Anda di halaman 1dari 69

KONSEP PENDIDIKAN NILAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Nilai

Dosen Pengampu :

Husnan Sulaiman, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 1
Muhammad Fajar Ramadan (19210023)
Muhammad Nur Rofi (19210024)
PAI/IV/A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAI AL-MUSADDADIYAH GARUT

2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan


nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
kelompok dari mata kuliah Pendidikan Nilai yang berjudul “KONSEP
PENDIDIKAN NILAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan
didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Garut, Juni 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................5
B. Rumusan Masalah........................................................................................6
C. Tujuan Penulisan Makalah...........................................................................6
D. Manfaat Penulisan Makalah.........................................................................7
E. Sistematika Penulisan Makalah....................................................................7
BAB II.....................................................................................................................9
Pembahasan.............................................................................................................9
A. Konsep Pendidikan Nilai dalam Konteks Pendidikan..................................9
B. Urgensi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Nasional...............................32
C. Hubungan Pendidikan Nilai dengan Karakter Bangsa................................46
D. Implikasi pendidikan nilai dalam pembangunan karakter..........................58
E. Tujuan pendidikan nilai dan korelasinya dengan moral bangsa..................60
BAB III..................................................................................................................66
PENUTUP.............................................................................................................66
A. Kesimpulan................................................................................................66
B. Saran..........................................................................................................68
C. Rekomendasi..............................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................69
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-
nilai pada diri seseorang dan sebagai bantuan terhadap peserta didik
agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Konsep utama
pendidikan nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-
nilai kebaikan dan kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik
secara kognitif, emosional dan perilaku.
Setiap nilai yang dijadikan sebagai pedoman dalam
melakukan setiap perilaku yang tejadi pada masyarakat agar
masyarakat bisa berfikir perilaku apa yang harus dilakukan dan
perilaku apa yang harus dijauhkan pula. Hal ini akan terjadi
integritas perilaku yang baik dan membentuk sebuah karakter yang
baik apabila manusia sudah memahami makna nilai. Karena sebuah
nilai bukan hanya untuk dipahami, tetapi dimaknai dan di hayati.
Saat manusia sudah menganggap nilai itu berharga, pasti
nilai yang berharga itu akan menanamkan sebuah karakter pula pada
seseorang, karena nilai juga bisa dikatakan sebagai “judice” untuk
setiap karakter yang dimiliki seseorang. Berangkat dari pernyataan
penulis diatas, bahwa karakter yang telah disinggung memiliki arti
yang merujuk pada sebuah kebaikan bahwa karakter itu bernilai atau
tidak bernilai, sehingga itu menjadi sebuah pilihan bagi seseorang
apakah karakter yang ia miliki bernilai atau tidak bernilai. Karena
karakter itu bukan sebuah materi atau teori bukan pula, tetapi
karakter merupakan ilmu kehidupan yang secara alamiah berada
dalam diri seseorang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan
Nasional?
2. Bagaimana Urgensi pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan
Nasional?
3. Bagaimana Hubungan Pendidikan Nilai dengan Karakter Bangsa?
4. Bagaimana Implikasi Pendidikan Nilai Terhadap Pembangunan
Karakter?
5. Bagaimana Tujuan Pendidikan NIlai dan Korelasinya dengan Moral
Bangsa?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui Konsep Pendidikan Nilai dalam Sistem
Pendidikan Nasional
2. Untuk mengetahui Urgensi pendidikan Nilai dalam Sistem
Pendidikan Nasional
3. Untuk mengetahui Hubungan Pendidikan Nilai dengan Karakter
Bangsa
4. Untuk mengetahui Implikasi Pendidikan Nilai Terhadap
Pembangunan Karakter
5. Untuk mengetahui Tujuan Pendidikan NIlai dan Korelasinya dengan
Moral Bangsa

D. Manfaat Penulisan Makalah


Berdasarkan tujuan pembahasan di atas mengenai “KONSEP
PENDIDIKAN NILAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA” maka manfaat
penulisan dapat ditinjau dari dua sisi, antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil pemikiran dalam makalah ini secara teoritis diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperluas
wawasan mengenai Pembelajaran Pendidikan Nilai.
2. Manfaat Praktis
Hasil diskusi ini secara praktis diharapkan dapat
menyumbangkan sebuah ilmu terhadap pemecahan masalah yang
berkaitan dengan pembelajaran Pendidikan Nilai. Selanjutnya
diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyusunan program
pemecahan masalah mengenai “Hubungan Antara Manusia,
Pendidikan, dan Nilai Serta Implikasinya Terhadap Pembangunan
Manusia Seutuhnya”.

E. Sistematika Penulisan Makalah


Adapun sistematika yang menjadi isi dari makalah ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN, meliputi: A Latar Belakang Masalah, B.
Rumusan Masalah, C. Tujuan Penulisan, D. Manfaat Penulisan, E.
Sistematika Penulisan. BAB II; PEMBAHASAN, terdiri dari: (A).
Konsep Pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan Nasional. (B).
Urgensi pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan Nasional, (C).
Hubungan Pendidikan Nilai dengan Karakter Bangsa, (D) Implikasi
Pendidikan Nilai Terhadap Pembangunan Karakter, (E) Tujuan
Pendidikan NIlai dan Korelasinya dengan Moral Bangsa. BAB III;
ANALISIS. BAB IV; PENUTUP, terdiri dari; (A). Kesimpulan, (B)
Saran. Daftar pustaka.
BAB II

Pembahasan

A. Konsep Pendidikan Nilai dalam Konteks Pendidikan


Pengertian, Hakikat, dan Tujuan Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan sarana yang menghantarkan manusia


pada nilai-nilai yang luhur, mengajarkan manusia norma dan nilai
yang baik dalam melakukan sesuatu. Tanpa pendidikan nilai,
manusia tidak akan mengetahui cara bersikap yang baik dan benar
menurut agama, etika, moral, dan budaya luhur. Pendidikan adalah
proses interaksi manusiawi antara pendidikan dan subjek didik untuk
mencapai tujuan pendidikan. Proses itu berlangsung dalam
lingkungan tertentu dengan menggunakan bermacam-macam
tindakan yang disebut alat pendidikan.

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani paedagogie,


yang akar katanya pais yang berarti anak dan again yang artinya
bimbingan. Dengan demikian, paedagogie berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak. Dalam bahasa inggris, pendidikan
diterjemahkan menjadi education. Education berasal dari bahasa
Yunani educare, yang berarti membawa keluar yang tersimpan
dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang. Para
ahli memberikan definisi pendidikan sebagaimana dimuat dalam
Dijen Dikti , di antaranya sebagai berikut.

a. Langeveld; seorang ahli pendidikan bangsa Belanda yang


pendidikannya berorientasi ke Eropa dan lebih menekankan pada
teoriteori (ilmu). Dapat dikenal dengan bukunya Paedagogik Teoritis
Sistematis. Menurut Langeveld, pendidikan adalah bimbingan atau
pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa pada perkembangan
anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup
cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain.
b. John Dewey; seorang ahli filsafat pendidikan Amerika pragmatisme
dan dinamis. Menurutnya, pendidikan (education) diartikan sebagai
proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Hidup
adalah proses yang selalu berubah, tidak satu pun yang abadi.
Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti
membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi usia. Dengan kata lain,
pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membantu
pertumbuhan dalam proses hidup tersebut dengan membentuk
kecakapan fundamental atau kecakapan dasar yang mencakup aspek
intelektual dan emosional yang berguna bagi manusia, terutama bagi
dirinya sendiri dan alam sekitar.
c. Driyarkara; tokoh pendidikan yang telah wafat, tetapi pandangannya
masih tetap aktual pada masa kini, bahkan pada masa yang akan
datang. Rumusan pertama pokok pemikirannya adalah pemanusiaan,
yang pendidik memanusiakan dan anak didik memanusiakan diri.
Jadi, pendidikan berarti pemanusiaan. Berdasarkan pokok pemikiran
tersebut, definisi yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan “tri tunggal” ayah,
ibu, dan anak yang terjadi pemanusiaan anak dengan mana dia
berproses untuk akhirnya memanusia sendiri sebagai purnawan.
d. Ki Hajar Dewantara; sebagai tokoh pendidikan nasional Indonesia,
peletak dasar yang kuat pendidikan nasional yang progresif untuk
generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan
pengertian pendidikan sebagai berikut: pendidikan umumnya berarti
daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelek dan tubuh anak); dalam Taman
Siswa bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya.
Ki Hajar Dewantara adalah pelopor dan peletak dasar dari
perguruan Taman Siswa. Dasar itu kini terkenal dengan nama Panca
Darma. Dasar-dasar itu adalah dasar kemerdekaan, dasar
kebangsaan, dasar kemanusiaan, dasar kebudayaan, dan dasar kodrat
alam. Dalam pelaksanaannya dasar kemerdekaan ini dimaksudkan
agar pendidik memberikan kebebasan kepada anak didik untuk
mengatur dirinya sendiri dan mengembangkan individunya sendiri,
tetapi harus berdasarkan nilai hidup yang tinggi sehingga
keseimbangan dan keselarasan, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat dapat terwujud.
Dengan konsepsi seperti yang telah diuraikan di atas,
Dewantara telah meletakkan dasar kodrat anak sebagai faktor
pertama dan utama yang terkenal dengan semboyan “Marilah kita
berhamba kepada sang anak”. Cita-cita ini akan terlaksana jika anak
diberi kebebasan dan kemerdekaan untuk menjadi manusia yang
beradab sesuai dengan kebudayaan dan menghormati bangsanya
sebagai bangsa Indonesia.

