Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ARTIKEL

“PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG”

Disusun oleh :

Nama : Dhea Restian Netami

Nim : 042454349

Jurusan : S-1 Manajemen

UNIVERSITAS TERBUKA ( UT )

UPBJJ PURWOKERTO
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah


Runtuhnya Orde Baru memuncul wacana agar daerah mendapat kesempatan
untuk mengurus rumah tangga sendiri. Wacana ini dampak dari zaman kebijakan Orde
Baru yang sangat sentralistik. Setiap kebijakan selalu ditentukan oleh Pusat sementara
peran daerah hanya pasif. Terjadinya penyeragaman antara kebijakan satu daerah dengan
daerah yang lain dengan mengesampingkan eksistensi kearifan lokal yang dimiliki oleh
tiap-tiap daerah. Kekayaan hanya tersentralisasi di pusat. Disparitas antara pusat dengan
daerah yang semakin jauh. Daerahdaerah yang kaya akan sumber daya alam tidak bisa
menikmati potensi dan kekayaan yang dimilikinya. Daerah-daerah yang melimpah ini
seperti tikus yang mati di lumbung padi dan hanya kebagian kerusakan hasil eksploitasi
pemerintah pusat.
Begitu juga secara politik. Peran pemerintah pusat begitu dominan. Untuk
menentukan kepala daerah saja harus dari Pusat. Masyarakatnya tidak bisa memilih
kepala daerahnya sendiri. Tumbangnya Orde Baru dan berganti menjadi era reformasi
menjadi kesempatan bagi daerah untuk menyuarakan aspirasinya. Muncul suara-suara
sumbang dari daerah yang ingin lepas dari NKRI. Terbitlah Undang-Undang 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan daerah sebagai jawaban atas pergolakan di daerah. Undang-
Undang tersebut sebagai hasil dari proses dialektika antara negara kesatuan dengan
negara federal seperti Malaysia.
Ada dua alasan yang kuat munculnya undangUndang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah (Haris
2014). Dalam bidang pemerintahan, Undang-Undang tersebut sebagai pendidikan politik.
Artinya, yang memerintah adalah putra daerah yang memang mengetahui secara
langsung kebutuhan dari daerah tersebut. Sekaligus mengembangkan sumber daya
manusia (SDM) yang ada di daerahnya. Kedua, pelatihaan kepemimpinan nasional. Para
kepala daerah yang berprestasi dari daerahnya masing-masing berpotensi untuk menjadi
kepala daerahnya setingkat di atasnya. Misalnya, kepala daerah yang berprestasi di
tingkat kabupaten/kota, memiliki kesempatan mencalonkan kepala daerah di tingkat
provinsi bahkan sampai tingkat pusat, menteri atau presiden misalnya. Ketiga, adalah
stabilitas politik. Diharapkan undang-undang ini mampu meredam setiap gejolak
terutama daerah-daerah yang selama Orde Baru dirugikan. Undangundang ini diharapkan
menjadi jawaban atas segala tuntutan dan aspirasi dari masyarakat di daerah.
Ada pun bagi pemerintah daerah, tujuan dari Undang-undang No. 22 Tahun 1999
adalah; pertama; kesamaan politik. Tiap-tiap daerah memiliki hak yang sama dalam
mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi baik sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang dimilikinya. Kedua, tanggung jawab publik. Pemerintah daerah
berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerja kepada masyarakatnya. Dan
masyarakat pun berhak menilai pemerintahnya dalam Pemilu. Ketiga, daya tangkap
pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan. Pelayanan pemerintah terhadap
masyarakat menjadi semakin dekat. Undangundang ini juga memiliki peranan dalam: (a)
pengaturan check and balances antar institusiinstutusi pemerintah; (b) kebebasan
berpartisipasi secara efektif di kalangan warga negara khususnya dalam kebebasan
berorganisasi dan menyatakan pendapat (Haris 2003).
Pada pasal 40 ayat (1), (2), dan (3) menerangkan teknis pemilihan. Ayat (1),
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Ayat (2) setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya
kepada satu pasang calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah dari pasangan
calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (4); dan ayat (3) Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang
memperoleh suara terbanyak pada pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan sebagai ekpala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh
Presiden.
Kelebihan dari sistem pemilihan tidak langsung adalah ongkosnya yang murah.
Tidak perlu badan khusus untuk menyelenggarakan pemilihan. Lebih cepat, efektif dan
efisien. Tidak perlu ada mobilisasi masyarakat ke TPS, sehingga masyarakat bisa
mengerjakan apa yang menjadi rutinitas. Akan tetapi, disamping kelebihan sistem
pemilihan tidak langsung ini memiliki banyak kekurangan. Partai pemenang Pemilu
Legislatif belum tentu bisa secara otomatis kandidat yang diusungnya menjadi kepala
daerah bisa menang. Terlebih bila tidak ada suara mayoritas di DPRD. Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 adalah salah satu contohnya. Pemilihan Umum
tahun 1999 tidak menghasilkan kekuatan politik mayoritas di Parlemen. PDI Perjuangan
sebagai pemenang Pemilu. Perolehan suara 33,8% suara atau 153 kursi, Partai Golkar
22,5% (120 kursi), PKB mendapat 12,6% (51 kursi), PPP mendapat 10,7% (59 kursi),
dan PAN 7,1% (35 kursi). Dalam pemilihan Presiden, calon dari PDI Perjuangan
Megawati hanya 313 suara. Dia kalah oleh Abdurrahman Wahid dari koalisi partaipartai,
yang mendapat 373 suara (Koirudin 2005, 112).
Pada praktiknya memang demikian. Terjadi ketidaksesuaian atau distorsi antara
keinginan elit dengan masyarakat yang diwakilinya. Bagi calon-calon kepala daerah yang
akan bersaing, untuk mendapatkan dukungan dari legislatif ia harus “pandai merayu” bila
perlu membeli suara. Bahkan praktik politik dagang sapi pun terjadi. Jumlah pemilik
suara yang tidak terlalu banyak sehingga akan dengan gampang dikendalikan. Sedangkan
bagi anggota legislatif, pemilihan kepala daerah sebagai panen untuk mengeruk
keuntungan. Suara-suara aspirasi masyarakat bisa dengan mudah diabaikan. Di sinilah
terjadi distorsi antara elit dengan masyarakat.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa perbedaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung?
2. Apa yang menjadi kelemahan pada pemiliah kepala daerah secara langsung?
III. Tujuan Masalah
Tentunya dalam setiap penulisan memiliki tujuan, adapun tujuan yang dimiliki dalam
penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perbedaan antara Pilkada secara langsung dan tidak langsung
2. Untuk mengetahui kelemahan pilkada secara langsung
TINJAUAN PUSTAKA

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”. Berarti prinsip dasarnya adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga
apakah kepala daerah dipilih langsung ataukah tidak langsung diatur dengan undang-undang.
Namun harus diakui pemilihan langsung sesungguhnya merupakan tindak lanjut realisasi prinsip-
prinsip demokrasi secara normatif yakni jaminan atas bekerjanya prinsip kebebasan individu dan
persamaan, khususnya dalam hak politik (Pratikno, 2005). Baik Smith, Dahl, maupun Mawhood
mengatakan bahwa untuk mewujudkan apa yang disebut: local accountability, political equity,
and local responsiveness, yang merupakan tujuan desentralisasi, di antara prasyarat yang harus
dipenuhi untuk mencapainya adalah pemerintah daerah harus (1) memiliki teritorial kekuasaan
yang jelas (legal territorial of power); (2) memiliki pendapatan daerah sendiri (local own
income); (3) memiliki lembaga perwakilan rakyat (local representative body) yang berfungsi
untuk mengontrol eksekutif daerah; dan (4) adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung
oleh masyarakat melalui mekanisme pemilu (Syarif Hidayat, 2000). Maka meski masih ada
sejumlah kelemahan dalam regulasi dan pelaksanaannya, gagasan mengembalikan pilkada
kepada anggota DPRD merupakan langkah mundur dalam membangun demokrasi yang lebih
substantif.

Pilkada oleh anggota DPRD pernah dilakukan ketika undang-undang pemerintahan


daerah masih menggunakan UU No. 22/1999. Model pemilihan ini relatif lebih hemat dan efisien
dari sisi biaya dibanding dengan sistem pemilihan langsung seperti digunakan saat ini, namun
kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan pemimpinnya sehingga
menjadi kurang demokratis dibandingkan jika dipilih langsung. Selain sangat terbuka
kemungkinan terjadinya praktik dagang sapi (money politics) oleh anggota DPRD dan oligarki
parlemen. Cara pemilihan melalui lembaga perwakilan sering berdampak dengan munculnya
gubernur; bupati/walikota yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Sebaliknya melalui pilkada
langsung lebih dapat menghasilkan pemimpin yang lebih sesuai dengan harapan rakyat karena
rakyat dapat langsung melihat, menilai dan memilih pemimpin yang dianggap cocok menjadi
gubernur, bupati/walikota. Alasan para pihak yang mengusulkan agar mengembalikan pilkada
kepada anggota DPRD pada umumnya didasarkan pada 3 (tiga) pokok masalah berikut. Pertama,
pilkada langsung terbukti tidak efisien dilihat dari sisi anggaran. Kedua, pilkada langsung banyak
memicu dan melahirkan konflik horisontal dalam masyarakat, seringkali bahkan berkepanjangan.
Sementara pada proses dan hasilnya masih jauh dari ideal. Sebagian orang bahkan melihat,
bahwa para kepala daerah produk pilkada langsung tidak lebih baik dari para kepala daerah hasil
pemilihan oleh dewan. Ketiga, pilkada langsung banyak diwarnai praktik-praktik tidak sehat
seperti jual beli suara (Agus Sutisna, 2010).

PEMBAHASAN

I. SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DAN TAK LANGSUNG


Pemilihan kepala daerah secara langsung diartikan sebagai pemilihan oleh rakyat
secara langsung. Mayoritas suara terbanyak menjadi acuan pemenang pada pilkada tersebut
serta pemilihan oleh rakyat secara langsung serentak di adakan seluruh daerah.17 Hal tersebut
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilhan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2005
adalah : “Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah”.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung diartikan sebagai pemilihan
pemimpin daerah dengan cara keterwakilan. Rakyat dianggap memberikan hak pilihnya untuk
memilih pemimpin daerah kepada DPRD yang telah dipilih rakyat pada Pemilu Legislatif.5
Dasar dari penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung tersebut
berdasarkan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4) mengatakan "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih
secara demokratis”. Kata demokrasi mengacu kepada demokrasi Pancasila. Demokrasi
pancasila merupakan demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi, Hal
ini sudah Dalam prinsip demokrasi pancasila adalah jelas Pemerintah dijalankan berdasarkan
konstitusi, Adanya pemilu secara berkesinambungan, Melindungi Hak Minoritas, Adanya
peran-peran kelompok kepentingan, Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide
dan cara untuk menyelesaikan masalah, ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan
berdasarkan suara terbanyak.
II. KELEMAHAN PILKADA SECARA LANGSUNG
Secara umum ada tiga kelemahan yang disangkakan melekat pada pilkada langsung,
yakni (1) biaya pilkada langsung mahal yang tidak hanya menjadi beban APBD daerah yang
bersangkutan, namun juga bagi kandidat; (2) intensitas konflik pilkada langsung tinggi; dan
(3) pilkada langsung tidak menjamin terpilihnya calon yang berkualitas. Pembahasan berikut
mengupas ketiga aspek tersebut tersebut.

1). Beban Anggaran

Dibanding model memilih kepala daerah oleh anggota DPRD, model memilih kepala
daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah
Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja pilkada
antar daerah berbeda tergantung pada : (1) Jumlah pemilih, (2) Jumlah TPS , (3) Jumlah
wilayah adiministratif di daerah pemilihan (kab/kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan , (4)
Jumlah pasangan calon , (5) Jumlah putaran pilkada. Belanja kandidat antara lain: (1) belanja
kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidasi di partai politik/pendukung di jalur
perseorangan. Biaya yang besar karena pemilihan secara langsung melibatkan seluruh pemilih
di daerah pemilihan, sedangkan apabila kepala daerah dipilih oleh dewan hanya melibatkan
para anggota DPRD yang jumlahnya hanya sebanyak 20-50 orang untuk DPRD
kabupaten/kota, dan sebanyak 35-100 orang untuk DPRD provinsi. Kerapkali besarnya biaya
yang disediakan APBD disandingkan dengan pengandaian pembangunan jembatan, gedung
sekolah atau prasarana lainnya yang manfaatnya lebih langsung dirasakan oleh masyarakat,
meski sejatinya kedua aktivitas itu tidak bisa dikomparasikan. Juga yang sering luput dari
perhatian, belanja APBD untuk membiayai pilkada punya manfaat ekonomi bagi daerah.

2). Intensitas Konflik

Pada penyelenggaraan pilkada di sejumlah daerah terjadi konflik yang disertai


kekerasan dan/atau menuai gugatan hukum baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha
Negara, maupun Mahkamah Agung (yang selanjutnya dengan UU No. 22/2007 sengketa
pilkada menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi). Terjadinya konflik di pilkada karena
sejumlah titik rawan yang disebabkan antara lain oleh rentang daerah pemilihan yang pendek,
ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda kepentingan dalam
masyarakat, dan oleh regulasi pilkada yang memiliki ruang bagi konflik politik itu

3).kualitas Pilkada

Ukuran kualitas pilkada dimaksud dapat dicapai dengan sejumlah syarat, yakni
tersedianya regulasi pilkada yang mampu menjamin pilkada berjalan secara demokratis
(electoral laws) dan pelaksanaan pilkada yang demokratis pula (electoral process) oleh
penyelenggara pilkada. Dengan kata lain pilkada yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh
proses pelaksanaan pemilu (electoral process), tetapi juga dipengaruhi oleh aturan main
(electoral laws) yang mampu menjamin pilkada itu demokratis. Untuk bisa berberkualitas
juga memerlukan pemilih yang rasional dan para calon kapabel serta akseptabel.
PENUTUP

Hasil Pilkada langsung telah menyumbang perkembangan positif terhadap daerah-daerah.


Ada sejumlah daerah yang maju karena kreativitas dan inovatif dari pemimpin-pemimpinannya.
Di samping itu, dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung, setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri. Namun dampak dari Pilkada langsung pun
cukup besar. Biaya pelaksanaan Pilkada sangat mahal baik bagi penyelenggaraan Pilkada mau
pun bagi calon yang akan berkompetisi. Pelaksanaan Pilkada serentak pun tidak menjadi jaminan
bahwa biaya pelaksanaan Pilkada menjadi semakin murah. Mahalnya biaya Pilkada ini diduga
menjadi penyebab bagi kepala daerahkepala daerah yang tersandung hukum. Banyak kepala
daerah yang menjadi berakhir di hotel prodeo akibat dari perilaku korupsi dengan beragam
modus.

Untuk itu perlu adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung. Ada pun yang
menjadi masukan sebagai evaluasi terhadap mekanisme pelaksanaan Pilkada adalah sebagai
berikut: Alternatif pertama, pelaksanaan Pilkada menjadi dua yaitu Pilkada langsung dan Pilkada
tidak langsung. Misalnya, untuk tingkat provinsi dan daerah yang berstatus kabupaten
mekanisme pemilihan melalui tidak langsung. Asumsinya adalah secara administrasi wilayah
provinsi dan kabupaten luas. Sedangkan untuk daerah yang berstatus kota mekanisme pemilihan
kepala daerah secara langsung. Asumsinya adalah selain jumlah penduduk yang relatif lebih
sedikit, penduduk perkotaan lebih melek huruf. Pilkada tidak langsung jauh lebih hemat
dibandingkan dengan Pilkada langsung. Tidak perlu KPU, maupun Bawaslu. Masyarakat
mempercayakan aspirasi sepenuhnya kepada anggota legislatif daerah. Secara konstitusi, Pilkada
tidak langsung pun demokratis. Alternatif kedua, khusus pemilihan kepala daerah tingkat
provinsi, dilaksanakan secara tidak langsung. Sedangkan untuk kepala daerah tingkat kabupaten
dan kota dilakukan Pilkada langsung. Asumsinya wilayah kabuaten dan kota lebih bersentuhan
langsung dengan masyarakat. Di samping itu, relasi calon kepala daerah dengan calon pemilih
lebih dekat.

Saran
Dalam melaksanakan pilkada masyarakat harus mengerti karena pemilihan pilkada merupakan
partisipasi warga negara untuk mengabdi kepada negara Indonesia,jadi jangan pernah golput
setidaknya memilih apa yang menurut nya baik di hati Nurani.

Untuk pelaksanaan pilkada harus mengedepakan LUBER JURDIL sehingga pilkada akan
berjalan dengan lancar

Daftar Pustaka

Modul MKDU 4111 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Dianto, Dianto. 2013. “Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung oleh Rakyat dan melalui
DPRD: Studi Komparatif dalam Telaah Yuridis.” Fakultas Hukum Universitas Mataram.
https://docplayer.info/7876-Jurnal-ilmiah-pemilihan-kepala-daerah-secara-langsung-
olehrakyat-dan-melalui-dprd-studi-komparatif-dalam-telaah-yuridis.html.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/4920/4458

Anda mungkin juga menyukai