Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS PENOLAKAN KAMPANYE LGBTQ OLEH FEDERATION

INTERNATIONALE DE FOOTBALL ASSOCIATION (FIFA) DALAM PENGGUNAAN


BAN KAPTEN ‘ONE LOVE’ DI PIALA DUNIA 2022 QATAR

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) Strata-1

SKRIPSI

Oleh:

Muhammad Hilman Islahi


201710360311103

Program Studi Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

i
LEMBAR PENGESAHAN

ii
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Muhammad Hilman Islahi


NIM 201710360311103
Program Studi : Hubungan Internasional
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul Skripsi : Analisis Penolakan Kampanye LGBTQ oleh Federation
Internationale de Football Association (FIFA) dalam Penggunaan Ban
Kapten ‘One Love’ di Piala Dunia 2022 Qatar

Pembimbing : 1. Havidz Ageng Prakoso, S.IP, M.A


2. Hafid Adim Pradana, M.A

Kronologi Bimbingan :
Paraf Pembimbing
Tanggal Keterangan
Pembimbing I Pembimbing II
17/04/2023 Pengajuan Judul
17/04/2023 ACC BAB I
17/04/2023 Seminar Proposal
17/04/2023 ACC BAB II
17/04/2023 ACC BAB III
17/04/2023 ACC BAB IV
17/04/2023 ACC BAB V
05/06/2023 ACC Ujian Skripsi

Malang, 6 Juli 2023

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Havidz Ageng Prakoso, S.IP, M.A Hafid Adim Pradana, M.A

iii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Jurusan : Ilmu Kesejahteraan Sosial * Ilmu Pemerintahan * Ilmu Komunikasi *
Sosiologi * Hubungan Internasional
JI. Raya Tlogornas No. 246 Telp. (0341) 460948, 464318-19 Fax. (0341)
460782 Malang 65144 Pes. 132

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Muhammad Hilman Islahi


NIM : 201710360311103
Program Studi : Hubungan Internasional
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa

1. Tugas Akhir dengan Judul :


Analisis Penolakan Kampanye LGBTQ oleh Federation Internationale Football
Association dalam Penggunaan Ban Kapten ‘One Love’ di Piala Dunia 2023 adalah
hasil karya saya, dan dalam naskah tugas akhir ini tidak terdapat karya ilmiah yang
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian ataupun keseluruhan, kecuali yang secara
tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar
pustaka

2. Apabila ternyata di dalam naskah tugas akhir ini dapat dibuktikan terdapat
unsur- unsur PLAGIASI, saya bersedia TUGAS AKHIR INI DIGUGURKAN dan
GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta
diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Tugas akhir ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS
ROYALTY NON EKSKLUSIF.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Malang, 08 Juli 2023


Yang Menyatakan,
Materai

Muhammad Hilman Islahi

iv
ABSTRAK

v
ABSTRACT

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatu


Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya yang luar biasa kepada hamba-hambanya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SWT yang telah membawa cahaya Islam
kedalam dunia ini dan menjadi penutan bagi setiap umatnya hingga akhir zaman.
Setelah melewatinya proses kerja keras, penyusunan skripsi berjudul “ANALISIS
PENOLAKAN KAMPANYE LGBTQ OLEH FEDERATION INTERNATIONALE DE
FOOTBALL ASSOCIATION (FIFA) DALAM PENGGUNAAN BAN KAPTEN ‘ONE
LOVE’ DI PIALA DUNIA 2022 QATAR” akhirnya bisa terselesaikan. Selain sebagai syarat
mendapatkan gelar SI, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dan dapat megembangkan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu hubungan
internasional. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan rasa terimakasih kepada pihak-
pihak yang telah turut serta membantu dalam bentuk apapun, dan baik secara langsung maupun
tidak langsung sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini pada waktunya. Beberapa
pihak tersebut antara lain:
1. ALLAH SWT atas keagungan dan kuasanya yang telah memberikan kemudahan dan
kelancaran atas setiap kesulitan maupun hambatan dalam proses yang telah dilalui oleh
penulis.
2. Kedua Orang Tua penulis Bapak (alm) Bunyamin dan Ibu Yumiati yang tidak henti-
hentinya memanjatkan doa, serta memberikan dukungan materi maupun non-materi
kepada penulis.
3. Keluarga besar penulis yang juga memberikan dukungan materi dan non-materi yang
sangat berarti bagi penulis.
4. Teman-teman penulis baik teman sekolah, teman kampus dan teman kost yang dengan
sukarela dan sabar menjadi tempat bertanya dan konsultasi untuk penulis dalam
membantu menyelesaikan perkuliahan ini.
5. Bapak Havidz Ageng Prakoso, M.A dan Bapak Hafid Adim Pradana, M.A. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan tenaga, pikiran dan waktunya dalam membimbing
penulis dengan penuh kesabaran. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada
penulis.

vii
6. Seluruh jajaran dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Malang dan staff dari tim Laboratorium Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ilmu kepada penulis
sebagai mahasiswa.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan diatas yang telah membantu dengan segala
budi dan amal baiknya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadikan skripsi
ini lebih baik kedepannya.
Terima Kasih,
Wassalamu‘alaikum Warrahmatullahi Wabarakatu

Malang, 29 Juli 2023

Muhammad Hilman Islahi

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................ii

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI............................................................................. iii

SURAT PERNYATAAN ........................................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................................................. v

ABSTRACT.............................................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. x

HASIL CEK PLAGIASI ........................................................................................................... xi

1. Pendahuluan ........................................................................................................................... 2

2. Konsep Hukum Olahraga Transnasional ................................................................................ 5

3. Konsep Kedaulatan Negara .................................................................................................... 7

4. Metode Penelitian................................................................................................................... 9

5. Pembahasan............................................................................................................................ 9

5.1. Hukum Olahraga Transnasional sebagai sistem hukum FIFA ........................................ 9

5.2. Ban Kapten ‘One Love’ sebagai Simbol Politik Kampanye LGBTQ........................... 10

5.3. Dasar Penolakan kampanye LGBTQ dalam Penggunaan Ban Kapten ‘One Love’
berdasarkan Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai Faktor Internal ...................................... 12

5.4. Otoritas dan Wewenang FIFA terhadap anggota-anggotanya ....................................... 13

5.5. Kedaulatan Negara Qatar sebagai Faktor Eksternal ..................................................... 15

Kesimpulan .............................................................................................................................. 18

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 19

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 1 Football Pyramid Structure .................................................................................. 15

x
HASIL CEK PLAGIASI

xi
ANALISIS PENOLAKAN KAMPANYE LGBTQ OLEH FEDERATION
INTERNATIONALE DE FOOTBALL ASSOCIATION (FIFA) DALAM PENGGUNAAN
BAN KAPTEN ‘ONE LOVE’ DI PIALA DUNIA 2022 QATAR

Muhammad Hilman Islahi


201710360311103
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang,
Jl. Raya Tlogomas No.246, Babatan,
Tegalgondo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144
E-mail: muhammadhilmanislahi@webmail.umm.ac.id

Abstract
Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di negara Qatar menjadi sorotan publik tentang
munculnya berbagai macam permasalahan yang ada ketika kompetisi ini berlangsung, salah
satunya ialah permasalahan kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘One Love’ yang
ditolak oleh FIFA, hal tersebut menunjukan anomali dimana FIFA yang dikenal memiliki tujuan
ingin memastikan piala dunia yang inklusif dan ramah kepada semua kelompok, namun justru
menolak kampanye LGBTQ tersebut. Tujuan dari penelitian ini ingin menganalisa alasan FIFA
menolak kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘One Love’ oleh beberapa negara
peserta Piala Dunia Qatar 2022, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif-eksplanatif
serta menggunakan konsep Hukum Olahraga Transnasional dan konsep Kedaulatan Negara.
Hasil dari penelitian ini menjelaskan terdapat adanya dua faktor penyebab di balik keputusan
penolakan FIFA, pertama, faktor internal yang dimana FIFA memiliki regulasi yang
mengharuskan setiap tim nasional harus menggunakan ban kapten yang telah ditetapkan FIFA
serta mengidentifikasikan bahwa kampanye tersebut bermuatan politik, dimana simbol politik
dilarang ditampilkan dalam kompetisis sepak bola, dan yang kedua yakni Faktor eksternal
adalah kedaulatan negara Qatar dalam hukum nasionalnya yang membuat FIFA
mempertimbangkan untuk menolak kampanye tersebut.

Keywords: FIFA, Hukum Olahraga Transnasional, Kedaulatan Negara, LGBTQ, Piala Dunia,
Qatar.

