Anda di halaman 1dari 33

8

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

A. Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Kata "kinerja" belakangan ini menjadi topik yang hangat di kalangan

pengusaha dan kalangan administrator. Kinerja seakan menjadi sosok yang

bernilai dan telah dijadikan tujuan pokok pada organisasi/badan usaha, selain

profit. Karena dengan laba saja tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan

efektivitas dan efisiensi.

Kinerja bagian produktivitas kerja, produktivitas berasal dari kata "Produktif”

artinya sesuatu yang mengandung potensi untuk digali, sehingga produktivitas

dapatlah dikatakan sesuatu proses kegiatan yang terstrukrur guna menggali

potensi yang ada dalam sebuah komoditi atau objek. Filosofi produktivitas

sebenarnya dapat mengandung arti keinginan dan usaha dari setiap manusia

(individu maupun kelompok} untuk selalu meningkatkan mutu kehidupan dan

penghidupannya.

Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2006: 67) kinerja itu dapat

didefinisikan sebagai "Hasil kerja secara.kualitas dan kuantitas yang dicapai

oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya”.

8
9

Menurut Melayu S.P Hasibuan (2007: 94), pengertian kinerja adalah:

"Pengorbanan jasa, jasmani dan pikiran untuk menghasilkan barang-barang

atau jasa-jasa dengan memperoleh imbalan prestasi tertentu".

Sedangkan rnenurut Bernardin dan Russsell yang dikutip oleh Ambar Teguh

Sulistiyani dan Rosidah (2003: 224) bahwa kinerja adalah:

"Kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai

tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Sedang

kinerja suatu jabatan secara keseluruhan sama dengan jumlah (rata-rata) dari

kinerja fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan.

Pengertian kinerja disini tidak bermaksud menilai karakteristik individu tetapi

mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh selama periode waktu

tertentu".

Menurut beberapa pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa

kinerja adalah prestasi kerja atau tingkat keberhasilan seseorang secara

keseluruhan baik kualitas maupun kuantitas dalam melaksanakan tugas

kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Berbicara tentang kinerja pegawai, erat kaitannya dengan cara mengadakan

penilaian terhadap pekerjaan seseorang sehingga perlu diterapkan standar

kinerja atau standard performance.


10

Ungkapan tersebut menyatakan bahwa standar kinerja perlu dirumuskan guna

dijadikan tolak ukur dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah

dilakukan dengan apa yang diharapkan, kaitannya dengan pekerjaan atau

jabatan yang telah dipercayakan kepada seseorang. Standar termaksud dapat

pula dijadikan sebagai ukuran dalam mengadakan pertanggung jawaban

terhadap apa yang telah dilakukan.

2. Faktor-faktor yang Mempengeruhi Kinerja

Kinerja pegawai dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terdiri dari,

kemampuan, pengetahuan, keahlian, pendidikan, pengalaman, pelatihan,

minat motivasi, sikap kepribadian kondisi-kondisi fisik dan kebutuhan

fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan egoistik.

Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (2004:) adalah sebagai

berikut:

a. Faktor individu (personal factors)

Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, komitmen.

b. Faktor kepemimpinan (leadership factors)

Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan

pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok

kerja.
11

c. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors)

Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang

diberikan oleh rekan kerja.

d. Faktor sistem (system factors)

Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas

yang disediakan oleh organisasi.

e. Faktor situasi (contextual/situational factors)

Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik

lingkungan internal maupun eksternal.

Sedangkan menurut Mahsun (2006) ada beberapa elemen pokok yaitu :

a. Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi.

b. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja.

c. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi.

d. Evaluasi kinerja / feed back, penilaian kemajuan organisasi,

meningkatkan kualitas dan pengambilan keputusan.

Fokus pengukuran kinerja sektor publik justru terletak pada outcome dan

bukan input dan proses outcome adalah Outcome yang dihasilkan oleh

individu, ataupun organisasi secara keseluruhan, outcome harus mampu

memenuhi harapan dan kebutuhan masyakarat menjadi tolak ukur

keberhasilan organisasi sektor publik.


