Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Laserasi Perineum

1. Pengertian

Laserasi perineum adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh

rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau

bahu pada saat persalinan. Bentuk laserasi biasanya tidak teratur sehingga

jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan (Sukrisno, Adi 2010).

Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum hampir

pada semua persalian pertama dan tidak jarang pada persalinan berikutnya

(Prawirohardjo, 2014).

Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir

baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.

Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi

luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi

pada hampir semua primipara (Wiknjosastro, 2012).

Menurut Oxom (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik

yang terjadi pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan

jaringan lunak pelvik untuk mengakomodasi lahirnya fetus.


2. Klasifikasi Laserasi Perineum

a. Robekan Derajat Pertama

Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten

dan kulit perineum tepat dibawahnya (Oxorn, 2010).

Robekan perineum yang melebihi derajat satu di jahit. Hal ini

dapat dilakukan sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada

kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik

tindakan itu ditunda sampai menunggu palasenta lahir. Dengan

penderita berbaring secara litotomi dilakukan pembersihan luka

dengan cairan anti septik dan luas robekan ditentukan dengan seksama

(Sumarah, 2010).

b. Robekan Derajat Kedua

Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam.

Luka ini terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus

perineum. Acapkali musculus perineus transverses turut terobek dan

robekan dapat turun tapi tidak mencapai spinter recti. Biasanya

robekan meluas keatas disepanjang mukosa vagina dan jaringan

submukosa. Keadaan ini menimbulkanluka laserasi yang berbentuk

segitiga ganda dengan dasar pada fourchette, salah satu apexpada

vagina dan apex lainnya didekat rectum (Oxorn, 2010).

Pada robekan perineum derajat dua, setelah diberi anastesi lokal

otot-otot difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan

kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan

mengikut sertakan jaringan-jaringan dibawahnya (Sumarah, 2010).


c. Robekan Derajat Ketiga

Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum,

musculus transverses perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis

derajat ketiga yang robek hanyalah spinter recti; pada robekan yang

total, spinter recti terpotong dan laserasi meluas hingga dinding

anterior rectum dengan jarak yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih

senang menyebutkan keadaan ini sebagai robekan derajat keempat

(Oxorn, 2010).

Menjahit robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan

teliti, mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian

fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek

dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan

perineum derajat kedua. Untuk mendapatkan hasil yang baik pada

robekan perineum total perlu diadakan penanganan pasca pembedahan

yang sempurna (Sumarah, 2010).

d. Robekan Derajat Keempat

Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior,

kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding

rektum anterior (Sumarah, 2010).

Semua robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki

diruang bedah dengan anastesi regional atau umum secara adekuat

untuk mencapai relaksasi sfingter. Ada argument yang baik bahwa

robekan derajat ketiga dan keempat, khususnya jika rumit, hanya boleh
diperbaikioleh profesional berpengalaman seperti ahli bedah

kolorektum, dan harus ditindaklanjuti hingga 12 bulan setelah

kelahiran. Beberapa unit maternitas memiliki akses ke perawatan

spesialis kolorektal yang memiliki bagian penting untuk berperan

(Mauree Boyle, 2011).

3. Etiologi

Laserasi pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:

a. Kepala janin terlalu cepat

b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

c. Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

d. Pada persalianan dengan distosia bahu

e. Presentasi defleksi (dahi, muka)

f. Primipara

g. Letak sungsang

h. Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan

embriotomi

(Mochtar, 2012).

Menurut (Oxorn, 2010) penyebab terjadinya laserasi perineum ada 2

faktor adalah :

a. Faktor maternal:

1) Partus presipitatus yang tidak terkendalikan dan tidak ditolong

Persalinan yang terjadi kurang dari 3 jam, persalinan yang terlalu


cepat menyebabkan ibu mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin

terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar

kemungkinan terjadi ruptur perineum (Oxorn, 2010).

2) Pasien tidak mampu berhenti mengedan

Pada saat persalinan diperlukan tenaga/power dari ibu bentuk

dorongan meneran. Dorongan meneran tersebut muncul bersamaan

dengan munculnya his atau kontraksi rahim. His yang bagus dapat

membuka jalan lahir dengan cepat, namun hal ini dipengaruhi cara

ibu mengejan, artinya jika hisnya bagus tetapi ibu menerannya tidak

kuat maka tidak akan terjadi pembukaan jalan lahir. Sedangkan jika

ibu mengejan terlalu kuat saat melahirkan kepala yang merupakan

diameter terbesar janin maka akan menyebabkan laserasi perineum.