1
1. Pendahuluan
Perhelatan Piala Dunia 2022 telah berhasil diselenggarakan, hal tersebut menjadikan Qatar
sebagai negara kawasan Timur-Tengah pertama yang ditunjuk sebagai penyelenggara Mega
Sporting Events (MSEs) tersebut. Dalam pelaksanaanya terdapat banyak pro dan kontra baik
sebelum kompetisi tersebut bergulir maupun ketika kompetisi itu sedang berlangsung, seperti
halnya Qatar mencoba untuk menampilkan dirinya sebagai negara muslim dengan
mengenalkan budaya muslim selama pagelaran kompetisi sepak bola tersebut (CNN Indonesia,
2022.). Di satu sisi adanya pelanggaran Hak Asasi pekerja Imigran, pelarangan penjualan
minuman beralkohol di stadion, adanya Isu penonton bayaran, pemalsuan jumlah penonton,
pemboikotan oleh beberapa selebriti dunia, selain itu salah satu hal yang paling disoroti adalah
ketika adanya wacana untuk melarang kampanye dari komunitas Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender, dan Queer (LGBTQ) (Hasibuan, 2022).
Dalam perhelatan piala dunia 2022 Qatar terdapat adanya pelarangan simbol atau aktivitas
yang berhubungan dengan LGBTQ oleh Federation Internationale de Football Association
(FIFA) selaku organisasi yang menyelenggarakan kompetisi tersebut (Otto, 2022), dimana
pelarangan tersebut muncul ketika Federasi Sepak Bola Jerman, Inggris, Denmark, Wales,
Belanda, Belgia dan Swiss berinisiasi untuk menggunakan ban kapten mereka yang dikenal
sebagai ‘One Love’ (Olley, 2022). Ban Kapten tersebut adalah bentuk dari kampanye yang
diinisiasi oleh pihak federasi Belanda pada tahun 2022. Makna dari simbol yang tertera dalam
ban kapten tersebut ialah pesan untuk menentang diskriminasi terhadap ras, warna kulit,
budaya, keyakinan, umur, kebangsaan, dan tentunya gender serta orientasi sexual (Olley, 2022).
Di satu sisi, selama ini FIFA terus menjalin hubungan kerja sama dengan komunitas
LGBTQ dengan tujuan berupaya membuka ruang yang aman bagi komunitas tersebut dalam
lingkungan kompetisi sepak bola. Pada tahun 2018, FIFA memberikan pernyataan bahwa
mereka berkomitmen untuk mendukung keberagaman dan inklusivitas bagi kelompok LGBTQ,
tepatnya pada acara “Football for All” yang diadakan Russian LGBT Sport (FIFA, 2018), Pada
tahun 2021 Bendera Pelangi (simbol bagi kelompok LGBTQ) pertama kali berkibar di markas
FIFA, dan di tahun 2022, pada bulan Juni FIFA menerapkan serangkaian tindakan untuk
mempersiapkan dan memastikan Piala Dunia 2022 ramah dan Inklusif salah satunya bagi
kelompok LGBTQ 1 (FIFA, 2022).

1
Tindakan yang dilakukan seper�: Mela�h Staff FIFA untuk �dak ber�ndak diskrimina�f, meminta hotel dan
kontraktor yang terlibat untuk menghorma� hak dan privasi kelompok LGBTQ, menerapkan sistem untuk
mengiden�fikasi kasus diskriminasi di dalam dan di luar stadion, pengoprasian mekanisme pengaduan laporan
diskriminasi.

2
Keseriusan FIFA untuk membangun citra bahwa sepak bola untuk semua (termasuk
kelompok LGBTQ) juga dibuktikan dengan penegasan FIFA bahwa keberagaman, inklusivitas
serta anti-diskriminasi harus ditegakan dalam ruang lingkup sepak bola (FIFA, 2018), serta
serangkaian sanksi yang diberikan FIFA kepada beberapa Federasi sepak bola akibat dari
perlakuan diskriminasi kelompok suporter mereka terhadap kelompok yang memiliki orientasi
seksual berbeda (Homophobia). Seperti kasus di tahun 2016 dimana FIFA memberikan sanksi
kepada Tim nasional Kroasia dengan memberikan denda 150.000 Franc Swiss dan sanksi 2
pertandingan tanpa penonton, dan negara-negara Amerika Selatan seperti Chile diberi sanksi
dilarang bermain di laga kendang serta denda 30.000 Franc Swiss, Meksiko , Honduras,
Paraguay, El Salvador, dan Peru dikenai denda oleh FIFA akibat kasus serupa (Wright, 2016).
Sanksi tersebut diberikan berdasarkan kode disiplin FIFA pasal 14 ayat 4 2 (FIFA, 2022).
Dari beberapa kasus yang telah disebutkan di atas, terlihat jelas adanya inkonsistensi FIFA
dalam komitmen dukungannya terhadap kelompok LGBTQ. Inkonsistensi tersebut ditunjukan
ketika pelarangan kampanye LGBT di piala dunia Qatar oleh FIFA itu sendiri, dimana adanya
perbedaan dari sikap dan komitmen FIFA terhadap dukungan kepada kelompok LGBTQ ketika
sebelum piala dunia Qatar dimulai maupun ketika kompetisi tersebut dilaksanakan.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang menyebabkan FIFA menolak kampanye
LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘one love’ di kompetisi piala dunia 2022, selain itu
penelitian ini juga akan melihat kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘one love’
dikategorikan sebagai simbol politik. Untuk menyatakan kebaruan serta orisinalitas dan
membantu penelitian ini, penulis memilih serta memilah penelitian-penelitian sebelumnya
yang memiliki kesamaan maupun keterkaitan dari studi kasus yang penulis angkat.
Dalam menyoroti tata kelola serta legitimasi FIFA dalam menyelesaikan sengketa yang
muncul dalam ranah sepak bola, penelitian sebelumnya berfokus pada bentuk tata Kelola serta
legitimasi FIFA dalam menjalankan organisasinya. Artikel terkait menjelaskan bahwa FIFA
menggunakan tata kelolanya untuk memobilisasi aktor-aktor baik negara maupun non negara
terkait urusan sepak bola (Cazotto, dkk., 2022) serta menyebarkan nila dan ide cosmopolitan
terkait budaya sepak bola (Hidayat, 2015), selain melalui tata kelolanya, FIFA menggunakan

2
1. Seorang Pemain atau Ofisial �m yang secara terbuka menghasut orang lain untuk kebencian atau kekerasan
akan dikenakan sanksi skorsing pertandingan �dak kurang dari dua belas (12) bulan dan denda minimal CHF
5.000.
2. Untuk kasus-kasus serius, khususnya ke�ka pelanggaran dilakukan dengan menggunakan media massa
(seper� pers, radio, maupun televisi) atau jika terjadi pada hari pertandingan di dalam atau di sekitar stadion,
denda minimum adalah CHF 20.000.

3
legitimasi dan hegemoni untuk mengatur anggota-anggotanya agar tunduk pada sistem hukum
maupun regulasi, Jerabek, dkk. (2017) menjelaskan legitimasi dan hegemoni FIFA dilakukan
untuk menggeser otoritas hukum negara tuan rumah piala dunia, serta digunakan untuk
menyelesaikan sengketa intervensi negara terhadap permasalahan yang muncul di dalam
internal anggota FIFA (Bainus, dkk., 2018; Kusumawardhana & Badaruddin, 2018).
Penelitian-penelitian yang mengangkat studi kasus tentang Piala Dunia Qatar Sebagian
besar berfokus pada upaya Qatar agar berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 serta
tujuan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Upaya Qatar dalam keberhasilan untuk
menjadi tuan rumah Piala Dunia tidak terlepas dari strategi Soft Power dan National Branding,
serta perkembangan globalisasi untuk meyakinkan negara-negara, FIFA serta masyarakat
Internasional bahwa Qatar adalah negara yang aman, ideal dan layak untuk menyelenggarakan
Piala Dunia 2022 (Brannagan & Giulianotti, 2015; Rahman, 2022; Rookwood, 2019). Selain
itu strategi soft power juga digunakan oleh Qatar dengan mempersiapkan pemberdayaan serta
mencegah pelemahan dalam hal politik, budaya, ekonomi serta lingkungan untuk piala dunia
2022 serta upaya Qatar dalam penanganan terhadap isu pelanggaran hak asasi pekerja migran
(Al Thani, 2021; Haghirian & Robles-Gil, 2021). Adapun penelitian yang membahas tentang
permasalahan LGBTQ di piala dunia 2022 dijelaskan oleh Gustina (2023), dengan
menggunakan konsep interaksi simbolik penelitian ini menjelaskan adanya interaksi simbolik
yang gagal dilakukan oleh negara-negara pendukung LGBTQ, dimana perbedaan pandangan
antara negara-negara tersebut dengan FIFA dan Qatar menjadikan kampanye LGBTQ gagal
dilaksanakan.
Dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada penelitian yang membahas secara
spesifik meniliti sudut pandang FIFA sebagai subjek penelitian terhadap kasus penolakan
kampanye LGBTQ di Piala Dunia 2022. Maka dengan memaparkan rumusan masalah
“Mengapa FIFA menolak kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘One Love’ di
Piala Dunia 2022?”. Penelitian ini akan berfokus dengan menganalisis faktor internal yang
mempengaruhi keputusan FIFA seperti sistem hukum milik FIFA yang berkaitan dengan
LGBTQ dalam ranah sepak bola, serta adanya faktor eksternal yang menjadi penyebab di balik
penolakan tersebut. Hipotesis dari penelitian ini menunjukan bahwa Faktor internal seperti
Sistem Hukum yang terdapat dalam statuta FIFA serta regulasi FIFA yang berkenaan dengan
LGBTQ menunjukan tindakan kampanye tersebut tidak sesuai dengan sistem hukum FIFA,
selain itu faktor eksternal yakni keberadaan kedaulatan negara Qatar yang direpresentasikan
melalui hukum nasionalnya menjadi penyebab FIFA tidak bisa menerima kampanye LGBTQ
dalam pergelaran Piala Dunia 2022.
4
2. Konsep Hukum Olahraga Transnasional
Kemunculan Hukum Olahraga Transnasional tidak terlepas dari hukum
transnasional itu sendiri, karena sesuai dengan sejauh mana kedua hukum tersebut
dioperasionalisasikan serta siapa yang menciptakan hukum tersebut. Hal ini dijelaskan
oleh Pandjaitan (Pandjaitan, 2011, 69) bahwa hukum transnasional merupakan hukum
yang secara administratif berlaku melewati teritorial wilayah negara serta dibentuk oleh
organisasi atau entitas internasional yang bukan negara. di tambah dengan pengertian
hukum transnasional oleh Philip Jessup “all law which regulates actions or events that
transcend national frontiers” (Cotterrell, 2012).
Hal tersebut sejalan dengan pengertian dari hukum olahraga transnasional, dimana
Frank Letty dalam (Siekmann, 2012, 12) menjelaskan bahwa Transnasional Sport Law
atau hukum olahraga transnasional adalah serangkaian hukum maupun regulasi yang
mengatur segala aktivitas dalam ruang lingkup olahraga, dimana asal dari hukum ini
dibuat oleh pihak swasta tanpa campur tangan negara, bertujuan untuk mengatur
aktivitas dalam komunitas atau ruang lingkup yang bersangkutan serta memiliki
wewenang melewati lintas batas negara. Maka hukum olahraga transnasional adalah
bagian dari hukum transnasional yang lebih spesifik dijadikan landasan hukum dalam
bidang olahraga.
Sejalan dengan definisi dari Hukum Olahraga Transnasional oleh Frank Latyy,
Hukum Olahraga Transnasional mayoritas dibentuk dan digunakan oleh organisasi-
organisasi internasional non-pemerintahan atau International Non-Governmental
Organization (INGO). Beberapa contoh organisasi-organisasi internasional non-
pemerintahan yang menciptakan serta menerapkan hukum olahraga transnasional,
diantaranya seperti The International Olympic Committee (IOC), The Olympic
Movement, The International Sports Federations (IFs), The National Olympic
Committees (NOCs), The Organising Committees for the Olympic Games (OCOGs),
World Anti-Doping Agency (WADA) dan termasuk FIFA serta organisasi internasional
cabang olahraga lainya (Duval, 2021).
FIFA sebagai INGO memiliki aturan serta pedoman-pedoman atau landasan
hukum yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota-anggotanya, dari mulai pemain sepak
bola profesional, ofisial tim, klub sepak bola professional, dan ofisial pertandingan,
hingga federasi-federasi sepak bola. Aturan-aturan tersebut dalam istilah hukum
olahraga transnasional disebut sebagai Lex Sportiva dan Lex Ludica.