12

3. Aspek-aspek yang di Nilai Dalam Kinerja

Aspek-aspek yang dinilai dalam kinerja dapat dikelompokkan menjadi :

a. Kemampuan Teknis

Kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan

yang digunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan

yang diperolehnya.

b. Kemampuan Konseptual

Kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian

bidang gerak dari unit masing-masing kedalam bidang operasional

perusahaan secara menyeluruh.

c. Kemampuan Hubungan Interpersonal

Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi

karyawan, melakukan negosiasi dan lain-lain.

Menurut Hasibuan (2005:95) unsur-unsur yang dinilai didalam prestasi kerja

adalah :

a. Kesetiaan

Penilai mengukur kesetiaan karyawan terhadap pekerjaannya, jabatannya,

dan organisasi.

b. Prestasi Kerja

Penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat

dihasilkan karyawan tersebut.


13

c. Kejujuran

Penilai menilai kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya memenuhi

perjanjian baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain seperti

kepada bawahannya.

d. Kedisiplinan

Penilai menilai disiplin karyawan dalam mematuhi peraturan-peraturan

yang ada dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan intruksi yang

diberikan kepadanya.

e. Kreativitas

Penilai menilai kemampuan karyawan dalam mengembangkan

kreativitasnya untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga bekerja lebih

berdaya guna dan berhasil guna.

f. Tanggung Jawab

Penilai menilai kesediaan karyawan dalam mempertanggung jawabkan

kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, sarana dan prasarana

yang dipergunakannya, serta perilaku kerjanya.

4. Penilaian Kinerja

Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan sumber daya manusia

(karyawan) dalam organisasi adalah menilai kinerja karyawan. Penilaian

kinerja dikatakan penting mengingat melalui penilaian kinerja dapat diketahui

seberapa tepat karyawan telah menjalankan fungsinya. Ketepatan karyawan


14

dalam menjalankan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian

kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain itu, hasil penilaian kinerja

karyawan akan memberikan informasi penting dalam proses pengembangan

karyawan.

Namun demikian, sering terjadi, penilaian dilakukan tidak tepat.

Ketidaktepatan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang

menyebabkan ketidaktepatan penilaian kinerja diantaranya adalah

ketidakjelasan makna kinerja yang diimplementasikan, ketidakpahaman

karyawan mengenai kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan instrumen

penilaian kinerja, dan ketidakpedulian pimpinan organisasi dalam pengelolaan

kinerja.

Penilaian kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan faktor

kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien,

karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya

manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat

bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan,

melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang

bagaimana kinerja karyawan.

Ketika direncanakan dengan baik, penilaian kinerja tidak hanya membiarkan

karyawan mengetahui seberapa baik mereka menunjukkan kinerjanya tetapi


15

juga mempengaruhi tingkat usaha dan arah mereka di masa depan. Usaha

seharusnya ditingkatkan jika ingin memperkuat kinerja yang baik. Persepsi

kerja seorang karyawan seharusnya diperjelas dengan membuat perencanaan

peningkatan.

Suatu pendekatan dalam malakukan penilaian kinerja para karyawan, terdapat

berbagai faktor sebagai berikut :

a. Penilaian dilakukan pada manusia sehingga disamping memiliki

kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan

kekurangan.

b. Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu yang

realistik, berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta kriteria yag

ditetapkan dan diterapkan secara obyektif.

c. Hasil penilaian harus disampaikan kepada karyawan yang dinilai agar

karyawan yang bersangkutan dapat mengetahui kelemahan atau

kekurangannya sebagai evaluasi diri.

Untuk mendapatkan informasi atas kinerja pegawai, maka ada beberapa pihak

baik itu perorangan ataupun kelompok yang biasanya melakukan penilaian

atas kinerja pegawai. Berdasarkan uraian mengenai siapa yang biasanya

menilai kinerja pegawai dalam Organisasi dan dengan mempertimbangkan

berbagai hal maka dalam penelitian ini, penilaian kinerja pegawai dilakukan

oleh atasan pegawai (supervisory appraisal).


16

Kegunaan penilaian prestasi kerja (kinerja) pegawai adalah :

a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk

prestasi pernberhentian dan besarnya balas jasa.

b. Untuk mengukur sejauh mana seorang pegawai dapat menyelesaikan

pekejaannya.

c. Sebagai dasar untuk rnengevaluasi efektifitas seluruh kegiatan dalam

sekolah.

d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan

jadwal kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan

pengawasan.

e. Sebagai indikator untuk rnenentukan kebutuhan akan latihan bagi

pegawai yang berada di dalam organisasi.

f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai sehinga dicapai

performance yang baik.

g. Sebagai alat untuk dapat rnelihat kekurangan atau kelemahan dan

rneningkatkan kemampuan pegawai selanjutnya.

h. Sebagai kriteria menentukan,seleksi dan penempatan pegawai.

i. Sebagai alat untuk memperbaiki atau rnengembangkan kecakapan

pegawai

j. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job

description). (Mangkunegara, 2009:10).


