Anda di halaman 1dari 5

NAMA : UMI NADIROH

NIM : 931212419
KELAS : D HUKUM EKONOMI SYARIAH
MATKUL : HUKUM PERIKATAN
TEMA : RESUME BAB 3 EBOOK
DOSEN : BPK. NIWARI, S.SOS., MA

BAB III
HUKUM PERIKATAN

A. Pengertian Menurut Undang-Undang


Pertanyaan tentang itikad baik dirumuskan dalam Pasal 1338 (3)
KUHPerd yang berbunyi “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Ketentuan pasal ini mempersoalkan pada tataran pelaksanaan
suatu perjanjian, dimana perjanjian tersebut dalam keadaan sudah ada.
Ketentuan pasal ini juga sudah dikenal sebagai pasal yang paling tidak
jelas (Satrio, 1992: 365). Sebabnya adalah suatu itikad baik merupakan
pengertian yang abstrak, dan kalaupun orang mengerti apa itu itikad baik,
orang itu tetap masih sulit merumuskannya. Dalam hal ini, menurut Brakel
(dalam Satrio, 1992: 362), mengatakan bahwa karena sengketa “itikad
baik” dalam pelaksanaannya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya di
Pengadilan, maka ada orang yang berpendapat bahwa Pasal 1338 (3)
KUHPerd sebenarnya merupakan pasal yang ditujukan kepada Pengadilan.
Untuk itu pemahaman soal itikad baik lebih baik melihat bagaimana
pengadilan menafsirkan “itikad baik” dalam praktik.
Adapun Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah
(Zaakwarneming) Ketentuan selanjutnya yang memberikan pengaturan
tentang Perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang adalah tentang
Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah atau yang dikenal
dengan istilah Zaakwarneming. Zaakwarneeming diatur dalam Pasal 1354
sampai dengan 1358 KUH Perdata. Pasal 1354 KUH Perdata menyatakan:
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu,
mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa pengetahuan orang ini,
maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu, Ia harus memikul
segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan
suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas”.

B. Itikad Baik dalam Praktik


Pada tahun 1948, A menjual persil-persilnya dengan harga Rp.
250.000.000,- kepada B, untuk kemudian dijual lagi, dengan keuntungan
dibagi dua. B membayar sendiri harga tersebut. Tetapi ditolak A.
Kemudian B gugat A di PN Bandung dan menang. Dalam PT Jakarta
putusan PN Bandung dikuatkan. Kemudian diajukan kasasi, Menurut MA
maksud para pihak (A dan B) menutup perjanjian jual beli dan B selaku
kuasa. Karena itu A baru ada kewajiban menyerahkan persil itu, kalau B
telah berhasil menjualnya kepada pihak ketiga. Sebab menurut ketentuan
Pasal 1470 (2) KUHPerd, yang melarang bagi kuasa untuk membeli
sendiri barang-barang yang penjualannya dikuasakan kepadanya.
Sementara perkara berjalan (dari tahun 1948 – 1953), terjadi inflasi, harga-
harga naik, termasuk harga persil-persil milik A tersebut. Tentu tidak
pantas/patut dihargai Rp. 250.000.000,- lagi. Walau disadari bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerd, perjanjian A dan B
bagaikan undang-undang bagi mereka, tetapi dengan ketentuan Pasal 1338
(3) KUHPerd, MA menyatakan bahwa persetujuan A dan B harus
diselesaikan dengan “itikad baik”, ini berarti B harus berusaha keras
sekuat tenaga untuk menjual persilitu dengan harga yang pantas waktu
sekarang yaitu tahun 1953 (Satrio, 1992: 374).
C. Perikatan Wajar/alamiah (Natuurlijke Verbintennis)
Suatu perikatan baik yang dibuat karena adanya kesepakatan
kehendak dari para pihak maupun semata-mata dikarenakan adanya
pengaturan dalam perundang-undangan, akan membawa kewajiban
pemenuhan serta tanggung jawab atas prestasi. Hal mana pemenuhan
prestasi ini dikenal dengan istilah schuld, yang disandingkan dengan
haftung, yaitu kewajiban debitur untuk menyerahkan segala kebendaannya
(bergerak maupun tidak bergerak) untuk dijadikan tanggungan atas
pelunasan utangnya (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata).
Berkaitan dengan perikatan wajar sendiri oleh Gunawan Widjaya dan
Kartini Muljadi dalam bukunya Perikatan yang Lahir dari Undang-undang
(2003: 51-52), disebut sebagai suatu perikatan yang prestasinya ada pada
pihak debitor tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor,
yang jika kita kaitkan atau hubungkan dengan penjelasan di atas terhadap
kedua unsur perikatan yaitu schuld dan haftung, maka dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan perikatan wajar alamiah adalah perikatan
yang memiliki unsur schuld pada sisi debitur tetapi tidak memiliki unsur
haftung pada sisi kreditur Ketentuan Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata
memberikan pengaturan atas Perikatan Wajar/alamiah yang berbunyi:
”Terhadap perikatan-perikatan bebas (natuurlijke verbintennis), yang
secara sukarela telah dipenuhi, tidak dapat dilakukan penuntutan kembali”.
Dapat dikatakan juga bahwa pemenuhan terhadap suatu perikatan oleh
seorang debitor dalam suatu perjanjian yang tidak memiliki causa yang
halal adalah pemenuhan terhadap suatu perikatan wajar/alamiah, dan
terhadap pemenuhan tersebut debitur tidak dapat menuntut kembali. Hal
ini berarti, dalam suatu perikatan wajar, syarat sah objektif nya yang
berupa adanya suatu causa yang halal dalam suatu perjanjian telah tidak
dipenuhi, dan ketika pihak debitur memenuhi perikatan tersebut maka
perikatan tadi disebut perikatan wajar/alamiah dan si debitur tidak
diperkenankan untuk menuntut kembali atas pemenuhan perikatan
tersebut.
D. Perbuatan Melawan Hukum
Memperhatikan skematika yang telah disajikan pada halaman
sebelumnya, maka dapat kita ketahui bahwa suatu Perbuatan Melawan
Hukum yang diistilahkan sebagai Onrechtmatigee Daad adalah merupakan
suatu bentuk perikatan yang lahir dari Undangundang disebabkan oleh
perbuatan manusia yang melanggar hukum. Pengaturan tentang Perbuatan
Melawan Hukum terdapat dalam Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata yang
selengkapnya berbunyi: Pasal 1365 : “Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Selanjutnya, Pasal 1366 menyatakan: “Setiap orang bertanggung-jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang
hati-hatian”. Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi (2003: 82) berusaha
menarik unsur dari suatu Perbuatan Melawan Hukum, sebagai berikut: a.
adanya suatu perbuatan melawan hukum; b. yang mana perbuatan tersebut
menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain. c. adanya kesalahan
maupun kelalaian dan kekurang hati-hatian dalam perbuatan melawan
hukum tersebut. Ketentuan yang mengatur tentang Perbuatan Melawan
Hukum sebagai suatu perikatan ini dapat kita telaah dari pasal–pasal
berikut yang satu dengan lainnya mempunyai korelasi yaitu, Pasal 1233,
Pasal 1352, Pasal 1353 dan Pasal 1234 KUH Perdata. (Lihat dan pelajari
lebih lanjut ketentuanketentuan tersebut).

E. Sikap Pengadilan
Dalam kesempatan lain, H.R. berpendapat berbeda, yaitu pada
tanggal 13 Maret 1925, menetapkan bahwa dalam hal pihak telah
menetapkan batas-batas risiko yang harus ditanggung masingmasing
secara teliti, hakim tidak bebas menggeser batas-batas risiko tersebut.
Tanggal 8 Januari 1926 H.R., berpendirian bahwa ketentuan yang
memungkinkan perluasan dan penambahan perikatan yang lahir dari
perjanjian di luar batas yang ditentukan secara tegas, tidak mempunyai
tujuan yang sebaliknya, yaitu melalui daya kerja kepatutan, menghapuskan
daya mengikat yang tegas-tegas ditetapkan dengan carademikian
membatalkan perikatan yang lahir dari perjanjian itu (Satrio, 1992 :375).
Berdasarkan kedua contoh tersebut di atas, sekarang melalui itikad baik
Hakim sekarang, hanya dapat menambah/mengisi isi perjanjian, tetapi
tidak dibenarkan untuk mengurangi atau menghapuskan hak dan
kewajiban. Para sarjana menyayangkan sikap H.R. tersebut dan dianggap
sebagai kemunduran, karena mereka berpendirian bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian harus diuji melalui itikad baik, lebih menjamin kepastian
hukum dari pada mendahulukan kata-kata perjanjian (Satrio, 1992 :375).

F. Kepatutan dan Kebiasaan/Undang-undang dalam Perjanjian


Kedua unsur tersebut di atas disebutkan dalam Pasal 1339
KUHPerd “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”. Dalam kebanyakan perjanjian yang ditutup oleh para
pihak, yang diatur di dalamnya hanya pokok-pokoknya saja, karena bila
unsur essensialia terpenuhi, perjanjian tersebut telah sah dan
kekurangannya otomatis diisi oleh hukum menambah. Kecuali itu, perlu
diingatkan bahwa suatu perjanjian yang mengikat para pihak tidak hanya
yang diperjanjikan oleh para pihak saja, tetapi termasuk pula kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang, maka dengan demikian dapat dikatakan, isi
perjanjian ditentukan oleh undang-undang yang bersifat memaksa, sepakat
pihak-pihak, undangundang yang bersifat menambah, kebiasaan dan
kepatutan, kebiasaan dan kepatutan.

Anda mungkin juga menyukai