Dalam Dictionary of Education pendidikan ialah proses


ketika seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-
bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat ia hidup,
proses sosial tempat orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan
yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah)
sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun


Kamus, 1994: 232) disebutkan bahwa pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.

Pengertian pendidikan yang tertera dalam Garis-Garis Besar


Haluan Negara (Tap MPR No.II/MPR/1988) dinyatakan sebagai
berikut:

“…Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk


mengembangkan kepribadian dengan kemampuan di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah.

Adapun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


(UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, Pasal 1 menggariskan
pengertian:

“... Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk


mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Secara etimologi, nilai memiliki sepadan dengan kata value


dalam bahasa Inggris. Value berasal dari bahasa latin valare atau
valoir dalam bahasa Perancis kuno yang berarti nilai atau harga
(Hufad dan Sauri, 2007 : 42). Secara terminologi, Poerwadarminta
(dalam Hufad dan Sauri, 2007 : 42) mendefinisikan nilai sebagai hal-
hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Pendapat lain
dikemukakan oleh Mulyana (2011 : 11) yang mendefinisikan nilai
sebagai rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.
Sementara Hufad dan Sauri (2007 : 45) mendefinisikan nilai sebagai
rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Lebih lanjut lagi
dikatakan bahwa hakikat makna nilai adalah berupa norma, etika,
peraturan perundang-undangan, adat kebiasaan, aturan agama, dan
rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi
seseorang dalam menjalani kehidupannya.

Berkaitan dengan pendidikan nilai, Mulyana (2011: 106-107)


menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan
kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan
spiritual. Karena itu, lebih lanjut dikatakan, komponen esensial
kepribadian manusia adalah nilai (values) dan kebajikan (virtues).
Implikasi dari hal tersebut, maka pendidikan di sekolah seharusnya
memberikan prioritas untuk membangkitkan nilai-nilai kehidupan,
serta menjelaskan implikasinya terhadap kualitas hidup masyarakat.
Pendidikan nilai sendiri diartikan Mulyana (2011 : 119)
sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar
menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang
konsisten. Definisi tersebut senada dengan yang diungkapkan Hufad
dan Sauri (2007 : 65) yang mendefinisikan pendidikan nilai sebagai
proses bimbingan melalui suri tauladan dan pendidikan yang
berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang didalamnya
mencakup nilai-nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju
pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh,
berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, dan Negara.

Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia


sebab urusan utama pendidikan adalah manusia. Wawasan yang
dianut oleh pendidik dalam hal ini guru, tentang manusia akan
memengaruhi strategi atau metode yang digunakan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Di samping itu, konsep pendidikan
yang dianut saling berkaitan erat dengan hakikat pendidikan.

Beberapa asumsi dasar yang berkenaan dengan hakikat


pendidikan tersebut dinyatakan oleh Raka Joni (Ace Suryadi dan
Dasim Budimansyah, 2004: 3) sebagai berikut.

a. Pendidikan merupakan proses interaksi manusia yang ditandai oleh


keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dan kewibawaan
pendidikan.
b. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi
lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
c. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan
masyarakat.
d. Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.

Pada dasarnya pendidikan harus dilihat sebagai proses dan


sekaligus sebagai tujuan. Asumsi dasar pendidikan tersebut
memandang pendidikan sebagai kegiatan kehidupan dalam
masyarakat untuk mencapai perwujudan manusia seutuhnya yang
berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan sebagai kegiatan
kehidupan dalam masyarakat memiliki arti penting bagi individu dan
masyarakat sebab masyarakat dan individu saling berkaitan.
Individu menjadi manusia seperti saat ini adalah karena
proses belajar atau proses interaksi manusiawi dengan manusia
lainnya. Artinya, manusia tidak akan menjadi manusia tanpa
dimanusiakan. Dengan kata lain, perkembangan manusia yang
manusiawi hanya dapat terjadi dalam lingkungan masyarakatnya.
Sebaliknya, masyarakat sebagai wujud kehidupan bersama tidak
mungkin berkembang jika tidak didukung oleh kemajuan individu-
individu anggotanya.

Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu


negara berdasarkan sosio-kultural, sosio psikologis, sosio ekonomis,
dan sosio politis. Pusat orientasinya adalah demi eksistensi bangsa
serta cita-cita bangsa dan negara, baik jangka pendek maupun jangka
panjang.

Urgensi pendidikan nasional jangka pendek, terutama


diarahkan pada memenuhi kebutuhan nasional dalam pembangunan
negara, di setiap lapangan kehidupan bangsa itu. Adapun kebutuhan
jangka panjang adalah demi eksistensi dan integritas nasional, demi
regenerasi bangsa dan kepemimpinan nasional untuk membina
kepribadian bangsa yang tercermin dalam tatanan kehidupan
(Muhammad Noor Syam, 1988: 2).

Pendidikan nasional berorientasi pada perwujudan tatanan


baru kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
mewujudkan masyarakat madani Indonesia (civil society).
Masyarakat baru yang bersifat pluralistik dan berkepribadian
Indonesia diharapkan mampu mendorong semangat kesatuan dan
persatuan bangsa untuk mengejar cita-cita dan harapan masa depan
yang cerah.

Pendidikan pada masa depan harus mampu mempercepat


terbentuknya tatanan masyarakat yang pertama, menghargai
perbedaan pendapat sebagai manifestasi dari rasa tanggung jawab
dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta
pemantapan kehidupan demokrasi di semua bidang kehidupan.

Kedua, tertib sadar hukum, memiliki budaya malu, dan


mampu menciptakan keteladanan. Ketiga, memiliki rasa percaya
diri, mandiri dan kreatif, memiliki etos kerja yang tinggi, serta
berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) dalam memacu keunggulan bangsa dalam kerangka
persaingan dunia (Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah, 2004:
165).

Dalam UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen


disebutkan tujuan pendidikan nasional adalah upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia
yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan
UUD Negara RI Thn 1945.

Semua lembaga pendidikan formal yang ada di wilayah


negara Indonesia diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional bersumber dari falsafah negara
dan bangsa Indonesia. Falsafah merupakan suatu sistem nilai yang
dianut, suatu pandangan hidup bangsa, yang dianggap benar dan
diyakini sebagai suatu nilai yang dapat mengantarkan bangsa
Indonesia menuju persatuan nasional. Oleh karena itu, Pancasila
merupakan dasar dan cita-cita yang ingin dicapai dalam membina
generasi muda melalui lembaga-lembaga pendidikan formal.

Pada Bab II Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No.


20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan berdasarkan


tujuan pendidikan nasional dapat dikelompokkan menjadi tiga:

a. aspek pengetahuan (kognitif ), meliputi berilmu dan cakap;


b. aspek keterampilan (psikomotor), meliputi kreatif;
c. aspek sikap (afektif ), meliputi beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
sehat, mandiri, dan demokratis.

Tujuan pendidikan nasional ini harus tercermin dalam


perencanaan pembelajaran pada semua jenjang pendidikan sehingga
dapat mengembangkan potensi siswa secara optimal menjadi
kemampuan untuk hidup di masyarakat dan turut menyejahterakan
masyarakat. Siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang baik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya tersebut sesuai dengan standar yang
ditetapkan.

Jika dikaji lebih jauh, makna dari tujuan pendidikan nasional


masih bersifat umum. Keumuman itu sering membawa kekaburan
dalam pelaksanaan. Di sini patut dipertanyakan, apa maksud dengan
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
bangsa? Pengetahuan, keterampilan, dan sikap apa yang patut
dimiliki manusia pembangunan yang berpancasila? Bagaimana
mengembangkan potensi siswa? Bagaimana manusia yang beriman
dan bertakwa itu? Demokrasi macam apa yang ingin ditanamkan?
Bagaimana upaya mengembangkan kreativitas, kemandirian, dan
kecakapan? Apa yang dimaksud dengan akhlak mulia dan berilmu?
Bagaimana perwujudan warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah contoh
bagaimana dalamnya makna tujuan pendidikan di atas dan
bagaimana kaburnya pengertian yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu, perlu dilakukan penjabaran yang lebih terperinci sehingga
menjadi lebih jelas.
Mengenai tujuan pendidikan nasional, jelaslah bahwa sumber
dan acuannya adalah Pancasila. Sebagaimana diketahui bahwa
rumusan resmi Pancasila adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila tersebut merupakan rumusan resmi yang


berlaku. Permasalahannya adalah apakah rumusan Pancasila yang
masih bersifat umum itu dapat ditafsirkan sekehendak kita masing-
masing? Jika dapat, tentu akan muncul sejumlah tafsiran yang
beragam. Tiap-tiap pihak penafsir akan mempertahankan dan
menganggap bahwa tafsiran yang diberikannya itu benar. Hal ini
tentu membawa dampak terhadap pelaksanaan Pancasila dalam
kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dengan adanya tafsiran resmi Pancasila yang dijadikan


acuan terjabar dari landasan pendidikan Pancasila, masalah tentang
tujuan pendidikan nasional belumlah selesai. Kita perlu membuat
kajian lebih dalam tentang makna tujuan itu sehingga dapat
diwujudkan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Jabaran
tujuan itu menghasilkan rumusanrumusan tujuan yang lebih khusus
lagi, menyangkut setiap sekolah dan perencanaan pembelajaran yang
dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagai arah dan hasil belajar yang
diharapkan bersumber dari tujuan pendidikan nasional terdapatlah
rumusan tujuan sekolah dan tujuan pembelajaran.

Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa filsafat


negara kita adalah Pancasila. Pengalaman membuktikan bahwa
Pancasila merupakan kepribadian, tujuan, dan pandangan hidup
bangsa. Dengan demikian, pedoman yang harus menjadi dasar
sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan hidup
bangsa adalah Pancasila sehingga pendidikan nasional adalah
pendidikan Pancasila.

Pengembangan suatu sistem pendidikan nasional merupakan


suatu usaha untuk mewujudkan wawasan nusantara yang mencakup
perwujudan kepulauan nusantara sebagai kesatuan politik, satu
kesatuan budaya dan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan
keamanan. Sebagai realisasi dari upaya tersebut, pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang diatur dengan UndangUndang Republik Indonesia
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
tanggal 27 Maret 1989.

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai


yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Oleh
karena itu, tujuan pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu
memberikan arah pada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan
sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Dalam praktik pendidikan, khususnya pada sistem
persekolahan, dalam rentangan antara tujuan umum dan tujuan yang
sangat khusus terdapat sejumlah tujuan antara. Tujuan antara
berfungsi untuk menjembatani pencapaian tujuan umum dari
sejumlah tujuan rincian khusus. Umumnya ada empat  jenjang tujuan
di dalamnya terdapat tujuan antara, yaitu tujuan umum, tujuan
institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.

a. Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila.


b. Tujuan institusional, yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga
pendidikan tertentu untuk mencapainya.
c. Tujuan kurikuler, yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata
pelajaran.
d. Tujuan instruksional, tujuan pokok bahasan dan subpokok bahasan
disebut tujuan instruksional, yaitu penguasaan materi pokok
bahasan/ subpokok bahasan.

Adapun tujuan pendidikan Indonesia tertulis dalam Undang-


Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan pendidikan.

Dalam PPRI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional


Pendidikan Pasal 26 ayat satu disebutkan bahwa pendidikan dasar
berkaitan untuk meletakkan dasar:

a. Kecerdasan
b. Pengetahuan
c. Kepribadian
d. Akhlak Mulia
e. Keterampilan untuk hidup mandiri
f. Mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Selanjutnya, tujuan pendidikan menengah umum sama


seperti yang disebutkan pada Pasal 26 ayat satu mengenai tujuan
pendidikan dasar. Tujuan pendidikan menengah kejuruan pada ayat
tiga pasal yang sama berbunyi:

a) Kecerdasan
b) Pengetahuan
c) Kepribadian
d) Akhlak mulia
e) Keterampilan untuk hidup mandiri
f) Mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya.

Terakhir dari PP tersebut yang akan dibahas adalah pasal


yang sama ayat 4 tentang tujuan pendidikan tinggi yang mengatakan
untuk mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang:

a) Berakhlak mulia
b) Memiliki pengetahuan
c) Terampil
d) Mandiri
e) Mampu menemukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu,
teknologi, serta seni yang bemanfaat bagi kemanusiaan.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Indonesia yang telah
komprehensif mencakup afeksi, kognisi, dan psikomotor hendaklah
dikembangkan secara berimbang, optimal, dan integratif.
Kesimpulannya secara konsep atau dokumen tujuan pendidikan
Indonesia tidak begitu berbeda dengan tujuan pendidikan yang
diinginkan oleh para ahli pendidikan di dunia. Oleh sebab itu, tujuan
atau arah dan fungsi utama sistem pendidikan nasional adalah
mengembangkan manusia, masyarakat, dan lingkungannya.

Dengan demikian, sistem pendidikan nasional harus


berfungsi mengembangkan bangsa dan kebudayaan nasional.
Pembangunan di sini adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal tersebutlah
yang menentukan arah pendidikan nasional.

FAKTO-FAKTOR YANG MENUNJANG


TERAPLIKASINYA NILAI DALAM PENDIDIKAN
NASIONAL

Saat ini dunia pendidikan kita sedang mencoba sejumlah


inovasi pendidikan. Banyak hal baru yang diperkenalkan dalam
dunia pendidikan seiring dengan perubahan orientasi kebijakan
pendidikan nasional dari yang statistik ke desentralistik. Salah satu
yang dapat kita temukan, yaitu inovasi pendidikan mengemukakan
dalam istilah-istilah yang serbaberbasis kompetensi (KBK), dan lain-
lain. Istilah-istilah itu tidak pernah muncul dalam kurikulum 1994
yang digunakan sebelumnya setelah adanya kebijakan desentralisasi
pendidikan.

Inovasi pendidikan di sini adalah gagasan atau program yang


dipersepsi sebagai satuan yang baru oleh penemunya. istilah baru
memang bersifat relatif. Suatu gagasan atau program yang
sebenarnya telah usang menurut suatu komunitas masyarakat atau
bangsa dapat dianggap baru oleh yang lain.

Rogers (Rohmat Mulyana, 2005: 165) membuat batasan


tentang objektivitas seseorang dalam menilai sesuatu yang dianggap
baru berdasarkan dua kriteria, yaitu: (a) baru diukur bahwa gagasan
atau program tersebut memang pertama kali ditemukan; (b) baru
diukur oleh jarak waktu ketika seseorang atau kelompok masyarakat
pertama kali menggunakan gagasan atau program pendidikan itu.

Pada kriteria pertama, inovasi pendidikan banyak


dikembangkan di lembaga pendidikan negara maju. Gagasan baru
yang dihasilkan melalui sejumlah penelitian dan pengembangan
dalam bidang pendidikan banyak dihasilkan oleh para pendidik dan
ahli pendidikan, yaitu sarana dan fasilitas serta sumber daya manusia
yang tersedia cukup mendukung sehingga temuan baru dalam bidang
pendidikan dari tahun ke tahun semakin bertambah. Hal ini perlu
dicermati berkenaan dengan gagasan dan program untuk
peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, gagasan dan program yang
ditawarkan melalui sejumlah buku dan kebijakan pendidikan
ternyata memiliki perhatian yang cukup serius dalam hal penyadaran
nilai.

Saat ini pendidikan nasional menghadapi berbagai tantangan


yang sangat berat, khususnya dalam upaya menyiapkan kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing pada era global
(Rohmat Mulyana, 2005: 165).

Upaya untuk membangun kualitas kehidupan manusia


melalui pendidikan persekolahan terus dilakukan dan tidak akan
terhenti. Proses ini berlangsung secara stimulan dan berkelanjutan.
Keberadaan manusia saat ini ditentukan oleh proses pendidikan
sebelumnya dan keberadaan manusia akan datang ditentukan oleh
proses pendidikan saat ini (Rohmat Mulyana, 2005: 113). Oleh
sebab itu, pendidikan di sekolah seharusnya memberikan prioritas
untuk membangkitkan nilai-nilai kehidupan serta menjelaskan
implikasinya terhadap kualitas hidup masyarakat (Rohmat Mulyana,
2005: 107).

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


(UUSPN) No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa ada beberapa
perubahan arah kebijakan yang cukup strategis bagi masa depan
pengembangan nilai di sekolah.

Beberapa arah perubahan kebijakan beserta nilainya dapat


disimpulkan sebagai berikut.
a. Salah satu ciri umum UUSPN No. 20 tahun 2003 bersifat
desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai
kemanusiaan, khususnya dalam bidang pendidikan menjadi hal yang
utama. Desentralisasi tidak hanya dimaknai sebagai limpahan
kewenanganpengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau
sekolah, tetapi dapat juga diartikan sebagai upaya pengembangan
dan pemberdayaan nilai secara mandiri pada para pelaku
pendidikan. Jika dahulu nilai keadilan pendidikan ditempatkan pada
konteks pemerataan, kini nilai keadilan menyatu dengan kesempatan
untuk mengembangkan potensi sekolah atau individu secara unik.
b. Pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan kualitas manusia
Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia telah
memberikan porsi pada pemberdayaan pendidikan nilai dalam usaha
membangun karakter moral bangsa. Artinya, proses pendidikan
harus kembali pada nilai-nilai dan kesadaran-kesadaran ketuhanan
sesuai dengan keyakinan yang dianut.
c. UUSPN menaruh perhatian pada pendidikan anak usia dini yang
memiliki misi nilai sangat penting bagi perkembangan anak. Anak
perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakannya
ketika mereka bermain, bernyanyi, menulis, atau menggambar
sehingga pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan,
kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, dan keindahan dalam
pemahaman nilai menurut kemampuan pemahaman mereka.
Dengan disebutkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) pada bagian penjelasan UUSPN, hal ini menandakan bahwa
nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Secara
psikologis, hal ini memiliki makna cukup luas karena kebutuhan dan
kemampuan peserta didik hanya akan dapat dipenuhi jika proses
pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu (Rohmat
Mulyana, 2005: 168).
Dalam konteks pendidikan nasional arti penting pendidikan
nilai telah memasyarakat. Apabila dikaitkan dengan fenomena
kehidupan saat ini, sering kurang kondusif bagi masa depan bangsa.
Arus globalisasi yang demikian kuat berpotensi mengikis jati
diri bangsa, nilai-nilai kehidupan yang dipelihara menjadi goyah,
bahkan berangsur-angsur hilang. Budaya luar pun lebih ditanggapi
masyarakat daripada budaya pribumi. Hal itu disebabkan budaya luar
dianggap kehidupan baru bagi masyarakat pribumi walaupun
sebenarnya tidak berimbang dengan nilai budaya kita. Pada
umumnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang baru tanpa
memedulikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang
akhirnya menuntut peranan pendidikan nilai untuk benar-benar
menjamin lahirnya generasi yang tangguh secara intelektual ataupun
moral.
Analisis atas kinerja pendidikan di Indonesia, sejak dahulu
hingga sekarang telah mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan
bahwa terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam
penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Salah satu bidang
manajemen ketatalaksanaan sekolah dan pada tataran proses, seperti
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan
prosedur kerja yang ketat. Demikian pula, pada bidang lain, seperti
personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran,
layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya. Bukan hanya
substansinya belum komprehensif, melainkan juga kriteria
keberhasilan untuk masing-masing belum diterapkan secara taat dan
berasas.