17

5. Dimensi atau Indikator Kinerja

Menurut Dwiyanto (2006:50-51), beberapa indikator yang digunakan untuk

mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu :

a. Produktifitas Kerja :

1) Sikap Aparat, dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dari

kesediaan dan inisiatif para pegawai untuk bekerja secara efektif dan

efisien. Misalnya bagaimana para pegawai menata dokumen

sedemikian rupa sehingga ketika dokumen tersebut diperlukan dapat

dengan mudah ditemukan.

2) Kemampuan, diharapkan aparatur memiliki keahlian dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Misalnya untuk

pekerjaan yang berkenaan dengan administrasi kependudukan, maka

pegawai yang diharapkan dapat melaksanakan tugas tersebut adalah

pegawai yang memiliki dasar pendidikan administrasi kependudukan

juga.

3) Semangat kerja, yang dapat diartikan sebagai sikap antusiasme para

pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Sikap mental ini dapat dilihat

dari komitmen dan kemauan tinggi para pegawai dalam melaksanakan

tugasnya.
18

b. Kualitas Layanan

Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik

muncul karena ketidakpuasan publik terhadap kualitas pelayanan publik,

dengan demikian tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat

dijadikan indikator kinerja birokrasi publik. Keuntungan utama

menggunakan tingkat kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja

adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara

mudah dan murah, misalnya dapat diperoleh dari media massa atau diskusi

publik.

c. Responsivitas

Responsivitas yang dimaksud disini adalah kemampuan birokrasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas

pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik

sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Secara

singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program

dan kegiatan pelayanan yang dibutuhkan dengan aspirasi dari masyarakat.

Responsivitas dimaksudkan sebagai salah satu indikator kinerja karena

responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan birokrasi

publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah dapat dilihat dari

ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal


19

tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi

dan tujuan birokrasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas

rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

d. Responsibilitas

Poin penting responsibolitas yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan

kegiatan birokrasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

administrasi yang benar dengan kebijakan birokrasi, baik yang eksplisit

maupun yang emplisit, Lenvine dalam Dwiyanto (2006:51). Oleh sebab

itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan

responsivitas. Disini dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah agar dapat

memberikan layanan publik sesuai aspirasi masyarakat namun pada

pelaksanaannya tetap sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang

benar.

e. Akuntabilitas

Pejabat publik yang dipilih oleh masyarakat diharapkan dapat terus secara

konsisten memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan norma-

norma dalam masyarakat. Dalam konteks ini akuntabilitas dapat dipahami

bagaimana organisasi publik dapat memberikan layanan publik dengan

konsisten sesuai kehendak publik. Kinerja birokrasi publik tidak hanya

bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh birokrasi publik

atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dilihat


20

dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di

masyarakat. Suatu kegiatan birokrasi publik memiliki akuntabilitas yang

tinggi jika kegiatan itu dianggap benar dan seseuai dengan nilai-nilai dan

norma yang berkembang dalam masyarakat.

B. Gaya Kepemimpinan

1. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena

tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan organisasi. Jika

seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka

orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya

kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi

kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang berusaha

dipimpinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar (Robert,

1992). James et. al. (1996) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah

berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses

mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Gaya kepemimpinan adalah

perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, ketrampilan, sifat,

sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba

mempengaruhi kinerja bawahannya (Tampubolon, 2007).


21

Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan,

mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan

untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela

dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Tipe Gaya Kepemimpinan

Terdapat lima gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi menurut

Siagian (2012), yaitu:

1) Tipe Pemimpin yang Otokratik

Seorang pemimpin yang otokratik ialah seorang pemimpin yang:

a) Menganggap organisasi sebagai milik pribadi

b) Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi

c) Menganggap bahwa sebagai alat semata-mata

d) Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat

e) Terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya

f) Dalam tindaknya penggeraknya sering mempergunakan approach yang

mengandung unsur paksaan dan puntif (bersifat menghukum).

2) Tipe pemimpin yang militeristik

Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud seorang

pemimpin tipe militeristik berbeda dengan seorang pemimpin modern.


22

Seorang pemimpin yang bertipe militeristik ialah seorang pemimpin yang

memiliki sifat-sifat:

a) Dalam menggerakan bawahannya sistem perintah yang sering

dipergunakan

b) Dalam menggerakan bawahannya senang bergantung pada pangkat

dan jabatan

c) Senang kepada formalitas yang berlebih-lebihan

d) Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahannya

3) Tipe pemimpin yang paternalistik

a) Menganggap bahwa sebagai manusia yang tidak dewasa

b) Bersikap terlalu melindungi

c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil

keputusan

d) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil

inisiatif

e) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk

mengembangkan daya kreasi dan fantasi

f) Sering bersikap mau tahu

4) Tipe pemimpin yang kharismatik

Harus diakui bahwa untuk keadaan tentang seorang pemimpin yang

demikian sangat diperlukan, akn tetapi sifatnya yang negatif mengalahkan

sifatnya yang positif.


23

5) Tipe pemimpin yang demokratik

Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe

pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern

karena:

a) Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritikan dari bawahan

b) Selalu berusaha mengutamakan kerjasama teamwork dalam usaha

mencapai tujuan

c) Selalu berusaha menjadikan lebih sukses dari padanya

d) Selalu berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai

pemimpin.

3. Jenis Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan memegang peran yang signifikan terhadap kesuksesan dan

kegagalan sebuah organisasi. Sedangkan Robinss (2010) mengidentifikasi

empat jenis gaya kepemimpinan antara lain:

a. Gaya Kepemimpinan Kharismatik

Para pengikut terpacu kemampuan kepemimpinan yang heroik atau yang

luar biasa ketika mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu pemimpin

mereka. Terdapat lima karakteristik pokok pemimpin kharismatik:

1) Visi dan artikulasi. Dia memiliki visi ditujukan dengan sasaran ideal

yang berharap masa depan lebih baik daripada status quo, dan mampu

mengklarifikasi pentingnya visi yang dapat dipahami orang lain.


24

2) Rasio personal. Pemimpin kharismatik bersedia menempuh risiko

personal tinggi, menanggung biaya besar, dan terlibat ke dalam

pengorbanan diri untuk meraih visi.

3) Peka terhadap lingkungan. Mereka mampu menilai secara realistis

kendala lingkungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat

perubahan.

4) Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut. Pemimpin kharismatik

perseptif (sangat pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan

responsif terhadap kebutuhan dan perasaan mereka.

5) Perilaku tidak konvensional. Pemimpin kharismatik terlibat dalam

perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan norma.

b. Gaya Kepemimpinan Transaksional

Pemimpin transaksional merupakan pemimpin yang memandu atau

memotivasi para pengikut mereka menuju sasaran yang ditetapkan dengan

memperjelas persyaratan peran dan tugas. Gaya kepemimpinan

transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin-bawahan tanpa

adanya usaha untuk menciptakan perubahan bagi bawahannya. Terdapat

empat karakteristik pemimpin transaksional:

1) Imbalan kontingen: kontrak pertukaran imbalan atas upaya yang

dilakukan, menjanjikan imbalan atas kinerja baik, mengakui

pencapaian.
25

2) Manajemen berdasar pengecualian (aktif): melihat dean mencari

penyimpangan dari aturan dan standar, menempuh tindakan perbaikan.

3) Manajemen berdasar pengecualian (pasif): mengintervensi hanya jika

standar tidak dipenuhi.

4) Laissez-Faire: melepas tanggung jawab, menghindari pembuatan

keputusan.

c. Gaya Kepemimpinan Transformasional

Pemimpin transformasional mencurahkan perhatian pada hal-hal dan

kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikut, Pemimpin

transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan persoalan-

persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan

cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan, membangkitkan, dan

mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi

mencapai sasaran kelompok. Terdapat empat karakteristik pemimpin

transformasional:

1) Kharisma: memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan

kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan.

2) Inspirasi: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan symbol

untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting

secara sederhana.
26

3) Stimulasi intelektual: mendorong intelegensia, rasionalitas, dan

pemecahan masalah secara hati-hati.