Bila kepala telah mulai lahir, ibu diminta bernafas panjang, untuk

menghindarkan tenaga mengejan karena sinciput, muka dan dagu

yang mempunyai ukuran panjang akan mempengaruhi perineum

(Oxron, 2010).

3) Partus diselesaikan sacara tergesa–gesa dengan dorongan fundus

yang berlebihan.

Persalinan ini akan memperbesar kemungkinan terjadi ruptur

perineum. Robekan spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi

saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian robekan akan meningkat

jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali.


4) Edema dan kerapuhan pada perineum

Penekan yang lama pada jaringan lunak menyebabkan edema

dan hematoma jalan lahir yang kelak dapat menjadi nekrotik dan

terjadilah fistula (Mochtar, 2012)

5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum.

Wanita hamil sering mengeluh tentang pelebaran pembuluh

darah, yang terjadi pada tungkai, vagina, vulva, dan terjadi wasir.

Selain kelihatan kurang baik, pelebaran pembuluh darah ini dapat

merupakan sumber perdarahan potensial pada waktu hamil maupun

saat persalinan. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah saat

persalinan dengan varises vulva yang besar sehingga saat

episiotomi dapat terjadi perdarahan (Manuaba, 2010).

6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula

sehingga menekan kepala bayi kearah posterior.

Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang yang datar,

tetapi terdiri atas segi tiga depan dan segi tiga belakang yang

mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Apabila

ukuran yang terakhir ini lebih kecil daripada biasa, maka sudut

arcus pubis mengecil (kurang dari 800). Agar supaya dalam hal ini

kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada

bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis

posterior yang cukup panjang persalinan pervaginam dapat

dilaksanakan, walaupun dengan perlukaan luas pada perineum

(Saifuddin, 2012)
7) Peluasan episiotomi

Himen dan perineum, kelainan pada himen imperforate, atau

himen elastic pada perineum, terjadi kekakuan sehingga

memerlukan peluasan episiotomi (Manuaba, 2010).

b. Faktor janin adalah :

1) Berat badan bayi baru lahir

Berat badan janin dapat mempengaruhi persalinan dan

laserasi perineum. Janin besar yaitu janin bila berat badan

melebihi dari 4000 gram. Persalinan dengan berat badan janin

besar dapat menyebabkan terjadinya laserasi perineum (Manuaba,

2014).

Sebelum bersalin hendaknya ibu diperiksa Tinggi Fundus

Uteri agar dapat diketahui Tafsiran Berat Badan Janin dan dapat

diantisipasi adanya persalinan patologis yang disebabkan bayi

besar seperti ruptura uteri, ruptura jalan lahir, partus lama, distosia

bahu, dan kematian janin akibat cedera persalinan (Saifuddin,

2012).

2) Posisi kepala yang abnormal ( presentasi muka)

Pada presentasi muka letak janin memanjang, presentasi

kepala, bagian terendah janin muka, penunjuknya adalah dagu.

Pada presentasi muka dengan dagu di depan punggung bayi, sub

occiput ada dibelakng. Sebaliknya kalau dagu di belakang maka

punggung dan occiput ada di depan. Bagian terpenting putaran


paksi dalam adalah bahwa dagu harus berputar ke depan symphisis.

Kalau tidak maka persalinan tidak akan dapat spontan. Kepala

dilahirkan secara fleksi, daerah submental pada leher berada di

bawah symphisis. Dengan daerah ini sebagai titik putar, kepala

mengadakan fleksi maka lahirlah mulut, hidung, orbita, dahi dan

occiput di atas perineum. Hal ini mengakibatkan partus menjadi

lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan yang berat dan rupture

uteri (Oxorn, 2010).

3) Kelahiran bokong

Presentasi bokong atau letak sungsang adalah janin yang

letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di

fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 2012).

Persalinan dengan penyulit seperti sungsang merupakan

indikasi untuk melakukan episiotomi (Saifuddin, 2012).

4) Ekstraksi forcep yang sukar

Kekurangan memahami kepentingan dan hubungan antara

stasiun dengan tingginya diameter biparietalis. Stasiun nol berarti

bagian terendah telah mencapai spina ischiadica. Pada kebanyakan

pasien bila stasiunnya nol maka diameter biparietalis ada pada atau

baru saja melalui PAP. Jadi apabila forceps dipasang pada stasiun

nol, inti prosedurnya tidak terletak pada ekstreksi bagiwan

terbawah dari panggul tengah, tetapi membawa diameter

biparientalis dari PAP melalui pangggul tengah dan keluar melalui


PBP. Ini adalah prosedur yang sukar dan berbahaya. Persalinan

yang diharapkan mudah berubah menjadi ekstraksi forceps yang

sukar disertai robekan cerviks dan vagina, perdarahan postpartum,

dan seringkali bayi yang terluka atau mati (Oxorn, 2010).