Kemampuan pendekatan proses yang menuju tercapainya,


sering mengalami kendala karena berbenturan dengan perilaku
birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrumen
pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh,
dan dukungan masyarakat yang begitu rendah (Sudarwan Danim,
2003: 68).

Pendidikan Nilai pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

Sebagai mata pelajaran, Pendidikan Agama Islam (PAI)


memiliki peran penting dalam penyadaran nilai-nilai agama Islam
kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung
nilai, moral, dan etika agama menempatkan PAI pada posisi
terdepan dalam pengembangan moral beragama siswa.

Hal itu berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang


kemudian dituntut lebih banyak perannya dalam penyadaran nilai-
nilai keagamaan. Pendidikan Agama Islam juga memiliki
karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Karakteristik tersebut di antaranya sebagai berikut.
a. PAI berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kukuh
dalam situasi dan kondisi apa pun.
b. PAI berusaha untuk menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai
yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran dan Hadis serta
otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam.
c. PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan
sehari-hari.
d. PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalihan individu
dan kesalihan sosial.
PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan
iptek dan budaya serta aspek kehidupan lainnya (Muhaimin, 2006:
102).

Maka dari itu Pendidikan nilai merupakan proses penanaman


dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian
yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119)
mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta
didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang
diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup
keseluruhan program pendidikan.

Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah


penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai
metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai
pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan
pengajaran pendidikan nilai. Hal tersebut penting untuk memberi
variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih
menarik dan tidak membosankan.

Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan


nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003:

Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan


desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai
kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi
pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai
sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat
daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan
pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.

Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan


pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa
core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari
keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan
harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan
keyakinan agama yang diyakini.

Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi


(KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-
nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan
kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses
pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena
itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan
edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna.

Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap


usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi
perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman
anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih
untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia
dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting
karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih
untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi,
bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh
nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan,
dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan
mereka.

B. Urgensi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Nasional


Arus modernitas ternyata berhasil mendobrak dinding
tatanan moral tradisional berupa adat-istiadat dan kebiasaan luhur
nenek moyang manusia. Wujud nilai-nilai moral berupa
penghormatan terhadap sesama manusia, sikap tanggung jawab,
kejujuran, kerukunan, dan kesetiakawanan, lambat laun digeser oleh
otonomi manusia yang mendewakan kebebasan. Kebebasan sering
mengkondisikan perwujudan adigium “homo homoni lupus”- yaitu
manusia yang tidak mengenal lagi batas-batas hak dan wewenang
dalam hidup sosialnya. Dan bangsa Indonesia sejak reformasi yahun
1998 telah mendewakan kebebasan sebagai kodrat hidup manusia
baru. Kaum muda, remaja, dan orang dewasa acapkali terperangkap
dalam kebebasan pribadi tanpa memperhatikan hak dan kepentingan
orang lain disekitarnya. Penggunaan kebebasan tanpa tanggung
jawab moral ini, telah menimbulkan pelanggaran sejumlah norma-
norma moral.

Hingga hari ini, pelanggaran norma moral juga telah


merembet ke dalam dunia pendidikan formal, mulai sekolah dasar
(SD) hingga perguruan tinggi (PT). Ini dapat disimak dari sekian
kasus yang terjadi seperti; ada dosen yang jiplak karya orang lain,
budaya amplop, kasus nyontek dari SD sampai PT, korupsi waktu,
dan fenomena praktik sex komersial. Dengan kata lain, tindakan
yang bertentangan dengan norma moral telah menodai dunia
pendidikan kita dari sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.

Krisis Moral

Suatu kebudayaan masyarakat yang terkena krisis moral


selalu ditandai dengan kehilangan identitas diri, buyar kebatinan,
dan mati imannya - sehingga masyarakat akan telanjang dan menjadi
makhluk yang kehilangan otonomi pribadi, yang tak mampu lagi
mengendalikan diri terhadap godaan yang melulu material.

Seperti dulu revolusi terkait dengan kebudayaan, maka


seharusnya reformasi di negeri ini juga seharusnya berhubungan
dengan kebudayaan, yaitu bagaimana cara menanamkan nilai-nilai
moral kepada masyarakatnya. Sebab akan sia-sialah reformasi jika
upaya menata masyarakat yang berbudaya dan bermoral terutama
para pejabatnya tidak dilakukan. Dan sia-sia jugalah upaya reformasi
yang hanya melulu upaya pemulihan ekonomi dan politik jika tidak
disertai dengan upaya menata moralitas masyarakatnya.
“Hilangnya tepa selira, musnahnya kepercayaan, pudarnya naluri
kemanusiaan yang menjerumuskan manusia pada tindak kekerasan,
serta tidak adanya kesesuaian antara omongan dan kelakuan
merupakan tanda-tanda masyarakat yang sedang dililitkrisis
kebudayaan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, krisis


kebudayaan yang ditandai dengan runtuhnya nilai-nilai moral dalam
setiap aspek kehidupan, muncul dalam bentuk ketidakmampuan
seseorang untuk memahami diri sendiri dalam membangun relasi
dengan sesama, dalam menduduki posisi tertentu, dan hampir dalam
setiap dinamika kehidupannya. Jika orang yang bermoral biasanya
cenderung mampu mengontrol dirinya untuk tetap sadar dengan
berbagai rambu-rambu kehidupan yang ada, maka sebaliknya orang
yang moralnya rendah, pengendalian dirinya untuk melangkah
secara sadar juga pasti rendah. Dari sini dapat dikatakan bahwa
konsep moralitas ternyata bukanlah konsep universal, karena setiap
budaya masyarakat ternyata membangun bentuk moralitasnya
sendiri-sendiri.

Begitu rendahnya kontrol diri para pejabat yang merupakan


representasi dari rendahnya moralitas, maka masyarakat modern
(terutama para pejabat) dituding sebagai masyarakat yang
mengalami ‘sakit jiwa’. Artinya, di satu pihak para pejabat memaksa
dan memproduksi sejumlah perangkat moral bagi masyarakat, tetapi
dipihak lain, para pejabat sendiri cenderung bertindak menihilkan
moralitas terhadap apa yang dibuatnya sendiri. Bahkan para pejabat
memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas,
tetapi Ia sekaligus juga menghancurkan dasar-dasar moralitas
tersebut. Sejumlah kasus korupsi, aksi pornografi, sejumlah
Peraturan Pemerintah (PP) dan sejumlah Undang-Undang yang
cenderung menguntungkan pejabat negara, merupakan bukti yang
bisa kita sodorkan.

Setidaknya ada empat bukti yang dapat disodorkan sebagai


tanda kematian moral para pejabat bangsa Indonesia belakangan ini.
Pertama, kematian akan rasa keadilan. Belakangan ini yang
menonjol dari negeri ini adalah semangat hidup egois demi
kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok. Hukum dibuat
untuk menjerat masyarakat yang lemah tetapi memperkuat posisi
mereka yang berkuasa. Tidak adilnya aturan hukum itu menjadi
bukti matinya rasa keadilan yang diikuti juga kematian semangat
persaudaraan nasional, rasa senasip sepenangungan, rasa kesatuan
dan persatuan sebagai warga satu bangsa dan negara.

Kedua, kematian rasa tanggung jawab politik. Moralitas


kehidupan politik pada dasarnya adalah demi kesejahteraan umum
dan bukan untuk membuat kecemasan umum. Sampai saat ini,
kehidupan politik di negeri kita masih lebih kuat berorientasi demi
kekuasaan dan kesempatan semata serta untuk menumpuk uang dan
harta. Kuatnya orientasi politik semacam ini menyebabkan semakin
subur dan membudayanya perilaku para elite yang korup, kolusi,
nepotisme, materialisme, dan konsumerisme.

Ketiga, kematian akan rasa hormat akan hidup dan martabat


manusia. Tampaknya, rasa hormat akan hidup dan martabat manusia
di Indonesia saat ini menjadi kian punah. Matinya rasa kemanusiaan,
hilangnya rasa hormat terhadap kelemahan dan ketidakberdayaan
sebagian masyarakat, telah memudahkan tindak kekerasan struktural
yang digelar para pejabat. Berbagai bentuk penggusuran yang marak
dilakukan untuk membangun real estate dan gedung mewah -
merupakan bukti nyata matinya rasa hormat akan hidup dan martabat
manusia itu.

Keempat, kematian moralitas dan etika akan rasa hormat


kepada Tuhan Yang Maha Kuasa terutama dalam menghayati hidup
bermasyarakat. Kematian nilai moral saat ini seolah-olah semua
yang terjadi tidak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Anehnya, di tengah situasi tanpa moral itu, tidak sedikit juga para
pejabat yang berdoa di tempat-tempat ibadat, walau tidak tampak
perilakunya yang bermoral dan beretika dalam kehidupan sehari-
hari.