5
Lex Sportiva
Lex Sportiva bisa dikatakan sebagai sebuah aturan, system maupun
landasan hukum yang berkenaan dengan kegiatan olahraga. Secara
terminologi Lex Sportiva berasal dari Bahasa latin, Lex artinya hukum dan
Sportiva artinya Olahraga. Franck Latty menyebutkan bahwa Lex Sportiva
merupakan sistem hukum yang memasuki wilayah hukum sistem hukum
transnasional (Pandjaitan, 2011, 137). Selain itu Duval (2021)
mendefinisikan Lex Sportiva sebagai rezim hukum transnasional yang
melibatkan Badan penyelenggara olahraga swasta, seperti Olympic
Movement (OM), regulasi yang mengatur kompetisi tertentu seperti
Olimpiade, organisasi yang mengatur isu tertentu dalam olahraga seperti
WADA, dan tentunya organisasi olahraga yang lebih spesifik seperti FIFA.
Ken Foster (2012) menyebutkan bahwa ada empat karakteristik dari
konsep Lex Sportiva, yakni:
1. A Private and Autonomous Order: memiliki struktur atau tatanan
yang bersifat pribadi dan otonom, dimana Lex Sportiva menciptakan
konstitusi dan norma yang berasal dari suatu organisasi atau federasi
olahraga itu sendiri (c. FIFA), agar menjadi pembeda antara Lex
Sportiva dengan hukum nasional maupun internasional, serta
menghindari intervensi dari pemerintahan negara.
2. It is a Contractual Order: adanya pemberlakuan kontrak atau
perjanjian Bersama, hal ini bertujuan agar anggota dari suatu
federasi olahraga secara sukarela patuh dan menundukan diri
terhadap aturan atau regulasi dari federasi olahraga tersebut.
3. Appear to be internal to Sporting Order: Sumber hukum dari Lex
Sportiva berasal dari internal federasi olahraga yang membuatnya,
seperti regulasi, statuta, atau kode etik.
4. The Key to the Success of The Lex Sportiva Development:
Keberhasilan diberlakukannya Lex Sportiva bagi suatu federasi
olahraga ialah menghasilkan keputusan dalam menyelesaikan
sengketa di dalam suatu federasi olahraga, dan Lex Sportiva
memiliki badan yurisdiksi sendiri seperti Court of Arbitration Sport
(CAS) atau FIFA memiliki Dispute Resolution Chamber.

6
Lex Ludica
Menurut Ken Foster (2012) Lex Ludica bisa diartikan sebagai hukum
olahraga yang berfungsi sebagai aturan-aturan dalam permainan olahraga
yang ditegakan oleh ofisial pertandingan dan juga mencakup prinsip-prinsip
etika pertandingan yang harus dipatuhi oleh para olahragawan. Lex Ludica
juga dikenal sebagai ‘Rules of The Game’. Lex Ludica memiliki kekebalan
hukum yang tidak dapat diintervensi siapapun termasuk pengadilan
nasional, karena Lex Ludica merupakan ‘hukum internal’ daripada hukum
olahraga itu sendiri, dan termasuk yurisprudensi dari CAS (Foster, 2012).
Kedudukan serta fungsi keberadaan Lex Sportiva dan Lex Ludica saling berhubungan
dalam organisasi internasional seperti FIFA. Lex Sportiva mengatur segala aspek tentang
keorganisasian, pengelolaan, pelaksanaan serta penyelesaian segala bentuk sengketa yang ada
di dalam kompetisi sepak bola professional (Pandjaitan, 2011, 217), sedangkan Lex Ludica
memastikan dalam sebuah pertandingan olahraga profesional hasil dan keputusan pertandingan
tidak dapat diubah sesuai aturan yang diciptakan oleh federasi atau organisasi olahraga,
memastikan prinsip permainan yang adil ‘Fair Play’, jujur dan tidak diintervensi, memastikan
berjalannya hukuman dan kode etik dalam kompetisi, menyerahkan sengketa dalam kompetisi
ke dalam yurisprudensi CAS, serta memastikan tidak adanya manipulasi kewarganegaraan
untuk tujuan kegiatan olahraga (Foster, 2012).

3. Konsep Kedaulatan Negara


Konsep Kedaulatan Negara digunakan dalam penelitian ini sebagai faktor eksternal yang
mempengaruhi keputusan FIFA atas penolakannya terhadap kampanye LGBTQ di piala dunia
2022. Secara etimologi kedaulatan berasal dari Bahasa Arab ‘Daulah’ yang artinya kekuatan,
sedangkan secara terminologi pengertian kedaulatan pertama kali dipakai oleh filsuf politik
Prancis Jean Bodin (1530-1596) yang mengartikan kedaulatan sebagai prinsip kekuasaan yang
mutlak serta memiliki sifat yang permanen terhadap kekayaan bersama (Heywood, 2017, 206).
Bodin menjelaskan bahwa kedaulatan yang dimiliki negara sebagai bentuk kekuasaan hukum
memiliki sifat yang absolut dan independen atas rakyatnya, dan menurut Micaela Alvarez
kedaulatan adalah hak dan atribut yang dimiliki oleh negara di wilayahnya (Gevorgyan, 2014).
Seiring perkembangan zaman, kehadiran hukum internasional atau perjanjian
internasional yang telah disepakati oleh negara-negara membatasi kedaulatan negara itu sendiri,
dimana menurut A.N. Talalayev dalam (Gevorgyan, 2014) mengatakan bahwa suatu perjanjian
internasional yang berlandaskan prinsip kesukarelaan, timbal balik serta kesetaraan kedaulatan
7
akan membatasi kedaulatan negara-negara yang terlibat namun tidak melampaui batasan yang
dapat menimbulkan pelanggaran kedaulatan itu sendiri. Namun ada pula yang menyebutkan
bahwa sifat kedaulatan negara yang berisi property politik dan hukum, tidak bisa dicabut atau
diintervensi oleh negara (entitas) manapun, setidaknya hal ini disampaikan oleh N.A. Ushakov
dalam (Gevorgyan, 2014) yang dikenal sebagai ‘Legal Unboundedness State’s Power’
(Ketidakterbatasan hukum kekuasaan negara).

“Legal unboundedness of state’s power only means that there is no


supreme power over him (state) to which he is obliged to follow.”

Ketidakterbatasan hukum kekuasaan negara adalah situasi dimana negara


melaksanakan kekuasaanya dalam hukum tanpa adanya kekuasaan tertinggi lain yang dapat
mempengaruhinya dan menentukan aktivitasnya, ditambah hanya negara yang menetapkan
aturan-aturan atau perilaku (terbentuk dalam regulasi atau undang-undang) dan memastikan
pelaksanaan aturan tersebut berjalan lancar, hal tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan
umum serta kehendak bersama, karena pada dasarnya Legal unboundedness of state’s power
diciptakan atas dasar kondisi riil yang terjadi pada masyarakat (Gevorgyan, 2014).
Qatar sebagai negara yang ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggara piala dunia
2022 tentunya memiliki wewenang dan tanggung jawab sebagai negara yang
menyelenggarakan kompetisi tersebut, terlebih posisi Qatar sebagai negara islam dengan
menerapkan hukum syariah nya memiliki peran penting dalam keberlangsungan bagaimana
kompetisi sepak bola itu berjalan dengan baik dan semestinya (Sinulingga & Sinulingga, 2023).
Dalam menganalisa penolakan FIFA terhadap kampanye LGBTQ di piala dunia Qatar
2022, penulis membagi dua penyebab dari alasan penolakan tersebut, pertama penulis
menggunakan konsep Hukum Olahraga Transnasional sebagai faktor internal di balik
penolakan kampanye LGBTQ oleh FIFA dengan meninjau landasan hukum (Lex Sportiva dan
Lex Ludica) seperti regulasi, statuta, ataupun disiplin kode yang mengaitkan keputusan FIFA
dengan penolakan kampanye LGBTQ, dan kedua, penulis menggunakan konsep kedaulatan
negara sebagai faktor eksternal di balik penolakan kampanye LGBTQ oleh FIFA dimana
adanya keterkaitan antara negara Qatar sebagai tuan rumah dan salah satu penanggung jawab
pada piala dunia 2022 ini sebagai faktor eksternal dibalik keputusan FIFA tersebut.

8
4. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian Eksplanatif, dimana
penelitian eksplanatif ini bertujuan sebagai pengarahan terhadap studi yang berfokus pada
analisis sebab-akibat (kausalitas, dan untuk memantapkan dalam prediksi lanjutan pada
pembuktian korelasi antar variabel independen dan dependen yang terlibat. Teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan kualitatif, menurut John W. Cresswell dalam
(Bakry, 2016, 14) mendefinisikan bahwa “penelitian kualitatif ialah merupakan sebuah
pendekatan untuk mengeksplorasi dan memahami makna (meaning) yang oleh sejumlah
individu atau kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial dan kemanusian”.
Data yang diperoleh oleh peneliti berdasarkan dari literatur-literatur seperti Jurnal,
Tesis, Buku, Berita, Regulasi maupun Undang-undang. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti berdasarkan studi kepustakaan dimana data berbasis dokumen atau
Document-based research, dalam pengertianya dokumen ialah bahan-bahan yang tersedia
dalam dalam bentuk informasi tentang fenomena sosial tertentu dimana eksistensinya secara
independen dari tindakan peneliti (Bakry, 2016, 171) .
FIFA merupakan sebuah organisasi internasional non-pemerintahan atau yang biasa
disebut sebagai International non-governmental Organization (INGO), maka untuk unit
Analisis dalam penelitian ini adalah FIFA yang diidentifikasikan sebagai perilaku kelompok
dimana Mochtar Mas’oed (1990, 46) menjelaskan bahwa organisasi-organisasi yang terlibat
dalam hubungan internasional termasuk ke dalam perilaku kelompok, sedangkan unit
eksplanasinya merujuk pada faktor kedaulatan Qatar yang mempengaruhi keputusan penolakan
kampanye LGBTQ oleh FIFA di Piala Dunia 2022, maka unit eksplanasinya diidentifikasikan
sebagai negara, artinya tingkat analisis dalam penelitian ini adalah induksionis, dimana unit
eksplanasinya lebih tinggi dibanding unit analisisnya (Mochtar, 1990, 44).

5. Pembahasan
5.1. Hukum Olahraga Transnasional sebagai sistem hukum FIFA
FIFA merupakan organisasi internasional non-pemerintahan yang bergerak dan
berfokus pada bidang sepak bola, organisasi tersebut berdiri pada 21 Mei 1904 di Paris yang
diinisiasi oleh tujuh asosiasi sepakbola nasional yakni Belgia, Belanda, Denmark, Prancis,
Spanyol, Swedia, dan Swiss. Kini kantor pusat FIFA berada di Zurich, Swiss. FIFA juga bisa
disebut sebagai Federasi sepak bola tunggal (Pandjaitan, 2011, 216), dimana FIFA dibentuk
sebagai otoritas administratif tertinggi sepak bola yang memiliki fungsi untuk mengatur semua

9
aspek permainan, mengatur peraturan permainan, mengawasi, transfer pemain internasional,
mengorganisir kompetisi internasional seperti Piala Dunia, menetapkan standar pada wasit,
kepelatihan dan kedokteran olahraga, serta mendorong pengembangan sepak bola di seluruh
dunia (ussoccer, 2022). Kini tercatat FIFA memiliki 211 anggota yang terdiri dari asosiasi-
asosiasi sepak bola nasional di seluruh penjuru dunia.
Dalam menjalankan serta mengatur segala aspek permainan sepak bola professional
serta keorganisasianya, FIFA memiliki serangkaian sistem hukum baik digunakan sebagai
pengaturan untuk segala aspek tentang keorganisasian, pengelolaan, pelaksanaan serta
penyelesaian segala bentuk sengketa yang ada di dalam kompetisi sepak bola professional atau
yang dikenal sebagai Lex Sportiva dan memastikan dalam sebuah pertandingan olahraga
profesional hasil dan keputusan pertandingan tidak dapat diubah sesuai aturan dari FIFA sendiri
atau yang dikenal sebagai Lex Ludica (Pandjaitan, 2011). Dalam sistem hukum FIFA,
setidaknya ada 17 macam regulasi yang dijadikan sistem hukum oleh FIFA.
Adapun Lex Sportiva dalam sistem Hukum FIFA salah satunya yakni Statuta FIFA yang
berisi Serangkaian aturan dan peraturan yang mengatur kegiatan Federasi Internasional Sepak
Bola Asosiasi (FIFA), selain itu Lex Ludica dalam sistem hukum FIFA diantaranya seperti FIFA
Equipment Regulation yakni regulasi yang mengatur peralatan bermain, pakaian, serta
peralatan lain yang digunakan oleh delegasi tim dari anggota asosiasi, klub maupun klub e-
Football, dan FIFA Law of The Game yang berisi aturan yang ditetapkan oleh FIFA tentang
tata cara serta pedoman permainan dalam pertandingan sepak bola.

5.2.Ban Kapten ‘One Love’ sebagai Simbol Politik Kampanye LGBTQ


Pengertian dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (LGBTQ) merujuk
pengenalan atau identifikasi orientasi seksual dan identitas gender tanpa batas (HRC
Foundation, 2023), dimana adanya individu maupun kelompok dalam masyarakat yang
mengidentifikasi bahwa ada berbagai macam identitas gender dan orientasi seksual dalam diri
manusia. Seiring berkembangnya waktu, individu ataupun kelompok tersebut menciptakan
suatu Gerakan untuk memperjuangkan hak dan keyakinan mereka terhadap orientasi seksual
dan identitas gender.
Awal mula Gerakan LGBTQ diidentifikasikan pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,
dimana pada saat itu bermunculan gerakan Gay Liberation Movement di negara-negara barat,
dimana tujuan dari gerakan tersebut menuntut hak kesetaraan atau pembebasan bagi kelompok
tersebut. Di akhir 1990-an gerakan LGBTQ menyebar luas menjadi gerakan internasional, hal
ini dimulai dengan adanya organisasi internasional yang memiliki fokus terhadap hak LGBTQ
10
seperti International Lesbian and Gay Association, walaupun organisasi tersebut didirikan
tahun 1978 namun mereka memulai lobi internasional terhadap isu hak kesetaraan kelompok
mereka di tahun 1990 (Kollman & Waites, 2009).
Aktivitas kelompok LGBTQ dalam panggung politik global juga terlihat ketika
terbentuknya International Conference on LGBT Human Rights atau yang lebih dikenal
sebagai Deklarasi Montreal pada tahun 2006, serta Yogyakarta Principles pada tahun 2007,
kedua hal tersebut berisi tentang hak-hak kelompok LGBTQ, seperti panduan global terhadap
upaya penghapusan stigma serta diskriminasi terhadap LGBTQ, LGBTQ dalam isu-isu global,
dan juga partisipasi kelompok tersebut dalam lapisan masyarakat (Kollman & Waites, 2009).
Selain aktivitas gerakannya, Kelompok LGBTQ dalam gerakanya diidentikan dengan
simbol Pelangi, dimana simbol tersebut selalu ada ketika mereka melakukan pergerakan untuk
menyuarakan isu mereka. Keterkaitan simbol pelangi dengan kelompok LGBTQ diciptakan
oleh aktivis LGBTQ bernama Gilbert Baker, James McNamara, dan Lynn Segerblom pada
tahun 1978 ketika diadakanya dalam perayaan acara parade hari kebebasan gay yang
diselenggarakan di San Fransisco, Amerika Serikat (Segerblom, 2018). Sampai sekarang
simbol pelangi digunakan sebagai representasi kelompok LGBTQ.
Menurut Ginty (2001) Simbol dapat berperan dalam membentuk ikatan identitas antar
kelompok serta dapat membantu mempromosikan dan memobilisasi identitas atau pandangan
suatu kelompok. Selain itu, dalam dunia politik, simbol merepresentasikan identitas seseorang
atau kelompok, seperti yang dijelaskan oleh Moghaddam (2017, 633) bahwa simbol politik
dapat menyerupai objek, orang, kata, kinerja, atau isyarat apa pun yang mewakili institusi
politik, hierarki, gerakan, kepercayaan, atau ideologi. Fungsi keberadaan simbol politik selain
membentuk ikatan identitas antar kelompok, juga dapat menjadi alat penafsiran dimana
seseorang meyakini suatu hal untuk lebih mudah dikenali, membuat suatu gerakan politik lebih
kohesif, dan menciptakan hubungan dalam kelompok dengan kepercayaan dan emosi, sehingga
melahirkan rasa kebanggaan, komitmen, dan kemauan untuk berkorban demi kelompok
tersebut (Moghaddam, 2017, 634).
Hal tersebut juga dilakukan oleh kelompok LGBTQ dalam menyuarakan hak dan
kesetaraanya dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam lingkungan olahraga, terkhusus sepak
bola. Salah satu aktivisme kelompok LGBTQ ditunjukan dengan gerakan aktivisme yang
bertajuk ‘One Love’ yang dimana gerakan tersebut menjadi polemik selama pergelaran
kompetisi piala dunia 2022 di Qatar.
Awal mula terciptanya ban kapten ‘One Love’ dimulai oleh kampanye yang bertajuk
‘OneLove Campaign’ di kompetisi liga sepak bola Belanda tahun 2020, kampanye tersebut
11
bertujuan sebagai pesan perlawanan terhadap anti-diskriminasi, anti rasisme, serta kampanye
untuk mendukung hak asasi kemanusian, dan hak LGBTQ (Syed, 2022). Selain itu pemicu
dari lahirnya kampanye tersebut ialah munculnya kasus rasisme yang menimpa pesepakbola
Ahmad Mendes Moreira yang membela klub Excelsior Rotterdam. Setelah kejadian tersebut,
KNVB selaku asosiasi sepak bola nasional Belanda, bekerja sama dengan Eredivisie, Kitchen
Champions Division, serta pemerintahan Belanda untuk melakukan kampanye tersebut sebagai
bentuk perlawanan atas tindak diskriminasi serta rasisme, kampanye tersebut pertama dimulai
pada kompetisi liga Belanda musim 2020 dengan menciptakan ban kapten ‘One Love’ (NOS
Nieuws, 2021).
Kampanye tersebut berlanjut pada ajang pertandingan internasional pada UEFA Euro Cup
2020 dimana kapten dari tim nasional Belanda Giorgio Wijnaldum mengenakan ban kapten
‘one love’ (Boren, 2021), sampai pada dimana adanya wacana bagi 6 kesebelasan tim nasional
seperti Belanda, Inggris, Jerman, Swiss, Denmark, dan Wales yang berencana untuk
menggunakan ban kapten tersebut pada ajang kompetisi piala dunia 2022 di Qatar, namun FIFA
sebagai penyelenggara kompetisi tersebut menolak wacana yang akan dilakukan 6 tim nasional
tersebut perihal persoalan kampanye ban kapten ‘One Love’. Dimana FIFA akan memberi
sanksi kepada 6 tim nasional tersebut apabila mengenakan ban kapten ‘One Love’(BBC Sport,
2022).

5.3.Dasar Penolakan kampanye LGBTQ dalam Penggunaan Ban Kapten ‘One Love’
berdasarkan Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai Faktor Internal

Pertama, Penolakan yang dilakukan FIFA didasari oleh FIFA Equipment Regulation
tentang pemakaian ban kapten pada pasal 13.8.1 (FIFA, 2021):

“For FIFA Final Competitions, the captain of each Team must


wear the captain’s armband provided by FIFA. If FIFA
provides a choice of captain’s armband, the captain should
wear the one that contrasts most clearly with the Sleeve on
which it is worn.”

Dalam regulasi tersebut FIFA telah mengatur dan menentukan ban kapten yang harus
digunakan oleh kapten dari masing-masing tim. Apabila ban kapten yang dikenakan tidak
sesuai dengan ketentuan FIFA maka kapten tim akan dikenakan sanksi ‘unlimited sanction’
berupa kartu kuning (Atkinson, 2022).

12
Kedua, penolakan dilakukan karena penggunaan ban kapten ‘one love’ merupakan
bentuk dari kampanye politik, walaupun tujuan dari kampanye tersebut untuk mendorong
inklusivitas dan keberagaman dalam sepak bola dan masyarakat luas (Marshall, 2022), namun
warna yang tertera dalam ban kapten tersebut menyiratkan warna pelangi sebagai simbol dari
kelompok LGBTQ secara global, ditambah dengan pernyataan dari presiden FIFA Gianni
Infantino yang menyatakan bahwa lebih baik membawa pesan kampanye yang lebih universal
(Syed, 2022). Ditambah dengan regulasi FIFA tentang larangan membawa simbol yang
bermuatan politik sebagaimana dimuat dalam Statuta FIFA pasal 4.2, dan FIFA Equipment
Regulation pasal 4.3.1 (FIFA, 2021):

“FIFA remains neutral in matters of politics and religion. Exceptions


may be made with regard to matters affected by FIFA’s statutory
objectives.”

“No Item (of Playing Kit or other clothing or equipment or otherwise)


may be worn or used in any Controlled Area if FIFA consider that
it: is dangerous, offensive or indecent, includes political,
religious, or personal slogans, statements, or images, or
otherwise does not comply in full with the Laws of the Game.”

Seperti apa yang dijelaskan Foster tentang karakteristik dari Lex Sportiva yakni A Private
and Autonomous Order, dimana FIFA menciptakan konstitusi ataupun norma yang ditujukan
dalam statuta FIFA maupun FIFA Equipment Regulation. FIFA memiliki interpretasi sendiri
dalam memaknai kampanye LGBTQ tersebut sebagai simbol politik, maka dasar penolakannya
terdapat pada statuta FIFA pasal 4 tentang netralitas FIFA Equipment Regulation terkait
penggunaan peralatan dan pakaian bermain sepak bola yang diatur oleh FIFA.

5.4. Otoritas dan Wewenang FIFA terhadap anggota-anggotanya


Kampanye No Discrimination menjadi salah satu kampanye yang memiliki keterkaitan
dengan studi kasus yang peneliti angkat yakni penolakan kampanye LGBTQ, dimana FIFA
mengatur gagasan tentang tidak adanya ruang bagi pelaku diskriminasi, gagasan tersebut diatur
ke dalam statuta FIFA pasal 4 tentang pelarangan keras berlaku diskriminasi (FIFA, 2022). Hal
tersebut menunjukan bahwa FIFA secara tegas ingin menciptakan ruang sepak bola yang
bernuansa inklusi, keberagaman dan anti-diskriminasi.namun sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku dan diterapkan dalam sistem hukum FIFA, hal tersebut disampaikan pada
pernyataan FIFA (Olley, 2022) :

13
"FIFA is an inclusive organization that wants to put football to the benefit of
society by supporting good and legitimate causes, but it has to be done within
the framework of the competition regulations which are known to everyone."

Sebagaimana dengan sifat dari Hukum Olahraga Transnasional yang wewenangnya


melampaui batas teritorial negara, begitupun FIFA sebagai badan otoritas tertinggi yang
mengatur segala hal yang berhubungan dengan sepak bola, memiliki aturan-aturan yang berlaku
secara karakteristik melewati batas teritorial negara, dimana berlaku untuk anggota-anggota
seperti tujuh tim nasional sepakbola yang ingin mengenakan ban kapten ‘one love’. Hal tersebut
dituliskan dalam statuta FIFA tentang kewajiban bagi anggota FIFA pada bagian Member
Association’s Obligation, poin d (FIFA, 2022):

“to cause their own members to comply with the statutes, regulations,
directives and decisions of FIFA bodies”

Hal ini berdasarkan bahwa setiap tim nasional sepak bola berada di bawah tanggung jawab
dari asosiasi sepak bola negara tersebut sebagaimana yang tertuang dalam statuta FIFA pasal
11 ayat 1 tentang kewajiban keanggotaan untuk mengatur dan mengawasi sepak bola di
negaranya (FIFA, 2022).
Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Ken Foster mengenai karakteristik Lex Sportiva,
yakni It is a Contractual Order, dimana dalam sistem hukum FIFA, organisasi tersebut
memiliki wewenang dan otoritas dalam mengatur segala hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan sepak bola serta hal tersebut wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap anggota FIFA,
seperti yang terdapat dalam statuta FIFA Pasal 8 ayat 1, dan 3 tentang kewajiban yang berlaku
bagi seluruh elemen yang bernaung di bawah FIFA:

“All bodies and officials must observe the Statutes, regulations, decisions and
Code of Ethics of FIFA in their activities.”

“Every person and organization involved in the game of football is obliged to


observe the Statutes and regulations of FIFA as well as the principles of
fair play.”

Tujuh tim sepak bola nasional (Belanda, Inggris, Jerman, Swiss, Belgia, Denmark, dan
Wales) yang berniat untuk menampilkan kampanye LGBTQ melalui penggunaan ban kapten
yang mereka gunakan tidak akan berlaku karena bertentangan statuta FIFA, serta FIFA
Equipment Regulation yang telah disebutkan sebelumnya. Karena tujuh tim sepak bola tersebut

14
berada di bawah otoritas FIFA. Sebagaimana yang digambarkan pada Structure Football
Pyramid dalam (Pandjaitan, 2011, 222). Hal ini menunjukan bagaimana FIFA menggunakan
hegemoninya dalam tatanan struktur yang mereka buat, dan dilegitimasi dalam bentuk hak dan
kewajiban ketujuh tim sepak bola nasional sebagai anggota

Gambar 1 1 Football Pyramid Structure

Sumber: Pandjaitan, H. I. P. (2011). Kedaulatan negara versus kedaulatan FIFA dalam kompetisi
sepakbola profesional untuk memajukan kesejahteraan umum. Jakarta: Sk Gramedia Pustaka
Utama.

5.5.Kedaulatan Negara Qatar sebagai Faktor Eksternal


Qatar merupakan tuan rumah piala dunia 2022, hal ini didasari atas terpilihnya Qatar dalam
memenangkan bidding dalam pemilihan tuan rumah piala dunia di tahun 2010, Qatar dipilih
oleh 22 anggota komite eksekutif dan mengalahkan Amerika Serikat yang juga mengajukan
diri sebagai tuan rumah piala dunia (Dewi, 2022). Hal tersebut menjadikan Qatar sebagai
negara timur tengah dan negara dengan mayoritas penduduk muslim pertama yang menjadi
tuan rumah kompetisi sepak bola internasional tersebut.
Qatar memiliki tujuan tersendiri ketika mengajukan diri menjadi tuan rumah piala dunia
2022, seperti halnya sebagai alat diplomasi olahraga, sebagai branding dimana dalam
pelaksanaanya bertujuan sebagai alat dalam mengejar prestise dan visibilitas di mata
masyarakat internasional (Elias, 2021), lalu Qatar ingin membuktikan bahwa Kawasan maupun
negaranya adalah tempat yang aman dalam menyelenggarakan piala dunia 2022 (Brannagan &
Rookwood, 2016), dan yang tak kalah menarik ialah Qatar yang dikenal sebagai negara muslim
ingin menunjukan nilai-nilai pendidikan serta budaya islam kepada dunia dalam pelaksanaan
kompetisi tersebut, dengan menampilkan lantunan ayat suci Al-Qur’an dalam pembukaan piala

15
dunia, pemasangan mural yang berisi hadits, serta pelarangan penjualan bir serta aktivitas
LGBTQ (Sinulingga & Sinulingga, 2023).
Pelarangan aktivitas yang berhubungan dengan LGBTQ dalam pergelaran piala dunia 2022
memang menjadi sebuah sorotan dan kontroversi, pasalnya banyak pihak yang mengecam atas
keputusan Qatar ini (Ioanes, 2022) ditambah dengan dengan Qatar yang sebagai Tuan rumah
Piala Dunia 2022, dikenal sebagai negara muslim dengan menerapkan hukum syariat islam
kedalam regulasi atau kebijakan nasionalnya, seperti halnya Hukum Pidana Qatar tahun 2004
pasal 296 dimana melakukan aktivitas sex sesama jenis akan dikenai hukuman minimal 1 (satu)
sampai 3 (tiga) tahun, dan pasal 298 dimana siapapun yang melakukan pekerjaan sex sesama
jenis (sodomi) akan dikenakan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun (Carroll &
Ramon Mendos, 2017).
FIFA sebagai badan otoritas yang mengatur segala kompetisi sepak bola termasuk
kompetisi piala dunia seharusnya bisa mengatasi permasalahan tentang pelarangan aktivitas
yang berhubungan dengan LGBTQ seperti kampanye dalam pergelaran piala dunia kali ini,
namun sebagaimana dijelaskan dalam konsep kedaulatan negara tentang Legal Unboundedness
State’s Power menjadikan posisi FIFA melemah terhadap kedaulatan negara Qatar dengan
hukum Syariah nya yang melarang segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan LGBTQ,
dimana dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa sifat dari Legal unboundedness of state’s
power yang menjadikan negara dapat melaksanakan kekuasaanya dalam hukum tanpa adanya
kekuasaan tertinggi lain yang dapat mempengaruhinya dan menentukan aktivitasnya.
Ditambah dengan adanya peraturan FIFA mengenai FIFA World Cup: Bid Evaluation
Report (FIFA, 2010) dimana FIFA mewajibkan negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah piala
dunia untuk memberikan dokumen penawaran yang berisi tentang persyaratan serta adanya
kesenjangan dan resiko yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan piala dunia,seperti halnya
Infrastruktur, keamanan, dan hukum nasional setempat. Dalam salah satu laporan yang terdapat
pengajuan tentang Hukum nasional Qatar yang terdapat pada poin Legal and Government
Guarantees:

“As an islamic country, the laws of Qatar are based on the principles of
Sharia, which imposes restrictions on the sale, advertising and
distribution of certain goods and services and otherwise may overrule
other statutory laws.”

Artinya Qatar sedari awal sudah memberikan penawaran bahwa negara Qatar menganut
hukum syariah yang dimana mempengaruhi beberapa aktivitas yang bertentangan dengan

16
hukum syariah tersebut termasuk kampanye LGBTQ yang dilakukan di piala dunia 2022, dan
laporan penawaran ini akhirnya disetujui oleh FIFA mengingat Qatar yang terpilih menjadi tuan
rumah piala dunia 2022. Kedua hal tersebut menjelaskan walaupun posisi FIFA sebagai badan
otoritas tertinggi sepak bola dengan tujuan FIFA untuk menciptakan lingkungan sepak bola
yang inklusif dan beragam dengan mencoba menjalin Kerjasama dengan komunitas LGBTQ,
namun hal tersebut tidak berlaku ketika dihadapkan dengan Legal unboundedness of state’s
power milik Qatar.
Selama ini FIFA menunjukan otoritas dan hegemoni terhadap segala permasalahan yang
memiliki kaitan dengan aktivitas sepak bola, FIFA bisa dengan mudah mendikte dan
melemahkan otoritas suatu negara apabila negara tersebut turut ikut campur dalam urusan
sepak bola di bawah wewenang FIFA, hal tersebut dikarenakan hegemoni FIFA yang
dilegitimasi dalam statuta FIFA mengenai prinsip non-intervensi (FIFA, 2022). Banyaknya
Asosiasi sepak bola dan aktivitas liga nasional yang dibekukan FIFA terkait adanya campur
tangan pemerintahan nasionalnya sendiri, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan
kompetisi liganya menjadi salah satu Asosiasi yang dibekukan oleh FIFA terkait permasalahan
non-intervensi (Kusumawardhana & Badaruddin, 2018).
Sanksi terhadap pembekuan segala aktivitas sepak bola menjadi salah satu bentuk
hegemoni FIFA terhadap anggotanya, juga menunjukan secara tidak langsung kepada negara
bahwa FIFA memiliki otoritas nya sendiri. FIFA beberapa kali menggunakan otonomi dan
otoritasnya terhadap negara terkhusus negara yang yang ditunjuk menjadi tuan rumah piala
dunia untuk mengintervensi undang-undang serta memaksakan kehendak atas pemerintahan
negara tersebut apabila tidak sesuai standar FIFA 3(Jerabek, dkk., 2017), namun terhadap Qatar
yang merupakan tuan rumah piala dunia 2022, menurut (Brannagan & Giulianotti, 2015) FIFA
sendiri mencoba untuk menekan pemerintah Qatar untuk mengubah undang-undang terkait
LGBTQ tersebut, walaupun tidak berhasil dikarenakan FIFA tetap tidak memperbolehkan
kampanye LGBTQ dan Undang-undang tersebut tetap tidak bisa diintervensi oleh FIFA
sekalipun, dan kampanye LGBTQ di gelaran kompetisi Piala Dunai 2022 tetap tidak terlaksana.
Pandjaitan (2011, 299) menjelaskan tentang prinsip hukum universal, dimana adanya titik
singgung antara Sistem hukum olahraga yang digunakan oleh FIFA dengan hukum nasional
dimana terselenggaranya suatu kompetisi sepak bola, salah satunya didasari atas pengaturan

3
Brazil, Afrika Selatan, Russia, dan Qatar, menyiapkan regulasi atau peraturan nasionalnya terkait persiapan
pergelaran kompe�si piala dunia. Hal tersebut diciptakan sebagai penjamin standar minimum FIFA terkait piala
dunia seper� aplikasi FIFA, pembebasan pajak, perlindungan dan hak, konstruksi stadion, dan keamanan.

17
yang relevan tentang perizinan terselenggaranya kompetisi sepak bola. Selain itu Koppell
(2008) menjelaskan bahwa Organisasi Internasional dalam tata kelolanya cenderung
menghadapi trade-off antara legitimasi dan otoritas yang mereka miliki, dimana mereka
mengorbankan sesuatu demi menciptakan keseimbangan dalam tata kelolanya karena hal
tersebut tidak bisa dicapai dalam waktu yang bersamaan.
Dalam kasus penolakan kampanye LGBTQ ini, FIFA yang sebelum-sebelumnya menjalin
hubungan dengan kelompok LGBTQ, menciptakan ruang sepak bola yang aman untuk
kelompok tersebut, namun berbanding terbalik dengan kebijakanya di kompetisi piala dunia
2022 ini menunjukan FIFA harus memilih mana yang harus diprioritaskan agar kompetisi
tersebut berjalan lancar (trade-off), dan mengorbankan hal yang sudah mereka bangun (relasi
dengan kelompok LGBTQ).