5) Distosia bahu

Distosia bahu adalah suatu keadaan yang memerlukan

tambahan manuver obstetrik karena jika dilakukan dengan tarikan

biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk

melahirkan bayi. Persalinan dengan distosia bahu sering terjadi

robekan perineum dan vagina yang luas. (Cunningham, 2015).

6) Kelainan konginetal seperti hydrocephalus

Hidrosifalus terjadi penimbunan cairan serebrospinal dalam

vantriekel otak, sehingga kepala menjadi besar. Jumlah cairan bias

mencapai 1,5 liter bahkan ada sampai 5 liter, sehingga tekanan

intrakranial sangat tinggi. Persalinan dianjurkan untuk persalinan

abnominal karena kalau pervaginam akan menyebabkan cedera

pada jalan lahir dan cedera janin (Mochtar, 2012).

4. Tanda dan Gejala

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan

tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir. Tanda dan gejala robekan

jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang mengalir

setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.
Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan

menggigil (Nugroho, 2012).

5. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus

menerus setelah massase atau pemberian uterotonika langsung

mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan

jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan

terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat ynag fatal seperti

terjadinya syok (Rukiyah, 2012).

c. Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak

didapatkan adanya retensi plasenta maupun sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir (Nugroho, 2012).

6. Pencegahan Terjadinya Laserasi Perineum

Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat bayi

dilahirkan, terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan

meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin

bekerjasama dengan ibu selama persalinan dan gunakan manufer tangan

yang tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi serta membantu mencegah

terjadinya laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat kepala bayi

dengan diameter 5-6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran

kepala yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada jaringan


vagina dan perineum untuk melakukan penyesuaian dan akan mengurangi

kemungkinan terjadinya robekan. Saat kepala mendorong vulva dengan

diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan berhenti untuk

beristirahat atau bernapas dengan cepat (Nugroho, 2012).

7. Mempersiapkan Penjahitan

a. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di

tepi tempat tidur meja.

b. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.

c. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehinnga perineum

padat dilihat jelas.

d. Gunakan teknik aseptik pada saatmemeriksa robekanatau episiotomi,

memberikan anastesi lokal dan menjahit luka.

e. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.

f. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.

g. Dengan menggunakan aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-bahan

disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.

h. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan

mudah dilihat dan panjahitan tanpa kesulitan.

i. Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka

vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau

bekuan darah yang ada sambil menilai dalam luasnya luka.

j. Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa

laserasi/sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau lebih


jauh untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau

empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan

hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan-lahan untuk

mengidentifikasi sfinter ani. Raba tonus atau ketegangan sfinger.Jika

sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan

harus segera dirujuk. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks.

k. Ganti sarung tangan sengan sarungtangan disinfeksi tingkat tinggi atau

steril yang baru setelah melakukan pemeriksaaan rektum.

l. Berikan anastesi lokal.

m. Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan

benang. Gunakan benang kronik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat

lentur, kuat, tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi

jaringan.Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90

derajat, jepit dan jepit jarum tersebut (Manuaba, 2010).

B. Perawatan Luka Perineum

1. Pengertian

Perawatan luka perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk

menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu

yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya

organ membran seperti pada waktu sebelum hamil (Mochtar, 2012).

Menurut Ismail, 2002 dalam Suparyanto (2012), bahwa perawatan luka

merupakan suatu usaha untuk mencegah trauma (injury) pada kulit,


membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma,

fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit.

2. Tujuan Perawatan Luka Perineum

Tujuan perawatan perineum menurut Hamilton, 2002 dalam

Suparyanto (2012), adalah mencegah terjadinya infeksi sehubungan

dengan penyembuhan jaringan.

a. Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme ke dalam kulit dan

membran mukosa

b. Mencegah bertambahnya kerusakan jaringan

c. Mempercepat penyembuhan dan mencegah perdarahan

d. Membersihkan luka dari benda asing atau debris

e. Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat.

