalam
retribusi nyata-nyata bahwa atas pembayaran-pembayaran itu si
pembayar mendapat prestasi kembali yang langsung.
Misalnya : pembayaran uang sekolah, uang kuliah, langganan
PAM, retribusi pasar dan lain-lain.

C. SUMBANGAN
Menurut Santoso Brotodihadjo, S.H. (1982 : 6), sumbangan
mengandung pikiran, bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 24


Pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum. Karena
prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan
hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karena itu maka hanya
golongan tertentu dari penduduk yang diwajibkan membayar sumbangan
ini. Misalnya Sumbangan Wajib Pemeliharaan Prasarana Jalan, Pening
Speda.

4.2. LATIHAN 3.
1. Apa yang dimaksud dengan pajak menurut Prof. DR. P.J.A. Adriani?
Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
2. Berikan contoh retribusi !
Contoh retribusi : retribusi pasar, retribusi parker dan lain-lain.
3. Apa saja Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Departemen Kehakiman ?
Penerimaan dari Departemen Kehakiman :
- Penerimaan dari pendaftaran ciptaan.
- Penerimaan dari permintaan hak paten.

4.3. RANGKUMAN.
1. Macam-macam pungutan yang termasuk pendapatan Negara antara lain
pajak, retribusi, sumbangan dan penerimaan Negara bukan pajak.
2. Pajak ialah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale
(kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membiyai pengeluaran umum.
3. Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan
oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Para pembayar
retribusi menerima prestasi kembali yang langsung.
4. Selain retribusi pendapatan Negara dapat berupa sumbangan.
5. Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat berupa penerimaan yang
dipeloreh Instansi Pemerintah (Departemen dan Lembaga Non-
Departemen).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 25


5. Kegiatan Belajar (KB) 4

ASAS – ASAS PEMUNGUTAN PAJAK

5.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh.


Berbagai ajaran yang dikemukakan para sarjana mengenai tujuan
hukum antara lain dikemukakan oleh :
a. Prof. Mr. L. J. van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van
het Nederlandsche recht” menegaskan bahwa tujuan hukum ialah
pengaturan kehidupan masyarakat secara adil dan damai dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
dilindungi sehingga tiap-tiap orang mendaat apa yang menjadi haknya
masing-masing sebagaimana mestinya.
b. Drs. E. Utrecht, S.H. mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk
mencapai kepastian hukum.
c. Aristoteles dalam karyanya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan hukum
ialah untuk menegakkan keadilan.
Sesuai dengan tujuan hukum itu, kebanyakan para sarjana menganggap,
bahwa tujuan hukum pajak pun adalah membuat adanya keadilan dalam
soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang
teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun
dalam prakteknya sehari-hari oleh aparatur pajak.
Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah
mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara
umum dan merata. Tentang syarat ini telah terdengar sejak Revolusi
Perancis. Syarat ini baik dan luhur, namun mudah dicantumkan, tetapi
sulit dipraktekkan, sebab bermacam-macam kesulitan harus dihadapi
dalam penyelenggaraannya.
Dalam abad ke- 18 Adam Smith ( 1723-1790 ) dalam bukunya An Inguiry
into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan
nama Wealthof Nations) melancarkan ajarannya sebagai asas
pemungutan pajak yang dinamakan “The Four Maxims”.
d. Pembagian tekanan pajak di antara subyek pajak masing-masing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang
dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah
perlindungan Pemerintah (asas pembagian asas kepentingan). Dalam
asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 26


diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama,
para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
e. Pajak yang harus dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak
mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “cerlainty” ini, kepastian
hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subyek, obyek,
besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
f. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is
most likely to be convenient for the contributor to pay it”. Teknik
pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of
payment”, menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang
paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat mungkin dengan
detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
g. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of
the pockets of the people as little as possible over and above what it
brings into to public treasury of the state”. Asas efisiensi ini menetapkan
bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya,
jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukkan pajaknya.
( Santoso Brrotodihardjo, S.H., 1982, hal 24-25 ).
Dalam modul ini akan diuraikan tentang macam-macam asas
pemungutan pajak tersebut.

A. ASAS-ASAS MENURUT FALSAFAH HUKUM.


Asas pemungutan menurut falsafah hukum termasuk dalam
maxim pertama “The Four Maxim”. Berikut ini akan dikemukakan teori-
teori pajak yang menyatakan dasar keadilannya.

(A). Teori Asuransi.


Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara
bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingannya,
keselamatan dan keamanan jiwa juga harta bendanya.
Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran dengan
pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi
(pertanggungan), maka untuk perlindungan diperlukan pembayaran
berupa premi.
Walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat
karena :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 27


a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari
Negara.
b. Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang
diberikan oleh Negara, tidaklah terdapat hubungan yang
langsung, namun teori ini tetap dipertahankan, sekadar untk
memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak saja.
Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan ketidak
puasan, pula karena ajaran bahwa pajak bukan restibusi, maka
makin lama makin berkuranglah penganut teori ini.

(B). Teori kepentingan.


Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara
melindungi kepentingan jiwa dan harta benda warganya, teori ini
memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari
seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas
kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah
(yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa
beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Negara untuk menunaikan kewajibannya, di
bebankan kepada mereka.
Terhadap teori ini banyak yang menyanggah. Karena dalam
ajarannya pajak dikacaukan dengan restibusi. Untuk kepentingan
yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih banyak harganya
daripada harta si miskin harus membayar pajak lebih besar dalam
hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan
sosial, sehingga sebagai konsekwensinya harus membayar pajak
lebih banyak, dan inilah suatu hal yang bertentangan dengan
kenyataan. Untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha
pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada alat
pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas.
Makin lama teori ini pun ditinggalkan.

(C). Teori kewajiban pajak mutlak atau Teori Bakti.


Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer,
diajarkan bahwa justru karena sifat Negara inilah maka timbulah hak
mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri,
dengan tidak adanya persekutuan , tidaklah akan ada individu. Oleh

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 28


karena persekutuan itu (yang menjelma jadi Negara) berhak atas
satu dan lain. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui, dan orang-
orang selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap Negara dalam bentuk
pembayaran pajak.

(D). Teori asas Gaya Beli.


Teori ini tidak mempersoalkan asal mula Negara memungut
pajak, hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek
yang baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang
sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa,
yaitu mengambil gaya beli dari rumah-tangga dalam masyarakat
untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkannya
kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup
masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini
mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat
inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan
pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan Negara,
melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari
pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur.

(E). Teori Gaya Pikul.


Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak
terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh Negara pada warganya,
yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan
ini diperlukan biaya-biaya, biaya ini dipikul oleh orang yang
menikmati perlindungan itu, berupa pajak.
Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan
pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus
dipikul menurut gaya pikulnya dan sebagai ukurannya, dapat
dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga
pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Teori ini sampai kini
masih dipertahankan. Asas ini sangat terkenal, tetapi seluk beluknya
sering kali timbul salah paham, bahkan diantara para sarjana hukum
dan cerdik pandai lainnya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 29


a. Prof. W. J. de Langen, dalam bukunya, De Grondbeginselen van
het Ned. Belastingrecht, Jilid I, 1954, bahwa gaya pikul sampai
kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam Hukum
pajak, walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas
lain, yang semenjak tahun 1919 semakin menduduki tempat
yang utama dan asas kenikmatan.
Asas kenikmatan ialah asas, bahwa pajak dapat dipungut
seimbang dengan jasa-jasa Pemerintah yang telah dinikmati
oleh orang masing-masing seperti tercantum dalam teori
kepentingan, dengan perkataan lain asas ini adalah asas umum
yang terdapat dalam jual beli, membayar sesuatu seimbang
dengan apa yang diperolehnya. Asas gaya pikul ini menjelmakan
cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu,
seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat
dicapai oleh seseorang. Dalam pada itu pemuasan kebutuhan
yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan,
dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul
seseorang. Karena perkataan “dapat”, maka tabungan-tabungan
seseorang termasuk pula ke dalam pengertian gaya pikulnya
(Santoso Brotodihardho, S.H., 1982, hal.29).
Definisi gaya pikul menurut Prof de Langen, Gaya Pikul adalah
besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan
kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang
mutlak untuk kebutuhannya yang primer.

b. Ir. Mr. A. J. Cohen Stuart, sarjana yang telah memperdalam


penyelidikannya mengenai gaya pikul ini, dalam desertasinya
menyamakan gaya pikul dengan sebuah jembatan, yang
pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum
dicoba untuk dibebaninya, dan menyarankan ajaran, bahwa
yang sangat diperlukan untuk kehidupan, harus tidak
dimasukkan uang kepada Negara barulah ada, jika kebutuhan-
kebutuhan primer sudah tersedia untuk hidup. Maka hak
pertama bagi setiap manusia yang dinamakan hak asas
“minimum kehidupan” ini harus pertama-tama diperhatikan,
seperti memang ternyata dengan pajak-pajak atas pendapatan
dan kekayaan di hampir semua Negara.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 30


c. Mr. Dr. J. H. R. Sinninghe Damste, pernah mencoba
menguraikan segala sesuatu semata-mata dengan asas gaya
pikul dalam bukunya mengenai Pajak Pendapatannya (pajak
yang penting).
Ia menyatakan pendapatannya (yang juga dikuatkan oleh
sarjana-sarjana lain), bahwa gaya pikul ini adalah akibat dari
bermacam-macam komponen, terutama (1) pendapatan, (2)
kekayaan, dan (3) susunandari keluarga wajib pajak itu dengan
mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaanya.

B. ASAS YURIDIS.
Hukum Pajak harus memberi jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk Negara maupun untuk
warganya. Dasar hukum pemungutan pajak dalam pasal 23 ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945.”Segala pajak untuk kegunaan kas Negara
berdasarkan undang-undang’.
Di Indonesia, Pasal 23 ayat (2) ini mempunyai arti yang sangat
dalam, yaitu sangat menetukan nasib rakyat. Memori penjelasannya
mengatakan : “Betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup dan
dari mana didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat
itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara
hidupnya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk
menetukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menetapkan
beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan
undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Demikianlah halnya dengan yang sudah menjadi kelaziman (karena
keharusan) di Negara hukum.
Selain secara formal harus dipungut berdasarkan undang-undang,
dalam menyusun undang-undangnya nyata-nyata harus diusahakan oleh
pembuat undang-undang tercapainya keadilannya dalam pemungutan
pajak dengan mengindahkan keempat unsur dari Adam Smith’s Canon.
Karenanya niscaya tidak lagi cara-cara lama akan terulang, yaitu untuk
fiksus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya
kewajibannya saja. In concreto secara umum tidak boleh dilupakan hal-
hal sebagai berikut :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 31


Pertama : Hak-hak fiksus yang telah diberikan oleh pembuat
undang-undang harus dijamin dapat terlaksananya dengan lancar; telah
diketahui oleh umum, bahwa dalam praktek para wajib pajak suka
mencoba dengan secara legal ataupun tidak, untuk menghindarkan diri
dari yang telah ditentukan oleh undang-undang pajak; keadaan yang
semacam ini harus diatasi dengan penyempurnaan peraturan-peraturan
dalam undang-undang, lengkap dengan sanksi-sanksinya.
Kedua : Sebaliknya para wajib pajak harus pula mendapat jaminan
hukum, agar supaya ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh
fiskus dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus di atur dengan terang
dan tegas, bukan hanya mengenai kewajiban-kewajiban, melainkan juga
hak-hak wajib pajak, antara lain : untuk dalam tingkat pertama
mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
menetapkan pajaknya, termasuk juga hak wajib pajak untuk mengajukan
banding ke pengadilan Pajak bilamana ia telah ditolak keberatannya
mengenai suatu penetapan pajaknya.
Ketiga : Yang tidak kurang pentingnya adalah jaminan terhadap
tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-perusahaan
wajib pajak yang telah dituturkannya kepada instansi-instansi pajak, dan
yang harus tidak disalahgunakan oleh para pejabatnya.

C. ASAS EKONOMIS.
Pajak selain mempunyai fungsi budgetair juga berfungsi mengatur,
digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, maka
politik pemungutan pajaknya harus :
1. Diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi
dan perdagangan.
2. Diusahakan, supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam
usahanya menuju ke bahagiaan dan jangan sampai merugikan
kepentingan umum.

D. ASAS FINANSIAL.
Sesuai dengan fungsi budgetair, maka sudah tentu bahwa biaya-
biaya untuk mengenakan dan memungut pajak harus sekecil-kecilnya, di
bandingkan dengan pendapatannya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 32


5.2. LATIHAN 4
1. Apakah tujuan hukum menurut Aristoteles ?
Tujuan hukum menurut Aristoteles ialah untuk menegakkan keadilan.
2. Sebutkan asas-asas menurut falsafah hukum ?
Asas-asas menurut falsafah hukum mencakup teori-teori :
a. Asuransi.
b. Kepentingan.
c. Kewajiban pajak mutlak.
d. Asas haya beli.
e. Asas gaya pikul.

5.3. RANGKUMAN.
1. Menurut Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk menegakkan keadilan.
2. Adam Smith (1723 – 1790) melancarkan ajarannya sebagai asas
pemungutan pajak dengan nama “The Four Maxims”.
3. Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa asas antara lain asas falsafah
hukum yang terdiri dari beberapa teori yang melandasi mengapa Negara
memungut pajak, yaitu :
a. Teori asuransi
b. Teori kepentingan
c. Teori kewajiban pajak mutlak.
d. Teori asas gaya beli.
e. Teori asas gaya pikul.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 33


6. TES FORMATIF
Nyatakan B (Benar), kalau pernyataan di bawah ini benar, dan nyatakan S
(Salah), kalau pernyataan ini salah.
a. B - S Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo
Undang-undang No. 4 Tahun 1952 antara lain
menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951 semua
Undang-undang, Undang-undang Darurat dan
Ordonansi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dinyatakan berlaku diseluruh Indonesia.
b. B - S Perundang-undangan Perpajakan Nasional harus
dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjujung tinggi hak warga Negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
c. B - S Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan
Hukum antara orang-perorangan, sedangkan Hukum
Perdata ialah Hukum yang mengatur hubungan Hukum
antara Pemerintah dengan warganya.
d. B - S Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi
Negara ialah segenap peraturan hukum yang mengatur
segala cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang
langsung dari lembaga-lembaga Negara serta
aparaturnya dalam melaksanakan tugasnya masing-
masing. (Hukum Tata Usaha Negara Materil).
e. B - S Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti
Ordonansi PPd 1944, Ordonansi PKK 1932 dan
Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal
dipisahkan di masing-masing Undang-undang ybs.
f. B - S Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat
norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum
yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus
dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat
dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, dan
hapusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 34


pemerintah dan wajib pajak.
g. B - S Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat
peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak
Material menjadi kenyataan.
h. B - S Hukum Pajak tidak ada hubungannya dengan Hukum
Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak
mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas
dasar peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan
(kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang
tidak diatur dalam hukum perdata.
i. B - S Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang
agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran
hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya
menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti
memperluas atau membatasi atau mempersempit
pengertian hukum yang ada dalam rangka
penggunaannya untuk memecahkan masalah atau
persoalan yang sedang dihadapi.
j. B - S Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah penafsiran yang
pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh pembentuk Undang-undang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 35


7. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
A = B f = B
B = B g = B
C = S h = S
D = B i = B
E = S j = B

8. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT


Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat
pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4
Rumus :
Jumlah jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = X 100%
10

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :


90% - 100% = Baik sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
69% = Kurang

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih?


Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 terutama
bagian yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 36


9. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a. Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan


Pajak Pendapatan 1994, P.Y.
Eresco, Bandung, 1977.
b. ………………………………………. , Hukum Pajak Internasional
Indonesia Perkembangan dan
pengaruhnya, PT Eresco,
Bandung 1977.
c. ………………………………………. , Peradilan Administrasi dalam
Hukum Pajak di Indonesia,
PT Eresco, 1976.
d. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan I,
PT Eresco, 1992.
e. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1990.
f. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1989.
g. ………………………………………. , Pengantar Singkat Hukum Pajak,
PT Eresco, 1987.
h ………………………………………. , Pajak ditinjau dari segi hukum
PT Eresco, 1990.
i. ………………………………………. , Asas-asas Hukum Perpajakan,
BPHN, Jakarta, 1991.
j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,
PT Eresco, Bandung, 1986.
k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal,
Pidato pengukuhan GB,
Bandung, 1981.
l. ………………………………………. , Hukum Pajak dan Keadilan,
PT Eresco, Bandung, 1985
m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK,
Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 37


DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i


MODUL 2
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
PENGGOLONGAN PAJAK
TARIF PAJAK
1. Pendahuluan ………………………………………………………………... 1
1.1 Deskripsi Singkat ……………………………………………………... 1
2. Kegiatan Belajar (KB) 1
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......………………………………... 1
A. Self Assessment ............................................................................... 1
B. Official Assessment ......................................................................... 1
C. Withholding System ........................................................................ 2
D. Stelsel Riil ....................................................................................... 2
E. Stelsel Fiktif ................................................................................... 2
F. Stelsel Campuran ........................................................................... 2
2.2 Latihan 1 ……………………………………………………………… 3
2.3 Rangkuman …………………………………………………………… 3
3. Kegiatan Belajar (KB) 2

PEMBEDAAN DAN PENGGOLONGAN PAJAK


3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .……………………………………. 4
A. Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif ……………………………… 4
B. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung .............................. … 5
C. Pajak Pusat dan Pajak Negara dan Pajak Daerah ………………… 6
3.2 Latihan 2 ……………………………………………………………… 6
3.3 Rangkuman …………………………………………………………… 7
4. Kegiatan Belajar (KB) 3

MACAM-MACAM TARIF PAJAK


4.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ...........……………………………… 8
A. Tarif yang sepadan (Proporsionil) ……………………………….. 8
B. Tarif Pajak Yang meningkat (Progresif) ......................................... 8

i
C. Tarif yang Menurun (Degresif) …………………………………... 8
D. Tarif yang Tetap ……………...…………………………………... 9
4.2 Latihan 3 ……………………………………………………………… 9
4.3 Rangkuman …………………………………………………………… 9
5. Kegiatan Belajar (KB) 4

PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK


5.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ……………………………………... 10
A. Jenis Surat Ketetapan Pajak ………………………………............ 10
B. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) .......... 10
C. Penerbitan Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT) ....................................................................................... 14
D. Penerbit Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) ................................ 15
E. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) .............. 16
F. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) ............................................ 16
5.2 Latihan 4 ……………………………………………………………… 18
5.3 Rangkuman …………………………………………………………… 18
6. Test Formatif ……………………………………………………………….. 20
7. Kunci Jawaban Test Formatif ……………………………………………… 22
8. Umpan Balik dan Tindak Lanjut …………………………………………… 22
9. Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 23

ii
MODUL 2
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
PENGGOLONGAN PAJAK
TARIF PAJAK

1. PENDAHULUAN
I. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR
Tiap-tiap negara mempunyai sistem pemungutan yang berbeda sesuai
dengan kondisi yang bersangkutan.
Di dalam Hukum Pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak,
maka dalam modul ini akan diuraikan bermacam-macam sistem pemungutan
pajak.

2. Kegiatan Belajar (KB) 1

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


A. SELF ASSESSMENT.
Self Assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana
wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
Dalam sistem pemungutan ini, kegiatan pemungutan pajak
diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat wajib pajak sendiri, dimana
wajib pajak diberi kepercayaan untuk :
1. Menghitung sendiri pajak yang terhutang
2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang
3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang
4. Melaporkan sendiri pajak yang terhutang
Sistem ini antara lain dianut Undang-undang PPh.

B. OFFICIAL ASSESSMENT
Official assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak,
diaman aparatur pajak menetapkan jumlah pajak yang terhutang dan
wajib pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 1


Dalam sistem ini inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan
menetapkan pajak sepenuhnya berada pada aparatur pajak.
Undang-undang yang menganut sistem ini adalah Undang-undang
perpajakan lama seperti PPd 1944, PPs 1925, PKK 1932.

C. WITHOLDING SYSTEM.
Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana
perhitungan pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak
dipercayakan kepada pihak ketiga oleh Negara.
Pihak ketiga yang diberi kepercayaan pemerintah untuk memotong
atau memungut pajak misalnya Badan-badan tertentu, Direktorat Jenderal
Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan dan lain-lain.
Contoh pajak yang menganut sistem ini misalnya PPh Pasal-pasal 21, 22,
23, 26.

D. STELSEL RIIL
Stelsel Riil / stelsel nyata (Rieele stelsel) ialah suatu sistem
pengenaan pajak, yang didasarkan pada penghasilan yang
sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak.
Karena penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu
tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pajak baru dikenakan
sesudah akhir tahun pajak berakhir. Dan biasanya pajak ini dikenakan di
belakang (naheffing).
Contoh : Pajak Penghasilan.

E. STELSEL FIKTIF
Stelsel Fiktif (Fictieve Stelsel) ialah suatu sistem pengenaan pajak
yang didasarkan pada suatu fiktif / anggapan. Bunyi suatu fiksi tergantung
dari ketentuan undang-undang perpajakan yang bersangkutan.
Contoh : Dalam PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 dengan rumus
secara umum ialah 1/12 x PPh tahun yang lalu – PPh Pasal –
Pasal 21, 22, 23, 24.

F. STELSEL CAMPURAN
Stelsel campuran ialah suatu sistem pengenaan pajak yang
didasarkan baik pada stelsel riil maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 2


pajak menganut stelsel fiktif dan setelah akhir tahun pajak menganut
stetsel riil.
Contoh : Pajak Penghasilan.

2.2. LATIHAN 1
1. Apakah yang dimaksud dengan witholding sistem?
Witholding sistem ialah suatu sistem pemungutan pajak dimana
penghitungan, pemotongan, penyebaran dan pelaporan pajak
dipercayakan oleh Negara kepada pihak ketiga.
2. Apakah yang dimaksud dengan stelsel riil?
Stelsel riil ialah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada
penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam satu tahun pajak.
3. Berikan contoh pajak yang menganut witholding sistem?
Contoh Witholding sistem : PPh Pasal-pasal 21, 22, 23, 26.

2.3. RANGKUMAN
Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa macam sistem, sistem
mana yang dipergunakan tergantung kepada politik negara yang
bersangkutan. Sistem pemungutan yang dipergunakan di Indonesia adalah
sistem self assessment dan stelsel campuran.
Macam-macam sistem pemungutan pajak yaitu self assessment,
official assessment, witholding system.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 3


3. Kegiatan Belajar (KB) 2

PEMBEDAAN DAN PENGGOLONGAN PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Dalam hukum pajak terdapat berbagai pembedaan jenis-jenis pajak,
yang dibagi kedalam beberapa golongan besar. Cara membedakannya dapat
didasarkan atas ditemukan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam masing-
masing pajak, seperti :
1. Pajak atas kekayaan dan pendapatan;
2. Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum, lalu lintas kekayaan, dan lalu
lintas barang;
3. Pajak yang bersifat kebendaan;
4. Pajak atas pemakaian
Pembagian lain didasarkan atas ditemukannya ciri-ciri tertentu pada
setiap pajak, dan jenis pajak yang ciri tertentunya bersamaan dimasukkan
dalam satu golongan, sehingga terjadilah pembagian pajak dalam :
1. Pajak subyektif dan pajak obyektif
2. Pajak langsung dan pajak tidak langsung
3. Pajak umum dan pajak daerah
Modul ini akan menguraikan tentang pembagian pajak dalam beberapa
golongan.

A. PAJAK SUBYEKTIF DAN PAJAK OBYEKTIF


(A) Pajak Subyektif
Pajak subyektif ialah pajak yang memperhatikan pertama-
tama keadaan pribadi wajib pajak; untuk menetapkan pajaknya harus
ditemukan alasan-alasan yang obyektif yang berhubungan dengan
keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya.
Contoh : Pajak Penghasilan, (Orang Pribadi).
Hubungan antara pajak dan wajib pajak (subyek pajak) adalah
langsung oleh karena besarnya Pajak Penghasilan yang harus
dibayar tergantung kepada gaya pikulnya, pada pajak-pajak subyektif
ini keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya
jumlah pajak yang terhutang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 4


Mengenai keadaan diri wajib pajak sebagai dasar menghitung
gaya pikul di atur dalam Pasal 7 Undang-undang PPh, yaitu dalam
bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (P.T.K.P.), sebagai berikut :
a. Untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,-
b. Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp. 1.440.000,-
c. Tambahan untuk seorang isteri yang Rp. 2.880.000,-
mempunyai penghasilan dari usaha atau
dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau
anggota keluarga lain
d. Tambahan untuk setiap orang keluarga Rp. 1.440.000,-
sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus, serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
(B) Pajak Obyektif
Pajak obyektif ialah pajak yang pertama-tama melihat
obyeknya yang selain dari pada benda, dapat pula berupa keadaan,
perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban
membayar, kemudian dicari subyeknya (orang atau badan hukum)
yang bersangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah
subyek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Subyek yang
mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyek itulah yang
ditunjuk sebagai subyek yang harus membayar pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan Wajib Pajak luar negeri.
B. PAJAK LANGSUNG DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG
Pembagian golongan pajak ini terjadi karena ditinjau dari sudut
beban pajak dan administrasi pemungutan pajak.
(A) Pajak Langsung
Pajak langsung ialah pajak yang ditinjau dari :
a. Segi Administratip, berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang
pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap tahun.
b. Segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 5


(B) Pajak Tidak Langsung
Pajak Tidak Langsung, ialah pajak yang ditinjau dari segi :
a. Administratip, tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodik
(berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-hal, atau
peristiwa-peristiwa yang dikenakan pajak.
b. Ekonomis pajak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : PPN dan PPn BM

C. PAJAK PUSAT DAN PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH


(A) Pajak Negara / Pajak Pusat ialah pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat
Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Meterai, BPHTB.

(B) Pajak Daerah / Pajak Lokal, ialah pajak yang dipungut oleh daerah
Tingkat I, daerah Tingkat II (Kodya, Kabupaten)
Yang termasuk Pajak Daerah seperti, PKB, PRO, PBA, Pajak
Tontonan, Pajak Reklame dan lain-lain.

3.2. LATIHAN 2
1. Pajak apa saja yang termaswuk Pajak Pusat?
Pajak Pusat : - Pajak Penghasilan
- PPN dan PPn BM
- PBB
- Bea Meterai
2. Dapatkah Pajak Langsung dilimpahkan kepada orang lain?
Jelaskan dan beri contoh pajak yang bersangkutan!
- Pajak langsung ditinjau dari segi ekonomis tidak dapat dilimpahkan
kepada orang lain, harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan.
3. Sebutkan beberapa macam Pajak Lokal (Pajak Daerah) :
Pajak Lokal : - Pajak Reklame
- Pajak Kendaraan Bermotor
- Pajak Hotel dan Restoran
- Pajak Hiburan
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 6


3.3. RANGKUMAN
Di dalam Hukum Pajak, Pajak-pajak dapat dibagi dalam beberapa
golongan menjadi :
1. Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif.
2. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung.
3. Pajak Negara / Pajak Pusat dan Pajak Daerah / Pajak Lokal.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 7


4. Kegiatan Belajar (KB) 3

MACAM-MACAM TARIF PAJAK

4.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Seseorang yang menjadi subyek pajak dan mempunyai obyek pajak,
untuk dapat menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang harus
mengetahui tarif pajak yang bersangkutan.
Tarif yang dianut dalam suatu Undang-undang pajak, tergantung dari
ketentuan Undang-undang Pajak yang bersangkutan.
Modul ini akan menguraikan tentang bermacam-macam tarif yang
dikenal dalam Hukum Pajak, yaitu :
1. Tarif yang sepadan
2. Tarif yang meningkat
3. Tarif yang menurun
4. Tarif tetap
A. Tarif yang sepadan (Proporsionil)
Tarif yang sepadan ialah tarif pajak dengan persentase
pengenaan yang tidak berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar
berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak.
Misalnya : Tarif pajak Hotel dan Restoran sebesar 10%
Tarif PPN sebesar 10%
B. Tarif Pajak yang Meningkat (Progresif)
Tarif pajak yang progresif ialah tarif pajak yang persentase
pengenaannya menaik semakin besar manakala jumlah yang harus
dikenakan pajak meningkat.
Misalnya : Tarif PPh Pasal 17
Penghasilan Kena Pajak (Badan d.n./BUT) Tarif
s/d Rp. 50.000.000,- 10%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,- 15%
Diatas Rp. 100.000.000,- 30%

C. Tarif yang Menurun (Degresif)


Tarif pajak yang menurun ialah tarif pajak yang besar
persentasenya menurun semakin besar manakala jumlah yang harus
dikenakan pajak meningkat.
Misalnya :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 8


Dasar pengenaan pajak Pajak
Rp. 1.000.000,- (Rp. 100.000,-) 10%
Rp. 2.000.000,- (Rp. 180.000,-) 9%
Rp. 3.000.000,- (Rp. 255.000,-) 8.5%
Rp. 4.000.000,- (Rp. 320.000,-) 8%

D. Tarif yang Tetap


Tarif yang tetap ialah tarif pajak yang besarnya tetap dan tidak
tergantung kepada nilai objek yang dikenakan pajak.
Misalnya : Bea Meterai Rp. 3.000,- / Rp. 6.000,-

4.2. LATIHAN 3
1. Pajak Penghasilan menganut tarif apa?
Pajak Penghasilan menganut tarif progresif sebagaimana di atur dalam
Pasal 17 Undang Undang PPh.
2. Berikan contoh pajak-pajak yang menganut tarif sepandan!
Pajak yang menganut tarif sepadan antara lain, PPN.
3. Apakah tarif menurun dianut dalam undang-undang pajak di Indonesia?
Tarif menurun / degresif tidak dianut di Indonesia.

4.3. RANGKUMAN
Di dalam Hukum Pajak dikenal beberapa macam tarif, tiap-tiap negara
menganut macam tarif yang telah ditentukan dalam Undang-undang Pajak
yang bersangkutan.
Ada empat macam tarif yaitu Tarif Sepadan, Tarif Progresif, Tarif
Menurun dan Tarif Tetap.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 9


5. Kegiatan Belajar (KB) 4

PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

5.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Dalam sistem self assessment, untuk membayar pajak terutang tidak
tergantung kepada adanya surat ketetapan pajak. Namun demikian, tidak
berarti dalam sistem self assessment tidak dapat diterbitkan surat ketetapan
pajak. Disamping surat ketetapan pajak, terdapat pula Surat Tagihan Pajak.
Pada umumnya surat ketetapan pajak diterbitkan setelah dilaksanakan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, sedangkan Surat Tagihan Pajak
diterbitkan setelah diadakan penelitian. Sanksi administrasi yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak adalah sanksi administrasi berupa bunga dan
/atau kenaikan, sedangkan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat
Tagihan Pajak adalah sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Dilihar dari segi kepastian hukum, keduanya mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
A. Jenis Surat Ketetapan Pajak
Surat ketetapan pajak merupakan suatu bagian dari proses
pemungutan pajak.
Terdapat beberapa jenis surat ketetapan pajak, yaitu :
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Nilai (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

B. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang
menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi dan jumlah
yang masih harus dibayar. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhir masa pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Walaupun
fiscus berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, tetapi tidak
seluruh Surat Pemberitahuan Wajib Pajak diterbitkan ketetapan tetapi,
hanya terhadap hal-hal tertentu atau terhadap Wajib Pajak tertentu yang

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 10


nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kewajiban formal dan atau kewajiban materill.
Hal-hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar adalah :
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar.
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3 (Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan) dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran.
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan
tarif 0% (nol persen).
d. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29
(Undang-undang) tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan) tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang.

Diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak


adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak
tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan ditempat
tinggal, tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal
Kepala Kantor Pelayanan Pajak memiliki data lain di luar data yang
disampaikan leh Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak
sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu terhadap
Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Wajib Pajak yang melanggar kewajiban perpajakan yaitu tidak
atau kurang membayar sebagaimana mestinya menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan, yang diketahui setelah diadakan
pemeriksaan, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, terhitung sejak saat
terutangmya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 11


tahun pajak sampai diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga tersebut, dihitung dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung satu bulan.
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya,
walaupun telah ditegut secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam
jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
secara jabatan.
Teguran antara lain dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau
sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan yang
disebabkan karena sesuatu hal di luar kemampuannya.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
a. 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
satu Tahun Pajak.
b. 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan.

Bagi Wajib Pajak yang tdak melaksanakan kewajiban perpajakan


dibidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, yang mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar
yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif
0%, maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ditertibkan ditambah
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut
ketentuan pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan
menurut pasal 29, sehingga tidak dapat dihitung jumlah pajak yang
seharusnya terutang, maka Surat Ketetatapan Pajak Kurang Bayar yang
ditertibkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
:
a. 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
b. 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau
kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 12


c. 100% dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dari Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

Seperti halnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang


diterbitkan karena Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktunya walaupun sudah ditegur secara tertulis, maka Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang ditertibkan karena tidak menyelenggarakan
pembukuan atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan
menurut pasal 29, merupakan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang
dihitung secara jabatan yaitu perhitungan pajaknya didasarkan pada data
yang tidak hanya dipeloreh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian
penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan
diletakkan pada Wajib Pajak, sebagai contoh dapat diberikan antara lain
sebagai berkut :
a. Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 tidak lengkap,
sehingga penghitungan rugi-laba atau peredaran tidak jelas.
b. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka
dalam pembukuan tidak dapat diuji.
c. Dari rangkaian pemeriksaan dan atau fakta-fakta yang diketahui, besar
dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain disuatu
tempat tertentu, sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah
tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana


dibidang perpajakan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah
mempeloreh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
masih dibenarkan untuk ditertibkan ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
meskipun jangka waktu 10 tahun dilampaui. Dengan adanya putusan
Pengadilan yang telah mempeloreh kekuatan hukum yang tetap, dapat
saja terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak. Oleh sebab itu wajar, walaupun jangka
waktu 10 tahun telah lewat, fiscus masih dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 13


C. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dengan
demikian maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru
ditertibkan ketetapan pajak dan merupakan koreksi atas ketetapan pajak
sebelumnya. Jadi, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu
berguna untuk :
a. Menampung kemungkinan terjadinya suatu Ketetapan Pajak Kurang
Bayar yang menyatakan telah ditetapkan lebih rendah, atau
b. Telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, atau
c. Pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil
ditetapkan lebih rendah.

Jangka waktu menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar


Tambahan adalah 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak sebelumnya. Yang dimaksud dengan data baru adalah
data yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan, sedangkan data yang semula belum terungkap adalah
data yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SuratPemberitahuan
namun tidak diungkapkan secara jelas. Sebagai contoh dari data yang
semula belum terungkap antara lain adalah sumbangan yang
diperhitungkan sebagai biaya umum tanpa disertai rinciannya, sehingga
tidak dapat diketahui bahwa sumbangan tersebut sebenarnya tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya.
Jika sekiranya masih ditemukan lagi data yang semula belum
terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dan/atau data baru yang diketahui kemudian, maka Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan.
Dengan ditemukannya data baru dan/atau ditemukannya data yang
semula belum terungkap yang dalam sistem self asessment seharusnya
tidak terjadi, sehingga dilakukan penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 14


Kurang Bayar Tambahan, maka jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pajak tersebut. Namun demikian, sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% itu, tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan
tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri dengan syarat Direktur
Jendral Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana
karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakn Putusan Pengadilan
yang telah mempeloreh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu 10 tahun telah
dilampaui.

D. Penerbit Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Untuk
dapat menentukan apakah jumlah pajak terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak,
maka sebelumnya dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Surat Ketetapan Pajak Nihil
diterbitkan apabila :
a. Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan
jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang yang dipungut
oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan
jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak Keluaran setelah
dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut.
c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan
tidak ada pembayaran pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 15


E. Penerbit Surat Ketatapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit
pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
Menurut ketentuan ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
diterbitkan apabila :
a. Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah
pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang;
b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari
jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang
dipungut oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang
dimaksud dengan jumah yang terhutang adalah jumlah Pajak Keluaran
setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai Tersebut;
c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar
lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah


dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan
Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil atau lebih bayar yang
tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak (permohonan restitusi). Apabila Wajib Pajak setelah menerima
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (restitusi), maka wajib mengajukan
permohonan tertulis.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar
jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah
ditetapkan.
F. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak
dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat
Tagihan Pajak diterbitkan apabila terdapat :
a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 16


b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pajak
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasiberupa denda dan/atau
bunga.
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama


dengan surat ketetapan pajak, sehingga dengan demikian dalam hal
penagihan pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak dapat juga
dilakukan dengan Surat Paksa Di atas telah dikemukakan bahwa Surat
Tagihan Pajak diterbitkan apabila terdapat :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Pajak yang tidak atau kurang dibayar itu ditagih dengan Surat
Tagihan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atas bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Surat Tagihan Pajak dapat
pula diterbitkan apabila terdapat :
a. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagau pengusaha Kena Pajak
tetapi membuat Faktur Pajak.
c. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak
tetapi tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak
Pengusaha tersebut di atas masing-masing diselesaikan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dan
hal tersebut dituangkan dalam Surat Tagihan Pajak. Sanksi tersebut
dikenakan karena pengusaha telah melanggar kewajibannya (tidak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 17


melaporkan kegiatan usahanya) dan melalaikan kepercayaan yang telah
diberikan kepadanya untuk melaporkannya sendiri kegiatan usahanya.
Oleh karena itu, selain harus menyetor pajak yang Kena Pajak juga
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar
Pengenaan Pajak yang timbul sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Disamping itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat
oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh
bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli
dari pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu
terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula
terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi
tidak dilaksanakan atau tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau
membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu dikenakan sanksi yang
sama.

5.2. LATIHAN 4
a. Sebutkan jenis-jenis surat ketetapan pajak
Jenis-jenis surat ketetapan pajak.
1. SKPKB
2. SKPKBT
3. SKPN
4. SKPLB
b. Sebutkan Syarat-syarat diterbitkannya SKPKBT
Syarat-syarat a.1. :
1. Ada data baru (usulan) dan/atau
2. Data yang semula bahan terungkap
c. Sanksi-sanksi apa saja yang dapat dikenakan dalam SKPKB atau SKPKBT
?
Sanksi-sanksi tersebut a.1. :
a. Bunga dan/atau
b. Kenaikan.

5.3. RANGKUMAN
a. Jenis surat ketetapan pajak.
Terdapat beberapa jenis surat ketetapan pajak, yaitu :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 18


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Pajak Nilai (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Lebih bayar (SKPLB)
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan
yang menentukan tambahan atasjumlah pajak yang telah ditetapkan.
Dengan demikian maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
baru diterbitkan ketetapan pajak dan merupakan koreksi ketetapan pajak
sebelumnya.
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu berguna untuk :
a. Menampung kemungkinan terjadinya suatu Ketetapan Pajak Kurang
Bayar yang menyatakan telah ditetapkan lebih rendah, atau
b. Telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan dalam Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau
c. Pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan
lebih rendah.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 19


6. TES FORMATIF
Nyatakan B (Benar), kalau pernyataan di bawah ini benar, dan nyatakan S
(Salah), kalau pernyataan ini salah.
a. B - S Dalam sistem pemungutan Sell Assessment, kegiatan
pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari
masyarakat wajib pajak sendiri, dimana wajib pajak
diberi kepercayaan untuk :
1. Menghitung sendiri pajak yang terhutang
2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang
3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang
4. Melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
b. B - S Witholding system adalah suatu sistem pemungutan
pajak, dimana perhitungan pemotongan dan
pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan
kepada pihak ketiga oleh Negara.

c. B - S Stelsel Riil / stelsel nyata (Rieele stelsel) ialah suatu


sistem pengenaan pajak, yang didasarkan pada
penghasilan yang diperkirakan diperoleh dalam suatu
tahun pajak.
d. B - S Pembedaan berdasarkan sifat-sifat tertentu yang
terdapat dalam masing-masing pajak, sehingga dapat
digolongkan dalam :
1. Pajak atas kekayaan dan pendapatan;
2. Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum, lalu
lintas kekayaan, dan lalu lintas barang;
3. Pajak yang bersifat kebendaan;
4. Pajak atas pemakaian.
e. B - S Pembagian didasarkan atas ditemukannya ciri-ciri
tertentu pada setiap pajak, dan jenis pajak yang ciri
tertentunya bersamaan dimasukkan dalam satu
golongan, sehingga terjadilah pembagian pajak dalam :
1. Pajak subyektif dan pajak obyektif
2. Pajak langsung dan pajak tidak langsung
3. Pajak umum dan pajak daerah
f. B - S Pajak subyektif ialah pajak yang tidak perlu

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 20


memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib
pajak; untuk menetapkan pajaknya.
g. B - S Pajak langsung ialah pajak yang ditinjau dari :
a. Segi Administratip, berkohir dan dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik)
misalnya setiap tahun.
b. Segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
h. B - S Macam-macam tarif yang dikenal dalam Hukum Pajak,
yaitu :
1. Tarif yang sepadan
2. Tarif yang meningkat
3. Tarif yang menurun
4. Tarif tetap
i. B - S Tarif yang sepadan ialah tarif pajak dengan persentase
pengenaan yang tidak berubah. Jumlah pajak yang
harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai
sebagai dasar pengenaan pajak.
Misalnya : PPh
j. B - S Tarif pajak yang progresif ialah tarif pajak yang
persentase pengenaannya menaik semakin besar
manakala jumlah yang harus dikenakan pajak tidak
meningkat.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 21


7. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
a = B f = S
b = B g = B
c = S h = B
d = B i = S
e = B j = S

8. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT


Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat
pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4
Rumus :
Jumlah jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = X 100%
10

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :


90% - 100% = Baik sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
- 69% = Kurang

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih?


Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 terutama
bagian yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 22


9. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a. Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan


Pajak Pendapatan 1994, P.Y.
Eresco, Bandung, 1977.
b. ………………………………………. , Hukum Pajak Internasional
Indonesia Perkembangan dan
pengaruhnya, PT Eresco,
Bandung 1977.
c. ………………………………………. , Peradilan Administrasi dalam
Hukum Pajak di Indonesia,
PT Eresco, 1976.
d. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan I,
PT Eresco, 1992.
e. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1990.
f. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1989.
g. ………………………………………. , Pengantar Singkat Hukum Pajak,
PT Eresco, 1987.
h ………………………………………. , Pajak ditinjau dari segi hukum
PT Eresco, 1990.
i. ………………………………………. , Asas-asas Hukum Perpajakan,
BPHN, Jakarta, 1991.
j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,
PT Eresco, Bandung, 1986.
k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal,
Pidato pengukuhan GB,
Bandung, 1981.
l. ………………………………………. , Hukum Pajak dan Keadilan,
PT Eresco, Bandung, 1985
m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK,
Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 23


DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i


MODUL 3
TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
KEBERATAN DAN BANDING
1. Pendahuluan ………………………………………………………………... 1
1.1 Deskripsi Singkat ……………………………………………………... 1
2. Kegiatan Belajar (KB) 1
TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......………………………………... 1
A. Ajaran Timbulnya Utang Pajak ....................................................... 2
B. Hapusnya Utang Pajak .................................................................... 3
2.2 Latihan 1 ……………………………………………………………… 3
2.3 Rangkuman …………………………………………………………… 4
3. Kegiatan Belajar (KB) 2

KEBERATAN DAN BANDING


3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .……………………………………. 5
A. Keberatan yang Tidak memenuhi Persyaratan Formal .................. 8
B. Permohonan Banding Ke Pengadilan Pajak .............................. … 10
C. Pengadilan Pajak …………………………………………………. 11
4. Test Formatif ……………………………………………………………….. 37
5. Kunci Jawaban Test Formatif ……………………………………………… 39
6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut …………………………………………… 39
7. Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 40

i
MODUL 3
TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
KEBERATAN DAN BANDING

1. PENDAHULUAN
I. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR
Di dunia ini sudah kodrat alam bahwa bila ada sesuatu yang timbul,
maka kemudian akan lenyap atau hapus, demikian pula halnya dengan utang
pajak. Di dalam Hukum Pajak dikenal dua ajaran tentang timbulnya utang
pajak.
Di dalam modul ini akan diuraikan tentang pengertian utang pajak,
timbulnya utang pajak, dan hapusnya utang pajak.

2. Kegiatan Belajar (KB) 1

TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Menurut Hukum Perdata utang adalah merupakan suatu perikatan,
yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak baik orang maupun
badan sebagai subyek hukum, untukmelakukan suatu prestasi, yang menjadi
hak pihak lainnya.
Utang di dalam Hukum Perdata dapat mempunyai arti yang luas
ialah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang berkewajiban
sebagai akibat perikatan, seperti menyerahkan barang, membuat lukisan,
membayar harga barang dan lain-lain. Hutang dalam arti sempit, adalah
perikatan sebagai akibat perjanjian khusus yang disebut utang-piutang, yang
mewajibkan debitur membayar jumlah uang yang telah dipinjamnya dari
kreditur.
Menurut Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, SH (1990 : 1) menyatakan
: “Utang dan tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan
debiturnya, seperti dalam hukum perdata”.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 1


A. AJARAN TIMBULNYA UTANG PAJAK
Menurut pasal 1233 BW, perikatan timbul karena undang-undang
dan karena perjanjian. Apakah ketentuan ini berlaku sepenuhnya untuk
utang pajak?
Jawabnya, tidak, utang pajak timbul karena undang-undang bukan karena
perjanjian.
Dalam Hukum Pajak dikenal ada dua ajaran tentang timbulnya utang
pajak, yaitu :

(A) Ajaran Material


Ajaran Material adalah suatu ajaran timbulnya utang pajak
yang menyatakan bahwa utang pajak timbul karena undang-undang,
tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia, asal dipenuhi syarat
adanya suatu Tatbestand.
Tatbestand ditentukan sendiri di dalam Undang-undang Pajak
yang bersangkutan, terdiri dari keadaan, perbuatan atau peristiwa
tertentu yang harus dikenakan pajak.
Surat ketetapan pajak dalam ajaran ini tidak menimbulkan
utang pajak, hanya diperlukan untuk menetapkan besarnya utang
pajak dan untuk memberitahukan besarnya utang pajak.
Berdasarkan ajaran ini maka meskipun surat ketetapan pajak
belum memenuhi adanya Tatbestand, sudah memenuhi syarat
kewajiban pajak subyektif dan obyektif, serta sudah mempunyai
utang pajak dan kewajiban membayarnya.

(B) Ajaran Formal


Ajaran Formal adalah suau ajaran timbulnya utang pajak,
yang menyatakan bahwa utang pajak timbul tanpa melihat adanya.
Tatbestand, tetapi menggantungkan adanya pada adanya surat
ketetapan pajak. Jadi menurut ajaran ini utang pajak timbul pada saat
dikeluarkannya surat ketetapan pajak. Walaupun Tatbestand telah
dipenuhi, tetapi jika belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka
belum ada suatu utang pajak.
Surat ketetapan pajak menurut ajaran formal berfungsi :
a. Menimbulkan utang pajak
b. Menentukan besarnya utang pajak
c. Memberitahukan besarnya pajak kepada Wajib Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 2


B. HAPUSNYA UTANG PAJAK
Setiap perikatan, termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu
akan hapus. Hapusnya utang pajak dapat terjadi karena :
1. Pembayaran
Utang pajak hapus setelah dibayar oleh Penanggung Pajak / Wajib Pajak
ke Kas Negara, atau tempat-tempat yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Pembayaran dilakukan dengan penyetoran uang, bukan
dalam bentuk natura.

2. Kompensasi
Utang pajak yang masih belum dibayar dapat hapus dengan
dilakukannya kompensasi pembayaran antara kelebihan pembayaran
pajak dengan utang pajak yang belum dibayar. Kompensasi
pembayaran harus dimintakan kepada Kepala KPP, agar tidak timbul
kesulitan di kemudian hari, dan secara administrasi telah diselesaikan
di Kantor Pelayanan Pajak.

3. Daluwarsa
Daluwarsa yang dimaksud disini adalah daluwarsa penagih, seperti
yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-undang KUP. Pajak yang
penagihannya telah kedaluwarsa tidak dapat dilakukan tindakan
penagihan, maka setelah dilakukan penelitian administrasi dapat
diusulkan untuk dihapuskan.
4. Penghapusan
Wajib Pajak yang menunggak pajak, dan setelah diadakan penelitian
setempat dan diketahui Wajib Pajak telah meninggal dunia tidak
meninggalkan ahli waris dan tanpa warisan, atau wajib pajak pailit,
atau alamat wajib pajak tidak diketemukan lagi, tunggakan pajak dapat
diusulkan untuk dihapuskan.

2.2. LATIHAN 1
a. Apakah yang dimaksud dengan ajaran material dalam Hukum Pajak
mengenai timbulnya utang pajak ?
Ajaran material adalah suatu ajaran mengenai timbulnya utang pajak yang
menyatakan bahwa utang pajak timbul karena undang-undang, tanpa
diperlukan suatu perbuatan manusia, asal dipenuhi syarat telah
terdapatnya suatu Tatbestand.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 3


b. Apakah fungsi surat ketetapan pajak dalam ajaran material ?
Fungsi surat ketetapan pajak menurut ajaran material tidak menimbulkan
utang pajak, hanya berfungsi untuk menetapkan besarnya utang pajakdan
memberitahukan besarnya utang pajak.
c. Sebutkan sebab-sebab timbulnya suatu perikatan menurut pasal 1233
BW !
Menurut pasal 1233 BW : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, atau karena undang-undang”.

2.3. RANGKUMAN
1. Utang pajak timbul karena Undang-undang.
2. Hukum Pajak mengenal dua ajaran tentang timbulnya utang pajak yaitu
ajaran material dan ajaran formal.
3. Utang pajak hapus karena pembayaran, kompensasi, daluwarsa atau
penghapusan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 4


3. Kegiatan Belajar (KB) 2

KEBERATAN DAN BANDING

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Yang dimaksud dengan keberatan disini adalah keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak berdasarkan pasal 25 ayat (1)
UU KUP atas :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ke III berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan.

Dirjen Pajak harus mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan


oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan (Pasal 26
ayat (1) UU KUP) sejak surat keberatan diterima. Apabila jangka waktu dua
belas bulan itu telah lewat dan Dirjen Pajak tidak member sesuatu keputusan,
maka keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut dianggap diterima
(Pasal 26 atau (5) UU KUP).
Tidak semua keberatan Wajib Pajak dapat dipertimbangkan untuk diambil
keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP. Surat
keberatan yang dapat dipertimbangkan hanyalah keberatan yang memenuhi
persyaratan formal yang ditentukan dalam UU KUP.
Persyaratan dormal meliputi 2 (dua) hal :
a. Batas waktu pengajuan keberatan yaitu 3 (tiga) bulan sejak tanggal :
- Surat
- Pemotongan
- Pemungutan
Sesuai Pasal 25 ayat (3) UU KUP kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaannya.
b. Materi Surat Keberatan
Persyaratan formal mengenai materi surat keberatan adalah :
- Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
menyatakan alas an-alasan secara jelas (Pasal 25 ayat (2) UU KUP).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 5


- Wajib Pajak dalam keberatannya wajib menyebutkan jumlah pajak
yang menurut perhitungannya seharusnya terhutang.

Kenyataan dalam praktek di lapangan Wajib Pajak pada umumnya


mengajukan keberatan dalam 2 (dua) tahap :
1. Dalam tahap pertama surat keberatan yang diajukan masih belum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
UU KUP, walaupun surat keberatan tersebut telah diajukan dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3) UU KUP.
2. Surat keberatan tahap kedua yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) UU KUP diajukan beberapa bulan
setelah surat keberatan yang pertama diajukan, sehingga melebihi
jangka waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP.

Masalah lain yang sering dijumpai dalam praktek adalah bahwa Wajib
Pajak dalam surat keberatannya tidak menyebutkan jumlah pajak yang
seharusnya terhutang secara jelas menurut perhitungan Wajib Pajak,
tetapi hanya menunjuk jumlah pajak terhutang menurut SPT Tahunan
yang telah dimasukkan.

Penyelesaian keberatan merupakan suatu proses yang berlangsung


dari sejak tanggal surat keberatan yang memenuhi ketentuan Pasal 25
ayat (2), ayat (3) UU KUP diterima sampai dengan tanggal keputusan
Dirjen Pajak atas surat keberatan Wajib Pajak tersebut.
Untuk mengambil keputusan atas surat keberatan Wajib Pajak Dirjen Pajak
memerlukan data atau keterangan / penjelasan dari KPP yang berupa uraian
pemandangan keberatan.
Uraian pemandangan keberatan itu dalam garis besarnya disusun dengan
sistematik sebagai berikut :
a. UMUM
- Menguraikan identitas Wajib Pajak
- Surat Ketetapan / Kohir yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak
- Tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima.
b. PENELITIAN KETENTUAN FORMAL
- Tanggal Surat Ketetapan / Kohir yang berkenaan
- Tanggal dan nomor surat keberatan Wajib Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 6


- Tanggal penerimaan surat keberatan Wajib Pajak.
c. URAIAN TENTANG PENETAPAN SEMULA
- Dasar penetapan
- Laporan Pemeriksaan Lapangan / Kantor
- Hitungan semula
d. KEBERATAN WAJIB PAJAK
- Diuraikan secara singkat alasan-alasan keberatan Wajib Pajak
- Bukti-bukti atau data baru yang dikemukakan Wajib Pajak
- Perhitungan pajak dan jumlah pajak yang terhutang menurut Wajib
Pajak.
e. URAIAN / PENDAPAT KPP
- Pendapat KPP mengenai penetapan pajak semula
- Pendapat KPP mengenai alasan-alasan dan bukti yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
f. KESIMPULAN DAN USUL
- Kesimpulan KPP setelah mempelajari ketetapan semula, data-data
dan keberatan Wajib Pajak
- Usul KPP mengenai penyelesaian keberatan Wajib Pajak
- Ditolak / diterima / seluruhnya / sebagian / ditambah.

Mengingat Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang mengharuskan Dirjen


Pajak mengambil keputusan atas surat keberatan Wajib Pajak dalam
jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal keberatan Wajib Pajak
diterima, KPP dalam membuat uraian pemandangan keberatan harus
memperhatikan SE-1!/PJ.22/1987 tanggal 26 Maret 1987 butir 4 yang
menegaskan bahwa KPP harus sudah dapat menyelesaikan dan
mengirimkan uraian pemandangan atas surat keberatan Wajib Pajak
bersama-sama berkas Wajib Pajak bersangkutan kepada instansi yang
berwenang mengambil keputusan dalam batas waktu 3 (tiga) bulan
setelah diterimanya surat keberatan Wajib Pajak. Pengiriman uraian
pandangan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan “Surat
Pengantar Pengiriman Berkas Keberatan” dengan tindasan kepada
Kantor Pusat Dirjen Pajak (Dalam hal uraian pemandangan keberatan
dikirim ke kantor wilayah DJP) atau kepada Kanwil DJP (dalam hal uraian
pemandangan keberatan dikirim ke Kantor Pusat DJP).
Selanjutnya dalam butir 5 SE tersebut ditegaskan bahwa pengiriman
berkas keberatan Wajib Pajak tersebut harus dilakukan secara terpisah

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 7


per jenis pajak dan per tahun pajak (tidak boleh digabungkan menjadi
satu). Jadi setiap Surat Pengantar Pengiriman Berkas Keberatan hanya
digunakan untuk satu keberatan atau untuk satu jenis pajak dan satu
tahun pajak.

Contoh :
- Pengiriman berkas keberatan PPh Pasal 21 tahun 2001 harus
dipisahkan dengan pengiriman berkas keberatan PPh Pasal 26 Tahun
2001 karena jenis pajaknya berbeda.
- Pengiriman berkas keberatan PPh tahun 2000 harus dipisahkan
dengan pengiriman berkas keberatan PPh tahun 2001 karena tahun
pajaknya berbeda.

Untuk menyajikan uraian pemandangan yang kuat dan beralasan


diperlukan data-data dan atau bukti-bukti akurat, yang antara lain dapat
diperoleh melalui :
a. Pemeriksaan Kantor / Sumir
b. Pemeriksaan Lapangan / Lengkap

Penentuan apakah pemeriksaan akan dilakukan di lapangan / lengkap


atau di kantor tergantung pada bobot permasalahan yang diperlukan
dalam uraian pemandangan dan atau data dan bukti akurat yang perlu
diperiksa kebenarannya, sesuai dengan pertimbangan KPP.
Pelaksanaan pemeriksaan keberatan untuk uraian pemandangan atas
keberatan Wajib Pajak harus selalu memperhatikan adanya batas waktu
penyelesaian keberatan yaitu dua belas sejak tanggal surat keberatan
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan formal diterima.

A. KEBERATAN YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN FORMAL


Telah diuraikan di atas bahwa keberatan Wajib Pajak yang tidak
memenuhi persyaratan formal tidak dipertimbangkan, karenanya tidak
seharusnya dicatat dalam buku “Register Penerimaan Surat Keberatan”.
Keberatan yang demikian tidak lebih dari surat biasa, oleh
karena itu harus diperlakukan seperti surat biasa. Untuk meningkatkan
pelayanan kita kepada masyarakat Wajib Pajak, maka apabila jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP yaitu 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan masih memungkinkan bagi

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 8


Wajib Pajak untuk memperbaiki / melengkapi keberatan yang telah
diajukan, Wajib Pajak harus diberitahu untuk segera memperbaiki surat
keberatannya.
Namun apabila batas waktu tersebut sudah tidak memungkinkan
lagi, maka KPP hendaknya segera memberitahukan kepada Wajib Pajak
bahwa keberatannya tidak memenuhi persyaratan Pasal 25 ayat (3) UU
KUP.
Pemberitahuan kepada Wajib Pajak, antara lain dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak. Pemberitahuan
dengan surat itu sesungguhnya sudah merupakan keputusan dari KPP
yang memberi kepastian hukum. Kalau bagian akhir dari SE-
28/PJ.223/1987 tanggal 27 Agustus 1987 menyebutkan agar KPP segera
menerbitkan Keputusan Penolakan Keberatan terhadap keberatan Wajib
Pajak yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 25 ayat (2), ayat (3) UU
KUP, harus diartikan bahwa KPP segera memberitahu Wajib Pajak
dengan surat.
Kemungkinan yang terjadi dalam praktek, Wajib Pajak yang telah
menerima surat dari KPP yang memberitahukan bahwa keberatannya
tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan formal masih
tetap mengajukan keberatan terhadap ketetapan pajak yang diterimanya
yang dirasakan tidak adil. Apabila keberatan Wajib Pajak berhasil
mengungkapkan dengan nyata tentang adanya ketidakbenaran dalam
ketetapan pajaknya, keberatan tersebut dapat dipertimbangkan dengan
kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP. Yang perlu mendapat perhatian
KPP adalah bahwa menggunakan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP ini
harus sangat hati-hati, hanya apabila ketidakbenaran ketetapan nyata
dengan jelas tanpa meminta keterangan dari Wajib Pajak apalagi
meminta buku / catatan Wajib Pajak Keberatan Wajib Pajak yang
demikian itu bukan permohonan banding.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) KUP, Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dibatasi hanya atas
suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPKB),
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 9


e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan terhadap STP tidak diatur, sehingga dengan demikian


pengajuan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak terhadap STP tidak
akan ditanggapi dan tidak akan dikeluarkan keputusan (tidak
dipertimbangkan).
Sesuai dengan Pasal 14 KUP, pengeluaran STP adalah untuk
menagih jumlah kekurangan pembayaran pajak dan pengenaan sanksi
administrasi sebagai akibat dari kelalaian Wajib Pajak (salah tulis
dan/atau salah hitung) yang jumlahnya sudah pasti dan tidak menyangkut
penagihan jumlah pajak yang berkenaan dengan juridis material,
sehingga dengan demikian atas STP tidak dapat diajukan keberatan.
Upaya yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak sehubungan
dengan pengeluaran STP ini adalah mengajukan permohonan peninjauan
kembali jumlah ketetapan pajak dan sanksi administrasi yang tercantum
dalam STP. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) luruh a
KUP dan Keputusan Menteri Keuangan No. 542/KMK.04/2000, Dirjen
Pajak dapat menerbitkan keputusan peninjauan kembali dengan
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak dan sanksi
administrasi yang tidak benar, dan keputusan peninjauan kembali ini
bukan merupakan keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) KUP.

B. PERMOHONAN BANDING KE PENGADILAN PAJAK


Sesuai Pasal 27 ayat (1) KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan
banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dalam
jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan, dengan
melampirkan salinan surat keputusan tersebut. Permohonan banding
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
Sebelum mengambil keputusan badan peradilan pajak
memerlukan pendapat dari Dirjen Pajak. Pendapat dari Dirjen Pajak
diberikan dalam bentuk uraian banding. Uraian banding pada tahap
pertama dibuat oleh KPP setelah menerima permintaan uraian banding
dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 10


Uraian banding yang diterima dari KPP akan dijadikan bahan
untuk menyusun uraian banding Kantor Pusat DJP kepada badan
peradilan pajak. Oleh karena itu surat permohonan banding ditujukan
langsung kepada badan peradilan pajak.
Dalam rangka pembinaan dan pemberian pelayanaan yang lebih
baik kepada Wajib Pajak, serta untuk mencegah tidak diperiksanya
permohonan keberatan / banding Wajb Pajak yang disebabkan
ketidaktahuan Wajib Pajak, maka melalui SE-46/PJ.2/1986 tanggal 22
Oktober 1986 Kantor Pusat telah menginstruksikan kepada KPP untuk
memberikan stempel / cap khusus pada surat ketetapan pajak serta pada
keputusan surat-surat keberatan Wajib Pajak mengenai kepada siapa
keberatan atau permohonan banding harus diajukan dan dalam jangka
waktu berapa lama.

C. PENGADILAN PAJAK
(A) Pengertian
a. Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
b. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atau pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
c. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang
dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
d. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau penanggung Pajak terhadap Pelaksanaan Penagihan
Pajak atau terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 11


Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
e. Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada
Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan Banding yang
diajukan oleh pemohon Banding.
f. Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan
Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh
penggugat.
g. Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau
penggugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas
surat uraian Banding atau Surat Tanggapan.

(B) SYARAT-SYARAT BANDING


1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia
kepada Pengadilan Pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Jangka waktu di atas tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
pemohon Banding.
4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1(satu) Surat Banding.
5. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
6. Pada Surat Banding dilampurkan salinan Keputusan yang
disbanding.
7. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya Jumlah Pajak
yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah
yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh
persen).
8. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam
jangka waktunya.

(C) SIAPA YANG MENGAJUKAN BANDING


(1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus atau kuasa hukumnya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 12


(2) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal
dunia, Banding dapat dilanjutkan ole ahli warisnya, kuasa hokum
dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon
Banding pailit.
(3) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak
yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi
dimaksud.

(D) PENCABUTAN BANDING


(1) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
(2) Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang dilaksanakan;
b. putusan Majelis / Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam
hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas
persetujuan terbanding.
(3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
dimaksud, tidak dapat diajukan kembali.

(E) GUGATAN
(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Pengadilan Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugutan terhadap Keputusan
selama Gugatan dimaksud pada angka (2) adalah 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
(4) Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 13


(5) Perpanjangan jangka waktu pada angka (4) adalah 14 (empat
belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan
penggugat.
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)
Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.

(F) SIAPA YANG MENGAJUKAN GUGATAN


(1) Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang
pengurusm atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-asalan
yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan
penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan
dokumen yang digugat.
(2) Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia,
Gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari
ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit.
(3) Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak
yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,
peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi
dimaksud.

(G) PENCABUTAN GUGATAN


(1) Terhadap Gugatan, dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
(2) Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang;
b. putusan Majelis / Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam
hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas
persetujuan tergugat.
(3) Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
dimaksud tidak dapat diajukan kembali.

(H) PERMOHONAN PENUNDAAN PELAKSANAAN PENAGIHAN


(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
penagihan Pajak atau kewajiban perusahaan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 14


(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan Pajak ditunda selama pemeriksaan
Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan
Pajak.
(3) Permohonan dimaksud dapat diajukan sekaligus dalam Gugatan
dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan tersebut dapat dikabulkan hanya apabila
terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan
penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan.

(I) PERSIDANGAN DI PENGADILAN PAJAK


A. PENGERTIAN
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim pada Pengadilan Pajak.
(2) Hakim Tunggal adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua untuk
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak dengan cara cepat.
(3) Hakim Anggota adalah Hakim dalam suatu Majelis yang
ditunjuk oleh Ketua untuk menjadi anggota dalam Majelis.
(4) Hakim Ketua adalah Hakim Anggota yang ditunjuk oleh
Ketua untuk memimpin sidang.
(5) Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti
adalah Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti
pada Pengadilan Pajak.
(6) Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti adalah
Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti
Pengadilan Pajak yang melaksanakan fungsi kepaniteraan.

B. PERSIAPAN PERSIDANGAN
(1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada
terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal diterima Surat banding atau Surat
Gugatan.
(2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau
dokumen susulan kepada Pengadilan Pajak (Pasal 38) jangka

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 15


waktu (empat belas) hari diatas dihitung sejak tanggal
diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.
(3) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding
atau Surat Tanggapan dalam jangka waktu :
a. 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat
Uraian Banding, atau
b. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat
Tanggapan.
(4) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan
dimaksud oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon
Banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal diterima.
(5) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat
Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Salinan Surat Uraian
Banding atau Surat Tanggapan.
(6) Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding atau
tergugat, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal diterima Surat Bantahan.
(7) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding
atau penggugat tidak memenuhinya, Pengadilan Pajak tetap
melanjutkan pemeriksaan Banding atau Gugatan.
(8) Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan
kepada Ketua untuk hadir dalam persidangan guna
memberikan keterangan lisan.
Catatan
a. Tanggal dikirim adalah stempel pos pengiriman, tanggal
faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung
adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
disampaikan secara langsung.
b. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman,
tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung
adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan
disampaikan secara langsung

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 16


C. HARI SIDANG
(1) Ketua menunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim
atau Hakim Tunggal untuk memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak.
(2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua
menunjuk salah seorang Hakim sebagai Hakim Ketua yang
memimpin pemeriksaan Sengketa Pajak.
(3) Majelis atau Hakim Tunggal bersidang pada hari yang
ditentukan dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada
pihak yang bersengketa.
(4) Majelis / Hakim Tunggal dimaksud diatas sudah mulai
bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Banding.
(5) Dalam hal Gugatan, Majelis / Hakim Tunggal sudah memulai
sidang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima Surat Gugatan.

D. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA


(1) Pemeriksaan dengan secara biasa dilakukan oleh Majelis
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum.
(3) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis
melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau
kejelasan Banding atau Gugatan.
(4) Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak
jelas sepanjang bukan merupakan persyaratan :
• Bahasa Indonesia / Banding (Pasal 35 (1)),
• 1 (satu) Keputusan diajukan 1 Surat Banding (Pasal 36
(1)),
• Telah dibayar sebesar 50% (Pasal 36 (4)),
• Bahasa Indonesia / Gugatan (Pasal 40 (1)),
• 1 (satu) Pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan
diajukan 1 (satu) Surat Gugatan (Pasal 40 (6)),
Kelengkapan dan /atau kejelasan dapat diberikan dalam
persidangan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 17


(5) Hakim Ketua memanggil terbanding atau tergugat dan dapat
memanggil pemohon Banding atau penggugat untuk
memberikan keterangan lisan.
(6) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat
memberitahukan akan hadir dalam persidangan, Hakim Ketua
memberitahukan tanggal dan hari sidang kepada pemohon
Banding atau penggugat.
(7) Hakim Ketua menjelaskan masalah yang disengketakan
kepada pihak-pihak yang bersengketa.
(8) Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat
mengenai hal-hal yang dikemukakan pemohon Banding atau
penggugat dalam Surat Banding atau Surat Gugatan dan
dalam Surat Bantahan.
(9) Apabila Majelis memandang perlu dan dalam hal pemohon
Banding atau penggugat hadir dalam persidangan, Hakim
Ketua dapat meminta pemohon Banding atau penggugat
untuk memberikan keterangan yang diperlukan dalam
penyelesaian Sengketa Pajak.
(10) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu)
hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari
persidangan berikutnya yang ditetapkan.
(11) Hari persidangan berikutnya diberitahukan kepada terbanding
atau tergugat dan dapat diberitahukan kepada pemohon
Banding atau penggugat.
(12) Dalam hal terbanding atau tergugat tidak hadir pada
persidangan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, sekalipun ia telah diberitahu secara
patut, persidangan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri oleh
terbanding atau tergugat.

E. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA TEPAT


(1) Pemeriksaan dengan acara tepay dilakukan oleh Majelis atau
Hakim Tunggal.
(2) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap :
a. Sengketa Pajak tertentu;
b. Gugatan yang tidak dihapus dalam jangka waktu 6 bulan
(Pasal 81 (2));

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 18


c. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dalam muatan
(format) Putusan (Pasal 84 (1)) atau kesalahan tulis
dan/atau kesalahan hitung, dalam putusan Pengadilan
Pajak;
d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hokum bukan
merupakan wewenang Pengadilan Pajak.
(3) Sengketa Pajak tertentu adalah Sengketa Pajak yang
Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan :
• dalam Bahasan Indonesia / Banding (Pasal 35 (1)),
• dalam jangka waktu 3 bulan (Pasal 35 (2)),
• Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 Surat Banding
(Pasal 36 (1)),
• telah dibayar sebesar 50% (Pasal 36 (4)),
• diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya (Pasal 37 (1)),
• dalam Bahasa Indonesia / Gugatan (Pasal 40 (1)),
• terhadap 1 (satu) Pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)
Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan (Pasal 40 (6)).
(4) Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak
tersebut dilakukan tanpa Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan dan tanpa Surat Bantahan.
(5) Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa
berlaku juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat.

F. KEWAJIBAN MENGUNDURKAN DIRI BAGI HAKIM KETUA,


HAKIM ANGGOTA ATAU PANITERA
(1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib
mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai
dengan salah seorang Hakim atau Panitera pada Majelis yang
sama.
(2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib
mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 19


dengan pemohon Banding atau penggugat atau kuasa
hukum.
(3) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera tersebut harus
diganti, dan apabila tidak mengundurkan diri sedangkan
sengketa telah diputus, putusan dimaksud tidak sah dan
Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera
disidangkan kembali dengan susunan Majelis dan/atau
Panitera yang berbeda.
(4) Dalam hal hubungan keluarha sedarah, semenda, atau
hubungan suami istri diatas diketahui sebelum melewati
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah sengketa diputus,
sengketa dimaksud disidangkan kembali dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya hubungan
dimaksud.
(5) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau
Panitera Pangganti wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila berkepentingan langsung atau tidak
langsung atas satu sengketa yang ditanganinya.
(6) Pengunduran diri dapat dilakukan atas permintaan salah satu
atau pihak-pihak yang bersengketa.
(7) Ketua berwenang menetapan pengunduran diri apabila ada
keraguan perbedaan pendapat.
(8) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau
Panitera Pangganti tersebut harus diganti dan apabila tidak
diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa
telah diputus, putusan dimaksud tidak sah dan Ketua
memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan
kembali dengan susunan Majelis dan Panitera, Wakil
Panitera, atau Panitera Pengganti yang berbeda, kecuali
putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
tahun.
(9) Dalam hal kepentinagn langsung atau tidak langsung
diketahui sebelum melewati jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah sengketa diputus, sengketa dimaksud disidangkan
kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diketahuinya kepentingan dimaksud.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 20


(J) PEMBUKTIAN DAN SAKSI DALAM SIDANG PENGADILAN
PAJAK
A. (1) Alat bukti dapat berupa :
• surat atau tulisan;
• keterangan ahli;
• keterangan para saksi;
• pengakuan para pihak; dan /atau
• pengetahuan Hakim
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu
dibuktikan.

B. 1. Surat atau Tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :


a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau
dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut
peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hokum yang
tercantum didalamnya.
b. akta dibawah tangan yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
didalamnya;
c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan
oleh Pejabat yang berwenang;
d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a,
huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding
atau Gugatan.

2. (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberi-


kan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang
ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak
boleh memberikan keterangan ahli.
(3) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak
atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal
dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 21
(4) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi
keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan
dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya
menurut pengalaman dan pengetahuannya.

3. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila


keterangan itu berkenan dengan hal yang dialami, dilihat, atau
didengar sendiri oleh saksi.
4. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis
atau Hakim Tunggal.
5. Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan
diyakini kebenarannya.
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.

B. SAKSI
(1) Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau
karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi
untuk hadir dan didengar keterangannya dalam
persidangan.
(2) Saksi yang diperintahkan oleh Hakim Ketua wajib datang di
persidangan dan tidak diwakilkan.
(3) Dalam hal saksi tidak dating meskipun telah dipanggil
dengan patut dan Majelis dapat mengambil putusan tanpa
mendengar keterangan saksi, Hakim Ketua melanjutkan
persidangan.
(4) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan
patut, dan Majelis mempunyai alasan yang cukup untuk
menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, serta
Majelis tidak dapat mengambil putusan tanpa keterangan
dari saksi dimaksud, Hakim Ketua dapat meminta bantuan
polisi untuk membawa saksi ke persidangan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 22


(5) Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang
diminta oleh pihak yang bersangkutan menjadi beban dari
pihak yang meminta.
(6) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(7) Hakim Ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kewarganegaraan, tempat tinggal, agama , pekerjaan,
derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan
pemohon Banding / penggugat atau dengan terbanding /
tergugat.
(8) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
(9) Yang tidak boleh didengar keterangannya sebagai saksi
adalah:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis
keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau penggugat
meskipun sudah bercerai;
c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. Orang sakit ingatan
(10) Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua dapat meminta
pihak yang tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c
untuk didengar keterangannya.
(11) Pihak yang dimaksud dapat menolak permintaan Hakim
Ketua untuk memberikan keterangan.
(12) Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib
merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan
kewajiban merahasiakan dimaksud ditiadakan.
(13) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu
pihak disampaikan melalui Hakim Ketua.
(14) Apabila pertanyaan dimaksud menurut pertimbangan
Hakim Ketua tidak ada kaitannya dengan sengketa,
pertanyaan itu ditolak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 23


(15) Apabila pemohon Banding atau penggugat atau saksi tidak
paham Bahasa Indonesia, Hakim Ketua menunjuk ahli alih
bahasa.
(16) Sebelum melaksanakan tugas mengalihbahasakan yang
dipahami oleh pemohon Banding atau penggugat atau
saksi ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya, ahli alih
bahasa dimaksud diambil sumpah atau janji menurut
agama atau kepercayaannya.
(17) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh
ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa
dimaksud.
(18) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi,
ternyata bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, Hakim
Ketua menunjuk orang yang pandai bergaul dengan
pemohon Banding atau penggugat atau saksi, sebagai ahli
alih bahasa.
(19) Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa diambil
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
(20) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi,
ternyata bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, Hakim
Ketua dapat memerintahkan Panitera menuliskan
pertanyaan atau teguran kepada pemohon Banding atau
penggugat atau saksi, dan memerintahkan menyampaikan
tulisan itu kepada pemohon Banding atau penggugat atau
saksi dimaksud, agar ia menuliskan jawabannya, kemudian
segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.
(21) Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar
keterangannya dalam persidangan dengan dihadiri oleh
terbanding atau tergugat.
(22) Apabila terbanding atau tergugat telah dipanggil secara
patut, tetapi tidak dapat dating tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, saksi diambil sumpah atau janji
dan didengar keterangannya tanpa dihadiri oleh terbanding
atau tergugat.
(23) Dalam hal saksi yang akan didengat tidak dapat hadir di
persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh
hukum, Majelis dapat datang ke tempat tinggal saksi untuk

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 24


mengambil sumpah atau janji dan mendengar keterangan
saksi dimaksud tanpa dihadiri oleh terbanding atau
tergugat.

(K) PUTUSAN PENGADILAN PAJAK


A. (1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan Putusan akhir
dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putus sela atas
Gugatan berkenaan dengan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan Penagihan Pajak ditunda selama Pemeriksaan
Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan
Pengadilan Pajak (Pasal 43 (2)).
(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung.
(4) Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil
penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan
keyakinan Hakim.
(5) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan
Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang
dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah
tidk dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan
suara terbanyak.
(6) Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara
musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga
putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim
Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut
dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.
B. (1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa :
a. menolak;
b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c. menambah Pajak yang harus dibayar;
d. tidak dapat diterima;
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung;
dan/atau
f. membatalkan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 25


(2) Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan
Gugatan, Banding, atau kasasi.
C. (1) Putusan pemriksaan dengan acara biasa atas banding
diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat
Banding diterima.
(2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan
diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat
Gugatan diterima.
(3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu pada angka (1)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal-hal khusus, jngka waktu pada angka (2)
diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan
pelaksanaan penagihan Pajak, tidak diputus dalam jangka
waktu pada angka (2), Pengadilan Pajak wajib mengambil
putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam)
bulan dimaksud melampaui.

D. (1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap


Sengketa Pajak tertentu (lihat hal 92), dinyatakan tidak
dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut :
a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding
atau Gugatan dilampaui;
b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima
dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan
dilampaui.
(2) Putusan / penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan
muatan Putusan Pengadilan Pajak (lihat V.2.c) berupa
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung,
diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah
satu pihak diterima.
(3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang
didasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang Pengadilan Pajak (lihat bagian C.9. bagian e),
berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 26


(tiga puluh) hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan
diterima.
(4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap
Sengketa Pajak pada angka (3), pemohon Banding atau
penggugat dapat mengajukan Gugatan kepada peradilan
yang berwenang.
E. (1) Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan diatas, putusan Pengadilan
Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan
karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali
dalam sidang terbuka untuk umum.
F. (1) Putusan Pengadilan Pajak harus memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau
identitas lainnya dari pemohon Banding atau penggugat.
c. nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat
d. hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan
e. ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat
Uraian Banding atau Surat Tanggapan, atau Surat
Bantahan, tang jelas
f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan
dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa
itu diperiksa
g. pokok sengketa
h. alasan hukum yang menjadi dasar putusan
i. amar putusan tentang sengketa, dan
j. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutusa, nama
Panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan diatas
menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua
memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan
kembali dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud telah
melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 27


(3) Ringkasan Banding / Gugatan / SUB / ST tidak diperlukan
dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap
Sengketa Pajak yang diperiksa dengan acara cepat karena
putusan P.P. tidak memenuhi syarat muatan (lihat bagian
C.9. bagian e) dan bukan wewenang P.P (lihat bagian C.9.
bagian e)
(4) Putusan Pengadilan Pajak harus ditandatangani oleh Hakim
yang memutuskan dan Paniteraa.
(5) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal yang
menyidangkan berhalangan menandatangani, putusan
ditandatangani oleh Ketua dengan menyatakan alasan
berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal.
(6) Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani,
putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua dengan
menyatakan alasan berhalangannya Hakim Aggota dimaksud.
G. (1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat
Berita
Acara Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi
dalam persidangan.
(2) Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau
Hakim Tunggal dan Panitera dan apabila salah seorang dari
mereka berhalangan, alasan berhalangannya itu dinyatakan
dalam Berita Acara Sidang.
(3) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera
berhalangan menandatangani, Berita Acara Sidang
ditandatangani oleh Ketua bersama salah seorang Panitera
dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Ketua
atau Hakim Tunggal dan Panitera.
H. PELAKSANAAN PUTUSAN
(1). Putusan Pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan
dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang
berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur
lain.
(2). Apabila putusan Pengadilan pajak mnegabulkan sebagian
atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 28


empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
(3). a. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan
Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh
Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela
diucapkan.
b. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh
Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.
c. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan
Pajak dalam jangka waktu dimaksud dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

(L) PENINJAUAN KEMBALI


A. PK KE MAHKAMAH AGUNG
(1) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1
(satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Pajak.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan
peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

B. HUKUM ACARA P.K.


Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan
peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini.

C. ALASAN PK
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 29


a. apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

b. apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat


menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan
di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
berbeda.
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang putusannya
mengabulkan sebagian / seluruh / menambah Pajak yang
harus dibayar (Pasal 80 (1), b, c)
d. apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, atau
e. apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

D. JANGKA WAKTU PENGAJUAN PK


(1) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan pada huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya
kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan pada huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat
bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di
bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(3) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan pada huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
putusan dikirim.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 30


E. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan
peninjauan kembali dengan ketentuan :
a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan
peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah
mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan
peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah
mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
(2) Putusan atas permohonan peninjauan kembali tersebut harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(M) KUASA HUKUM


Kuasa Hukum adalah seseorang yang diberikan kuasa penuh
untuk mewakili atau mendampingi para pihak yang bersengketa
dengan kuasa tertulis untuk memutus dan memberikan informasi
serta bukti-bukti yang diperlukan dalam persidangan Pengadilan
Pajak (Surat Kuasa Khusus).
Kuasa Hukum dimaksud terdiri dari :
1) Kuasa Hukum yang Pengacara, dan
2) Kuasa Hukum yang bukan Pengacara.
1. Kuasa Hukum Yang Pengacara
a. Syarat-syarat menjadi Kuasa Hukum yang Pengacara :
1) Warga Negara Indonesia (WNI)
2) Pengacara (berlisensi)
3) Sebagai ahli pajak
4) Memiliki NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja
(Formulir 1721 A1)

b. Tata Cara Mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar


Sebagai Kuasa Hukum yang Pengacara
1) Wajib mendaftarkan diri kepada Sekretariat Pengadilan
Pajak;
2) Melampirkan copy / salinan dokumen yang telah
dilegalisir :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 31


- Kartu Tanda Penduduk (KTP)
- Surat Ijin Praktek Pengacara
- Ahli Pajak (Brevet Konsultan Pajak / Ijasah)
- NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja
(Formulir 1721 A1)
- Pas Foto ukuran 2 x 3 cm, sebanyak 2 lembar

2. Kuasa Hukum Yang Bukan Pengacara


a. Syarat-syarat menjadi Kuasa Hukum yang bukan
Pengacara:
1) Warga Negara Indonesia (WNI)
2) Sebagai ahli pajak
3) Memiliki NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja
(Formulir 1721 A1)
b. Tata Cara Mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar
Sebagai Kuasa Hukum yang bukan Pengacara
1) Mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Sekretariat Pengadilan Pajak
2) Melampirkan copy / salinan dokumen yang telah
dilegalisir :
- Kartu Tanda Penduduk (KTP)
- Ahli Pajak (Brevet Konsultan Pajak / Ijasah)
- NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja
(Formulir 1721 A1)
- Pas Foto ukuran 2 x 3 cm, sebanyak 2 lembar.

3. Pengecualian
Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum tidak diperlukan
dalam hal yang mendampingi atau mewakili apemohon banding
atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua, pengurus, pegawai atau pengampu. Di
samping itu, untuk seseorang yang baru pertama kali
mendampingi atau mewakili pemohon banding / penggugat,
meskipun belum terdaftar atau memperoleh ijin sebagai Kuasa
Hukum dapat bertindak sebagai Kuasa Hukum, namun dalam
sidang berikutnya harus sudah terdaftar atau memperoleh ijin
sebagai Kuasa Hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 32


4. Lain-lain
a. Kuasa Hukum yang hadir dipersidangan diwajibkan :
- Menunjukkan Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Izin
sebagai Kuasa Hukum dari Pengadilan Pajak
- Menunjukkan Surat Kuasa Asli bermeterai dari pihak yang
diwakili atau didampingi
b. Surat Keterangan Terdaftar sebagai Kuasa Hukum dan Ijin
Kuasa Hukum berlaku 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
ditetapkan.
c. Surat Persetujuan dari Ketua Pengadilan Pajak untuk menjadi
Kuasa Hukum diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak persyaratan pendaftaran diri atau pemohonan ijin Kuasa
Hukum lengkap diterima di Sekretariat Pengadilan Pajak.
d. Kuasa Hukum dapat memberi kuasa untuk mewakilinya
dalam suatu persidangan hanya kepada kuasa hukum
lainnya, sepanjang dalam surat kuasa yang diterima dari
Pemohon Banding jelas menyatakan adanya kuasa substitusi.

3.3. LATIHAN 2
a. Jelaskan Ajaran Formal tentang timbulnya Utang Pajak!
Ajaran Formal adalah suatu ajaran timbulnya utang pajak, yang
meyatakan bahwa utang pajak timbul tanpa melihat adanya Tatbestand,
tetapi menggantungkan adanya pada adanya surat ketetapan pajak. Jadi
menurut ajaran ini utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya surat
ketetapan pajak. Walaupun Tatbestand telah dipenuhi, tetapi jika belum
dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak.
b. Apa dan terhadap apa keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak ?
Yang dimaksud dengan keberatan disini adalah keberatan yang diajukan
oleh Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU
KUP atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ke III berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
c. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Pajak !

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 33


Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan Pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan
Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.

4.3. RANGKUMAN
a. Syarat-syarat Banding adalah sebagai berikut :
1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia
kepada Pengadilan Pajak
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Jangka waktu di atas tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon
Banding.
4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
5. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
6. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang disbanding.
7. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang
terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
8. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka
waktunya.
b. Syarat-syarat Gugatan adalah sebagai berikut :
(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Pengadilan Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain
Gugatan dimaksud pada angka (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal diterima Keputusan yang digugat.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 34


(4) Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
(5) Perpanjangan jangka waktu pada angka (4) adalah 14 (empat belas)
hari terhitung sehjak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan
penggugat.
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan
diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.

c. Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak sebagai berikut :


(1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada
terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
sejak tanggal diterima Surat Banding atau Surat Gugatan.
(2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau dokumen
susulan kepada Pengadilan Pajak (Pasal 38) jangka waktu 14 (empat
belas) hari diatas dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen
susulan dimaksud.
(3) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding atau
Surat Tanggapan dalam jangka waktu :
a. 3 (tiga) bulan sejak yanggal dikirim permintaan Surat Uraian
Banding; atau
b. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan.
(4) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dimaksud oleh
Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding atau penggugat
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima.
(5) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat
Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding atau
Surat Tanggapan.
(6) Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding atau tergugat,
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat
Bantahan.
(7) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau
penggugat tidak memenuhinya, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan
pemeriksaan Banding atau Gugatan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 35


Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada
Ketua untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan
lisan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 36


DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i


MODUL 4
PERJANJIAN PERPAJAKAN
PENAGIHAN PAJAK
1. Pendahuluan ………………………………………………………………... 1
1.1 Deskripsi Singkat ……………………………………………………... 1
2. Kegiatan Belajar (KB) 1
PERJANJIAN PERPAJAKAN
2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......………………………………... 1
2.2 Latihan 1 ……………………………………………………………… 5
2.3 Rangkuman …………………………………………………………… 6
3. Kegiatan Belajar (KB) 2

PENAGIHAN PAJAK
3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .……………………………………. 7
A. Pejabat dan Juru Sita Pajak …………………………..................... 9
B. Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak .................................... … 13
C. Surat Paksa ………………………………….……………………. 14
D. Penyitaan ……………………………………………..................... 17
E. Pencegahan dan Penyanderaan ……………............................. … 25
F. Gugatan ….………………………………….……………………. 30
3.2 Latihan 2 ……………………………………………………………… 31
3.3 Rangkuman …………………………………………………………… 32
4. Test Formatif ……………………………………………………………….. 34
5. Kunci Jawaban Test Formatif ……………………………………………… 36
6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut …………………………………………… 36
7. Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 37

i
MODUL 4
PERJANJIAN PERPAJAKAN
PENAGIHAN PAJAK

1. PENDAHULUAN
1.1. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR
Tiap-tiap negar amempunyai ketentuan perundang-undangna
perpajakan sendiri berdasarkan falsafahnya yang dianut di negara yang
bersangkutan. Dalam Hukum Pajak dikenal asas-asas pemungutan pajak
antara lain asas domisli, asa sumber dan asas kebangsaan dan lain-lain.
Wewenang negara memungut pajak didasarkan pada asas
pemungutan yang dianutnya, dapat saling tumpang tindih sehingga
menimbulkan pajak ganda, dalam hal ini akan dirasakan Wajib pajak sebagai
beban yang sangat memberatkan.
Modul ini akan menguraikan sepitnas tentang perjanjian perpajakan
sebagai salah satu cara untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda.

2. Kegiatan Belajar (KB) 1

PERJANJIAN PERPAJAKAN

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Pajak berganda internasinal dapat terjadi karena adanya bentrokan
juridiksi (conflict of juridiction), karena masing-masing negara yang berdaulat
mempunyai kebebasan yang luas untuk memungut pajaknya masing-masing,
termasuk juga atas jubyek dari objek pajak yang berada di luar wilayah
negaranya.
Pajak berganda dapat juga terjadi karena perbedaan peraturan hukum
atau penjelasan yang berlainan dari peraturan.
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH. (1977:79), membedakan
kelompok-kelompok pajak berganda internasional

A. Subyek yang sama dikenalan pajak yang ada di beberapa negara, karena
:

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 1


a. Domisili rangkap
Wajib Pajak dianggap mempunyai domisili di masing-masing
negara, ini juga disebut conflict of resident rules.
Contoh: Wajib Pajak X dari negara A, berada 16 bulan di negara B.
Jika menurut peraturan negara A, Wajib Pajak yang meninggalkan
negara A tidak lebih dari 18 bulan masih dianggap sebagai wajib pajak
dalam negari, sedangkan negara B menganggap lebih dari 12 bulan di
negaranya sebagai wajib pajak negara B, maka X oleh dua negara a
dan B akan dikenakan pajak baik di negara A, maupun di negara B
untuk seluruh pendapatannya. (unbescrancnkter Steuerplicht).

b. Kewarganegaraan rangkap
Contoh: X oleh negara A dapat dianggap sebagai warga
negaranya karena ia dilahirkan dari seorang warga negara A (ius
sanguinis), sedangkan oleh negara B ia dianggap juga sebagai warga
negara B karena dilahirkan di wilayah negara B (ius soli).

c. Bentrokan asas domisili dengan asas kebangsaan


Contoh: X karena bertempat tinggal di negara A, yang
menganut asas domisili, dikenakan pajak oleh negara A untuk seluruh
pendapatanny yang diperoleh di mana saja (world wide income),
berdasarkan kewajiban pajak tak terbatas, sedangkan oleh negara B
yang menganut asas kewarganegaraan juga dikenakan pajak untuk
seluruh pendapatannya, karena X adalah warga negara di negara B.

B. Obyek yang sama yang merupakan bagian dari pendapatan yang


diperoleh atau transaksi yang dilakukan di negara lain dikenakan pajak
yang sama di lebih dari satu negara.
Contoh: X yang bertempat tinggal di negara A melakukan usaha di negara
B dengan suatu permanent establishment, dan dengan peraturan
pendirian tetap itu memberikan know how kepada relasinya di negara C.
Negara C dapat mengenakan pajak karena pendirian tetap itu ada di
negara B. Disini terjadi bentrokan antara tempat pendirian tetap dengan
tempat dilakukannya transaksi, ini disebut conflict of source rules.

C. Subjek yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan


world wide income, sedangkan di negara situs dikenakan pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 2


berdasarkan asas sumber, karena mempunyai pendapatan yang berasal
dari suatu sumber yang ada di negara itu. Disini terjadi bentrokan antara
asas domisili dan asas sumber.
Contoh:
X yang bertempat tinggal di negara A, melakukan perusahaan di negara B
dengan jalan permanent establishment. Negara A jika menganut asas
domisili akan mengenakan pajak kepada X berdasarkan personal
jurisdiction atas world wide income sedangkan negara B yang menganut
asas sumber akan mengenakan pajak X yang ada di negara itu
berdasarkan teritorial jurisdiction. Konflik semacam ini disebut juga conflict
of personal and ad rem jurisdiction.

D. Cara-Cara Menghindarkan Pajak Berganda


Di dalam praktek terdapat dua cara untuk menghindarkan pajak
berganda, yaitu:
a. Cara unilateral atau secara sepihak
Cara unilateral ini merupakan cara satu-satunya untuk menghindarkan
pajak berganda sebelum diterapkan traktat pajak. Negara yang
menggunakan cara unilateral, memasukkan ketentuan-ketentuan yang
dimaksudkan untuk menghindarkan pajak berganda dalam undang-
undangnya, sesuai dengan cara yang dianut pada pembuat undang-
undang di negaranya.
Di dalam undang-undang PPh diatur dalam Pasal 24 tentang Kredit
Pajak Luas Negeri, yang peraturan pelaksanaannya diatur dalam surat
Keputusan Menteri Keuangan No 216/KMK.04/1986.

b. Cara bilateral
Disamping cara unilateral yang diatur dalam Undang-undang
perpajakan sendiri, dikenal pula cara bilateral antar negara yaitu
dengan suatu traktat atau perjanjian penghindaran pajak berganda
lazim dikenal dengan Tax Treaty.
Secara sederhana dapat diuraikan cara penghindaran pajak berganda
sebagai berikut:

Pembebasan
Cara pembebasan meliputi dua, yaitu:
1) Pembebasan penuh.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 3


Cara ini menganut perhitungan pajak dengan mengabaikan
sepenuhnya penghasilan yang diperoleh atau diterima di luar
negeri.
Contoh: PT. X memperoleh:
Penghasilan di dalam negeri Rp. 80.000.000,-
Penghasilan di luar negeri Rp. 20.000.000,-
(Tarip di luar negeri 40%)
Pajak penghasilan yang terutang di Indonesia, dihitung hanya dari
jumlah penghasilan di Dalam Negeri saja yaitu dari jumlah Rp.
80.000.000,- menurut tarip pasal 17 PPH sebesar Rp.
22.000.000,-
2) Pembebasan dengan progresi
Cara ini menganut perhitungan dengan cara perhitungan pajak
yang terutang hanya atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di Dalam Negeri, tetapi mentrapkan tarif rata-rata atas
atas seluruh penghasilan Dalam Negeri dan luar Negeri.
Contoh:
PT. Y memperoleh penghasilan :
Dalam Negeri Rp. 80.000.000,-
Luar Negeri Rp. 20.000.000,-
(Tarif di luar negeri 40%)
Penghasilan kena pajak seluruhnya Rp. 100.000.000,- dihitung
dengan tarif 17 Undang-undang PPH Rp. 29.000.000,0 PPH
terhutang oleh PT. Y adalah 29% x Rp. 80.000.000,- = Rp.
23.200.000,-
Kredit
Penghindaran pajak berganda dengan cara kredit, meliputi dua
cara yaitu:
1. Kredit Penuh
Cara kredit penuh, dilakukan dengan menghitung pajak
terutang dengan cara mengkreditkan seluruh pajak yang telah
ibayar di Luar Negeri.
Contoh:
PT. Z memperoleh penghasila:
Dalam Negeri Rp. 80.000.000,-
Luar Negeri Rp. 20.000.000,-
(Tarip 40%)

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 4


Contoh:
Pajak yang terutang atas seluruh penghasilan dalam dan luar
negeri menurut Pasal 17 Undang-undang PPh atas jumlah Rp.
100.000.000,-
adalah sebesar Rp. 29.000.000,-
Pajak di luar negeri
40% x Rp. 20.000.000,- = Rp. 8.000.000,-
Masih harus dibayar = Rp. 21.000.000,-

2. Kredit terbatas atau kredit biasa


Cara ini menganut perhitungna dengan cara menghitung pajak
terhutang atas seluruh penghasilan diperoleh di Dalam Negeri
dan di Luar Negeri berdasarkan tarip di Dalam Negeri dan
Pajak yang dibayar di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan
syarat, misalnya paling tinggi sejumlah sebesar perbandingan
antara penghasilan di Luar Negeri terhadap seluruh
penghasilan dikalikan pajak yang terhutang atas seluruh
penghasilan.
Cara ini dianut di Indonesia dengan Pasal 24 Undang-undang
PPh disebut dengan kredit terbatas (ordinary credit methode).
Contoh:
PT. Girlan memperoleh penghasilan
Dalam Negeri Rp. 80.000.000,-
Luar Negeri Rp. 20.000.000,-
(Tarip 40%)
Pajak terhutang menurut tarip pasal 17 Undang-undang PPh
atas seluruh penghasilan Rp. 100.000.000,- adalah sebesar
Rp. 29.000.000,-
Yang dapat dikreditkan hanya :
20 / 100 x Rp. 29.000.000,- adalah Rp.5.800.000,-
Yang masih harus dibayar Rp. 23.200.000,-

2.2. LATIHAN 1
1) Mengapa terjadi pajak berganda?
- Pajak berganda terjadi karena adanya bentrokan jurisdiksi (conflict of
jurisdiction).
2) Metode apa yang dikenal dalam penghindaran pajak berganda bilateral?

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 5


- Metode yang dipakai dalam menghindar pajak berganda:
a. Metode pembebasan
b. Metode kredit
3) Menghindari pajak berganda unilatereal diatur dalam pasal berapa
Undang-undang PPh?
- Penghindaran paak berganda secara unilateral diatur dalam Pasal 24
Undang-undang PPh yang peraturan pelaksanaannya dalam Surat
Keputusan Menteri Keuangan No.216/KMK.04/1986

2.3. RANGKUMAN
a. Terjadinya pajak berganda karena conflict of jurisdiction, perbedaan
wewenang pemajakan, misalnya:
• Subyek yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara,
karena domisili rangkap, kewarganegaraan rangkap atau bentrok asas
domisili dan asas kebangsaan.
• Obyek yang sama merupakan bagian dari pendapatan yang diperoleh
atau transaksi yang dilakukan di negara lain di kenakan pajak yang
sama di lebih dari satu negara.
• Subyek yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal
berdasarkan world wide income, sedang dinegara situs dikenakan
berdasarkan asus sumber karena mempunyai pendapatan yang
berasal dari sumber yang ada di negara itu.

b. Cara menghindarkan pajak berganda dapat ditempuh dengan cara:


• Cara unilateral atau sepihak, dengan pasal-pasal yang ditentukan
dalam Undang-undang pajak yang bersangkutan.
• Cara perjanjian pajak berganda (Tax Treaty).

Metode yang digunakan antara lain:


1) Metode pembebasan
- Pembebasan penuh
- Pembebasan dengan progresi
2) Metode kredit
- Kredit Penuh
- Kredit biasa / kredit terbatas

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 6


3. Kegiatan Belajar (KB) 2

PENAGIHAN PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Dalam melaksanakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa perlu dketahui
dan dipahamibeberapa pengertian yang telah ditetapkan dalam Undang-
undang maupun peraturan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat
Paksa, antara lain:
a. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat,
termasuk Bea masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu;
c. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan;
d. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya. Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap,
serta bentuk badan usaha lainnya;
e. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Pemerintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Pencabulan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan
Lelang, Surat Perintah Penyandraan dan surat lain yang diperlukan untuk
penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung pajak tidak melunasi
sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Juru Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan
dan penyandraan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 7


g. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan;
h. Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termask sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam
surat ketetapan pajak atau suatu surat sejenisnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
i. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang
pajak dari suatu jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
j. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak;
k. Biaya penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan
Lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak;
l. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai, barang
penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
m. Objek sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan
jaminan utang pajak;
n. Lelang adalah setiap penjuala barang dimuka umum dengan cara
menawar harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan
peminat atau calon pembeli;
o. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melakukan penjualan
secara lelang;
p. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh
Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
q. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik
Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
r. Penyandraan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak dengan menempatkan di tempat tertentu;
s. Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan
penagihan pajak atau kepemilikikan barang sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 8


t. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memeringatkan, melaksanakan penagihan seketika atau sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyandraan, menjualan barang yang telah
disita;
u. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan obyek sita;
v. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota;
w. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan;
x. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

A. PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK


PEJABAT
a. Pengertian Pejabat
Pengertian mengenai pejabat diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 19
Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.
19 Tahun 2000.
Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Pemerintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabulan Sita, Pengumuman
Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyandraan dan surat
lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan
Penanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan ialah:
1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak, sebagai pejabat untuk
penagihan:
a) Pajak Penghasilan;
b) Pajak Pertambahan nilai;
c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai
pejabat untuk penagihan:
a) Pajak Bumi dan Bangunan;
b) Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 9


c. Wewenang Pejabat
Wewenang Pejabat tersebut adalah:
1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan berwenang mengangkat dan
memberhentikan Jurusita Pajak.
2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak melaksanakan tindakan
penagihan apabila pajak yang terutang sebagaiamana tercantum
dalam Surat Tagihan Pajak(SPT), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Barang (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Keputusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang dibayar setelah
jatuh tempo.
3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
melaksanakan tindakan penagihan apabila pajak yang terutang
sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak(STP), Surat
Ketetapan Pajak SKP), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (STB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, (SKPKB), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang
dibayar setelah jatuh tempo.
4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak apabila diminta oleh Kepala
Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan dapat melaksanakan
tindakan penagihan pajak untuk jenis pajak sebagaimana
dimaksudkan pada angka 3 (tiga), demikian pula sebaliknya
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dapat
melaksanakan tindakan penagihan pajak untuk jenis pajak
sebagaimana dimaksudkan pada angka 2 (dua).

JURU SITA PAJAK


a. Pengertian Jurusita
Pengertian jurusitas tercantum dalam Pasal 1 angkat 6 UU No. 19
Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.
19 Tahun 2000:

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 10


Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang
meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Sura
Paksa, penyitaan dan penyandraan.

b. Pejabat yang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak


Pejabat yang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak ialah:
1) Pejabat yang ditunjuk Menteri Keuangan untuk penagihan pajak
pusat.
2) Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.

c. Syarat-syarat diangkat menjadi Jurusita Pajak


Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita
Pajak adalah sebagai berikut:
1) Berijasah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau
yang setingkat dengan itu.
2) Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda / Golongan Iia.
3) Berbadan sehat dan tidak cacat phisik.
4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak.
5) Jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian.
Setelah memenuhi syarat-syarat, tersebut belum memangku
jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah dan janji menurut
agama atau kepercayaannya oleh Pejabat.

d. Pemberhentian Jurusita Pajak


Jurusita Pajak Diberhentikan apabila:
1) Meninggal dunia
2) Pensiun
3) Sakit jasmani atau rohani terus menerus
4) Ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas
5) Melakukan perbuatan tercela
6) Melanggar sumpah atau janji jurusita pajak
7) Karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya

e. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Jurusita Pajak


1) Tugas Jurusita Pajak
Tugas Jurusita Pajak ialah:

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 11


a) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus.
b) Memberitahukan Surat Paksa (dilaksanakan dengan cara
membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak
menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa
Surat Paksa sudah diberitahukan dan selanjutnya salinan
Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak dan asli
Surat Paksa disimpan di kantor Pejabat.
c) Melaksanakan penyitaan berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
d) Melaksanakan Penyandraan berdasarkan Surat Perintah
Penyanderaan.
2) Wewenang Jurusita Pajak
Wewenang jurusita Pajak Meliputi:
a) Meliputi dan memeriksa semua ruangan, termasuk membuka
lemari, laci dan tempat lain untuk menemukan objek sita.
b) Meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman,
Pemda setempat, BPN, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan
Negeri, Bank atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan
penagihan pajak.
c) Menjelaskan tugasnya serta memberitahukan maksud dan tujuan
penyitaan.
3) Kewajiban Jurusita Pajak
Kewajiban Jurusita Pajak adalah:
a) Memperlihatkan Tanda Pengenal Jurusita Pajak
b) Memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
c) Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) ditandatangani
oleh jurusita, Saksi-saksi dan Penanggung Pajak.
d) Menempelkan salinan BAPS pada barang yang disita atau tempat
barang yang disita berada atau di tempat umum kecuali jika
barang yang disita sesuai sifatnya tidak dapat ditempeli salinan
BAPS.
e) Menempelkan segel sita pada barang yang disita.
f) Membuat pengumuman lelang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 12


B. TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK
Dasar Penagihan Pajak
Dasar penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
yaitu:
a. Surat Tagihan Pajak (STP)
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
d. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah
e. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah
f. Putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.

Tata cara dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan pajak.


Tata cara dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 sebagai berikut:
a. Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan penerbitan Surat
Teguran oleh Pejabat atau kuasa yang ditunju oleh Pejabat tersebut
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaan.
Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang telah
disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
b. Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi
oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari
sejak diterbitkannya Surat Teguran, Pejabat segera menerbitkan Surat
Paksa.
c. Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi
oleh Penanggungan Pajak setelah lewat 2 x 24 (dua puluh empat) jam
setelah Surat Paksa diberitahukan kepadanya, Pajabat segera
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
d. Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibaya
tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, Pejabat segera
melaksanakan pengumuman lelang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 13


e. Apabila utang pajak dan biaya pengihan yang masih harus dibayar
tidak dilunasi oleh Penanggungan Pajak setelah lewat waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, Pejabat segera
melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui Kantor
Lelang.
f. Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang waktu
21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan apabila
terhadap Penanggung Jawab dilakukan Penagihan Seketika dan
Sekaligus.

Penagihan Seketika dan Sekaligus diperbitkan oleh Pejabat apabila:


1) Penanggungan pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu.
2) Penangguhan Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia,
ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya.
3) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan
badan usahanya dan berniat untuk itu.
4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau
5) Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

C. SURAT PAKSA
Pengertian Surat Paksa
Pengertian Surat Paksa tercantum dalam Pasal 1 angka 12 Undang-
undang No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 19 Tahun 2000.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
Isi dan karakter Surat Paksa.
Surat Paksa dapat ditinjau dari dua segi yaitu:
a. Surat Paksa ditinjau dari segi isinya.
Surat Paksa ditinjau dari segi isinya, memuat :
1) Titel eksekusi tercemin dari Kepala Surat Paksa yang berkepala :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” sesuai dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 14


2) Nama NPWP, alamat Penanggung Pajak / Wajib Pajak.
3) Jenis Pajak, Tahun Pajak, No. Surat Ketetapan Pajak, dan Jumlah
Tunggakan Pajak yang belum dilunasi.
4) Perintah kepada Penanggung Pajak untuk membayar jumlah
tunggakan pajak ke Kantor Pos dan Giro / Bank Persepsi,
ditambah dengan biaya penagihan Pajak dalam waktu 2 (dua) kali
duapuluh empat jam sesudah pemberitahuan Surat Paksa.
5) Perintah kepada Jurusita yang melaksanakan Surat Paksa untuk
melakukan penyitaan atas barang-barang milik Penanggung Pajak
apabila dalam waktu 2 (dua) kali duapuluh empat jam Surat Paksa
tidak dipenuhi.
b. Surat Paksa ditinjau dari segi karakternya
1) Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse Putusan
hakim dalam perkara perdata.
2) Surat Paksa tidak dapat dimintakan banding lagi kepada Hakim
atasan.
3) Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van
gewijsde).
4) Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak (pokok, bunga,
denda dan kenaikan) dan bukan pajak (biaya penagihan sseperti
biaya penyimpanan SP, SPMP, pengumuman lelang, bea lelang
dan lain-lain).
c. Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak
Penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak diatur dalam
Pasal Undang-undang tersebut di atas antara lain ditentukan :
1) Pemberitahuan Surat Paksa kepada orang pribadi.
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di
tempat lain yang memungkinkan.
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang
bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila
Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.
c) Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang
mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, atau
d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan
harta warisan telah dibagi.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 15


2) Pemberitahuan Surat Paksa kepada badan.
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
a) pengurus, kepala perwakilan, kepada cabang, penanggung
jawab, pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang
bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain
yang memungkinkan, atau
b) pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan
yang bersangkutan apabila-jurusita Pajak tidak dapat
menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf
a)
c) dalam hal Wajib Pajak dinyatakan Pailit, Surat Paksa
diberitahukan kepada Hakim Komisaris atau Balai Harta
Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar
atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang
atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau
likuidator.
d) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan Surat
kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima
kuasa dimaksud.
e) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
padda angka 1) ddan 2) huruf a) dan b) tidak dapat
dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah
Daerah setempat.
3) Pemberitahuan Surat Paksa dalam hal Penanggung Pajak tidak
diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat
kedudukannya. Penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan
cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, mengumumkan melalui
media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri atau Kepala Daerah.
4) Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak di wilayah
Kantor Pelayanan Pajak lain / diluar wilayah kerja Pejabat.
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan, kepada
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat
Paksa, kecuali ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Daerah.
5) Dalam hal Penanggung Pajak, menolak menerima Surat Paksa.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 16


Dalam hal Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa,
Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa di tempat kediaman /
tempat kedudukan Penanggung Pajak atau wakilnya dan
mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak
mau menerima Surat Paksa, dan Paksa dianggap telah
diberitahukan.

D. PENYITAAN
Pengertian Penyitaan
Pengertian penyitaan dicantumlan dalam Pasal 1 angka Undang-undang
No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 19 Tahun 2000 :
Tahun 2000 :
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang
Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang Pajak
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Proses Penyitaan barang milik Penanggung Pajak


Proses penyitaan barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sebagai
berikut :
a. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan
oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak /
PBB.
b. Penyitaan dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 Jam sejak tanggal SP
diberitahukan bila utang pajak tidak dilunasi.
c. Pelaksanaan dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan 2 orang saksi
(dewasa, penduduk Indonesia, dikenal dan dapat dipercaya).
d. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus terlebih dahulu :
1) Memperkenalkan diri
2) Memerlihatkan Kartu Pengenal Jurusita
3) Memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Pernyitaan
4) Memberitahukan maksud dan tujuan penyitaan
e. Barang yang dapat disita terlebih dahulu adalah barang bergerak, bila
tidak mencukupi baru disita barang tidak bergerak kecuali apabila
tidak ada obyek sita untuk barang bergerak langsung barang tidak
bergerak. Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 17


tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain
termauk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang
dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu.
f. Penyitaan barang dimaksud meliputi:
a. Barang bergerak (mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening, giro atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, obligai, saham atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan
lain).
b. Barang Tidak Bergerak (tanah, bangunan dan kapal dengan isi
tertentu).
g. Barang Bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari
penyitaan adalah :
1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang
digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi
tanggungannya.
2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan
beserta peralatan memasak yang berada dirumah.
3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas.
4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan
Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk
pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.
5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah), dan
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung
Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
h. Jurusita harus membuat Berita Acara P\elaksanaan Sita yang ditanda
tangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan Saksi-saksi.
i. Apabila Penanggung Pajak menolak untuk menanda tangani BAPS,
Jurusita harus mencantumkan penolakan tersebut dalam BAPS dan
ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi, BAPS tetap sah dan
mempunyai kekuatan mengikat.
j. Sekalipun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan dapat
dilaksanakan dengan syarat salah seorang saksi berasal dari Pemda

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 18


setempat, sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan / Kepala
Desa dan BAPS ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi, BAPS
tetap sah dan mengikat.
k. Salinan BAPS dapat ditempel pada Barang Bergerak atau Barang
Tidak Bergerak yang disita atau di tempat barang tersebut berada
atau ditempat-tempat umum.
l. Salinana BAPS disampaikan kepada :
1) Penanggung Pajak
2) Polisi untuk Barang Bergerak yang kepemilikannya terdaftar
3) BPN untuk tanah yang sudah terdaftar
4) Pemda dan Pengadilan Negeri setempat untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar.
5) Dirjen Perhubungan Laut untuk kapal
m. Penyitaan terhadap barang Penanggung Pajak dilaksanakan sampai
dengan jumlah yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan. Pengajuan keberatan tidak
mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
n. Barang yang disita dapat dititipkan pada :
1) Penanggung Pajak
2) Dititipkan di kantor Pejabat apabila dipandang perlu
3) Ditempat lain antara lain Kantor Pegadaian, Bank atau Kantor Pos
dan Giro
o. Penyitaan tambahan dapat dilakukan apabila barang yang, disita tidak
mencukupi untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang sama.
p. Atas Barang Yang disita dapat ditempel atau diberi segel SITA.
Penempelan Segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis,
sifat dan bentuk barang sitaan.
Segel sita memuat sekurang-kurangnya :
1) Kata “DISITA”
2) Nomor dan tanggal BAPS
3) Larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak,
meminjamkan, merusak barang yang disita dengan ancaman
hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun sesuai dengan
Pasal 231 KUHP.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 19


q. Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau
Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana adalah sebagai
berikut :
1) Jurusita Pajak akan menyita barang bukti tersebut bila proses
pembuktian telah selesai setelah terlebih dahulu menyampaikan
Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan bahwa barang
tersebut merupakan obyek sita.
2) Sebelum obyek sita dikembalikan kepada Penanggung Pajak,
Kejaksaan atau Kepolisian memberitahukan kepada Pejabat yang
menerbitkan Surat Paksa.
3) Walaupun barang yang disita telah dikembalikan kepada
Penanggung Pajak penyitaan tetap dapat dilaksanakan.
r. Semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau
instansi lain misalnya Panitia Urusan Piutang Negara tidak boleh
dilakukan penyitaan kembali oleh Jurusita Pajak.
Upaya Jurusita adalah :
1) Menyampaikan salinan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri
atau instansi yang berwenang.
2) Barang yang disita sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak.
3) Pengadilan Negeri atau Instansi lain yang berwenang menentukan
hak pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan hak
mendahulu.
4) Putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap disampaikan kepada Kantor Lelang untuk
dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.
s. Pencabutan sita dilaksanakan apabila :
1) Telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak.
2) Berdasarkan putusan Pengadilan.
3) Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
4) Ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Gubernur atau Bupati /
Walikota.
Pencabutan Sita dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita
yang diterbitkan oleh Pejabat sekaligus berfungsi sebagai pencabutan
BAPS dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung
Pajak dan Instansi terkait diikuti dengan pengembalian penguasaan
barang yang disita kepada Penanggung Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 20


Tata Cara Penyitaan terhadap barang Bergerak
Tata cara penyitaan terhadap Barang Bergerak dilaksanakan sebagai
berikut :
a. Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya :
Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya
dilaksanakan sebagai berikut :
1) Membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang
disita dalam satu daftar merupakan lampiran BAPS.
2) Membuat BAPS.
b. Penyitaan terhadap uang tunai / mata uang asing
Penyitaan terhadap uang tunai / mata uang asing dilaksankan sebagai
berikut :
1) Menghitung uang tunai terebut dan membuat rinciannya dalam
suatu daftar yang merupakan lampiran BAPS.
2) Membuat BAPS.
3) Menyimpan uang tersebut pada tempat penyimpanan dan
ditempeli dengan segel sita kemudian menitipkannya pada
Penanggung Pajak atau pada Bank.
c. Penyitaan terhadap kekayaan yang tersimpan di bank. Penyitaan
terhadap kekayaan yang tersimpan di bank, berupa deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya
yang dipersamakan, dilaksanakan sebagai berikut :
1) Penyitaan terhadap kekayaan tersebut diatas dilaksanakan
dengan pemblokiran terlebih dahulu.
2) Pemblokiran diajukan oleh Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan
Pajak / PBB) kepada pimpinan Bank tempat kekayaan
Penanggung Pajak disimpan disertai salinan Surat Paksa dan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
3) Pimpinan Bank yang bersangkutan wajib melaksanakan
pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran
dari pejabat yang membuat Berita acara pemblokiran yang
tindasannya disampaikan kepada Penanggung Pajak yang
meminta pemblokiran.
4) Penyitaan dilaksanakan :
a) Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran,
memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 21


kuasa kepada Bank agar memberitahukan saldo kekayaannya
yang tersimpan pada Bank tersebut kepada Jurusita.
b) Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa kepada
Bank, Pejabat meminta kepada Menteri Keuangan untuk
memerintahkan Bank yang bersangkutan untuk
memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak kepada
Pejabat.
c) Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak diketahui, maka
Jurusita Pajak melakukan penyitaan.
d) Jurusita membuat BAPS, ditanda tangani oleh Jurusita, Saksi-
saksi dan pimpinan Bank atau pejabat Bank yang ditunjuk.
e) Jurusita Pajak menyampaikan salinan BAPS kepada
Penanggung Pajak dan pimpinan Bank yang bersangkutan.
5) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada
Bank, setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan, atau
6) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran atas
kekayaan Penanggung Pahaj setelah dikurangi dengan jumlah
yang disita, apabila Penanggung Pajak belum melunasi utang
pajak dan biaya penagihan meskipun telah dilakukan pemblokiran.
7) Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan sita,
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penyitaan, pejabat segera meminta kepada pimpinan Bank untuk
memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan di Bank ke kas Negara atau ke Kas Daerah sejumlah
yang tercantum dalam BAPS.
8) Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan
barang sitaan dimaksud untuk melunasi biaya penagihan dan
utang pajak.
9) Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan Surat
Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan tembusannya
disampaikan kepada pimpinan Bank yang bersangkutan.
d. Penyitaan terhadap Surat Berharga berupa Obligasi, Saham dan
sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 22


Penyitaan terhadap Surat Berharga berupa Obligasi, Saham dan
sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai
berikut :
1) Pemblokiran Rekening Efek pada Kustodian dilaksanakan
berdasarkan permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak atau
Pejabat yang ditunjuk kepada Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dengan menyebutkan nama Pemegang Rekening, nomor
Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak, sebab dan
alasan perlunya pemblokiran.
2) Berdasar permintaan tersebut, Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk
melakukan pemblokiran terhadap Rekening Efek Penanggung
Pajak.
3) Berdasar perintah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Kustodian
melakukan pemblokiran.
4) Dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan
permintaan keterangan tentang Rekening Efek pada Kustodian,
maka permintaan tertulis Direktorat Jenderal Pajak harus memuat
nama pejabat yang berwenang mendapatkan keterangan tersebut.
5) Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan
keterangan tentang Rekening Efek Pemegang Rekening membuat
Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian
Keterangan.
Berita acara disampaikan :
a) Kepada Direktur Jenderal Pajak
b) Salinan diberikan kepada :
- Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
- Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak
Berita Acaranya dikirimkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
setelah pemblokiran dan pemberian keterangan tersebut.
6) Setelah menerima Berita acara tersebut Jurusita melakukan :
a) Penyitaan atas Efek dan atau dana dalam Rekening Efek pada
Kustodian
b) Membuat BAPS, ditandatangani Jurusita, Penanggung Pajak
dan saksi-saksi. Apabila Penanggung Pajak tidak hadir cukup
ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi saja.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 23


c) BAPS disampaikan kepada Penanggung Pajak dan salinannya
disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Kustodian.
d) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan, maka permintaan pencabutan pemblokiran
tersebut dikurangi dengan jumlah barang yang disita.
e) Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di
bursa melalui Perantara Pedagang Efek Anggota Bursa atas
permintaan Pejabat.
e. Penyitaan terhadap piutang
Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut :
1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang jenis
dan jumlah piutang yang disita yang merupakan lampiran BAPS.
2) Membuat BAPS.
3) Membuat berita acara persetujuan pengalihan hak menagih
piutang dari Penanggung Pajak kepada pejabat dan salinannya
disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang
berkewajiban membayar hutang.
f. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligai, saham dan
sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek.
Penyitaan dilaksanakan sebagai berikut :
1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang jenis,
jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat
berharga yang disita yang merupakan lampiran BAPS.
2) Membuat BAPS.
3) Membuat Berita Acara pengalihan hak surat berharga atas nama
dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
g. Penyitaan terhadap penyertaan Modal pada perusahaan lain yang
tidak ada surat sahamnya.
Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang
tidak ada surat sahamnya dilaksanakan sebagai berikut :
1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang
jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain yang merupakan
lampiran BAPS.
2) Membuat BAPS
3) Membuat akte persetujuan pengalihan hak penyertaan modal
pada perusahaan lain dari Penanggung Pajak kepada Pejabat,

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 24


dan salinannya disampaikan kepada perusahaan tempat
penyertaan modal.

E. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN


Pencegahan terhadap Penanggung Pajak
a. Arti Pencegahan
Arti pencegahan diatur dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang nomor. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara
Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b. Tata Cara Pencegahan
Tata cara pencegahan diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32
Undang-undang tersebut di atas.
Tata cara Pencegahan terhadap Penanggung Pajak dilaksanakan
sebagai berikut :
1) Tndakan pencegahan hanya dapat ddilakukan terhadap
Penanggung Pajak yang :
a) Mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak
c) Berdasarkan Keputusn Menteri Keuangan atas permintaan
Pejabata atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
2) Jangka waktu pencegahan paing lama 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjang untuk sselama-lamanya 6 (enam) bulan.
3) Keputusan pencegahan disampaikan kepada :
a) Penanggung Pajak yang bersangkutan
b) Menteri Kehakiman
c) Pejabat yang memohon pencegahan dan atasan Pejabat yang
bersangkutan
4) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang
sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan atau ahli waris.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 25


5) Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan
hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan
pajak.

Penyanderaan Penanggung Pajak


a. Pengertian Penyanderaan
Pengertian penyanderaan di atur dalam Pasal 1 angka 21 Undang-
Undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubag dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
b. Tata Cara dan Tempat Penyanderaan Penanggung Pajak
Masalah penyanderaan diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal
36 Undnag-undang tersebut diatas.
Tata Cara Penyanderaan dilaksanakan sebagai berikut :
1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung
Pajak yang :
a) Mempunyai utang pajk sekurang-kurangnya sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak
2) Penyanderaan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah
Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah memperoleh
izzin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan Pajak Pust
dan dari Gubernur untuk penagihan Pajak Daerah.
3) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Pejabat atau atasan
Pejabat kepada Menteri Keuangan untuk penagihan Pajak Pusat
dan kepada Gubernur untuk penagihan pajak daerah.
4) Permohonan izin penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:
a) identitas Penanggung Pajak
b) jumlah utang pajak yang belum dilunasi
c) tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan
d) uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak
diragukan itikad baiknya dalam melunai utang pajak.
5) Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat seketika
setelah diterima izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk
penagihan Pajak Pusat atau dari Gubernur untuk penagihan Pajak
Daerah.
6) Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 26


a) identitas Penanggung Pajak
b) alasan penyanderaan
c) izin penyanderaan
d) lama penyanderaan
e) tempat penyanderaan
7) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung
Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak.
8) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung
Pajak :
a) Sedang beribadah
b) Sedang mengikuti sidang resmi
c) Sedang mengikuti pemilihan umum
9) Penanggung Pajak yang disander ditempatkan di tempat tertentu
sebagai tempat penyanderaan dengan syarat-syarat sebagai
berikut :
a) tertutup dan terasing dari masyarakat
b) mempunyai fasilitas terbatas
c) mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang
memadai.
Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud diatas
dibentu, Penanggung Pajak yang disandera, dititipkan di
rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain.
10) Jangka wkatu penyanderaan paling lam 6 (enam) bulan terhitung
sejak Penanggung Pajak ditempatkan ditempat penyanderaan dan
dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
11) Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan
langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan
kepada Kepala tempat penyanderaan.
12) Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat
ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat atau atasan Pejabat
dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk
menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditermukan
tersebut.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 27


13) Penyanderaan dilaksanakan pada saat Surat Perintah
Penyanderaan diterima oleh Penanggung Pajak yang
bersangkutan.
14) Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi penduduk
Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak yang
dapat dipercaya. Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita
Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan.
15) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan pada saat
Penanggung Pajak ditempatkan di tempat penyanderaan, dan
Berita Acara Penyanderaan ditanda tangani oleh Jurusita Pajak,
Kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi.
16) Berita Acara Penyanderaan sekurang-kurangnya memuat :
a) nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan
b) izin tertulis Menteri Keuangan atau Gubernur
c) identitas Penanggung Pajak
d) tempat penyanderaan
e) lamanya penyanderaan
f) identitas saksi penyanderaan
17) Salinan Berita Acara Penyanderaan dimaksud disampaikan
kepada Kepala tempat penyanderaan, Penanggung Pajak yang
disandera, dan Gubernur.
18) Penanggung Pajak yang disandera dapat dilepaskan :
a) apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar
lunas.
b) apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah
Penyanderaan telah dipenuhi.
c) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau
d) berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan
atau Gubernur.
19) Pejabat memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat
penyanderaan apabila Penanggung Pajak akan dilepas dari
penyanderaan.
20) Kepala tempat penyanderaan segera memberitahukan secara
tertulis kepada Pejabat apabila Penanggung Pajak telah dilepas
dari tempat penyanderaan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 28


21) Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan
menurut Surat Peruntah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan
terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang
telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri.
22) Masa penyanderaan kembali adalah sama dengan masa
penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu
diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa
penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Pajak
melarikan diri.
23) Penyanderaan tetap dapat dilakasanakan terhadap Penanggung
Pajak yang telah dilakukan pencegahan. Penyanderaan tidak
mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya
pelaksanaan penagihan pajak.
24) Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang
disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan.
25) Selama masa penyanderaan Penanggung Pajak berhak untuk :
a) melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing,
b) memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku,
c) mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman
dari keluarga,
d) menyampaikan keluhan tentang perlakukan petugas,
e) memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya
Penanggung pajak yang disandera,
f) menerima kunjungan dari :
- keluarga dan sahabat
- dokter pribadi atas biaya sendiri
- rohaniwan
26) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan
terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan
Negeri. Gugatan Penanggung Pajak tidak dapat diajukan setelah
masa penyanderaan terakhir.
27) Dlam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan
dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Penanggung Pajak dapat mengajukan pemohonan rehabilitasi
nama baik dan ganti rugi. Permohonan Penanggung Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 29


diajukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Perintah
Penyanderaan.
28) Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1
(satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala
nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling
lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak.
29) Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung
Pajak adalah sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap
hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaninya.

F. GUGATAN
Arti Gugatan
Arti gugatan diatur dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang no. 1 Tahun
1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undnag Nomor 19
Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
Gugatan atau sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanan
penagihan pajak atau kepemilikan barang sebagaiman diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sanggahan
a) Sanggahan ke Pengadilan Negeri
Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
diatur dalam Pasal 38 Undang-undang No. 19 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2000 yang menyatakan bahwa :
1) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri.
2) Pengadilan Negeri yang menerima surat gugatan memberitahukan
kepada Pejabat.
3) Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya
terhadap barang yang digugat kepemilikannya sejak menerima
pemebritahuan dari Pengadilan Negeri.
4) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
b) Gugatan Penanggung Pajak ke Pengadilan Negeri

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 30


Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan diatur
dalam Pasal 23 (2) Undang-undang KUP dan Pasal 37 Undang-
undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubag dengan
Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa,
SPMP atau Pengumuman lelang hanya dapat diajukan ke Pengadilan
Pajak.

3.2. LATIHAN 2
a. Sebutkan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan dan
terhadap jenis-jenis pajak apa saja?
Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan ialah
1) Pejabat Kantor Pelayanan Pajak, sebagai pejabat untuk penagihan:
a) Pajak Penghasilan;
b) Pajak Pertambahan Nlai;
c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai pejabat
untuk penagihan:
a) Pajak Bumi dan Bangunan
b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
b. Siapa yang disebut dengan Juru Sita Pajak?
Pengertian Jurusita tercantum dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 19 Tahun
1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2000:
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, Pemberitahuan Surat Paksa,
Penyitaan dan Penyandraan.
c. Sebutkan yang menjadi dasar Penagihan Pajak!
Dasar Penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 6 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
yaitu:
a. Surat Tagihan Pajak (STP).
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 31


d. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.
e. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.
f. Putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.

3.3. RANGKUMAN
a. Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh Pejabat apabila:
1) Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu.
2) Penangguhan Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia,
ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya.
3) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan
badan usahanya dan berniat untuk itu.
4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau
5) Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
b. Pemberitahuan Surat Paksa kepada orang pribadi.
Surat paksa diberiahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain
yang memungkinkan.
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja
di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai.
c) Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus
harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan
harta warisan belum dibagi, atau
d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta
warisan telah dibagi.
c. Pemberitahuan Surat Paksa kepada badan
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
pemilik modal baik di tempat keduduka badan yang bersangkutan, di
tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan
atau

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 32


b) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan usaha
yang bersangkutan apabila-jurusita Pajak tidak dapat menjumpai
salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf (a).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 33


4. TES NORMATIF
Nyatakan B(Benar), kalau pernyatan di bawah ini benar, dan nyatakan
S(Salah), kalau pernyataan ini salah.

a. B - S Penyitaan adalah tindakaj Jurusita Pajak untuk menguasai,


barang Penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku.
b. B - S Penyitaan dilakukan dalam jangka waktu 2 x 2 hari sejak
tanggal SP diberitahukan bila utang pajak tidak dilunasi.
c. B - S Barang yang dapat disita terlebih dahulu adalah barang
bergerak, bila tidak mencukupi baru disita barang tidak
bergerak kecuali apabila tidak ada obyek sita untuk barang
bergerak langsung barang tidak bergerak. Barang yang dapat
disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat
usaha, tempat kedudukan atau tempat lain termasuk
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani
dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu.
d. B - S Penyitaan barang meliputi:
a. Barang bergerak (mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening, giro atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham
atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal
pada perusahaan lain.
b. Barang tidak bergerak (tanah, bangunan, dan kapal dengan
isi tertentu).
e. B - S Penyitaan tambahan dapat dilakukan apabila barang yang
disita dan tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan yang sama.
f. B - S Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan
atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana
adalah sebagai berikut:
1) Jurusita Pajak akan menyita barang bukti tersebut bila
proses pembuktian telah selesai setelah terlebih dahulu

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 34


meyampaikan surat paksa dengan dilampiri surat
pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan obyek
sita.
2) Sebelum obyek sita dikembalikan kepada Penanggung
Pajak, Kejaksaan atau Kepolisian memberitahukan kepada
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa.
3) Walaupun barang yang disita telah dikembalikan kepada
Penanggung Pajak penyitaaan tetap dapat dilaksanakan.
g. B - S Pencegahan adalah larangan yang bersifat tetap terhadap
Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara
Republik Indonesia berdasarkan alas an tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
h. B - S Tindakan pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap
Penanggung Pajak yang:
a. Mempunyai jumlah utang pajak dibawah Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah).
b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak.
c. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atas permintaan
Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
i. B - S 1) Penyandraan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung
Jawab yang:
a. Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
2) Penyandraan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah
Penyandraan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk
penagihan Pajak Pusat dan dari Gubernur untuk penagihan
Pajak Daerah.
j. B - S Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang
disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 35


5. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
a = B f = B
b = S g = S
c = B h = S
d = B i = B
e = B j = S

6. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT


Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat
pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2
Rumus :
Jumlah jawaban Anda yang benar
Tingkat penguasaan = X 100%
10

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :


90% - 100% = Baik sekali
80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
- = Kurang
69%

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih?


Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 terutama bagian
yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 36


7. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a. Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan


Pajak Pendapatan 1994, P.Y.
Eresco, Bandung, 1977.
b. ………………………………………. , Hukum Pajak Internasional
Indonesia Perkembangan dan
pengaruhnya, PT Eresco, Bandung
1977.
c. ………………………………………. , Peradilan Administrasi dalam
Hukum Pajak di Indonesia,
PT Eresco, 1976.
d. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan I,
PT Eresco, 1992.
e. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1990.
f. ………………………………………. , Asas dan Dasar Perpajakan II,
PT Eresco, 1989.
g. ………………………………………. , Pengantar Singkat Hukum Pajak,
PT Eresco, 1987.
h ………………………………………. , Pajak ditinjau dari segi hukum
PT Eresco, 1990.
i. ………………………………………. , Asas-asas Hukum Perpajakan,
BPHN, Jakarta, 1991.
j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,
PT Eresco, Bandung, 1986.
k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal,
Pidato pengukuhan GB, Bandung,
1981.
l. ………………………………………. , Hukum Pajak dan Keadilan,
PT Eresco, Bandung, 1985
m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK,
Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 37

Anda mungkin juga menyukai