Kesimpulan
Penolakan kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘One Love’ terjadi
berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal. Dalam faktor internal terdapat sistem hukum
FIFA yang mengatur segala aktivitas keorganisasian dan juga menjadi wewenang dan otoritas
FIFA terhadap anggotanya, karena pada dasarnya sistem hukum FIFA yang dikategorikan
sebagai Hukum Olahraga Transnasional. Dalam Hukum Olahraga Transnasional terdapat Lex
Sportiva dan Lex Ludica. Dasar penolakan kampanye LGBTQ jika merujuk pada Lex Sportiva
milik FIFA tidak sesuai dengan statuta FIFA pasal 4 tentang netralitas FIFA terhadap segala
bentuk simbol politik, dan kampanye LGBTQ dalam penggunaan ban kapten ‘One Love’
dikategorikan sebagai simbol politik dari kelompok LGBTQ, dimana setelah ditinjau lebih
dalam mengenai salah satu ciri dari simbol politik adalah objek yang mewakili suatu gerakan
yang berguna sebagai alat untuk memobilisasi dan menyatukan identitas dari gerakan tersebut.
Selain itu, Lex Ludica dalam sistem hukum FIFA dimana mengatur segala aspek dalam
pertandingan sepak bola, juga memandang bahwa kampanye LGBTQ tidak boleh ditampilkan
selama jalannya pertandingan, hal tersebut merujuk kepada FIFA Equipment Regulation
tentang adanya pelarangan penunjukan simbol politik dalam atribut yang dikenakan oleh tim
nasional yang bertanding dalam kompetisi piala dunia 2022 di Qatar. FIFA sebagai badan
otoritas tertinggi dalam kepengurusan sepak bola Internasional berhak memberikan wewenang
dan otoritasnya terhadap anggotanya sendiri (termasuk ketujuh tim nasional yang menginisiasi
kampanye LGBTQ), hal ini didasari atas sistem hukum FIFA yakni Lex Sportiva yang memiliki
karakteristik yang bersifat pribadi dan otonom serta adanya perjanjian bersama antara FIFA
dengan anggotanya yang diatur dalam sistem hukum FIFA.
18
Faktor eksternal ialah FIFA terbentur oleh hukum nasional Qatar yang melarang segala
bentuk aktivitas yang berhubungan dengan homoseksual, dimana walaupun FIFA memiliki
wewenang dalam mengatur segala aspek tentang sepak bola termasuk piala dunia ini, akan
tetapi FIFA tidak bisa mengusik kedaulatan negara Qatar dalam bentuk hukum nasionalnya.
Dengan merujuk pada sifat kedaulatan negara yang tidak bisa diusik oleh entitas manapun atau
yang dikenal sebagai Legal Unboundedness State’s Power. Serta terdapat indikasi bahwa FIFA
memilih untuk memprioritaskan hal-hal yang dapat memperlancar jalanya kompetisi Piala
Dunia 2022 dengan menghormati kedudukan hukum nasional Qatar yang bertentangan dengan
aktivitas kelompok LGBTQ seperti penggunaan ban kapten ‘One Love’ yang
merepresentasikan simbol pergerakan kelompok LGBTQ.
Ada banyak hal yang bisa diteliti dari organisasi seperti FIFA, terkhusus dalam tata kelola
pengorganisasian dan cara mereka menempatkan diri sebagai otoritas tertinggi dalam mengatur
segala hal tentang olahraga sepak bola. Untuk penelitian selanjutnya bisa lebih spesifik
membahas tentang posisi FIFA sebagai Global Governance dalam bidang olahraga, serta
pengaruhnya terhadap aktor-aktor lain dalam panggung politik global serta isu-isu lain dalam
studi hubungan internasional.

Daftar Pustaka
Buku
Bakry, U. S. (2016). Metode Penelitian Hubungan Internasional.Jakarta: Pustaka Pelajar.
Heywood, A. (2017). Politik Global (2nd ed.). (Lintang Lazuardi, A. Trans.) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mochtar, M. (1990). Ilmu hubungan internasional : disiplin dan metodologi. Jakarta: LP3ES.
Moghaddam, F. M. (2017). The SAGE Encyclopedia of Political Behavior. New York: SAGE
Publications, Inc. https://doi.org/10.4135/9781483391144
Pandjaitan, H. I. P. (2011). Kedaulatan negara versus kedaulatan FIFA dalam kompetisi
sepakbola profesional untuk memajukan kesejahteraan umum. Jakarta:Sk Gramedia
Pustaka Utama.

Jurnal
Al Thani, M. (2021). Channeling Soft Power: The Qatar 2022 World Cup, Migrant Workers,
and International Image. International Journal of the History of Sport, 38(17), 1729–1752.
https://doi.org/10.1080/09523367.2021.1988932

19
Bainus, A., Kantaprawira, R., & Kusumawardhana, I. (2018). When FIFA Rules the World:
Hegemoni FIFA Terhadap Indonesia Dalam Kasus Pembekuan PSSI 2015-2016. Andalas
Journal of International Studies (AJIS), 7(2), 103. https://doi.org/10.25077/ajis.7.2.103-
129.2018 Brannagan, P. M., & Giulianotti, R. (2015). Soft power and soft
disempowerment: Qatar, global sport and football’s 2022 World Cup finals. Leisure
Studies, 34(6), 703–719. https://doi.org/10.1080/02614367.2014.964291
Brannagan, P. M., & Rookwood, J. (2016). Sports mega-events, soft power and soft
disempowerment: international supporters’ perspectives on Qatar’s acquisition of the
2022 FIFA World Cup finals. International Journal of Sport Policy ….
https://doi.org/10.1080/19406940.2016.1150868
Carroll, A., & Ramon Mendos, L. (2017). STATE-SPONSORED HOMOPHOBIA “A World
Surver of Sexual Orientation Laws: Criminilasation, Protection and Recognation” (Issue
12). ilga.org. https://www.researchgate.net/profile/Aengus-
Carroll/publication/324861896_State_Sponsored_Homophobia_2017_A_world_survey_
of_sexual_orientation_laws_criminalisation_protection_and_recognition/links/5ae831e4
0f7e9b837d3988c2/State-Sponsored-Homophobia-2017-A-world-survey-of-sexual-
orientation-laws-criminalisation-protection-and-recognition.pdf
Cazotto, G. N., Fronzaglia, M., & Racy, J. (2022). Institutional Aspects of FIFA Governance
and Its Impact on International Relations. American Journal of Industrial and Business
Management, 12(05), 824–839. https://doi.org/10.4236/ajibm.2022.125043
Cotterrell, R. (2012). What Is Transnational Law? Law and Social Inquiry, 37(2), 500–524.
https://doi.org/10.1111/j.1747-4469.2012.01306.x
Duval, A. (2021). Transnational sports law: The living lex sportiva. The Oxford Handbook of
Transnational Law, September, 493–512.
https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780197547410.013.23
Elias, T. (2021). “ Qatar ’ s Sports Diplomacy as a Driver for International Visibility , Prestige ,
and Branding ”. Penelitian dipresentasikan melalui The Kuwait Program’s Student Paper
Award for Their Talented Work and Research Related to the Study of the Middle East and
Gulf Region.
Foster, K. (2012). Lex Sportiva: Transnational Law in Action. SSRN Electronic Journal.
https://doi.org/10.2139/ssrn.1803472
Gevorgyan, K. (2014). Concept of State Sovereignty: Modern Attitudes. Penelitian
dipresentasikan dalam Materials of Conference Devoted to 80 Th of the Faculty of Law of
the Yerevan State University, 431–448. http://www.ysu.am/files/Karen_Gevorgyan.pdf.
20
Gevorgyan, K. (2014). Concept of State Sovereignty: Modern Attitudes. Penelitian
dipresentasikan dalam Materials of Conference Devoted to 80 Th of the Faculty of Law of
the Yerevan State University, 431–448. http://www.ysu.am/files/Karen_Gevorgyan.pdf.
Ginty, R. Mac. (2001). The political use of symbols of accord and discord: Northern Ireland
and South Africa. Civil Wars, 4(1), 1–21. https://doi.org/10.1080/13698240108402461
Gustina, Z. N. (2023). Interaksi Simbolik Tim Pendukung LGBT Pada Piala Dunia 2022. 2(1),
1–8. http://www.jurnalprisanicendekia.com/index.php/jbc/article/view/124/133
Haghirian, M., & Robles-Gil, P. (2021). Soft Power and the 2022 World Cup in Qatar: Learning
from Experiences of Past Mega-Sporting Event Hosts. ‫ﺗﺠﺴﯿﺮ‬, 3(2), 171–193.
https://doi.org/10.29117/tis.2021.0074
Hidayat, M. N. (2015). FIFA, Global Governance and Cosmopolitanism. Interpedence
Jurnal, 3(1), 15–29.
Kusumawardhana, I., & Badaruddin, M. (2018). State and Global Sport Governance:
Analyzing the Triangular Relationship Among the Fifa, Kemenpora Ri, and the Pssi.
Jurnal Asia Pacific Studies, 2(2), 116. https://doi.org/10.33541/japs.v2i2.749
Kusumawardhana, I., & Bainus, A. (2018). A Coxian Approach: Mengungkap Hegemoni
Agenda “Education For All” Terhadap Negara Berkembang. Jurnal Global Strategis,
12(2), 53. https://doi.org/10.20473/jgs.12.2.2018.53-68
Kollman, K., & Waites, M. (2009). The global politics of lesbian, gay, bisexual and
transgender human rights: an introduction. Contemporary Politics, 15(1), 1–17.
https://doi.org/10.1080/13569770802674188
Koppell, J. G. S. (2008). Global governance organizations: Legitimacy and authority in
conflict. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(2), 177–203.
https://doi.org/10.1093/jopart/mum041
Jerabek, M. M., Ferreira de Andrade, A. M., & Figueroa, A. M. (2017). FIFA’s Hegemony:
Examples from World Cup Hosting Countries. Global Society, 31(3), 417–440.
https://doi.org/10.1080/13600826.2016.1261807
Rookwood, J. (2019). Access, security and diplomacy: Perceptions of soft power, nation
branding and the organizational challenges facing Qatar’s 2022 FIFA World Cup. Sport,
Business and Management: An International Journal, 9(1), 26–44.
https://doi.org/10.1108/SBM-02-2018-0016
Siekmann, R. C. R. (2012). Introduction to International and European Sports Law.
http://link.springer.com/10.1007/978-90-6704-852-1
Sinulingga, N. N., & Sinulingga, R. O. (2023). Nilai-Nilai Pendidikan Islam pada Pelaksanaan
21
Piala Dunia FIFA 2022 Qatar. Journal of Islamic Religious Education, 7(1), 1–14.
https://doi.org/10.30762/ed.v7i1.790
Siswati, E. (2018). ANATOMI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI. Translitera :
Jurnal Kajian Komunikasi Dan Studi Media, 5(1), 11–33.
https://doi.org/10.35457/translitera.v5i1.355
Sugden, J., & Tomlinson, A. (1998). POWER AND RESISTANCE IN THE GOVERNANCE
OF WORLD FOOTBALL. Journal of Sport and Social Issues, 22(3), 299–316.
https://doi.org/10.1177/019372398022003005

Website
Atkinson, E. (2022). Fifa threatened England with ‘unlimited’ sanctions over OneLove
armbands, FA chief reveals | The Independent. Diakses dalam
https://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/fifa-england-sanctions-onelove-
b2233295.html (9/4/2023, 21:19 WIB)
BBC Sport. (2022). World Cup 2022: England threatened with “unlimited” sanctions over
OneLove armband - BBC Sport. Diakses dalam
https://www.bbc.com/sport/football/63763638 (9/4/2023, 21:15 WIB)
Boren, C. (2021). Dutch player Gini Wijnaldum shares ‘one love’ message on armband in Euro
match - The Washington Post. Diakses dalam
https://www.washingtonpost.com/sports/2021/06/27/dutch-player-shares-one-love-
message-armband-during-euro-match (9/4/2023, 21:15 WIB)
Dewi. (2022). Timeline Qatar sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022. Diakses dalam
https://skor.id/post/timeline-qatar-sebagai-tuan-rumah-piala-dunia-2022-01437999.
(9/4/2023, 21:19 WIB)
FIFA. (2018). FIFA underlines support for diversity and inclusivity at LGBTI event. Diakses
dalam https://www.fifa.com/tournaments/mens/worldcup/2018russia/news/fifa-
underlines-support-for-diversity-and-inclusivity-at-lgbti-event (17/3/2023, 20:19 WIB)
FIFA. (2022). FIFA celebrates Pride Month. diakses dalam https://www.fifa.com/news/fifa-
celebrates-pride-month (17/3/2023, 21:21 WIB)
Hasibuan, L. (2022). 6 Kontroversi Piala Dunia Qatar: Bir hingga Penonton Bayaran. diakses
dalam https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20221209102208-33-395263/6-
kontroversi-piala-dunia-qatar-bir-hingga-penonton-bayaran. (17/3/2023, 20:00 WIB)
HRC Foundation. (2023). Human Rights Campaign: Glosary of Terms. Diakses dalam
https://www.hrc.org/resources/glossary-of-terms (6/6/2023, 21:00 WIB).
22
Ioanes, E. (2022). Qatar’s anti-LGBTQ policies during the 2022 FIFA World Cup, explained -
Vox. Diakses dalam https://www.vox.com/2022/12/3/23477966/qatar-anti-lgbtq-fifa-
world-cup (10/4/2023 08:21 WIB)
Marshall, J. (2022). What is the “OneLove” campaign and why has it caused such a stir during
Qatar 2022? - upday News. Diakses dalam https://www.upday.com/uk/what-is-the-
onelove-campaign-and-why-has-it-caused-such-a-stir-during-qatar (9/4/2023, 20:13 WIB)
NOS Nieuws. (2021). Voetbalsupporters kunnen discriminatie melden via anti-racisme-app.
https://nos.nl/artikel/2367819-voetbalsupporters-kunnen-discriminatie-melden-via-anti-
racisme-app. (9/4/2023, 20:13 WIB)
Olley, J. (2022). Qatar World Cup: European nations launch “One Love” diversity campaign.
Diakses dalam https://www.espn.com/soccer/fifa-world-cup/story/4751458/qatar-world-
cup-european-nations-launch-one-love-diversity-campaign (17/3/2023, 21:15 WIB)
Olley, J. (2022). Why FIFA banned LGBTQ OneLove armband at the World Cup. Diakses
dalam https://www.espn.com/soccer/fifa-world-cup/story/4808986/why-fifa-banned-
lgbtq-onelove-armband-at-world-cup-in-qatar. (17/3/2023, 21:15 WIB).
Otto, T. (2022). Qatar World Cup: One Love armbands banned by FIFA before England vs Iran
showdown. Diakses dalam https://www.foxsports.com.au/football/world-cup/world-cup-
chaos-with-one-love-armbands-banned-hours-before-showdown/news-
story/9b5d421615e762c83f5fcb72eeb075df. (17/3/2023, 21:15 WIB)
NOS Nieuws. (2021). Voetbalsupporters kunnen discriminatie melden via anti-racisme-app.
https://nos.nl/artikel/2367819-voetbalsupporters-kunnen-discriminatie-melden-via-anti-
racisme-app. (9/4/2023, 20:13 WIB)
Olley, J. (2022). Qatar World Cup: European nations launch “One Love” diversity campaign.
Diakses dalam https://www.espn.com/soccer/fifa-world-cup/story/4751458/qatar-world-
cup-european-nations-launch-one-love-diversity-campaign (17/3/2023, 21:15 WIB)
Olley, J. (2022). Why FIFA banned LGBTQ OneLove armband at the World Cup. Diakses
dalam https://www.espn.com/soccer/fifa-world-cup/story/4808986/why-fifa-banned-
lgbtq-onelove-armband-at-world-cup-in-qatar. (17/3/2023, 21:15 WIB).
Otto, T. (2022). Qatar World Cup: One Love armbands banned by FIFA before England vs Iran
showdown. Diakses dalam https://www.foxsports.com.au/football/world-cup/world-cup-
chaos-with-one-love-armbands-banned-hours-before-showdown/news-
story/9b5d421615e762c83f5fcb72eeb075df. (17/3/2023, 21:15 WIB)
Reiff, N. (2022). How FIFA Makes Money: Global Football and Licensing. Diakses dalam
https://www.investopedia.com/articles/investing/070915/how-does-fifa-make-
23
money.asp . (14/5/2023, 10:35 WIB)
Segerblom, L. (2018). The woman behind the Rainbow Flag. Los Angels Blade. Diakses
dalam https://www.losangelesblade.com/2018/03/02/woman-behind-rainbow-flag/.
(6/6/2023, 21:00 WIB).
Syed, A. (2022). What To Know: “One Love” Armband Controversy at World Cup | Time.
Diakses dalam https://time.com/6235503/one-love-armband-qatar-world-cup/. (9/4/2023,
20:30 WIB)
ussoccer. (2022). FIFA-SOCCER’S WORLD GOVERNING BODY. Diakses dalam
https://www.ussoccer.com/history/organizational-structure/fifa. (9/4/2023, 20:30 WIB)
Wright, J. (2016). FIFA penalizes 7 nations for homophobic chants, other discriminatory acts
| Sporting News. https://www.sportingnews.com/us/soccer/news/fifa-hits-croatia-with-
stadium-ban-as-part-of-widespread-discriminatory-acts-
sanctions/13k9fqkyxpwl5188o0rvcal31f. (17/3/2023, 21:30 WIB)

Skripsi
Rahman, M. A. (2022). Analisis Kebijakan Pemerintah Qatar Dalam Persiapan
Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 Qatar Melalui Perspektif Soft Power Diplomacy
(2010-2021). Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional. Universitas Islam
Indonesia.

Regulasi
Peraturan Peralatan FIFA pasal 13.8.1 (2021). Ban Kapten FIFA.[FIFA Armbands]
https://digitalhub.fifa.com/m/7474d3addab97747/original/FIFA-Equipment-
Regulations_2021_EN.pdf
Statuta FIFA pasal 4 (2022). Non-Diskriminasi, Kesetaraan, Netralitas.[Non-Discrimination,
Equality, Neutrality].
Statuta FIFA pasal 8 (2022), Kewajiban Anggota, Ofisial dan lainnya. [ Conduct All Bodies,
Official, and Others].
Statuta FIFA pasal 11 (2022). Keanggotaan FIFA.[FIFA Memberships].
Statuta FIFA pasal 14 (2022). Kompetisi .[Competitions].

Laporan
Laporan Penawaran Evaluasi Piala Dunia 2022: Qatar, poin 4.20 (2010). Jaminan Hukum dan
Pemerintahan. [Legal and Government Guarantees]
24

Anda mungkin juga menyukai