3. Waktu dan Cara Perawatan Luka Perineum

a. Saat Mandi

Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah

terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan

yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan

penggantian pembalut setiap selesai membersihkan vagina agar

mikroorganisme yang ada pada pembalut tersebut tidak ikut terbawa

kevagina yang baru dibersihkan, demikian pula pada perineum ibu,

untuk itu diperlukan pembersihan perineum (Dewi, 2012).


b. Setelah Buang Air Kecil

Pada saat buang air kecil, kemungkinan besar terjadi kontaminasi

air seni padarektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri

pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum siramilah

vagina dengan air bersih. Basuhlah dari arah depan kebelakang hingga

tidak ada sisa-sisa kotoran yang menempel disekitar vagina baik itu

urine maupun feses yang mengandung mikroorganisme dan bisa

menimbulkan infeksi pada luka jahitan.

c. Setelah buang air besar

Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa

kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri

dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan

proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.

d. Bila keadaan vagina terlalu kotor, cucilah dengan sabun atau cairan

antiseptic yang berfungsi untuk menghilangkan mikroorganisme yang

terlanjur berkembang di daerah tersebut.

e. Bila keadaan luka perineum terlalu luas atau ibu dilakukan episiotomi,

upaya menjaga kebersihan vagina dapat dilakukan dengan cara duduk

berendam dalam cairan antiseptic selama 10 menit setelah BAB dan

BAK.

f. Keringkan vagina dengan tisu atau handuk lembut setiap kali selesai

membasuh agar tetap kering dan kemudian kenakan pembalut yang


baru. Pembalut harus diganti setiap kali selesai BAB dan BAK atau

minimal 3 jam sekali atau bila ibu sudah merasa tidak nyaman.

g. Bila ibu membutuhkan salep antibiotic, dapat dioleskan sebelum

memakai pembalut yang baru (Dewi, 2012).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor-Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

menurut Smeltzer (2012) :

a. Usia

Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada

orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak dapat mentolerir

stress seperti trauma jaringan atau infeksi.

b. Lingkungan

Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan selalu

merasa mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat –

nasihat khususnya orang tua dalam merawat kebersihan pasca

persalinan

c. Tradisi

Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk

perawatan pasca persalinan masih banyak digunakan, meskipun oleh

kalangan masyarakat modern.

d. Pengetahuan

Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat

menentukan lama penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan


ibu tentang perawatan pasca persalinan kurang, maka penyembuhan

luka pun akan berlangsung lama.

e. Sosial ekonomi

Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama

penyembuhan perineum adalah keadaan fisik dan mental ibu dalam

melakukan aktivitas sehari- hari pasca persalinan. Jika ibu memiliki

tingkat sosial ekonomi yang rendah, bisa jadi penyembuhan luka

perineum berlangsung lama.

f. Penanganan petugas

Pada saat persalinan, pembersihannya harus dilakukan dengan

tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu

penyebab yang dapat menentukan lama penyembuhan luka perineum

g. Kondisi ibu

Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental, dapat

menyebabkan lama penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu

dapat merawat diri dengan baik.

h. Gizi

Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu

dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa

penyembuhan luka perineum.

i. Personal hygiene

Personal hygiene Personal higiene (kebersihan diri) dapat

memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya

benda asing seperti debu dan kuman.


C. Nyeri

1. Pengertian

Nyeri merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh setiap

individu. Rasa nyeri yang dirasakan seringkali berbeda pada tiap individu.

Menurut Melzack dan Wall (dalam Andarmoyo, 2016) nyeri merupakan

suatu pengalaman yang bersifat pribadi, sesuatu yang subjektif, yang

dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variable-

variabel psikologis lain, yang nantinya akan mengganggu perilaku

individu secara berkelanjutan sehingga memotivasi setiap individu untuk

menghentikan rasa tersebut.

Nyeri yang terasa sangat mengganggu ternyata merupakan suatu hal

yang menguntungkan bagi tubuh. Dengan adanya nyeri kita bisa

mengetahui kondisi tubuh kita. Nyeri sebenarnya merupakan mekanisme

protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran telah atau akan

terjadinya kerusakan jaringan, ketika jaringan sedang rusak, dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan nyeri

(Andarmoyo, 2016).

2. Klasifikasi Nyeri

Menurut Suwondo (2017) nyeri dapat dibagi menjadi :

a. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan respon biologis normal terhadap cedera

jaringan dan merupakan sinyal terhadap adanya kerusakan jaringan

misalnya nyeri pasca operasi, dan nyeri pasca trauma muskuloskeletal.


Nyeri tipe ini sebenarnya merupakan mekanisme proteksi tubuh yang

akan berlanjut pada proses penyembuhan. Nyeri akut merupakan gejala

yang harus diatasi atau penyebabnya harus dieliminasi

b. Nyeri Sub Akut

Nyeri sub akut (1 – 6 bulan) merupakan fase transisi dan nyeri

yang ditimbulkan karena kerusakan jaringan diperberat oleh

konsekuensi problem psikologis dan sosial.

c. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan.

Nyeri tipe ini sering kali tidak menunjukkan abnormalitas baik secara

fisik maupun indikator-indikator klinis lain seperti laboratorium dan

pencitraan. Keseimbangan kontribusi faktor fisik dan psikososial dapat

berbeda-beda pada tiap individu dan menyebabkan respon emosional

yang berbeda pula satu dengan lainnya. Dalam praktek klinis sehari-

hari nyeri kronik dibagi menjadi nyeri kronik tipe maligna (nyeri

kanker) dan nyeri kronik tipe non maligna (artritis kronik, nyeri

neuropatik, nyeri kepala, dan nyeri punggung kronik)

3. Penyebab Nyeri

Menurut Ignatavicus pada (Tamsuri, 2017),secara umum stimulus

nyeri disebabkan oleh :

a. Kerusakan ringan.

b. Kontraksi atau spasme otot yang menimbulkan ischemid type pain.


c. Kebutuhan oksigen menigkat tetapi suplai darah terbatas mislanya ada

penekanan vaskuler.

4. Fisiologi Nyeri

Rasa nyeri dapat timbul melalui beberapa proses dan tahapan. Proses

dan tahapan nyeri berhubungan erat dengan mekanisme neuroanatomi

fisiologi nyeri. Struktur dan fisiologis sistem persarafan memegang

peranan penting dalam kendali terciptanya nyeri. Proses terjadinya nyeri

akan melewati beberapa tahapan, yaitu diawali dengan adanya stimulasi,

transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.

a. Stimulasi

Stimulasi seringkali disebut juga sebagai rangsangan dimana

rangsangan tersebut merupakan awal mula terjadinya persepsi nyeri .

Rangsangan bisa berupa rangsangan fisik maupun nonfisik. Persepsi

nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor,

pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf

pusat. Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Nociceptor

tersebar luas di dalam lapisan superficial kulit dan juga pada jaringan

dalam tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi,

serta falks dan tentorium serebri (Andarmoyo, 2016).

b. Transduksi

Pada proses transduksi menyebabkan terjadinya beberapa

perubahan. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu perubahan

patofisiologis. Perubahan patofisiologis bisa terjadi karena adanya


mediator-mediator kimia seperti prostaglandin dari sel-sel yang rusak,

bradikinin dari plasma, histamine dari sel masts, serotonin dari

trombosit dan substansi P dari ujung saraf nyeri memengaruhi juga

nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas

(Andarmoyo, 2016).

c. Transmisi

Setelah melalui proses transduksi proses yang harus dilalui

berikutnya adalah proses transmisi. Proses transmisi memiliki tiga

komponen yang terlibat di dalamnya. Transmisi merupakan proses

penerusan impuls nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati cornu

dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Cornu dorsalis dari

medulla spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori.

Serabut perifer (missal reseptor nyei) berakhir di sini dan serabut

traktus sensori asenden berawal di sini. Terdapat juga interkoneksi

antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus

asenden berahir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan

impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri (Andarmoyo, 2016).

d. Modulasi

Selain proses transmisi proses modulasi juga berperan penting

dalam keberlangsungan nyeri. Modulasi berperan aktif dalam

pengendalian nyeri. Modulasi merupakan proses pengendalian internal

oleh sistem saraf, yang dapat meningkatkan maupun mengurangi

penerusan impuls nyeri. Proses penghambatan atau penurunan dalam

penerusan impuls nyeri terjadi melalui sistem analgesia endogen yang


melibatkan bermacam-macam neurotransmitter. Salah satunya adalah

endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis

(Andarmoyo, 2016).

e. Persepsi

Setelah melalui proses stimulasi hingga modulasi maka rangsang

akan diteruskan menjadi suatu persepsi. Persepsi berperan penting

sebagai penentu berat atau ringannya nyeri yang dirasakan setiap

individu. Persepsi adalah suatu hasil dari rekonstruksi susunan saraf

pusat tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan

hasil dari interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks

serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).

Setelah sampai ke otak, nyeri dirasakan secara sadar dan menimbulkan

respon berupa perilaku dan ucapan yang merespon adanya nyeri

(Andarmoyo, 2016).

5. Respon Terhadap Nyeri

Nyeri bersifat sangat subjektif. Nyeri dipengaruhi oleh berbagai

faktor, baik fisiologis maupun psikologis. Nyeri yang timbul menghasilkan

berbagai macam respon. Berikut ini adalah penjelasan mengenai respon

respon nyeri :

a. Respon fisiologis

Respon fisiologis terhadap nyeri dapat membahayakan individu.

Respon fisiologis meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Pada

saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan
hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian

dari respons stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf

otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung

terus-menerus, berat, dan melibatkan organ-organ dalam maka system

saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Andarmoyo, 2016).

b. Respon perilaku

Respon perilaku yang ditunjukan oleh setiap individu sangat

beragam. Respon perilaku merupakan indikator adanya gangguan di

dalam tubuh. Perawat bisa mengidentifikasi nyeri dari beberapa respon

perilaku, dalam menentukan nyeri. Menurut Potter dan Perry dalam

menentukan nyeri dapat diperhatikan melalui empat bagian,

diantaranya adalah :

1) Dilihat dari segi visual yaitu : (1) merintih; (2) menangis; (3) Sesak

napas (menarik napas dalam)

2) Dilihat dari segi ekspresi wajah : (1) meringis; (2) menggeletukkan

gigi; (3) mengernyitkan dahi; (4) menggigit bibir; (5) menutup

mata maupun mulut dengan rapat atau membuka mata atau mulut

dengan lebar.

3) Dilihat dari segi gerakan tubuh : (1) gelisah; (2) imobilisasi; (3)

ketegangan otot; (4) peningkatan gerakan tangan maupun jari; (5)

gerakan ritmik atau gerakan menggosok; (6) gerakan melindungi

bagian tubuh.
4) Dilihat dari segi interaksi sosial : (1) menghindari percakapan; (2)

menghindari kontak sosial; (3) penurunan rentang perhatian; (4)

fokus hanya pada tindakan untuk menghilangkan nyeri.

(Andarmoyo, 2016)

6. Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri mencangkup pendekatan farmakologis dan

nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan

dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi sangat berhasil bila

dilakukan sebelum yeri menajdi lebih parah, dan keberhasilan tersebatr

sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara stimultan

(Smeltzer and Bare, 2012).

a. Farmakologis

Menanggapi nyeri yang dialami pasien melalui intervensi

farmakologis dengan kolaborasi dengan dokter atau pemberi pelayanan

lainnya pada pasien. Obat-obat tertentu untuk penetalaksanaan nyeri

mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Obat-obat yang

mengurangi nyeri antara lain : gangguan opoid (narkotika), nonopioid/

NSAIDs (nonsteroid anti-imfalmasi drugs), analgesic, dan obat

anastesi.

b. Nonfarmakologis

Penatalaksanaan non-farmakologis terdiri dari berbagai tindakan

penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun kognitif, antara

lain :
1) Terapi es dan kompres hangat

Terapi es dan terapi panas adalah dua terapi yang berbeda.

Terapi es dan terapi panas dapat dilakukan menggunakan air

hangat atau es batu yang dimasukkan ke dalam wadah kemudian

dikompreskan pada bagian yang terasa nyeri. Terapi es dapat

menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor

nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat

proses inflamasi. Terapi kompres hangat mempunyai keuntungan

meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat

turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.

2) Massase kulit

Massase kulit memberikan efektif penurunan kecamasan

dan ketegangan otot. Rangsangan massase ini dipercaya akan

merangsang serabaut berdiameter besar, sehingga mampu

memblok atau menurunkan impuls nyeri. Massase adalah

stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada punggung

dan bahu atau dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian

tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing tubuh

untuk mencapai hasil relaksasi yang maksimal.

3) Stimulasi kotralateral

Stimulasi kontralateral adalah stimulasi pada daerah kulit di

sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Teknik ini

dapat berupa gerakan pada daerah yang berlawanan jika terjadi

gatal, menggosok jika terjadi kram.


4) Acupressure (pijat refleksi)

Pada teknik ini, terapis memberi tekan jari-jari pada

berbagai teknik organ tubuh seperti pada akupuntur.

5) Transcutaneous Elektrical nerve Stimulation (TENS)

Teknik ini menggunakan satu unit peralatan yang dijalankan

dengan elektroda yang dipasang pada kulit unutk menghasilkan

sensasi kesmeutan, getaran atau mendengung pada area

terntentu. TENS telah digunakan, baik untuk menghilangkan

nyeri akut, maupun kronis, TENS juga diduga dapat menurunkan

nyeri dengan stimulasi reseptor non yeri di area yang sama

dengan serabut yang menstramisikan nyeri. Mekanisme ini

sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri.

6) Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap

nyeri ke stimulasi yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi

nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan

dapat menyebabkan impuls nyeri ke otak.

7) Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan meraksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa

nyeri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa relaksasi afektif

dalam menurunkan nyeri.


8) Olahraga/senam

Latihan-latihan olahraga yang ringan sangat dianjurkan

untuk mengurangi dismenore. Olahraga/senam merupakan salah

satu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri karena

saat melakukan olahraga/senam, tubuh akan menghasilkan

endonophrin, yang dihasilkan dari otak dan susunan saraf tulang

belakang. Hormon ini dapat dapat berfungsi sebagai obat

penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan

rasa nyaman (Agussafutri, 2016).

7. Pengukuran Skala Nyeri

Tingkat nyeri setiap individu dapat diukur dengan menggunakan

skala nyeri (Potter & Perry, 2005 dalam Fauziah, 2015), skala nyeri

tersebut adalah :

a. Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale adalah skala nyeri yang berupa garis lurus

yang menggambarkan tingkat nyeri dan terdapat deskripsi verbal pada

ujungnya. Penggunaannya adalah dengan cara klien memilih salah satu

angka untuk mewakili tingkat nyeri klien.

Gambar 2.1
Visual Analog Scale (VAS)
Keterangan :

0 : Tidak Nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara objektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : secara objektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menujukkan nyeri, dapat mendiskripsikannya, dpat

mengikuti perintah dengan baik.

7.9 : Nyeri berat : secara objektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menujukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapay diatasi rasa nyeri.

b. Numerical Rating Scale (NRS)

Numerical Rating Scale adalah skala ukur yang digunakan

dengan meminta klien memilih angka 0 – 10 sesuai nyeri yang

dirasakan. Angka 0 berarti “no pain” atau tidak nyeri dan 10 berarti

“severe pain” atau nyeri hebat.

Gambar 2.2
Numerical Rating Scale (NRS)
c. Verbal Rating Scale (VRS)

Verbal Rating Scale adalah Alat ukur tingkat nyeri dengan

menggunakan kata sifat untuk mengungkapkan level nyeri yang

berbeda dimulai dari “no pain” (tidak nyeri) sampai “extreme

pain”(nyeri hebat)

Gambar 2.3
Verbal Rating Scale (VRS)

d. Faces Pain Scale – Revised

Faces Pain Scale – Revised adalah pengukuran skala nyeri yang

terdiri dari 6 gambar wajah kartun yang bertingkat dari wajah yang

tersenyum untuk “tidak ada nyeri” sampai wajah yang nerlinang air

mata untuk “nyeri sangat hebat”.

Gambar 2.4
Faces Pain Scale – Revised
D. Kompres Hangat

1. Pengertian

Kompres adalah sepotong balutan yang dilembabkan dengan cairan

hangat yang telah di programkan (Perry, 2005). Kompres hangat adalah

kompres dengan air suam-suam kuku atau air hangat (Rudianto,2010).

Suatu prosedur menggunakan kain atau anduk yang telah dicelupkan pada

air hangat. Menurut Anneahira (2010), adapun manfaat kompres air

hangat adalah dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu

tubuh. Kompres hangat adalah melapisi permukaan kulit dengan handuk

yang telah dibasahi air hangat dengan temperatur maksimal 43°C.

Pemberian kompres air panas/hangat pada daerah tubuh akan

memberikan sinyal ke hypothalamus melalui sumsum tulang belakang.

Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hypothalamus dirangsang,

system efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan

vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat

vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh

hypothalamic bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya

vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/kehilangan energi/panas

melalui kulit meningkat, diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh

sehingga mencapai keadaan normal kembali (Nursanti, 2009).

2. Tujuan Kompres Hangat

Tujuan dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa,

membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan rasa nyeri, dan


memperlancar pasokan aliran darah dan memberikan ketenangan pada

klien. Kompres hangat yang digunakan berfungsi untuk melebarkan

pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah, dan mengurangi kekakuan

(Perry & Potter, 2005).