Berkaitan dengan hal ini, maka perlu kiranya pendidikan


nilai moral dipikirkan secara serius lagi dalam proses pendidikan
formal. Materi pembelajaran selama ini dirasa tidak mudah dicerna
para siswa karena relevansinya dengan keadaan hidup kurang
terasa. Dalam perombakan dan perbaikan kurikulum pendidikan
yang dilakukan pemerintah, patut kita bertanya skala prioritas apa
yang dianut pemerintah? Menurut saya, yang mendesak sekarang
adalah perbaikan paradigma kurikulum pendidikan dari sudut
pandang nilai-nilai moral yang sedang mengalami krisis. Satu
persatu tindakan yang merugikan kesejahteraan umum berkembang
subur dalam negara kita seperti keserakahan, korupsi dari skala
mikro hingga makro, ketidakjujuran dalam penggunaan dana
pinjaman luar negeri dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hati
nurani manusia Indonesia hampir buta, dan hukum positif tidak lagi
ditegakkan dalam mengecap pendidikan formal dari tingkat SD
hingga PT karena muatan kurikulum yang tidak kontekstual.

Ada tiga hal yang melatarbelakangi perlunya menata


moralitas masyarakat bangsa pada saat ini; Pertama, menyadari
bahwa akar dari krisis ekonomi, politik, dan sosial bangsa Indonesia
adalah krisis moral, yaitu telah terjadi devaluasi harkat manusia.
Bagi generasi muda saat ini, sejarah kontemporer bangsa Indonesia
menggoreskan jejak keteladanan dalam skala minim.

Kedua, kini dan mendatang manusia makin memasuki era


multi peradaban yang ditandai dengan paradoks budaya; antara
budaya global dengan budaya lokal. Semua itu akan dengan
sendirinya menentukan warna-warni perilaku setiap individu.
Generasi muda bangsa ini nantinya akan mengalami retak mental,
gegar budaya, atau sebaliknya akan muncul generasi muda yang
cerdas dan berbudi luhur sangat tergantung persiapan kita hari ini
dalam menata kembali moralitas bangsa yang telah dikikis krisis.

Ketiga, dari sisi temuan para peneliti ahli pengajaran tingkat


dunia, kecerdasan emosional (EQ) ternyata menjadi faktor utama
keberhasilan hidup seperti studi, bisnis, religius, berkeluarga, dan
berbangsa. Tetapi sebaliknya, sangat tidak mungkin akan tertanam
nilai-nilai budaya pada masyarakat suatu bangsa jika tidak adanya
pendidikan nilai moral. Dan akibat yang bakal muncul adalah akan
lahir pribadi yang kabur, culun, lemah daya juang, tanpa idealisme
luhur, mengandalkan orang lain, parasit, meskipun siswa pada setiap
generasi tampak pintar.

Dalam konteks pendidikan nasional, arti penting pendidikan


nilai tidak diragukan lagi. Munculnya upaya pendidikan nilai yang
berhasil dirasakan sangat mendesak, apalagi dikaitkan dengan gejala
kehidupan saat ini yang sering kurang kondusif bagi masa depan
bangsa.

Arus globalisasi yang demikian kuat berpotensi mengikis


jati diri bangsa. Nilai-nilai kehidupan yang dipelihara menjadi
goyah, bahkan berangsur-angsur hilang. Budaya luar yang kurang
ramah terhadap budaya pribumi menuntut peran pendidikan nilai
untuk benar-benar menjamin lahirnya generasi yang tangguh secara
intelektual dan moral.

Memahami pendidikan nilai dapat dimulai dari pemahaman


tentang definisi dan tujuannya. Definisi dapat memberikan petunjuk
pada pemaknaan istilah pendidikan nilai, sedangkan tujuan dapat
memberikan kejelasan tentang cita-cita dan arah yang ditunjukkan
oleh pendidikan nilai.

Rendahnya mutu pendidikan nasional tidak hanya


disebabkan oleh kelemahan pendidikan dalam membekali
kemampuan akademis kepada peserta didik, tetapi juga kurangnya
penyadaran nilai secara bermakna. Kelemahan dalam penyadaraan
nilai sebenarnya disebabkan oleh banyak hal, tetapi secara umum
persoalan itu muncul karena pendidikan nilai selalu menghadapi
sejumlah tantangan yang semakin hari semakin kompleks.

a) Pergeseran Substansi Pendidikan

Salah satu penyebab rendahnya mutu sumber daya manusia


Indonesia adalah adanya pergeseran substansi pendidikan ke
pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan muatan nilai-nilai
moral bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi
sebagai transfer pengetahuan. Lebih ironis lagi, sinyalemen itu
terjadi pada mata pelajaran yang berlabelkan agama atau pendidikan
kewarganegaraan yang sarat dengan muatan nilai, norma, dan moral.
Tampaknya tidak sulit untuk kita temukan bahwa pada dua jenis
mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif berlangsung
seperti halnya terjadi pada mata pelajaran yang lain.

Perubahan substansi pendidikan ke pengajaran berdampak


langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Otak
siswa yang dijejali dengan pengetahuan buku menyebabkan siswa
kurang kritis dan kreatif. Selain itu, terabaikannya sistem nilai yang
seharusnya menyertai proses pembelajaran dapat mengakibatkan
ketimpangan intelektual dengan emosional yang hanya akan
melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Pendidikan yang berdimensi nilai, moral, dan norma, sangat


penting artinya bagi masyarakat yang cepat berubah. Kematangan
secara moral (morally mature) menjadikan seseorang mampu
memperjelas dan menentukan sikap terhadap substansi nilai dan
norma baru yang muncul dalam proses perubahan.

b) Penyebab Pergeseran

Kendala yang menyebabkan pergeseran pendidikan muncul,


baik sarana pengalaman pada lingkup makro maupun mikro, yang
menyangkut kemampuan personal dan kondisi lokal. Kendala-
kendala tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Masih kukuhnya pengaruh paham behaviorisme dalam sistem


pendidikan. Paham ini mengacu pada pertimbangan atribut-atribut
luar, seperti perubahan tingkah laku peserta didik yang dapat diamati
dan diukur. Konsekuensinya, proses dan evaluasi keberhasilan
pendidikan terpaku pada pengukuran tingkah laku yang dapat
diangankan. Sebuah pertanyaan yang bernada pesimistik, misalnya:
apakah angka 9 untuk mata pelajaran Agama sudah mengukur
kualitas ketakwaan anak didik? Pertanyaan retoris seperti itu
ditujukan untuk mempertanyakan kembali hakikat pendidikan yang
sesungguhnya.
2) Kapasitas mayoritas pendidik dalam mengangkat struktur dasar
bahan ajar masih relatif rendah. Hal itu tidak terlepas dari
keterbatasan sumber bacaan, kurangnya dukungan sarana,
pengalaman pendidikan yang kurang menguntungkan, bahkan sisi
buruk dari pewarisan kepribadian sebagai bangsa yang pernah
dijajah selama tiga abad. Faktor-faktor itu potensial untuk menjadi
penyebab banyaknya peristiwa dalam pendidikan kita yang
“mencekcoki” peserta didik
3) Tuntutan zaman yang semakin pragmatis. Setelah ekonomi bangsa
mengalami krisis moneter, pendidikan pun turut terpuruk pada
ketidakstabilan muatan misinya. Di satu pihak ilmu pengetahuan
alam yang dipandang cepat mendatangkan uang lebih disukai para
peminat, sedangkan dipihak lain ilmu pengetahuan sosial yang
dipandang sebagai ilmu kelas dua sering dianggap kurang menarik.
Dengan demikian, pendidikan seharusnya berperan sebagai ajang
pemanusiaan manusia yang semakin terdepak oleh nilai-nilai
pragmatis demi mencapai tujuan materiil.
4) Terdapat sikap dan pendirian yang kurang menguntungkan bagi
tegaknya demokratisasi pendidikan. Sikap feodal dari para
pemimpin lembaga pendidikan yang diikuti oleh sikap tunduk dari
bawahan dan pendirian konservatif yang diikuti oleh sikap resisten
terhadap perubahan merupakan faktor penghambat tumbuhnya
demokratisasi pendidikan di lingkungan pendidikan formal.
Kekuatan akar rumput (grassroot) yang seharusnya menjadi
penggerak utama demokratisasi pendidikan sering kurang mendapat
tempat. Padahal, esensi pembaharuan pengajaran ke arah
pendidikan, khususnya pada pendidikan nilai memerlukan elemen-
elemen dasar pendidikan yang disemai dalam suasana kebersamaan,
kebebasan, dan keberdayaan pendidik dan peserta didik.

Kendala-kendala tersebut harus menjadi dasar pertimbangan


pembaharuan pendidikan kita yang cenderung sedang mengalami
pergeseran makna pendidikan ke pengajaran. Berbagai langkah perlu
ditempuh secara komprehensif dan integral dengan bertolak dari
kajian kasus per kasus yang muncul dalam peristiwa pendidikan.

c) Benturan dan Pergeseran Nilai

Benturan nilai terjadi karena ilmu berkembang dari dua


karakter berpikir yang berbeda, yang dalam sejarah perkembangan
ilmu disebut karakter berpikir yang mengutamakan akal dan
kebenaran ilmiah (intellectus quaern fidem) di satu pihak, dengan
karakter berpikir yang menggunakan keyakinan agama (fides
quaerns intellctum) di pihak lain.

Secara praktis benturan nilai terjadi dalam kehidupan sehari-


hari. Banyak fenomena perilaku para remaja yang semakin hari
semakin mengkhawatirkan orang tua. Pergaulan yang cenderung
permisif (bersifat terbuka) telah menyebabkan banyak remaja tidak
lagi memedulikan tatanan nilai moral dan etika pribumi. Meskipun
nilai sebagai inti perbuatan tidak mudah diterka, perubahan perilaku
yang cenderung meniru budaya orang lain adalah bukti adanya
pergeseran keyakinan nilai pada diri mereka. Oleh sebab itu,
pergeseran dan perbenturan nilai merupakan tantangan pendidikan
nilai dalam konteks pendidikan Nasional.

Dalam konteks pendidikan nasional, pengembangan


pendidikan nilai perlu diartikulasikan sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa yang bersifat kultural dan spiritual. Hal ini tidak berarti harus
mengabaikan landasan atau prinsip pengembangan pendidikan nilai
yang bersifat umum, seperti landasan filosofis, psikologis, sosial,
dan prinsip keutuhan serta keterpaduan yang terdapat dalam
landasan-landasan pendidikan nilai yang ditampilkan pada bagian
dimaksudkan untuk memberikan makna bahwa penyadaran nilai
dapat mengacu pada landasan yuridis dan religi yang berkembang
dalam masyarakat kita.

d) Landasan Yuridis

Penyelenggaraan pendidikan nilai dalam konteks pendidikan


sebenarnya memiliki landasan hukum yang kuat. Ideologi negara,
undangundang, dan GBHN merupakan kepentingan yuridis yang
mengandung banyak pesan nilai. Oleh sebab itu, pendidikan nilai
memiliki posisi yang cukup strategis dalam pendidikan nasional
walaupun istilah pendidikan nilai belum terdefinisikan secara tegas
dalam kurikulum pendidikan formal.

Landasan yuridis adalah sebagai berikut.

Pancasila sebagai landasan ideal bangsa. Sebagai kristalisasi


nilai-nilai luhur bangsa, Pancasila kaya akan pesan nilai, moral, dan
etika asli bangsa.Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD ’45)
sebagai landasan konstitusional bangsa. Sebagaimana Pancasila,
UUD ’45 memiliki pesan nilai, moral, dan norma bangsa.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993
sebagai landasan operasional bangsa. Sebagai penjabaran dari
norma-norma hukum yang terdapat dalam UUD ’45, GBHN dapat
dijadikan rujukan yang lebih jelas tentang tujuan pendidikan,
terutama pendidikan nilai.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.
20 tahun 2003 sebagai landasan operasional penyelenggaraan
pendidikan nasional. Dengan ditetapkannya UUSPN ini sebagai
pengganti UUSPN No. 2 tahun 1989, status dan peran pendidikan
nilai semakin kuat.
e) Landasan Religi

Walaupun Indonesia bukan negara agama, bangsa Indonesia


adalah bangsa yang beragama. Setiap pribadi bangsa memiliki
keyakinan bahwa nilai ketuhanan adalah nilai tertinggi. Adanya
perbedaan agama yang dianut bangsa Indonesia menuntut kehati-
hatian dalam menafsirkan istilah iman dan takwa yang digunakan
sebagai indikator keyakinan beragama dalam Pancasila, UUD ’45,
GBHN 1993, dan UUSPN 2003 menunjukkan makna tunggal ika.

Landasan religi yang menguatkan pentingnya pendidikan


nilai dalam perspektif Islam dapat dilihat dari hakikat fitrah sebagai
potensi dasar yang positif. Fitrah adalah kekuatan inti pencerahan
batin manusia yang secara signifikan berbeda dari konsep tabularasa.
Akan tetapi, karena pada diri manusia terdapat akal, nafsu, dan hati
yang saling mengalahkan.

Status pendidikan nilai dalam konteks pendidikan nasional


sering dipandang penting dan strategis, bahkan sesekali dianggap
sebagai pendidikan yang paling krusial apabila tidak
diselenggarakan dengan baik dalam pendidikan nasional.

Pendidikan Inovasi pendidikan adalah gagasan atau program


yang dipersepsi sebagai sesuatu yang baru oleh pengguna. Inovasi
pendidikan banyak dikembangkan di lembaga pendidikan negara
maju

Kini hubungan antara lingkungan pendidikan tidak lagi


menjadi kekuatan utama dalam membangun pendidikan nilai.
Keretakan hubungan tidak terlepas dari derasnya terpaan globalisasi
informasi dan modernisasi. Ekses dari proses peralihan zaman itu
menyebabkan manusia mengalami pergerakan perubahan dari proses
hidup alamiah ke dunia baru yang cenderung individualistis dan
materialistis. Segala sesuatu dapat diperoleh dengan fasilitas yang
serbamudah dan tidak lagi mengenal tapal batas.

Dalam hal ini pendidikan nilai dalam konteks pendidikan


nasional perlu diartikulasikan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
yang bersifat kultural dan spiritual. Hal ini tidak berarti harus
mengabaikan landasan atau prinsip pengembangan pendidikan nilai
yang bersifat umum, seperti landasan filosofis, psikologis, sosial,
dan prinsip keutuhan serta keterpaduan sehingga dapat dijadikan
pedoman hidup.

C. Hubungan Pendidikan Nilai dengan Karakter Bangsa


Secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa inggis,
character, yang berarti watak atau sifat. Karakter adalah nilai-nilai
yang khas, baik watak, akhlak atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini
dan dipergunakan sebagai cara pandang, berpikir, bersikap, berucap
dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Orang berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat,
atau berwatak. Dengan makna seperti itu berarti karakter identik
dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri,
karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007).

Karakter suatu bangsa merupakan aspek penting yang


mempengaruhi perkembangan sosial-ekonomi bangsa tersebut.
Kualitas karakter yang tinggi dari masyarakatnya akan
menumbuhkan kualitas bangsa tersebut. Beberapa ahli berkeyakinan
bahwa pengembangan karakter yang terbaik adalah jika dimulai
sejak usia dini. Menurut Kartadinata (2013), karakter bangsa bukan
agregasi karakter perorangan, karena karakter bangsa harus terwujud
dalam rasa kebangsaan yang kuat dalam konteks kultur yang
beragam. Karakter bangsa mengandung perekat kultural, yang harus
terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awreness) dan
kecerdasan kultural (cultural intelligence) setiap warga negara.

Pada Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa,


disebutkan bahwa karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif
kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran,
pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara
sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga
seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan
menentukanperilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik
yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan
perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-
nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI (Pemerintah
Republik Indonesia, 2010).

Lebih lanjut disebutkan bahwa untuk kemajuan Negara


Republik Indonesia, diperlukan karakter yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik,
dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila
dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek
karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh dan
komprehensif meliputi: 1) bangsa yang berKetuhanan Yang Maha
Esa, 2) bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan eradab,
3) bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, 4)
bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi
manusia, dan 5) bangsa yang mengedepankan keadilan dan
kesejahteraan (Pemerintah Republik Indonesia,2010). leh
Kemendiknas (2011), telah diidentifikasi 18 nilai karakter yang perlu
ditanamkan kepada peserta didik yang bersumber dari Agama,
Pancasila, Budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional.

Kedelapan belas nilai tersebut adalah: 1) religius, 2) jujur, 3)


toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8)
demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta
tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14)
cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli
sosial, 18) tanggungjawab. Meskipun telah dirumuskan ada 18 nilai
pembentuk karakter bangsa, disetiap satuan pendidikan dapat
menentukan prioritas pengembangannya. Pemilihan nilai-nilai
tersebut berpijak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan
masing-masing. Hal ini dilakukan melalui analisis konteks, sehingga
dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai
karakter yang dikembangkan. Implementasi nilai-nilai karakter yang
akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial,
sederhana, dan mudah dilaksanakan (Kemendiknas, 2011).
Kedelapan belas nilai karakter tersebut dideskripsikan oleh Sari
(2013) dan Widiyanto (2013) seperti berikut.

1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran


agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya.
4. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari suatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai: sikap perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggungjawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara
dan Tuhan Yang Maha Esa.

Problem utama pendidikan nasional kita lebih kepada


pembinaan karakter dan moral. Banyak orang pintar dan memiliki
nilai tinggi, yang secara kognitif menunjukkan kesuksesan
pendidikan secara lahir. Namun, hal itu tidaklah cukup jika tidak
diikuti pula oleh kesuksesan secara batin, yaitu peserta didik dan
lulusannya memiliki karakter dan moral yang baik pula. Apakah
pendidikan karakter itu sama dengan pendidikan moral? Muhammad
AR (2003: 25) tidak membedakan antara pendidikan moral dan
karakter karena esensinya sama di wilayah etika. Semua keyakinan
atau agama memiliki nilai moral atau yang sering disebut
adab/etika/akhlak.Nilai-nilai moral diperlukan di era sekarang ini,
untuk membina manusia agar dapat membedakan mereka dengan
makhluk-makhluk yang lain. Bagi agama Islam, pendidikan akhlak
ialah yang utama setelah pendidikan tauhid.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama


dengan pendidikan moral. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi pribadi yang baik, jika di masyarakat menjadi
warga yang baik, dan jika dalam kehidupan bernegara menjadi
warga negara yang baik. Adapun kriteria pribadi yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam
konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni
pendidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda (2002:
34).

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian


seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter
adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa
pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter
sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara
yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif (Kemendiknas, 2010).

Karena itu, nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting


pembentuk nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti
pembentukan karakter bangsa yang secara psikologis merupakan
bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif, kognitif,
dan psikomotorik. Karakter tersebut akan membentuk suatu pribadi
yang memiliki kepribadian luhur. Pembinaan karakter tersebut
tidaklah cukup mengandalkan pembelajaran di sekolah meski
mungkin lewat konsep full day school (FDS), yang saat ini menuai
kontroversi publik. Pembinaan karakter melibatkan tidak hanya
peran sekolah, tetapi jauh lebih penting pada peran keluarga dan
lingkungan di rumahnya. Konsep FDS sebagaimana dicanangkan
pemerintah, di samping akan terjadi kekhawatiran hilangnya
pembelajaran agama (madrasah diniah) karena mengganggu sistem
yang telah berjalan, juga bernuansa kapitalistik dan mungkin cocok
di masyarakat kota yang orangtua murid sibuk kerja.

Kemudian secara kkonsep Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27)


menjelaskan bahwa pendidikan nilai adalah rekayasa ke arah hal-hal
berikut.
1) Pembinaan dan pengembangan struktur dan
potensi/komponenpengalaman afektual (affective component and
experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense
of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan
nilai-moral-norma.
2) Pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan/atau
transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses
klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral
judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning)
dan/atau pe-ngendalian nilai-moral-norma (moral control).
Beberapa tokoh memberikan pengertian pendidikan nilai sebagai
berikut.
1. Menurut Winecoff (1987: 1-3), pendidikan nilai berhubungan
dengan tiga dimensi, yaitu identification of a core of personal
and social values, philosopy and rational inquiry into the
core, and decision making related to the core based on
inquiry and response. Ia pun mengungkapkan (Hakam, 2005:
5), bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang
mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang
meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu
menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera
pribadi, serta etika, yaitu menilai benar/salahnya dalam
hubungan antarpribadi.
2. Dahlan (2007: 5) mengartikan pendidikan nilai sebagai suatu
proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk
melahirkanmanusia yang memiliki komitmen kognitif,
komitmen afektif, dan komitmen pribadi yang berlandaskan
nilai-nilai agama.
3. Soelaeman (1987: 14) berpendapat bahwa pendidikan nilai
adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai
yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga
mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas
kognitif dan afektif peserta didik.
4. Hasan (1996: 250) berpendapat bahwa pendidikan nilai
merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep
umum, atribut, fakta, dan data keterampilan antara suatu
atribut dan atribut lainnya serta memiliki label (nama diri)
yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman,
penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku,
pembentukan wawasan, dan kebiasaan terhadap nilai dan
moral.
5. Sumantri (1993: 16) memahami pendidikan nilai merupakan
aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan
remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah karena
“penentuan nilai” merupakan aktivitas penting yang harus
dipikirkan dengan cermat dan mendalam. Oleh karena itu,
hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk
berupaya meningkatkan nilai moral individu dan masyarakat.

Adapun konsep nilai atau value berasal dari bahasa Latin,


valere atau bahasa Prancis kuno, valoir yang berarti harga. Akan
tetapi, ketika kata tersebut dipersepsi dalam sudut pandang tertentu,
akan mempunyai tafsiran yang beragam, ada nilai atau harga
menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, politik, ataupun agama.
Beberapa tokoh mengartikan konsep nilai sebagai berikut.

1. Menurut Gordon Allport (1964), seorang ahli psikologi, nilai adalah


keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.
Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif
(Kuperman, 1983).
2. Hans Jonas mengatakan bahwa value is address of a yes (nilai adalah
sesuatu yang ditujukan dengan kata “ya”).
3. Kluckholhn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi
dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara,
tujuan antara, dan tujuan akhir tindakan.
4. Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


pendidikan nilai adalah pengajaran atau bimbingan kepada siswa agar
menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
Istilah pendidikan nilai di sini dimaksudkan untuk mewakili semua
konsep dan tindakan pendidikan yang menaruh perhatian besar terhadap
pengembangan nilai humanistic ataupun teistik.

Tujuan Pendidikan Nilai

Tujuan pendidikan nilai pada dasarnya membantu


mengembangkan kemahiran berinteraksi pada tahapan yang lebih tinggi
serta me-ningkatkan kebersamaan dan kekompakan interaksi atau yang
disebut Piaget sebagai ekonomi interaksi atau menurut Oser dinyatakan
dengan peristilahan kekompakan komunikasi. Tujuan pendidikan nilai
tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan, indoktrinasi, atau pertimbangan
prinsip-prinsip belajar. Sebaliknya, dorongan moral komponen pem-
bentukan struktur itu sangat penting. Oleh karena itu, pendidik
seharusnya tidak hanya membekali dan menjejali siswa dengan
pengetahuan tentang tujuan serta analisis dari hubungan antara tujuan
dengan alat (W. Sumpeno, 1996: 27).

Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa


tujuan pendidikan nilai adalah sebagai berikut.

a. “…to help individual think about and reflect on different values and
the practical implications of expressing them in relation to them
selves, other, the community, and the world at large, to inspire
individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual
values and be aware of practical methods for developing and
deepening them”.
b. Lorraine (1996: 9) berpendapat, “In the teaching learning of value
education should emphasizing on the establishing and guiding
student in internalizing and practing good habits and behaviour in
their everyday life as a citizen and as a member of society.”
c. Menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184), tujuan pendidikan nilai
adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-
nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat
meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir dan perasaannya.
d. Hill (1991: 80) meyakini bahwa pendidikan nilai ditujukan agar
siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan
keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral
universal yangdianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
e. Suparno (2002: 75) berpendapat bahwa tujuan pendidikan nilai
adalah menjadikan manusia berbudi pekerti.
f. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) mengatakan bahwa
pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami
dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan
mereka.

Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan


yang lebih yang spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang
lebih khusus. Seperti yang dikemukakan oleh komite Asia and The
Pasific Programme of Education Innovation for Development
(APEID), pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk:

1. menerapkan pembentukan nilai kepada anak,


2. menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang
diinginkan, dan
3. membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai
tersebut (UNESCO, 1994).

Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan


men-didik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai
hingga perwujudan perilaku yang bernilai.
D. Implikasi pendidikan nilai dalam pembangunan karakter
Pembangunan karakter adalah membangun karakter diri yang
terdiri dari 2 suku kata yaitu membangun (to build) dan karakter
(character) artinya membangun yang mempunyai sifat memperbaiki,
membina, mendirikan. Sedangkan karakter adalah tabiat, watak,
aklak atau budi pekerti yang membedakan seserang dari yang lain.
Dalam konteks pendidikan pengertian Membangun Karekter
(character building) adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan
untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak,
sifat kejiwaan, akhlak (budi pekerti), insan manusia (masyarakat)
sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik
berlandaskan nilai-nilai pancasila.

Pembangunan Karakter merupakan cita-cita luhur melalui


penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan.
Berdasarkan KBBI, “tujuan” memiliki makna arah; haluan (jurusan).
Sehingga tujuan pembangunan karakter bisa diartikan sebagai arah
atau haluan yang akan dicapai dalam pembangunan karakter.
Karakter adalah pola pikir atau pola perilaku yang menjadi ciri khas
setiap orang atau individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu
berkarakter baik adalah individu yang bisa mengambil keputusan
dan siap mempertanggung jawabkan keputusan tersebut.

Tujuan pembangunan karakter pada dasarnya adalah untuk


membentuk generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan
karakter yang bernafaskan nilai-nilai pancasila, nilai luhur, adat, dan
agama. Generasi atau individu adalah penentu hidup bangsa dimasa
yang akan datang. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki
generasi yang berkarakter. Begitu juga sebaliknya, generasi yang
tidak berkarakter adalah generasi yang akan membuat bangsanya
sulit untuk berkembang dan maju. Itulah tujuan utama dari
pembangunan karakter. Adapun tujuan lain dari pembangunan
karakter adalah menjadikan lingkungan sekitar menjadi aman,
damai, dan terkendali. Prostitusi, prostitusi online, pembunuhan,
pemerkosaan, narkoba, luasnya jaringan pornografi adalah contoh
sekaligus gambaran yang akan terjadi jika suatu generasi tidak
memiliki karakter.

Dalam mewujudkan tujuan pembangunan karakter, ada


banyak hal yang harus dilakukan dan dimulai dari sekarang.
Membiasakan perilaku tanggung jawab adalah langkah besar yang
harus dilaksanakan. Tanggung jawab dalam KBBI memiliki makna
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).
Apabila setiap individu sudah memiliki rasa tanggung jawab, tidak
akan terdengar lagi kata korupsi, narkoba, pencurian, perampokan,
dan pemerkosaan.

Tanggung jawab juga merupakan ciri manusia beradab dan


bekarakter. Rasa tanggung jawab muncul karena menyadari akibat
baik atau akibat buruk dari perbuatan yang dilakukan, dan
menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian dan
pengorbanannya. untuk meningkatkan kesadaran bertanggung jawab
perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan,
dan Ketakwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab
ada berbagai macam, mulai dari tanggung jawab kepada diri sendiri,
tanggung jawab kepada keluarga, tanggung jawab kepada Tuhan,
dan tangung jawab kepada Bangsa dan Negara.

Langkah selanjutnya yang juga sebagai perwujudan karakter


adalah kepatuhan pada peraturan. Peraturan diciptakan adalah untuk
mengatur kehidupan supaya aman dan tertib. Individu dikatakan
berkarakter jika individu tersebut sudah taat pada peraturan. Namun
banyak sekali individu yang tidak taatpada peraturan, cerminan dari
individu yang tidak berkarater. Juga cerminan dari bangsa yang
tidak akan maju atau bangsa terbelakang.

E. Tujuan pendidikan nilai dan korelasinya dengan moral


bangsa
Pendidikan dan moral adalah dua pilar yang sangat penting
bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Dua pilar ini menuntut untuk
dicerna dan dicermati dengan arif oleh segenap anak bangsa. Dalam
suatu negara yang sedang berusaha lepas dari badai krisis, sangatlah
tepat apabila kita mencoba untuk melihat kembali posisi dan
interrelasi dua pilar ini bagi bangsa Indonesia.

Moral merupakan dasar pemikiran seseorang untuk


bertindak. Dimana kedudukan moral sebagaiself-controldapat
berfungsi dalam merealisasikan apa yang ada pada diri stiap
manusia dalam bentuk sikap perilaku, perbuatan, perkataan, dan
tindakan yang disertai dengan keindahan karakter. Dengan moral
segala tindakan akan mudah terkontrol dan terarah, yang kemudian
berpotensi untuk menumbuhkan sikap toleransi antara individu
satu dengan individu lainnya. Maka dengan adanya toleransi
tersebut mereka akan saling berintegrasi untuk mewujudkan cita
cita bangsa.Apabila suatu bangsa dihuni oleh manusia yang
bermoral dan bermartabat, maka pastilah kehidupan dan
peradaban bangsa tersebut akan berjalan baik, yang nantinya
akan membawa jati diri bangsa tersebut kepada kehidupan yang
jauh dari keterpurukan, kemiskinan dan krisis moral yang
berkepanjangan.Mencermati kualitas moral pada anak-anak
bangsa Indonesia sungguh kita patut untuk bersedih, Karena
dengan maraknya kasus-kasus yang telah mewarnai bangsa
ini mencerminkan bahwa bangsa kita ini telah mengalami
degradasikualitas moral yang sangat memperihatinkan. Mulai dari
kasus tawuran remaja, kasus narkoba dan minuman keras, kasus
ibu hamil di luar nikah dan praktikaborsi, kasus pornoaksi dan
porno grafi, hingga kasus korupsi dan suap yang dilakukan
oleh para pejabat tinggi negara yang seharusnya menjadi panutan
bagi rakyatnya.Semua ini menunjukan bahwa kondisi moral
bangsa ini terutama generasi muda sudah mulai mengalami
degredasi moral sehingga perlu mendapat perhatian, karena
generasi muda merupakan asetbangsa yang harus kita jaga, dimana
generasi muda sebagai generasi penerus bangsa yang nantinya
berperan dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia.
Ada dua tujuan pendidikan nilai apabila dilihat dari
pendekatan anlisa nilai tujuan tersebut adalah pertama adalah
membantu manusia untuk menggunakan kemampuan berpikir logis
dan penemuan ilmmiah dan penemuan ilmiah dalam menganalisa
sosial. Kedua, membantu manusia untuk menggunakan proses
berpikir rasional dan analitik dalam menghubung-hubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai nilai-nilai mereka.

Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan klarifikasi nilai


ini ada tiga;

a. Membantu manusia untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-


nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain
b. Membantu manusia supaya bisa berkomunikasi secara terbuka dan
jujur dengan orang lain.
c. Membantu manusia supaya mampu menggunakan secara bersama-
sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional.

Kohlberg (1977) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nilai


adalah mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral
peserta didik. Secara sederhana, Suparno melihat bahwa tujuan
Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti.
Ditambahkan lagi bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk
membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai
secara integral dalam kehidupan mereka. Sehingga peserta didik
dapat mengembangkan kemampuan untuk mengontrol tindakanya,
dan memahami keputusan moral yang diambilnya.
Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan
yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih
khusus sebagaimana diungkapkan Komite APEID (Asia and the
Pasific Programme of Education Innovation for Development)
bahwa Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk:

1. Menerapkan pembentukan nilai kepada peserta didik


2. Menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan,
3. Membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.

Dengan demikian, Pendidikan Nilai meliputi tindakan


mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai
sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai. Namun
tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada
siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang
demokratis.

Menurut Warner dan pefleur dapat dijelaskan bahwa sikap


jika sudah diterjemahkan kedalam tindakan, dapat melahirkan nilai.
Dan sebagai tujuan pendidikan nilai itu sendiri adalah penanaman
nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari
nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh berkembang
dalam masyarakat Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi sasaran
pendidikan nilai;
a. Membantu peserta didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup
manusia
b. Membantu pengalman dan pengembangan pemahaman serta
pengalaman nilai
c. Membantu peserta didik untuk mengambil sikap terhadapa aneka
nilai dalam perjumpaan dengan seksama agar dapat mengarahkan
hidupnya bersama orang lain secara bertanggung jawab.

Pendidikan nilai menghasilkan sumber daya manusia yang


utuh, menyeluruh, sehat, purnawan, terintegrasi. Pribadi yang
dibentuk oleh pendidikan nilai tetap mampu memenuhi tuntutan
sektor ekonomi, tanpa harus kehilangan keutuhannya sebagai
seorang manusia. Justru dalam masa-masa krisis multidimensional
yang sedang dialami bangsa Indonesia inilah, pendidikan nilai amat
berperan. Pendidikan nilai menghasilkan manusia yang mampu
mengaktualisasikan dirinya. Menurut Maslow (Agudo, 1999), maka
dari pengaktualisasian itu akan nampak manfaat pada:.

1. Penerimaan diri, orang lain, dan kenyataan kodrat;.


2. Spontan dan jujur dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatan;.
3. Membutuhkan dan menghargai keintiman diri (privasi);.
4. Pandangan realitas mantap;.
5. Kekuatan untuk menghadapi problem di luar dirinya sendiri;.
6. Pribadi mandiri;.
7. Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sendiri;.
8. Menjalin hubungan pribadi dengan yang Transenden;.
9. Persahabatan dekat dengan beberapa sahabat atau orang-orang
tercinta;.
10. Ramah terbuka karena dapat menghargai dan menerima pribadi yang
lain;.
11. Perasaan tajam, peka akan nilai-nilai rasa moral susila teguh dan
kuat.
12. Humor tanpa menyakitkan;
13. Kreativitas, bisa menemukan diri sendiri, tidak selalu ikut-ikutan;
14. Mampu menolak pengaruh yang mau menguasai atau memaksakan
diri;.
15. Dapat menemukan identitasnya.

Kelimabelas manifestasi aktualisasi diri hasil pendidikan


nilai itu menjadi modal dasar untuk menyelesaikan krisis
multidimensional yang menjangkiti bangsa Indonesia.
Kesimpulannya, pendidikan nilai bukan hanya menyediakan sumber
daya manusia bagi sektor ekonomi tanpa kehilangan keutuhannya
tapi, pendidikan nilai juga membentuk manusia-manusia yang
mampu mengatasi krisis yang rumit sekalipun.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam tinjauan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat
1, Pendidikan di Indonesia baik formal, non-formal maupun
informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk
tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bernilai luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta
bertanggung jawab.

Pendidikan nilai menghasilkan sumber daya manusia yang


utuh, menyeluruh, sehat, purnawan, terintegrasi. Pribadi yang
dibentuk oleh pendidikan nilai tetap mampu memenuhi tuntutan
sektor ekonomi, tanpa harus kehilangan keutuhannya sebagai
seorang manusia. Pendidikan nilai menghasilkan manusia yang
mampu mengaktualisasikan dirinya.

Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya


mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana
ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh
yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan
derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini,
pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat
pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Hakekatnya memandang pendidikan sebagai proses untuk membantu
anak dan generasi muda untuk menjadi manusia dewasa yang cerdas,
berkarakter, bermoral, berilmu dan bertaqwa, dan menguasai
keterampilan vokasional/profesional.
Nilai- nilai moral kemanusiaan yang kokoh dan etika standar
yang kuat sangat diperlukan bagi individu maupun masyarakat
melalui pendidikan nilai pada proses pendidikan, khususnya di
sekolah secara eksplisit (terencana), terfokus, dan komprehensip
untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan agar
pembentukan masyarakat yang berkarakter dapat terwujud.
Tujuan dari pendidikan nilai adalah suatu sasaran, tujuan,
ataupun sesuatu yang akan di capai dalam proses pentransperan ilmu
yang memungkinkan perubahan tingkah laku, atau perbuatan yang
mengarah kebaikan dalam pandangan hukum manusia dan Allah Swt
prilaku atau moral sebagai sasaran utama dari tujuan pendidikan
Nasional maupun matapelajaran yang selalu diusahakan oleh
seorang guru. Dalam mengelola materi pelajaran, metode, alat,
bahan ajar sehingga peserta didik merasa nyaman, senang dalam
mengikuti pelajaran sehinnga apa yang dicita-citakan oleh semua
pihak tercapai yaitu menjadinya manusia yang berahlak mulia
seperti tugas nabi Muhammad saw diutus kemuka bumi hanya lah
untuk menyempurnakan ahlak.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Dan pastinya
masih terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan kekurangan
dalam segi materi. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun bagi kami. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khusunya bagi kami dan umumnya bagi pembaca.

C. Rekomendasi
Adapun rekomendasi terhadap penyusunan analisa materi ini
adalah sebagai berikut:
1. Teman-teman insan calon guru PAI (Pendidikan Agama Islam)
2. STAI Al-Musaddadiyah Garut sebagai lembaga pelaksanaan
pendidikan islam
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. (2012). Pendidikan Karakter di Sekolah Membangun
Karakter dan KepribadianAnak. Bandung: Yrama Widya

http://sofyansauri.lecturer.upi.edu/implementasi-pendidikan-nilai/

https://bpkad.banjarkab.go.id/index.php/2016/09/27/membangun-
pendidikan-dan-membina-karakter-bangsa-berlandaskan-nilai-nilai-
kebangsaan/

Zaim Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang


Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yangb Tercerai,
(Bandung: PT. Alfabeta, 2008), hlm. 75

Zakiyah, qiqi yulianti dan A, rusdiana. 2014 " PENDIDIKAN NILAI Kajian
Teori dan Praktik di Sekolah"

Anda mungkin juga menyukai