4) Pertimbangan individual: memberikan perhatian pribadi, melayani

karyawan secara pribadi, melatih dan menasehati.

d. Gaya Kepemimpinan Visioner

Kemamuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis,

kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi atau unit

organisasi yang tengah tumbuh dan membaik dibanding saat ini. Visi ini

jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat, mempunyai kekuatan

besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal ke masa

depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya

untuk mewujudkannya.

4. Indikator Gaya Kepemimpinan

Menurut Kartini Kartono (2008:34) menyatakan sebagai berikut :

a. Sifat

Sifat seorang pemimpin sangat berpengaruh dalam gaya kepemimpinan

untuk menentukan keberhasilanannya menjadi seorang pemimpin yang

berhasil, serta ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin.

Kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan

berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.


27

b. Kebiasaan

Kebiasaan memegang peranan utama dalam gaya kepemimpinan sebagai

penentu pergerakan perilaku seorang pemimpin yang menggambarkan

segala tindakan yang dilakukan sebagai pemimpin baik.

c. Tempramen

Temperamen adalah gaya perilaku seorang pemimpin dan cara khasnya

dalam memberi tanggapan dalam berinteraksi dengan orang lain. Beberapa

pemimpin bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Deskripsi

ini menunjukkan adanya variasi temperamen.

d. Watak

Watak seorang pemimpin yang lebih subjektif dapat menjadi penentu bagi

keunggulan seorang pemimpin dalam mempengaruhi keyakinan

(determination), ketekunan (persistence), daya tahan (endurance),

keberanian (courage).

e. Kepribadian

Kepribadian seorang pemimpin menentukan keberhasilannya yang

ditentukan oleh sifat-sifat/krakteristik keperibadian yang dimilikinya.

C. Budaya Organisasi

1. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2003: 305) budaya organisasi merupakan sistem makna

bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu


28

organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati

dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang

dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan

bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya

organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau tidak.

Budaya organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi

itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi. Schein (1981)

dalam Ivancevich et.al., (2005: 44) mendefinisikan budaya sebagai suatu

pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh

kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan

integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan

oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar

untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah

yang dihadapinya.

2. Fungsi Budaya Organisasi

Robbins (2003: 311) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah

fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu:

a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya

budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan

organisasi yang lain.

b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.


29

c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas

daripada kepentingan pribadi seseorang.

d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat

sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan

memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan

dan dilakukan oleh para karyawan.

e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang

memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Secara alami budaya sukar dipahami, tidak berwujud, implisit dan dianggap

biasa saja. Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti

pengandaian, pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-

hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku

karyawan semakin penting bagi organisasi.

Dengan dilebarkannya rentang kendali, didatarkannya struktur,

diperkenalkannya tim-tim, dikuranginya formalisasi, dan diberdayakannya

karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya

yang kuat memastikan bahwa semua karyawan diarahkan kearah yang sama.

Pada akhirnya budaya merupakan perekat sosial yang membantu

mempersatukan organisasi.
30

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins (2003) dalam Umar (2008: 208) menyatakan untuk menilai kualitas

budaya organisasi suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama,

yaitu sebagai berikut:

a. Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan

independensi yang dipunyai individu.

b. Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauhmana para pegawai

dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil

resiko.

c. Arah, yaitu sejauhmana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas

sasaran dan harapan mengenai prestasi.

d. Integrasi, yaitu tingkat sejauhmana unit-unit dalam organisasi didorong

untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

e. Dukungan Manajemen, yaitu tingkat sejauhmana para manajer memberi

komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan

mereka.

f. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang

digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.

g. Identitas, yaitu tingkat sejauhmana para anggota mengidentifikasi dirinya

secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok

kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional.


31

h. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauhmana alokasi imbalan (kenaikan gaji,

promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari

senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.

i. Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauhmana para pegawai

didorong untuk mengemukakan konflik kritik secara terbuka.

j. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauhmana komunikasi organisasi

dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Wibowo (2010: 30) mengemukakan

adanya 3 (tiga) tipe umum budaya organisasi antara lain:

a. Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya di mana

pekerja didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada

tugas dan proyek dengan cara yang akan membantu mereka dalam

memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang.

b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai

karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan

orang lain dengan cara yang tidak menantang keamanan mereka sendiri.

c. Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong

pekerja mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud

melindungi status dan keamanan kerja mereka.


32

5. Indikator Budaya Organisasi

Indikator-indikator budaya organisasi menurut Robbins (2006:279) adalah

sebagai berikut:

a. Innovation and risk taking

Inovasi dan pengambilan resiko yaitu, berkaitan dengan sejauh mana para

anggota organisasi atau karyawan didorong untuk inovatif dan berani

mengambil resiko.

b. Attention to detail

Perhatian terhadap hal-hal yang rinci, yaitu berkaitan dengan sejauh mana

para anggota organisasi atau karyawan diharapkan mau memperlihatkan

kecermatan, analisis dan perhatian terhadap hal-hal yang detail (rinci).

c. Outcome orientation

Orientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan

pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut.

d. People Orientation

Orientasi individu, yaitu sejauh mana keputusan manajemen

memperhitungkan efek hasil kepada orang-orang di dalam organisasi

tersebut.

e. Team Orientation

Orientasi tim, yaitu berkaitan dengan sejauh mana kegiatan kerja

organisasi dilaksanakan dalam tim-tim kerja, bukan pada individu-

individu.
33

f. Aggressiveness

Agresivitas, yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi

menunjukkan keagresifan dan kompetitif, bukannya bersantai.

g. Stability

Stabilitas, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan

dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau

inovasi.

6. Dampak Penerapan Budaya Organisasi

Budaya organisasi melibatkan ekspektasi, nilai, dan sikap bersama, hal

tersebut memberikan pengaruh pada individu, kelompok, dan proses

organisasi (Ivancevich et.al., 2006: 46). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dampak dari budaya terhadap karyawan menunjukkan bahwa budaya

menyediakan dan mendorong suatu bentuk stabilitas. Terdapat perasaan

stabilitas, selain perasaan identitas organisasi yang disediakan oleh budaya

organisasi. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat dicirikan oleh adanya

karyawan yang memiliki nilai inti bersama. Semakin banyak karyawan yang

berbagi dan menerima nilai inti, semakin kuat budaya, dan semakin besar

pengaruhnya terhadap perilaku.

Dalam suatu budaya kuat, nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan

dianut bersama secara meluas. Semakin banyak anggota organisasi yang

menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap


34

komitmen-komitmen tersebut, maka makin kuat budaya tersebut. Suatu

budaya kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku-perilaku

anggota organisasi karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas

menciptakan suatu iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi.

7. Menciptakan Budaya Organisasi

Robbins (2003: 314) menjelaskan bahwa terciptanya budaya organisasi

dimulai dari ide pendiri organisasi. Para pendiri suatu organisasi secara

tradisional mempunyai dampak yang besar pada pembentukan budaya

organisasi. Para pendiri mempunyai suatu visi mengenai bagaimana

seharusnya organisasi itu. Para pendiri tidak dikendalikan oleh kebiasaan

ataupun ideologi sebelumnya. Proses pembetukan budaya terjadi dalam tiga

cara yaitu:

a. Para pendiri hanya mempekerjakan dan menjaga karyawan yang berpikir

dan merasakan cara yang mereka tempuh.

b. Para pendiri mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan

dengan cara berpikir dan merasa mereka.

c. Akhirnya perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai satu model peran

yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasikan diri dengan

mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan

asumsi-asumsi mereka.
35

Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlihat sebagai satu penentu

utama keberhasilan organisasi. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri

menjadi tertanam dalam budaya organisasi.

8. Mempertahankan Budaya Organisasi

Sekali suatu budaya terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak

mempertahankan budaya dengan memberikan kepada para karyawan

seperangkat pengalaman yang serupa. Robbins (2003: 315) menyatakan

bahwa terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian yang sangat penting

dalam mempertahankan suatu budaya, yaitu:

a. Praktik seleksi

Tujuan utama dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan

mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses

di dalam suatu organisasi. Proses seleksi memberikan informasi kepada

para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai

organisasi yang akan dimasuki, dan jika mereka merasakan suatu konflik

antara nilai mereka dengan nilai organisasi, maka mereka dapat

menyeleksi diri keluar dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi

menjadi jalan dua-arah, dengan memungkinkan pemberi kerja atau

pelamar untuk memutuskan kehendak hati mereka jika tampaknya

terdapat kecocokan. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung suatu


36

budaya organisasi dengan menyeleksi keluar individu-individu yang

mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya.

b. Manajemen Puncak

Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada

budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana

mereka berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang

mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan

risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh

para manajer kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang pantas dan

tindakan apakah akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi, dan

ganjaran lain.

c. Sosialisasi

Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan suatu organisasi dalam

perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi

dalam budaya organisasi itu. Yang paling penting, karena para karyawan

baru tersebut tidak mengenal baik budaya organisasi yang ada. Oleh

karena itu, organisasi tampaknya akan berpotensi membantu karyawan

baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini

disebut sosialisasi. Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai suatu proses

yang terdiri atas tiga tahap yaitu:


37

1) Tahap prakedatangan: yaitu periode pembelajaran di mana proses

sosialisasi yang dilakukan sebelum karyawan baru bergabung dalam

organisasi.

2) Tahap perjumpaan: yaitu tahap dalam proses sosialisasi di mana

karyawan baru melihat apa yang sesungguhnya organisasi itu dan

persimpangan yang mungkin dan kenyataan yang ada.

3) Tahap metamorfosis: yaitu tahap dalam proses sosialisasi di mana

karyawan baru berubah dan menyesuaikan pekerjaan kelompok kerja

dan organisasi.

D. Kerangka Pikir

Kepemimpinan pada dasarnya adalah proses mempengaruhi orang lain. Selain itu

kepemimpinan juga berarti kemampuan untuk mempengaruhi, menggerakkan,

dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang

untuk tujuan tertentu. Dalam upaya mempengaruhi tersebut seorang pemimpin

menerapkan gaya yang berbeda-beda dalam setiap situasi. Gaya kepemimpinan

(leadership styles) merupakan berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh

pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Dari

pengertian tersebut terungkap bahwa apa yang dilakukan oleh atasan mempunyai

pengaruh terhadap bawahan, yang dapat membangkitkan semangat dan

kegairahan kerja maupun sebaliknya.


38

Kepemimpinan yang diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu

memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini akan membuat karyawan

lebih hati-hati berusaha mencapai target yang diharapkan perusahaan, hal tersebut

berdampak pada kinerjanya. Budaya organisasi mampu memoderasi pengaruh

gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja yang berdampak pada peningkatan

kinerja karyawan.

Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi

berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat

mengakomodasikan kepentingan semua pihak, agar dapat menjalankan

aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masing-

masing individu. Sesuatu yang dimaksud adalah budaya dimana individu berada,

seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan dan sebagainya. Budaya organisasi

adalah nilai keyakinan bersama yang mendasari identitas perusahaan. Mengingat

budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam

organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang

lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi

merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia

yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Budaya organisasi

mempengaruhi produktivitas, kinerja, komitmen, kepercayaan diri, dan perilaku

etis. Budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan positif

terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Dukungan


39

tinggi yang ditunjukkan oleh pemimpin perusahaan mampu memberikan motivasi

yang tinggi dari karyawan untuk bekerja lebih baik dan mencapai target.

Dari telaah pustaka di muka, maka disusun suatu kerangka pemikiran teoritis

yang menyatakan pengaruh antara variabel dalam penelitian ini, untuk lebih

jelasnya kerangka pemikiran teoritis digambarkan dalam gambar 2.2

Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran

Gaya kepemimpinan :
Sifat
Kebiasaan
Tempramen
Watak H1
Kepribadian
Kinerja pegawai :
Produktivitas kerja
(X1 H3 Kualitas layanan
) Responsivitas
Budaya organisasi Responsibilitas
Innovation and risk taking Akuntabilitas
Attention to detail H2
Outcome orientation
People Orientation (Y)
Team Orientation
Aggressiveness
Stability

(X2
Sumber : Konsep
) yang dikembangkan dalam penelitian ini.
40

E. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian

(Arikunto, 2010), adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha1 : Diduga ada pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai

Puskesmas Pringsewu

Ha2 : Diduga ada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai

Puskesmas Pringsewu

Ha3 : Diduga ada pengaruh gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap

kinerja pegawai Puskesmas Pringsewu

Anda mungkin juga menyukai