3. Fisiologi Kompres Hangat

Smeltzer & Bare (2012), mengemukakan bahwa energi panas yang

hilang atau masuk ke dalam tubuh melalui kulit dengan empat cara, yaitu

konduksi, konveksi, radiasi evaporasi.

a. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung

kulit dengan benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses

kehilangan panas dengan mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan

dengan benda umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil

karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk terpapar

langsung dengan benda relative jauh lebih kecil dari pada paparan

dengan udara, dan sifat isolator benda menyebabkan proses

perpindahan panas tidak dapat terjadi secara efektif terus-menerus.

b. Konveksi

Konveksi merupakan perpindahan panas berdasarkan gerakan

fluida dalam hal ini adalah udara, artinya panas tubuh dapat

dihilangkan bergantung pada aliran udara yang melintasi tubuh

manusia. Konveksi adalah transfer dari energi panas oleh arus udara

maupun air. Saat tubuh kehilangan panas melalui konduksi dengan


udara sekitar yang lebih dingin, udara yang bersentuhan dengan kulit

menjadi hangat. Karena udara panas lebih ringan dibandingkan udara

dingin, udara panas berpindah ketika udara dingin bergerak ke kulit

untuk menggantikan udara panas. Pergerakan udara ini disebut arus.

konveksi, membantu membawa panas dari tubuh. Kombinasi dari

proses konveksi dan konduksi guna membawa pergi panas dari tubuh

dibantu oleh pergerakan paksa udara melintasi permukaan tubuh,

seperti kipas angin, angin, pergerakan tubuh saat menaiki sepeda dan

lain-lain.

c. Radiasi

Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam

bentuk gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang

dipancarkan dari tubuh memiliki panjang gelombang 5–20

mikrometer. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas ke segala

penjuru tubuh. Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas paling

besar pada kulit 60% atau 15% seluruh mekanisme kehilangan panas.

Panas adalah energi kinetik pada gerakan molekul. Sebagian besar

energi pada gerakan ini dapat di pindahkan ke udara bila suhu udara

lebih dingin dari kulit. Sekali suhu udara bersentuhan dengan kulit,

suhu udara menjadi sama dan tidak terjadi lagi pertukaran gas, yang

terjadi hanya proses pergerakan udara sehingga udara baru yang

suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.


d. Evaporasi

Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi

perpindahan panas tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami

evaporasi akan menyebabkan kehilangan panas tubuh sebesar 0,58

kilokalori. Pada kondisi individu tidak berkeringat, mekanisme

evaporasi berlangsung sekitar 450-600 ml/hari. Hal ini menyebabkan

kehilangan panas terus menerus dengan kecepatan 12-16 kalori per

jam. Evaporasi ini tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi

akibat difusi molekul air secara terus-menerus melalui kulit dan sistem

pernafasan.

4. Cara Melakukan Kompres Hangat

Adapun cara pemberian kompres hangat pada klien untuk mengatasi

nyeri adalah sebagai berikut:

a. Persiapan alat dan bahan :

1) Botol atau kain yang dapat menyerap air

2) Air hangat dengan suhu 46-51,5oC

3) Thermometer

b. Tahap Kerja :

1) Cuci tangan.

2) Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan.

3) Ukur suhu air dengan menggunakan thermometer.

4) Isi botol dengan air hangat, kemudian dikeringkan dan bungkus /

lapisi botol dengan kain.


5) Bila menggunakan kain, masukkan kain pada air hangat, lalu

diperas.

6) Tempatkan botol berisi air hangat atau kain yang sudah diperas

pada daerah yang akan dikompres.

7) Angkat botol atau kain tersebut setelah 20 menit, dan lakukan

kompres ulang jika nyeri belum teratasi.

8) Kaji perubahan yang terjadi selama kompres dilakukan.

9) Cuci tangan

(Hidayat, 2012).
E. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan

untuk mengiidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti (diamati) yang

berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk

menggabungkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo, 2014).

Gambar 2.1
Kerangka Teori

Skala nyeri:
Luka perineum Nyeri - Tidak nyeri
- Ringan
- Sedang
- Berat
Klasifikasi Penatalaksanaan nyeri :
1. Farmakologis
- Derajat I 2. Non farmakologis
- Derajat II 1) Kompres dingin
- Derajat III 2) Kompres air
- Derajat IV hangat
3) Massase kulit
4) Stimulasi
kotralateral
5) Acupressure (pijat
refleksi)
6) Transcutaneous
Elektrical nerve
Stimulation
(TENS)
7) Distraksi
8) Relaksasi
9) Olahraga/senam

Sumber : Oxorn (2010), Mauree Boyle (2011), Agussafutri (2016)


F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian dan

visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur atau diteliti

(Notoatmodjo, 2014).

Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Kompres air hangat Luka perineum


ibu post partum

G. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada pengaruh kompres air hangat terhadap nyeri luka perineum ibu post

partum di PMB Yoyoh Suherti, Amd.Keb Pringsewu tahun 2020.

Ho : Tidak ada pengaruh kompres air hangat terhadap nyeri luka perineum ibu

post partum di PMB Yoyoh Suherti, Amd.Keb Pringsewu tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai