Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM PERNAFASAN PADA KASUS ASMA
2.1. Konsep Dasar Asma Bronkhial
2.1.1. Pengertian
Istilah Asma adalah berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “ terengah-engah “ dan berarti serangan nafas pendek.
Perubahan patologis yang menyebabkab obstruksi saluran nafas yang
terjadi pada bronkhus. Penyempitan jalan nafas disebabkan oleh
bronkho spasme, edema mukosa, dan hipersekresi mukus yang
kental (Sylvia A. Price dan Lerraine M. Wilson, 2005).
Asma Bronkhial merupakan gangguan inflamasi kronik
jalan nafas yang melibatkan berbagai sel imflamasi. Dasar penyakit
ini adalah hiperaktivitas bronkhus dalam berbagai tingkat, obstruksi
jalan nafas, dan gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan
nafas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi kurang
reversibel bahkan relatif nonreversibel tergantung berat dan lamanya
penyakit (Arif Mansjoer, 2000).
Asma Bronkhial adalah penyakit paru dengan karakteristik
obstruksi jalan nafas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada
beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi jalan nafas, peningkatan respon saluran nafas terhadap
berbagai rangsangan (Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama,
2004).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif
terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asma Bronkhial adalah suatu penyakit dengan
meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Arif Muttaqin, 2008).
Asma adalah Obstruksi jalan napas akut, episode yang
diakibatkan oleh rangsangan yang tidak menimbulkan respons pada
orang sehat. Asma telah didefinisikan sebagai gangguan yang
dikarakteristikkan oleh paroksisme rekurens mengi dan dispnea yang
tidak disertai oleh penyakit jantung atau penyakit lain (Tamboyang,
2000).
Asma adalah penyakit inflamasi obstruktif yang ditandai
oleh periode episodek spasme otot-otot polos dalam dinding saluran
udara bronkhial (spasme bronkus). Spasme bronkus ini
menyempitkan jalan napas, sehingga membuat pernapasan menjadi
sulit dan menimbulkan bunyi mengi (Yasmin, 2003).
Jadi, Asma Bronkhial adalah suatu penyakit gangguan
jalan nafas obstruktif yang bersifat reversibel, ditandai dengan
adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas.

2.1.2. Klasifikasi
Menurut, Yasmin (2003) terdapat dua tipe utama Asma yaitu:
a. Asma Ekstrinsik
1) Juga disebut asma alergik atau atopik.
2) Aktivasi sel mast, infiltrasi eosinofil.
3) Dicetuskan oleh antigen dari lingkungan.
4) Terjadi reaksi antigen antibodi imunoglobulin E (IgE)
spesifik.
5) Mediator inflamatori trermasuk histamin, bradikinin,
leukotrienes, faktor penyakit trombosit, prostaglandin,
tromboksan A2 dan faktor kimia untuk eosinofik, trombosit,
netrofil, dan limfosit T.
6) Spasme bronkus terjadi dalam hitungan menit kemudian
memulih, reaksi lambat terjadi 4-8 jam kemudaian.
b. Asma Intrinsik
1) Penyebab alergi tidak diketahui
2) Sering terjadi pada masa dewasa, dapat sangat parah.
3) faktor-faktor pencetus termasuk infeksi traktus repiratorius,
obat-obatan iritan dari lingkungan, udara dingin, udara
kering, olah raga, stres emosional.
4) Kemungkinan penyebab spasme bronkus terjadi akibat
ketidakseimbangan antara sitem saraf otonom simpatis dan
parasimpatis.
5) Mediator kimia menyebabkan inflamasi dan konstriksi
bronkus.
Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma
yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-
alergik (intrinsik), namun kini pembagian asma meliputi (Arjatmo
Tjokronegoro dan Hendra Utama, 2004) :
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.

2.1.3. Faktor Pencetus Serangan Asma


Faktor-faktor yang mernimbulkan serangan Asma
Bronkhial atau sering disebut faktor pencetus adalah :
1.Alergen
Alergen merupakan faktor pencetus asma yang sering dijumpai
pada penderita asma. Debu rumah, tungau debu rumah, spora
jamur, serpih kulit kucing, anjing dan sebagainya dapat
menimbulkan serangan asma pada penderita yang peka. Alergen-
alergen tersebut biasanya berupa alergen hirupan, meskipun
kadang-kadang makanan dan minuman dapat menimbulkan
serangan.
Pada respons alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan
alergen kemudian menyerang sel-sel mast. Degranulasi sel tersebut
menyebabkan pelepasan produk sel mast (disebut mediator) seperti
histamin, bradikinin, prostaglandin, dan lain-lain. Histamin
menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus dan kelenjar jalan
nafas menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran
mukosa, dan pembentukan mukus yang banyak.
2.Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran nafas juga merupakan salah satu pencetus yang
paling sering menimbulkan serangan asma. Diperkirakan dua
pertiga penderita asma anak dan satu pertiga penderita asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas.
Berbagai macam virus, seperti virus influensa sangat sering
dijumpai pada orang yang sedang mengalami serangan asma.
Kemungkinan mendapatkan serangan asma makin besar bila
infeksi tadi cukup berat. Jika pada orang normal infeksi saluran
nafas hanya menyebabkan batuk, pilek dan demam, pada penderita
asma gejala tadi diikuti dengan serangan asma. Celakanya baik
batuk maupun asma yang dicetuskan oleh virus saluran nafas lebih
lama sembuhnya dibandingkan jika dicetuskan oleh bukan infeksi
virus.
3.Tekanan jiwa
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4.Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

5.Obat-obatan
Obat-obatan yang sering mencetuskan serangan asma adalah
golongan reseptor beta, atau yang lebih populer disebut beta-
blocker. Golongan obat tersebut sering dipakai untuk pengobatan
penyakit jantung koroner dan darah tinggi. Pada penderita asma
berat, bahkan obat tetes mata yang mengandung beta-blocker
dalam dosis yang kecil pernah dilaporkan menimbulkan serangan
asma. Aspirin dan obat-obatan antirematik dapat mencetuskan
serangan asma pada 2 sampai 10% penderita asma. Serangan asma
biasanya berat, kadang disertai gejala alergi lain seperti mata dan
bibir bengkak, gatal-gatal kulit, meskipun mekanismenya bukan
reaksi alergi.
6.Polusi udara
Pemaparan terhadap berbagai bahan dalam lingkungan kerja dapat
menimbulkan asma pada mereka yang tidak pernah menderita
asma atau memperberat asma yang sudah ada. Sekarang telah
diketahui bahwa asap, uap dan debu yang ditimbulkan oleh banyak
bahan industri dapat menyebabkan asma. Dengan demikian
prevalensi asma lebih besar di kota-kota yang banyak tempat
industri dari pada di kota-kota yang sedikit tempat industrinya.
Polusi udara di dalam rumahpun sering terjadi. Asap rokok,
semprotan obat nyamuk, semprotan rambut dapat mencetuskan
serangan asma. Penderita yang tidak merokok bisa mendapat
serangan asma karena berada dalam ruangan yang penuh asap
rokok. Penderita anak-anak lebih sering mendapat serangan asma
bila di rumahnya ada yang merokok. Bagi penderita asma yang
merokok, segera hentikan kebiasaan tersebut agar kelainan saluran
nafasnya tidak semakin parah. Elizabeth J. Corwin (2001)
menjelaskan lebih rinci bahwa terpajan asap rokok selama dalam
rahim atau masa anak-anak dini dianggap suatu faktor resiko untuk
menderita asma pada anak.
7.Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya
orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik
asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau
cuti.
2.1.4. Patofisiologi
Masuknya allergen terutama allergen inhalan menyebabkan sel
plasma terangsang untuk membentuk IgE kemudian melekat pada sel
mast dan basofil. Hal ini menyebabkan proses degranulasi yang
mengakibatkan pelepasan mediator seperti Histamin, SRS – A (Slow
Reacting Substance Of Anaphylaxis), ECF – A (Eosinophil
Chemotatic Factor Of Anaphylaxis), Bradikidin dan sebagainya.
Mediator yang dilepaskan tersebut menyebabkan terjadinya
kontraksi otot polos bronkhus, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di submukosa yang mengakibatkan edema dan peradangan,
serta peningkatan sekresi mukus, hal tersebut mengakibatkan
obstruksi jalan nafas sehingga penderita mengalami sesak nafas,
batuk-batuk, suara nafas berbunyi ( wheezing ), perpanjangan fase
ekspirasi dan peningkatan jumlah eusinofil. Sebagai akibat lain
terjadinya kenaikan resistensi aliran udara pada jalan nafas
menyebabkan penurunan tekanan partial oksigen dan kenaikan FRC.
FRC adalah kapasitas residu fungsional atau banyaknya udara yang
tertinggal selama ekspirasi. Paru-paru secara progresif menjadi
hiperinflasi dan udara terjebak oleh adanya sumbatan.
WOC Astma bronchial
Terpapar Alergen

Pembentukan IgE

Diikat mastoisit pada jaring


Dan basofil pada sirkulasi

Rentan

Faktor pencetus Terpapar lagi

Kurang informasi Diikat oleh IgE

Kurang pengetahuan Influks Ca++

cAMP Menurun
resiko kekambuhan

Degranulasi sel

Pembentukan Histamin

Kontraksi otot polos Permeabilitas kapiler Sekresi sal.mukosa


Sal. Pernafasan danproduksimukus

Bronkospasme Penyempitan sal. Nafas


ketidak
efektifan jalan
nafas

Pasokan O2 ke dalam Hiperventilasi


Tubuh Jumlah CO2

Gangguan pertukaran gas Distensi dinding dada pikiran


Terfokus pada
pernapasan
apnea saat tidur

gangguan pola napas

Resiko
Ansietas kelelahan

Resiko
kekambuhan Gangguan nutrsi

Gambar 2.2.Gambar WOC Asma Bronkhial (Hidayat.2009.)


2.1.5. Gejala dan Tanda
Adapun gejala-gejala utama yang di timbulkan yaitu:
a. Sesak nafas, akibat penyempitan saluran nafas akan terjadi sesak
nafas waktu menghembuskan nafas.
b. Nafas berbunyi ( wheezing ) terjadi karena udara di paksa untuk
mengalir melalui saluran nafas yang sempit dan udara akan
terdengar jelas pada saat ekspirasi.
c. Batuk-batuk, disebabkan karena rangsangan pada tenggorokan
ataupun adanya riak pada saluran nafas.
d. Riak yang banyak, disebabkan karena hipersekresi dari mukus.
Pada serangan asma yang lebih berat akan didapatkan gejala-
gejala antara lain, kontraksi otot-otot bantu pernafasan, sianosis,
gangguan kesadaran, penderita tampak lelah, hiperinflasi dada
dan takikardi.
2.1.6. Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan yang menunjang diagnosa Asma menurut
Doengoes (1999) antara lain:
a. Sinar X dada/rontgen : Dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal;
penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); penigkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis); hasil normal selama periode remisi
(asma).
b. Tes fungsi paru-paru : dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek terapi misal : Bronkodilator.
c. TLC : Penigkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang
pada asma, penurunan emfisema.
d. Gas Darah Analisa : Memperkirakan progresi proses penyakit
kronis, mis. Paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal
atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema) tetapi sering
menurun pada asma, pH normal atau asidotik, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema
sedang atau asma).
e. Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sistolik untuk mengetahui
keganasan atau gangguan alergi.
f. EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada
lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS
(emfisema).
Diagnostik ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Anamnesa yang teliti merupakan hal yang penting, selain untuk
menegakkan diagnosis juga untuk menentukan faktor pencetus.
Perlu diteliti riwayat penyakit masa lalu, mulai timbul serangan,
riwayat alergi dan riwayat penyakit pada keluarga.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
1. Dada tampak hiperinflasi dengan hipertrofi otot-otot bantu
pernapasan
2. Cemas / gelisah / panik / berkeringat
3. Tekanan darah meningkat
4. Nadi meningkat
5. Pulsus paradoksus = penurunan tekanan darah sistolik lebih
dari 10 mmHg pada waktu inspirasi
6. Frekuensi pernapasan meningkat
7. Sianosis
8. Pada auskultasi terdengar wheezing
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Spirometri
Spirometri digunakan untuk mengukur volume udara yang
keluar masuk paru-paru, dapat juga untuk mengukur kecepatan
arus udara yang keluar / masuk paru-paru. Dengan demikian,
merupakan alat untuk mengukur secara obyektif adanya
obstruksi jalan nafas, beratnya derajat obstruksi, menilai
perubahan perbaikan obstruksi setelah pengobatan.
2. Test kulit
Test kulit bertujuan untuk menunjukkan adanya antibody IgE
yang spesifik dalam tubuh. Test ini hanya menyokong
anamnesa, karena alergi yang menunjukkan test kulit positif
tidak selalu merupakan penyebab asma.
3. Eusinofil darah
Terlihat adanya peningkatan jumlah eosinofil total dalam darah
lebih dari 250/mm³.
4. Uji Provokasi Bronkhus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan
adanya hiperaktivitas bronkhus dilakukan uji provokasi
bronkhus.
5. Pemeriksaan sputum
Dilakukan untuk melihat adanya eosinofil dalam sputum.
6. Pemeriksaan analisa gas darah
Dilakukan pada asma yang berat karena pada keadaan tersebut
dapt terjadi hipoksia, hiperkapmia dengan asidosis pernafasan
yang memerlukan tindakan segera dan tepat.
7. Pemeriksaan Radiologi
Pada umumnya tidak ditemukan kelainan, hanya gambaran
vaskuler yang meningkat.
2.1.7. Penatalaksanaan Medis
Upaya perawatan dalam penatalaksanaan dan pemberian pengobatan
sesuai dengan program dokter yaitu :
a. Istirahat
Selama pasien sesak nafas harus istirahat di tempat tidur dan
kebutuhan pasien sehari-hari dibantu oleh perawat sesuai dengan
kemampuannya, seperti : makan, minum, defekasi dan kebersihan
umum pasien
b. Observasi keadaan pasien, terutama pada saat terjadinya serangan
asma yang berat, meliputi :
1) Tekanan Darah, nadi, pernafasan setiap 2 jam
2) Suhu tubuh setiap 4 jam
3) Warna kulit, sianosis setiap 2 jam
4) Tingkat kesadaran setiap 1-2 jam, bila ada penurunan
kesadaran segera lapor kepada dokter.
Tujuan observasi keadaan ini adalah untuk mengetahui perubahan
yang terjadi pada pasien, sehingga dapat segera dilaporkan kepada
dokter untuk segera ditanggulangi.
c. Mengawasi pemberian cairan melalui infuse
Cairan harus cukup di berikan, karena biasanya tejadi kehilangan
banyak cairan akibat hiperventilasi, diaforensi dan lain-lain.
Biasanya diberikan berupa infuse dektrose 5% 2 - 3 liter setiap
hari atau minum secukupnya. Selain itu pemberian obat-obatan
lewat infuse.

d. Pemberian obat-obatan sesuai dengan program dokter


Didalam pemberian obat-obatan, perawat harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang jenis obat dan cara kerja serta
cara pemberiannya, agar program pengobatan dapat barjalan
sesuai dengan yang diharapkan.
1. Aminophilin
a) Dosis awal : 5-6 mg/kg BB, diberikan secara IV diencerkan
dengan dextrose 5 % menjadi 20 cc, diberikan dalam waktu
10-15 menit, diharapkan akan tercapai kadar serum
terapetik 10-20 ug/ml. Bila dalam 12 jam sebelumnya
pasien telah mendapat aminophilin maka pemberian
diberikan setengah dosis yang dibutuhkan.
b) Dosis pemeliharaan untuk mempertahankan kadar serum
tetap dalam kadar terapeutik : 0,5-0,9 mg/kg BB dalam
dextrose 5% atau NaCl 0,9 % dan lama pemberian infuse
aminophilin 24-72 jam.
c) Dosis oral 2-4 mg/kg BB/kali, 3 kali sehari segera setelah
pemberian parental di hentikan.
2. Kortikosteroid
Diberikan secara intravena dan obat-obatan pilihan utama
yaitu :
a) Hidrokortison suksinat : 4 mg/kg BB atau 200-400 mg IV
tiap 2-8 jam tergantung beratnya keadaan serta kecepatan
respon, dengan dosis keseluruhan 1-4 gr/24 jam. Bila tidak
tersedia obat tersebut, dapat digunakan obat lain dalam
dosis ekuivalen
b) Triamsinolon 40-80 mg IV
c) Deksametason 5-10 mg IV
d) Pemberian kortikosteroid secara parental di hentikan setelah
24-72 jam, tergantung pada cepatnya perbaikan.
3. Amin Simptomatik :
Terbutalin, metaproterenol, ventolin dan salbutamol diberikan
dengan berbagai cara :
a) Inhalasi : tiap 2 jam diberikan 10 kali, dengan larutan 2 %
melalui IPPB atau salbutamol 1,5 mg/24 jam.
b) Adrenalin : 0,2-0,5 cc, subkutan dapat diberikan setiap 6-8
jam bila obat-obatan beta selektif tidak tersedia.
4. Antibiotika :
Diberikan bila ada tanda-tanda infeksi.
5. Sedativa atau obat penenang atau antihistamin
Dalam keadaan apapun sebaiknya tidak diberikan obat-obatan
ini, oleh karena dapat menekan pusat pernafasn. Obat-obatan
ini dapat diberikan bila dipasang alat nafas mekanik
(respirator).

2.1.8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Asma Bronkhial yaitu :
a. Status asmatikus, terjadi karena penanganan yang kurang adekuat
yang mana merupakan kelanjutan dari Asma Bronkhial
b. Atelektasis, terjadi karena kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi
akibat dari sumbatan jalan nafas, maka udara yang harus
dikeluarkan direabsorbsi oleh darah sehingga terjadi atelektasis
c. Emphysema terjadi karena spasme bronkus yang terlalu lama
menyebabkan hipertropi otot polos dan penyempitan saluran
nafas yang menetap.
Menurut suyono, (2001), komplikasi yang timbul dari
penyakit Asma Bronkhiale adalah :
a. Pneumothorak
b. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis.
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkhitis
g. Fraktur iga
h. Status Asmatikus
2.2. Konsep Proses Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode pengorganisasian yang sistematis
dalam melakukan asuhan keperawatan pada individu, kelompok, dan
masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan pemecahan masalah dan
respons klien terhadap penyakitnya (Tarwoto Wartonah, 2001).
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Brunner dan Suddart,2002).
Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu
pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran
data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu,
sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik keperwatan
dari ANA (American Nursing Association) (Nursalam, 2001).
Pengkajian pada klien dengan diagnosa Asma Bronkhial adalah
sebagai berikut:
1. Biodata
Biodata meliputi identitas klien dan identitas penanggung jawab.
Identitas klien mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku, alamat, tanggal masuk RS. Identitas
penanggung jawab meliputi nama, umur, pendidikan, hubungan
dengan klien, pekerjaan, dan alamat.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama meluputi sesak nafas, bernafas terasa berat pada
dada, dan adanya keluhan sulit untuk bernafas.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan
terutama dengan keluhan sesak nafas yang hebat dan mendadak,
kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti
wheezing,keringat dingin, penggunaan otot bantu pernafasan,
kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis, dan perubahan tekanan
darah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti
adanya infeksi saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan,
amandel, sinusitis, dan polip hidung,. Riwayat serangan asma,
frekuensi, waktu, dan alergrn-alergen yang dicurigai sebagai
pencetus serangan, setra riwayat pengobatan yang dilakukan
untuk meringankan gejala asma.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pada klien dengan serangan asma perlu dikaji tenyang riwayat
penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota
keluarganya karena hipersensitivitas pada penyakit asma ini lebih
ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan.(Doengoes,2000).
3. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual Menurut Virginia
Handerson.
Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, penulis menggunakan
konseptual Virginia Handerson, dimana terdapat 14 komponen
meliputi:
a. Bernafas
Pada klien dengan asma biasanya didapatkan klien mengeluh
merasa sesak, batuk beriak dan bunyi nafas tidak normal seperti
wheezing.
b. Nutrisi
Pola nutrisi yang perlu dikaji adalah adanya penurunan nafsu
makan, nausea, BB menurun, massa otot menurun, dan tonus
otot menurun.
c. Eliminasi
Pola BAB dan BAK yang perlu dikaji adalah biasanya
berkaitan dengan kebutuhan cairan kerena dapat terjadi oliguria
dan diaforesis.
d. Aktivitas
Kegiatan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari pada
klien asma tidak dapat terpenuhi terutama saat terjadi serangan,
karena klien merasa cepat lelah dan lemah, mengalami
keterbatasan mobilitas fisik sehingga tergantung pada orang
lain.
e. Istirahat dan tidur
Perlu dikaji kebiasaan istirahat dan tidur klien dan hal-hal yang
dirasakan yang dapat mengganggu istirahat dan tidur klien,
klien dengan Asma Bronkhial kemungkinan akan terganggu
pola istirahat dan tidurnya bila terjadi serangan,
cemas,khawatir dan sebagainya.
f. Personal hygiene
Perlu dikaji kebiasaan klien mengenai pemeliharaan dan
perawatan kesehatan diri sendiri misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, memakai alas kaki. Biasanya pada klien yang
menderita asma, selama klien sesak nafas harus istirahat di
tempat tidur dan kebutuhan pasien sehari-hari dibantu oleh
perawat sesuai dengan kemampuannya, seperti : makan,
minum, defekasi dan kebersihan umum pasien.
g. Mempertahankan temperatur tubuh dan suhu tubuh
Bagaimana respon klien terhadap suhu ruangan di Rumah Sakit
dan bagaimana cara klien mengatasi dalam hal perubahan
cuaca, misalnya bila cuaca panas atau dingin.
h. Kebutuhan berpakaian
Pakaian merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk
menutupi tubuh sehubungan dengan diri klien.
i. Rasa aman dan nyaman
Masing-masing individu memiliki pandangan yang berbeda
mengenai kenyamanan diri, rasa aman dan nyaman dapat
terganggu saat terjadi serangan asma.
j. Berkomunikasi dengan orang lain
Klien susah bicara atau bicara terbata-bata sehingga klien akan
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain
saat terjadi serangan asma.
k. Pekerjaan atau kebutuhan bekerja
Dikaji pekerjaan apa saja yang selalu dilakukan oleh klien dan
apakah pekerjaannya bersifat ringan, sedang atau berat, serta
dikaji juga mengenai lingkungan pekerjaan klien apakah
terpapar dengan berbagai alergen.
l. Kebutuhan spiritual/beribadah
Kebiasaan dalam melaksanakan dan menjalankan ibadah sesuai
dengan kepercayaannya.
m. Belajar
Dikaji mengenai pentingnya belajar tentang kesehatan terutama
yang berhubungan dengan pengelolaan penderita Asma
Bronkhial.
n. Rekreasi
Dikaji mengenai pentingnya rekreasi untuk mengurangi
pikiran-pikiran tentang penyakit yang diderita.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan,
kelemahan suara bicara, denyut nadi, frekuensi pernafasan yang
meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis,
batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
b. B1 (Breathing)
1) Inspeksi
Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot bantu
nafas. Inspeksi dada terutama untuk melihat postur
bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan
irama pernafasan, dan frekuensi pernafasan.
2) Palpasi
Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspanti, dan taktil
fremitus normal.
3) Perkusi
Pada perkusi di dapatkan suara normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan
rendah.
4) Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai
dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali
inspirasi, dengan bunyi nafas tambahan wheezing pada
akhir ekspirasi.
c. B2 (Blood)
Perlu dimonitor dampak asma pada status kardiovaskular
meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan
CRT, serta Hb.
d. B3 (Brain)
Pada saat inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Di samping
itu, diperlukan pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat
kesadaran klien apakah compos mentis, somnolen, atau koma.
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena
berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu
dimonitor ada tidaknya oliguria, karena hal tersebut merupakan
tanda awal dari syok.
f. B5 (Bowel)
Perlu juga dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tanda
infeksi, mengingat hal-hal tersebut juga merangsang serangan
asma. Pengkajian tentang status nutrisi klien meliputi jumlah,
frekuensi dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi
kebutuhannya. Pada klien dengan sesak nafas, sangat potensi
terjadi kekurangan pemunuhan kebutuhan nutrisi, hal ini karena
terjadi dipnea saat makan, laju metabolisme, serta kecemasan
yang dialami klien.
g. B6 (Bone)
Perlu dikaji adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda
infeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang serangan
asma. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan yang
kasar, kering, kelainan pigmen, turgor kulit, kelembaban,
mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan
adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis, serta mukosa
bibir. Pada rambut, dikaji warna rambut, kelembapan, dan
kusam. Perlu dikaji pula tentang bagaimana tidur dan istirahat
klien yang meliputi berapa lama klien yidur dan istirahat, sarta
berapa besar akibat kelelahan yang di alami klien. Adanya
wheezing, sesak, dan ortopnea dapat memengaruhi pola tidur
dan istirahat klien.
Perlu dikaji pula tentang aktivitas keseharian klien seperti
olahraga, bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik juga
dapat menjadi faktor pencetus asma yang disebut dengan
exercise induced asma.

2.2.2. Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang
menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko
perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat
secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah
(Carpenito,2000).
Gordon (1976) mendefinisikan bahwa diagnosa
keperawatan adalah “masalah kesehatan aktual dan potensial
dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu
dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan
keperawatan”. Kewenangan tersebut didasarkan pada standar
praktek keperawatan dan etik keperawatan yang berikut adalah
diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien asma
bronkhial
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
sekresi kental peningkatan produksi mukus dan bronkospasme
(Mansjoer ;2000).
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi
dinding dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (muttaqin;2008).
c. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO 2,
peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,
(Nursalam ;2001).
d. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat
makan dan ansietas, (Mansjoer;2000).
e. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO 2
hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur,
(Doenges;2001).
f. Resiko kekambuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan
mengenai penyakitnya.
2.2.3. Rencana Keperawatan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang
diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah
menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana
dokumentasi (Nursalam;2012).
Secara tradisional, rencana keperawatan diartikan sebagai
suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan
dan intervensi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana
keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan
keperawatan kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan
keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik. Misalnya, semua
klien pasca operasi.

No
. Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
Dx
1.1. Setelah dilakukan (a) (a) Karakteristik
tindakan keperawatan kekentalan dan sputrum dapat
diharapkan jalan nafas jumlah sputum menunjukkan
menjadi efektif dengan (b) berat ringannya
kriteria hasil: pada metode obstruksi
(a) menentukan posisi yang tepat (b) Batuk yang tidak
yang nyaman dalam terkontrol
sehingga mengontrol melelahkan dan
memudahkan batuk. inefektif serta
peningkatan (c) menimbulkan
pertukaran gas. untuk frustasi
(b) dapat menurunkan (c) Sekresi kental sulit
mendemontrasik viskositas untuyk
an batuk efektif sekresi dikeluarkan dan
(c) dapat (d) dapat
menyatakan sebelum dan menyebabkan
strategi untuk sesudah sumbatan mukus
menurunkan tindakan yang dapat
kekentalan (e) menimbulkan
sekresi dada dengan atelektasis.
(d) tidak ada suara tehnik drainage (d) Berkurangnya
nafas tambahan postural,perkusi suara tambahan
dan fibrasi dada. setelah tindakan
(f) menunjukan
berikan keberhasilan
perawatan (e) Fisioterpi dada
mulut merupakan
strategi untuk
mengeluarkan
sekret.
(f) Hygiene mulut
yang baik
meningkatkan
rasa sehat dan
mencegah bau
mulut.

2.2. Setelah dilakukan (a) Monitor frekuensi, (a)Takipnea, irama


tindakan keperawatan irama dan yang tidak
diharapkan klien akan kedalaman teratur dan
mendemontrasikan pola pernafasan bernafas
nafas efektif dengan dangkal
kriteria hasil: menunjukkan
(a)Frekuensi nafas yang (b) Posisikan klien dada pola nafas yang
efektif dan perbaikan posisi semi fowler tidak efektif
pertukaran gas pada (c) Alihkan perhatian (b)Posisi semi
paru individu dari fowler akan
(b)Menyatakan faktor pemikiran tentang menurunkan
penyebab dan cara keadaan ansietas dan diafragma
adaptif mengatasi ajarkan cara sehingga
faktor-faktor tersebut bernafas efektif memberikan
(d) Minimalkan distensi pengembangan
gaster pada organ paru
(e) Kaji pernafasan (c)Ansietas dapat
selama tidur menyebabkan
(f) Yakinkan klien dan pola nafas tidak
beri dukungan saat efektif
dipsnea (d)Distensi gaster
dapat
menghambat
kontraksi
diafragma
(e)Adanya apnea
tidur
menunjukkan
pola nafas yang
tidak efektif
(f) Rasa ragu–ragu
pada klien dapat
menghambat
komunikasi
terapeutik.

3 3. Setelah dilakukan (a)Pantauan status (a)Untuk


tindakan keperawatan pernafasan tiap 4 mengidentifikas
diharapkan klien akan jam, hasil GDA, i indikasi kearah
mempertahankan pemasukan dan kemajuan atau
pertukaran gas dan haluaran penyimpangan
oksigenasi adekuat (b)Tempatkan klien dari hasil klien
dengan kreteria hasil pada posisi semi (b)Posisi tegak
(a) Frekuensi nafas 16 fowler memungkinkan
– 20 kali/menit (c)Berikan terapi expansi paru
(b) Frekuensi nadi 60 – intravena sesuai lebih baik
120 kali/menit anjuran (c)Untuk
(c) Warna kulit (d)Berikan oksigen memungkinkan
normal, tidak ada melalui kanula nasal rehidrasi yang
dipnea dan GDA 4 l/mt selanjutnya cepat dan dapat
dalam batas normal sesuaikan dengan mengkaji
hasil PaO2 keadaan
(e)Berikan pengobatan vaskular untuk
yang telah pemberian obat
ditentukan serta – obat darurat.
amati bila ada tanda (d)Pemberian
– tanda toksisitas oksigen
mengurangi
beban otot –
otot pernafasan
(e)Pengobatan
untuk
mengembalikan
kondisi bronkus
seperti kondisi
sebelumnya
(f) Untuk
memudahkan
bernafas dan
mencegah
atelektasis

2.2.4. Tindakan Keperawatan


Tindakan / pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik (Iyer et al.;2001). Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing oders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang
spesifik dilaksanakan untuk memodofikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien.
2.2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui
evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang
terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan
tindakan (Ignatavicius & Bayne, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2009. Kumpulan Askep. (http : //www. askepkita. blogspot.com). 3


Januari 2010

Brunner dan Suddart.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Penerbit Buku


KedokteranEdisi 8.Volume 1.Jakarta:EGC

Dinda. 2008. Asma Bronkhial. (http : //www. rankwidget.com). 3 Januari 2010


Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi III.
Jakarta: EGC.

Hensen Jon T. (2002). Kaset Atlas Anatomi. EGC Jakarta.

Hidayat,A.2008.Pengantar Konsep Dasar Keperawatan .Edisi 3.Jakarta:Salemba


Medika

Mansjoer, Arif; dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. 2012. Proses & Dokumentasi Keperwatan: Konsep dan Praktik.


Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Tjikronegoro, Arjatmo & Hundra Utama. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Jakarta: Gaya Baru.

Silvia anderson price,RN.Lorraine Mccarty Wilson .2005 Patofisiologi Konsep


Proses- Proses Penyakit.Edisi 6 Vol.Jakarta

Suyono, H. Slamet (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3,
EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai