Anda di halaman 1dari 372

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

Samita

Sepak Terjang Hui Sing Murid

Perempuan Cheng Ho

Karya : Tosaro

Scan buku oleh : Ottoy

Convert, edit dan Pdf Ebook oleh :

Dewi KZ

http://kangzusi.com/ dan http://dewi.0fees.net/

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pengantar :

Hui Sing harus meninggalkan Tiongkok, mengikuti gurunya, Laksamana Cheng Ho. Sampai di tanah
Jawa, gadis belia ini terjebak dalam perseteruan berdarah antara Majapahit dan Blambangan. Cintanya
jatuh kepada orang yang salah, bahkan nyawanya terancam oleh pengkhianatan beruntun.

Dalam harapan yang hampir putus, napas nyaris mendekati ujungnya. Hui Sing memutuskan untuk
bangkit, melawan takdir!

Novel berlatar belakang keruntuhan kejayaan Majapahit ini menghamparkan perjuangan panjang
seorang pendekar Muslimah dalam menemukan jati dirinya. Terpisah ribuan mil dari tanah
kelahirannya. Hui Sing berjuang seorang diri meredam pengkhianatan, menundukkan penguasa bodoh,
sekaligus menemukan cinta sejatinya.

Komentar :

Tasaro meramu cerita sejarah, jurus-jurus silat ala Kho Ping Ho, dan kisah cinta … lebih berfantasi.
—Koran Tempo Tasaro adalah penulis muda yang mau berkeringat dan berdialog dengan sejarah.
Semoga Tasaro terus bersemangat menggali warisan sejarah.---Taufiq ismail,sastrawan Cheng Ho
adalah seorang kasim Muslim yang menjadi kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa
1403-1424). kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan
sebutan Ma Sanbao, berasal dari Provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng
Ho ditangkap yang kemudian dijadikan kasim. Dia bersuku Hui. suku bangsa yang secara fisik mirip
dengan suku Han, tetap) beragama Islam.

Pada 1424. Kaisar Yongle wafat. Penggantinya. Kaisar Hongxi (berkuasa 1424-1425). memutuskan
untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan ekspedisi lagi pada
masa kekuasaan Kaisar Xuande.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke Samudra
Barat (Samudra Indonesia). Dia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke Cina.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh,
dihancurkan oleh Kaisar Dinasti Ming.—Wikipedia.org Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Historical Fiction

SAMITA: Bintang Berpijar di Langit Majapahit Penulis: Tasaro Ilustrator: Sinta Sari

Penyunting naskah: Salman Iskandar dan Yani Mulyani Penyunting ilustrasi: Andi Yudha Asfandiyar
Desain sampul dan isi: Andi Yudha Asfandiyar Font judul (SAMITA): Andi Yudha Asfandiyar Layout
sampul dan seting isi: Tim kreatif Pracetak MMU Hak cipta dilindungi undang-undang All rights
reserved

Cetakan I, Sya’ban 1425 H/Oktober 2004 Diterbitkan oleh Penerbit DARI Mizan Anggota IKAPI PT
Mizan Bunaya Kreativa Jin. Yodkali No. 16, Bandung 40214 Telp. (022) 7200931-Faks. (022)
7207038 e-mail: mizandar@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tasaro

Samita: bintang berpijar di langit kelam/Tasaro; penyunting, Salman Iskandar dan Vani Mulyani. -
Cet. 1. –

Bandung: DAR! Mizan, 2004.

208 him.; Mus.: 17 cm. (seri historical fiction).

ISBN 979-752-093-5 I. Judul. II. Iskandar, Salman. III.

Mulyani, Yani. IV. Seri. 813

Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin.

Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500-Faks. (022)
7802288 e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id

Dapat juga diperoleh di www.ekuator.com—Galeri

Buku Indonesia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Isi

Hanacaraka

1. Jawa Dwipa …

2. Tragedi Simongan ….
3. Kitab Kutub Beku …

4. Rajapati …

Datasawala

5. Si Topeng Pengkhianat …

6. Asmara Seruling …

7. Dasar Jurang Medangkamulan …

8. Bunga Bermarga Shi …

Padhajanya

9. Pewaris Blambangan …

10. Setan Kecapi Bisu …

11. Pertemuan Tak Sempurna …

12. Batas Sebuah Dendam …

13. Perginya Pendekar Sejati …

14. Kekasih Bisu …

Magabathanga

15. Kakek Sableng …

16. Perguruan Kesawa …

17. Serangan Srigala Putih …

18. Penantian Bintang …

19. Di Atas Geladak …

20. Bumi dan Bulan …

21. Anak Soma …

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 22. Takluknya Senja …

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi HANACARAKA

1. Jawa Dwipa

Tahun Yong Le keempat. Pertengahan pertama abad kelima belas Masehi.

Laut Jawa Dwipa hiruk pikuk. Ombak beriak santai, angin tak sedang galak. Berembus kuat, namun
tak mengundang badai. Langit yang biru membuat nyaman batas pandangan mata dengan misteri
keindahan tak pernah habis. Lewat tengah hari, ratusan kapal kayu membelah samudra yang terbiasa
dengan sunyi senyap. Layar-layar mengembang jumawa.

Layaknya kelompok bangau yang terbang rapi menembus angin. Berjajar teratur dalam barisan yang
memanjang. Elok betul bentuk kapal-kapal itu. Tampak kokoh dengan tiang-tiang besar dan badan
kapal yang kekar dan berukir.

Puluhan di antaranya berukuran besar, sedangkan yang lain berukuran sedang. Di barisan depan
rombongan itu, kapal berukuran paling besar bergerak penuh wibawa. Panjangnya 44,4 zhangi dengan
lebar delapan belas zhang (ukuran panjang; satu zhang sekitar tiga meter).

Tiang-tiang kayu menjulang ke langit dengan sepuluh layar yang membentang bagai sayap-sayap
raksasa. Letak layar-layar yang ukurannya beragam itu berurutan dari bagian depan kapal terus ke
belakang. Moncong kapal dilengkapi sepasang mata buatan berbentuk bundar, seperti mata ikan.

Para awak kapal sibuk di geladak. Seorang lelaki bermata sipit dan bertubuh gempal melepas
pandangannya penuh takjub ke garis hijau di ujung laut. Daratan Jawa Dwipa di depan mata. Tangan
kokohnya tak hendak lepas dari kemudi yang dia gengam erat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki itu mengenakan pakaian seperti jubah
dengan lengan panjang dan lebar. Jubah itu hampir menyentuh telapak kaki sehingga tak terlihat
janggu (celana panjang) yang dia kenakan, kecuali dari sisi kiri dan kanannya yang dibiarkan tak
dijahit mulai pinggang sam-pai mata kaki.

Di kepalanya bertengger ikat kepala dengan tanda khas di bagian kening. Dia sibuk dengan
kesendirian. Sementara itu, orang-orang di sekeliling asyik dengan pekerjaan masing-masing.
Beberapa di antara mereka tampak mengepel lantai kayu geladak kapal.

Ada juga yang mengemas barang sambil berbincang dengan rekan-rekan awak kapal. Mereka
menggunakan bahasa Chung Kuoi (Mandarin). Sesekali terdengar siulan dan gelak tawa di sela-sela
percakapan akrab itu.

Angin masih ramah. Di puncak salah satu tiang kayu kapal induk, terlihat bayangan yang berkibar.
Sesosok semampai bergelayut dengan kaki lurus menginjak tali jaring di tiang layar berbentuk kayu
gelondongan bulat. Lebar permukaan kayu itu sama dengan panjang dua telapak kaki orang dewasa.

Sosok itu berdiri di ketinggian enam zhang. Dia seorang perempuan. Tubuhnya tak limbung diterpa
angin yang menghantam tiang layar. Hanya rambut panjang dan jangsan (Kebaya) sutra hijau lebarnya
yang berkibar-kibar.
Bibirnya menyungging senyum menatap daratan yang mulai tampak pada batas selatan
penglihatannya. Mata yang bulat cemerlang tambah berbinar. Bulu matanya yang lentik sesekali
mengerjap. Kulit wajah kuning langsat, tapi memerah di daerah pipi. Serasi dengan hidung yang
mungil dan mancung. Rambutnya terurai, legam, dan halus berpendar dicandai angin.

Dua kepang kecil yang bermula dari bagian atas telinga ditarik ke belakang dan menyatu di kepala
bagian belakang.

Kepang itu diikat pita merah jambu. Dia masih sangat muda.

Jejari lentik tangan kanannya yang menyembul dari lengan baju yang lebar menggenggam sebuah
kitab, sedangkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tangan kirinya mencengkeram tali jaring menjaga
keseimbangan.

Telapak kakinya yang bersepatu seperti terhunjam di tali jaring. Tak goyah, seperti itu sejak matahari
menarik teriknya yang menyengat.

Sesaat kemudian, sebuah bayangan melesat dari geladak kapal ke arah puncak tiang. Tangga tali yang
merapat di tiang kapal bergetar. Rupanya, orang berkemampuan tinggi yang melesat naik ini meniti
salah satu tangga tali yang dipasang di empat arah angin dan bertemu di ujung tiang layar.

“Hui Sing, Kakak Juen Sui ingin kita berkumpul di geladak!”

Bayangan itu berhenti bergerak satu lengan persis di bawah kaki perempuan belia itu. Seorang laki-
laki muda berbadan tegap dan berwajah periang. Alis matanya tebal, namun tak terkesan garang
karena mengapit sepasang mata yang Jenaka. Jernih dan mengundang simpati.

Bibirnya selalu menyungging senyum. Kulit putih bersih, tampak rupawan dengan rambut panjang
yang diikat rapi.

Seperti penghuni kapal yang lain, dia mengenakan i-fu (pakaian) panjang dengan lubang lengan yang
lebar serbabiru, kecuali sabuk yang melingkar di pinggangnya. Warna sabuk itu putih salju, sedangkan
sepatu dan pita yang mengikat rambut panjangnya berwarna hitam.

Sekarang, dia menggelantung dengan satu kaki menginjak tangga tali dan tangan kanan menggenggam
bagian tangga tali yang lain.

Perempuan yang dipanggil adik itu bergeming. Tidak langsung menjawab. Hanya dagunya yang
runcing terangkat ke atas, bergaya jumawa. Senyumnya melebar.

“Kakak Feng, tidakkah Kakak pikir Laut Jawa Dwipa begitu indah? Aku merasa nyaman berlama-lama
menikmatinya dari atas sini.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki muda itu tampak penasaran. Kaki dan
tangannya berpindah posisi dengan lincah meniti tangga tali seukuran ibu jari orang dewasa itu.
“Adik, kau masih punya banyak waktu untuk itu. Sekarang turunlah dulu! Siapa tahu ada hal penting
yang ingin disampaikan Kakak Juen Sui.”

“Rasanya, sudah lama kita tak berlatih Thifan, Kakak Feng.”

“Kukira ini bukan saat yang tepat, Hui Sing!”

Perempuan muda itu tertawa. Renyah sekali terdengar.

Lepas dan tanpa beban.

“Baik, aku mau turun, tapi ada syaratnya ….” Kalimat itu terputus. Hui Sing kemudian
mengangsurkan kitab di tangan kanannya, tanpa terlebih dulu membalikkan badannya. Dia tetap
membelakangi Sien Feng, kakak seperguruannya yang mulai tak sabar dengan sikap badungnya.

“Rebut dulu kitab di tanganku. Kalau Kakak bisa melakukannya, aku akan menuruti apa pun
perintahmu,”

ujarnya datar.

Sien Feng mengerutkan dahi. Dia memang sering dibuat penasaran oleh kelakuan adik seperguruannya
ini. Karena usianya yang masih belia, sikap kekanak-kanakannya sering muncul.

Wuuuttt!

Tangan kanan Sien Feng menyambar ke arah kitab di tangan Hui Sing. Gagal. Tangan mungil Hui Sing
bergerak kilat ke atas. Menghindar. Masih dalam sikap berdiri yang sama.

Gerakan tangan itu sama sekali tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. “Hup!”

Tubuh Sien Feng mencelat dari tempatnya bergelantung, menerkam ke arah Hui Sing.

Sambil tersenyum, Hui Sing yang merasakan ada angin serangan dari arah belakang tubuhnya
langsung bersalto ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi belakang sambil melentingkan tubuhnya ke atas.
Sien Feng yang gagal menangkap tubuh Hui Sing meluncur ke bawah seperti hendak terjungkal ke
geladak. Namun, tangan kirinya sigap menangkap salah satu tangga tali sehingga tubuhnya kembali
menggelantung.

Setelah bersalto dengan indah, Hui Sing menggelantung dengan tangan kiri menggenggam tali,
sedangkan kaki kirinya berpijak pada bagian tangga tali yang lain.

“Mau adu ilmu peringan tubuh?”

“Seorang yang hebat mencapai tujuannya karena tidak mempunyai pilihan lain. Tak perlu
mempertahankan keunggulannya.”

Hui Sing menghapus senyumnya. Bibirnya manyun, lalu membuang muka. “Kitab Daos De Jing,
Ajaran kelima, bab peringatan terhadap kekerasan.”

Sien Feng melongo.

“Kapan kau mempelajari ajaran Dao (Tao)?”

Hui Sing tak menjawab. Senyumnya mengembang. Ia merasa menang.

“Kakak Feng, hunus cien (pedang) -mu!”

Sien Feng menggelengkan kepala. Dia bertambah gemas melihat senyum Hui Sing yang seperti bocah
tak berdosa.

Namun, hanya sesaat karena dia langsung tersentak. Matanya memicing ketika melihat sinar perak
yang menyilaukan mata meluncur deras ke arahnya.

Sien Feng bergulingan di jaring yang dipasang tegak lurus itu. Tangan dan kakinya susah payah
bergerak agar tubuhnya segera berpindah tempat menghindari benda berkilau itu.

Wuuuttt! Tarrr!!!

“Tik sezint luq (Jurus Menjahit kain sutra)!”

Tubuh Hui Sing seperti terbang. Hanya sesekali tangan kanannya yang kini tak lagi memegang kitab
karena sudah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi diselipkan di ikat pinggangnya, meraih tali jaring.
Kakinya lincah melompat ke sana kemari, sedangkan tangan kirinya diselubungi sinar perak yang
menyilaukan, memanjang, dan terus memburu tubuh Sien Feng yang mati-matian menghindar.

“Hunus cien-mu, Kakak Feng!”

Sien Feng masih tak mengindahkan teriakan Hui Sing. Dia terus menghindar dengan berjumpalitan di
udara dan bergerak turun-naik. Namun, lama-lama dia terdesak hebat. Ruang geraknya seperti habis
terkurung oleh sinar perak yang ternyata selembar tai-gu(sabuk) panjang terbuat dari benang perak
yang menyilaukan.

Setiap kali Hui Sing menyentakkan tangan kirinya, sabuk itu seolah-olah hidup. Bergerak kencang
menyerang lawan.

Sinarnya yang memantulkan sinar matahari, sudah sangat merepotkan bagi Sien Feng.

Belum lagi kedahsyatan sabuk yang menyalurkan dath(tenaga dalam) Hui Sing dengan sempurna.
Jurus Tik sezint luq yang dimainkan Hui Sing merupakan jurus yang khusus diciptakan untuk
perempuan dalam ilmu bela diri Thifan Pokham (pecahan Tee Kumfu dan Kungfu, bela diri
berazaskan Islam).

Jurus ini memperhalus gerakan-gerakan Thifan agar sesuai keinginan sejati setiap perempuan supaya
tetap cantik. Pendekar perempuan dapat mempertahankan kondisi tubuhnya agar tetap lembut dengan
jurus ini.

Sementara itu, di tangan ahlinya, sabuk bisa lebih berbahaya dibandingkan pedang atau senjata logam
lain.

Bentuknya yang lentur, sulit sekali dilawan dengan benda keras.

Di China daratan, cukup banyak pendekar perempuan yang menggunakan senjata seperti ini. Selain
bisa mempertahankan sifat alami perempuan yang lemah lembut, senjata lentur bisa menjadi senjata
lihai yang ampuh. Apalagi sabuk milik Hui Sing dibuat dari benang khusus sekuat baja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sreng!

“Fuke kotli ey (Jurus Panda memetik anggur)!”

Sambil bersalto, Sien Feng akhirnya mencabut pedangnya.

Bunyi logam bergesek terdengar nyaring ketika ia mengeluarkan pedang baja berwarna hitam dari
sarungnya.

“Ini baru seru!”

Hui Sing berteriak girang sembari terus menyerbu dengan sabuk di tangan kirinya. Kali ini Sien Feng
tak sekadar menghindar. Dia mulai berani menyambut datangnya sabuk Hui Sing yang sudah
membentuk gulungan sinar perak berkilau.

Meskipun pandangan matanya terganggu dengan sinar dari sabuk itu, Sien Feng tak lantas mundur.
Dia memutar pedang hitamnya melakukan tangkisan, sekaligus menyerang begitu gerakan sabuk Hui
Sing mengendur.

Sesekali Sien Feng memutar tubuhnya menjadi pusaran angin. Mencari-cari titik lemah pertahanan
Hui Sing sambil berusaha menangkap ujung sabuk Hui Sing dengan tangan kirinya.

“Jangan mimpi!”

Hui Sing berseru lantang sambil menyentak sabuk di tangan kirinya yang ditangkap oleh tangan kiri
Sien Feng.

Gagal menangkap ujung sabuk Hui Sing, Sien Feng seperti kehilangan keseimbangan tubuh karena
kedua tangannya tak lagi berpegang pada tali.

Sontak tubuhnya terguling ke bawah. Sien Feng bergerak menggulung sehingga pergelangan kakinya
terjerat pada tangga tali.

Ia menggelantung dengan kepala di bawah. Sekedip mata kemudian, Sien Feng kembali menghambur
ke arah Hui Sing setelah menyentakkan tubuhnya.
Hui Sing sempat kaget karena Sien Feng tak butuh waktu lama untuk segera melakukan serangan
susulan. Dia segera Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menggerakkan sabuknya yang sempat terdiam
membentuk pusaran sinar perak untuk melindunginya dari serangan Sien Feng.

Hui Sing tak bergerak menghindar. Tangan kanannya tetap menggenggam erat tangga tali, sedangkan
kedua kakinya menginjak anak tangga tali itu. Sekarang, sabuk peraknya berjuang sendiri untuk
melawan serangan Sien Feng.

“Nuruty Doty (Jurus putri malu-malu)!” Sien Feng berteriak masygul.

Jurus itu memungkinkan Hui Sing mampu bertahan meskipun dalam posisi yang tak menguntungkan
seperti sekarang. Tak mudah bagi Sien Feng untuk menembus pertahanan Hui Sing. Malah, ujung
sabuk Hui Sing beberapa kali nyaris menghantam tubuh Sien Feng.

Meskipun sabuk itu sangat lembut, namun sangat berbahaya jika disertai tenaga dalam.

“Cukup!!!”

Ada suara lain yang menggema dan membuat kedua orang yang sedang adu kanuragan itu tersentak.
Belum tampak sosok pemilik suara itu, namun gemanya sudah membuat peredaran darah terganggu.
Sien Feng dan Hui Sing segera menghentikan perkelahian mereka.

“Kakak Juen Sui!”

Keduanya hampir bersamaan menyebut nama itu. Mereka kemudian terpaku di tempat masing-
masing. Satu lagi bayangan bergerak kilat dari bawah. Sekejap mata, bayangan itu sudah berdiri tegap
di puncak tiang layar kapal.

Pemuda berusia 25 tahun itu bernama Juen Sui. Berdiri gagah dengan kedua tangan diangsurkan ke
belakang.

Tatapannya tajam bak rajawali muda. Tubuhnya tinggi besar terbungkus pakaian

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berwarna cokelat muda sesuai dengan warna
kulitnya yang sawo matang.

Rahangnya kokoh, selaras dengan bentuk wajah yang persegi dengan belulang yang kuat. Rambutnya
digelung rapi.

Menambah sempurna penampilannya yang kesatria.

“Sakit Paman Wang Jing Hong semakin parah, kalian malah bersenang-senang di sini.”

Kemudian angin yang berbicara. Tiga pasang telinga hanya mendengar desau angin, tidak ada yang
lain, untuk beberapa saat.
“Hui Sing, sebentar lagi usiamu genap tujuh belas tahun.

Dewasalah!”

Bukan bentakan. Namun, nada suara yang keluar dari bibir Juen Sui mengandung wibawa yang pekat.
Membuat orang yang mendengarnya berpikir tak berhak melakukan apa pun, kecuali diam di
tempatnya semula. Tapi tidak selalu begitu bagi Hui Sing.

“Kami sedang berlatih Thifan, bukan bersuka ria,”

jawabnya dengan nada lirih. Membela diri tanpa nada perlawanan. Bibirnya cemberut. Juen Sui sedikit
menggerakkan kepalanya ke samping. Matanya melirik tajam.

Bibirnya masih terkatup dengan kesan wajah yang tak main-main.

Dia tak berminat untuk berdebat.

“Guru menyuruh kita untuk berkumpul di ruangannya. Ada hal penting yang akan dibicarakan.”

Juen Sui tak menunggu persetujuan kedua adik seperguruannya. Begitu menyelesaikan kalimatnya,
tubuhnya bergerak ringan menuruni tetali jaring kapal induk itu dan melesat ke bawah.

Sien Feng yang sejak tadi diam, memasukkan pedang baja kembali ke sarungnya. Dia melihat ke arah
Hui Sing yang kini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sudah tersenyum lebar lagi. Sien Feng tak bisa
menahan gelinya.

“Hui Sing, sebentar lagi usiamu genap tujuh belas tahun.

Dewasalah!” ujarnya menirukan kata-kata Juen Sui. Sien Feng mengubah suaranya yang sebenarnya
renyah menjadi berat agar mirip betul dengan suara Juen Sui. Hui Sing berhenti tersenyum. Matanya
membesar, bibirnya manyun.

Dia baru saja hendak menyentakkan kembali sabuk mautnya untuk menyerang Sien Feng karena kesal,
tapi Sieng Feng sudah lebih dulu mencelat cepat menuruni tangga tali itu sambil tergelak.

“Mau ke mana kau?!”

Hui Sing penasaran dan terus mengejar Sien Feng dengan kelincahan yang tak kalah hebat
dibandingkan kakak seperguruannya itu. Mereka pun menjadi bayangan yang cepat meluncur ke arah
geladak kapal.

Begitu keduanya menginjakkan kaki di lantai geladak, baik Sien Feng maupun Hui Sing terbengong-
bengong. Belasan awak kapal berdiri mematung sambil memandang takjub.

Rupanya, selama Hui Sing dan Sien Feng mengadu kepandaian di atas tiang kapal, para awak kapal
sengaja menghentikan pekerjaan mereka dan menonton laga itu.
“Nona Hui Sing, Anda sungguh lihai,” ujar salah seorang pemuda yang bertugas sebagai penyedia
perlengkapan di atas geladak kapal.

Hui Sing tersenyum, namun tak terkesan ramah. Dia berlalu tanpa satu kata pun keluar dari bibir, lalu
melangkah santai menuju pintu di geladak yang menghubungkan dengan lantai di bawahnya.

Di lantai tersebut, terdapat ruang-ruang tempat istirahat dan ruang pertemuan. Sien Feng berjalan
dengan langkah tegap mengikuti langkah riang Hui Sing.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Mereka yang hanya percaya kepada kemampuan sendiri akan menghadapi hidup dengan segala
akibatnya.”

Hui Sing menghentikan langkahnya yang hampir menuruni tangga geladak.

“Bab manunggal dengan Dao, ajaran kesepuluh.”

Sien Feng mengerutkan dahi sambil tersenyum. Hui Sing meneruskan langkahnya menuruni tangga
kayu.

“Aku tahu kau sangat cerdas hingga mampu menghafal banyak kitab dalam waktu singkat. Tapi,
apakah ajaran-ajaran suci hanya untuk dihafal?”

“Jadi Kakak pikir, aku ini seorang pembual yang mengumbar kata-kata bijak untuk keuntungan
pribadi?”

“Adik, aku ….”

“Katakanlah, aku berlindung kepada Thian yang memelihara dan menguasai manusia. Raja manusia.

Sembahan manusia.”

Langkah kaki Hui Sing dan Sien Feng yang satu-satu menjadi latar kata-kata puitis sekaligus asing
dari bibir Hui Sing.

“Dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia.”

Dahi Sien Feng semakin berkerut, tak mengerti.

“Dari golongan jin dan manusia.”

Kedua orang itu akhirnya sampai di lantai ruang bawah kapal raksasa itu.

“Adik, aku tidak mengerti.” Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik menghadap ke arah
Sien Feng, tapi kedua matanya tak langsung menatap kakak seperguruannya itu.
“Itu bunyi enam ayat, surah ke-114 dari Kulan Cing (Al-Quran).”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sien Feng menelan ludah.

“Tidak bijak jika kita membanding-bandingkan ajaran suci.”

“Membanding-bandingkan? Kakak, aku sedang membela diri dari tuduhanmu yang keji itu. Lagi pula,
bukankah kita sedang membahas sikapku terhadap awak kapal yang memujiku tadi?”

Sien Feng terdiam. Sebenarnya dia memang melafalkan pepatah Lao Zi untuk mengkritik sikap Hui
Sing yang terkesan angkuh saat dipuji oleh anak buah kapal beberapa saat lalu.

“Benar. Bukankah tidak ada salahnya bersikap ramah?”

“Tentu saja tidak, tapi apakah Kakak Feng tahu lelaki macam apa dia itu?”

Sien Feng mengangkat alisnya sambil menggelengkan kepala.

Hui Sing tersenyum. Ia memainkan sebagian rambut panjangnya yang kemilau dimanja seberkas sinar
yang menyelinap dari lubang pintu penghubung lantai bawah dan geladak kapal.

“Dia pemuda yang terlalu bersemangat. Ingin tahu segalanya tentang aku. Mengamati semua
gerakanku dan hampir selalu menguntitku!”

Mata Sien Feng membelalak. Wajahnya memucat. Merasa bersalah.

“Bahkan, dia berani menyebarkan cerita di antara awak kapal seolah-olah ada sesuatu antara dia dan
aku.”

“A … aku ….”

Senyum Hui Sing melebar.

“Sudahlah. Sekarang kita temui guru.”

Ruang di bawah geladak kapal itu cukup lega. Semua tertata rapi. Tak sekadar kamar untuk istirahat,
ruangan itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dilengkapi dengan meja kursi berbentuk bulat dan
lemari yang dipenuhi kitab-kitab.

Di dekat pembaringan, terdapat jendela yang tak terlalu besar namun cukup untuk memandang
pemandangan ke laut lepas. Seorang lelaki gagah kini berdiri di balik jendela itu.

Tubuhnya tinggi dengan perawakan yang tegap.

Lingkar pinggangnya tak kurang dari sepuluh jengkal telunjuk. Dahi lebar, telinganya agak besar,
sedangkan hidungnya agak kecil. Tatap matanya tidak loyo, namun juga tak garang. Teduh berwibawa.

Ia mengenakan jubah yang panjang menutup pakaiannya dengan apik. Di pertemuan jubah pada
pangkal leher yang kukuh, ujung kain terikat rapi.

Alisnya yang tebal menyerupai bentuk golok dan semakin menambah wibawa. Kepalanya ditutup kain
berwana hijau yang dililitkan sedemikian rupa. Persis di dahinya terdapat tanda berbentuk persegi
yang bertuliskan huruf Chung-Kuo.

Dialah Laksamana Cheng Ho.

“Adik-adikmu belum datang juga, Juen Sui?”

Suara yang berat namun tenang keluar dari bibir lelaki matang itu. Dia masih juga menatap garis
cakrawala dihiasi sinar nyala kemerahan.

Sementara itu, napas lain yang berembus di ruang itu adalah milik seorang pemuda bertubuh tegap
yang duduk rapi di kursi bulat persis di tengah ruangan itu. Dadanya membusung dengan sikap rahang
yang gagah. Lelaki muda itu, Juen Sui.

“Saat saya memberitahu mereka, Sien Feng dan Hui Sing sedang berlatih Thifan, Guru!”

Sang laksamana berusia 35 tahun itu tersenyum. Melebar, sehingga gigi-giginya yang berjajar rapi dan
putih bersih layaknya mutiara, terlihat jelas.

“Bagus. Pemuda memang harus selalu bersemangat!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Perbincangan itu terhenti. Pintu ruangan itu
terdengar diketuk dari luar.

“Guru, Sien Feng dan Hui Sing menghadap!” Suara dari balik pintu itu terdengar jelas. “Masuklah.”

Cheng Ho membalikkan tubuhnya menatap pintu yang pelan dibuka dari luar. Sien Feng dan Hui Sing
masuk ke ruangan itu, lalu mengatupkan kedua tangannya hingga jemari kanan dan kiri saling
menggenggam. Kepala mereka agak ditundukkan, sementara tangannya diangkat ke depan wajah
mereka.

“Hormat kami, Guru!”

Cheng Ho membalas salam kedua muridnya itu. Dia lalu menyuruh keduanya duduk. Satu-satunya
kursi berbentuk bulat yang masih tersisa ditarik oleh Cheng Ho. Sang bahariawan itu lalu duduk
dengan gagah.

“Bagaimana latihan kalian hari ini?”

Wajah Sien Feng memucat. Dia agak cemas jika permainannya dengan Hui Sing di atas layar kapal
tadi dilaporkan kepada gurunya.
“Menyenangkan sekali guru. Ilmu meringankan tubuh Kakak Feng sangat hebat. Permainan pedangnya
pun sangat lihai. Aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa.”

Hui Sing menjawab pertanyaan gurunya dengan lugas.

Tidak terkesan sungkan sama sekali. Cheng Ho mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Hui Sing, aku sudah cukup lama tak menyimak hafalan Surah Ku-fan Ching-mu. Kau masih tekun
melakukannya bukan?”

“Tentu saja, Guru!”

“Selama paman kalian, Wang Jing Hong, sakit aku tak sempat lagi menemani kalian berlatih Thifan.
Untunglah ada kakak kalian Juen Sui yang sudah banyak menyerap ilmu yang Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi aku miliki. Tentunya kalian mendapat pelatihan
yang baik dari kakakmu.”

Mendengar namanya disebut, tak memancing perubahan air muka di wajah Juen Sui. Tatapannya
tenang tanpa luapan kebanggaan. Dia tetap menyimak dengan tekun setiap kata yang keluar dari bibir
gurunya.

Selama hampir lima belas hari, Juen Sui memang mengambil alih berbagai tugas Cheng Ho sebagai
pemimpin rombongan armada raksasa yang terdiri lebih dari dua ratus kapal berisi 27.800 orang awak
kapal itu.

Hanya sesekali sang laksamana keluar dari ruang pengobatan untuk mengawasi kerja anak buahnya.

Selebihnya, dia kembali tekun merawat sakit Wang Jing Hong, orang kedua dalam pelayaran tersebut,
yang kini tengah menderita sakit parah.

“Saudara Wang menderita sakit sui-teu (cacar air). Ini jenis penyakit yang sangat peka. Paman kalian
itu tidak boleh terkena air karena penyakitnya akan semakin menjadi. Dia juga mengalami nie-ci
(demam) yang sangat tinggi. Seluruh tubuhnya mulai ditumbuhi bisul yang sangat gatal.”

Hui Sing bergidik mendengarkan penjelasan gurunya.

Gadis ini cukup dekat dengan Wang Jing Hong karena dia memang sejak bayi sudah diasuh oleh
Cheng Ho. Karena Wang Jing Hong merupakan orang kepercayaan Cheng Ho, dia pun sering bertemu
dengan Hui Sing.

“Sui-teu bukan penyakit yang mengancam jiwa. Namun, siapa pun yang mengalaminya akan
merasakan sakit luar biasa. Badan panas dingin, kulit berbisul, dan sangat gatal.

Jika digaruk, luka itu bisa menjadi cacat seumur hidup.”

Sekarang Sien Feng yang wajahnya memucat. Dia pernah mendengar keganasan penyakit yang bisa
menjadi wabah ini.
“Sui-teu adalah penyakit menular. Dia bisa menjalar dengan sangat cepat. Tetapi orang-orang yang
belum pernah terjangkit saja yang bisa tertular.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Semua diam. Cheng Ho menghela napas pelan.

“Karena itu, rencana kita pergi ke Majapahit tertunda.

Sebentar lagi kita merapat di Pelabuhan Simongan. Kita harus mendarat untuk merawat saudara Wang
sampai sembuh. Jika tidak, aku khawatir sui-teu ini menjadi wabah di antara awak kapal.”

Cheng Ho menuangkan teh dari dalam poci porselen di atas meja mungil itu ke cangkir kecil di
depannya. Ia lalu meminumnya.

“Selama di darat, kepemimpinan rombongan akan aku serahkan kepada Juen Sui dibantu oleh Sien
Feng. Aku bersama Hui Sing dan sepuluh orang ping-seu (tentara) akan mencari tempat untuk
merawat Saudara Wang.”

“Kenapa Adik Sing, Guru?”

Sien Feng bertanya penuh rasa khawatir. Cheng Ho tersenyum.

“Hui Sing memang lebih muda daripada kalian. Tapi sewaktu kecil dia sudah pernah mengalami sui-
teu. Jadi, dia tidak akan terkena lagi. Selain itu, Hui Sing menguasai bahasa orang Majapahit dengan
baik.”

Sien Feng menoleh ke arah Hui Sing, lalu menggelengkan kepala dengan kesan wajah penuh kagum.

“Kira-kira berapa lama Guru dan Adik Sing ada di Simongan?”

Juen Sui yang sedari tadi hanya tekun mendengarkan, akhirnya angkat bicara.

“Semua bergantung perkembangan kesehatan Saudara Wang. Semakin cepat dia sembuh, semakin
cepat kita meninggalkan Simongan dan meneruskan perjalanan ke Mojokerto, ibu kota Majapahit.”

“Guru, apakah Simongan masih termasuk wilayah Majapahit?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho menoleh ke arah Hui Sing. Pandangan
matanya cermat, sementara senyum kembali mengembang di bibirnya.

“Majapahit pernah menjadi negara yang sangat besar. Bala tentaranya gagah berani. Pengaruhnya
menyebar ke penjuru samudra. Hanya, sekarang kerajaan itu didera pemberontakan dan perang
saudara yang terus bermunculan,”

Cheng Ho menghentikan sementara kalimat yang selalu ia ucapkan dengan hati-hati.


“Simongan masih dalam kekuasaan Majapahit. Tapi dari pusat pemerintahan kerajaan di Mojokerto,
jarak Simongan masih ratusan li (sekitar 500 meter).”

Cheng Ho lalu mengalihkan pandangannya ke arah Juen Sui.

“Tanggung jawabmu sangat berat, Juen Sui. Perang saudara antara raja Timur dan raja Barat yang
memperebutkan tahta Majapahit semakin sengit. Jangan sampai kita yang tidak ada urusan dengan
mereka jadi terlibat.”

Juen Sui mengangguk-angguk.

“Siapa raja Barat dan raja Selatan itu, Guru?”

Hui Sing terus memburu gurunya dengan pertanyaan-pertanyaan baru.

“Majapahit pernah mengalami masa gemilang ketika Raja Hayam Wuruk bertahta didampingi
patihnya, Gajah Mada.

Sebelum Raja Hayam Wuruk mangkat, ia bertitah agar menantunya, Wikrama-wardhana, meneruskan
tampuk pemerintahan. Sedangkan putra yang dilahirkan oleh selirnya bernama Wirabumi menjadi
penguasa di Blambangan, wilayah Majapahit di bagian timur Pulau Jawa Dwipa.”

Hui Sing menyimpan setiap kata dari gurunya dengan rapi di benaknya.

“Ketika Raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada akhirnya mangkat, Wirabumi memberontak. Perang
besar berlangsung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sejak lima tahun lalu,” Hui Sing mengangguk-
angguk. “Ada yang masih ingin kalian tanyakan?” Tidak ada suara.

“Bagus kalau begitu. Juen Sui, segera siapkan sampan yang cukup lega dan sepuluh orang ping-se.
Sien Feng dan Hui Sing, kalian persiapkan segala macam kebutuhan selama berada di darat. Termasuk
bendera putih, agar penduduk pantai tidak menjadi panik dengan kedatangan kita. Aku bantu Saudara
Wang untuk berkemas.”

“Baik, Guru!”

Hampir bersamaan Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing mengiyakan perintah gurunya. Setelah memberi
hormat, mereka pun bergegas meninggalkan ruangan pribadi gurunya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 2. Tragedi Simongan

Pelabuhan Simongan uara ombak seperti bunyi bulir beras yang sedang ditampi di atas tampah. Buih
putih bercengkerama dengan pasir pantai yang cemerlang diterpa lembayung. Ombak tinggal riak-riak
kecil berlapis-lapis. Irama alam memanjakan gendang telinga. Senja segera turun.

Nuansa merah nyala rata di langit barat.


Auranya seperti menebar ancaman bagi jiwa-jiwa yang kosong. Burung-burung laut terbang membelah
angin. Menjadi bayangan-bayangan hitam yang membuat sempurna wajah langit senja itu.

Perahu-perahu nelayan berjajar rapi di bibir pantai yang tak berujung. Mereka, para lelaki berkulit
legam dengan otot-otot yang menonjol dan tubuh berkeringat, berdiri tegap sambil menunggu dengan
cermat datangnya angin darat yang akan membawa mereka ke laut, mencari pengharapan pada ikan-
ikan dan penghuni dasar samudra. “Lihat! Apa itu?”

Seorang nelayan muda buru-buru mengarahkan telunjuknya ke arah laut lepas. Pada garis cakrawala,
bermunculan titik-titik yang tak terkira jumlahnya. Semakin banyak dan membesar. Beberapa saat
kemudian, bentuk itu semakin nyata. Layar-layar kapal yang banyak semakin dekat.

Nelayan muda yang tadinya sudah bersiap untuk naik ke perahu itu mengangkat caping lebarnya.
Bahkan kemudian dilemparkannya kuat-kuat.

“Itu angkatan perang. Pasukan Blambangan datang. Kita diserang!”

Suaranya berubah nyaring penuh ketakutan. Nelayan muda itu lalu lari terbirit-birit meninggalkan
teman-teman nelayannya menuju perkampungan nelayan yang tak jauh dari pantai.

“Kartiwaaa, kamu mau apa? Tungguuu!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para nelayan yang tadinya sudah bersiap untuk
melaut tak kalah panik. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.

Beberapa di antara mereka bergegas berlari tak tentu arah.

“Aku harus beritahu Ki Lurah! Warga harus segera mengungsi!”

Pemuda bernama Kartiwa itu menjawab lantang sambil terus berlari terengah. Tak peduli lagi kakinya
yang telanjang beberapa kali tertembus batu pantai yang tajam. Berdarah-darah, Kartiwa tetap melaju.
Keringat membanjiri tubuhnya.

Napasnya mendesak-desak.

Sampai di batas kampung nelayan, Kartiwa tak memperlambat langkahnya. Malah semakin terburu.
Matanya melotot panik. Tak peduli lagi dengan rasa lambungnya yang meremas-remas karena sudah
berlari puluhan tombak tanpa henti.

“Kartiwaaa, ada apa kau berlari bak dikejar hantu?!”

Seorang lelaki tua yang duduk sambil mengunyah sirih di depan rumahnya yang beratap jerami
penasaran melihat tingkah Kartiwa. Dia berteriak tanpa beranjak dari tempat duduknya.

“Prajurit Blambangan datang! Kita diserang!”

Lelaki tua itu berhenti mengunyah. Kesan wajahnya mati.


Tak bergerak beberapa saat. Seperti sedang berpikir. Tiba-tiba alis matanya terangkat. Seperti sadar
dari lamunan panjang.

Bibirnya sontak menyemburkan daun sirih yang tadi ia kunyah.

Ia bangkit dengan tergesa dan masuk ke rumah gubuknya.

Kartiwa terus berkoar-koar kepada setiap orang yang ia temui di jalan. Seperti itu terus, sampai dia
berhenti di sebuah rumah joglo bertiang jati di tengah perkampungan. Ia bergegas masuk ke pendopo
dan mengetuk pintu jati dengan nada yang keras.

“Ki Lurah! Gawat, Ki!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa saat tak ada jawaban. Kartiwa semakin
bersemangat mengetuk pintu jati yang menghubungkan pendopo dan ruang dalam rumah tersebut.

“Ki Lurah Legowo! Gawat, Ki!”

Sesaat kemudian, seorang laki-laki setengah baya keluar dari ruang belakang. Tubuhnya tegap
meskipun wajahnya sudah memperlihatkan usia tua. Hampir seluruh rambutnya memutih. Parasnya
memperlihatkan pribadi yang keras. Garis-garis wajah tegas dan berwibawa. Dia mengenakan surjan
(baju khas jawa) dan celana panjang hitam. Di belakangnya muncul juga seorang perempuan muda di
berusia belasan tahun.

Wajahnya putih segar. Matanya agak lebar dengan dahi yang juga lebar. Rambutnya dikonde rapi,
lengkap dengan sasak (model rambut disisr ke belakang) yang rajin. Tusuk konde perak kelihatan
berkilauan di atas gelung rambutnya.

Perempuan muda itu mengenakan kemben yang ditutup dengan kebaya warna cokelat.

Dia juga mengenakan kain batik yang hampir menutupi mata kakinya.

“Kartiwa, ada apa kau berteriak-teriak tanpa sobo sito (sopan santun)?”

“Ki Legowo, Ni Ramya, mohon maaf saya tidak sopan. Tapi ini benar-benar gawat, Ki, Ni!”

Ki Legowo menoleh ke anaknya, Ni Ramya, lalu kembali melihat ke arah Kartiwa.

“Katakan ada apa?”

Kartiwa diam sejenak. Mengatur napas, sambil memilih kata-kata yang pas untuk dikatakan kepada
pemimpin kampung nelayan itu.

“Ki, pasukan laut Blambangan sudah mendekati pantai.

Jumlahnya sangat banyak. Saya kira, Kampung Simongan benar-benar dalam bahaya, Ki. Kita harus
harus mengungsi!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Pengecut!!!”

Kartiwa kaget bukan main. Kalimatnya langsung putus.

Wajahnya pucat bak mayat. Matanya membelalak. Dia melihat wajah Ki Legowo memerah menahan
marah. Kartiwa tidak paham sama sekali. Sebab, dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.

“Apa yang diajarkan orangtuamu tentang bela negara, Kartiwa?!”

“Sa … saya ….”

“Putra negara macam apa yang takut mati dan memilih mundur dari pertempuran?!”

Kartiwa tambah mengkeret. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

“Romo (ayah), Kartiwa hanya seorang nelayan, bukan prajurit yang siap berperang.” Ramya berbisik
pelan di dekat telinga ayahnya.

“Bahkan bocah yang belum bisa mengangkat badik pun wajib membela bangsa dan negaranya! Bukan
lari terbirit-birit seperti pengecut!”

Suara Ki Legowo tak surut. Dia masih berapi-api melepaskan kemarahannya yang memuncak.

“Blambangan pengkhianat! Lancang dia menapak bumi Simongan! Ramya, siapkan keris pusaka
Romo. Lalu kumpulkan seluruh pemuda yang ada di kampung ini untuk menyambut pasukan
Blambangan!”

“Baik, Romol”

Tak berpanjang kata lagi, pasangan ayah anak itu masuk kembali ke rumah untuk bersiap, tanpa
memedulikan Kartiwa yang masih berdiri termangu. Pemuda itu kemudian bergegas meninggalkan
pendopo.

“Juen Sui, sudah kau lakukan tugasmu?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Laksamana Cheng Ho berdiri gagah di ujung
geladak Kapal Pusaka. Pandangannya lurus ke arah pantai. Beberapa orang berdiri mengapit sang
laksamana di kanan kirinya. Di belakang kapal raksasa itu, berbaris ratusan kapal lain dengan
beraneka ukuran. Selain kapal penumpang, kapal-kapal itu ada yang membawa muatan khusus. Ada
kapal khusus membawa kuda, bahan makanan, peralatan perang, dan pembawa barang-barang lainnya.

Beberapa lie lagi mereka akan sampai di Pelabuhan Simongan. Layar-layar diturunkan satu-satu.
Bendera putih berkibar di setiap kapal. Para awak kapal berdiri ramai di atas geladak.
“Sudah, Guru. Perahu kecil untuk membawa Paman Wang dan sepuluh orang ping-se sudah siap.
Semua perbekalan juga sudah disiapkan,” ujar Juen Sui.

“Bagus. Di mana Hui Sing?”

“Adik Sing bersama Paman Wang, Guru!”

“Hmmm. Juen Sui, selama Saudara Wang dirawat, para awak kapal yang ingin turun ke darat harus
diatur. Tidak boleh seenaknya.”

“Baik, Guru!”

“Turunkan semua layar begitu sampai ke pantai. Aku segera turun ke perahu!”

“Baik, Guru!”

Cheng Ho membalikkan tubuhnya. Jubah birunya berkibar diterpa angin. Juen Sui kemudian memberi
perintah kepada anak buah kapal untuk melaksanakan keinginan gurunya.

Pelabuhan Simongan penuh orang. Jumlah mereka ratusan. Hampir semuanya lelaki dengan senjata
terhunus.

Mereka berdiri berjajar dengan sikap siap siaga. Mereka adalah penduduk kampung Simongan yang
mengira ada serangan dari Blambangan. Ki Legowo berdiri gagah di barisan terdepan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tangan kirinya menggenggam keris yang masih
diam dalam sarungnya. Di samping kanannya, Ni Ramya berdiri anggun. Putri tunggalnya kini
menggenggam pedang pendek di tangan kirinya.

“Itu bukan kapal-kapal Blambangan. Lihat saja bentuknya!”

Kulit dahi Ki Legowo berkerut. Orang-orang mulai teliti menatap bentuk ratusan kapal yang semakin
mendekat ke pelabuhan.

“Mereka datang dari luar Nusantara, Romo”.

Ni Ramya yakin betul dengan penglihatannya. Kapal-kapal gagah itu memang kelihatan asing.
Berbeda sekali dengan kapal-kapal nusantara umumnya, yang ukurannya tak akan lebih besar dari
kapal-kapal itu.

Bentuknya yang kukuh, dengan moncong layaknya naga hidup, jelas sekali berbeda dengan kapal
bahari Majapahit ataupun Blambangan. Apalagi bendera yang berkibar di tiang-tiang kapal itu juga
bertuliskan huruf asing. Bukan aksara Palawa atau aksara Jawa.

“Mereka bahkan mengibarkan bendera putih, tanda perdamaian!”

Ki Legowo mengusir jauh perasaan tegang yang ia bawa dari rumah. Kabar yang dibawa Kartiwa
tentang kedatangan armada raksasa dari Blambangan membuatnya panik.

Meskipun dengan gagah berani, dia kemudian mengumpulkan para pemuda kampung untuk melawan,
mempertahankan panji-panji Majapahit, toh dia tak bisa menghilangkan perasaan tegangnya.

Setelah belasan tahun tak mengangkat senjata, kini ia harus mengadu nyawa dengan lawan yang
jumlahnya mencapai sepuluh kali lipat. Belum lagi ketidaksiapan para pemuda Simongan yang hampir
semuanya tak menguasai ilmu kanuragan. Namun, segala kekhawatiran itu langsung mencair begitu
melihat bendera putih berkibar ramai.

“Sarungkan senjata! Sambut tamu kita!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ki Legowo berteriak lantang penuh gembira.
Orang-orang pun bersorak-sorai dengan perasaan lega. Mereka langsung menyarungkan senjata
masing-masing. Di antara mereka ada yang menghambur ke arah laut, menyambut rombongan tamu
yang membawa kesan damai itu.

Sementara itu, yang lain berlarian ke segala arah untuk melakukan penyambutan sederhana. Gubuk-
gubuk tepi pantai langsung dijejali butir-butir kelapa siap santap.

Beberapa saat kemudian, rombongan kapal yang sudah menurunkan layar-layarnya itu berhenti
belasan zhang dari bibir pantai. Jangkar-jangkar raksasa diturunkan. Saking besarnya, dibutuhkan
ratusan orang untuk mengangkat jangkar itu jika pelayaran dimulai kembali.

Sementara kesibukan awak kapal menurunkan jangkar berlanjut, sebuah perahu kecil bergerak
perlahan meninggalkan kapal pusaka. Sepuluh orang ping-se mendayung penuh semangat. Di bagian
belakang perahu itu terdapat penutup seperti atap rumah. Di dalamnya, Wang Jing Hong tergeletak
sakit tanpa banyak bergerak. Laksamana Cheng Ho berdiri di bagian depan perahu didampingi Hui
Sing.

Begitu sampai di bibir pantai, mereka disambut oleh penduduk dengan penuh sukacita. Senyum lebar
yang rata di setiap wajah para penduduk tentu saja sangat menyenangkan bagi tamu dari negeri tirai
bambu itu.

“Selamat datang di Simongan. Alangkah bahagianya kami menerima kunjungan agung ini.”

Ki Legowo dan Ni Ramya menyambut hangat kedatangan Cheng Ho dan Hui Sing yang lebih dulu
turun dari perahu dan mendatangi kerumunan warga.

“Kamilah yang sangat tersanjung, Kisanak. Kami tidak menyangka sambutan penduduk Simongan
begini hangat dan bersahabat.”

“Kisanak menguasai bahasa kami?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Ki Legowo sumringah. Dia tadinya tidak
berharap kalimatnya akan dimengerti oleh kedua tamunya itu. Ternyata, laki-laki gagah bermata agak
sipit di hadapannya paham apa yang ia maksud. Malah dia mampu menjawabnya dengan cukup fasih.

“Majapahit negeri yang sangat masyhur. Namanya dikenal hingga ke pelosok dunia. Di negeri kami,
Majapahit ramai diperbincangkan. Bahkan, para perantau Tiongkok yang pernah tinggal di Majapahit
banyak yang pulang kemudian membuat tulisan tentang Majapahit. Di antara mereka tidak sedikit
yang membuka perguruan bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta.”

Cheng Ho masih menggenggamkan kedua tangannya di depan dada, memberi penghormatan,


sedangkan wajahnya masih demikian cerah menggambarkan perasaan gembira.

Senyum Ki Legowo melebar. Dia bahkan hampir tidak percaya kejayaan Majapahit yang kini tinggal
sisa-sisa, masih demikian dihargai oleh negeri-negeri lain. Setelah saling memperkenalkan diri dan
mengurai keingintahuan masing-masing, Ki Legowo mempersilakan tamunya berkunjung ke
perkampungan nelayan yang terletak tak terlalu jauh dari pelabuhan.

“Ki Legowo, maafkan saya. Sebenarnya, salah satu tujuan kami mengunjungi Simongan adalah karena
salah seorang saudara kami, Wang Jing Hong, mengalami sakit keras. Saya ingin tahu, apakah di dekat
pantai ini ada tempat yang cukup nyaman untuk merawat orang yang sakit?”

Ki Legowo mengerutkan dahi. “Laksamana, apakah tidak sebaiknya dia dirawat di perkampungan
saja?”

“Maaf, Ki Legowo, Saudara Wang menderita sakit sui-teu.”

“Sui-teu? Penyakit macam apa itu?”

“Sui-teu penyakit yang hampir selalu terjadi pada setiap orang. Panas tinggi, bisul yang rata di seluruh
tubuh, dan sangat gatal!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Cacar air! Kami menyebutnya cacar air, Tuan Ho!”

Cheng Ho mengangguk-angguk sambil menunggu kalimat Ki Legowo selanjutnya.

“Memang benar penyakit itu sangat menular. Tuan Wang harus dirawat secara teliti.”

“Romo, bukankah di hutan sebelah selatan pantai terdapat gua besar bernama Gedong Batu?”

Ki Legowo menoleh ke arah Ni Ramya, putri tunggalnya.

“Kamu benar, Nduk (panggilan untuk anak perempuan di Jawa). Tuan Ho, di sebelah selatan pantai ini
ada sebuah gua yang cukup besar dan nyaman. Saya kira Tuan Wang bisa dirawat di sana hingga
sembuh!”

“Benarkah demikian? Syukurlah kalau begitu. Maafkan kami yang sangat merepotkan, Ki Legowo.”
“Sama sekali tidak, Tuan Ho. Kami sangat tersanjung dengan kunjungan Tuan. Tamu sang Prabu

Wikramawardhana mampir ke perkampungan kecil Simongan.

Bukankah itu sebuah keajaiban?”

Semua yang ada di tempat itu lalu tertawa gembira. Ki Legowo kemudian menyuruh beberapa orang
pemuda menyiapkan tandu untuk menggotong Wang Jing Hong. Hari sudah hampir gelap ketika
rombongan kecil yang dipimpin Cheng Ho sampai di Gua Gedong Batu.

Gua yang mereka tuju ternyata memang lumayan besar.

Ruangan gua cukup lega dan dalam. Meskipun jarang dikunjungi orang, namun keadaannya cukup
bersih. Dibantu penduduk setempat, atas perintah Ki Legowo, Cheng Ho menyiapkan ruangan yang
lebih nyaman untuk Wang Jing Hong.

Api unggun yang tidak terlalu besar kini sudah menyala di tengah ruangan. Wang Jing Hong yang
berselimut meringkuk di pinggir gua. Udara semakin dingin. Suara binatang malam mulai rata di
kanan-kiri gua. Beberapa penduduk yang tadi ikut Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi membantu membersihkan gua sudah kembali ke
perkampungan nelayan.

Beberapa ping-se tampak bersiap siaga di pintu gua.

“Kakak Ho, kenapa jadi merepotkan begini?”

“Saudara Wang, kenapa berbicara seperti itu? Lihat saja, penduduk Simongan yang sama sekali tak
mengenal kita pun, sukarela memberi pertolongan begitu banyak. Kita bersaudara, tapi kau masih
begitu sungkan.”

Cheng Ho duduk di depan api unggun sambil sesekali memasukkan kayu bakar supaya api tetap
hangat. Sementara Wang Jing Hong berbaring miring, menyandarkan punggungnya pada dinding gua,
dan matanya menatap ke arah api.

Sejak tadi dia setengah mati menahan rasa gatal yang rata di seluruh tubuhnya. Bisul-bisul yang
bermunculan dari ujung kaki sampai ke wajahnya terasa begitu gatal dan berat.

Bahkan, bubuk obat yang tadi dibalurkan Cheng Ho pun sama sekali tidak menghilangkan rasa gatal
itu.

“Aku ingin ikut sembahyang, Kakak Ho.”

“Saudara Wang, keadaanmu masih belum memungkinkan untuk sembahyang dengan sempurna. Kau
bisa mengerjakan sembahyang senja dengan berbaring. Jangan membebani tubuhmu dengan sesuatu
yang terlalu berat.”

Tanpa canggung, Cheng Ho kemudian membetulkan letak selimut Wang Jing Hong hingga rapat
menutup seluruh tubuhnya. Ia seperti melupakan kedudukannya sebagai laksamana, pemimpin
tertinggi armada bahari Kerajaan Ming yang sedang mengemban misi perdamaian ke Samudra Barat.

“Kakak Ho, kenapa tidak kau suruh saja awak kapal menemaniku di sini dan kau lanjutkan perjalanan
ke Majapahit?”

“Kita tidak sedang terburu-buru, Saudara Wang. Toh di Simongan ini, kita bisa menanamkan
persaudaraan dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi para penduduk pribumi. Kita bisa berbagi ilmu
dengan mereka sambil mempelajari banyak hal baru.”

Wang Jing Hong menarik napas dalam-dalam.

Rasanya ingin terus berbicara untuk melupakan rasa gatal yang meraja dan demam yang tak kunjung
hilang.

“Sakitmu tak akan lama. Setelah meminum obat yang aku ramu, kau akan segera bisa istirahat. Paling
lama tujuh hari lagi, kau akan kembali sehat.”

Cheng Ho tersenyum, lalu bangkit dari duduknya.

“Hui Sing mungkin sudah bersiap untuk sembahyang bersama. Setelah selesai, aku kembali kemari.
Istirahatlah.”

Wang Jing Hong menganggukkan kepala sambil memperhatikan langkah sang laksamana yang
bergerak menuju pintu gua. Di sana, beberapa ping-se yang beragama I-se-lan (Islam) sudah bersiap
untuk mendirikan sembahyang senja, sedangkan beberapa ping-se yang berkeyakinan lain duduk
berjaga di depan gua.

“Air sungai di sebelah gua ini cukup jernih, Guru. Kami sudah bersuci di sana.”

Hui Sing berdiri membelakangi punggung gua. Dia kelihatan berbeda dengan kain lebar yang
dikenakan menutupi kepalanya. Hanya wajahnya yang memerah tertimpa cahaya api unggun yang
terlihat. Rambut legamnya yang biasa terurai panjang digelung, lalu ditutupi dengan kain hijau.

“Kalau begitu, salah satu dari kalian, kuman-dangkanlah panggilan sembahyang.”

Cheng Ho menunjuk salah seorang ping-se untuk mengumandangkan panggilan sembahyang.

Dia segera keluar dari gua menuju sungai yang disebutkan Hui Sing. Sembahyang bersama segera
mereka dirikan. Usai itu, Cheng Ho memeriksa hafalan ayat Kuian-Ching Hui Sing.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kegiatan ini sudah biasa mereka lakukan sejak Hui
Sing masih kecil karena sejak bayi Hui Sing dirawat oleh Cheng Ho.

Keduanya sudah sangat dekat, layaknya ayah dan anak. Sejak usia tujuh tahun, Cheng Ho mulai
meggembleng Hui Sing dengan berbagai keterampilan.
Selain memperkenalkan Ilmu I-se-ian yang dianutnya, Cheng Ho juga melatih Hui Sing ilmu bela diri
aliran Thifan.

Pada usia belasan, selain telah menguasai ilmu agama dan hafal seluruh ayat Kuian-Ching, Hui Sing
juga menguasai Thifan dengan sangat baik.

Ketika Hui Sing berusia sebelas tahun, barulah Sien Feng dan Juen Sui diangkat sebagai murid. Waktu
itu, Juen Sui sudah berusia sembilan belas tahun, sedangkan Sien Feng berusia tiga belas tahun.
Keduanya bukan kakak beradik. Juen Sui adalah anak seorang pejabat Kerajaan Ming beragama Budha
yang sengaja dititipkan kepada Cheng Ho untuk dididik ilmu kepemimpinan, sedangkan Sien Feng
adalah anak seorang pendekar beragama Dao, kawan lama Cheng Ho.

Ayah kandung Sien Feng tewas dalam pertempuran saat Kaisar Zhu Di merebut Nanjing setelah
menggulingkan kekuasaan Kaisar Zhu Yunwen. Keluarga Sien Feng adalah bawahan setia Kaisar Zhu
Yunwen. Cheng Ho merupakan orang terdekat

Kaisar Zhu Di yang berjasa besar saat sang Kaisar merebut tahtanya.

“Besok pagi, kita bangun pondok kecil di depan gua. Kau tinggal di sana selama kita berada di sini.
Tidak patut di mata adat dan tidak boleh di mata agama, kau yang beranjak dewasa tinggal dalam
ruang yang sama dengan begitu banyak lelaki bukan saudaramu.”

“Baik, Guru.”

Hui Sing mendengarkan wejangan gurunya dengan saksama.

Usai sembahyang, Cheng Ho duduk lesehan di depan Hui Sing dan para ping-se lain. Dia banyak
memberi wejangan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kepada Hui Sing dan para prajurit yang menyertai
mereka.

Malam semakin larut. Hui Sing dibantu beberapa ping-se kemudian sibuk menyiapkan hidangan
malam untuk semuanya.

Lima ekor ayam hutan yang disembelih kini sudah menjadi ayam panggang yang harum dan
memancing selera makan.

“Bagaimana rasanya melakukan perjalanan begitu jauh dari kampung halaman?”

Ni Ramya menatap Hui Sing penuh kagum. Kedua gadis belia itu kini tengah duduk di pondok kayu
depan Gua Gedong Batu yang sehari sebelumnya selesai dibangun oleh para ping-se.

“Menyenangkan. Kami bisa bertemu dengan banyak orang, kebudayaan yang beragam, dan
pengalaman-pengalaman baru.” Hui Sing menjawab pertanyaan Ni Ramya dengan wajah cerah. Pagi
itu, Hui Sing tampak semakin anggun dengan pakaian sutra biru muda. Rambutnya digelung rapi
dengan model Tiongkok yang ringkas.

“Seumur hidupku, aku belum pernah melakukan perjalanan begitu jauh.”


Ramya tersenyum masam sambil mengalihkan

pandangannya keluar pondok.

“Bukankah ayahmu dulu adalah seorang prajurit Majapahit?”

“Benar. Tapi setelah ibuku meninggal saat melahirkanku, romo memilih tinggal di Simongan. Tak
pernah kembali ke Majapahit. Tidak pernah juga mengajakku berkunjung ke sana.”

“Mengapa begitu?”

“Menurut romo, dunia kekuasaan itu kejam. Orang-orang berebut kekuasaan. Saling sikut antar teman
dan saudara.

Tidak ada kedamaian.”

“Tetapi Ki Legowo tetap setia pada Raja Majapahit.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Tidak ada yang bisa meluruhkan kesetiaan romo terhadap Majapahit. Sejak kecil, dia mengajariku
tentang cinta tanah air.

Tanah air kami adalah Majapahit. Apa pun yang terjadi.”

“Ayahmu dan kau adalah para kesatria sejati, Ramya.”

Ni Ramya tersenyum sambil membetulkan letak tusuk kondenya yang agak bergeser.

“Bagaimana dengan dirimu, Hui Sing?”

“Aku?”

Hui Sing tersenyum, lalu mengangkat kendi dan menuangkan isinya ke dalam cangkir porselen di
depannya.

Setelah cangkir itu penuh dengan air segar dari dalam kendi, Hui Sing mengisi cangkir di depan Ni
Ramya.

“Aku sebatang kara yang sejak bayi diasuh oleh guruku, Laksamana Cheng Ho. Hampir sepanjang
hidupku habis untuk berkelana di daratan Tiongkok, mengikuti guru. Tapi misi ke Samudra Barat ini
adalah perjalanan pertamaku meninggalkan tanah Tiongkok.”

“Aku dengar, ilmu kanuragan Tuan Ho sangat tinggi.

Tentunya engkau sebagai murid mewarisi ilmunya.”

Senyum Hui Sing melebar. Ia lalu mengangsurkan cangkir ke depan bibirnya. Setelah memberi tanda
kepada Ramya, Hui Sing meminum air segar di dalamnya. Rasa adem menjalar ketika air kendi itu
membasahi kerongkongannya.

“Sekadar untuk menjaga diri, memang aku bisa. Tapi tidak sehebat guru. Guru menguasai Thifan
dengan sempurna. Aku tidak cukup berbakat untuk mewarisi semua ilmunya. Ramya, aku dengar
justru engkau yang begitu lihai memainkan pedang pendekmu?”

“Sama denganmu, Hui Sing. Sekadar untuk menjaga diri.

Romo menggemblengku sejak kecil dengan ilmu kanuragan.

Sekarang pun romo masih sering menyuruhku untuk rajin berlatih.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Keduanya tersenyum, lalu sama-sama menikmati
segarnya air di cangkir mereka.

“Hui Sing, sebenarnya apa tujuan kunjungan armada Kerajaan Ming ke Nusantara?”

“Persahabatan. Kerajaan Ming ingin menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain di seluruh
dunia.”

“Bukankah dulu Tiongkok suka sekali berperang?”

“Yah, setiap pemimpin memiliki kebijakan sendiri-sendiri.

Kaisar Zhu Di yang kini berkuasa di Kerajaan Ming menganggap seluruh kerajaan di muka bumi
adalah keluarga.

Harus saling menghormati dan saling mendukung.”

“Tuan Ho mengajari penduduk Simongan cara bertani, beternak, juga memelihara ikan. Apakah di
tempat persinggahan lain juga seperti itu?”

“Ya. Kami menamainya senjata budi. Ketika kedatangan kami disambut hangat oleh penduduk sekitar,
itu merupakan penghargaan yang tidak ternilai. Karena itu, kami pun ingin berbagi kebahagiaan dan
ilmu kepada mereka.”

Ni Ramya mengangguk tanda mengerti. Keduanya lalu keluar dari pondok, berjalan menikmati alam
pagi yang menyegarkan. Sesekali Hui Sing dan Ni Ramya menjawab salam para ping-se yang sedang
melakukan berbagai pekerjaan di sekitar gua.

Ada yang sedang mengangkut air, mengumpulkan buah-buahan, dan pekerjaan lainnya.

“Apakah Tuan Ho juga memiliki tujuan untuk menyebarkan agama I-se-lan?”

Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia lalu menatap Ni Ramya lekat-lekat.


“Tidak ada paksaan dalam I-se-lan. Kami memang dengan sukacita memperkenalkan ajaran I-se-lan
yang agung, tapi kami tidak pernah memaksakan seseorang untuk mengikuti Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi keyakinan kami.” Nada suara Hui Sing berwibawa.
Tetap datar namun berisi.

“Dalam rombongan bahari ini pun, para awak kapal memiliki keyakinan yang beragam. Ada I-se-lan,
Fu-ciau (Budha), Gung ce-ciu (Kong-hu-cu), dan Dao. Bahkan dua saudara seperguruanku, Juen Sui
beragama Fu-ciau, sedangkan Sien Feng berkeyakinan Dao.”

“Hui Sing, apakah di antara kalian tidak pernah bertikai?”

“Bertikai karena agama? Tidak pernah. Keyakinan membuat kita nyaman. Jika keyakinan terlalu
dipaksakan, pastinya nanti menjadi tidak nyaman. Ramya, katakan kepadaku tentang keyakinan
Brahmamu?”

“Kenapa kau ingin tahu?”

“Meskipun aku berkeyakinan I-se-lan, sejak dulu aku gemar mempelajari keyakinan lain. Kini aku
sedang mempelajari kitab Dao De Jing (kitab tentang sifat dasar manusia tulisan Lao Zi), tulisan Lao
Zi.”

“Apakah itu tidak akan merancukan keyakinan-mu sendiri, Hui Sing?”

“I-se-lan mengajarkan umat manusia untuk selalu berpikir tentang segala ciptaan Thian. Tidak ada
salahnya mempelajari keyakinan lain untuk perbandingan. Apakah itu dilarang dalam keyakinanmu,
Ramya?”

“Aku tidak tahu. Tapi jika kau ingin tahu tentang keyakinan kami, dengan senang hati aku akan
menjawab semua pertanyaanmu.”

“Baiklah, lain kali saja kita bicarakan itu. Sekarang, aku ingin melihat guru mengajari penduduk cara
bercocok tanam.

Kau ingin ikut Ramya?”

“Tentu saja. Aku juga ingin menunjukkan kepadamu daerah-daerah indah di Simongan.”

“Tapi aku harus menengok keadaan Paman Wang lebih dahulu. Jika tidak ada yang mengkhawatirkan,
kita berangkat.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya mengangguk sambil tersenyum
membiarkan Hui Sing melangkah riang menuju gua, tempat Wang Jing Hong dirawat. Ramya
menunggu Hui Sing kembali sambil memejamkan matanya, meresapi suasana pagi, suara burung-
burung, dan desau angin yang sejuk.
Di balik gunung-gunung kecil di pinggir Pantai Simongan, penduduk kampung nelayan itu banyak
yang berkumpul di lahan luas yang tadinya berupa kerumunan ilalang yang lebat.

Kini, lahan itu sudah dipugar menjadi lahan gundul yang permukaannya telah dibolak-balik.

“Tuan Ho, Anda sungguh bijak. Penduduk Simongan ratusan tahun menyandarkan hidupnya pada laut.
Hasilnya tidak seberapa. Paling hanya cukup untuk makan. Kami tidak pernah berpikir untuk mencoba
pekerjaan lain. Apa yang Tuan Ho ajarkan sungguh membuka mata kami.”

Ki Legowo dan Laksamana Cheng Ho berdiri di tengah kesibukan para lelaki Simongan yang sedang
giat membolak-balik tanah agar siap ditanami padi. Cheng Ho tersenyum puas melihat semangat para
lelaki Simongan yang tampak dari kilatan keringat mereka saat tertimpa terik matahari.

“Sebenarnya, dari laut pun sangat banyak hasil yang bisa diambil. Barangkali cara kita mengolahnya
saja yang belum baik, Ki Legowo.”

Ki Legowo mengerutkan dahi. Ia memindahkan tangannya ke belakang pinggang.

“Maksud Tuan Ho, ikan-ikan itu bisa lebih bermanfaat selain sekadar untuk ditukar dengan padi dan
kebutuhan hidup lainnya?”

Cheng Ho kembali tersenyum.

“Kenapa tidak coba untuk menjual ikan-ikan itu keluar Simongan, Ki?”

Ki Legowo mengangguk-anggukan kepala.

“Kami benar-benar tidak pernah memikirkannya, Tuan Ho.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bercocok tanam juga sangat baik. Selain bisa menyiapkan kebutuhan untuk makan sehari-hari,
bercocok tanam mengajarkan kearifan dan kesabaran.”

Ki Legowo masih mengangguk-anggukan kepala.

“Tadinya saya pikir, tanah di pinggir pantai tak akan baik untuk bercocok tanam. Rupanya,
pengetahuan saya terlalu dangkal.”

“Ki Legowo tidak perlu merasa demikian. Bukankah kita hanya bertukar pengetahuan? Saya juga
sangat terkagum-kagum dengan kelihaian para nelayan Simongan saat melaut.

Begitu juga dengan keahlian para empu membuat keris.”

Ki Legowo terkekeh. Terdengar sangat bijak.

“Nanti kalau Tuan Ho sudah sampai di Majapahit, Tuan akan melihat karya para empu yang lebih
indah dan digdaya.

Tuan pasti akan terkagum-kagum.”

Ki Legowo mengajak Cheng Ho mencari tempat berteduh.

Keduanya berjalan tegap dengan langkah-langkah yang mantap menuju serumpun pohon nyiur. Di
sana, seorang pemuda kampung yang mengenakan ikat kepala, berdiri canggung. Sambil membungkuk
memberi hormat, pemuda itu tersenyum dan mempersilakan keduanya duduk di atas bangku yang
sudah disiapkan.

Dua buah kelapa muda diletakkan di atas bangku kayu itu.

Kutub buah itu sudah dikupas, lengkap dengan lubang di pusatnya.

“Bagaimana dengan pemerintahan Prabu Wikramawardhana, Ki Legowo?”

Orang tua itu tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang.

“Barangkali ini bagian yang sudah tertulis dalam takdir Dewata. Majapahit yang dulu kekar dan
masyhur, terus-menerus dirundung perang saudara. Para penguasa saling jegal untuk berebut
kekuasaan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bagaimana bisa begitu, Ki?”

“Zaman terus berputar, Tuan Ho. Kini, rakyat seperti kami tak lebih dari ilalang yang tak henti diinjak
oleh penguasa.”

“Bukankah penguasa ada untuk melindungi rakyat jelata?”

Ki Legowo tersenyum lebar.

“Andaikan itu benar-benar terwujud, alangkah damainya.

Yang ada sekarang, para pejabat tak hentinya menumpuk harta, merampas hak rakyat, dan menjilat
atasannya.”

“Sang prabu tahu tentang hal ini?”

“Permasalahannya bukan tahu atau tidak tahu, tapi mau tahu atau tidak mau tahu.”

Giliran Cheng Ho yang terdiam.

“Itu alasan Ki Legowo mengundurkan diri dari Bhayangkari?”

“Salah satunya begitu. Zaman sudah begini terbalik.


Keburukan menjadi lumrah, kebenaran jadi hal asing.”

“Saya tidak mengerti, Raja Majapahit bisa berdiam diri menghadapi keadaan seperti ini.”

“Saya tidak tahu apa yang dipikirkan sang prabu. Namun, beliau seperti ada dan tiada. Ada karena
memang beliau masih duduk di singgasana kraton Majapahit. Namun tiada, karena sabdanya tak
kunjung menyentuh rakyat jelata yang begitu merindukan kedamaian.”

“Tidak adakah yang memberi peringatan, Ki?”

“Seandainya saja orang-orang di sekeliling sang prabu adalah orang-orang yang berbudi luhur dan
memikirkan rakyat, pastinya tak seperti ini jadinya.”

“Bagaimana mungkin rakyat Majapahit puas dengan keadaan ini?”

“Hana catur mungkur. Sifat orang Jawa, ketika terjadi pembicaraan yang menabur benih perpecahan,
kami memilih Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk menghindar dan mundur. Tapi ada juga
pemimpin-pemimpin penuh ambisi yang membakar kebencian rakyat, lalu memberontak. Akhirnya,
kehancuran juga yang mereka temui. Rakyat juga yang akhirnya sengsara.”

“Apakah sikap pasrah itu masih bisa dipertahankan jika kita dihadapkan pada sebuah kekuasaan yang
tak memihak rakyat, Ki?”

“Permasalahannya tidak sesederhana itu, Tuan Ho.

Kesetiaan kepada raja sudah menjadi bagian dari napas kami.

Tak ada alasan apa pun yang bisa mengendurkan kecintaan kami kepada raja. Terlebih, kami masih
yakin bahwa raja kami tidaklah lalim. Hanya orang-orang di sekelilingnya yang berhati racun.”

“Jadi, menurut Ki Legowo, kini yang dibutuhkan rakyat Majapahit adalah sekelompok orang yang bisa
memberi peringatan kepada raja?”

“Kira-kira demikian, Tuan Ho.”

Cheng Ho tersenyum, lalu menikmati kesibukan para pekerja mengolah lahan yang akan dijadikan
tanah persawahan itu.

“Saya sangat kagum dengan cara orang Jawa dalam memahami jalan hidup, Ki.”

“Benarkah? Tidak ada yang istimewa dari kami, Tuan Ho.”

“Mohon Ki Legowo tidak tersinggung. Saya memperhatikan kehidupan di Simongan. Banyak nelayan
yang hidup seadanya. Namun, mereka tetap gembira dan tak pernah terlihat sedih oleh kemiskinan.”

Ki Legowo tersenyum arif.


“Orang-orang yang Tuan lihat itu memiliki kejernihan jiwa.

Mereka berusaha memahami misteri hidup yang tak akan tuntas diungkapkan oleh kata-kata.”

Cheng Ho terus menyimak setiap kata Ki Legowo.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kami menyebutnya sebagai pengalaman tan kena kinaya apa atau sesuatu yang tak bisa dilukiskan
dan digambarkan.

Cara itu membawa manusia memperoleh makna paling dalam tentang asal dan tujuan segala yang ada
atau sangkan paraning dumadi.”

Ki Legowo menatap Cheng Ho lekat-lekat. Pandangan dua orang mumpuni itu bertemu.

“Dari sanalah kami meyakini bahwa keberadaan hidup manusia hanyalah sebagai perjalanan atau
peziarahan. Urip iku mung mampir ngombe, hidup itu hanyalah sebuah persinggahan.”

Cheng Ho tak hendak menyela. “Melalui pemahaman ini, seseorang bergulat sungguh-sungguh dengan
hidupnya untuk menemukan kesejatian diri dan mendapatkan kadigdayan atau kesaktian, kawaskitan
atau kewaspadaan, dan kasampurnan atau kesempurnaan.”

Ki Legowo berhenti sejenak.

“Pemahaman itulah yang akhirnya berguna bagi pemaknaan hidup dan pelayanan sesama serta
semesta.

Kebahagiaan, kesempurnaan, keseimbangan batin.”

Cheng Ho mengangguk paham.

Pada saat yang sama, dua sosok semampai mendekati Ki Legowo dan Cheng Ho yang sedang duduk
sambil menyimak kesibukan para pemuda Simongan di lahan yang akan dijadikan sawah itu. Mereka
adalah Hui Sing dan Ni Ramya

“Tuan Ho, lihatlah murid Tuan itu. Begitu lincah dan ceria.

Saya yakin, Tuan sudah menggemblengnya dengan ilmu kanuragan yang tinggi.”

“Ki Legowo terlalu berlebihan. Ni Ramya juga terlihat sangat tangkas. Tentunya Ki Legowo sudah
membekalinya dengan kemampuan bela diri yang mumpuni.”

“Guru! Ki Legowo!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing dan Ni Ramya memberi hormat kepada
dua orang yang sangat mereka hormati itu. Ni Ramya lalu menghampiri Ki Legowo dan berdiri di
belakangnya. Hui Sing melakukan hal yang sama. Dia berdiri di belakang gurunya, lalu menoleh ke
arah Ni Ramya. Keduanya tersenyum.

“Hui Sing, bagaimana dengan Paman Wang?”

“Keadaannya sudah membaik, Guru. Paman Wang sudah tidak merasakan demam tinggi lagi. Pagi ini
malah sudah mau makan dengan lahap.”

“Bagus kalau begitu. Jika keadaannya sudah sembuh benar, kita akan segera berangkat ke Majapahit.”

“Tuan Ho, sebenarnya kami sangat ingin agar Tuan lebih lama lagi tinggal di Simongan. Saya kira,
penduduk di sini sangat membutuhkan bimbingan Tuan.”

“Ki Legowo, siapa yang tidak tergoda untuk tinggal di daerah sesubur ini. Pemandangan pantai yang
menakjubkan, hutan-hutan yang basah, juga binatang dan tetumbuhan yang beragam dan luar biasa.
Tetapi, kami mengemban tugas dari kaisar yang harus kami laksanakan.”

Ki Legowo terdiam. Tatapannya menerawang ke depan.

“Ki Legowo tidak perlu khawatir. Jika misi ke Majapahit sudah selesai, kami pasti kembali ke
Simongan.”

Keduanya lalu tersenyum lebar.

“Tuan Ho, tentu saja saya mengerti dengan tugas yang Tuan emban. Tuan mau singgah ke Simongan
saja sudah merupakan kehormatan bagi kami. Jangan terlalu dipikirkan omongan orang tua ini,”
ujarnya sembari terkekeh Mereka berempat kemudian berbincang-bincang dengan akrab dan hangat.
Mereka membicarakan banyak hal. Tentang kebudayaan sampai ilmu silat. Juga mengenai alam Jawa
Dwipa dan Kerajaan Majapahit.

Siang semakin terik. Para pemuda Simongan yang penuh semangat mengerjakan lahan itu, kemudian
bergantian Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dengan pemuda yang lain. Desah angin siang
membelai kulit ari. Angin beraroma laut menyebar.

Suara alam begitu harmonis. Desau daun nyiur yang manja disapa angin, seirama dengan suara burung
yang bersahutan.

Hui Sing memejamkan matanya. Dara itu duduk bersila di atas batu hitam di bawah pohon waringin
besar di tengah hutan, agak jauh dari gua tempat rombongannya beristirahat.

Dua telapak tangannya menengadah dan diletakkan di atas lutut. Ujung jari tengah dan ibu jarinya
menyatu, sedangkan tiga jari lainnya meregang.

Desah napasnya begitu jarang dan tertata. Hui Sing mulai merasakan dath dingin menyebar di seluruh
jalan darahnya.
Nyaman sekali. Senyum gadis itu merekah. Dalam kondisi meditasi seperti ini, pancaindra Hui Sing
sangat peka menangkap segala gerak di sekelilingnya.

Suara gesekan daun yang terembus angin di pucuk dahan pun bisa ia dengarkan. Terpisah dari hiruk
pikuk satwa hutan yang juga sibuk siang itu. Kelinci hutan, burung-burung, sampai geliat ular pohon
juga tak henti mengeluarkan getar suara yang berbeda.

Tiba-tiba dua kelopak mata Hui Sing terbuka. Ia mendengar gesekan angin yang berbeda tak jauh dari
tempatnya bersemedi. Gerakan tubuh seseorang berilmu kanuragan yang tidak rendah. Hui Sing hanya
punya waktu sesaat untuk menduga-duga.

Dalam sekejap, ia merasakan angin mendesak sangat keras dari arah belakang. Sontak Hui Sing
menyentakkan tubuhnya ke atas. Sesosok hitam bercadar muncul dan memburu tubuh Hui Sing dengan
sebilah golok. Gerakannya luar biasa cepat. Beberapa kali Hui Sing harus berjumpalitan di udara
menghindari serangan maut yang dilancarkan nyaris tanpa suara itu.

Bahkan, beberapa kali batang golok itu hanya sebatas jari lewat dari leher Hui Sing. “Siapa kau?!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tubuh Hui Sing terus melenting menghindar dari
serangan golok itu. Tapi rupanya sosok bercadar itu tak ingin berkompromi. Dia terus mengurung
ruang gerak Hui Sing dengan goloknya yang haus darah.

Hui Sing lalu melompat ke dahan pohon, mencari posisi yang lebih bagus. Si penyerang misterius itu
pun tak hendak mengendurkan serangannya. Jadilah keduanya bayangan cepat, berlompatan di dahan-
dahan raksasa bak dua ekor tupai yang sedang berkejaran.

Hui Sing tak mau gegabah. Jurus-jurus yang digunakan penyerangnya begitu asing. Gadis itu tak mau
sembarangan bertindak hingga merugikan diri sendiri. Makanya, dia memilih terus menghindar.
Mengandalkan gin kang (ilmu peringan tubuh) untuk terus berlompatan di dahan-dahan pohon raksasa
itu.

Rambut legamnya pun berkibaran indah mengikuti gerakan tubuhnya yang lebih mirip orang yang
sedang menari. Hui Sing sedang menerapkan jurus Tahan Bidadari yang tersohor di daratan Tiongkok.
Dia bergerak waspada, namun lemah gemulai.

Beberapa kali lengannya menjadi tumpuan, bergelantung di dahan-dahan pohon untuk menyelamatkan
diri dari serbuan golok si penyerang yang semakin dahsyat. Rupanya, penyerang bercadar itu pun
penasaran bukan main karena sudah puluhan jurus, namun tak dapat menyentuh Hui Sing satu helai
rambut pun.

Beberapa kali bacokan golok di tangannya menebas ruang kosong atau dahan-dahan kayu tua. Keruan
saja, dahan pohon berumur ratusan tahun itu hancur dalam satu kibas saja.

Kini, gerakan golok itu semakin menggila. Berputar keras mengincar ulu hati Hui Sing. Namun, murid
utama Laksamana Cheng Ho itu tahu benar bahwa lawan yang ia hadapi mempunyai kemampuan
mumpuni. Makanya, dia pun sangat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berhati-hati. Bahkan sekadar menggerakkan ujung
jari sekali pun, dipikir dengan penuh perhitungan.

Akan tetapi, kali ini Hui Sing bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekaligus ulet.
Langkah menghindarnya tak cukup untuk melindungi diri. Setelah melewati empat puluh jurus, si
penyerang berhasil mendesaknya.

“Hiyaaa …!”

Tak ada pilihan. Ujung golok itu nyaris saja menyentuh kulit leher Hui Sing. Tak mau mati konyol,
Hui Sing menghentakkan dath dingin lewat telapak tangannya yang mengangsur ke depan.

“Aaaaaargh!”

Begitu kuat dath dingin yang keluar dari telapak tangan Hui Sing. Tubuh si penyerang terpental ke
belakang sampai beberapa tombak.

Akan tetapi, si penyerang itu membuktikan bahwa dia bukan pesilat kacangan. Meskipun terlempar ke
belakang, dia masih mampu memutar tubuhnya sedemikian rupa sehingga tak terpelanting ke tanah.
Tubuhnya mendarat dengan kaki kanan berada di depan, melipat, sedangkan kaki kirinya lurus ke
belakang. Tangan kanannya memegang gagang golok yang kini ujungnya menjadi tumpuan.

Sementara itu, Hui Sing berdiri termangu. Angin hutan memainkan pakaian sutra dan rambutnya
hingga berkibar.

Tatap matanya lekat ke arah sosok penyerang itu, menunggu dengan waspada. Namun, kini ada
senyum yang merekah di bibirnya.

“Bagaimana? Masih ingin mencoba?” Penyerang bercadar itu masih membisu. Rupanya, dia sedang
mengatur napas dan peredaran darahnya yang kacau-balau. Dadanya terlihat jelas turun-naik oleh
napas yang mendesak. Jika dia tak berkemampuan tinggi dan bertenaga dalam cukup hebat, bisa jadi
tulang-belulangnya remuk dihantam dath yang menghentak dari telapak tangan Hui Sing tadi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sikap tubuhnya masih sama seperti ketika dia
mendarat setelah memutar tubuhnya tadi. Sesaat kemudian.

“Hiyaaa …!”

Tubuhnya kembali menjadi bayangan hitam yang bergerak luar biasa cepat menyerang Hui Sing.
Sementara Hui Sing bergeming di tempatnya berdiri. Tidak memperlihatkan sikap siap sama sekali.
Kecuali tangan kanannya yang diletakkan persis di dadanya seperti orang menyembah.

Wuuus …! Trannnggg!

Tubuh penyerang bercadar itu lagi-lagi terpental ke belakang. Sementara golok di tangannya sudah
patah menjadi dua dan terlepas. Rupanya, ketika sudah begitu dekat dengan tubuhnya, Hui Sing
mengerahkan dath-nya secara penuh lewat lengan tangannya.
Lengan tangan yang tampak ringkih itu sontak menjadi sekuat baja, luar biasa. Sekali sepok, golok
baja si penyerang patah jadi dua. Bukan itu saja, tubuh si penyerang terpelanting hebat ke belakang.

Kali ini, penyerang bercadar itu tak mampu lagi mengendalikan tubuhnya. Dia gagal memutar
tubuhnya agar bisa mendarat dengan baik. Tubuhnya langsung terbanting ke tanah dengan cukup
keras.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang renyah. Si penyerang itu perlahan bangkit setelah beberapa saat
terbujur seperti jasad mati.

“Sudah kuduga, ilmu kanuraganmu jauh di atasku, Hui Sing.”

Hui Sing tak tampak terkejut. Dia langsung menghampiri si penyerang itu dengan langkah santai.

“Aku juga sudah menduga bahwa si penyerang yang begitu bernafsu untuk memenggal leherku ini
adalah putri Ki Lurah Legowo yang keras kepala.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ah! Jadi, itu alasannya kenapa kau hanya menggunakan sedikit sekali kekuatan tenaga dalammu?”

Hui Sing berjongkok di depan penyerangnya yang kini duduk selonjor, bersandar di batang pohon.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Hui Sing mengangsurkan tangannya, membuka cadar hitam
penyerangnya.

“Ramya, aku bisa saja mati oleh golokmu yang tidak punya mata itu,” ujarnya sambil tersenyum.

“Hui Sing, aku yakin betul, kemampuanmu pasti sangat tinggi. Kalau aku setengah hati menyerangmu,
satu-dua jurus kau pasti sudah bisa membuka cadarku.”

“Keras kepala! Kenapa kau ada di hutan siang hari begini?

Bukankah Ki Legowo memberimu tanggung jawab untuk memimpin para kembang desa Simongan
untuk menyiapkan makanan para pekerja?”

“Tentu saja aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, Tuan Putri. Sekarang waktunya santai.”

Hui Sing bangkit sambil menggenggam sebatang kayu berukuran seibu jari orang dewasa.

“Coba kau berdiri, Ramya!”

Penuh keheranan, Ramya mengikuti apa kata Hui Sing. Ia pun berdiri dengan muka berkerut.

“Anggap kayu ini sebagai pedang.”

Ramya menerima kayu yang diangsurkan Hui Sing penuh tanda tanya.
“Serang aku!”

Meskipun masih keheranan dengan apa yang

diperintahkan Hui Sing, Ramya tak menampiknya.

Kayu sepanjang lengan itu langsung meluncur deras ke arah jantung Hui Sing. Tadinya Ramya
mengira Hui Sing akan melakukan hal yang sama ketika dia mematahkan goloknya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun itu tidak terjadi. Tubuh Hui Sing meliuk
melakukan gerakan kayang. Tentu saja serangan itu menerpa ruang kosong. Penasaran, Ramya lalu
memukulkan kayu di tangannya ke arah bawah.

Tampak sangat mudah untuk menggebuk tubuh Hui Sing dalam posisi itu. Tapi ternyata tidak. Tubuh
Hui Sing tiba-tiba berputar cepat dan menghindar ke arah kanan. Tak sampai satu kedipan mata, ujung
jari telunjuk Hui Sing menyentuh permukaan tanah untuk sekadar menahan tubuhnya.

Sekejap kemudian, tubuh Hui Sing memantul ke atas, masih dalam keadaan berputar. Tak dinyana,
tangan kanan Hui Sing menjulur menangkap ujung kayu yang dimainkan Ramya yang kini sudah
bergerak ke atas, begitu gagal menggebuk tubuh Hui Sing.

Ramya tak sempat berpikir lagi. Begitu tenaga yang sangat kuat menyentak melalui batang kayu yang
masih ia genggam, sontak tubuhnya terjorok ke depan. Sangat mudah bagi Hui Sing untuk melakukan
serangan susulan lewat tangan kirinya.

“Aaah …!””

Tubuh Ramya langsung berdiri kaku, tertotok oleh jari tangan kiri Hui Sing. Sementara kayu yang tadi
ia gunakan untuk menyerang Hui Sing sudah berpindah tangan.

Wuuut!

Ujung batang kayu di tangan kanan Hui Sing bergerak lagi, membebaskan totokan yang tadi membuat
Ramya tak bisa bergerak.

“Aku tak paham maksudmu, Hui Sing!”

“Ramya, kau terlalu mengandalkan tenaga luarmu.

Padahal, jika mau mengasah tenaga dalam dan kelincahan tubuhmu, pasti ilmu kanuragan yang kau
miliki akan lebih ampuh.”

Ramya mengerutkan kening, tampak berpikir.

“Kau mau mengajariku, Hui Sing?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum. Tangan kanannya merentang.
Batang kayu yang ia genggam, kini terjulur lurus ke samping kanan tubuhnya membentuk siku-siku.

“Mana kuda-kudamu, Ramya?”

Ramya langsung melakukan kuda-kuda yang kokoh.

Pertama, dia berdiri mengangkang dengan kedua tangannya ditekuk, menempel di pinggang.
Kemudian, dengan gesit dia menjadikan kaki kanannya sebagai tumpuan tubuhnya, dengan memutar
tubuhnya setengah lingkaran berpusat di pinggul.

Sementara kaki kanannya menghunjam kuat ke tanah, kaki kirinya dibiarkan tanpa tenaga, menjorok
ke depan.

Pok! Bruk!

Ramya kaget bukan main. Tubuhnya terbanting begitu saja tanpa sempat melihat serangan Hui Sing
yang begitu cepat.

Dia hanya sempat merasakan lipatan kakinya digebuk dengan batang kayu itu, tanpa sempat
menangkis.

Karena kaki kanan merupakan pertahanan sikap kuda-kudanya, Ramya hanya bisa memekik ketika
berusaha menahan serangan kayu di tangan Hui Sing. Selebihnya, tubuhnya ambruk begitu saja.
Padahal, dalam sikap kuda-kuda sempurna seperti itu, seharusnya Ramya berada dalam kewaspadaaan
yang sempurna.

Nyatanya, Hui Sing mampu menembus kuda-kudanya dengan sangat mudah.

“Itu yang kumaksud, Ramya. Kau kurang memanfaatkan kelincahan tubuhmu.”

Ramya masih terduduk di tanah sambil meringis.

Setelah membantunya berdiri, Hui Sing kembali menyuruh Ramya melakukan kuda-kuda. Kali ini,
Hui Sing tak langsung menyerangnya. Dia memberi masukan-masukan kepada Ramya agar sikap
dasar kanuragannya itu lebih siap menghadapi serangan dari segala arah. Tanpa mengubah Tiraikasih
Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi langkah-langkahnya, Hui Sing memberi tambahan-
tambahan gerakan susulan.

Seperti guru dan murid, dua dara itu menghabiskan waktu seharian untuk melatih ilmu bela diri.
Ramya termasuk perempuan yang cerdas. Selain mau menerima masukan, dia juga bisa dengan cepat
menyerap apa-apa yang dikatakan Hui Sing. Makanya, gerakannya pun semakin lihai setelah
menggabungkan ilmu silat yang diajarkan ayahnya dengan gerakan-gerakan Thifan yang dianjurkan
Hui Sing.

“Ramya, aku kira cukup untuk hari ini. Kau cepat sekali menyerap ilmu baru.”
“Bukan aku yang pintar. Tapi guruku yang mumpuni.,”

“Jangan kau sebut aku guru. Kita hanyalah teman berlatih.”

Keduanya tersenyum. Sambil mengelap keringat yang bercucuran, Hui Sing mengajak Ramya duduk
bermeditasi.

Mengatur kembali aliran darah dan pernapasan mereka usai berlatih.

Beberapa saat kemudian.

“Ramya, aku harus segera kembali ke gua. Aku khawatir Paman Wang membutuhkan sesuatu.”

“Ya. Aku pun harus kembali ke desa.”

Kedua sahabat itu pun bangkit dan berjalan bersama menuju Gua Gedong Batu. Tak lama, suasana
hutan itu kembali akrab dengan napas alam.

Sampai di depan Gua Gedong Batu, Hui Sing dan Ramya terheran-heran melihat sepuluh orang ping-
se yang menemani Wang Jing Hong, tampak siap siaga di depan gua. Mereka semua berdiri waspada
dengan pedang terhunus.

“Hai, ada apa ini?”

Salah seorang ping-se itu langsung menghampiri Hui Sing dengan wajah tegang.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Nona, armada kita diserang oleh pasukan yang sangat besar. Laksamana Ho bersama Ki Legowo
sekarang sedang berusaha menghentikan pertempuran.”

“Apa?!”

Wajah Hui Sing langsung memerah.

“Siapa berani menyerang armada Kerajaan Ming?!”

“Belum diketahui, Nona. Tapi ada dugaan, mereka adalah pasukan Kadipaten Blambangan.”

Ramya sama sekali tidak memahami bahasa Chung-Kuo yang dipergunakan Hui Sing dan ping-se itu
saat bercakap-cakap. Namun, melihat air muka dan bahasa tubuh Hui Sing yang terlihat gusar, tahulah
Ramya ada yang tidak beres.

Apalagi dia mendengar kata Blambangan disebut oleh ping-se itu.

“Hui Sing, apa yang terjadi?”

“Pasukan Blambangan menyerang armada kami!”


Ramya tersentak. Air mukanya pun berubah seketika.

“Lancang! Aku harus segera membantu Tuan Ho mengusir mereka!”

“Kita berangkat bersama!”

Hui Sing baru saja hendak membalikkan tubuhnya ketika ping-se itu kembali memanggil namanya.

“Laksamana Ho berpesan, jika Nona sudah kembali, hendaknya berdiam di gua ini. Sebab,
keselamatan Tuan Wang juga bisa terancam.”

Ramya memandang Hui Sing, menunggu penjelasan.

“Guru memerintahkanku untuk tinggal di sini. Berjaga-jaga kalau pasukan Blambangan juga
menyerang tempat ini.”

“Tuan Ho benar, Hui Sing. Kau tinggallah di sini. Aku akan menggantikanmu membantu Tuan Ho.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berpamitan, Ramya segera berlari cepat
meninggalkan Gua Gedong Batu. Sekejap saja, bayangannya yang semampai sudah lenyap ditelan
semak belukar. Hui Sing lalu memberi isyarat agar para ping-se kembali berjaga-jaga.

Dia segera masuk ke gua untuk memeriksa keadaan Wang Jing Hong.

Pantai Simongan bersimbah darah

Suara senjata tajam saling babat terdengar nyaring. Mayat-mayat bergelimpangan. Puluhan ping-se
mati-matian mempertahankan diri dari serangan ratusan prajurit bersenjata tombak, pedang, dan
panah. Para ping-se yang tengah bersantai di perkampungan Simongan itu rupanya sama sekali tidak
siaga untuk menghadapi serangan ratusan prajurit terlatih yang terus berdatangan bak gelombang laut
itu.

Para ping-se itu hanyalah sebagian kecil dari armada laut Kerajaan Ming yang berdiam di kapal-kapal
besar di lepas Pantai Simongan. Di antara mereka pun tak semua menguasai ilmu kanuragan yang
mencukupi. Sementara pertempuran berlangsung sengit, dari kapal-kapal berbendera Ming itu mulai
turun berkelompok-kelompok ping-se dengan senjata pedang berukuran besar.

Mereka menaiki perahu-perahu kecil yang membawanya ke darat. Kapal-kapal raksasa itu memang
tidak bisa terlalu rapat ke pantai karena bagian bawah kapal bisa tersaruk batu karang di pinggir
pantai. Untuk bisa mencapai darat, para ping-se harus menggunakan sampan yang bisa memuat
sepuluh orang.

Dengan didayung bersamaan, ratusan sampan segera meluncur membelah air laut yang beriak kecil di
pantai.

Mereka segera bergabung dengan para ping-se lain yang mulai terdesak hebat dan terus berjatuhan.
Di antara jerit kematian para ping-se ataupun prajurit penyerang, seorang lelaki setengah baya
bergerak lincah menghadang serangan para prajurit yang melengkapi diri mereka dengan perisai kayu
itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Dengar, aku Ki Legowo! Bekas Bhayangkari Prabu Hayam Wuruk! Kalian salah! Para tamu dari
seberang lautan ini bukan musuh!”

Teriakan Ki Legowo lantang bak halilintar. Namun, itu tak cukup untuk menghentikan gelombang
manusia berseragam prajurit itu. Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak.

Mencapai ribuan, sedangkan pasukan ping-se meskipun jumlahnya juga mencapai ribuan, namun
hampir semuanya berdiam di kapal-kapal.

Mereka pun tak bisa sigap segera menyerbu ke pantai karena perahu-perahu kecil yang ada hanya
sedikit. Banyak ping-se yang nekat terjun dari geladak kapal, kemudian sekuat tenaga berenang ke
pantai untuk membantu teman-temannya, sedangkan yang lain, yang harus menunggu perahu-perahu
yang mengantar para ping-se ke daratan, kembali mendekati kapal-kapal itu untuk menjemput para
ping-se yang masih berada di kapal.

Suasana semakin kacau-balau. Wajah Ki Legowo merah padam. Matanya melotot penuh amarah.
Sekali sentak, tubuhnya bergerak cepat memburu ke arah depan sambil terus berteriak lantang.

“Siapa pemimpin pasukan ini?! Aku Ki Legowo, orang kepercayaan Mahapatih Gajahmada, mau
bertemu!”

Beberapa kali keris di tangan Ki Legowo dikibaskan untuk menghempaskan para prajurit yang
mencoba menghalangi-nya. Meskipun tak sampai membunuh, gerakan itu cukup untuk merobohkan
para prajurit yang berusaha menghalangi-nya.

“Turonggo Petak!”

Kini, Ki Legowo berdiri gagah di antara gelombang prajurit yang masih terus beringas. Seorang laki-
laki berusia tiga puluhan duduk jumawa di atas kudanya yang berdiri kokoh.

Dia mengenakan pakaian senopati dengan gelang-gelang emas di lengannya. Rambutnya digelung rapi
dengan ikat kepala kuningan berukir. Matanya tajam berkilat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Paman Legowo, apa yang Paman lakukan?! Melukai prajurit Majapahit berarti sebuah
pembangkangan!”

“Lancang mulutmu, bocah! Seumur hidupku, aku mengabdi untuk Majapahit! Bahkan setelah orang-
orang busuk sepertimu menyingkirkan aku, kesetiaan seorang Legowo tak akan surut!

Sekarang, kau mengajariku tentang kesetiaan?!”

“Paman Legowo, apa artinya sepasukan besar dari seberang lautan berada di daerah kekuasan Paman,
kecuali memang ada persengkongkolan?!”

“Cih! Mulutmu beracun, Petak! Armada Kerajaan Ming adalah tamu agung Majapahit yang sedang
mampir di Simongan. Sama sekali bukan musuh yang berhak kau bantai!”

Turonggo Petak tertawa terbahak-bahak. Matanya sampai berair saking tergelaknya.

“Paman tersingkir dari lingkungan Bhayangkari. Lalu, paman berkomplot dengan Blambangan dan
mengundang pasukan Tiongkok untuk menyerang Majapahit. Bukankah itu cerita yang masuk akal?”

Wajah Ki Legowo semakin merah padam. Giginya bergemurutuk. Namun, tiba-tiba saja dia tertawa
keras.

Turonggo Petak sampai bergidik mendengarnya.

Bagaimanapun, Ki Legowo pernah begitu menakutkan dirinya.

Dulu, ketika lelaki itu masih menjadi anggota Bayangkari Kerajaan Majapahit, orang-orang begitu
segan padanya.

Apalagi Ki Legowo merupakan orang dekat Mahapatih Gajah-mada sejak keduanya masih sama-sama
menjadi anggota bhayangkari kerajaan. Karena itulah, dengan berbagai tipu daya, Turonggo
menyingkirkan Ki Legowo dari lingkungan dekat Prabu Wikramawardhana karena takut
kedudukannya sebagai senopati terancam.

Ki Legowo juga tahu benar hati busuk Turonggo Petak yang mengincar jabatan patih.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kepada anakku dan rakyat Simongan, aku selalu berpesan agar mereka punya kecintaan terhadap
tanah air hingga ke sumsum tulang. Bahkan jika nyawa ini tercerabut, tidak ada yang menggantikan
kesetiaan terhadap negara.

Rupanya, hari ini aku akan mengkhianati kata-kataku sendiri.”

Mata Ki Legowo berkaca-kaca menahan desakan kesedihan di dadanya. Namun, kembali dia tergelak
beberapa saat.

“Orang-orang berhati ular sepertimulah yang merusak rasa bela negara itu, Turonggo Petak! Catat aku
sebagai pemberontak Majapahit! Aku rela asalkan aku tak memberontak terhadap hati nurani!”

Usai mengatakan kata-kata itu, Ki Legowo langsung menghambur ke arah Turonggo Petak dengan
keris yang terhunus. Melihat gelagat buruk, Turonggo Petak segera mencabut hulu kerisnya yang
bertahta emas. Kemudian, dia melompat dari kudanya menghindari serangan ganas Ki Legowo.

“Prajurit, serang pengkhianat ini! Bunuh!”

Begitu mendengar perintah dari sang senopati, puluhan prajurit langsung mengepung Ki Legowo dan
menyerangnya dari segala penjuru. Namun, sebagai bekas pengawal khusus raja Majapahit, sudah
pasti Ki Legowo memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni.

Datangnya berbagai senjata tajam yang menyerangnya, tak membuat Ki Legowo keder. Kerisnya
berkelebat cepat.

Sekali waktu terdengar pekikan prajurit yang badannya tertembus keris bertuah itu. Turonggo Petak
yang khawatir keselamatan jiwanya terancam, memerintahkan pasukan panah bersiap.

Sementara itu, bak banteng terluka, Ki Legowo mengamuk dengan hebat. Beberapa prajurit sudah
berhasil dirobohkannya dengan dada bersimbah darah.

“Merunduk!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Teriakan Turonggo Petak sontak membuat para
prajurit menghentikan serangannya dan bergerak mundur sambil merundukkan badannya. “Panah!”

Kali ini, teriakan Turonggo Petak disusul oleh hamburan puluhan anak panah besi ke arah tubuh Ki
Legowo. Lelaki kesatria itu bukan tak paham taktik serangan berbahaya itu.

Tentu saja, pengalamannya di lingkungan bhayangkari membuatnya hafal segala macam taktik perang.

Hanya karena usianya yang sudah tua membuat gerakan Ki Legowo tak selincah waktu dia masih
menjadi prajurit gagah. Apalagi tenaganya sudah cukup terkuras untuk melawan puluhan prajurit yang
mengeroyoknya. Toh, Ki Legowo masih mampu mengibaskan kerisnya untuk menangkis datangnya
serbuan anak panah itu.

Namun, kerisnya tak mampu menepis semua anak panah yang terus berdatangan itu. Dalam sekejap,
belasan anak panah menghunjam di tubuh Ki Legowo. Meskipun demikian, lelaki gagah itu tak
menyerah. Dia masih terus berusaha menyongsong datangnya maut dengan gagah berani.

Hingga suatu saat, sebuah bayangan berkelebat dan langsung berdiri di depan Ki Legowo. Tubuh
besarnya menamengi Ki Legowo dari serbuan anak panah yang datang bak air hujan itu.

Lelaki berjubah itu Laksamana Cheng Ho.

Ia hanya mengangsurkan kedua telapak tangannya untuk menghalau serbuan anak panah. Akibatnya
luar biasa. Seperti dihempas angin topan kutub yang dahsyat, puluhan prajurit yang secara bergantian
melepas anak panah itu terjengkang ke belakang tanpa kuasa melakukan apa pun.

Meskipun tak tewas, para prajurit itu bergulingan di tanah berpasir dengan rasa sakit dan dingin yang
mencekat. Saat itu jugan serangan anak panah terhenti. Turonggo Petak melotot tak percaya.

“Tuan Ho!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Seperti tersadar dari lamunan, Cheng Ho segera
membalikkan tubuhnya dan mendekati tubuh Ki Legowo yang kini tergeletak di atas tanah. Cheng Ho
mengangkat tubuh lelaki sepuh itu dan memangku kepalanya.

“Ki Legowo, bertahanlah!”

“Hrn … saya sudah tua, Tuan Ho. Tidak ada yang saya inginkan lagi di dunia ini. Saya minta maaf
karena kehadiran Tuan disambut dengan pertumpahan darah.”

“Ki Legowo!”

Ki Legowo mengangkat tangannya perlahan, memberi tanda agar Cheng Ho menyimak kata-katanya.

“Tuan Ho, temuilah sang Prabu Wikramawardhana. Ini sebuah kesalahpahaman!”

Baru saja akan memulai kalimat barunya, Ki Legowo dikejutkan oleh sebuah jeritan perempuan.

“Romoooo”

Ki Legowo tersenyum, berusaha keras mengusir rasa sakit di sekujur tubuhnya yang dihunjami
belasan anak panah. Ia melihat Ni Ramya, putri satu-satunya, bersimpuh sambil berurai air mata.

“Nduk, perjalananmu masih panjang. Belajarlah pada sejarah!”

“Romo!”

Ramya tak mampu menahan emosinya. Dia memegang tangan ayahnya erat-erat karena tak mungkin
bisa memeluk tubuh ayahnya yang dipenuhi anak panah.

“Jaga diri baik-baik, Nduk …!”

“Romooo …!”

Ni Ramya menjerit sejadinya. Napas Ki Legowo terputus, didahului erangan kecil di akhir napasnya.
Sejenak, baik Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho ataupun Ramya tak berkata apa pun.
Ramya masih tergugu sambil mengelus rambut ayahnya.

Tiba-tiba, mata Ramya memicing. Tangannya bergerak perlahan meraih keris ayahnya yang tergeletak
di tanah.

“Prajurit Majapahit! Aku akan menghabisi kalian!” jeritnya sambil menghambur ke arah Turonggo
Petak yang masih berdiri beberapa tombak dari tubuh kaku Ki Legowo.

Wuuus, trang!

Gerakan Ramya sangat cepat. Kelincahan tubuhnya ditambah amarah yang memuncak, menjadi tenaga
yang luar biasa besar. Namun, serangannya gagal mengenai sasaran ketika keris di tangannya terpental
ke tanah. Cheng Ho bergerak lebih cepat.

Dia menghadang laju keris Ramya dan mengempaskannya ke tanah.

“Ramya, ini tak akan menyelesaikan masalah. Pikirkan dirimu!”

Ramya tertegun dengan tatapan tak mengerti. Ia menggelengkan kepala tanpa kata-kata.

“Ikuti caraku,” ujar Cheng Ho disusul suara pekikan di belakangnya. Turonggo Petak roboh ke tanah
tanpa sebab yang jelas. Ia jatuh terduduk tanpa bisa bergerak sama sekali.

Rupanya, dengan gerakan yang sangat cepat, Cheng Ho mengirimkan serangan tenaga dalam yang
sangat kuat, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri.

Turonggo Petak hanya sesaat merasakan titik-titik darahnya dihantam angin yang sangat keras dan
dingin sehingga membuatnya jatuh terduduk dan lemas, tak bertenaga.

“Hentikan pasukanmu atau kau akan sangat menyesal!”

Cheng Ho masih membelakangi Turonggo Petak saat mengeluarkan kata-kata bernada ancaman itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya memandang ke arah Turonggo Petak
dengan tatapan tak percaya. Dia tahu bahwa Cheng Ho memiliki ilmu kanuragan tinggi. Namun, apa
yang dilihatnya sama sekali tidak ia duga. Dia tak pernah menyangka ada seseorang yang menguasai
ilmu seperti siluman. Melumpuhkan musuh tanpa bergerak sama sekali.

Cheng Ho membalikkan badannya memandang lekat ke arah Turonggo Petak yang menundukkan
wajahnya.

“Jika penyerangan ini diketahui Kaisar Ming, kau tak akan bisa membayangkan kesengsaraan apa
yang akan terjadi pada rakyat Majapahit!”

Turonggo Petak mengangkat kepalanya. Pucat pasi. Dia hendak berkata-kata, namun tak sanggup
melakukannya.

Cheng Ho menggerakkan tangan kanannya. Dalam sekejap, Turonggo Petak merasakan aliran
darahnya normal kembali.

Ia pun berusaha bangkit dibantu oleh beberapa orang prajurit.

“Perintahkan prajuritmu untuk mundur. Kami akan menemui rajamu untuk membahas masalah ini.”
Turonggo Petak tak langsung menjawab. Ia memegangi lehernya yang tadi sempat tercekat. Ia
kelihatan ragu-ragu.

“Jadi, Tuan bukan sekutu Blambangan yang hendak menyerang Majapahit?”

“Jangan bersandiwara! Enyahlah ebelum sabarku habis!”

Sekilas saja cukup bagi Cheng Ho untuk mengetahui orang macam apa Turonggo Petak. Jelas, ia
hendak cuci tangan atas kesalahan membantai pasukan Ming dengan alasan salah paham itu.

“Majapahit baru saja memenangkan pertempuran melawan Blambangan. Kami sedang dalam tugas
menyisir seluruh kawasan Majapahit untuk mewaspadai kekuatan musuh yang masih tersisa. Kami tak
menyangka bahwa pasukan dari seberang lautan ini adalah sahabat.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho tersenyum sinis. Ia memalingkan
wajahnya dari Turonggo Petak, seolah-olah jijik melihat lelaki itu. Tangannya diangsurkan ke
belakang, sedangkan pandangan matanya tenang menyaksikan pertempuran yang masih berlangsung.

“Hentikan perang, atau kau ingin aku usir semua pasukanmu dengan banjir darah! Apakah ini salah
paham atau tidak, aku akan berunding dengan rajamu.”

Tanpa banyak bicara lagi, Turonggo Petak beranjak dari tempat itu. Lalu, ia memerintahkan
bawahannya untuk menarik pasukannya. Berduyun-duyun pasukan Majapahit mundur dari pantai.
Meninggalkan peperangan yang tadinya berlangsung sengit.

Dengan mata berkilat, Ramya melihat ke arah Turonggo Petak. Namun, ia segera beranjak dari
tempatnya berdiri, menghampiri jasad ayahnya yang tergeletak kaku. Ramya kembali bersimpuh di
samping jasad Ki Legowo dengan air mata berlinangan.

“Tuan, ini sungguh salah paham. Mohon pengertian Tuan!”

Usai memerintahkan pasukannya mundur, Turonggo Petak kembali menghampiri Cheng Ho yang
masih berdiri di tempatnya semula. Wajahnya terlihat pucat pasi.

“Kini kau jerih. Nyatakan penyesalanmu itu kepada setiap ping-se yang darahnya engkau tumpahkan.
Juga pada orangtua arif itu,” ujar Cheng Ho sambil menoleh ke arah jasad Ki Legowo.

Merasa tak bisa lagi membujuk Cheng Ho, Turonggo Petak lalu memberi salam sambil membalikkan
badannya kembali menaiki kudanya dan berlalu bersama pasukannya.

Suasana Pantai Simongan menjadi miris. Mayat-mayat ping-se bergelimpangan. Darah menjadikan
pasir pantai berwarna merah dan berbau amis menyengat. Penduduk Simongan mulai berdatangan.
Mereka langsung menangis pilu begitu tahu lurah mereka, Ki Legowo, menjadi korban dalam
pertempuran itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para ping-se yang turun dari kapal-kapal Ming
segera merawat mayat-mayat rekan mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan. Kebanyakan
para ping-se itu tewas dengan luka tusukan yang menganga. Namun, tidak sedikit yang mengalami
luka sangat memilukan. Bagian-bagian tubuh mereka terlepas akibat babatan pedang.

“Guru, lebih dari seratus ping-se tewas.”

Juen Sui dan Sien Feng kini sudah berdiri di dekat Cheng Ho yang berdiri dengan raut muka muram.

“Kenapa kita tidak melakukan serangan balasan, Guru?”

Juen Sui melanjutkan kalimatnya.

Cheng Ho tak langsung menjawab. Dia menatap sekeliling pantai yang kini penuh isak tangis warga
Simongan yang merasa prihatin dan suasana mendung di wajah-wajah para ping-se.

“Kita berlayar membelah samudra untuk mengabarkan perdamaian dari Kaisar Ming. Jika kita
membalas serangan ini, sia-sialah seluruh perjalanan ini.”

Juen Sui mengangguk-angguk. “Kalian segera kuburkan para ping-se sesuai dengan cara keyakinannya
masing-masing. Mereka yang menganut I-se-lan mati syahid karena bertempur mempertahankan diri.
Tak perlu dikafani dan disembahyangkan.”

Juen Sui dan Sien Feng segera beranjak dari tempat itu.

Mereka memerintahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat itu. Bersama dengan penduduk
Simongan, mereka bahu-membahu menguburkan mayat para ping-se secara massal.

Sorenya, jasad Ki Legowo dikremasi dalam sebuah upacara keagamaan Hindu. Jerit tangis tak
tertahankan saat upacara itu berlangsung. Penduduk Simongan sangat mencintai Ki Legowo.
Meninggalnya bekas bhayangkari Majapahit itu menjadi sebuah kehilangan besar bagi penduduk
pesisir itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 3. Kitab Kutub Beku

Siang yang meranggas …

Ni Ramya tepekur di pendopo rumahnya. Ia duduk lesehan dengan tatapan kosong. Kepalanya
bersender pada tiang pendopo, seperti tak bertenaga. Beberapa lama dia berdiam diri, nyaris tak
bergerak. Kini, matanya mulai berkaca-kaca. “Ramya!”

Hui Sing datang sambil membawa sebutir kelapa muda yang kutub buahnya sudah dilubangi. Ramya
menoleh lemah, tanpa menjawab. Dia mencoba sedikit tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Air kelapa ini sangat segar, Ramya. Pasti akan membuat badanmu lebih bergairah!”

Hui Sing mengangsurkan kelapa muda itu. Begitu menerimanya, Ramya tak langsung menenggak air
kelapa yang ditawarkan Hui Sing. Ia meletakkan kelapa muda itu di sampingnya.

“Kau merasa lebih baik, Ramya?”

Ramya belum menjawab. Dia kembali mengalihkan pandangannya keluar rumah. Menatap
perkampungan penduduk yang sederhana.

“Kau ke sini hendak berpamitan, Hui Sing?”

Sekarang, giliran Hui Sing yang terdiam. Dia lalu duduk di samping Ramya dan mencoba merangkai
kata-kata yang paling tepat.

“Tuan Ho tadi pagi sudah kemari. Beliau mengatakan bahwa rombongan kalian akan segera
melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit.”

“Ramya, sebenarnya kami masih ingin tinggal di Simongan. Apalagi Paman Wang juga belum sehat
benar.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun, peristiwa penyerangan terhadap armada
Ming itu mengubah segalanya.”

Ramya menoleh, menatap wajah Hui Sing lekat-lekat.

“Engkau tahu, Ramya, ratusan ping-se tewas dalam serangan itu. Guru Ho harus
mempertanggungjawabkannya kepada Kaisar Ming. Selain mengirim utusan kembali ke Tiongkok,
guru juga harus bertemu dengan Prabu Wikramawardhana untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Turonggo Petak. Hidupku tidak akan pernah tenang sebelum bisa membalas kematian romo kepada
orang culas itu.”

“Bukankah ini sebuah kesalahpahaman, Ramya?”

“Omong kosong! Turonggo Petak memang sudah menyiapkan segalanya. Saat masih menjabat di
Majapahit pun, romo disingkirkan oleh orang itu. Sekarang, dia sengaja datang ke Simongan untuk
menuntaskan rasa tidak sukanya kepada romo.”

“Apa rencanamu, Ramya?

“Sekarang, Simongan menjadi tanggung jawabku, Hui Sing. Aku akan menggantikan ayah. Sementara
ini, aku akan menunggu kabar dari Majapahit. Namun, jika Raja Majapahit tidak menghukum berat
Turonggo Petak, aku akan datang ke sana untuk memberinya hukuman yang setimpal.”

“Sepertinya, kau sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah Majapahit, Ramya?”

“Romo meninggalkan ingar bingar Majapahit karena sadar, tidak ada lagi rasa tepo sliro (saling
menghargai) dan kebersamaan di sana. Orang-orang saling sikut demi kepentingan pribadi. Sekarang,
kata-kata romo terbukti.”
Suasana hening. Hui Sing mencoba memahami porak-porandanya perasaan Ni Ramya. “Ramya,
bagaimana jika kau ikut kami ke Majapahit?”

Ramya tersenyum.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Romo menitipkan Simongan kepadaku. Aku harus tinggal di sini, Hui Sing!”

“Paling tidak, kau bisa bertemu dengan rajamu untuk membicarakan hal ini.”

“Romo mengajariku untuk tidak menjadi penjilat.”

Hui Sing mengalihkan pandangannya. Ia lalu mengambil sesuatu dari balik baju panjangnya. Sebuah
patung burung merak dari batu giok berwarna hijau seukuran genggaman tangan.

“Armada sudah siap berangkat malam ini, Ramya. Kami meninggalkan satu kapal untuk Paman Wang
jika dia sudah sembuh agar bisa menyusul ke Majapahit. Jika engkau berubah pikiran, kau bisa
berangkat bersama Paman Wang.”

Hui Sing lalu mengangsurkan patung burung merak itu kepada Ni Ramya.

“Ini benda kesayanganku, Ramya. Simpanlah sebagai tanda persahabatan kita.”

Ramya menerima benda pemberian Hui Sing tanpa berkata-kata. Beberapa saat dia sibuk mengamati
patung kecil yang luar biasa cantik itu sambil terkagum-kagum. Karena masih dalam suasana
berkabung, Ramya tak memperlihatkan kegembiraan yang berlebihan. Dia hanya menggengam patung
itu erat-erat.

“Aku berjanji akan menyimpannya baik-baik, Hui Sing. Aku juga akan berdoa, semoga misi
perdamaian kalian berjalan lancar.”

Hui Sing langsung memeluk Ramya karena terharu.

Matanya berkaca-kaca menahan rasa sedih karena perpisahan itu.

“Kami titip Paman Wang selama beliau masih tinggal di Gua Gedong Batu untuk penyembuhan.”

Ramya mengangguk-anggukan kepala sambil mengusap air matanya yang meleleh. Keduanya lalu
bangkit.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Tunggulah di pelabuhan. Aku segera menyusul ke sana untuk melepas kepergian kalian.”
Hui Sing mengiyakan kalimat Ramya. Setelah itu, dia pamit kembali ke pelabuhan, mempersiapkan
diri melanjutkan perjalanan ke Majapahit.

Pelabuhan Simongan kembali riuh. Kali ini, penduduk Simongan berdiri berjajar di pinggir pantai
dengan sedih.

Tamu dari seberang lautan, armada Kerajaan Ming yang dipimpin Laksamana Cheng Ho segera
meninggalkan Simongan. Layar-layar kapal yang berjumlah ratusan sudah berkembang. Dari jauh,
terlihat para ping-se berdiri di atas geladak kapal sambil melambaikan tangan mereka.

Laksamana Cheng Ho dan ketiga muridnya juga berada di atas geladak sambil melambai-lambaikan
tangan. Hari mulai gelap. Malam mulai membentang dan mengubah kapal-kapal raksasa itu menjadi
bayangan-bayangan hitam yang mulai bergerak menjauhi pantai.

Air laut tak banyak berombak. Angin berembus cukup kuat menghantar kapal-kapal raksasa itu
membelah samudra siang dan malam. Serasa waktu bergerak teramat lamban. Dalam kesedihan yang
sangat, para awak kapal armada Kerajaan Ming seolah kehilangan semangat untuk terus mengarungi
samudra, melanjutkan misi damai yang mereka emban dari sang Kaisar.

Meskipun 170 ping-se yang tewas oleh serangan pasukan Turonggo Petak adalah jumlah yang sedikit
dibandingkan ribuan ping-se yang ikut dalam pelayaran itu, ikatan persaudaraan membuat mereka
begitu kehilangan. Geladak-geladak kapal menjadi sepi dari gurauan para ping-se atau siulan Jenaka
mereka.

Di kapal pusaka, suasana terlihat sama. Sepi. Meskipun para awak kapal tetap bertugas seperti biasa,
namun sedikit sekali terdengar suara. Di ujung geladak kapal raksasa itu, Hui Sing berdiri mematung.
Menatap lepas ke samudra yang tampak biru.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelabuhan Gresik sudah jauh tertinggal.
Seharusnya, menepinya rombongan bahari Kerajaan Ming di Gresik juga membawa gegap gempita
seperti ketika mereka tiba di Simongan. Namun, karena suasana berkabung yang belum pudar,
persinggahan itu pun terasa tak bernyawa.

Sekarang, armada yang dipimpin bahariawan besar, Laksamana Cheng Ho, segera menuju Surabaya,
pelabuhan terakhir yang mereka tuju, sebelum melakukan perjalanan di air tawar, menuju Cangkir.
Dari Cangkir, perjalanan darat selama satu setengah hari harus ditempuh untuk sampai di Mojokerto,
kota raja Majapahit.

“Hui Sing, guru menyuruh kita berkumpul. Beliau ingin membicarakan sesuatu hal penting!”

Hui Sing menoleh ke arah datangnya suara. Pikirannya yang tenggelam di alam lamunan membuatnya
tak waspada dan tak sadar bahwa seseorang sedang mendatanginya.

“Kakak Sieng Feng, hal apa yang ingin dibicarakan guru?”

“Aku tidak tahu. Sekarang, kakak Juen Sui sudah berada di ruangan guru. Mereka menunggu kita.”
“Baiklah. Ayo, kita ke sana!” Hui Sing dan Sien Feng pun bergegas beranjak dari geladak menuju
ruangan Laksamana Cheng Ho.

Sampai di sana, Cheng Ho dan Juen Sui sudah duduk di kursi bulat di depan pembaringan. Hari ini,
Cheng Ho tak menebar senyum seperti biasa. Dia duduk tegap dan mempersilakan kedua muridnya
duduk dengan suara yang datar.

“Aku ingin berbicara hal yang sangat penting kepada kalian.”

Cheng Ho memandang ketiga muridnya dengan tatapan penuh selidik. Ia lalu mendesah dengan napas
yang terdengar berat. Baik Juen Sui, Sien Feng, maupun Hui Sing tak berani bersuara. Biasanya,
gurunya memang tak pernah bersikap seperti itu. Terkesan angker dan tak ramah.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kalian murid-murid kepercayaanku. Mengikutiku sejak lama, dan aku anggap sebagai anakku
sendiri. Rasanya, sungkan untuk mengatakan hal ini. Tapi, aku tak punya pilihan lain,”

Sien Feng menahan napas sejenak. Penasaran dengan sikap gurunya yang penuh misteri. Hatinya
berdebar-debar menunggu kalimat-kalimat selanjutnya.

“Apa yang kalian tahu tentang jurus kutub beku?”

Tak satu pun di antara ketiga murid Cheng Ho yang segera menjawab. “Hui Sing?”

“Setahu saya, jurus itu merupakan puncak thifan pokhan yang melancarkan dath dingin. Guru telah
mengajarkan dasar-dasarnya kepada kami.”

Cheng Ho mengangguk-angguk.

” Juen Sui?”

“Saya tak lebih tahu dibandingkan adik Hui Sing, Guru.

Kutub Beku adalah jurus yang sangat hebat. Membuat siapa pun yang terkena merasakan dingin yang
luar biasa, tulang ngilu, otak mencekat, bahkan darah menjadi beku.”

“Sieng Feng?”

“Saya kira, semua yang saya tahu sudah dikatakan Adik Hui Sing dan Kakak Juen Sui, Guru!”

Tatapan mata Cheng Ho menajam. Ketiga muridnya semakin salah tingkah. Mereka lalu menundukkan
kepala karena segan.

“Kitab Kutub Beku yang memuat 99 jurus inti penyempurnaan dath dingin, merupakan kitab yang
berumur ratusan tahun. Lima belas tahun lalu, kitab itu diwariskan kakek guru kalian kepadaku. Dan
suatu saat nanti, kitab itu harus aku wariskan kepada salah seorang muridku yang memiliki dath yang
sesuai.”

Cheng Ho menghentikan kalimatnya sejenak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kitab itu selalu aku bawa, ke mana pun aku pergi, termasuk dalam pelayaran ke Samudra Barat
sekarang ini.

Aku menyimpannya di tempat yang sangat rahasia di ruangan ini.”

Hui Sing mengangkat wajahnya, menduga-duga.

“Kau sudah tahu arah pembicaraanku, Hui Sing?”

“Saya tidak berani, Guru.”

“Tapi kau benar. Kitab itu hilang. Aku baru menyadarinya hari ini.”

Meskipun sudah menduganya, tak urung Hui Sing tersentak. Apalagi Juen Sui dan Sien Feng, yang
sejak awal terlihat tak menyangka bahwa gurunya akan menyampaikan hal itu.

“Bagaimana mungkin? Sedangkan tak satu pun awak kapal yang berani menyentuh tangga menuju
ruangan ini, Guru?”

Cheng Ho tersenyum. Ia berdiri, lalu menghampiri jendela yang membawa pandangan lepas ke
samudra tak berbatas.

“Juen Sui, kau lupa ada tiga orang yang bebas keluar masuk ruangan ini?”

Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berpandangan dengan mata terbelalak.

“Maksud Guru, salah satu di antara kami pencurinya?”

Cheng Ho tak langsung menjawab. Dia masih berdiri di tempat yang sama sambil mengangsurkan
kedua tangannya ke belakang, seperti kebiasaannya.

“Sepuluh hari aku dan Hui Sing berada di daratan Simongan, bagaimana keadaan ruangan ini?”

“Saya berani bersumpah, Guru, tak satu pun awak kapal yang berani menginjak lantai ini. Saya dan
Kakak Juen Sui selalu melakukan pengawasan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Jadi, bagaimana pencuri itu bisa masuk?”


“Apa tidak mungkin ketika terjadi serangan dari pasukan Majapahit, pencuri itu masuk ke ruangan ini,
Guru? Karena, hampir semua awak kapal turun ke darat, termasuk saya dan adik Sien Feng.”

Suara berat Juen Sui terdengar agak bergetar.

“Kalau begitu, pencuri itu begitu cerdas. Dia bisa langsung tahu di mana aku menyimpan kitab itu,
tanpa meninggalkan jejak sama sekali.”

Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Jika saja kita tidak sedang dalam urusan mendesak, pasti aku akan menyelidiki siapa pencuri itu
secepatnya. Namun, karena kita sebentar lagi sampai di Pelabuhan Surabaya, urusan bertemu dengan
Raja Majapahit jauh lebih penting.

Begitu permasalahan dengan Majapahit menemui titik penyelesaian, aku akan mencari tahu
pengkhianat itu.”

Hui Sing merasakan wajahnya memanas karena penasaran. Tapi, dia sama sekali tidak berani berkata
apa pun.

“Setibanya di Pelabuhan Surabaya, hanya sedikit orang yang bisa ikut ke kota raja Majapahit. Juen
Sui, siapkan lima puluh ping-se terbaik. Bawalah aneka cendera mata yang sudah disiapkan untuk Raja
Majapahit. Kalian bertiga juga harus ikut. Kepemimpinan armada biarlah ada di tangan perwira yang
aku tunjuk, sambil menunggu Wang Jing Hong.

Jika saudara Wang sudah sembuh dan menyusul dari Simongan, dialah yang akan bertanggung jawab
terhadap keseluruhan armada.” “Baik, Guru.”

Juen Sui tak banyak berkata. Setelah gurunya menyelesaikan kalimat perintah itu, dia meminta diri
untuk meninggalkan ruangan. Demikian juga dengan Sien Feng dan Hui Sing yang kemudian
menyusul kakak seperguruannya itu keluar dari ruangan gurunya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho masih berdiri di tempatnya semula.
Matanya sayu menahan sedih. Setelah terpukul dengan peristiwa penyerangan armadanya yang
menyebabkan 170 ping-se tewas, kini dia dihadapkan pada peristiwa yang lebih menggoncang. Sebuah
pengkhianatan.

Meskipun belum bisa memastikan siapa yang mencuri Kitab Kutub Beku itu, Cheng Ho yakin benar,
pelakunya bukan orang luar. Sebab, hanya ketiga muridnya yang paham seluk beluk ruangan itu.

Mereka pula yang paham bahwa kitab yang berisi 99 jurus penyempurnaan itu sangat berharga. Di luar
itu, orang ini pasti punya rencana susulan yang lebih berbahaya dibandingkan sekadar mencuri Kitab
Kutub Beku.

Mengingat ketiga muridnya adalah orang-orang yang paling dekat dengannya, tentu saja Cheng Ho
merasa sangat terpukul. Otaknya pun mulai mereka-reka, mengumpulkan kembali ingatan-ingatan
untuk menduga-duga, siapa sebenarnya pencuri itu. Cheng Ho masih berharap menemukan satu nama
di luar ketiga muridnya yang pantas untuk dicurigai sebagai pelaku pencurian itu. Tapi dia gagal.

Semua serba terencana. Cheng Ho yakin itu. Lelaki gagah itu menghela napas panjang, lalu menutup
jendela kamarnya.

Dia mendekati pembaringan, lalu duduk di sana, sambil terus berpikir.

Sementara itu, Hui Sing dan Sien Feng berdiri kikuk di atas geladak.

“Aku hampir tidak percaya, pencuri itu adalah satu di antara kita.”

“Hui Sing, kenapa kau begitu yakin? Masih banyak kemungkinan. Aku sepakat dengan Kakak Juen
Sui. Siapa tahu ketika terjadi penyerangan oleh prajurit Majapahit, ada seseorang berilmu tinggi yang
masuk ke ruangan guru, lalu mengambil kitab itu.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aku punya keyakinan lain tentang siapa pencuri itu.

Pertama, orang itu harus orang dalam karena dia bisa masuk ke dalam ruangan guru tanpa merusak
apa pun. Dia juga bisa mengetahui letak kitab itu tanpa harus mengobrak-abrik isi ruangan.”

Sien Feng memicingkan mata. Angin laut memainkan rambut panjangnya yang berkilau dikepang
dengan kain hijau muda.

“Kedua, dia harus orang yang bisa berbahasa Chung-Kuo.”

“Tapi, bisa saja dia hanya orang suruhan.”

“Lalu, bagaimana dia bisa memilih dengan jitu, satu di antara sekian banyak kitab berbahasa Chung-
Kuo yang berada di ruangan guru?”

Sien Feng terdiam.

“Tapi jika dia orang dalam, bukankah dia bisa berpura-pura mengobrak-abrik isi ruang guru untuk
meninggalkan jejak, seolah-olah pencurian itu dilakukan oleh orang luar?”

Ternyata, Juen Sui sudah berada di situ. Dari tadi, murid tertua Laksamana Cheng Ho itu menyimak
pembicaraan kedua adik seperguruannya.

Begitu selesai dengan perintah gurunya menyiapkan lima puluh ping-se, dia mendekati Sien Feng dan
Hui Sing yang asyik berbincang.

“Itu semakin membuktikan bahwa pelakunya adalah satu di antara kita.”

Sien Feng dan Juen Sui mengerutkan dahi.


“Jika pencuri itu sengaja mengobrak-abrik kamar guru, kakak berdualah yang pertama kali harus
mempertanggungjawabkannya kepada guru. Bukankah kalian yang diberi tugas menjaga ruangan
guru? Bagaimana bisa begitu ceroboh?

Hukuman yang akan ditimpakan guru pasti akan sangat berat.

Tidak akan ada yang bisa lolos. Karena itulah, si pencuri ini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sengaja tidak meninggalkan jejak seperti itu, agar
guru ragu-ragu kepada kalian.”

“Hui Sing, kau menuduh kami?”

Hui Sing tak langsung menjawab. Tatapan matanya menajam. Ia lalu membuang muka.

“Siapa pun pencuri itu, aku akan membuat perhitungan dengannya. Mengkhianati guru adalah
kesalahan yang tak terampunkan.”

Wajah Sien Feng memerah. Wajah ramahnya lenyap seketika. Matanya yang bening berubah menjadi
merah karena marah.

“Hui Sing, kau sungguh tega! Sepertinya kita bukan saudara seperguruan yang telah bersama-sama
selama bertahun-tahun. Bagaimana dengan dirimu sendiri? Saat pasukan Majapahit menyerang,
bukankah kau tidak ada di antara para ping-se yang bertempur?”

“Kau …!”

Wajah Hui Sing berubah menjadi merah menyala. Matanya melebar dengan urat-urat berwarna merah,
sedikit terlihat di bagian putih bola matanya yang berkaca-kaca.

“Aku menjaga Paman Wang Jing Hong di Gua Gedong Batu. Kau bisa tanyakan kepada sepuluh ping-
se yang ada di sana.”

“Hei, sudahlah! Kenapa begitu marah? Kenapa tidak berpikir bahwa benar ada orang lain yang
memanfaatkan kelengahan kita untuk mencuri kitab itu?”

Juen Sui berusaha menengahi.

“Kakak Juen Sui, kenapa kau tiba-tiba menjadi peduli?

Bukankah biasanya kau menjaga jarak dengan kami?”

“Sien Feng, bicara apa kau?”

“Guru saja sudah begitu yakin bahwa pencuri kitab pusaka itu adalah satu di antara kita, bagaimana
aku bisa ragu?

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Karena aku yakin bahwa aku bukanlah pencurinya,
sedangkan Hui Sing berada di daratan selama guru tidak ada di ruangannya, siapa lagi yang harus aku
curigai?”

“Lancang!”

Tangan kiri Juen Sui bergerak menampar dengan tenaga dalam yang berat. Sien Feng bergerak
tanggap. Dia langsung melengkungkan badannya dengan sikap kayang menghindari serangan itu.

Gagal dengan serangan pertama, Juen Sui langsung menggerakkan toya di tangan kanannya. Toya baja
berwana hitam legam itu adalah senjata andalan Juen Sui. Mirip dengan orang-orang Shaolin, Juen Sui
sangat lihai menggunakan tongkat dengan dua ujung tumpul itu.

Wuuuttt!

Tongkat sepanjang dua lengan orang dewasa itu segera menjadi bayangan yang bergerak kilat
menyodok ke arah Sien Feng. Tak mau mati konyol, Sien Feng segera menghunus pedang hitamnya.
Bunyi logam bertemu pun menjadi riuh.

Percikan api tampak setiap toya Juen Sui dan pedang hitam Sien Feng bertemu.

Para awak kapal yang tadinya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, menghentikan kegiatannya.
Mereka mengira, Juen Sui dan Sien Feng sedang berlatih ilmu bela diri.

Hui Sing melihat gelagat yang berbahaya. Bagaimanapun, sebelum gurunya menemukan bukti pelaku
pencuri kitab itu, tidak boleh bertindak gegabah.

Wuuus!

Suara angin bersuit terdengar bersamaan dengan meluncurnya sinar perak yang pangkalnya ada di
genggaman tangan Hui Sing. Gadis itu telah melolos sabuk baja peraknya.

Gulungan sinar perak segera terlihat menyilaukan. Hui Sing mengarahkan serangan sabuknya ke arah
pertemuan toya dan pedang milik Juen Sui dan Sien Feng.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Trang!!!

Benturan keras antara pedang, toya, dan sabuk baja menimbulkan suara yang nyaring. Namun, bagi
tiga orang seperguruan itu, tentu saja benturan tenaga dalam antara ketiganya terasa begitu hebat.
Ketiganya terpental ke belakang. Namun, baik Juen Sui, Sien Feng, maupun Hui Sing berhasil
mendarat di lantai geladak dengan sangat baik.

“Kenapa jadi bodoh begini? Sudahlah. Aku bersalah karena terlalu memojokkan kalian. Lebih baik
kita menunggu keputusan guru saja.”

Usai mengatakan hal itu, Hui Sing membalikkan tubuhnya meninggalkan geladak, menuju ruang
pribadinya di kabin bawah. Sementara itu, Sien Feng dan Juen Sui masih berdiri dengan wajah merah
padam.

“Hui Sing benar, kita tak boleh gegabah. Masih banyak kemungkinan lain. Sudahlah.”

Sien Feng lalu memasukkan pedang hitam ke sarungnya.

Pemuda itu lalu berjalan menuju ke arah yang sama dengan Hui Sing. Ruang pribadinya memang
berada di lantai kabin yang sama dengan Hui Sing.

Juen Sui terdiam. Dia menatap laut lepas dengan pandangan sayu. Menikmati belaian angin sepoi
sambil memejamkan mata.

Akhirnya, armada Kerajaan Ming tiba di Pelabuhan Surabaya. Pelabuhan ini lebih besar dibandingkan
Simongan karena ramai oleh kapal-kapal pedagang dari berbagai kerajaan, dari dalam dan luar
Nusantara. Kehadiran rombongan besar bahariawan asal Kerajaan Ming itu semakin membuat
pelabuhan riuh rendah.

Laksamana Cheng Ho, ketiga muridnya, beserta lima puluh ping-se pilihan kemudian menggunakan
kapal-kapal kecil untuk mencapai daratan. Melewati jalur sungai yang terlalu kecil untuk kapal-kapal
raksasa mereka.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepanjang perjalanan dengan kapal-kapal kecil itu,
rombongan Cheng Ho dibuat takjub oleh jajaran gunung yang tinggi menjulang dan pemandangan
yang indah permai.

Di lereng-lereng gunung, tumbuh subur pohon yanfu (Chinese sumac) dan nanmu (phoeher nanmu).
Pada gunung-gunung tersebut terdapat goa-goa yang besar dan dalam.

Konon, saking besar dan dalamnya goa itu, dua puluh ribu orang bisa masuk secara bersamaan.

Surabaya merupakan perkampungan dengan seribu keluarga di pusat kota, berjarak dua puluh li dari
pelabuhan.

Rumah-rumah penduduk tertata rapi dengan keakraban para penduduk yang begitu khas.

Meskipun tergesa-gesa untuk segera tiba di Mojokerto, rombongan Cheng Ho menyempatkan diri
untuk mampir sejenak di Surabaya. Di antara seribu keluarga di Surabaya, tidak sedikit yang
merupakan perantau dari berbagai daerah, termasuk Tiongkok. Karena itu, Cheng Ho merasa perlu
bertemu dengan para perantau itu sekaligus dengan para penduduk asli Surabaya. Udara yang terasa
menyengat tak menghambat rombongan Cheng Ho untuk menyampaikan pesan perdamaian dari
Kerajaan Ming.

“Tuan Ho, lebih lamalah tinggal di sini. Tentunya, Tuan ingin lebih mengenal alam Surabaya dan para
warganya.”

Cheng Ho tersenyum sambil berusaha menikmati pinang dan kapur yang dibungkus dengan daun sirih
di mulutnya.
Adat Jawa waktu itu mengharuskan seorang tuan rumah untuk menyuguhkan sirih kepada para
tamunya, bukan teh layaknya orang Tiongkok.

Sambil masih mengunyah, Cheng Ho memandang Ki Singo Ireng, Demang Surabaya yang menyambut
hangat rombongannya begitu tiba di pelabuhan.

Singo Ireng seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan dengan berewok yang rata di wajahnya.
Kulitnya legam, tubuhnya kekar, meskipun tak begitu tinggi. Ia Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengenakan surjan panjang dipadu dengan kain
sampai batas betis.

“Maafkan kami, Ki. Tentu saja kami juga sangat ingin berlama-lama di sini. Hanya, janji bertemu
dengan Prabu Wikramawardhana tidak bisa kami ulur. Barangkali nanti, sekembalinya kami dari
Majapahit, kami akan mampir ke sini.”

Ki Singo Ireng mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Kapan saja Tuan berkehendak untuk singgah, kami dengan senang hati menyambut.”

Keduanya tersenyum ramah. Sementara Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berusaha keras mengatasi
rasa tidak nyaman di mulut mereka karena rasa aneh dari campuran daun sirih, kapur, dan buah pinang
yang mereka kunyah.

Hari itu tepat hari Jumat, menurut penanggalan Hijriah.

Sebelum beramah-tamah dengan Ki Singo Ireng dan warga lainnya, Cheng Ho sempat memimpin
shalat wajib Jumat di masjid sederhana yang didirikan puluhan warga Surabaya keturunan dan pribumi
penganut I-se-lan.

Usai menyampaikan khotbah dan menjadi imam, Cheng Ho berkeliling di Perkampungan Surabaya.
Bersama para ping-se, Cheng Ho menghadiri perjamuan yang digelar oleh Ki Singo Ireng. Orang-
orang duduk bersila di atas tikar pandan membentuk lingkaran-lingkaran kecil.

Di depan mereka sudah tersedia piring-piring dari tanah liat berisi nasi putih yang sangat lunak dan
lezat. Nasi itu sudah disiram dengan sup dan sayur mayur. Tentu saja bagi orang Tiongkok yang
terbiasa menggunakan sumpit setiap makan, menikmati hidangan dengan tangan sangatlah canggung.

Namun, demi menghormati tuan rumah, Cheng Ho dan rombongannya belajar untuk makan tanpa
sumpit. Bagi Cheng Ho dan Hui Sing, tentu saja hal itu tidak terlalu baru. Sebab, sewaktu di
Simongan, mereka pun makan tanpa menggunakan sumpit. Meskipun kemudian, setelah Tiraikasih
Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menemukan rumpun bambu di pinggir Hutan
Gedong Batu, Cheng Ho menyuruh para ping-se untuk membuat sumpit.

Sekarang, setelah hidangan nasi telah dilahap habis, tuan rumah menyuguhkan daun sirih sebagai
teman ngobrol di antara mereka.
“Tuan Ho, saya mendengar tentang salah paham pasukan Turonggo Petak yang mengorbankan ratusan
tentara Tuan. Itu benar-benar sebuah kesalahan besar!”

Air muka Cheng Ho langsung berubah. Dia cukup kaget karena kabar itu demikian cepat tersebar.

“Ki Legowo sangat terkenal pada masa mudanya dulu. Dia seorang abdi raja yang sangat setia dan
berilmu tinggi,” lanjut Singo Ireng.

“Saya juga berpendapat demikian. Karena itulah, kami harus segera bertemu dengan sang prabu untuk
membicarakan hal ini.”

Lalu, Cheng Ho memutus pembicaraan tentang hal itu karena tak mau permasalahan mengembang dan
menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat Majapahit. Ia mengalihkan pembicaraan pada berbagai
hal yang berhubungan dengan alam Surabaya. Tentang aneka hasil bumi yang berlimpah, dan
kekayaan alam Surabaya lainnya.

Esok harinya, Cheng Ho menegaskan keinginannya untuk kembali melanjutkan perjalanan ke


Mojokerto. Akhirnya, Ki Singo Ireng tak bisa lagi mencegahnya. Rombongan Cheng Ho pun kembali
ke sungai, menaiki kapal-kapal kecil dan melakukan perjalanan ke Cangkir, yang jaraknya tujuh puluh
li dari Surabaya.

Sepanjang perjalanan air itu, rombongan kembali dibuat takjub oleh alam Jawa Dwipa yang elok.
Aneka burung dengan warna yang beragam berlompatan di dahan pohon.

Sesekali binatang hutan pun terlihat sedang minum air di pinggir sungai. Air sungai jernih berkilau
seperti perak mengalir tenang. Hari hampir gelap ketika rombongan Cheng Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ho tiba di daerah Cangkir. Para ping-se segera
menyiapkan diri untuk perjalanan darat.

Karena hari gelap, Cheng Ho memutuskan untuk beristirahat, menunggu terang. Pagi harinya, barulah
mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Hanya tersedia empat ekor kuda untuk ditunggangi
Cheng Ho dan ketiga muridnya, sedangkan para ping-se bersiap untuk berjalan kaki di belakang
keempat kuda yang berjalan perlahan.

Sesuai dengan petunjuk Ki Singo Ireng, Cheng Ho memimpin rombongannya ke arah barat daya.
Sepanjang perjalanan, meskipun alam begitu menyenangkan untuk dinikmati, namun suasana begitu
suram. Cheng Ho seperti tak berselera untuk memulai sebuah percakapan akrab, sebagaimana biasa
dia lakukan dengan ketiga muridnya.

Dia hanya berbicara sekadarnya. Bahkan, ketika memerintahkan rombongan berhenti ketika matahari
persis berada di atas kepala, ia pun hanya bicara seperlunya.

“Waktunya untuk mendirikan sembahyang. Hui Sing, siapkan dirimu. Dan kau, Juen Sui, perintahkan
para ping-se penganut I-se-ian untuk bersiap.”

“Baik, Guru!”
Juen Sui dan Hui Sing pun tak berani berbicara banyak.

Mereka hanya menjawab apa-apa yang ditanyakan gurunya.

Sama sekali tak berusaha mencairkan suasana dengan gurauan di antara mereka.

Sien Feng tak jauh berbeda. Dia pun merasa canggung dengan keadaan itu. Namun, tentu saja dia
memaklumi sikap gurunya yang kecewa dengan hilangnya Kitab Kutub Beku miliknya.

Petang menjelang ketika rombongan itu memasuki Mojokerto. Perumahan penduduk mulai tampak
berjajar.

Permukiman penduduk di Mojokerto kebanyakan berupa pondok-pondok sederhana dari kajang atau
ilalang. Namun, semakin masuk ke dalam kota raja, semakin terlihat Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi keberagaman penduduk dengan aneka jenis rumah,
dari yang paling sederhana hingga yang megah dengan tiang-tiang jati dan genteng dari papan yang
kokoh.

Penduduk Mojokerto saat itu terdiri dari beberapa golongan. Penduduk asli yang menganut agama
Hindu, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibu kota, dan orang-
orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam.

Semakin dekat, semakin nyata kesibukan kota raja. Orang-orang berlalu-lalang dengan aneka kegiatan.
Lelaki dan perempuan hampir semua mengenakan konde. Namun, tak sedikit juga laki-laki Mojokerto
yang membiarkan rambutnya terurai. Rata-rata panjang rambut mereka sampai sebahu.

Mereka sibuk memikul berbagai barang dagangan, berkuda, atau sekadar berjalan-jalan santai. Para
laki-laki ini banyak yang bertelanjang dada dan mengenakan kain yang diikat di pinggang dan
ujungnya jatuh hingga betis. Tapi, tak sedikit dari para lelaki itu mengenakan baju panjang dengan
aneka gambar yang indah. Sementara para perempuan mengenakan kemben yang menutup bagian dada
mereka, dipadu dengan kain panjang hingga mata kaki. Namun, ada juga yang melengkapi kemben itu
dengan ke-baya yang indah.

Kaum laki-laki di antara mereka semua membawa-bawa keris.

Senjata yang berlekuk-lekuk itu terbuat dari besi terbaik dengan gagang dari emas, cula badak, atau
gading gajah yang diukir indah.

Ketika rombongan Cheng Ho mendekat, penduduk Mojokerto langsung terkesima. Mereka


menghentikan kesibukannya, lalu berdiri dengan pandangan takjub.

Di tengah perjalanan, beberapa saat kemudian, Cheng Ho menghentikan rombongannya ketika melihat
barisan prajurit Majapahit yang duduk di atas kuda gagah. Kini, rombongan Cheng Ho berhadapan
dengan prajurit Majapahit itu dalam jarak beberapa tombak saja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Delapan orang bertubuh tegap berada di barisan
paling depan, tampak berbeda dari yang lain. Mereka semua menebar senyum hangat, sambil
menangkupkan kedua tangannya di depan dada, seperti menyembah.

“Laksamana Cheng Ho, sungguh berbangga kami berkesempatan menyambut tamu Majapahit yang
agung.”

Sang Laksamana menyambut salam penghormatan para penyambutnya dengan menjura dan
menebarkan senyum.

“Kenapa jadi begini sungkan? Saya hanyalah utusan Kaisar Ming yang ingin menyampaikan pesan
perdamaian.”

Satu di antara delapan orang bertubuh tegap itu kemudian menghela kudanya agar maju beberapa
langkah. Dia adalah pemuda berkulit sawo matang yang usianya belumlah genap 25 tahun. Tubuhnya
sungguh tegap berisi. Baju lengan panjang bergaris dipadu dengan kain sepanjang lutut yang
membungkus celana panjang hitam, membuatnya terlihat rupawan.

Rahang lelaki muda itu tampak kokoh dengan wajah yang tampak berwibawa. Matanya menyorot
tajam, dengan alis tebal, namun rapi. Hidungnya mancung dan kukuh. Dagunya seperti terbelah.
Bibirnya yang selalu tersenyum menimbulkan lesung pipit di kedua pipinya.

Rambutnya panjang hingga ke bahu, halus, dan hitam legam. Sama seperti tujuh orang di belakangnya,
ia mengenakan ikat kepala yang menjaga agar rambutnya tak awut-awutan.

“Saya Sad Respati, kepala bhayangkari, pasukan khusus Prabu Wikramawardhana. Tujuh orang yang
berada di barisan terdepan ini adalah pasukan inti bhayangkari. Mereka adalah Danurdara, Danu-
maya, Daniswara, Sasmaya, Harimurti, Harsaya, dan Hartaka.”

Sad Respati memperkenalkan satu-satu para anggota bhayangkari yang menemaninya. Setiap ia
menyebutkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi nama, si empunya menganggukkan kepala sambil
memberi hormat.

“Alangkah berlebihan sambutan ini. Pasukan bhayangkari bertanggung jawab penuh terhadap
keselamatan raja.

Bagaimana bisa meninggalkan istana dan menyambut kami di sini?”

“Bhayangkari utama terdiri dari lima belas orang. Selain kami, masih ada tujuh orang yang kini
menjaga Prabu Wikramawardhana. Tuan Ho, raja kami justru ingin menyambut rombongan Tuan
langsung di Pelabuhan Surabaya. Sayangnya, paduka tidak bisa melakukannya.

Karena itu, kami menggantikan prabu untuk melakukan penyambutan ini,”

“Baiklah. Lalu, kapan kami bisa bertemu dengan sang prabu?”

“Kami telah mempersiapkan tempat peristirahatan untuk Tuan dan rombongan di dalam istana.
Setelah beristirahat cukup, tentu saja Tuan tak perlu berlama-lama untuk menemui paduka raja.”

Cheng Ho mengangguk-anggukan kepala. Ia lalu memerintahkan ketiga muridnya untuk mengikuti


anjuran Sad Respati. Lima puluh orang ping-se yang berjalan di belakang mereka pun melangkah
berderap ke arah yang dipandu Sad Respati dan pasukannya.

“Tuan Respati, ini ketiga muridku, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing. Di antara mereka bertiga, baru
Hui Sing yang mampu berbicara dalam bahasa Tuan dengan cukup fasih.”

“Oya? Sungguh pandai murid Tuan. Masih belia, namun sudah memiliki kemampuan yang luar biasa.”

Hui Sing mengangguk tanpa bersuara.

“Hui Sing masih butuh banyak belajar, Tuan. Tentunya selama di Mojokerto ini, kami bisa banyak
belajar dari orang-orang di negeri Tuan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Tentu saja, Tuan Ho. Dengan senang hati.”

Respati hanya sejenak menatap Hui Sing, lalu sibuk berbincang dengan Cheng Ho sepanjang
perjalanan menuju gerbang istana. Selama itu pula, dia tak sekali pun bersikap berlebihan, misalnya
mencuri-curi pandang terhadap dara jelita itu. Sementara itu, Hui Sing pun tampak tak peduli. Ia sibuk
menoleh ke kanan dan kiri, menyaksikan kesibukan di kota raja Majapahit.

Namun, mereka tidak sadar, ada sepasang mata yang mengamati setiap gerak tubuh keduanya. Dengan
jantung yang berdegup kencang penuh rasa khawatir, ia menatap dengan sinar mata berkilat ketika Hui
Sing tersenyum menerima pujian dari Respati. Juga memandang tajam ke arah orang nomor satu di
jajaran bhayangkari itu. Menanti saat ketika pemuda itu mencuri pandang ke arah Hui Sing. Namun,
apa yang diduganya tidak terjadi.

Tiba juga waktunya rombongan Cheng Ho bertemu dengan Prabu Wikramawardhana. Setelah
beristirahat semalam di wisma tamu, Cheng Ho, ketiga muridnya, dan beberapa orang
kepercayaannya, diantar untuk bertemu dengan Raja Majapahit itu.

Langkah yang tak tergesa mulai memasuki kawasan istana raja yang megah dan asri. Istana sang raja
tampak gagah dikelilingi tembok batu-bata yang tingginya mencapai tiga zhang dan lingkarannya
lebih dari dua ratus kaki. Pintu masuk ke bangunan utama dibatasi pintu gerbang yang besar dan berat.

Beberapa prajurit harus beramai-ramai mendorong daun pintu raksasa itu agar para tamu bisa masuk
ke bangunan utama istana raja. Bangunan utama istana itu tingginya tiga sampai empat zhang. Di
dalam istana, terpasang papan yang di atasnya terbentang tikar rotan, tempat orang bersila.

Genteng istana terbuat dari papan kayu keras yang bercelah-celah.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kini, rombongan Cheng Ho telah masuk ke
paseban agung dan disambut oleh bhayangkari.

“Silakan Tuan Ho duduk. Sebentar lagi, sang prabu akan menemui Tuan,” ujar Sad Respati sambil
mengangsurkan tangan kanannya dengan ibu jari yang menunjuk, sedangkan empat jari lainnya
dilipat.

Sambil tersenyum, Cheng Ho menuju salah satu kursi kayu berukir dengan lapis warna kuning emas
yang elok di pinggir tikar rotan. Begitu juga dengan anggota rombongan lain yang memilih tempat
duduknya sendiri-sendiri.

“Gusti Prabu Wikramawardhana rawuh”

Seorang prajurit berteriak lantang dari pendopo istana.

Semua mata tertuju ke arah pintu istana yang menghubungkan ruang pertemuan dengan kompleks
keraton yang tertutup.

Sosok yang penuh wibawa berjalan tegap. Lelaki separuh baya itu mengenakan mahkota berhias
kembang emas di kepalanya. Badan tegapnya dibungkus kain yang dijelujur dengan benang sutra. Pada
pinggangnya terselip dua bilah keris.

Cheng Ho segera berdiri diikuti anggota rombongan lain untuk memberi hormat, sedangkan anggota
bhayangkari dan para prajurit utama istana langsung berjongkok dan menyembah.

“Laksamana Ho, sungguh kami memperoleh kehormatan luar biasa karena kedatangan seorang utusan
Kerajaan Ming yang termasyhur,” ujar sang Prabu begitu ia duduk di atas singgasananya yang
gemerlap.

Di sisi kanannya, seorang lelaki setengah baya berdiri dengan kepala tegak sedikit angker. Dialah
Mahapatih Sadana, orang kepercayaan sekaligus penasihat utama sang Prabu Wikramawardhana.

Prabu Wirakramawardhana terlihat memaksakan diri tersenyum. Menutup rasa gundah yang terlihat
pada garis-garis wajahnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Justru kami yang merasa tersanjung dengan segala penyambutan sang Prabu yang begitu mulia.”
Cheng Ho sudah kembali duduk di kursi seperti semula. Setelah berbasa-basi tentang kesannya seputar
alam Majapahit dan penduduknya, Cheng Ho mulai mengemukakan maksud utamanya datang ke
Majapahit.

“Sebenarnya, tanpa adanya tragedi berdarah di Simongan pun, saya diutus oleh Kaisar Ming untuk
menghadap sang Prabu. Namun, setelah kejadian itu, sekarang saya memiliki dua keperluan bertemu
dengan sang Prabu,” ujar Cheng Ho dengan nada suara yang sedang, tapi berwibawa.

Wikramawardhana mengerutkan dahi. Kini tangan kanannya menopang dagu dan bersiap untuk
mendengarkan setiap kata-kata Cheng Ho dengan saksama.

“Baginda Prabu, mewakili Kerajaan Ming, saya ingin menanyakan, bagaimana mungkin pasukan
Majapahit yang terkenal gagah berani dan teliti, membantai ratusan ping-se Kerajaan Ming hanya
karena sebuah kesalahpahaman?”

“Laksamana, saya pun sangat marah mendengar laporan itu. Hubungan Majapahit dengan Tiongkok
sudah terjalin sangat baik sejak zaman Majapahit berdiri. Tentu saja, kejadian itu sangat memalukan
dan menyedihkan.”

Wikramawardhana tampak begitu murung. Dia diam sejenak. Matanya menerawang.

“Kemenangan terhadap Blambangan pun sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan buat saya.
Bagaimanapun, Bre Wirabumi masih bagian dari Majapahit. Perang saudara berkepanjangan telah
membuat sinar Majapahit semakin meredup.”

Suasana menjadi hening. Cheng Ho sengaja membiarkan sang prabu menyelam dalam renungannya,
sesaat. Dia mencari celah waktu paling tepat untuk memecahkan kekakuan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Laksamana, Turonggo Petak, pemimpin pasukan Majapahit yang secara tidak sengaja menyerang
pasukan Tuan telah saya beri hukuman. Selain dicabut gelar keprajuritannya, dia telah diasingkan. Apa
lagi yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan ini?”

Cheng Ho menghela napas. Sebenarnya, dia ingin Turonggo Petak dihukum lebih dari itu. Namun,
tentu saja, dia merasa tak berhak ikut campur terlalu jauh terhadap keputusan raja.

“Baginda, tentang kebijakan Kaisar Ming, tentu saja saya tak berwenang memutuskannya. Karena itu,
sebaiknya Baginda mengirim utusan ke Tiongkok untuk memberitahukan seluruh kejadian ini. Biarlah
nanti Kaisar Ming yang akan menentukan, ganti rugi apa yang harus dipenuhi oleh Majapahit.”

Wikramawardhana tertegun. Meskipun tak berarti tunduk terhadap kekuasaan Kaisar Tiongkok,
sebagai negeri yang bersahabat, tentu saja kesalahan yang terjadi dalam tragedi Simongan harus
ditebus. Ide Cheng Ho untuk mengirim utusan ke Tingkok menjadi hal yang paling masuk akal.

Dia lalu menoleh ke arah Patih Sadana. Keduanya lalu berbicara dengan nada suara yang rendah,
merundingkan hal tersebut. Air muka sang prabu beberapa kali berubah.

Beberapa saat kemudian.

“Baiklah, Laksamana, saya akan mengirimkan utusan ke Kaisar Ming. Sambil menunggu keputusan
dari kaisar, Tuan dan rombongan tinggallah di Majapahit. Saya kira, jalinan persahabatan antara
Majapahit dan Kerajaan Ming bisa lebih akrab jika Tuan mau tinggal beberapa waktu di Majapahit,
saling bertukar budaya dan pengetahuan.”

Cheng Ho mengangguk-angguk sambil melebarkan senyumnya.


“Baiklah, jika Baginda menghendaki. Sejak awal, kedatangan kami ke Jawa Dwipa memang
mengemban tugas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk menyampaikan pesan perdamaian dari
Kaisar Ming.

Dengan senang hati, kami akan tinggal di Majapahit untuk beberapa waktu.”

Suasana ruang pertemuan itu menjadi cair. Sang prabu kemudian bertitah, agar para dayang
menyuguhkan aneka hidangan istimewa. Obrolan santai pun mengalir tanpa canggung. Cheng Ho
merasa lega karena satu masalah besar telah ditemukan jalan keluarnya. Keputusannya untuk tak
membabi buta, melakukan serangan balasan kepada Majapahit, membuahkan hasil yang diinginkan.

Bahkan, Raja Majapahit rela menekan rasa, hingga mau mengirimkan utusan ke Kerajaan Ming agar
masalah ini tak berujung pada pertumpahan darah.

Padahal, Cheng Ho sempat waswas, tragedi Singosari bakal terulang. Ketika itu, utusan Tiongkok
pulang dengan telinga putus akibat ulah Jayanegara. Beberapa tahun kemudian, ratusan ribu pasukan
Tiongkok datang ke Jawa Dwipa menghancurkan Singosari dibantu oleh Raden Wijaya, yang
kemudian mendirikan Majapahit.

Sekarang, Cheng Ho tinggal memikirkan masalah pribadinya. Apalagi kalau bukan hilangnya Kitab
Kutub Beku yang tak ternilai itu.

Kompleks wisma tamu Keraton Majapahit lengang.

Puluhan tamu dari Kerajaan Ming seperti biasa, memilih keluar kompleks Keraton untuk membaur
dengan warga Majapahit.

Sepekan setelah kedatangan mereka diterima Raja Wikramawardhana, rombongan Cheng Ho mulai
menyebarkan bibit persaudaraan dengan warga Majapahit.

Selain saling tukar cendera mata dan berdagang, mereka juga asyik belajar banyak hal mengenai adat
istiadat masyarakat Majapahit. Tak sedikit para ahli yang dibawa Cheng Ho mulai dari sejarawan,
tabib, dan pemilik kemampuan lain berbagi pengetahuan dengan warga Majapahit. Tak heran jika
siang itu, tinggal beberapa orang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi ping-se yang terlihat sibuk membersihkan ruang
tempat mereka tinggal.

Sementara itu, di kursi taman yang dikelilingi kolam jernih dengan puluhan ikan warna-warni, Hui
Sing duduk anteng.

Pakaian serbasutra biru laut yang ia kenakan, sesekali berkibar terkena angin sepoi yang menyejukkan.
Tatapan mata gadis belia itu tak berujung. Rambutnya yang disanggul rapi kadangkala berkilau diterpa
cahaya matahari yang tak terlalu terik.

Setelah peristiwa terungkapnya pencurian kitab pusaka gurunya, Hui Sing memang berubah menjadi
gadis yang pendiam. Dia juga tak bisa lagi akrab dengan kedua kakak seperguruannya, Juen Sui dan
Sien Feng. Dan, tentu saja itu sangat mengganggunya.

“Nini Hui Sing, apakah tidak sayang, hari yang begini cerah dihabiskan dengan melamun?”

Setengah tersentak, Hui Sing menoleh ke arah datangnya suara berat dan agak serak yang menegurnya
itu. Rupanya, Sad Respati, kepala bhayangkari kepercayaan Prabu Wikramawardhana, sudah berdiri
tak jauh dari tempatnya duduk.

Dia berdiri tegap dengan senyum akrab memperlihatkan barisan giginya yang putih bersih. Lesung
pipit di kedua pipi mempertegas sikap ramah yang diperlihatkannya.

“Tuan Respati.”

Hui Sing tak segera menjawab pertanyaan Respati. Dia hanya tersenyum sambil mencari-cari jawaban
yang paling masuk akal.

“Banyak hal yang bisa Nini lihat di Majapahit.

Saya dengar, Nini menyukai ilmu bela diri. Di Majapahit, banyak padepokan silat yang bisa Nini
kunjungi. Boleh saya duduk, Nini?”

“Ah, tentu saja, Tuan. Saya hanya tamu di sini.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing masih belum menjawab pertanyaan
Respati.

Bahkan, setelah pemuda itu duduk di kursi taman, persis di hadapannya, dan menatap lurus kepadanya.

“Tentang seni budaya tanah Jawa, siapa yang meragukan.

Saya pun sangat kagum dibuatnya, Tuan Respati.”

“Lalu, apa yang menahan Nini untuk mengisi hari yang cerah dengan berkeliling keraton atau keluar
istana?”

“Sebenarnya, beberapa hari ini saya mendampingi guru untuk mengunjungi warga di luar kota raja.
Guru bertukar ilmu cocok tanam dengan mereka. Hanya hari ini, saya merasa agak lelah.”

“O, rupanya saya yang kurang jeli.”

Keduanya tersenyum, tanpa saling menatap satu sama lain.

“Jika Nini tidak keberatan, saya ingin menanyakan sesuatu,”

“Kenapa mesti sungkan, Tuan? Silakan Tuan bertanya.”

Respati diam sejenak. Rupanya, pemuda itu berusaha menyusun kata-kata paling tepat untuk
menyampaikan isi hatinya.

“Beberapa waktu lalu, saya pergi ke Tuban. Di sana, saya bertemu dengan sekelompok pedagang asing
yang selain berniaga, juga membawa ajaran baru. Mereka mengajak untuk menyembah Dewa lima kali
sehari semalam dalam sebuah ritual yang asing. Mengucapkan mantra-mantra berbahasa asing yang
tidak saya pahami. Setelah bertemu dengan rombongan Laksamana Cheng Ho, saya melihat, ada
beberapa anggota rombongan yang melakukan ritual yang sama.” Kening Respati berkerut. “Apakah
anggota rombongan Nini ada yang menganut keyakinan baru itu?”

Hui Sing tersenyum. Dia membiarkan Respati memeras habis segala yang ingin ia ungkapkan
mengenai dugaan-dugaan itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Dugaan Tuan tak salah. Kami penganut I-se-lan, ajaran Thian yang dibawa utusan bernama
Muhammad dari A-la pe-kuo (arab).”

Respati mendengarkan dengan saksama.

“Ajaran itu diturunkan hampir seribu tahun lalu. Mengajak manusia keluar dari kegelapan, menuju
cahaya yang terang benderang. Menyembah Thian, melatih diri dengan menahan segala nafsu, dan
menyantuni orang miskin

“Thian?”

Respati memotong kalimat Hui Sing.

“Penganut I-se-lan menyebutnya Allah, Thian penguasa alam semesta. Seperti halnya Brahma dalam
kepercayaan yang Tuan anut.”

“Allah sama dengan Dewa?”

“Sang pencipta, penguasa segala-galanya.”

“Nini, seperti apa orang I-se-lan memahami Allah?”

“Allah adalah Thian yang Esa. Dia tempat bergantung segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Dia
tak berputra dan tidak dilahirkan oleh sesuatu. Dan tidak ada yang setara dengan-Nya.”

Respati mengalihkan pandangannya ke arah kolam taman yang riuh oleh moncong-moncong ikan
berebut udara. Diam sejenak, berusaha keras memahami kata-kata Hui Sing.

“Saya selalu tertarik untuk mempelajari hal-hal baru. Saya juga pernah berbincang dengan biksu untuk
bertukar pengetahuan. Tak disangka, di dalam keraton pun saya bisa bertemu dengan orang yang
berpengetahuan luas seperti Nini.”

“Tuan terlalu berlebihan. Tapi, rupanya kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga sangat
menyukai hal-hal baru.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati dan Hui Sing tersenyum, lalu saling
memuji pengetahuan masing-masing.

“Jika Nini tak lagi merasa lelah, saya ingin memperlihatkan sesuatu kepada Nini.”

“Hal menarik apakah itu?”

“Di keputren, tempat para putri istana Majapahit tinggal, banyak sekali yang bisa Nini lihat. Nini
pernah melihat orang membatik?”

“Membatik?”

“Ya, menghiasi selembar kain dengan lukisan warna yang khas dan bernilai tinggi. Saya yakin, Nini
akan tertarik.”

“Bagaimana Tuan bisa begitu yakin, saya akan tertarik?”

“Bukankah Nini sendiri yang mengatakan bahwa kita memiliki banyak kesamaan?”

Hui Sing merasa kehabisan akal. Senyumnya

mengembang. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Respati keluar dari wisma tamu.
Mereka berjalan beriringan meninggalkan gapura wisma tamu.

“Apa pendapat Tuan tentang seorang abdi yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk sebuah
kesetiaan, namun akhir hidupnya justru dihinakan oleh orang yang diabdi? Tidakkah menurut Tuan itu
sangat tidak adil?”

Hui Sing tak mau waktu menguap begitu saja. Sambil tak melepas pandangan dari kesibukan para abdi
di kompleks keraton, dia mengajak Respati berbincang.

“Belum tentu. Bisa jadi itu adalah karma yang harus dipikul orang tersebut.”

Respati memilih jeda. Ia menyempatkan diri untuk menganggukkan kepala saat sekelompok prajurit
yang berjalan dari arah berlawanan berhenti sejenak, lalu memberi hormat dengan menangkupkan
telapak tangan mereka.

“Karma?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing menunggu sampai prajurit-prajurit itu
berlalu, sebelum menggenapkan keingintahuannya tentang kata asing yang baru pertama kali ia dengar
itu.
“Kami percaya adanya suatu hukum sebab akibat yang disebut Karma Pala. Hukum usaha dan hasil
yang berlaku untuk seluruh alam semesta.

Suatu kejadian adalah akibat dari suatu peristiwa yang saling berkaitan. Setiap ada suatu peristiwa
atau kejadian, pasti melalui suatu tahapan.”

“Bukankah dengan demikian, orang beramal baik akan mendapatkan balasan yang baik pula?”

Respati tersenyum lebar. Dua lesung pipitnya terlihat nyata.

“Nini benar-benar selalu ingin tahu. Nini, kami yakin kelahiran manusia adalah suatu punarbawa.
Punar artinya kembali dan bawa artinya lahir. Jadi, punarbawa adalah suatu kelahiran yang berulang.
Kelahiran yang biasa disebut dengan penitisan atau samsara. Kalau ada kelahiran berulang-ulang,
berarti ada kematian yang berulang-ulang atau hidup yang berulang-ulang,”

Respati menyatukan telapak tangannya ke belakang pinggang sambil melanjutkan kata-katanya.

“Melalui atman sebagai percikan brahman, makhluk dapat menikmati kehidupan. Akibat atman, maka
ada kehidupan di dunia ini dan atman dalam tahap menghidupkan akan berpindah-pindah dan
berulang-ulang dengan menggunakan badan yang berbeda-beda melalui punarbawa, yaitu penjelmaan
kembali sebagai makhluk.”

Hui Sing mengerutkan kening. Tangannya asyik memainkan ujung rambutnya yang terurai panjang.

“Saya tidak paham apa itu atman.”

“Hubungan antara atman dengan badan adalah seperti kita memakai baju, kita adalah atman dan baju
adalah badan kita.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Apabila baju telah usang, baju tersebut akan
dicampakkan dan kita sebagai atman akan mencari pengganti baju baru ini. Ini yang disebut dengan
purnabawa.”

“Lalu, bagaimana hukum karma berlaku kepada abdi yang saya sebut tadi?”

“Nini, sebenarnya saya hanya mengetahui sedikit mengenai hal ini dari membaca kitab. Jika Nini
ingin betul-betul memahami keyakinan ini, saya bisa mempertemukan Nini dengan seorang guru.”

Hui Sing tersenyum tanpa langsung menjawab. “Itu bisa nanti saja. Menurut Tuan, apa yang tertulis
dalam kitab yang Tuan baca tentang abdi yang malang itu?”

“Di antara banyak karma, kami mengenal san-cita karma, yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di
dunia ini, yang hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang di dunia ini.”

Keasyikan obrolan antara Respati dan Hui Sing membuat perjalanan mereka terasa sangat singkat.
Gapura keputren sudah di depan mata.
“Pada saat purnabawa, manusia akan membawa karmanya terdahulu, apakah karmanya baik atau
buruk.

Sebab, atman yang ada dalam kandungan dibungkus dengan karma terdahulu masih melekat, dibawa
sampai lahir, dan selama hidup di dunia.”

“Sampai kapan itu akan berlangsung?”

“Purnabawa dan hukum karma saling berkaitan dan berhubungan. Purnabawa pasti akan membawa
hukum karma.

Selama hukum karma masih melekat pada atman, purnabawa akan terus berulang. Kecuali bila hukum
karma sudah habis, atman akan menyatu dengan Brahman. Ini yang disebut dengan moksa (menyatu
dengan Tuhan).”

Hui Sing mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya, ia banyak bertanya tentang karma itu karena masih
tak mengerti, mengapa Ki Legowo mengalami nasib yang demikian naas.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Seumur hidup mengabdi demi kepentingan Raja
Majapahit, namun akhir hidupnya begitu tragis, tewas dibantai oleh prajurit Majapahit karena
dianggap memberontak.

Bukan tak tanggap dengan keingintahuan Hui Sing, Respati memang sengaja tak menanyakan alasan
kenapa tamunya itu menanyakan hal tersebut. Awal pertanyaan Hui Sing pun sudah dipahami betul
oleh Respati bahwa perempuan cerdas itu memancingnya untuk membicarakan kematian Ki Legowo,
mantan bhayangkari kenamaan itu.

Hanya karena persoalan itu demikian rumit, dan menyangkut Raja Majapahit, Respati enggan
membicarakannya. Sementara Hui Sing masih bergelayut dalam lamunannya, Respati memberi tanda
kepada prajurit penjaga gapura agar diperbolehkan masuk ke keputren. Keduanya lalu memasuki
lingkungan keputren yang terlihat asri dan tertata apik.

Kesan hijau mengental karena aneka tumbuhan sengaja ditanam di setiap sudut. Semakin ke dalam,
nuansa warna semakin kaya. Aneka bunga dan tumbuhan berwarna-warni membuat pandangan mata
begitu nyaman dan takjub.

“Indah sekali, Tuan Respati.”

Sad Respati menjawab tanpa kata-kata. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sesaat tidak ada
obrolan di antara mereka. Hui Sing begitu menikmati keberadaannya di tempat itu. Beberapa kali dia
menjawab salam sambil tersenyum ketika para dayang berkemben berpapasan dengan mereka.

Beberapa saat kemudian, denting bunyi-bunyian yang asing namun terdengar nyaman menyelusup di
gendang telinga Hui Sing. Pasti bunyi-bunyian itu keluar dari berbagai benda. Sebab, Hui Sing
menangkap tak hanya dua atau tiga jenis bunyi yang terdengar.

“Kami menyebutnya gamelan, Nini Hui Sing.”


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing seperti terbangun dari keterpanaan-nya.
Sambil mengangguk, ia mengikuti langkah Respati menuju sebuah bangunan luas tanpa dinding.
Tiang-tiang kayu berukir menyangga bangunan berlantai marmer itu. Atapnya berupa papan-papan
kayu yang tertata rapi.

Di dalam bangunan itu, belasan perempuan setengah baya berkemben dan berkonde besar, duduk
timpuh di belakang alat-alat tetabuhan berupa lempengan logam yang ditata memanjang. Lempengan-
lempengan logam itu dikaitkan dengan tali dan diletakkan pada kayu yang berbentuk seperti meja
berukir.

Para perempuan itu masing-masing memegang alat tabuh di tangan kanan. Bentuknya seperti palu
yang terbuat dari kayu, sedangkan tangan kiri mereka memegang ujung lempengan logam setiap kali
tangan kanannya mengayun memukul pelan lempengan itu.

Ada dua orang perempuan yang tidak menghadapi alat tetabuhan seperti yang lain. Mereka hanya
duduk timpuh sambil bernyanyi dengan suara melengking merdu. Hui Sing benar-benar terpana. Dia
lalu mengalihkan pandangannya ke barisan belakang. Di sana ada beberapa laki-laki yang cukup tua
memainkan kecapi. Ada juga yang duduk menghadap benda logam besar yang hanya beberapa kali
dipukul dengan suara yang menggaung.

Sementara itu, di bagian tengah bangunan pendopo, lima perempuan muda menari dengan lemah
gemulai mengikuti denting bebunyian itu. Satu orang yang ada di bagian paling depan begitu menarik
perhatian. Gerakannya gemulai.

Kelihatan betul larut dalam lakon tari yang ia bawakan.

Pandangan matanya sayu, tak jelas apa yang dipandang.

Perempuan belia itu betul-betul mewakili kecantikan seorang putri keraton. Kulitnya kuning langsat
dan bercahaya.

Wajahnya lembut sekaligus berwibawa. Rambut hitamnya digelung bertabur melati. Ia mengenakan
kemben yang ditutup baju sutra cokelat polos, disambung dengan kain panjang bergambar. Dia
memimpin empat perempuan lain di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi belakangnya melakukan gerakan tari yang gemulai
dengan serempak.

Gerakan tari yang pelan sambung-menyambung penuh emosi, tertata, dan terjaga. Sampai suatu
puncak yang ditunggu, pukulan gong menggema bersama ujung gerakan tari itu.

Hui Sing berdiri tertegun. Dia tak berkata apa-apa, matanya pun tak menjelaskan apa pun. Seperti
bocah yang baru pertama kali melihat keramaian kota raja. “Cantik sekali Respati tersenyum
mendengar Hui Sing bergumam takjub.

“Namanya Dewi Anindita, putri Mahapatih Sadhana.”


“Pantas jika Tuan begitu kerasan berada di lingkungan keputren. Para putri demikian jelita dan pandai
menari.”

“Ikutlah dengan saya. Akan saya perkenalkan Nini dengan mereka.”

Hui Sing tersenyum, lalu mengikuti langkah Respati ke pendopo. Begitu sampai di bangunan berlantai
marmer itu, orang-orang yang berada di sana memberi hormat dengan takjim. Begitu pula dengan para
putri yang tadi menari.

“Kakang Respati, ada angin apa hingga Kakang berkenan mengunjungi keputren?”

Suara halus setengah lirih keluar dari bibir Anindita, perempuan gemulai yang oleh Respati disebut
sebagai putri Patih Sadhana itu.

“Nimas, Kakang ingin memperkenalkan Nimas dengan Nini Hui Sing, murid Laksamana Cheng Ho,
tamu agung Prabu Wikramawardhana,”

Pandangan mata Anindita beralih ke Hui Sing. Ia tersenyum tulus.

“Nini Hui Sing, sungguh sebuah kehormatan bagi saya karena hari ini bertemu dengan Nini.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum pula sambil menangkupkan
kedua telapak tangannya.

“Sayalah yang merasa tersanjung, Putri. Bertemu dengan putri keraton dan menyaksikan tahan yang
demikian indah, tentulah pengalaman yang tak dialami semua orang.” Anindita tersipu.

“Nimas, Nini Hui Sing ingin mengetahui tata cara membatik. Jika Nimas tidak sibuk, barangkali bisa
menemani tamu kita ini.”

“Tentu saja, Kakang. Nini Hui Sing, kapan pun Nini ingin mempelajari seni batik, saya akan
menemani Nini.”

Hui Sing terkesan dengan sikap ramah dan lemah lembut perempuan di depannya. Untuk pertama kali,
ia merasa tak sebanding jika disejajarkan dengan perempuan seperti Anindita. Setiap gerakannya
seperti mewakili kesempurnaan perempuan. Begitu tertata, penuh perhitungan, penuh tata krama, dan
gemulai.

“Tentunya akan sangat merepotkan Anda, Putri.”

“Panggil saja Anindita.” Hui Sing tersenyum sambil mengangguk sepakat.

“Kalau demikian, kau pun cukup memanggilku Hui Sing.”

Respati tersenyum lega. Bahkan, pemuda itu tak tahu alasan apa yang membuatnya harus merasa lega.

“Kalau begitu, saya kembali ke griya bhayangkari. Jika Nini Hui Sing butuh sesuatu, silakan bicara
dengan Anindita.”

“Terima kasih sekali, Tuan Respati.”

Respati kemudian membalikkan badannya dan berjalan menuju gerbang keputren. Dia melangkah
gagah tanpa keraguan. Sebilah keris yang ia kenakan di punggung menambah pekat wibawanya.
Pusaka itu memang sangat berbeda.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ukurannya saja sudah sangat berlainan dengan
keris yang dimiliki para prajurit Majapahit. Meskipun bentuknya serupa, keris bergagang gading
kokoh itu memiliki panjang nyaris satu lengan orang dewasa. Beda dengan keris kebanyakan yang
rata-rata berpanjang tak sampai setengahnya.

Nama pusaka itu, Angga Cuwiri. Meskipun wujudnya masih bersembunyi di balik warangka baja yang
diukir indah, tapi aura pusaka itu sudah menyebar dan membuat setiap orang yang menatapnya
langsung terpesona.

Setelah sosok Respati menghilang dari gerbang keputren, Anindita mengajak Hui Sing masuk ke salah
satu bangunan di kompleks keputren. Di salah satu ruangan bangunan beratap papan kokoh itu,
Anindita mempersilakan Hui Sing duduk di atas tikar pandan yang bersih.

Anindita yang sempat berpamitan, beberapa saat kemudian kembali ke ruangan itu dengan membawa
selembar kain yang sangat indah. “Inilah yang dinamakan batik, Hui Sing.”

Anindita membiarkan Hui Sing meraba lukisan di atas kain elok itu. Dengan saksama, Hui Sing
meneliti gambar yang tampak hidup. Ada burung-burung berlompatan di atas dahan-dahan pohon yang
rindang. Juga ikan yang berenang di dalam kolam. Hui Sing takjub dibuatnya.

“Kau pasti akan kesulitan menemukan kain seperti ini di luar keraton, Hui Sing.”

Hui Sing sedikit mendongakkan kepalanya, ingin tahu.

“Di luar istana, orang masih menggunakan daun kajang sebagai sarana untuk membuat gambar-
gambar. Membatik di atas kain baru dilakukan oleh sedikit orang di dalam keraton.”

“Sangat sulitkah?”

“Hanya ahli yang bisa melukisnya dengan baik. Lagi pula, butuh waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikan selembar kain batik.”

“Kau bisa melakukannya, Anindita? Bagaimana caranya?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita tersenyum ayu.

“Aku sedikit bisa, tapi tak ahli. Akan kutunjukkan caranya padamu.”
Anindita bangkit dari duduknya, lalu kembali menyelinap ke balik pintu bangunan itu. Tak lama, dia
kembali membawa kain putih polos di tangan kanannya. Di belakangnya, seorang perempuan abdi
membawa seperangkat alat yang sama sekali tak dikenal oleh Hui Sing.

“Kami menamakan alat ini canting. Alat ini digunakan untuk menyimpan cairan tinta yang dipanaskan
terlebih dulu.”

Hui Sing enggan berkomentar. Dia memperhatikan betul, bagaimana luwesnya Anindita menjaga api
di dalam tungku mungil di sebelahnya agar menyala sedang. Sementara, perem-puan abdi yang
umurnya pasti sudah lebih dari lima puluh tahun itu kemudian meletakkan sebuah benda dari besi
berbentuk cekung yang ukurannya pun begitu mungil, di atas api yang menyala.

Di atas lempengan berbentuk cekung itu, Anindita meletakkan gumpalan-gumpalan benda warna
cokelat yang cepat mencair begitu bersentuhan dengan besi yang telah panas oleh api.

Masih dalam sikap duduk timpuh, Anindita menggerakkan canting ke lempengan besi cekung. Benda
yang disebut canting, rupanya digunakan layaknya gayung. Dengan alat itu, Anindita mengambil
cairan mendidih di atas besi cekung tadi.

Setelah meniup-niupnya beberapa saat, Anindita mulai membuat pola-pola di atas kain putih. Selain
memiliki cekungan untuk tempat cairan panas, canting juga memiliki moncong kecil panjang yang
digunakan membentuk pola-pola yang rapi dan teliti.

Cairan tinta panas di dalam cekung canting pelan-pelan digunakan untuk membuat pola dan lukisan di
atas kain melalui moncongnya. Sekali lagi Hui Sing takjub. Dia betul-betul tak tertarik untuk
berbicara.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Matanya telaten memperhatikan setiap gerakan
kecil yang dilakukan Anindita saat melukis. Sambil menebak-nebak gambar apa yang tengah dibuat
oleh Anindita, Hui Sing tak berhenti mengagumi keluwesan Anindita melakukan pekerjaannya.

Hui Sing melihat aura ketenangan dan kesabaran dalam setiap goresan tangan Anindita. Ketabahan
yang demikian tinggi pada sorot mata perempuan yang saksama menjaga setiap coretan tangannya
agar tak melenceng.

“Kira-kira seperti ini. Maaf, saya tak bisa melakukan dengan lebih baik.”

Hui Sing sampai tak bisa berkata-kata. Dia masih terlalu kagum untuk menjawab basa-basi Anindita.
Dia serta-merta menerima kain putih yang kini salah satu sudutnya sudah dilukisi gambar kupu-kupu.

“Bicara apa kau, Anindita? Ini sungguh sudah luar biasa bagiku.”

Hui Sing lalu meneliti setiap titik pada gambar sepasang kupu-kupu yang sedang bercengkerama di
atas tangkai bunga.

“Jika ini adalah kamu, lalu siapakah kupu-kupu satunya?”


Anindita tersipu tanpa menjawab kalimat Hui Sing.

“Maaf kalau saya terlalu sembrono. Tapi lukisanmu sungguh hidup, Anindita. Kalau kau tak
berkeberatan, aku ingin belajar darimu.”

“Dengan senang hati, Hui Sing.” Rentang waktu hingga menjelang siang dimanfaatkan betul oleh Hui
Sing untuk belajar membatik. Darahnya berdesir ketika meyakini, melatih kesabaran dalam membatik
sama saja menempa setiap jurus thifan pokhan. Sama-sama membutuhkan kesungguhan total dan
ketekunan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Meskipun tidak langsung bisa membuat pola-pola
sempurna, toh Hui Sing mampu membuat Anindita kagum oleh kecepatannya belajar.

“Jika sudah jadi, digunakan untuk apa kain batik ini, Anindita?”

“Di keraton, batik menjadi bagian dari tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan sopan santun.”

Hui Sing semakin tertarik. Dia memperbaiki sikap duduknya sambil menajamkan pendengarannya.

“Pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran harus menaati segala peraturan yang berlaku.
Misalnya, pemakaian kain batik untuk kalangan perempuan harus menutupi mata kaki. Kalau
memakai kain batik jauh lebih tinggi dari mata kaki, hal itu bisa diartikan bahwa wanita tersebut tidak
paham adat, serta kurang paham kesopanan.”

Anindita kagum dengan kesungguhan Hui Sing menyimak setiap kata-katanya. Ia tersenyum.

“Untuk perempuan, pemakaian lembaran kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri
pinggang pemakainya, dan ujung kain batik lainnya melingkari tubuh ke arah kanan.

Sehingga ujung kain batik yang di-wiru (lipatan pada kain) berada paling atas dan ke arah kanan
pinggang pemakainya.”

“Apa itu wiru?” Anindita sedikit mengangkat lipatan bertumpuk pada ujung kain yang ia kenakan.
Lipatan bertumpuk itu mengunci kain batik yang ia kenakan.

“Inilah yang kami sebut wiru.”

“Indah sekali. Aku pikir, wiru inilah yang ketika engkau menari menambah anggun gerakanmu. Tapi,
kenapa seperti ada perbedaan cara memakai kain batik antara kaum perempuan dan kaum pria,
Anindita? Waktu aku bertemu dengan Prabu Wikramawardhana, beliau juga mengenakan kain ber-
wiru, hanya seingatku ada yang sedikit berbeda.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau sungguh jeli, Hui Sing. Memang ada kekhususan pada cara pemakaian kain batik bagi kaum pria.
Cara pemakaiannya dengan memasukkan ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi
kain batik yang melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri sehingga ujung kain batik yang
di-wiru berada di tengah menghadap ke kiri.”

Anindita bangkit dari duduk. “Mbok, tolong ambilkan epek dan beting.”

Setelah mengiyakan, perempuan abdi itu kemudian menghilang di balik pintu yang menghubungkan
ruang itu dengan kamar pribadi Anindita. Tak mesti menunggu lama, perempuan sepuh itu sudah
muncul dengan barang yang dipesan Anindita.

Sambil tersenyum dan berterima kasih, Anindita mulai mengenakan kain batik setengah jadi yang tadi
ia lukisi sepasang kupu-kupu riang. Setelah melakukan tahap yang ia katakan sebelumnya, ia lalu
mengikat bagian atas kain batik dengan ikat pinggang khusus yang ia sebut epek, serta kain pengikat
pinggang yang panjang.

Ia lalu menutup bagian itu dengan kain beting, ikat pinggang panjang yang terbuat dari kain beludru
bergambar kembang-kembang.

“Untuk pria, biasanya pemakaian kain batik ini dilengkapi dengan baju bernama beskap. Dengan
mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris yang terselip di lipatan ikat pinggang dan
kepala ditutup kuluk, terasalah kebesaran jiwa.”

Hui Sing mengangguk-angguk. Rasanya, hari itu akan habis oleh obrolan-obrolan tentang batik yang
membuat ketertarikan Hui Sing demikian tersedot. Namun, begitu sadar matahari sudah bergeser dari
garis lurus bayangan manusia, Hui Sing bergegas pamit kembali ke wisma tamu dan berjanji akan
datang sewaktu-waktu untuk belajar lebih banyak lagi.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Sien Feng, apakah kedatanganku mengganggu?”

Sien Feng menggelengkan kepala, lalu menggeser duduknya, memberi kesempatan kepada Juen Sui
untuk ikut menikmati suasana petang di taman wisma tamu keraton Majapahit itu. Dia sedang
melamun, ketika kakak seperguruannya itu muncul.

Begitu duduk di bangku taman, Juen Sui melepas napas panjang, sambil mengedarkan pandangannya
ke pelosok taman. Tak ada percakapan hingga beberapa saat.

“Tidakkah kau merindukan kebersamaan kita dulu, Adik Feng? Bertiga dengan Hui Sing, kita terbiasa
menghabiskan waktu dengan bercengkerama dan berlatih thifan. Rasanya, sudah lama sekali saat-saat
menyenangkan itu berlalu.”

Sien Feng belum mengalihkan pandangannya dari serombongan kupu-kupu yang terbang kagok di
antara rumpun bunga di taman itu. Gerakan mereka malu-malu.
“Kakak, sejak awal, aku sangat tidak ingin hal ini terjadi.

Tentang hilangnya Kitab Kutub Beku milik guru pun, aku yakin orang lain yang mencurinya. Tapi
keadaan ini sungguh tak bisa dihindarkan.”

Sekarang Sien Feng menatap langsung Juen Sui, menunggu komentar.

“Kau betul. Sejak awal, aku pun sangat yakin ada seseorang yang memanfaatkan kelengahan kita
untuk memecah belah perguruan.”

Juen Sui memejamkan mata, menahan beban rasa yang demikian berat.

“Aku memikirkan guru dan Hui Sing. Mereka begitu yakin bahwa pencuri kitab itu adalah satu di
antara kita. Bagaimana mungkin sekeji itu?”

“Kakak, aku rasa kita harus berkepala dingin. Paling tidak, sementara ini kita jangan memperkeruh
suasana, sambil tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menyelidiki siapa yang bar-tanggung jawab
terhadap kejadian ini.”

“Aku setuju, Adik Feng. Kau sendiri kapan terakhir berbicara dengan Hui Sing?”

“Waktu di kapal itu. Sudah sangat lama. Sekarang, kelihatan sekali dia enggan berbicara kepadaku.”

“Aku merasakan hal yang sama, Adik Feng. Apalagi sekarang Hui Sing telah punya teman baru.”

“Teman baru?”

“Apakah kau tak memperhatikan? Hui Sing demikian akrab dengan Sad Respati, kepala bhayangkari
Majapahit.”

“Ya, aku pun sering melihat mereka berdua. Tapi aku kira itu wajar karena Hui Sing memahami
bahasa orang Majapahit dengan baik. Tentunya jika kita menguasainya, kita pun melakukan hal yang
sama.”

Juen Sui mengangguk-angguk.

Sementara Sien Feng merasa heran sekaligus lega. Kini, justru Juen Sui bisa bicara demikian terbuka
dengannya.

Sebab dulu, meskipun bersama-sama dalam setiap latihan yang diberikan gurunya, Juen Sui jarang
sekali berbicara panjang lebar dengannya. Setiap peristiwa seburuk apa pun itu, selalu meninggalkan
perubahan yang baik, jika dipahami dengan arif.

0oo0

Pagi yang cerah …


Kelopak mata Hui Sing sesekali mengerjap. Inginnya dia terus menatap kelincahan Empu Prabaswara
membakar lalu memukul baja hitam yang akan dijadikan sebilah keris itu secara bergantian.

“Empu Prabaswara adalah satu di antara sedikit empu berkemampuan mumpuni di Mojokerto.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati memahami kekaguman Hui Sing dan
berusaha memberikan pengertian sejelas-jelasnya kepada perempuan yang selalu ingin tahu itu.

Ruang pembuatan keris itu sebenarnya sangat jarang menarik perhatian perempuan. Segala yang ada
di ruangan itu berbau kasar dan kotor. Besi-besi berserakan, warna legam di mana-mana, dan percikan
api yang membuat waswas tentu tak membuat nyaman.

Tapi bagi Hui Sing yang selalu menggebu setiap melihat hal-hal baru, kenyataan itu sama sekali tak
mengganggu.

Meskipun demikian, Respati tak mau membiarkan Hui Sing berlama-lama di ruangan itu hingga
wajahnya yang mulus jadi menghitam. Ia mengajak gadis itu keluar dari ruang pembuatan keris.
Respati lalu mengajaknya ke pendopo padepokan Empu Prabaswara. Mereka duduk berhadapan.

“Banyak sekali hal baru yang saya temui di sini, Tuan Respati. Cara pembuatan keris itu juga begitu
mengagumkan.”

“Nini Hui Sing, Nini sudah tak sungkan lagi dengan Anindita. Bisakah Nini bersikap sama terhadap
saya? Saya canggung dengan kata tuan yang Nini ucapkan.”

Hui Sing tersenyum sambil menebak-nebak arah bicara Respati.

“Lalu, kenapa Tuan masih memanggil saya dengan sebutan Nini?”

“Oh, baiklah. Kalau begitu, aku akan memanggilmu Hui Sing, agar tak sungkan lagi.”

“Begitu lebih baik. Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?”

“Karena kau jauh lebih muda dibandingkan aku, kenapa tak kau panggil aku Kakang saja?”

“Kenapa tidak, Kakang Respati? Nah, sekarang aku ingin menanyakan kebenaran tentang kedahsyatan
pusaka Angga Cuwiri milikmu, Kakang.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Dari mana kau mendengar hal yang terlalu dilebih-lebihkan itu, Hui Sing? Memang Angga Cuwiri
adalah pusaka warisan keluarga yang sangat aku jaga. Namun, kehebatan yang banyak dibicarakan
orang terlalu dilebih-lebihkan.”

“Tak akan ada asap tanpa api. Aku kira, tanpa ada keagungan di belakang pusaka itu, mustahil orang-
orang demikian mengaguminya.”

Respati tersenyum. Dia merasa kalah dan terjebak. Tanpa diminta, ia lalu melepaskan Angga Cuwiri
dari simpul tali di punggungnya. Hui Sing berdecak kagum melihat ukiran elok dan halus pada
warangka keris yang berukuran istimewa itu.

Menuntaskan rasa penasaran Hui Sing, Respati mengeluarkan keris itu dari warangkanya dengan
perlahan.

Bertambah takjublah Hui Sing sekarang. Baja hitam berpamor biru kering menyebar aura yang pekat.
Sembilan lekukan mulai pangkal keris hingga ujung yang meruncing jelas merupakan hasil dari
tempaan seorang ahli yang mumpuni dan paham betul akan keindahan.

“Keris ini usianya hampir satu abad. Pembuatnya adalah Empu Angga Cuwiri yang sangat terkenal di
Majapahit. Ini karyanya yang terakhir.”

“Mengapa ukurannya begitu berbeda dengan keris yang lain, Kakang?”

“Empu Angga Cuwiri sengaja membuat keris ini untuk seorang sahabat karibnya bernama Pranawa. Ia
ingin membuat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Untuk menyelesaikan keris ini, ia membutuhkan
waktu lima tahun.”

“Begitu lama?”

“Ya, karena Empu Angga ingin karyanya sempurna.

Bahkan untuk mendapatkan logam sebagai bahan dasar kerisnya pun, dia rela menjelajah Nusantara
selama bertahun-tahun.”

“Orang bernama Pranawa itu demikian istimewa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Persahabatan mereka lebih murni dibandingkan ketaatan hamba kepada rajanya.”

“Lalu, bagaimana keris itu bisa berada di tangan Kakang?”

Respati kembali tersenyum sambil memasukkan kembali keris Angga Cuwiri ke dalam warangkanya.

“Pranawa adalah seorang bhayangkari kerajaan Majapahit pada zaman Ratu Tribuwanatung-gadewi.
Dia kakek buyutku.”

Hui Sing mengangguk maklum.

“Aku sudah menunjukkan benda paling berharga yang kumiliki. Bagaimana denganmu, Hui Sing? Aku
dengar, kau pun memiliki sebuah senjata yang sangat menakjubkan.”
“Ya, kata-kata. Apakah Kakang tak merasa kata-kataku merupakan senjata yang mematikan?”

“Maksudku, senjata untuk melindungi diri. Senjata untuk melumpuhkan musuh.”

Kini, Hui Sing tak bisa lagi bersilat lidah.

“Baiklah.”

Itu saja yang dikatakan Hui Sing. Ia lalu bangkit dan berjalan menuju halaman padepokan. Respati
masih belum beranjak dari duduknya. Ia keheranan.

“Katanya, Kakang ingin melihat senjata andalanku. Apa lagi yang ditunggu?”

Respati tersenyum masygul. Dia mulai menangkap jiwa periang yang cenderung seenaknya dalam diri
Hui Sing.

Sesuatu yang tabu dalam pandangan masyarakat Jawa yang penuh tatanan, tapi justru mengundang
rasa penasaran di dada Respati.

“Aku sudah di sini, mana pusaka ampuhmu itu?” Respati berdiri tegak lima tombak di depan Hui Sing
yang masih berdiri tenang. “Ini!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati buru-buru memalingkan wajah untuk

menyelamatkan pandangan matanya dari sinar menyilaukan yang keluar dari lubang lengan Hui Sing.
Tapi untuk tetap berdiri tegak di sana jelas keputusan yang salah. Apalagi ia merasakan desakan angin
yang menderu ke arahnya.

Pemuda cakap itu langsung melakukan salto ke belakang, tanpa tahu, sinar apa yang kini terus
memburunya. Sementara itu, Hui Sing terus memburu Respati dengan sabuk peraknya yang istimewa
itu. Sabuk lembek seperti beludru namun kuat seperti baja itu, membentuk lingkaran-lingkaran maut
yang terus berubah-ubah.

Hui Sing terus mengubah-ubah serangannya sambil bergerak lincah seperti putri yang sedang menari.
Setelah lewat lima jurus, Respati yang terus-menerus menghindar baru menyadari bahwa sinar
menyilaukan itu berasal dari sabuk perak yang memantulkan cahaya matahari.

Pemuda itu masih mereka-reka arah serangan Hui Sing sambil menunggu titik lemah jurus itu.
Namun, ternyata hal itu sama sekali tidak mudah. Hui Sing terus memburunya dengan serangan yang
jauh lebih berbahaya. Ujung sabuk itu kini memburu kepala Respati sepenuh hati.

Respati kerepotan setengah mati menghindari ujung sabuk yang diyakininya bisa menghancurkan
benda sekeras batu sekali pun. Beberapa kali ia mesti menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-guling.

“Aku akan memaksa kau mencabut kerismu, Kakang!”

Hui Sing berteriak lantang tanpa mengendurkan serangannya yang kian gencar. Respati tahu betul Hui
Sing ingin tahu kehebatan Angga Cuwiri. Namun, ia pun bukan pendekar kelas coro yang gampang
terpancing. Dia akan berusaha keras untuk menundukan serangan Hui Sing tanpa harus menggunakan
senjata andalannya.

“Hup!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati melompat ke udara sambil menangkap
sabuk perak. Tapi dia keheranan bukan main ketika dengan sangat mudah, Hui Sing meloloskan
sabuknya dari genggaman erat tangannya. Sabuk itu selicin belut. Bahkan setelah Respati
mengerahkan tenaga dalam untuk menahannya dalam genggaman, tak ada hasilnya sama sekali.

Dalam sekejap, justru ujung sabuk itu kembali menukik ke arahnya. Sreng!

Tak ada pilihan. Respati akhirnya mencabut keris Angga Cuwiri dari warangkanya. Hui Sing girang
bukan main karena bisa memaksa pemuda itu melakukan hal yang diinginkannya.

Dia seperti mendapat tambahan tenaga untuk menyerbu Respati dengan jurus-jurus mautnya.

Kini, sinar perak menyilaukan dari sabuk Hui Sing menggulung sinar biru yang keluar dari pamor
keris Angga Cuwiri di tangan Respati. Keduanya memutar otak untuk mengakhiri adu kekuatan itu
dengan kemenangan.

Tapi nyatanya, mereka sama-sama tak menemukan jalan pintas. Apalagi, Hui Sing dan Respati sama-
sama tak ingin sungguh-sungguh melukai lawannya.

“Cukup, Hui Sing!”

Tubuh Respati melenting ke arah belakang, lalu mendarat ke tanah dalam keadaan siap siaga.
Sementara, Hui Sing menyentakkan sabuknya kembali ke genggamannya.

“Kalau diteruskan, salah satu di antara kita pasti terluka.”

Hui Sing mengangguk sambil mengatur napasnya yang sempat kacau.

“Angga Cuwiri benar-benar hebat, Kakang.”

Respati menghampiri Hui Sing setelah memasukkan kembali Angga Cuwiri ke warangkanya.

“Senjatamu juga istimewa. Di tanah Jawa Dwipa, ada juga perempuan pendekar yang menggunakan
selendang sebagai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi senjata. Namun, aku belum pernah bertemu senjata
sejenis itu yang memiliki kelenturan dan keistimewaan seperti sabukmu.”

“Sabukku ini terbuat dari benang istimewa. Guru memesannya kepada seorang ahli di Tiongkok.
Meskipun bentuknya sabuk, namun kuatnya tak kalah dengan baja dan kelembutannya tak kalah oleh
beludru.”
“Sinarnya juga sangat menyilaukan. Apalagi tenaga dalammu juga sudah begitu baik. Aku hampir
kalah tadi.”

“Kurasa Kakang terlalu merendah. Lain kali mungkin kita bisa berlatih lagi.”

Respati mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu mengajak Hui Sing kembali ke pendopo untuk
menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan oleh pengurus padepokan.

“Malam ini purnama penuh. Aku dan dan calon istrimu berjanji untuk berjalan-jalan keluar keraton
dan meneruskan pelajaran membatik.”

“Calon istriku?”

“Ya. Dewi Anindita. Apa Kakang lupa akan hal itu?”

“Rupanya sudah demikian jauh obrolan kalian, ya?”

“Kakang sangat beruntung bisa memperistri perempuan seperti Anindita. Dia sosok perempuan
sempurna.”

Respati memilih duduk di depan meja kecil di pendopo, sedangkan Hui Sing bersila di hadapannya.
“Sempurna?”

“Ya. Anindita begitu lembut, tahu segala hal. Mewarisi darah biru, dan tentu saja jelita.”

“Itukah kesempurnaan seorang perempuan?”

Hu Sing mengerutkan dahi. “Memangnya, seperti apa Kakang memahami seorang perempuan yang
layak dicintai?”

“Tentu saja yang hatinya rupawan.”

“Anindita pun memilikinya, bukan?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Ia mengalihkan pandangannya
sambil sedikit tersenyum.

“Ya, tentu saja. Anindita memiliki hati yang rupawan,”

ujarnya lirih.

“Bagaimana rasanya memiliki hati yang berdebar-debar menunggu pernikahan, Kakang?”

Respati tak menjawab. Sepertinya ia tak mendengar karena pikirannya tenggelam dalam lamunan.

“Kakang Respati”

“Apa? Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu.”


“Ah, tentunya tentang pernikahan kalian bulan depan, ya?”

Respati lagi-lagi tersenyum setengah tersipu.

“Ya, aku memikirkan pernikahan kami.”

“Prabu Wikramawardhana begitu mengistimewakanmu, Kakang. Sampai putri terelok di keputren pun
dipilihkannya untuk menjadi istrimu.”

“Jadi, kau sudah tahu semuanya. Alangkah cepatnya.”

Hui Sing tergelak pendek melihat cara Respati mengatakan kalimat itu. Seperti orang yang
kebingungan karena gagal memberikan kejutan.

“Jadi, Kakang belum sadar dengan siapa berhadapan?”

Keduanya pun tertawa kecil. Saling memahami kelucuan yang bagi orang lain bisa jadi tak patut
ditertawakan.

“Kalau kau lahir sebagai putri Jawa Dwipa, pasti namamu Samita.”

Hui Sing mengerutkan dahi.

“Samita artinya bintang. Matamu bersinar seperti bintang.”

Hui Sing tak menjawab. Dia hanya mendehem kecil.

Kebetulan sekali, kata hui sing pun artinya bintang. Bintang berekor.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kakang, aku sangat penasaran dengan jurus-jurus yang engkau gunakan. Sulit menggambarkan. Tapi,
aku memahaminya lebih dari sekadar gerakan silat.”

Respati mulai terbiasa dengan sikap tak peduli Hui Sing.

Gadis itu seenaknya mengganti bahan pembicaraan.

“Seumur hidupku, aku hanya berlatih jurus Hanacaraka.

Tapi sampai saat ini, aku belum bisa memahaminya dengan sempurna.”

“Bukankah itu nama huruf yang digunakan di Jawa Dwipa?”

“Kau benar, Hui Sing. Bagi kami, ilmu kanuragan tak sekadar ilmu luar yang mengabaikan rasa
manusia dan pencipta. Sebab, semua saling berkaitan.”

Hui Sing menggelengkan kepala sambil tersenyum tak mengerti.


“Kau yakin ingin mendengarkannya?”

“Jika Kakang cukup punya waktu.”

Respati memperbaiki sikap duduknya. Dia tampak berhati-hati memulai pembicaraan itu.

“Jurus Hanacaraka terdiri dari dua puluh inti gerakan tubuh, sesuai dengan jumlah huruf Jawa yang
engkau kenal.

Setiap kata mengandung pemahaman tersendiri yang menggerakkan jiwa dan raga pendekar.”

“Sepertinya aku butuh contoh, Kakang.”

“Baiklah. Lima kata pertama adalah tahap meditasi, pengaturan napas untuk menghasilkan tenaga
dalam murni.

Huruf ha, hana hurip wening suci, adanya hidup adalah kehendak dari yang Mahasuci.”

Respati memejamkan mata, sementara kedua tangannya terangkat ke atas.

“Huruf na, nur candra (bulan), pengharapan manusia tersandar pada sinar Gusti Ingkang Murbheng
Dumadi.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kini, kedua telapak tangan Respati menyatu di
depan dada. Matanya masih terpejam rapat.

“Huruf ca, cipta wening, satu arah dan tujuan pada Yang Mahatungal. Huruf ra, rasaingsun han-
duiusih, rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani.”

Pemuda itu menghirup udara begitu dalam. “Huruf ka, karsaningsun memayuhayuning bawaria, hasrat
diarahkan untuk kesejahteraan alam.”

Respati membuka kelopak matanya perlahan sambil mengembuskan napasnya khidmat.

“Jangan kau suruh aku berkomentar, Kakang. Kata-kataku habis. Ini terlalu agung.”

“Belasan tahun aku mempelajari jurus andalan Mahapatih Gajahmada ini. Tapi seujung kuku pun, aku
tak bisa dibandingkan dengannya.”

“Guruku sering sekali menyebut nama Mahapatih Gajahmada. Diakah pemersatu Nusantara yang
digdaya itu?”

“Kau tak salah, Hui Sing. Jika saja aku memiliki jiwa yang murni, mungkin aku bisa menguasai ilmu
ini dan panji-panji Majapahit akan kembali berkibar di penjuru nusantara seperti dulu.”

“Maksud Kakang, memahami Hanacaraka, tak cukup menghafal gerakan silatnya saja?”
Respati mengangguk-angguk.

“Dari dua puluh huruf itu, setiap lima huruf, ketika digabungkan menjadi satu memiliki pemahaman
yang mendalam. Hanacaraka berarti ada utusan. Utusan hidup, berupa napas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Artinya ada yang memercayakan, ada yang dipercaya, dan
ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Gusti, manusia, dan kewajiban manusia
sebagai ciptaan.”

“Jadi, kunci semuanya adalah kesejatian hidup?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Dahinya berkerut.

“Berapa lama aku mengenalmu, Hui Sing?”

“Maksud Kakang?”

“Bagaimana mungkin kau demikian cepat memahami setiap kata yang kuucapkan, melebihi le-satan
anak panah?

Seolah-olah kita adalah teman lama yang sudah demikian saling mengerti.”

Kulit pipi Hui Sing memerah. “Apa Kakang tidak sedang memuji diri sendiri karena demikian mudah
memberi pemahaman kepada orang lain?”

Untuk kesekian kali, Respati kembali tersenyum. Ia semakin paham, ada yang membuat mereka
berdua saling memahami. Sebab, tak ada yang kebetulan di jagad raya.

“Lalu, kenapa Kakang melafalkan rahasia jurus-jurus itu kepadaku? Bukankah ini sama saja kakang
membocorkan inti ilmu kepada orang lain?”

“Jika saat ini kau ingin aku membeberkan semua kata dan makna tersirat dalam jurus Hanacaraka, kau
kira aku akan berkeberatan, Hui Sing?”

Hui Sing sedikit menggerakkan kepalanya. Menatap Respati dengan kesan heran. Ia lalu bertanya
dengan nada datar, “Kenapa begitu? Tidakkah itu sebuah tindakan sembrono?”

“Seperti yang kau katakan, inti ilmu ini adalah kesejatian hidup. Jika seseorang mampu menghafal
semua mantra di dalamnya dan melatih semua gerakannya, itu tak akan berarti apa-apa. Kecuali dia
benar-benar memahami makna hidup.”

“Tetapi tanpa kesempurnaan pemahaman itu pun, orang bisa melatih jurus ini, Kakang. Bukankah
Kakang juga merasa tak sempurna memahami hakikat ilmunya? Tapi coba lihatlah.

Sekarang pun, Kakang sudah menjadi pendekar pilih tanding.

Bagaimana jika orang tak berwatak pendekar yang memintamu melafalkan mantra itu?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Senyumnya masih tertahan. Ia
menatap Hui Sing dengan pandangan dalam.

“Kalaupun aku mengatakannya kepadamu, semua itu karena aku percaya kepadamu, Hui Sing. Aku
yakin kau berwatak kesatria.”

Hui Sing merasakan wajahnya memanas. Dia pun sadar, Respati dapat menangkap kesan itu dari kulit
pipinya yang memerah seketika. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya keluar pendopo.

“Sudah siang. Aku harus segera kembali ke wisma.”

“Begitu terburu-buru, Hui Sing. O, aku baru ingat. Ini waktunya untuk sembahyang, bukan?”

Hui Sing mengangguk.

“Aku kagum melihat semangatmu menyembah sembahan-mu, Hui Sing.”

Kini, senyum Hui Sing mengembang. Warna merah di pipinya telah pudar.

“Aku menikmati setiap pertemuanku dengan Thian.”

“Kau memaknainya demikian dalam?” Hui Sing berdiri.

“Manusia penuh noda. Setiap hari tak jemu membuat kesalahan. Jika tak lagi hirau untuk mengadu
kepada Sang Pencipta, apalah jadinya?”

Respati menyusul bangkit dari duduknya.

“Kau benar. Aku sepakat dengan itu. Sebelum kembali ke wisma, sebaiknya kita berpamitan lebih
dulu dengan Empu Prabaswara.”

Lagi-lagi, Hui Sing mengangguk lemah. Ia lalu mengikuti langkah Respati masuk ke ruangan
penampaan keris.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Menjelang petang, Laksamana Cheng Ho yang baru
saja kembali berkeliling dari beberapa desa di luar Kota Raja memanggil tiga murid utamanya. Kini,
Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing telah berkumpul di ruang peristirahatan gurunya di bagian tengah
wisma tamu Keraton Majapahit.

Cheng Ho berdiri sambil menatap ketiga muridnya tanpa berkedip.

“Wang Jing Hong telah pulih. Sekarang ia memegang tanggung jawab armada di Pelabuhan
Surabaya.”
Tak ada yang menyela. Semua diam dan mendengarkan dengan khidmat.

“Kita tak bisa terlalu lama tinggal di Majapahit. Sepekan lagi, kita berangkat ke Pelabuhan Surabaya.”

Masih hening.

“Kalian tak ingin tahu kenapa kita harus segera meninggalkan Majapahit?”

Ketiga murid Cheng Ho menggerakkan tubuh mereka dengan canggung. Tetap tanpa kata-kata.

“Chen Zhuyi, bramacorah dari Chaozhou itu membuat ulah di P’o-lin-pang (Palembang), bekas
Kerajaan San-fo-chi (Sriwijaya). Dia mengangkat diri sebagai gembong bajak laut dan berbuat
sewenang-wenang. Bahkan dia berani merompak kapal-kapal pedagang yang melewati Kieu Kiang
(Pelabuhan Lama, nama lain Palembang).”

Cheng Ho bergerak ke jendela besar kamar yang menghadap ke taman wisma itu.

“Liang Daoming, wakil Kaisar Ming yang melindungi ribuan warga Tiongkok perantauan di P’o-lin-
pang minta bantuan kita untuk mengusir Chen Zhuyi.”

“Kapan kita berangkat, Guru?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suara halus Hui Sing akhirnya terdengar juga. Dia
tak mendongakkan kepalanya yang tertunduk ketika menanyakan hal itu.

“Siapkan diri kalian. Dalam beberapa hari ini, aku akan memastikan perjanjian dengan raja Majapahit
berjalan dengan baik sehingga kita bisa meninggalkan Majapahit tanpa ragu.”

Ada yang berdesir dalam diri Hui Sing. Perasaan yang bergejolak namun sulit terbaca. Dia juga
merasakan matanya memanas. Sore itu, Cheng Ho sama sekali tak menyinggung perihal kitab Kutub
Beku-nya yang raib. Entah karena begitu banyak hal yang dipikirkan di benaknya atau orang
kepercayaan Kaisar Ming itu memiliki rencana lain.

“Jika tak ada pertanyaan lagi, kalian boleh keluar untuk bersiap-siap.”

Suara Cheng Ho tak pekat emosi. Datar saja. Tapi itu cukup membuat orang yang berhadapan
dengannya tak berkutik. Termasuk ketiga murid kesayangannya.

“Hui Sing!”

Begitu keluar dari ruang pribadi gurunya, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berjalan tanpa kata-kata.
Mereka seperti mayat hidup yang bergerak tanpa gairah.

Juen Sui mendekati Hui Sing dengan langkah hati-hati.

“Hui Sing, tidakkah kau punya sedikit waktu? Kami ingin bicara.”
Hui Sing menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?”

“Sekadar keramahan. Seperti dulu, kita duduk dan berbicara.”

“Apakah kita pernah seperti itu? Aku hampir tak ingat.”

“Atau memang ingatanmu sudah tertutup oleh ketampanan Sad Respati.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing membalikkan tubuhnya. Matanya
menajam. Sien Feng berdiri di belakang Juen Sui tanpa suara.

“Itu saja yang hendak kalian sampaikan? Berarti aku memang tak punya waktu untuk segala omong
kosong ini.”

“Hui Sing, tunggu!”

Sien Feng mengejar langkah Hui Sing yang ter-gesa. Dulu mereka sangat dekat. Jauh lebih dekat
dibandingkan hubungan mereka dengan Juen Sui. Mempertimbangkan itu, Hui Sing kembali
menghentikan langkahnya.

“Kami ingin engkau seperti dulu lagi, Hui Sing.”

Mata Hui Sing berkaca-kaca. Tapi tentu saja dia menahannya agar tak terlihat dua orang yang dulu
begitu dekat dengannya, lalu demikian jauh jadinya.

“Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama ketika di atas kapal. Tolong, biarkan aku sendiri.”

Selesai mengatakan itu, Hui Sing kembali melangkah bergegas menuju ruang istirahatnya. Sementara
Sien Feng berdiri termangu, ketika Juen Sui berjalan mendekatinya.

“Dia sudah sangat berubah, Sien Feng.”

“Kakak benar. Biarkan saja dia seperti itu sampai dia menyadari kekeliruannya menilai kita.”

Juen Sui mengangguk. Keduanya tersenyum masygul, lalu beranjak dari tempat itu menuju kamar
mereka masing-masing. Pada saat yang sama, di Griya Bhayangkari, Sad Respati tengah duduk dan
berbicara dengan Danurdara, orang nomor dua di jajaran bhayangkari Majapahit.

Griya Bhayangkari adalah kompleks khusus yang menempel di sisi kanan Siti hinggih (tempat
pertemuan raja dan bawahannya) keraton. Di tempat tersebut, tinggal para bhayangkari dan calon
bhayangkari yang tengah menjalani pendidikan. Setiap tahun, diadakan pertandingan untuk
menentukan lima belas orang yang pantas menjadi pengawal utama raja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mereka yang dikukuhkan sebagai bhayangkari inti
berhak menempati satu rumah besar di kompleks tersebut dengan segala keistimewaan yang diberikan
raja. Setiap bhayangkari harus meletakkan raja di atas nyawanya sendiri, apa pun yang terjadi.

Karena itu, ketika ada di antara mereka yang menikah, biasanya bhayangkari tersebut mengundurkan
diri. Jika beruntung, justru diberi jabatan pengganti oleh raja.

“Kakang Respati, menurut Kakang, apa yang akan dilakukan Raja Ming begitu mendengar tragedi
Simongan itu?”

“Sebenarnya, aku masih tak yakin apa yang akan terjadi.

Hanya, jika melihat pribadi Laksamana Cheng Ho dan segala yang ia lakukan di Majapahit, aku yakin
Kerajaan Ming tak akan gegabah memandang masalah ini.”

“Apakah benar laksamana itu memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi?”

“Tadinya aku masih ragu. Tapi kini aku sangat percaya.”

“Rupanya, kedekatan Kakang dengan murid Tuan Ho penyebabnya.” Respati tersenyum.

“Barangkali demikian. Kami pernah menjajal ilmu kanuragan dan dia berhasil memaksaku menghunus
Angga Cuwiri.”

Danurdara terhenyak meskipun tak begitu ketara.

“Begitu mumpunikah perempuan muda itu?”

“Jika melihat kemampuan Hui Sing, aku bisa membayangkan sehebat apa kedua kakak
seperguruannya itu. Apalagi Tuan Ho sebagai gurunya.”

Hening sejenak. Danurdara tampak merenungkan sesuatu.

Pemuda itu sekitar satu atau dua tahun lebih muda dibandingkan Respati. Sebagai orang nomor dua di
pasukan Bhayangkari, tentu saja Danurdara memiliki kecakapan yang tinggi. Dalam ilmu bela diri pun
dia tak kalah dibandingkan Respati.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bahkan, dia biasa memainkan banyak senjata
dibandingkan Respati yang setia dengan Angga Cuwiri-nya. Danurdara terkenal dengan kemampuan
memanah yang tak ada duanya.

Dia juga pemain pedang yang sangat baik. Tak heran jika banyak yang menduga, Danurdara akan
menggantikan Respati begitu Respati menikah dengan Dewi Anindita.

Dari parasnya pun, Danurdara tak kalah tampan dibandingkan Respati. Otot-otot di tubuhnya
mengeras karena latihan berbagai senjata yang dilakukannya sejak anak-anak. Dia juga memiliki paras
yang ramah meskipun tak setegas garis wajah Respati.
“Kakang yakin menilainya secara benar? Apakah karena Kakang begitu dekat dengan murid Tuan Ho
itu, lalu mengambil kesimpulan yang terburu-buru?”

Mata elang Respati menajam. Mencengkeram Danurdara yang kehilangan kesadarannya sendiri ketika
mengucapkan pertanyaan itu. Sontak Respati tertawa lantang tanpa ditahan-tahan. Bahunya sampai
tersentak-sentak olehnya. Bahkan, ketika tertawa pun wibawa itu memancar. Karenanya, Danurdara
memilih menunggu.

“Danurdara, pikiranmu demikian jauh. Bulan depan aku akan menikahi Anindita. Apakah kau pikir
aku masih punya cukup waktu untuk jatuh hati?”

“Kakang, kau salah mengerti, maksudku.”

Respati kembali tergelak, meskipun kini tawanya tak selantang sebelumnya.

“Justru kau yang dalam bahaya, Danurdara. Ketika aku meninggalkan Griya Bhayangkari, kaulah yang
akan menggantikan kedudukanku. Bagaimana jadinya jika pikiranmu bercabang?”

“Kakang, aku tak mengerti maksudmu.”

Danurdara menelan ludah. Ia merasa berada di waktu dan tempat yang salah.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Sudahlah. Mungkin aku keterlaluan kepadamu. Agar kau tahu, aku memang merasa sangat nyaman
setiap bersama-sama Hui Sing, murid termuda Tuan Ho. Dia cerdas, akalnya tak pernah mati, dan
memiliki pemahaman hidup yang sangat dalam. Padahal dia masih sangat muda.”

Danurdara tak mengeluarkan satu patah kata pun. Dia tak ingin terjebak untuk kedua kalinya.

“Kau tak perlu khawatir, Danurdara. Bahkan, Anindita berteman baik dengannya. Mereka cocok satu
sama lain.

Mereka berteman dengan sangat baik.”

“Baiklah, aku kira tak perlu diperpanjang, Kakang.

Sekarang aku justru ingin tahu, apa rencana Kakang setelah meninggalkan Griya Bhayangkari?”

“Aku belum tahu. Baginda pun belum memberikan tanda apa pun. Aku cukup mengerti bahwa saat ini
keadaan demikian keruh. Tentu ini saat yang sulit bagi baginda prabu.”

“Aku kira jabatan rakryan rangga atau rakryan tumenggung sudah ada di tanganmu, Kakang.”

“Kau pikir sang prabu akan menyingkirkan Abya-sa dan Sadali?”

“Bukankah waktu satu windu sudah cukup lama bagi keduanya untuk tetap dipertahankan? Lagi pula,
kepiawaian mereka pun semakin diragukan setelah berbagai pemberontakan datang susul menyusul
menghabiskan banyak harta kerajaan.”

“Ngono ya ngono, ning aja ngono.”

“Maksud Kakang?”

“Sebagai pemuda, aku sama juga seperti kau, juga yang lain. Terus ingin mendaki kejayaan. Tapi, aku
berusaha untuk selalu ingat kata-kata guru, untuk tidak berlebihan dalam segala hal. Pandai-pandai
mengendalikan diri dan tidak memilih segala jalan untuk memenangkan diri sendiri.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Danurdara menatap Respati dengan sinar kagum.
Inilah yang selalu membuatnya merasa tertinggal oleh Respati.

Dalam hal ilmu kanuragan, dia berani bertanding. Begitu juga dalam hal ketampanan, dia cukup
percaya diri untuk bersaing.

Namun, sisi pemahaman hidup Respati yang begitu luas dan dalam, membuatnya merasa bukan siapa-
siapa.

0oo0

Hari Tumpak, Bulan Asadha. Purnama penuh bercahaya sempurna.

Langit terang benderang. Penduduk bumi Majapahit bergembira ria. Melupakan penderitaan batin usai
Perang Paregreg. Orang-orang keluar rumah dengan wajah cerah.

Sama cerahnya dengan selaksa bintang yang berkedip menemani purnama.

Sekelompok perempuan berkemben berjumlah dua puluh atau tiga puluh orang berjalan dalam baris
yang rapi. Satu di antara mereka ada di depan memberikan aba-aba. Dia menyanyikan satu bait syair
indah, lalu disambut kor para perempuan yang ia pimpin dengan nyanyian pula.

Mereka kemudian berjalan serempak sambil bernyanyi.

Ketika melihat sebuah rumah besar di pinggir kota, mereka berhenti di depannya. Dengan penuh
semangat, mereka kembali bernyanyi.

Tak berapa lama, pintu rumah megah itu terbuka. Para penghuninya keluar dengan senyum
mengembang. Mereka menikmati nyanyian-nyanyian itu sambil menggerak-gerakkan kepala
mengikuti irama.

Selesai itu, salah seorang penghuni rumah menghampiri pemimpin kelompok, lalu mengangsurkan
uang kepingan dan beberapa lembar kain. Nyanyian mereka semakin gembira.

Seperti api unggun ketika ditambahkan kayu bakar. Semua senang.


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah memberi hormat, rombongan perempuan
itu meninggalkan halaman rumah besar itu dan mencari rumah-rumah yang lain. Tak berapa lama,
mereka sudah kembali bernyanyi dengan harmoni di hadapan dua perempuan yang mengenakan
pakaian bagus dan kerudung penutup kepala.

Dua perempuan itu memakai kain kebaya mewah yang tampaknya khusus didatangkan dari luar Jawa
Dwipa. Kain bawahnya pun begitu elok. Tidak polos seperti yang dikenakan para perempuan yang
bernyanyi itu. Keduanya memakai kain dengan gambar-gambar yang elok dan lipatan yang rapi di
bagian depan.

Satu di antara perempuan itu kemudian memberikan uang kepengan banyak sekali. Satu kantong
penuh. Setengah menjerit, pemimpin kelompok penyanyi itu gembira bukan kepalang melihat uang
kepengan begitu banyak. Ia lalu memimpin para perempuan itu untuk membuat lingkaran penuh,
mengitari dua perempuan dermawan tadi.

Nyanyian bernada puji-pujian dilantunkan. Lengkap dengan tarian-tarian serempak, nyaman untuk
disimak.

Setelah puas meluapkan kegembiraan mereka, perempuan-perempuan tadi perlahan mundur dan
kembali membuat barisan yang rapi dan meninggalkan kedua perempuan dermawan tadi masih dengan
bernyanyi penuh gembira.

“Anindita, ternyata kau juga seorang dermawan.”

“Sekadar rasa syukur, Hui Sing. Aku jarang sekali melihat keramaian di luar keraton. Sekali ini, aku
merasa bebas dan gembira.”

“Bukankah sepuluh orang prajurit ada di belakang kita untuk mengawasi setiap gerak-gerikmu?”

“Ya. Tapi paling tidak, aku bisa menghirup udara di luar keraton yang mulai terasa pengap.”

“Malam ini ramai sekali. Di setiap sudut ada kesibukan orang-orang yang sedang bersenang-senang.
Ada perayaan apa?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ini hari kelima belas bulan Ashada. Penduduk Majapahit biasa menggelar pesta bersenang-senang di
bawah bulan purnama. Semua orang bergembira dengan ragam hiburan.”

Hui Sing menganggukkan kepala.

“Di depan sana ada pertunjukan wayang beber. Kau pasti tertarik melihatnya, Hui Sing.”

Kedua dara itu lalu melangkah pelan menuju keramaian lain di sudut Kota Raja. Mereka berhenti di
antara kerumuman orang yang duduk bersila. Tampaknya semua orang berkumpul di sana. Orang tua
sampai anak-anak duduk khidmat ke arah sebuah gambar yang dipancang pada dua tiang setinggi
orang dewasa.

Gambar itu seperti bercerita. Ada manusia, burung, binatang laut, dan gambar-gambar lain. Semua
gambar itu dilukis halus di atas selembar daun kajang. Seorang laki-laki duduk membelakangi orang-
orang, persis di depan gambar pancang itu.

Dia membeberkan suatu kisah berdasarkan gambar yang dipancang itu dengan suara lantang. Dia
dibantu beberapa orang yang mengganti daun kajang setiap alur ceritanya berubah. Laki-laki itu
pandai sekali berkisah. Orang-orang yang menyimak setiap penuturannya kelihatan asyik dan masuk
ke dalam kisah yang ia paparkan.

Ketika melihat gambar lucu yang dipertegas dengan cara bercerita yang pas dari lelaki itu, orang-
orang tertawa geli.

Beberapa di antaranya bahkan tak sungkan hingga terbahak-bahak. Sebaliknya, giliran kisah sedih
yang dipaparkan, semua kepala ikut tertunduk. Bahkan beberapa perempuan yang ikut menonton
terisak karena haru.

“Di negeri kami, pertunjukan seperti ini disebut Ping Hua.”

Hui Sing tak begitu larut oleh cerita dalam pertunjukan itu.

Ia lebih tertarik melihat reaksi orang-orang yang menyaksikannya dan mengagumi betapa halusnya
lukisan daun kajang yang menjadi pengantar kisah itu. Lagi pula, Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bahasa pengantar pertunjukan itu tampak
bercampur. Bahasa orang Majapahit memiliki tingkatan yang sangat banyak, sedangkan Hui Sing
hanya mendalami bahasa keseharian.

“Benarkah? Jadi, memang kebiasaan masyarakat di tempat kita memiliki banyak persamaan.” Hui
Sing mengiyakan.

“Hui Sing, aku perhatikan, sejak awal kita keluar keraton, wajahmu tak memperlihatkan keceriaan.
Adakah sesuatu yang mengganggu hatimu?”

Suara Anindita terdengar begitu santun. Ditambah bahasa yang memang sangat halus memancarkan
kepribadian yang berbudi dalam setiap kata yang terucap.

“Kau begitu teliti, Anindita. Benar, aku sedang memikirkan keberangkatan kami ke P’o-lin-pang,
bekas Kerajaan San-fo-chi.”

“Maksudmu Kang Lama, bekas kerajaan Sriwijaya di Swarna Dwipai (Sumatra)?”

“Kau benar, Anindita. Kami harus segera berangkat ke sana untuk mengusir bajak laut Hokkian yang
membuat kacau.”

Anindita terdiam. Kesan wajahnya sendu.


“Artinya, tak akan ada lagi pembicaraan mengenai batik?”

Hui Sing tak menjawab. Dia pun merasa nyaman berteman dengan Anindita. Sebagaimana dia merasa
cocok berbicara tentang banyak hal bersama Sad Respati.

“Kami hanyalah duta, Anindita. Apa pun titah kaisar, kami harus melaksanakannya dengan patuh.”

“Aku memahaminya, Hui Sing. Sudahlah, kalau memang demikian, untuk apa kita membuang waktu
dengan sendu sedan. Lebih baik sebelum engkau berangkat, sebanyak-banyaknya waktu kita
pergunakan untuk berbincang. Toh, bukankah esok pagi kau meninggalkan Majapahit?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum. Ia sepakat dengan cara
Anindita mengusir rasa gundah karena segera akan berpisah itu.

Keduanya pun kembali larut dalam kegembiraan pertunjukan wayang beber. Malam belum terlalu
larut ketika keduanya memutuskan untuk kembali ke keraton.

Beda dari biasanya, Anindita mengajak Hui Sing berkunjung ke keputren malam itu. Rupanya, dia
mempunyai sebuah rencana untuk Hui Sing. Lampu-lampu obor kompleks keputren masih menyala
terang benderang ketika keduanya berjalan menuju bangunan pribadi tempat tinggal Anindita.

Para prajurit yang mengawal mereka petang tadi sudah kembali ke posnya. Kini Anindita dan Hui Sing
duduk di ruang depan bangunan pribadi Anindita.

“Aku yakin engkau akan menyukai kitab ini.” Anindita menyodorkan lembar-lembar daun kajang yang
disusun bertumpuk.

“Kitab apa ini?”

“Bacalah!”

Hui Sing membuka lembar pertama kitab itu dengan cermat. Dia lalu menggeser duduknya mendekati
lampu obor di pinggir meja.

Pada tahun Saka tautan dasa bulan, ada raja perwira yuda.

Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu.

Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Ranggah Rajasa nama beliau,
penggempur musuh pahlawan bijak.

Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur Di situlah tempat putra sang Girinata
menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara. Ibu
negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.

Meskipun tahu arti kata dalam kalimat itu, Hui Sing belum paham makna di dalamnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bukankah kau ingin tahu sejarah panjang Majapahit, Hui Sing?”

“Tentu saja. Apakah kitab ini memuat sejarah Majapahit, Anindita?”

“Namanya kitab Negara kertagama. Ini merupakan karya sastra Jawa Kuno berbentuk kakawin karya
Empu Prapanca.

Di dalamnya terungkap sejarah berdirinya Majapahit hingga puncak kekuasaannya saat menyatukan
nusantara.”

Wajah Hui Sing sontak cerah.

Sejak lama ia ingin tahu sejarah Majapahit yang selama ini hanya ia dengar dari gurunya, Laksamana
Cheng Ho.

“Sebenarnya, Negarakertagama merupakan catatan perjalanan Raja Hayam Wuruk yang terkenal
dengan sebutan desawarnana atau cacah desa-desa. Kitab ini terdiri dari 98

pupuh (paragraf). Semua keingintahuanmu pasti terjawab dengan membaca kitab ini.”

Mata Hui Sing berkaca-kaca.

“Lalu, apa yang harus aku berikan untukmu sebagai kenang-kenangan, Anindita?”

Anindita tersenyum.

“Ketertarikanmu mempelajari sejarah Majapahit sudah membuatku gembira. Tak usah berpikir
macam-macam, Hui Sing.”

Setelah mengungkapkan rasa terima kasihnya, Hui Sing segera tenggelam dalam lembaran-lembaran

Negarakertagama di tangannya. Ia bahkan nyaris tak memedulikan keberadaan Anindita di sana.


Sesekali dia bertanya arti beberapa kata yang tidak bisa ia pahami.

Usai itu, dia kembali asyik menikmati kebersamaannya dengan ilmu. Purnama semakin menjauh.
Angin dingin mulai menelusup ke ruang-ruang bangunan keputren. Ketika terasa di sunsum tulang
rasa dingin yang mencekat, barulah Hui Sing sadar, hari telah larut.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa kali ia memastikan bahwa Anindita
benar-benar menghadiahkan kitab itu kepadanya. Setelah yakin, barulah dia berpamitan dan kembali
ke wisma tamu dengan kegembiraan yang barangkali sulit dicerna oleh orang lain.

Begitu berartikah sebuah kitab?


0oo0

Sesosok bayangan hitam mengendap-endap di genteng kompleks peristirahatan Rakryan Rangga


Abyasa, pejabat nomor dua setelah patih kepercayaan Raja

Wikramawardhana. Gerakan orang bercadar itu gesit. Cepat, tanpa menimbulkan banyak suara. Para
prajurit jaga tak satu pun yang menyadari keberadaannya di atas wuwungan (pertemuan atap).

Malam itu sunyi senyap. Ada rintik hujan. Angin mendesau dingin. Saat yang nyaman untuk
memejamkan mata di balik selimut tebal. Saat yang nyaman juga bagi para penjahat untuk
melancarkan aksinya.

Sosok hitam itu melayang dengan gerakan sangat ringan dari atap bangunan ke pintu masuk bangunan
peristirahatan sang rakryan rangga. Dua orang prajurit jaga belum sadar benar apa yang terjadi ketika
tubuh mereka berdebam ke tanah dengan leher tergorok.

Tamu tak diundang itu tak lagi menemui kesulitan untuk masuk ke dalam rumah. Langkahnya berjinjit
menghapus suara yang bisa timbul dari gesekan alas kaki dan lantai.

Sampai juga dia di pintu kamar sang rakryan rangga. Berderit suara pintu yang tak dipalang dari
dalam itu terbuka.

Di atas pembaringan, sang rakryan rangga kelihatan tenteram dalam tidur. Matanya terpejam rapat. Di
sebelahnya, sang istri pendamping pun kelihatan menikmati betul tidurnya.

Nyenyak tanpa gelisah.

Aura pembunuh menyebar ke seluruh ruangan. Orang bercadar itu mencabut sebilah badik dari
pinggangnya. Ia lalu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi maju beberapa langkah. Persis di samping
pembaringan, dia mengayunkan sekeras-kerasnya badik di tangan kirinya.

“Siapa kau?!”

Salah satu alasan Abyasa terpilih menjadi rakryan rangga adalah pemahamannya tentang ilmu
kenegaraan dan tentu saja ilmu kanuragan yang memadai. Bagi seorang Abyasa yang telah lama
membasahi dirinya dengan pengalaman, dalam tidur nyenyak pun dia waspada. Begitu merasa ada
angin serangan yang membidik jantungnya, Abyasa langsung berguling menghindar. Toh, kecepatan
badik itu sempat menggores kulit lengannya.

Sementara itu, Tarasari, istri Abyasa yang terbangun oleh teriakan lantang suaminya, langsung
berteriak ketakutan.

Wajahnya mengerut saking takutnya. Dia berusaha bangkit dari tidurnya sambil terus melihat ke arah
penyerang bercadar itu. Cuma sesaat. Badik yang gagal mereguk banyak darah itu beralih arah dan
memburu jantung Tarasari.

Crep!!!
Teriakan Tarasari terpotong untuk selama-lamanya. Mata perempuan tiga puluhan itu terbelalak. Garis
urat yang muncul di bola matanya menggambarkan rasa sakit yang luar biasa.

“Bajingan kau!!!”

Abyasa tanggap menyelamatkan dirinya, namun tak cukup sigap untuk menghindarkan istrinya dari
maut. Begitu melihat darah muncrat dari tubuh Tarasari, Abyasa meloncat, menerkam ke arah
penyerang itu.

Sebelumnya, dia sempat menghunus keris pusaka yang diletakkan di meja samping pembaringan.
Suara trang tring pun menjadi riuh. Badik kecil dan keris pusaka bertemu dan menimbulkan percikan
api.

Abyasa tak sendirian. Dia ditemani dendam kesumat dan amarah yang sampai ke ubun-ubun. Rasa
kehilangan sang istri membuat tenaganya berlipat-lipat. Ia terus memburu orang bercadar itu dengan
keris pusakanya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Si cadar hitam mulai keteteran meladeni
permainan keris lawan. Ternyata, dia tak cukup menguasai senjata yang ada di genggaman tangannya.

Tranggg!

Sapuan tangan Abyasa berhasil membuat si penyerang terpaksa melepaskan badiknya. Senjata kecil
namun berbahaya itu terlempar ke lantai. Abyasa tak mau membuang kesempatan untuk menang. Dia
langsung memburu dada lawan dengan keris yang sudah berbau amis karena mengendus darah itu.

Hegggh!

Tak seperti yang diduga sebelumnya. Orang bercadar itu rupanya justru lebih berbahaya tanpa badik di
tangannya.

Sekali hentak, tangan kanannya melepaskan tenaga dalam yang sangat keras. Abyasa terlempar ke
belakang dengan dada yang sesak. Seperti tak ada udara yang tersisa di paru-paru.

Dia juga merasakan dingin yang mencekat. Mematikan rasa dan membekukan seluruh aliran darah,
seperti dihunjam ratusan pedang. Abyasa telentang dengan nyawa yang pelan-pelan tercabut.
Sementara, keris pusaka itu masih ada di genggaman tangan kanannya.

0oo0

Keraton Majapahit geger. Ratusan prajurit mondar-mandir dengan wajah serius. Semua orang sibuk.
Tidak ada senyum.

Justru duka yang pekat seperti langit yang hendak mencurahkan hujan.

Berita rajapati (pembunuhan) Rakryan Rangga Abyasa dan istrinya, Tarasari, seperti kilat menyebar
ke setiap sudut keraton. Tangis melengking anak-anak sang rakryan rangga menjadi desah waktu hari
itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Prabu Wikramawadhana bahkan langsung
memanggil semua bawahannya untuk membahas masalah itu. Sementara jasad kedua orang penting itu
disemayamkan di Griya Rakryan Rangga, sang prabu yang berwajah mendung berbicara di hadapan
para bawahannya.

Mahapatih Sadhana, Rakryan Tumenggung Sa-dali, Kepala Bhayangkari Sad Respati, empat belas
anggota bhayangkari, dan para pejabat lain tertunduk lesu.

“Apa kalian semua sudah tak lagi memikirkan raja kalian?

Bahkan rajapati terjadi hanya beberapa tombak dari kediamanku!”

Tak ada yang berani bersuara. Respati merasa dadanya dibebani gunung batu yang menyesakkan.
Bicara keselamatan raja, tentu saja dirinya yang harus bertanggung jawab.

“Respati, apa kerja bhayangkari hingga seorang rakryan rangga bisa dibantai di rumahnya sendiri?”
Respati menyembah, sebelum dia mengatur setiap kata yang hendak dia ucapkan.

“Baginda, bhayangkari bertugas mengamankan seluruh sudut kediaman raja. Namun, kami sama
sekali tidak melakukan penyisiran ke kediaman rakryan rangga sebab di sana sudah ada prajurit jaga
khusus.”

“Jarak antara kediaman raja dan rakryan rangga tak begitu jauh. Apakah lima belas orang bhayangkari
tak satu pun melihat bayangan hitam yang menyebar maut itu?”

Respati tak menjawab.

“Ampun, Prabu, jika boleh saya hendak berbicara.”

“Sadali, apa yang hendak kau utarakan?”

“Prabu, saya melihat ada sesuatu di balik rajapati ini. Tak sekadar pembunuhan biasa yang tanpa
alasan di belakangnya.”

Wikramawardhana tak bereaksi. Dia diam mendengarkan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Siapa yang diuntungkan dengan kematian Kakang Abyasa?”

Semua orang di ruangan itu terhenyak. Seperti baru saja dibangunkan dari mimpi indah. Mereka
terlihat berpikir keras.
“Katakan pendapatmu, Sadali. Jangan berbelit-belit.”

“Ampun, Sang Prabu. Setahu saya, jabatan rakryan rangga cukup menggiurkan bagi siapa saja yang
tergoda untuk memegangnya, sedangkan Sang Prabu sama sekali belum berencana untuk menurunkan
Kakang Abyasa dari jabatan tersebut. Di sisi lain, banyak orang yang ingin menempati jabatan itu.
Bukankah di keraton Mahapahit ada beberapa orang yang akan segera kehilangan jabatannya?”

“Siapa yang kau bicarakan, Sadali?!”

Suara Wikramawardhana yang menggelegar menyentakkan Sadali. Sepertinya dia baru menyadari
bahwa dia telah melemparkan jebakan yang meringkusnya sendiri.

Sang Prabu membuang napasnya pelan.

“Masalah ini rumit. Jangan dulu berprasangka. Siapa pun berkemungkinan menjadi orang di belakang
rajapati ini. Aku hanya ingin semua waspada. Respati, kau bertanggung jawab penuh terhadap
keamanan keraton. Tangkap pembunuh itu!

Aku tak mau rajapati ini berlanjut.”

Respati mengangguk sambil menyembah. Ketika melirik ke arah Sadali, dia menangkap racun yang
menebar maut terpancar dari matanya. Pemuda itu sadar, ia harus sangat berhati-hati.

0oo0

“Kau sudah mendengar tentang pembunuhan itu, Hui Sing?”

“Ya, Guru. Saya mendengarnya dari Anindita tadi pagi.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kuatkan hatimu. Kita harus segera menghadapi penghianat itu.”

“Maksud Guru?”

Hari demikian terik siang itu ketika Cheng Ho memanggil Hui Sing ke ruang pribadinya. Guru dan
murid itu tengah membicarakan kabar pembunuhan yang merenggut nyawa orang penting Majapahit
malam sebelumnya.

“Aku sempat melihat jasad Rakryan Rangga Abyasa. Luka di dadanya jelas terkena pukulan Kutub
Beku. Meskipun si pembunuh hendak mengelabuiku dengan menancapkan badik di dada Abyasa, aku
takkan tertipu!”

Bibir Hui Sing terbuka saking terkejutnya. Bahkan, dia tak mampu berkata apa-apa.

“Pencuri itu mulai menyebarkan racunnya. Jika orang Majapahit tahu penyebab kematian Abyasa
adalah pukulan andalan aliran kita, kau bisa membayangkan apa yang akan terjadi?”
Hui Sing mengangguk-angguk.

“Prabu Wikramawardha pagi tadi melakukan pertemuan dengan bawahannya. Memang sama sekali
tidak dibahas mengenai penyebab kematian Abyasa. Sebab, mereka yakin pejabat itu tewas karena
tertusuk badik. Tapi, kita harus hati-hati.”

Hui Sing masih belum bersuara.

“Orang-orang kini justru mulai menduga-duga orang dalam, sebagai pembunuh itu. Salah satu orang
yang dicurigai adalah Sad Respati!”

“Kepala bhayangkari, Guru?”

“Ya. Bulan depan Respati akan menikahi Anindita dan kehilangan jabatannya sebagai kepala
bhayangkari, sedangkan jabatan rakryan rangga adalah pilihan yang paling memungkinkan baginya.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing menajamkan pendengarannya.

“Jabatan rakryan tumenggung jadi mustahil karena Sadali masih kerabat raja dan sangat dipercaya.
Untuk menjadi mahapatih, Respati masih butuh kematangan usia. Apalagi jabatan mahapatih sekarang
dipegang calon bapak mertuanya.”

“Lalu, kenapa rakryan rangga, Guru?”

“Mereka beranggapan, Abyasa tak cukup kuat untuk bertahan. Hanya karena dia pernah berjasa kepada
raja sehingga raja tak tega untuk menurunkannya.”

“Guru percaya hal itu?”

“Bagaimana denganmu, Hui Sing?”

“Secara pribadi, saya sedikit mengenal Respati. Saya percaya hal ini mustahil dia lakukan. Kedua,
alasan pembunuhan itu terlalu sederhana. Respati sangat bodoh bila benar dia yang melakukan.”

“Mengenai penilaian pribadi, tidakkah kau belajar dari kedua kakakmu, Hui Sing? Bahkan, kita sudah
saling mengenal bertahun-tahun. Nyatanya, ada di antara mereka yang berkhianat, meskipun aku
belum yakin siapa dia.”

Hui Sing menelan ludah. Dia membenarkan kata-kata gurunya.

“Tapi, alasan keduamu sangat masuk akal!”

Hui Sing lega.

“Bagaimanapun kita tetap harus segera pergi. Jika tidak, pengkhianat itu akan semakin leluasa
menyebar maut dan merusak suasana. Hui Sing, katakan kepada kedua kakakmu, kita akan berangkat
ke Pelabuhan Surabaya dua hari lagi.
Sekarang, aku harus bertemu dengan sang prabu untuk membicarakan hal itu.”

“Baik, Guru.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berpamitan Hui Sing pun keluar dari ruang
pribadi gurunya. Kali ini dia keluar dengan jasad yang terasa sangat mati. Begitu bertumpuk. Segera
meninggalkan Majapahit pun sudah demikian menyesakkan dadanya. Bagaimanapun masih banyak
yang ingin ia kerjakan di negeri ini.

Kini, peristiwa pembunuhan di lingkungan keraton telah menyeret nama Respati, teman barunya yang
menyenangkan.

Hui Sing agak sempoyongan menapak jalan kerikil yang menghubungkan ruang pribadi gurunya
dengan taman tengah wisma tamu. Tadinya dia berharap akan bertemu dengan kedua kakak
seperguruannya di sana.

Ternyata tidak. Juen Sui dan Sien Feng tak tampak di kursi taman yang biasanya menjadi tempat
mereka berbincang. Hui Sing lalu menyeberang taman menuju ruang pribadi Juen Sui.

“Kakak Juen Sui, Hui Sing hendak bertemu!”

Tak ada jawaban dari dalam ruangan. Di sebelah kamar itu, ruang istirahat Sien Feng, juga senyap.
Tidak ada tanda-tanda kesibukan di dalamnya. Hui Sing mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu
kamar Sien Feng. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan lagi-lagi menyeberang taman menuju pintu
gerbang wisma tamu.

0oo0

Malam sedang indah-indahnya. Bulan memang tak lagi purnama. Namun, langit bersih tanpa mendung
yang pekat membuat wajah bulan demikian cantik dan bersinar. Malam belum larut. Angin juga masih
sepoi. Tak terlalu dingin. Suara ikan-ikan yang berkecipak di permukaan air demikian syahdu.

Mereka bercanda dengan sukacita.

Danau Tirta Kusuma, begitu nama danau bening di pinggir Kota Raja itu. Airnya jernih. Ketika hari
terang, bahkan dasar danau kelihatan jelas dilihat dari permukaan. Tenang dan membuat adem
perasaan. Di pinggir danau, bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna yang tak tertandingi oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi akal manusia. Keindahan yang tak akan tersentuh
oleh ilmu manusia.

Di pinggir danau, sebuah bangunan kecil mirip dangau terkesan lengang. Tiang-tiangnya dari bambu
sederhana, beratap daun kajang yang anyamannya rapi. Di sana, kini ada dua sosok yang berdiri kaku.
Tak saling menatap. Sama-sama mencari sesuatu dengan pandangan mata yang jengah ke seberang
danau.
“Hu Sing, maaf malam-malam begini aku mengundangmu kemari.”

Situasi kaku seperti itu membuat mereka sendiri menjadi heran, mengapa bisa begitu.

“Aku dengar dari Anindita, besok pagi rombongan Tuan Cheng Ho akan ke Pelabuhan Surabaya untuk
berlayar ke Kang Lama.”

Respati lalu menatap Hui Sing. Ia menangkap suasana hati yang bingung dalam binar mata Hui Sing
yang mulai berkaca-kaca. Wajahnya seperti memantulkan cahaya bulan dengan sempurna.

“Benar, Kakang. Kami hanyalah pengelana. Tak punya kampung halaman untuk diam berlama-lama.
Rumah kami adalah angin. Ini takdir.”

Respati kembali melempar pandangannya ke seberang danau.

“Setelah ini, aku akan kehilangan teman bicara yang menyenangkan ketika membahas keris dan ilmu
kanuragan.”

Hui Sing terdiam. Kata-katanya seperti tertahan di ujung lidah.

“Juga teman berbagi cerita ketika duka menyer-gap.”

Hui Sing menoleh dengan wajah bersalah.

“Kakang, aku sudah mendengar omongan tidak benar perihal pembunuhan Rakryan Rangga Abyasa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau percaya cerita itu, Hui Sing?”

Hui Sing mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Bukan menyelidik. Hanya membuang
jauh rasa kakunya malam itu.

“Kalau benar kau yang melakukannya, kau adalah sebodoh-bodohnya manusia. Caramu kurang cerdik.

Tindakanmu gegabah.”

Respati menatap Hui Sing dengan sorot mata elang.

“Aku tak tahu kejadian sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa Kakang bukan orang bodoh.”

Respati melepas senyumnya. Sementara Hui Sing merasakan debar jantungnya semakin cepat. Ia tahu
benar, ini berbahaya. Lebih berbahaya dibandingkan ancaman seratus pedang sekalipun.

“Kakang, aku kira tak baik berlama-lama di tempat ini. Hari semakin gelap. Aku rasa, sebaiknya aku
kembali ke wisma tamu.”

Respati kehilangan senyumnya. Mendung rata di wajahnya. Ia menatap Hui Sing seperti bocah lima
tahun yang memohon kepada ibunya.

“Kau bahkan tak menyiapkan kata-kata perpisahan untukku, Hui Sing?”

Hui Sing yang sudah hendak beranjak dari tempat itu menghentikan langkahnya tanpa menoleh
sempurna ke belakang. Hanya lehernya sedikit dimiringkan hingga sedikit wajahnya bisa terlihat dari
tempat Respati berdiri.

“Kakang, bulan semakin jauh. Sinarnya tak lagi benderang.

Keceriaannya mau tak mau harus meninggalkan bumi.

Meskipun aku yakin, jika bulan bisa berbicara, pasti ia akan berkata, betapa ia sangat menginginkan
untuk menyinari kegembiraan penduduk bumi selamanya dengan cahayanya yang tak menyengat.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Dia
seperti bukan sang pemilik wibawa yang demikian kesohor. Dia juga bukan kesatria yang pantang
bersendu sedan.

“Hui Sing!”

Untuk kedua kali, Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia kini telah berada di luar saung. Sepatunya
menginjak rerumputan di pinggir danau.

“Aku juga yakin. Jika bumi bisa berbicara, dia pasti mengatakan, betapa ingin ia selamanya dipeluk
cahaya bulan yang bijak dan keibuan.”

Suara Respati semakin serak. Bukan hanya karena suara aslinya memang demikian. Ada beban berat
pada setiap kata yang ia ucapkan. Bahkan, tak seorang pun di jajaran bhayangkari yang pernah melihat
sang kesatria berada dalam keadaan itu. Berdiri menyandar pada tiang saung dengan mata yang
berkaca-kaca.

Dia seperti orang linglung yang bahkan tak paham apa yang sedang menimpa dirinya.

Hui Sing enggan membalikkan tubuhnya. Dia menyadari bahwa dirinya pun sepenuhnya lemah.

“Kakang, maaf aku tak bisa menghadiri hari bahagiamu bersama Anindita. Kakang sungguh beruntung
mendapatkan putri seperti Anindita.”

Setelah itu, Hui Sing tak lagi mendengarkan suara apa pun dari bibir Respati. Entah karena pemuda itu
memang tak lagi berucap atau karena Hui Sing telah menguatkan hatinya untuk menutup
pendengarannya. Gadis itu berjalan bergegas menuju Kota Raja. Hampir tengah malam. Hui Sing
mempercepat langkahnya. Di seputar istana raja masih tampak keramaian.

Warung-warung makan masih dibuka. Orang-orang masih ada yang bersantap meskipun tak banyak.
Kelompok-kelompok orang juga ada yang berkerumun di beberapa sudut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Yang paling mencolok adalah kelompok-kelompok
prajurit yang mondar-mandir.

Tak butuh waktu lama, Hui Sing telah sampai di gerbang wisma tamu. Ia baru saja hendak menembus
gerbang wisma setelah sebelumnya mengucap salam kepada dua prajurit jaga, ketika pandangan
matanya tertancap pada sesuatu.

Hui Sing menajamkan pandangannya ke atas genteng-genteng wisma tamu.

“Tuan, cepat panggil teman-teman kalian. Ada seseorang mencurigakan di atas atap wisma.”

Dua prajurit jaga wisma tamu terhenyak. Mereka segera mencari tahu dengan menelisik wuwungan
wisma yang terbuat dari papan kayu jati kokoh.

“Anda tidak sedang bercanda, Nini?”

Tanpa menghiraukan teguran prajurit itu, Hui Sing berlari secepatnya menuju bangunan wisma tamu
tempat ia melihat sesosok bayangan hitam bergerak ringan.

Hup!

Sekali lompat, Hui Sing telah hinggap di atas atap wisma.

Dia langsung berlari cepat di atas genteng tanpa khawatir terpeleset. Gerakan gadis itu demikian
lincah dan ringan.

Keyakinannya membuahkan hasil. Hui Sing menangkap bayangan hitam itu lagi. Kini, bayangan
misterius itu melompati tembok yang mengepung wisma tamu.

Tubuhnya mencelat dari atap wisma keluar tembok. Hui Sing melakukan hal yang sama. Semangatnya
semakin berkobar untuk mengetahui orang bercadar hitam yang malam-malam mengendap-endap di
genteng keraton itu.

Tak mungkin ke Wisma Rakryan Rangga.

Hui Sing berbincang dengan dirinya sendiri. Ia yakin jika benar orang yang sedang dikejarnya adalah
pembunuh rakryan rangga, mustahil dia bergerak ke Wisma Rakryan Rangga atau malah ke Wisma
Raja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah kejadian rajapati, pengamanan di kedua
tempat itu jadi berlapis. Jumlah prajurit jaga lebih banyak dari biasanya.

Dugaan Hui Sing benar.

Orang misterius itu berbelok ke arah keputren, bukan ke Wisma Rakryan Rangga. Napas Hui Sing
memburu.

Tapi dia merasa tenaganya jadi berlipat-lipat oleh keingintahuannya tentang orang misterius itu.
Sekuat tenaga dia terus berlari di atas genteng itu tanpa kendor.

Sekarang!

Bunyi bersuit-suit terdengar nyaring. Setelah tinggal beberapa tombak saja dari orang yang ia kejar,
Hui Sing langsung meluncurkan sabuk peraknya yang lihai itu.

Meskipun tak lagi memantulkan cahaya yang menyilaukan, namun kelihaian sabuk baja itu tak
berkurang.

Mendengar bunyi bersuit di belakang tubuhnya, orang misterius itu langsung tanggap akan bahaya
yang mengancamnya. Dia segera bersalto menghindar dan terus berusaha lari.

Mau lari? Jangan harap!

Hui Sing seperti mendapat tambahan tenaga yang berlimpah. Meskipun tenaganya cukup banyak
berkurang saat kejar-kejaran, toh dia masih mampu melakukan serangan maut dengan sabuknya.

Liukan-liukan sabuk yang berbahaya langsung menyerbu sosok bercadar itu. Tapi rupanya, sosok itu
memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Dia tahu benar bagaimana menghindari serangan sabuk maut
Hui Sing. Hanya, dia sama sekali tak berusaha membalas serangan gadis itu.

Dia hanya berusaha keras untuk menghindar dengan bersalto, bergulingan di atas genteng, dan
menunggu waktu untuk kabur.

“Kenapa tak melawan? Kau takut aku mengenali gerakanmu?!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing sudah bisa membaca isi otak orang itu.

“Hayo, mana pukulan Kutub Beku yang membuatmu mabuk dunia itu?”

Orang bercadar itu sempat terhenyak meskipun sesaat.

Reaksi inilah yang ditunggu Hui Sing. Ia sengaja mengatakan kalimat itu dengan bahasa Chun Kuo
untuk menjajagi kebenaran dugaannya. Ketika dia melihat orang itu tersentak, ia yakin bahwa
buruannya memahami bahasa Chun Kuo.

Sekarang, sabuk perak Hui Sing terus menyerang ke arah kepala buruannya. Rupanya, Hui Sing
geregetan ingin segera mencampakkan cadar yang dikenakan orang itu. Sementara orang yang
diserangnya kelabakan dan terus menghindar.

Hui Sing ada di atas angin karena orang yang ia serang benar-benar tak mau melakukan serangan
balik. Apa pun alasannya, hal itu sangat menguntungkan Hui Sing. Gadis itu semakin bersemangat
mengincar lawannya dengan sabuk sakti di tangannya.
Sabuk panjang itu terus menggulung-gulung dan mengeluarkan bunyi lecutan beberapa kali. Beberapa
kali Hui Sing nyaris bisa menghantam lawannya dengan ujung sabuk.

Namun, orang bercadar itu mampu menghindar.

Hui Sing sangat yakin, sebentar lagi dia akan mampu merobohkan lawannya. Bagaimanapun,
menyerang adalah pertahanan paling kokoh. Keyakinan itu semakin mengental hingga pendengaran
Hui Sing menangkap suara berdesing yang menyerbu ke arahnya.

Serta merta Hui Sing bersalto sambil memutar sabuknya.

Trang!

Bunyi logam bertemu terdengar nyaring ketika sabuk Hui Sing mengempaskan lempengan-lempengan
besi tajam sebesar dua jari yang nyaris menghunjam di tubuhnya.

Belum selesai. Hui Sing kembali harus berjumpalitan sambil memutar-mutar sabuknya ketika bunyi
berdesing itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kembali menyerbunya. Ia sudah tak lagi
memikirkan orang yang susah payah diburunya.

Kini, Hui Sing dibuat marah besar oleh orang yang menyerangnya dari belakang tadi. Satu lagi sosok
manusia bercadar berdiri di atap keputren, sementara orang bercadar yang satunya lagi sudah hilang
tak berbekas.

Hui Sing menatap tajam ke arah penyerangnya. Mereka masih berdiri tegak dan saling menyelidik.
Tanpa bergerak sama sekali. Saling tatap setajam elang.

“Hyaaa …!”

Hui Sing mengambil keputusan lebih dulu. Dia menyerbu penyerangnya dengan sepenuh hati,
sedangkan penyerang yang juga bercadar hitam itu menyambut Hui Sing dengan gegap gempita yang
sama. Di tangannya, tergenggam pedang panjang dan langsing.

Pertarungan seru kembali berlangsung. Kali ini Hui Sing tak bermain sendiri. Sebab, berbeda dengan
orang bercadar pertama yang enggan menyerangnya balik, si penyerang ini sangat bersemangat
melakukannya. Jurus-jurus yang ia terapkan sungguh asing bagi Hui Sing.

Ada aura kejam. Caranya membacokan pedang seperti setan haus darah. Tapi, Hui Sing menangkap
keindahan dalam gerak serangan lawannya. Keindahan yang dibalut kekejaman. Hui Sing merasakan
betul hal itu.

Setelah belasan jurus, baik Hui Sing maupun lawannya, belum ada yang berhasil mendesak. Kekuatan
masih berimbang. Hui Sing pun kemudian mengubah arah serangannya dengan membidik kedua kaki
penyerangnya.

Ujung sabuknya yang sanggup menghancurkan batu karang dalam satu hentakan itu terus-menerus
memburu kedua kaki penyerang bercadar itu. Menyadari jika bertahan seperti itu akhirnya sangat
merugikan, orang itu lalu melentingkan tubuhnya dan menyerang Hui Sing dari udara.

“Kena kau!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kejutan yang luar biasa. Rupanya, Hui Sing hanya
menjebak. Gadis itu sengaja membuka daerah serangan udara bagi lawan, agar lawannya berpikir dia
lengah. Begitu orang bercadar itu melenting ke udara dan menghunjamkan pedangnya lurus ke bawah,
seolah siap menembus kepala Hui Sing, gadis itu meluncurkan ujung sabuknya yang ada di balik
lengan bajunya. Hui Sing menerapkan jurus lingzho kawt (naga kembar).

Ujung sabuk itu membuat pusaran angin yang deras menyambut si penyerang. Kaget bukan main, si
penyerang mengurungkan niatnya melakukan bacokan dari udara. Ia lalu bersalto ke belakang. Namun,
Hui Sing sudah menduga gerakan itu.

Dia pun menyerbu ke depan dengan dua ujung sabuk yang kini siap melumpuhkan lawan. Menghadapi
satu ujung sabuk saja sudah begitu repot, si penyerang bercadar itu sekarang mesti menghadapi dua
tangan Hui Sing yang sama-sama memainkan sabuk.

Seperti memiliki dua tangan yang panjang dan berbahaya, Hui Sing segera merangsek ke depan begitu
kaki orang itu menginjak atap rumah. Ujung sabuk yang dimainkan tangan kanan Hui Sing menyerang
kaki, sedangkan ujung sabuk yang lain memburu kepala.

Hui Sing tak lagi menemui kesulitan untuk mendesak lawannya yang kini hanya bisa menghindar.
Pedang panjang di tangannya tak banyak membantu. Kelihatan dia serba ragu-ragu dengan seluruh
gerakannya.

Tiba-tiba Hui Sing dipaksa terhenyak ketika orang itu kembali menghujaninya dengan lempengan besi
yang berbahaya itu. Tak menyangka bakal diserang mendadak, Hui Sing menjerit sambil memutar
tubuhnya. Pada saat itu juga, sabuk di tangannya bergerak cepat melindungi tubuhnya dari serangan
senjata rahasia. Gerakan ini merupakan bagian dari jurus nuruty tsuten (putri berkemas) yang sangat
tepat untuk melindungi diri dari serangan mendadak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aaah …!”

Hui Sing kaget mendengar suara erangan penyerangnya.

Rupanya, gerakan tiba-tiba yang ia lakukan dengan memutar sabuk untuk melindungi tubuhnya,
mampu mementalkan lempengan besi itu dan berbalik ke pemiliknya. Sedikitnya, dua lempengan besi
menghunjam di bahu orang bertopeng itu.

Namun, yang membuat Hui Sing lebih terhenyak adalah suara penyerangnya yang sepertinya ia kenal.
Penasaran, tanpa ampun, sabuk di tangan kiri Hui Sing meluncur ke arah cadar si penyerang dan
berhasil membukanya tanpa perlawanan yang berarti.
Mata Hui Sing terbelalak. Dia menyentakkan sabuknya, menghentikan serangan. Kakinya serasa
terhunjam di atas genteng. Hui Sing seperti tak pernah belajar berkata-kata. Dia hanya termangu
ketika orang yang baru saja berhasil ia lepas cadarnya, bergegas meninggalkan tempat itu sambil
memegangi bahunya yang berdarah-darah.

Lama, Hui Sing seperti tersihir. Berdiri kaku tak menyadari apa yang terjadi. Kalau saja teriakan para
prajurit di bawahnya tak terdengar lantang, pasti dia akan terus seperti itu. Hui Sing lalu turun dari
atap masih dengan tatapan mata bingung. Para prajurit yang tadinya akan ikut membantu Hui Sing
meringkus orang misterius itu jadi tak mengerti.

“Hui Sing!”

Sad Respati tiba-tiba saja sudah ada di antara para prajurit itu.

“Kau tidak apa-apa? Aku mendengar dari para prajurit bahwa kau baru saja bertarung dengan dua
orang bercadar.”

Hui Sing tak menjawab. Dia hanya memandang Respati dengan tatapan bingung. Respati mengerutkan
dahinya.

“Sebaiknya kau kuantar ke wisma tamu, Hui Sing. Mungkin kau terlalu lelah.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa menggeleng ataupun mengiyakan, Hui Sing
menurut saja ketika Respati memberinya jalan di antara kerumunan prajurit. Hui Sing memandangi
orang-orang dengan tatapan mata yang tak terbaca oleh siapa pun, termasuk dirinya sendiri.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi DATASAWALA

5. Topeng Pengkhianat

Laksamana Cheng Ho duduk gagah di atas kuda.

Pancaran jiwa kesatria tampak sekali di garis wajahnya. Di sebelah kanan, Hui Sing duduk di atas
kuda lain dengan sikap sempurna. Hanya, tak ada gurat keceriaan di matanya. Dingin, seperti angin
malam yang berembus sesudah hujan.

Di belakang mereka, Sien Feng dan Juen Sui juga sudah bersiap untuk segera meninggalkan istana
Majapahit. Di hadapan mereka, Sad Respati dan sebagian bhayangkari tampak tenang di atas kudanya
masing-masing. Wibawa itu telah kembali menaungi wajah Respati.

Sang Kepala Bhayangkari kini tampak tegar tanpa beban di setiap garis wajahnya. Seperti halnya
ketika dulu dia menyambut rombongan Laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit. Senyumnya
mengembang dengan lesung pipit yang dalam.
“Laksamana, sungguh, kami sebenarnya sangat ingin Tuan dan rombongan tinggal lebih lama di
Majapahit. Maafkanlah kami jika tak bisa menjadi tuan rumah yang baik.”

“Tuan Respati, sungguh bangga saya pernah datang ke negeri yang begini kaya dan berpenduduk
santun. Tapi, tentu saja pertemuan selalu berurutan dengan perpisahan. Kami berlayar kembali untuk
menolong saudara-saudara kami di Kang Lama.”

Respati mengangguk sambil tersenyum. Ia menangkupkan kedua tangannya sambil membungkuk.

“Jika demikian, apalagi yang bisa saya katakan. Mewakili Prabu Wikramawardhana, kami sungguh
berterima kasih atas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kedatangan Tuan. Semoga segala rencana Kerajaan
Ming bisa berjalan lancar.”

Cheng Ho tersenyum sambil menjura diikuti oleh seluruh anggota rombongan.

“Nona Hui Sing, saya yakin masa depan Nona begitu cerah. Saya doakan Nona bisa meraih harapan
Nona di masa yang akan datang.”

Hui Sing mengangguk lemah tanpa menatap langsung ke arah Respati.

Basa-basi itu tak berlangsung lama. Cheng Ho segera menuntaskannya dengan berpamitan. Setelah
sekali lagi menjura, ia memerintahkan rombongan untuk balik kanan menuju Pelabuhan Surabaya.
Kini, semua ping-se yang turut dalam rombongan itu menunggangi kuda pemberian Prabu
Wikramawardhana. Dengan begitu, perjalanan bisa berlangsung lebih cepat.

Tak sampai setengah hari, rombongan Cheng Ho tiba di Cangkir. Sama dengan perjalanan awal
mereka saat datang ke Mojokerto, kini mereka pun harus menaiki perahu-perahu kecil untuk tiba di
Surabaya.

“Bhayangkari Majapahit betul-betul lihai. Hanya lewat semalam, pembunuh yang membuat onar
keraton sudah tertangkap.”

Bukan karena tak tertarik kalau Hui Sing tak memedulikan ketika Juen Sui membuka obrolan dengan
Sien Feng di atas perahu. Rasa ingin tahu Hui Sing seperti sudah tercerabut hingga ke akar-akarnya.
Lagi pula, malam sebelum hari itu, dia baru saja mengetahui satu kenyataan yang demikian
mengejutkan sekaligus membingungkan. Hingga dia sama sekali enggan untuk bercerita.

Seperti benang kusut, sulit diurai, sulit diterka-terka. Hui Sing memilih diam. Menatap permukaan air
sungai yang gemilang oleh cahaya siang.

“Kakak mengetahuinya? Dari mana Kakak tahu?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sien Feng kelihatan begitu penasaran. Dia sengaja
berpindah tempat duduk mendekati Juen Sui untuk mendengar langsung cerita penangkapan
pembunuh itu.
Perahu yang membawa rombongan Cheng Ho berjumlah puluhan. Sang laksamana memilih perahu
paling depan, tanpa ditemani siapa pun, kecuali tukang perahu yang sibuk mendayung.

Rupanya, dia sedang bermeditasi dan tak ingin diganggu.

Juen Sui bersama Sien Feng dan Hui Sing duduk di perahu kedua. Sejak naik perahu, Hui Sing
kelihatan betul tak berminat untuk terlibat perbincangan dengan kedua kakak seperguruannya. Dia
duduk merapat di pinggir perahu sambil melepas pandangannya ke arah depan.

Kini, Juen Sui dan Sien Feng mengobrol di belakangnya.

“Setelah lolos dari Hui Sing, pembunuh itu hendak lari keluar keraton, tapi langsung disergap oleh
pasukan bhayangkari. Aku mendengarnya dari cerita para prajurit pagi tadi.”

“Siapa pembunuh itu, Kak?”

“Aku sendiri tak tahu. Tapi, aku yakin Raja Wikramawardhana tak akan memberinya ampun.”

Sementara Sien Feng terus mencecar Juen Sui dengan banyak pertanyaan, Hui Sing semakin
tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Menghitung-hitung kemungkinan.

Penangkapan penjahat bertopeng oleh bhayangkari itu jelas omong kosong. Tapi akalnya benar-benar
buntu untuk memecahkan teka-teki yang ia hadapi saat ini.

Akhirnya dia memilih untuk mengambil kitab Negarakertagama pemberian Anindita dari buntalan
perbekalannya. Tapi, dia tak membukanya. Dia hanya termangu menatap kitab tak ternilai harganya
itu.

Sementara itu, perjalanan menuju Pelabuhan Surabaya berakhir lebih cepat dari biasa. Perahu-perahu
kecil yang ditumpangi rombongan Cheng Ho segera menepi. Tanpa Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi membuang waktu, Cheng Ho memerintahkan
rombongannya untuk segera ke pelabuhan.

“Adik Wang Jing Hong!”

Air muka Cheng Ho cerah seketika. Dia bergegas ke arah orang kepercayaannya, Wang Jing Hong,
yang sempat ia tinggalkan di Simongan.

Mereka berpelukan dengan penuh haru.

“Kau sudah pulih!”

“Berkat perawatan Kakak.”

Mereka tertawa penuh kegembiraan. Hui Sing yang berjalan di belakang gurunya merasa lega bukan
main.
Gurunya bisa kembali tertawa. Rasanya sudah lama sekali dia tak melihat gurunya memperlihatkan
deretan giginya yang putih bagai manik-manik itu ketika tergelak.

“Hui Sing. Kau semakin cantik saja!”

“Paman Wang.”

Hui Sing menjura diikuti kedua kakak seperguruannya, Juen Sui dan Sien Feng.

“Kenapa wajahmu seperti langit dipenuhi mendung?

Bukankah di belakangmu sudah ada dua orang gagah yang selalu siap melayanimu?”

Hui Sing hanya tersenyum menanggapi gurauan Wang Jing Hong.

Toh, dia tak bisa memaksakan diri untuk ceria. Meskipun penasaran, Wang Jing Hong tak ingin
memaksakan diri. Dia mempersilakan Cheng Ho untuk naik ke perahu yang akan membawa mereka ke
kapal Pusaka.

Hari sudah menjelang gelap, tapi Cheng Ho tak mau membuat jeda. Dia segera memerintahkan
armadanya untuk bersiap melakukan perjalanan jauh ke Kang Lama, malam itu juga.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa li setelah melewati Pelabuhan Gresik
Alam tak sedang cantik. Suara petir menggelegar setiap beberapa saat. Hujan deras mengguyur badan-
badan kapal armada Laksamana Cheng Ho. Ombak keras menghantam dinding-dinding kapal hingga
bergetar.

Awak kapal sibuk mengatur pelayaran di atas geladak.

Memindahkan beberapa layar agar arah perjalanan tak lantas kacau. Di antara para lelaki kekar itu,
Hui Sing juga ikut berlarian. Dia satu-satunya perempuan yang mondar-mandir di geladak, sementara
penumpang kapal lainnya duduk mengkeret di kamarnya masing-masing.

Dia berteriak-teriak memberi perintah sambil tak ketinggalan ikut menarik tali-tali layar. Seluruh
pakaiannya basah kuyup. Rambutnya yang terurai sampai ke pinggang pun basah. Toh, dia tak peduli.
Sesekali dia berlari ke ujung geladak untuk melihat keadaan permukaan laut. Di saat yang lain, dia
sudah berlompatan di atas tangga tali yang ditali ke atas tiang layar.

“Hui Sing, aku kira semua sudah tertangani. Kau kembalilah ke ruanganmu. Jangan khawatir.”

Sien Feng baru saja keluar dari ruangannya. Dia cukup kaget melihat Hui Sing ikut sibuk mengatur
para awak kapal.

“Aku tak akan apa-apa. Kenapa harus khawatir?”

Hui Sing berlalu begitu saja dari hadapan Sien Feng yang termangu. Dia lantas berjalan ke arah tangga
yang menghubungkan geladak ke ruangan di bawahnya. Tak berapa lama, dia sudah duduk tepekur di
kursi kamarnya dengan pakaian yang kering. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan
kain.

“Hui Sing, kau ada di dalam?”

“Paman Wang, saya segera keluar.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mendengar suara Wang Jing Hong, Hui Sing
mempercepat pekerjaannya. Dia lantas bergerak ke pintu kamar dan membukakan pintu untuk Wang
Jing Hong.

“Paman, tak biasanya Paman datang langsung ke ruangan saya. Ada apa?”

“Gurumu memanggilmu ke ruangannya. Sepertinya sangat mendesak.”

Kening Hui Sing berkerut. Ada apa? Pagi tadi, dia baru saja bertemu dengan gurunya, ketika dia
mengantar teh dan sarapan pagi. Tidak ada pembicaraan yang sangat penting.

Tapi, kenapa kini dia memanggil dengan demikian tergesa ?

“Baik, Paman.”

Tanpa membuang waktu, Hui Sing segera menutup pintu ruangannya dan mengikuti langkah Wang
Jing Hong ke ruangan gurunya.

Cheng Ho bersila di pembaringan. Wajahnya sangat pucat.

Keringat keluar hampir dari seluruh permukaan kulit mukanya.

Perlahan wajahnya menghitam.

“Guru!”

Hui Sing kaget melihat keadaan gurunya. Matanya terbelalak dan bibirnya bergetar. Keningnya
semakin berkerut karena khawatir.

Wang Jing Hong mengingatkan agar Hui Sing tenang dan duduk. Ia menyuruh agar Hui Sing
menunggu sampai Cheng Ho sadar.

Hoekh … hoekh!

“Guru!”

Wang Jing Hong tak bisa lagi menahan Hui Sing yang menghambur ke arah Cheng Ho sambil
memekik penuh waswas. Justru Cheng Ho yang mengangkat tangan kanannya, mencegah Hui Sing
mendekat.
“Aku tak apa-apa!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing terpaku di tempatnya berdiri. Menatap
Cheng Ho yang pelan mengelap darah hitam kental keluar dari mulutnya.

Ia memuntahkan banyak sekali darah berwarna hitam. Seperti terkena racun.

“Guru terkena racun?”

“Racun yang sangat mematikan. Campuran tarantula ratusan tahun dan kobra putih.”

Hui Sing makin tak bisa bicara.

“Bagaimana mungkin?”

“Siapa yang menyeduh teh untukku tadi pagi?”

Hui Sing tercekat. Napasnya tertahan.

“Saya sendiri, Guru.”

“Hm, lihai sekali dia.”

Hui Sing masih belum mengerti.

“Sepertinya, sekaranglah saatnya, Hui Sing.”

“Maksud Guru?”

“Aku masih butuh waktu untuk membuang semua racun dalam tubuhku. Yang berhasil aku muntahkan
baru setengahnya saja. Paling tidak, aku butuh waktu hingga malam nanti untuk memaksa semua
racun keluar dari tubuhku.”

Hui Sing masih berdiri diam.

“Selama itu, jagalah pintu kamar ini baik-baik. Jangan biarkan satu orang pun masuk, termasuk Juen
Sui dan Sien Feng.”

Hui Sing menatap Wang Jing Hong.

“Tentu saja kecuali Saudara Wang!”

Cheng Ho menjawab pertanyaan di benak Hui Sing.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Aku kira, inilah saat yang ditunggu-tunggu pengkhianat itu untuk menyerang. Keadaanku sedang
lemah. Dia pasti memanfaatkannya. Sekarang kau boleh keluar.”

Masih dalam keadaan bingung, Hui Sing keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu kamar, dia
berdiri kaku di muka pintu kamar dengan tubuh bergetar. Bagaimana mungkin dia begitu ceroboh,
memberikan minuman beracun kepada gurunya. Lalu, bagaimana bisa racun itu masuk ke dalam teh
yang ia bawa?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Hui Sing. Masih mengambang dan tak
terjawab, sampai kemudian dia mendengar derap langkah mendekat.

“Hui Sing, apa yang kau lakukan di sini?” Juen Sui berdiri terheran-heran melihat Hui Sing berdiri
seperti orang linglung.

Begitu juga dengan Sien Feng yang berdiri di belakangnya.

“Menjaga guru agar tak ada seorang pun masuk ke ruangannya.”

Juen Sui tersenyum.

“Termasuk kami?”

“Ini perintah guru, aku tak berani menentang.”

“Hui Sing, tingkahmu semakin aneh saja belakangan ini.

Setelah menjaga jarak dengan kami, sekarang kau ingin menyingkirkan kami dari guru!”

Hui Sing menatap Juen Sui dengan pandangan pedang, tapi dia malas berdebat.

“Sudahlah, pergilah kalian! Guru benar-benar tak ingin diganggu!”

“Hui Sing!”

Hui Sing cuma mengangkat dagu perlahan ketika suara Juen Sui meninggi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau sudah keterlaluan! Kami tak peduli jika kau benci kami! Tapi jangan berpikir untuk
menyingkirkan kami dari sisi guru.” Suaranya mulai merendah.

“Hui Sing, sadarlah. Kita sudah begitu lama bersama-sama.”

“Tak akan sampai tengah malam, semua akan terungkap.

Guru sedang berunding dengan Paman Wang untuk meyakini, siapa di antara kalian yang mencuri
kitab Kutub Beku. Setelah itu, baru kita bicara tentang masa lalu.”
Mata Juen Sui membelalak. Tanpa berkata-kata lagi, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan
berderap ke arah tangga menuju geladak, diikuti Sien Feng yang sejak tadi memilih diam.

“Aku tak mengerti kenapa Hui Sing menjadi begitu kejam.”

Hujan masih deras mengguyur Laut Jawa, meskipun tanpa badai. Ombak pun lebih rendah
dibandingkan siang sebelumnya. Juen Sui dan Sien Feng duduk di geladak dipayungi atap mungil di
atas tangga menuju lantai bawah.

Suasana geladak tak sesibuk sebelumnya.

“Benarkah guru sedang membahas siapa orang yang mencuri kitab itu?”

Juen Sui menoleh ke arah Sien Feng. Adik seperguruannya itu rupanya tak berminat menjawab
keingintahuannya tentang perubahan sikap Hui Sing. Dia justru mempersoalkan perkataan Hui Sing
beberapa saat lalu.

“Kenapa kau memikirkannya begitu dalam, Sien Feng?”

“Aku mulai percaya akan keyakinan guru dan Hui Sing.”

“Kau menuduhku, Sien Feng?”

“Semua serbagelap. Aku tak bisa berpikir lagi.”

“Kau baru saja menuduh tanpa bukti!”

“Kalau bukan Kakak yang melakukannya, kenapa harus begini ribut?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mata Juen Sui kembali terbelalak. Akhirnya,
emosinya tak terkendali sama sekali. Tanpa berkata lagi dia bangkit, lalu berjalan menuju tengah
geladak, tanpa peduli hujan. Ia berdiri tegak sambil menatap tajam Sien Feng.

“Sien Feng, sejak lama kau memang sudah tak mempercayaiku. Cabut pedangmu, kita bertarung
sampai mati!”

“Apakah ini tidak berlebihan, Kak?”

“Guru tak percaya lagi kepadaku. Kau dan Hui Sing pun begitu. Jadi, apa alasanku untuk hidup? Cabut
pedangmu!”

Sien Feng bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Juen Sui.

“Kau yakin?”

Juen Sui tersenyum sinis.


“Aku tak pernah seyakin ini.”

Juen Sui memasang kuda-kuda terbaiknya. Ia menggenggam bagian tengah tongkat besi dengan tangan
kanannya. Siap untuk menggebuk. Sreeeng!

Sien Feng pun bersiap.

“Jika itu kemauanmu. Aku tak berani menolak.”

Pedang hitam di tangan Sien Feng meluncur deras langsung ke ulu hati Juen Sui. Angin serangan yang
begitu keras sulit sekali dibendung. Tapi karena yang ia hadapi adalah Juen Sui, kakak seperguruannya
sendiri, sudah pasti ia tahu betul cara menyikapinya.

Trang!!!

Tongkat besi di tangan Juen Sui mengayun. Kecepatan gerakannya membuat kabur pandangan mata
lawan. Seolah-olah jumlahnya menjadi banyak.

“Tsude ne fit (jurus ungkitan seorang penjarah)!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui memutar tongkatnya. Melepaskan diri
dari kepungan pedang Sien Feng dan berusaha mencari peluang untuk melakukan sodokan keras. Sien
Feng yang sudah mengenal jurus itu sejak kecil tak terlalu disulitkan oleh serangan itu. Sodokan Juen
Sui menerpa ruang kosong, saat tubuh Sien Feng meluncur ke bawah, hingga kedua kakinya meregang
lurus, menempel di lantai geladak.

Saat itulah, mata pedangnya kembali meluncur mengincar jantung Juen Sui. Sebelumnya, dia
melakukan gerakan pusaran angin dengan memutar kakinya agar mudah bangkit.

“Fuke kotli ey (Panda memetik anggur)!”

Juen Sui terpaksa menggerakkan kakinya ke belakang dengan tergesa agar lepas dari maut. Sementara
tangannya memutar tongkat andalannya, menghalau pedang maut Sien Feng.

Sementara pertarungan seperguruan itu semakin sengit, Cheng Ho kembali memanggil Hui Sing
masuk ke ruangannya.

“Hui Sing, racun itu lebih berbahaya dari yang aku duga.

Cepat sekali menjalar ke urat darah menuju jantung. Aku butuh waktu lebih lama dan harus menguras
tenaga dalam lebih hebat. Kau benar-benar harus membantuku untuk menahan dua orang itu, jika
mereka hendak masuk kemari.”

“Baik, Guru. Hanya saya betul-betul tidak paham, bagaimana orang itu bisa memasukkan racun ke
dalam minuman teh yang saya seduh untuk Guru?”

“Itu yang masih aku pikirkan. Orang itu sangat lihai.


Apalagi kini dia sudah menguasai Ilmu Kutub Beku, meskipun belum sempurna. Kau harus hati-hati!”

“Baik, Guru!”

Hui Sing membalikkan tubuhnya hendak keluar ruangan itu untuk kembali berjaga.

“Hui Sing, tunggu!”

” Ya, Guru?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Siapa yang menyiapkan cangkir tempat air teh yang kau hidangkan!”

Hui Sing tercekat. Kesan wajahnya menegang. Bibirnya bergetar hebat.

“Dia orangnya …!”

0oo0

“Kakak Juen Sui, kenapa ragu menggunakan tapak Kutub Beku. Apakah kau khawatir aku tak akan
sanggup menerimanya?”

“Kau!”

Emosi Juen Sui kian menggelagak. Dalam keadaan tenang, ilmu tongkatnya nyaris sempurna. Selama
ini pun dia begitu pandai mengendalikan emosinya sehingga gurunya percaya bahwa Juen Sui kelak
bisa menguasai ilmu tongkat dengan sempurna. Sebab, salah satu syarat untuk menguasai ilmu tongkat
aliran Thifan adalah kemampuan mengendalikan rasa dan emosi. Tapi kali ini, Juen Sui benar-benar
kalah oleh dirinya sendiri.

“Hyaaa …!”

Tubuh Juen Sui berputar ganas. Tujuannya hanya satu, melumatkan Sien Feng. Sementara Sien Feng
yang sudah di atas angin karena lebih bisa mengendalikan emosinya, bersikap sangat hati-hati .

“Tumpuan anak angin!”

Sien Feng bersalto sambil memhunuskan pedangnya, bukannya menghindar. Juen Sui yang tadinya
mengira Sien Feng akan menghindar, cukup kaget karenanya.

Namun, terlambat untuk menarik kembali tongkatnya. Dia pun lalu membelokkan ujung tongkat itu,
menyambut pedang hitam Sien Feng.

Trang!!! Wuuut!

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pedang hitam Sien Feng terlepas. Bagaimanapun,
tenaga dalam Juen Sui masih berada tipis di atas Sien Feng. Gelagat tak menguntungkan itu memaksa
Sien Feng membuang tubuhnya ke kanan, berguling di atas lantai kayu.

Namun, tongkat buta Juen Sui terus memburu kepala Sien Feng.

Wuuut!

Suara bersuit itu datang lagi. Sabuk perak penyebar maut itu meluncur deras mementalkan tongkat
Juen Sui yang nyaris saja meremukkan kepala Sien Feng.

“Adik Hui Sing, kau datang pada saat yang tepat. Dia hampir saja bisa mengelabui kita semua. Dialah
pencuri kitab itu!”

“Kau!”

Juen Sui tersentak. Seperti baru menyadari bahwa dia nyaris saja berbuat bodoh.

“Jadi, kau yang malam itu bersama Anindita!”

Juen Sui dan Sien Feng menatap Hui Sing dengan pandangan tak mengerti.

“Licik sekali!”

“Siapa yang kau maksud, Hui Sing? Siapa yang bersama Anindita?” Juen Sui semakin penasaran
dengan sikap Hui Sing. Hui Sing menggulung perlahan sabuk peraknya.

Lalu, dia membuang pandangannya ke tengah laut.

Sementara seluruh tubuhnya mulai basah oleh air hujan. Ia berbicara dengan suara lantang,
mengalahkan suara hujan.

“Guru yakin, pembunuh rakryan rangga Majapahit adalah orang yang sama dengan pencuri kitab
Kutub Beku. Sebab, di tubuh Rakryan Rangga Abyasa terdapat luka akibat tapak Kutub Beku.”

Sien Feng bangkit, lalu berdiri tegak menunggu kalimat Hui Sing selanjutnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aku mengejar seseorang yang mencurigakan pada malam sebelum kita meninggalkan Majapahit.
Sampai di atap keputren, orang itu berhasil aku kejar. Hampir saja aku dapat meringkusnya, sampai
kemudian seorang bertopeng yang lain datang menolong. Aku berhasil menyibak cadar yang dipakai
penolong busuk itu!”

Hui Sing tersenyum miris.

“Dia Anindita!”
“Hah?!”

Juen Sui dan Sien Feng terbelalak tampak tak percaya.

“Mustahil! Anindita tak menguasai ilmu kanuragan!”

“Kakak Sien Feng, dia tak cuma menguasai ilmu kanuragan yang kejam, tapi juga tipu muslihat kelas
satu.

Bahkan, aku sama sekali tak mengendus sifat culasnya.”

“Tapi, bukankah pembunuh Rakryan Rangga Abyasa sudah tertangkap?”

Juen Sui memotong kalimat Hui Sing.

“Omong kosong! Itu hanya akal-akalan untuk menghilangkan jejak!”

“Jadi, pembunuh Rakryan Rangga Abyasa sebenarnya adalah Anindita. Sungguh tak pernah aku
sangka!”

“Sien Feng!”

Suara Hui Sing melengking menabrak kalimat Sien Feng.

Ini pertama kalinya Juen Sui dan Sien Feng mendengarkan Hui Sing berteriak begini kasar. Bahkan,
melepaskan kata

“kakak” di depan nama Sien Feng.

Hui Sing menggeser tubuhnya hingga benar-benar berhadapan dengan kedua kakak seperguruannya.
Tapi kini, tatapan matanya yang setajam pedang, yang baru saja diasah itu, menghunjam ke mata Sien
Feng.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Setelah semua perbuatan keji ini, kau masih ingin mengelak!”

“Adik Hui Sing, aku tak paham maksudmu?”

“Maksudku, kenapa kau melumuri cangkir teh guru dengan racun tarantula?”

“Apa?!”

Juen Sui tersentak. Dia menatap Sien Feng dengan pandangan tak percaya.

“Kau …!”

Itu saja yang keluar dari bibir Juen Sui. Tak ada kata-kata setelahnya. Hanya tubuhnya yang bergetar
hebat berusaha menguasai emosi. Tiba-tiba tawa Sien Feng meledak. Sangat keras dan sambung-
menyambung. Matanya sampai berair karenanya.

“Kau benar-benar pandai, Hui Sing. Ya, akulah yang melakukan semuanya. Aku yang mencuri kitab
Kutub Beku, aku pula yang membunuh Rakryan Rangga Abyasa atas permintaan Anindita, dan aku
pula yang meracuni guru!”

Wuuut!

Tanpa bicara lagi, Juen Sui mengirimkan serangan mematikan dengan tongkat besinya. Amarahnya
sudah sampai di ubun-ubun.

“Kau harus mati!”

Sien Feng tak menanggapi kata-kata Juen Sui. Dengan santai, dia melepaskan diri dari serangan Juen
Sui sambil melangkah mundur, sedangkan kedua tangannya menyatu ke belakang pinggang.

“Juen Sui, kau pikir siapa dirimu?”

Usai berkata seperti itu, lengan kanan Sien Feng membabat ke depan, seperti gerakan pedang. Juen Sui
kaget bukan kepalang karena ketika lengan itu menghantam tongkatnya, dia merasakan getaran yang
luar biasa.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau ingin tahu sehebat apakah tapak Kitab Beku, Juen Sui?”

Sekali hentak, tongkat di tangan Juen Sui terpental.

Sekejap kemudian, tangan kiri Sien Feng menghambur ke depan dengan sikap tapak sempurna. Juen
Sui merasakan dadanya sesak luar biasa. Tenaga yang terlontar dari tapak Sien Feng menghentak
seperti sebongkah batu besar.

Tubuh Juen Sui terlempar hingga ke pinggir geladak. Ia memegangi dadanya yang terasa sangat sakit.
Rasa dingin yang menusuk-nusuk mencengkeram erat. Juen Sui muntah darah.

“Sien Feng!”

Mata Sien Feng yang kini berubah liar, berbalik ke arah Hui Sing. Gadis itu berdiri gagah dengan
pedang hitam di tangan kanan. Pedang itu milik Sien Feng.

“Aku akan mengadu nyawa denganmu!”

Tawa Sien Feng kembali meledak.

“Hui Sing, bukankah kau tak suka memakai pedang?”


“Aku tak suka pedang, bukan berarti tak mampu menggunakannya. Bersiaplah!”

Hui Sing berlari kencang ke arah Sien Feng. Pedang di tangannya langsung membabat ke arah kepala.
Sien Feng tersenyum dingin. Sama ketika melawan Juen Sui, dia pun menghindari lawannya dengan
menggerakkan kakinya ke belakang.

“Ajalmu sudah sampai!”

Sambil berteriak, tangan kiri Hui Sing meluncurkan sabuk perak andalannya. Rupanya, menghadapi
Sien Feng yang kini menguasai jurus Kutub Beku, memaksa Hui Sing untuk mengerahkan semua
kemampuannya. Karena selama ini, ilmu sabuknya sudah demikian dihafal oleh Sien Feng dalam
berbagai latihan, dia berpikir untuk memberinya kejutan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Meskipun tak pernah serius, Hui Sing juga berlatih
pedang di bawah asuhan Cheng Ho. Walaupun bukan ilmu andalan, kemampuan Hui Sing dalam
memainkan pedang jelas tak bisa dipandang enteng. Apalagi dia kini memainkan dua senjata
sekaligus.

Untuk bisa memainkan jurus pedang dan jurus sabuk sekaligus dibutuhkan cara yang khusus. Saat di
Tiongkok, Hui Sing sempat mempelajari ilmu pemecah pikiran ciptaan Ciu Pek Tong, pendekar sakti
dari aliran Cuan Cing yang hidup pada masa Dinasti Song.

Sekarang, ilmu langka itu benar-benar berguna. Dengan cara ini, Sien Feng merasa sedang melawan
dua orang sekaligus. Satu menggunakan pedang, satunya lagi sabuk berbahaya. Dia pun tak bisa lagi
memandang remeh.

Sabuk perak Hui Sing beberapa kali melecut keras setiap Sien Feng berusaha mengambil jarak dari
Hui Sing, sedangkan pada saat jarak tarung mereka tak begitu jauh, Hui Sing bertumpu pada pedang
untuk melawan Sien Feng.

Puluhan jurus dilepas, belum pasti siapa yang akan roboh.

Sien Feng kelihatan betul menahan pukulan mautnya.

Sebaliknya, Hui Sing semakin penasaran karena seluruh serangannya menerpa angin. Lama-kelamaan,
justru tenaganya yang tersedot deras.

“Hyaaa …!”

Putus asa karena semua serangannya tak kunjung menghasilkan, Hui Sing nekat mendorong pedang di
tangannya membidik tubuh Sien Feng sepenuh hati. Pada saat bersamaan, dia menyiapkan dath-nya
yang tersisa untuk adu tenaga.

Reaksi Sien Feng luar biasa. Ia menyambut pedang yang meluncur ke arahnya, lalu menyapukan
tangan kirinya menghadang pedang. Hasilnya, pedang sakti miliknya itu patah menjadi dua.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Serangan susulan Hui Sing lewat kepalan tangan
kanannya disambut oleh tapak tangan kiri Sien Feng yang menyentak ke depan. Hui Sing terpental ke
belakang dan terguling-guling di lantai kapal. Tak menunggu lama, ia berusaha bangkit lagi bertumpu
pada tangan kanannya. Hui Sing tak pernah begitu awut-awutan sebelum ini. Tubuhnya basah kuyup.
Rambutnya tergerai begitu saja.

Wajahnya pucat karena tenaga yang terkuras. Sien Feng berjalan santai mendekati Hui Sing yang
masih matian-matian berusaha untuk bangkit.

“Katakan, kenapa kau lakukan ini?” Hui Sing berbicara lirih dan patah-patah. Pandangan matanya
masih tertumbuk pada lantai kayu kapal.

“Alasanku yang mana, Hui Sing? Kenapa aku mencuri kitab, atau kenapa aku membunuh Rakryan
Rangga Abyasa?

Atau … kenapa aku meracuni Cheng Ho keparat itu?”

“Kau!”

Sien Feng terbahak dengan lantang seperti orang hilang ingatan. Ada garis kepuasan yang sulit
dipahami dalam gurat wajahnya.

“Aku mencuri kitab Kutub Beku tentu saja karena aku mengincar kitab itu. Aku tak mau kitab itu jatuh
kepadamu atau Juen Sui.”

Napas Hui Sing tersengal. Ujung-ujung rambutnya menjadi jalan air hujan menetes ke lantai kapal.

“Aku membunuh Abyasa karena aku terikat perjanjian dengan Anindita.”

Hui Sing menolehkan wajahnya sambil menyeringai.

Giginya bergemerutuk.

“Kau merusak Anindita yang demikian santun!”

Lagi-lagi, Sien Feng tergelak dengan suara yang tak kalah keras dibandingkan sebelumnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Anindita adalah perempuan lihai yang tidak ada duanya di Majapahit. Dialah yang merencanakan
pembunuhan terhadap Abyasa agar Sad Respati bisa menduduki posisi rakryan rangga.”

Napas Hui Sing semakin memburu menahan amarah. Dia ingat perbincangan-perbincangan bersama
Anindita yang demikian syahdu dan penuh persahabatan.

“Dia minta aku membantunya membantai Abyasa dan berjanji akan menjauhkanmu dari Respati.”
“Apa?!”

“Hui Sing, bertahun-tahun bersama, tidakkah kau sadar perasaanku yang dalam terhadapmu?”

“Cih!”

Hui Sing beringsut menjauh karena tak punya cukup tenaga untuk bangkit. Benaknya sudah dijejali
gumpalan rasa benci.

“Lalu, kenapa kau meracuni guru?”

Hui Sing berusaha mengulur waktu.

“Jadi, si bangsat itu tak pernah bercerita kepadamu, Hui Sing? Aku anak orang kepercayaan Kaisar
Zhu Yunwen yang dikhianati oleh Zhu Di, Kaisar Ming yang kini berkuasa.

Ayahku dibunuh oleh Cheng Ho saat Zhu Di memberontak.

Sekarang kamu paham?”

Hui Sing tersenyum. Semakin lebar. Sampai gigi-giginya yang tertata apik terlihat. Kemudian, dia
tertawa.

“Semakin nyata bahwa kau sama sekali tak punya jiwa kesatria, Sien Feng. Mati dalam pertempuran
adalah sebuah kehormatan. Mengapa kau ribu-ribut membalas dendam kepada orang yang paling
berjasa terhadap hidupmu?”

“Kau!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tangan Sien Feng baru saja akan menampar wajah
halus Hui Sing, tapi urung. Dia malah tertawa kembali dengan suara keras.

“Guru tak akan mengampunimu, pengkhianat!”

“Kau pikir, bisa apa kasim tak berguna itu setelah menelan racunku? Sehebat apa pun ilmunya, tak
akan mampu melawan racun yang begitu ganas.”

Hui Sing melayangkan tangannya yang sudah tak bertenaga dan langsung digenggam oleh Sien Feng.

“Tahukah kau, Hui Sing, kau semakin cantik ketika wajahmu basah.”

“Sien Feng, terima ajalmu!”

Sien Feng membalikan badannya sambil mengangsurkan tangannya melepas dath dingin dari jurus
Kutub Beku. Saat itu, Juen Sui yang nekat menyerang, langsung terpental lagi ke belakang menuju
laut. Pasti dia tercebur ke laut jika tidak segera ditangkap oleh sebuah bayangan putih yang melayang
ringan.
Bayangan putih itu, Laksamana Cheng Ho. Dia langsung membimbing Juen Sui untuk bersila di
depannya dan mulai mengalirkan dath pemulih untuk melawan luka dalam yang dialaminya. Juen Sui
beberapa kali muntah darah.

“Guru!”

Wajah Hui Sing berseri. Dia lega bukan main melihat gurunya segar bugar kembali.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Sien Feng berlari kencang ke arah Cheng Ho dan langsung melancarkan serangan mautnya.

“Murid lancang, kau benar-benar tak sabaran!”

Tenaga penuh yang dilancarkan oleh tapak tangan kanan Sien Feng disambut kepalan tangan kiri
Cheng Ho. Sementara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tangan kanannya tetap menempel di punggung Juen
Sui untuk mengalirkan hawa murni.

Sien Feng tersentak. Dia merasakan daya tolak yang luar biasa besar sehingga tubuhnya terpental ke
belakang.

Meskipun tak mengalami luka dalam, Sien Feng marah besar karena merasa rencananya gagal total.

“Tidak mungkin!”

Perasaan jerih mulai menjalar dalam diri Sien Feng.

Rencananya yang ia susun bertahun-tahun lamanya, bisa buyar begitu saja jika Cheng Ho benar-benar
pulih demikian cepat.

“Mati kau!”

Sien Feng kembali mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk menyerang Cheng Ho sekeras-kerasnya.
Pada saat yang sama, Cheng Ho melepaskan telapak tangan kanannya dari punggung Juen Sui dan
melakukan putaran untuk bangkit dan menyambut serangan Sien Feng.

“Aaagrh …!”

Sien Feng terpental jauh dengan mulut tak hentinya mengeluarkan darah. Tubuhnya terbanting ke
lantai kayu.

Berkelejat-kelejat sebentar, lalu diam. Wajahnya seputih salju.

Matanya merah. Urat darahnya pecah karena tercekat rasa dingin yang luar biasa dari pukulan Kutub
Beku.

“Guru!”
Juen Sui dan Hui Sing pelan mendekati gurunya yang kini berdiri sambil tersenyum di samping jasad
kaku Sien Feng.

Cheng Ho menggeledah baju Sien Feng beberapa saat dan menemukan kitab Kutub Beku di sana.

“Kalian murid-muridku yang hebat.”

Cheng Ho menyambut datangnya Hui Sing dan Juen Sui yang berjalan terhuyung ke arahnya.

“Guru sudah pulih?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Melihat gurunya segar bugar, menjadi kekuatan
baru bagi Hui Sing. Dia menguatkan dirinya untuk berjalan meskipun merasa begitu lemas karena
kehabisan tenaga. Cheng Ho menahan senyumnya. Begitu sampai di hadapan gurunya, Hui Sing
menjatuhkan dirinya, bersimpuh di depan Ceng Ho.

“Guru, izinkan saya kembali ke Kota Raja Majapahit. Saya harus menghentikan Anindita, Guru!”

Cheng Ho tak menjawab. Ia masih tersenyum ketika tubuhnya limbung dan hendak jatuh terbanting.
Dari mulutnya, kembali merembes darah hitam kental. Juen Sui cepat tanggap dan menangkap tubuh
gurunya. Sementara itu, Wang Jing Hong dan para ping-se yang baru saja keluar dari lantai bawah,
segera menolong mereka.

“Adik, lebih baik kita pulihkan dulu keadaan kita. Setelah itu, kita bicarakan semuanya.”

Hui Sing mengiyakan kata-kata Juen Sui. Setelah sesaat menatap jasad kaku Sien Feng, dia bangkit
lalu berjalan tertatih menuju ruangannya. Tiba-tiba rasa pedih menyeruak dalam batin Hui Sing. Dia
ingat masa lalu bersama Sien Feng yang begitu ceria.

Mereka begitu dekat. Keceriaan Sien Feng yang tak pernah habis. Lelucon-leluconnya yang
menyegarkan. Hui Sing berjalan sambil mengusap air matanya yang mulai deras menetes. Sien Feng
salah jalan. Meskipun Hui Sing yakin, Sien Feng tak pernah menyesali apa yang ia perbuat.

Sebab baginya, balas dendam adalah sebuah bakti. Hui Sing semakin dicengkeram haru. Begitu tiba di
kamarnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat, dia menghambur ke pembaringan dan menangis
sepuasnya.

Pagi itu, wajah Hui Sing sudah segar seperti sediakala.

Dengan penuh semangat, dia berjalan di lorong dek menuju ruangan gurunya. Sepagi itu, Cheng Ho
sudah memanggil Hui Sing. Bahkan, sarapan pun belum lagi selesai dibuat.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Hui Sing, berikan aku alasan yang kuat untuk mengizinkanmu kembali ke Mojokerto.”

Setelah sedikit berbasa-basi, Cheng Ho akhirnya menanyai Hui Sing mengenai permintaannya
beberapa hari lalu.

“Anindita sangat lihai, Guru. Sejauh ini, baru saya yang melihat langsung kejahatannya. Saya merasa
berkewajiban untuk menghentikannya.”

“Hanya itu?”

Hui Sing mengangguk. Cheng Ho tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Satu lagi alasannya. Anindita akan menjadi orang penting di Majapahit. Sebab, dia anak seorang
patih dan calon istri seorang rakryan rangga. Bukankah ini sebuah ancaman bagi Majapahit?”

Cheng Ho kembali tersenyum dan menggeleng.

“Tidak biasanya kau menjawab tanpa berpikir panjang, Hui Sing.”

Hui Sing merengut.

“Kau tak ingin kembali ke Mojokerto karena Respati?”

Wajah Hui Sing memerah. Pipinya juga begitu. Seperti buah tomat merah yang hendak masak.

“Wajahmu mengatakan ‘ya’ Hui Sing!”

Cheng Ho bangkit dari pembaringan dan menuju jendela kamar.

“Kau sudah dewasa sekarang. Aku tak bisa mengekangmu. Hanya sebagai ayah, mana boleh aku
kehilangan rasa khawatir ketika anak gadisku hendak meninggalkan aku.”

Hui Sing merasakan bola matanya memanas. Cheng Ho memang sudah mencintainya seperti anak
sendiri.

Mencurahkan kasih sayang dan dengan tulus menjaganya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Itulah yang membuat Hui Sing sebenarnya sedikit
ragu ketika memutuskan untuk pergi.

“Tapi ini sudah takdir. Barangkali kita akan terpisah selama bertahun-tahun.”

“Bukankah dua tahun lagi, Guru akan kembali ke Majapahit unuk mengambil ganti rugi penyerangan
Prabu Wikramawadhana?”

“Lalu, apa yang akan terjadi selama dua tahun perpisahan itu?”

Hui Sing terdiam. Cheng Ho menatap Hui Sing sambil tersenyum penuh kasih.
“Hui Sing, sebentar lagi kita sampai di Pelabuhan Simongan. Jika tekadmu sudah bulat untuk pergi ke
Majapahit, kau bisa turun di sana dan melakukan perjalanan darat.”

Hui Sing mengangkat wajahnya dengan bibir bergetar.

Matanya berkaca-kaca.

“Guru mengizinkan saya pergi?”

“Dengan banyak syarat!”

Cheng Ho kembali menatap pemandangan laut dari balik jendela.

“Pertama, belajarlah dari pengalaman Sien Feng. Bahwa kau tidak boleh langsung percaya kepada
siapa pun.”

Hui Sing mengangguk.

“Kedua, cinta Thian begitu agung, tidak ada alasan untuk mengkhianatinya.”

“Maksud Guru?”

“Mencintai sesama manusia tentunya sangat wajar.

Namun, jangan sampai hal itu mengorbankan cinta kita kepada Thian. Cintailah manusia sewajarnya.”

Hui Sing mendengarkan wejangan itu dengan khidmat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau memiliki pandangan hidup dan keyakinan akan Thian yang tak ternilai oleh apa pun di dunia.
Aku harap kau tak pernah berpikir untuk menggadaikannya dengan apa pun juga.”

“Saya berjanji, Guru. Saya tak akan pernah melakukannya.”

“Bagus. Syarat ketiga, bawalah ini.”

Cheng Ho mengambil sebuah kitab dari lipatan bajunya.

“Kitab Kutub Beku? Guru, bukankah Kakak Juen Sui lebih berhak menerimanya?”

“Juen Sui akan kulatih langsung. Sedangkan kau harus mempelajarinya sendiri. Terimalah!”

Setengah tak percaya, Hui Sing menerima kitab pusaka itu.

“Dengan kecerdasan dan dasar ilmu yang sudah kau miliki, tak akan sampai setahun kau akan
menguasainya. Tapi penyempurnaannya bergantung pada latihan dan kearifan jiwamu.”
“Terima kasih, Guru.”

Hui Sing beberapa kali menjura.

“Sudahlah. Masih ada satu syarat lagi.”

Hui Sing kembali mengangkat wajahnya.

“Tengoklah kakakmu. Dia sudah lama tersiksa oleh sikapmu.”

“Baik, Guru.”

Lagi-lagi Hui Sing menjura, sebelum akhirnya dia pamit untuk menengok Juen Sui. Sepanjang jalan,
Hui Sing merasakan jantungnya berdebar keras. Kembali ke Majapahit, petualangan baru, dan kitab
Kutub Beku, alangkah sempurnanya keberuntungan hari ini.

“Jadi, guru mengizinkanmu pergi, Hui Sing?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah beberapa lama di kamar Juen Sui, Hui Sing
mulai menyinggung rencana keberangkatannya.

“Benar, Kakak.”

Juen Sui tersenyum. Dia masih terbaring lemah. Kalau gurunya bisa cepat pulih, Juen Sui mengalami
hal berbeda.

Dua kali gempuran Kutub Beku oleh Sien Feng menyebabkan ia terluka dalam. Butuh waktu lama
untuk menyembuhkannya.

“Memangnya, siapa yang bisa menghalangi si keras kepala ini?”

Hui Sing tertawa kecil mendengar gurauan Juen Sui.

Meskipun dia tahu, ada nada perih dalam kata-kata itu. Sama dengan yang ada di benaknya. Rasa sedih
karena akan berpisah. Bertahun-tahun ada dalam kebersamaan membuat mereka merasa demikian
dekat.

Mereka diam beberapa saat. Sama-sama menyelami khayal masing-masing.

“Lalu, apa rencanamu begitu sampai di Majapahit, Hui Sing?”

“Aku belum punya rencana, Kakak!”

Diam lagi.

“Hati-hati!”

Hui Sing menatap mata Juen Sui yang menatap langit-langit kamar. Dia mengatakan kalimat itu
seperti orang mengigau saja. Tanpa tenaga. Hui Sing merasa disergap rasa bersalah.

“Kakak, jika dua tahun lagi Kakak kembali ke Majapahit, kita akan bertemu lagi.”

Juen Sui tersenyum lagi. Sangat tulus.

“Aku yakin kita akan bertemu lagi. Tapi tidak secepat itu.”

Hui Sing terdiam.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aku hanya ingin kau berhati-hati, Hui Sing.”

“Aku akan selalu mengingat itu, Kakak.”

“Baik. Kalau begitu, pergilah. Aku akan selalu mendoakanmu.”

Hui Sing mengangguk. Dia tersenyum sambil menahan kelopak matanya agar tak mengeluarkan
tangis. Setelah berpamitan, dia bangkit lalu bergerak ke arah pintu.

“Sebelum turun ke Simongan, aku pasti menjengukmu untuk berpamitan, Kakak.”

Juen Sui mengangguk lemah. Begitu Hui Sing menghilang di balik pintu. Juen Sui kembali menatap
langit-langit kamarnya. Dari dua sudut matanya, keluar air mata yang sepertinya tak akan segera
berhenti.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 6. Asmara Seruling

Saatnya tiba

Pelabuhan Simongan di depan mata. Hui Sing turun dari kapal Pusaka, menaiki perahu kecil untuk
mencapai pantai.

Sebelumnya, sedu sedan yang nyaris membuatnya mengurungkan niat untuk pergi ke Majapahit
terjadi. Hanya karena tekad yang sudah bulat, Hui Sing mengeraskan hatinya untuk tetap berangkat.

Ia mencoba memikirkan hal-hal yang membuatnya gembira agar hatinya tak terasa berat. Pertemuan
dengan Ramya menjadi salah satu pemicu semangat. Bukankah dulu, dia juga merasa begitu berat
untuk berpisah dengan Ramya?

Sekarang, dia akan segera menemuinya. Dan, pastilah akan sangat menyenangkan. Dengan penuh
semangat, Hui Sing mengayuh dayung agar perahunya cepat sampai ke pantai.

Dia mulai melihat kapal-kapal nelayan yang berjejer di pinggir pantai siap melaut malam nanti.
“Nini Hui Sing!”

Wajah Hui Sing sumringah mendengar namanya dipanggil.

Rupanya, orang-orang Simongan masih mengingatnya dengan baik.

“Apa kabar?”

Hui Sing setengah berteriak agar suaranya tak tenggelam oleh suara ombak. Dibantu oleh para
nelayan, Hui Sing merapatkan perahu kecilnya.

“Kalian tahu kabar Ramya?”

Penuh harap, Hui Sing langsung bertanya tentang keberadaan putri Ki Legowo itu.

“Nini Ramya beberapa hari lalu meninggalkan Simongan, Nini.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Salah seorang nelayan mewakili teman-temannya
menjawab pertanyaan Hui Sing. Dahi Hui Sing berkerut tak mengerti.

“Pergi ke mana?”

Para pemuda nelayan itu diam sejenak dan saling pandang.

“Setahu kami, Ni Ramya berangkat ke Kota Raja.”

Mata Hui Sing membelalak.

“Ke Majapahit? Untuk apa?”

“Jelasnya kami tidak tahu, Nini. Mungkin, Ki Carik lebih tahu tentang hal ini. Nini bisa menemuinya.
Kami akan antar!”

Hui Sing mengangguk tergesa karena ingin segera tahu apa yang terjadi. Ditemani beberapa orang
nelayan, Hui Sing pun bergegas menuju perkampungan Simongan. Tak beda dengan dulu,
perkampungan nelayan itu masih demikian damai dan tertata. Namun, ada luka tragedi Simongan yang
masih membekas. Bukan pada bangunan-bangunan roboh, atau darah yang berceceran. Namun, pada
garis-garis wajah warga yang menyimpan kenangan pahit itu.

Hui Sing diantar oleh para nelayan ke rumah orang tua yang kini memimpin warga Simongan,
menggantikan Ki Legowo.

“Benar, Nini. Ramya berangkat ke Kota Raja Majapahit beberapa hari lalu. Kami tak bisa lagi
mencegah tekadnya untuk menuntut keadilan kepada Prabu Wikramawardhana.”

Hui Sing menyimak kata-kata lelaki setengah baya di hadapannya dengan saksama.
“Bukankah masalah ini sudah diselesaikan, Ki Carik?”

“Kami tidak pernah diberitahu, Nini!”

“Memang, hukuman bagi Turonggo Petak sama sekali tidak jelas.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Itulah yang membuat Ni Ramya berang, Nini. Dia merasa disepelekan dan tidak dianggap.”

“Ki Carik, berapa jarak Simongan ke Kota Raja?”

“Dengan berkuda, tak sampai satu bulan pasti sampai.”

“Di mana saya bisa membeli seekor kuda yang sehat?

Saya akan menyusul Ramya.”

Ki Carik mengangguk-angguk. Lalu, dia memerintahkan seorang pemuda untuk meluluskan


permintaan Hui Sing.

0oo0

Sehari perjalanan dengan kuda ke arah timur Demak, terdapat daerah ramai bernama Medang-
kamulan. Meskipun cukup jauh dari Kota Raja Majapahit, daerah ini menjadi kawasan perdagangan
yang cukup maju. Seorang rakryan bernama Kesusra memimpin daerah ini dengan tangan besi.

Kesusra memiliki kekayaan melimpah dan pengawal yang sangat banyak. Mereka adalah jago-jago
kanuragan yang dibayar khusus untuk melindungi segala kepentingan sang rakryan. Konon, Kesusra
adalah orang dekat Rakryan Tumenggung Majapahit, Sadali. Tak heran, meskipun daerah
kekuasaannya hanya melingkupi Medangkamulan, namun pengaruh Kesusra meluas sampai ke mana-
mana.

“Apa benar daerah ini bernama Medangkamulan, Kisanak?”

Seorang perempuan muda dengan pakaian prajurit berhenti menuntun kudanya di depan sebuah rumah
makan yang ramai pengunjung. Sambil menggenggam tali kekang kuda, dia menghampiri seorang
lelaki setengah baya yang habis bersantap di rumah makan itu.

“Nini benar. Ini Medangkamulan. Ke mana tujuan Nini?”

“Saya hendak ke Kota Raja.”

Lelaki itu tersenyum.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Seorang diri Nini menempuh perjalanan yang begitu jauh.

Kota Raja masih sangat jauh dari Medangkamulan, Nini.

Dengan memacu kuda sekali pun, Nini butuh berhari-hari untuk sampai ke Sumbergurit. Dari sana,
Nini harus terus ke timur sampai Ketemas. Baru setelah itu, Nini harus menempuh perjalanan sehari
semalam untuk sampai ke Kota Raja.”

Perempuan muda itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Terima kasih, Kisanak. Apa yang kisanak katakan sangat membantu.”

Setelah berpamitan, laki-laki itu berlalu. Perempuan muda tadi lantas mengikat tali kekang kudanya di
depan rumah makan. Kemudian, dia masuk ke rumah makan itu untuk mengisi perut. Perempuan
muda itu tampak trengginas.

Rambut panjangnya diikat ringkas menyerupai ekor kuda.

Baju yang dikenakannya juga tak merepotkan. Tubuhnya terlihat singset dengan ukuran baju yang pas
betul dengan bentuk tubuhnya yang semampai. Dia memakai celana panjang hitam yang ditutupi kain
sebatas lutut. Di pinggangnya terselip sebilah keris.

“Nini mau makan apa? Kami punya banyak pilihan makanan istimewa untuk Nini.”

Seorang pelayan rumah makan menghampiri perempuan muda itu dengan senyum ramah. Dia seorang
gadis remaja berkemben yang bergerak luwes. Rambutnya dikonde ringkas dan rapi.

“Ada nasi pecel?”

“Tentu saja, Nini. Pecel buatan kami sangat istimewa. Nini pasti ketagihan.”

Pelayan itu langsung membalikkan badannya menuju dapur untuk menyiapkan pesanan sang tamu.
Perempuan muda tadi mengedarkan pandangannya ke pelosok rumah makan. Ramai betul. Hampir
setiap meja terisi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ini cuma satu di antara banyak rumah makan yang
tersebar di Medangkamulan. Sepanjang perjalanan tadi, perempuan muda itu juga menyaksikan
keramaian di setiap rumah makan. Hatinya berteriak girang. Ini pertama kalinya dia pergi sendirian
dan menyaksikan keramaian.

Para pedagang menawarkan barang-barangnya penuh semangat untuk merebut minat pembeli.
Berbagai bentuk hiburan juga terlihat ramai dikerumuni orang. Sungguh pengalaman yang
menyenangkan. Perempuan muda itu tersenyum sendiri.

“Ini pesanan Nini.”


Setengah kaget, perempuan muda itu mengiyakan kata-kata pelayan rumah makan tadi. Sesaat
kemudian, dia sudah sibuk menyantap menu makan perdananya hari itu. Ia kelihatan begitu lahap.
Hari sudah sore dan dia baru sekali itu mengisi perut.

Sayur-mayur dengan sambal kacang yang mantap, langsung memancing rasa laparnya. Tak lama
kemudian, piring dari tanah liat itu sudah bersih sama sekali. Sambil tersenyum, perempuan muda itu
membersihkan tangannya dengan air di mangkuk tanah liat yang sudah disiapkan pelayan tadi.

Dia lalu merogoh kantung perbekalannya. Beberapa uang kepengan dia ambil. Setelah memanggil
pelayan tadi, dia lalu membayar makanannya.

‘“Di sini ada penginapan murah, Nini?”

Pelayan itu menerima uang kepengan tadi dengan senyum yang mengembang.

“Tentu saja, Nini. Banyak rumah penginapan di Medangkamulan. Dari yang paling mewah sampai
yang biasa saja, semua tersedia.”

“Berapa harga sewa kamar paling murah?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelayan tadi lagi-lagi tersenyum. Setiap tersenyum,
bola matanya seperti tenggelam dan hanya menyisakan garis mata yang melengkung.

“Di ujung jalan ini ada penginapan murah, Nini. Hanya perlu beberapa kepeng uang untuk menyewa
kamarnya.”

Perempuan muda itu mengangguk-angguk.

“Sebentar.”

Dia mencegah pelayan rumah makan yang baru saja hendak membalikkan badannya untuk kembali
bekerja.

“Apakah di daerah pinggir Medangkamulan, ada candi yang kosong?”

Pelayan tadi bengong sejenak. Tapi, ia lalu tersenyum.

Matanya kembali menghilang oleh lipatan kulit pipinya.

“Ada. Tentu saja ada. Di pinggir utara Medangkamulan, ada sebuah candi kosong tempat para
pengelana yang tak punya uang untuk menyewa kamar. Pergilah ke sana.”

Tanpa beban, pelayan itu berkata dengan kasarnya. Ia langsung membalikkan badannya dan kembali
pada pekerjaannya. Ia meninggalkan perempuan muda tadi berdiri dengan muka merah padam
menahan malu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, perempuan muda tadi keluar dari rumah makan. Tak berapa lama, dia
sudah terlihat berjalan perlahan sambil menuntun kudanya keluar dari pusat kota Medangkamulan.

0oo0

Pelataran candi kecil tanpa nama itu lengang. Udara malam yang mencekat, membuat batu-batu candi
seolah-olah mengerut kedinginan. Seorang perempuan duduk dengan badan menggigil di depan api
unggun yang menyala tak begitu besar.

“Mudah-mudahan tak hujan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia berbisik dengan bibir bergetar. Langit memang
tak begitu cerah. Meskipun gerimis belum turun, tak satu pun bintang terlihat di langit kelam. Angin
mendesau membawa dingin yang semakin menggigit.

Perempuan itu kembali mengusap perutnya yang terasa panas. Lapar. Seharian, dia baru sekali
mengisi perutnya.

Sekarang, perutnya mulai memberontak dan beberapa kali mengeluarkan suara tanda minta diisi.

Tangan perempuan muda itu bergerak gelisah merogoh kantung uang yang tergantung di pinggangnya.
Tinggal beberapa kepeng lagi. Sayang jika dibuang untuk sekadar makan. Perjalanan ke Kota Raja
Majapahit masih jauh.

Sesaat, perempuan itu menghentikan pembicarannya dengan diri sendiri. Ada suara berirama yang
menelusup ke telinganya. Suara seruling yang ditiup sungguh-sungguh oleh pemiliknya.

Iramanya sungguh indah. Seperti berbicara tentang keindahan yang tak pernah habis. Tanpa sadar,
perempuan muda itu memejamkan mata, menikmati alunan seruling itu.

Sontak matanya terbuka. Tangan kanannya lalu menggenggam erat hulu keris di pinggang kirinya. Dia
lalu bangkit dan berlari cepat memburu suara seruling itu.

Melupakan dingin yang mencekat, kaki perempuan muda itu bergerak cepat menuju hutan di seberang
candi.

Tubuhnya melenting ringan ke sebuah dahan pohon besar.

Dia bersiap seperti kucing hutan yang menyongsong mangsa.

Matanya memicing melihat api unggun lumayan besar tak jauh dari pohon tempatnya bersiap.

Sesosok laki-laki duduk santai di depan api unggun itu. Dia memainkan seruling dengan sepenuh hati.
Sementara seonggok daging beraroma harum mulai tampak matang dan menggiurkan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tiba-tiba permainan seruling terhenti. Lelaki di
depan api unggun itu lalu membolak-balik daging siap santap di depannya, agar matangnya rata.

“Ilalang menusuk bulan. Pada desau angin yang memenjara, seorang pandir sempoyongan di ujung
malam. ”

Dahi perempuan itu berkerut.

“Di kepalanya ada seonggok mimpi yang membusuk.

Terpanah asmara yang lukanya tak kunjung mengering.”

Perempuan itu masih diam di tempatnya. Dia tertegun.

“O, di mana gerangan penyembuh luka? Pembawa semangkuk nurani yang suci. Aku begitu rindu
untuk tersenyum.”

Sosok di atas pohon itu tak bergerak sama sekali. Tak tahu harus berbuat apa. Sementara lelaki
penyair yang sedang memanggang ayam hutan itu terus sibuk dengan pekerjaannya.

“Daging ayam hutan ini terlalu besar untuk saya sendiri.

Alangkah senangnya jika Nini berkenan bergabung untuk menyantapnya.”

Raut muka perempuan itu memucat, tampak terkesiap.

Rupanya, lelaki peniup seruling itu tahu dia ada di sana sejak tadi. Setengah sungkan, dia pun
melompat dari dahan pohon itu, lalu mendekat ke api unggun.

“Maaf, saya kira tadi Kisanak orang jahat!”

Lelaki itu membalikkan tubuhnya. Ternyata dia seorang lelaki muda. Usianya belumlah lewat 25
tahun. Parasnya bersih. Tidak ada garis kekerasan pada wajahnya. Justru ada kesan Jenaka yang tebal.
Matanya jernih, seperti mata anak-anak. Bibirnya tipis, seperti bibir perempuan. Namun, ada kesan
gagah di balik wajahnya yang menyimpan rahasia itu.

Ada kasih sayang yang tulus. Juga keinginan untuk melindungi dan menghargai.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Perkenalkan, saya Candra Windriya, pengelana tanpa kampung halaman dan kampung tujuan.”

Pemuda itu tersenyum. Bahkan, senyumnya pun seperti senyum anak-anak. Menggemaskan.

Tapi, di kedua matanya yang jernih, terlihat jelas aura kedewasaan.

“Saya Ramya.”

Perempuan muda itu akhirnya tersenyum juga.


“Ni Ramya, udara yang begini dingin biasanya cepat mengundang lapar. Saya akan gembira jika Nini
mau bersantap dengan saya.”

Dengan malu-malu, Ramya akhirnya menerima ajakan itu, setelah sebelumnya sempat berbasa-basi.
Keduanya pun segera akrab dalam perbincangan antara dua pengelana.

Setelah daging ayam hutan itu ludes, Windriya kembali memainkan serulingnya dengan khidmat.

Ramya menikmati alunan seruling itu sepenuh hati. Tak sengaja beberapa kali ia menatap wajah
Windriya yang hanya tampak separuh karena Ramya duduk di samping kanannya.

Tapi itu saja sudah cukup. Lelaki muda itu tampak tak main-main saat memainkan tembang dengan
serulingnya.

Seolah-olah seluruh dirinya hanyut dalam permainan seruling yang melenakan. Wajahnya yang merah
tertimpa cahaya api unggun tampak syahdu. Ramya memperhatikan dengan saksama saat jemari
pemuda itu lincah berpindah-pindah dari satu lubang ke lubang lain pada seruling dari bambu panjang
itu.

“Kakang seorang penyair?”

Ramya menyela alunan seruling yang belum juga berhenti itu.

“Bukan. Saya hanya menikmati kata-kata. Menularkan perasaan pada kejujuran syair.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kata-kata yang Kakang ciptakan sungguh indah.”

Windriya tersenyum. Wajahnya memantulkan cahaya bulan sabit yang berbaur dengan pancaran api
unggun.

“Hanya gumaman.”

“Kalau saya tidak salah, syair itu bercerita tentang orang yang sedang patah hati?”

Windriya tak menjawab. Hanya tersenyum.

“Apa kata kupu-kupu ketika dia bertemu sekuntum kembang? Ia terbang rendah, lalu berputar seraya
mereka-reka. Memuji eloknya, lalu hinggap padanya.”

Ramya terdiam. Dia tersenyum pula, lalu beralih pandang ke lidah-lidah api yang memerah. Di luar
kesan romantis, Windriya ternyata suka sekali berseloroh. Sesuai sekali dengan wajahnya yang
menggemaskan. Dia punya cara sendiri menyenangkan lawan bicaranya.

Beberapa kali Ramya harus menutup mulutnya karena menahan tawa. Windriya punya 1001 simpanan
cerita-cerita lucu yang entah ia pungut dari mana. Ramya seperti melihat dua orang dalam diri
Windriya. Seorang yang romantis dan berhati lembut, dan satunya lagi begitu suka bercanda dan tak
punya beban.

Setelah puas mendengarkan cerita-cerita konyol Windriya, Ramya mencari-cari kayu kering atau apa
saja di sekitarnya yang bisa dibakar, untuk menahan nyala api lebih lama.

Sementara, Windriya kembali meraih serulingnya. Lalu dengan mata yang berbinar, ia kembali hanyut
dalam alunan seruling. Setiap nada yang keluar seperti mewakili selaksa kata. Lebih berarti mesti
penuh misteri.

“Sudah larut, saya harus kembali ke candi.”

Permainan seruling Windriya terhenti.

“Maaf, setiap bermain seruling, saya lupa segala-galanya.”

Ramya tersenyum, lalu bangkit.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Sebenarnya, saya pun sangat senang dengan permainan seruling Kakang. Hanya karena malam sudah
larut dan besok pagi harus melanjutkan perjalanan, saya tak bisa berlama-lama di sini.”

Windriya tersenyum lagi.

“Ah, sampai tak sempat bertanya. Ke mana tujuan Nini sebenarnya?”

“Saya hendak ke Majapahit.”

“Jauh sekali?”

Ramya tak menjawab. Dia hanya mengangguk sambil lagi-lagi tersenyum.

“Nini hendaklah berhati-hati. Keadaan negeri sedang tidak aman. Para pejabat semakin gila. Mereka
menyewa para ahli kanuragan untuk kepentingan mereka.”

“Saya baru tahu tentang hal itu.”

“Nini, yang penting Nini jangan sampai berurusan dengan prajurit Majapahit. Akibatnya bisa
berbahaya. Terutama di Medangkamulan, para prajuritnya bertindak semena-mena.

Rakryan Kesusra yang menguasai Medangkamulan adalah pemimpin yang lalim. Hati-hatilah!”

Ramya mengangguk sambil berterima kasih dan hendak membalikkan tubuhnya untuk berlalu.

“Nini, hendaknya Nini ingat betul pesan saya. Kesusra tengah menghimpun kekuatan sekarang ini.
Banyak ahli kanuragan yang berkumpul di kediamannya yang megah.
Kebanyakan tokoh golongan hitam. Bahkan saya dengar, Dua Iblis Laut Kidul telah bergabung
dengannya.”

“Iblis Laut Kidul?”

“Nini belum pernah mendengarnya?”

“Saya baru kali ini mengembara. Saya belum pernah mendengar nama mereka.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kesan wajah Windriya begitu bersungguh-sungguh.

“Keduanya adalah tokoh golongan hitam yang kejam dari Selatan. Ilmu mereka sangat tinggi dan
beracun. Lebih baik, Nini sesegera mungkin meninggalkan Medangkamulan agar terhindar dari
bahaya!”

“Terima kasih sekali, Kakang. Saya akan ingat kata-kata Kakang.”

Setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih, Ramya benar-benar meninggalkan tempat itu. Dia
lalu berjalan cepat menuju pelataran candi. Seperti ia duga sebelumnya, api unggun yang tadi ia
nyalakan sudah padam.

Tinggal kayu-kayu gosong yang hampir habis teronggok hangat. Ramya kembali berusaha
menghidupkan nyala api dengan menggosok-gosokkan dua batu hitam di dekat kayu-kayu itu.

Dia tersenyum puas begitu pekerjaannya membuahkan hasil. Setelah api kembali menyala, Ramya
segera bersiap untuk tidur. Kali ini tak terlalu sulit. Meskipun rasa dingin tetap menggigit,
perasaannya nyaman karena perutnya kini penuh terisi menjadi pengantar tidur yang jitu. Ramya cepat
terlelap malam itu. Sayup-sayup masih sempat menelusup irama seruling yang mendayu dan
melenakan.

Ramya memacu kudanya ke perbatasan. Sebentar lagi dia sampai di gerbang Medangkamulan.
Tadinya, Ramya berpikir tak akan terjadi apa-apa. Namun, begitu melihat pintu gerbang yang dijaga
ketat oleh para prajurit, perasaan tidak enak menyebar di hati Ramya.

Persoalan paling besar adalah menekan rasa bencinya terhadap prajurit Majapahit. Tragedi Simongan
yang merenggut nyawa Ki Legowo membuatnya begitu benci terhadap prajurit Majapahit. Ramya
cukup khawatir akan kehilangan kendali dirinya dan bertindak gegabah.

“Berhenti!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya menghentikan kudanya. Sesuai permintaan
prajurit berwajah garang itu, Ramya turun perlahan dari kuda tanpa bicara sepatah kata pun.

“Mau ke mana?!”
Jumlah prajurit di gerbang perbatasan itu tak kurang sepuluh orang. Mereka masing-masing
melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam mulai dari pedang, tombak, dan golok. Mereka juga
membawa tameng di tangan kiri.

“Kota Raja.”

Ramya menekan perasaannya yang bergejolak. Dia hanya menjawab seperlunya sambil berusaha untuk
tak memperlihatkan perasaan benci dan muaknya.

“Apa tujuan Nini ke Kota Raja?”

“Apa ini menjadi urusan kalian?”

“Kurang ajar! Kami tanya, Nini! Jawab saja seperlunya!”

Ramya mengangkat dagunya. Sungguh, sesaat lagi amarahnya meledak tanpa ampun. Tangan
kanannya mulai meraba hulu keris yang terselip di pinggang.

“Aku hanya ingin lewat. Kenapa urusannya begini repot?”

“Geledah perempuan ini!”

Beberapa orang prajurit segera menghampiri Ramya dengan sikap yang tak simpati. Sesudah sekali
mendengus, akhirnya Ramya mencabut kerisnya dan langsung menghambur ke arah para prajurit itu.

Sebagai prajurit terlatih, penjaga perbatasan itu cepat sigap menentang serangan Ramya. Mereka
mundur beberapa langkah dan membentuk lingkaran mengepung dara itu.

Ramya berdiri tegak sambil tersenyum dingin.

“Kalian kira akan mampu menghentikanku. Jangan harap!”

Sekali sentak, tubuh Ramya bergerak kilat menyerang segala penjuru. Jerit menyayat terdengar.
Seorang prajurit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jatuh berdebam dengan darah mengucur. Ramya
terus bergerak ke kanan dengan ujung keris berdarah. Tubuhnya berputar lincah, sedangkan kakinya
menendang penuh tenaga.

Satu lagi prajurit sempoyongan ketika tameng di tangan kirinya pecah berantakan terkena tendangan
kaki Ramya.

Pada saat bersamaan, satu orang prajurit meregang nyawa ketika lambungnya memuncratkan darah
tertembus keris pusaka di tangan Ramya.

Para prajurit yang tersisa menyerang bersamaan dari segala penjuru. Ramya bertindak cepat dengan
melentingkan tubuhnya ke atas, lalu mendarat beberapa langkah di belakang mereka.

Rupanya, Ramya benar-benar berniat mengadu nyawa.


Tak terbersit dalam benaknya untuk melarikan diri. Jumlah para prajurit yang jauh lebih banyak, tak
membuatnya keder.

“Hyaaa …!”

Teriakan Ramya disusul jeritan para prajurit yang kehilangan nyawanya. Satu per satu mereka roboh
dengan tubuh bersimbah darah. Pesta kematian yang dirayakan Ramya terus berlangsung hingga dua
buah bayangan bergerak kilat ke tengah pertempuran dan menghalau keris Ramya dengan sapuan
tongkat.

Tranngggg!

Ramya merasakan tangannya bergetar hebat. Dia segera menarik diri ke belakang. Sekarang, di
hadapannya berdiri dua orang lelaki berumur empat puluhan dengan tampang yang menjemukan.
Keduanya mengenakan pakaian serbahitam dan dekil.

Satu orang di antaranya memegang tongkat berlekuk seperti ular. Ujung tongkat kayu hitam itu
memang berbentuk seekor ular sendok, sedangkan seorang lagi juga mengenakan pakaian serbahitam.
Wajahnya kasar dengan mata menyorot Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi seram. Dia mengenakan pedang besar terhunus
yang bagian belakangnya disenderkan di bahu.

“Gadis cilik! Kau cari mati mengacau di Medangkamulan!”

Ramya tak menjawab. Dia malah sibuk berhitung kemungkinan. Dia mereka-reka kekuatan musuh di
depannya.

‘“Jadi, kalian dua iblis dari selatan itu?”

Kedua orang itu berpandangan, lalu sama-sama tertawa keras sehingga deretan gigi berwana hitam
tampak menjijikkan.

“Ternyata kau tahu kami. Lalu, kenapa kau masih jual lagak? Cepat sarungkan keris bututmu itu dan
sembah kaki kami!”

Ramya tak cepat menjawab. Dia memandang ke arah kedua orang itu dengan tatapan selidik. Dia ingat
kata-kata Windriya tentang kesaktian dua orang sesat ini. Tentu saja Ramya yang mentah pengalaman
di dunia persilatan, belum sadar betul dengan siapa dia berhadapan. Meskipun ada juga rasa jerih,
apalagi setelah merasakan sendiri getaran tenaga dalam lawan, Ramya tak lantas keder.

“Kalian terlalu berlebihan menilai diri sendiri. Apa yang harus aku takutkan dari kalian?”

Kedua iblis itu kembali ngakak. Mereka lalu saling pandang dengan tatapan mata culas.

“Kakang, apa kau pikir Ki Kesusra akan senang bila gadis ini kita serahkan padanya?”

“Kau benar, Adi. Ki Kesusra sangat suka daun muda seperti gadis galak ini.”
Keduanya terbahak tanpa beban. Ramya merasakan darahnya mendidih. Tanpa perhitungan lebih rumit
lagi, dia langsung menerjang ke arah dua orang itu. Gadis itu menerapkan jurus macan luwe ( harimau
lapar) yang diajarkan ayahnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Gerakan Ramya yang trengginas sempat
mengejutkan dua lelaki iblis itu. Tapi cuma sesaat. Satu orang yang lebih muda maju ke depan sambil
mengayunkan pedang besarnya. Cuma sekali ayun dan begitu bertabrakan dengan keris Ramya, benda
pusaka warisan Ki Legowo itu langsung terpental ke tanah.

Berikutnya, tangan kiri lelaki itu bergerak kilat menotok jalan darah Ramya yang sontak limbung
karenanya. Tiba-tiba, terdengar suara ledakan disusul asap tebal yang mengepul rata di seluruh tempat
itu.

Dua iblis itu gelagapan mencari-cari tubuh Ramya yang sudah terkena totok itu. Tapi gagal. Bahkan,
ketika asap itu lenyap, tubuh Ramya ikut raib.

“Setan alas! Ada yang ikut campur urusan kita, Kakang!”

“Jangan dilepas! Cepat kejar!”

Sementara itu, sesosok bayangan berlari kencang ke tengah lebatnya hutan. Dia seperti tak terbebani
dengan tubuh berat yang ada di gendongannya. Beberapa saat kemudian, dia sudah sampai di sebuah
daerah yang cukup lapang di pinggir hutan kecil.

“Rupanya kau!”

Ramya merasakan aliran darahnya kembali nyaman ketika Windriya melepaskan totokan yang
membuatnya tak berdaya.

Ia lalu menerima keris pusakanya kembali setelah sebelumnya sempat kehilangan karena senjata itu
terlepas dari tangannya saat bertempur dengan dua iblis dari selatan itu.

“Kata-katamu benar, Kakang Windriya. Dua iblis itu sangat tangguh. Aku sama sekali bukan lawan
mereka.”

Windriya tak langsung menjawab. Dia malah sibuk mengamati lingkungan itu seolah-olah takut ada
seseorang yang datang menyergap.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kita sama sekali belum aman, Nini. Kita harus segera meninggalkan tempat ini, sebelum dua iblis itu
menemukan kita.”

Setelah mengiyakan, Ramya pun mengikuti langkah Windriya yang tergesa-gesa. Keduanya
menerobos lebatnya tetumbuhan hutan dan terus masuk ke dalam belantara. Tak peduli duri-duri
pohon liar mengoyak pakaian dan kulit mereka, keduanya terus bergerak hingga beberapa lama.

“Kita istirahat di sini.”

Windriya mengajak Ramya duduk di atas rumput hijau di tengah hutan. Ia lalu mengangsurkan tempat
air dari tanah liat yang tadi tergantung di tali pinggangnya.

“Minumlah. Nini pasti sangat haus.”

Tanpa basa-basi, Ramya langsung menerima kendi itu dan menenggak isinya.

“Kesusra benar-benar gila. Dia menjaga ketat semua jalan keluar Medangkamulan.”

“Apakah tidak ada jalan lain keluar dari daerah ini kecuali melalui pintu gerbang, Kakang?”

“Ada, tapi jalannya sangat jauh dan terjal!”

“Aku jadi merepotkanmu, Kakang.”

“Sudahlah. Cepat atau lambat aku juga pasti berurusan dengan mereka. Hanya saat ini, kita tidak
mungkin mampu mengalahkan mereka.”

Keduanya terdiam.

“Nini, ketika Nini bertempur dengan prajurit tadi, saya melihat Nini begitu ingin membunuh. Padahal
saya yakin Nini bukan seorang pembunuh berdarah dingin. Mengapa?”

Ramya tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang, lalu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.

“Nini tak perlu menjawabnya jika memang tak ingin.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Tidak, Kakang. Tidak ada yang perlu dirahasiakan.

Memang aku sangat membenci prajurit Majapahit. Mereka membunuh ayahku.”

Windriya lumayan terhenyak. Namun, dia tak memperlihatkannya dengan kentara. Lalu, Ramya mulai
mengurai cerita panjang bagaimana ia bisa sampai di Medangkamulan. Berawal dari kunjungan
rombongan bahari dari Tiongkok sampai tragedi berdarah di Simongan ia ceritakan semuanya.
Windriya mengangguk-anggukan kepala.

Dia lalu tersenyum tulus.

“Nini sungguh berhati baja. Sulit menemukan perempuan yang memiliki tekad dan keberanian seperti
Nini.”
Belum sempat Ramya menjawab sanjungan Windriya, gendang telinga keduanya dihentak oleh suara
tawa yang dilambari tenaga dalam tinggi. Ramya dan Windriya menutup telinganya dengan kedua
lengan mereka.

“Mau lari ke mana tikus-tikus kecil?”

Tiba-tiba dua sosok Dua Iblis Laut Kidul sudah berdiri congkak di hadapan mereka, entah dari mana
datangnya.

“Kakang Windriya, cepat pergi dari tempat ini! Mereka mencariku. Kakang tak ada urusannya dengan
ini.”

Windriya menoleh ke arah Ramya. Menatap mata gadis itu dengan senyum yang tak sekilas pun
memperlihatkan rasa takut.

“Aku tak akan ke mana-mana. Kalau kita harus mati, kita mati bersama.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Windriya mencabut pedang di pinggangnya dan memasang kuda-
kuda.

“Oh, Kakang Kolo Ireng, aku jadi ingat masa muda dulu.

Alangkah manisnya cinta muda-mudi.”

Wajah Ramya memanas mendengar sindiran salah satu iblis itu. Dia pun sudah bersiap dengan keris di
tangannya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk mengadu nyawa. Sementara kedua iblis edan
itu kembali terbahak seperti orang gila.

“Sekarang!”

Ramya melompat dengan keris terhunus. Begitu juga dengan Windriya yang menyerbu dengan pedang
siap menebas. Meskipun tahu mereka bukan tandingan dua iblis itu, namun jati diri pendekar
membuat keduanya tak lantas menyerah begitu saja. Ramya dan Windriya sudah bertekad mengadu
nyawa.

Ternyata, seperti pertempuran perdana antara Ramya dan Kolo Ireng, mudah saja bagi dua iblis itu
untuk menang.

Namun, kali ini rupanya mereka ingin bermain-main sejenak.

Mereka sengaja memberi ruang bagi Ramya dan Windriya untuk melawan. Pertarungan menjadi agak
panjang. Meskipun belum juga mampu menyentuh seujung kuku lawan, Ramya tak patah arang. Dia
terus menyerang musuh dengan sergapan-sergapan berbahaya.

Beberapa kali dia menyerang pergelangan kaki Kolo Ireng dengan sepakan kakinya, namun gagal.
Keris mautnya pun tak berhenti menderu ke arah ulu hati lawan, namun tak kunjung menemui sasaran.
Sebaliknya, Kolo Ireng tak sekali pun membalas serangan Ramya. Dia seperti asyik bermain-main
melompat ke kanan dan ke kiri menguras tenaga Ramya yang terbuang percuma.

Hal yang sama dialami Windriya. Meskipun pemuda itu lebih berpengalaman dibandingkan Ramya,
tetap saja hal itu tak cukup untuk dijadikan modal melawan Lowo Ijo, iblis yang lebih muda.

Windriya mencoba mengulur waktu dan memastikan Ramya tidak dalam keadaan terdesak. Sementara
waktu dia bisa berlega hati. Namun, pemuda itu tahu benar, dia dan Ramya masih bisa bertahan karena
kedua iblis itu memang belum ingin turun tangan. Dia berpikir keras mencari peluang meloloskan diri.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Sudah cukup bermain-main!”

Teriakan Kolo Ireng disambung jeritan Ramya yang terhuyung dan roboh ke tanah. Gadis itu tak lagi
mampu bergerak sedikit pun. Keris di tangannya sudah terpental jatuh.

Kolo Ireng hanya butuh satu gebrakan dengan tangan kirinya untuk mengunci pergelangan tangan
Ramya dan memaksa gadis itu melepaskan kerisnya.

Sesudah itu, iblis berilmu tinggi itu meyodokkan tapak kirinya untuk menotok jalan darah Ramya.
Windriya yang begitu mengkhawatirkan keadaan Ramya tak lagi memikirkan pertarungannya. Ia
hendak meninggalkan Lowo Ijo dan menolong Ramya. Namun, baru saja ia hendak mencelat, sebuah
angin serangan ke arah bahu membuatnya tersentak.

Serta merta dia mengayunkan pedang untuk mematahkan serangan itu. Suara logam bertemu
mengeluarkan suara nyaring. Pedang di tangan Windriya patah jadi dua. Sekejap kemudian, bahunya
kena hajar tangan kiri Lowo Ijo.

Windriya terpelanting sambil memegangi tulang bahunya yang jelas patah. Sebelumnya, terdengar
bunyi tulang berderak, bergeser dari tempatnya semula. Pemuda itu bergulingan di tanah sambil
mengerang.

“Kau tahu, aku masih berbelas kasihan kepadamu, pemuda tengik! Bukan pedangku yang membabat
bahumu.

Membunuh pemuda sepertimu hanya akan mengotori tangan Lowo Ijo.”

Windriya tak lagi mendengarkan kata-kata itu. Dia hanya berpikir bagaimana menghentikan rasa sakit
karena tulangnya yang patah. Namun, begitu mengingat Ramya, rasa sakit itu bagai lenyap. Windriya
segera sadar dan hendak kembali menyerang dua iblis itu.

Tapi, begitu ia membalikkan tubuh, hanya ia sendiri di tempat itu. Dua iblis itu sudah tak ada. Begitu
juga Ramya.

Windriya bangkit, namun langsung roboh lagi karena sakit di bahunya menjadi-jadi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ramyaaa …!”

Dengan sekuat tenaga, Windriya meneriakkan nama Ramya. Meskipun yakin gadis yang ia panggil tak
bisa mendengar, tetap saja ia melepas tenaga untuk meneriakkannya. Hanya gaung yang kemudian
menjawab teriakan Windriya. Pemuda itu lalu roboh terdiam. Pingsan.

0oo0

Ramya merasakan seluruh tubuhnya lungkrah. Dia perlahan membuka kelopak matanya. Dia kaget
bukan kepalang ketika sadar, dirinya tidak berada di hutan lembap di tempat terakhir dia terlibat
pertempuran dengan dua iblis itu.

Namun, dia terbaring di pembaringan empuk dalam sebuah ruangan wangi dan tertata sangat rapi.

Kulit tubuhnya terasa nyaman bersentuhan dengan kain sutra yang menjadi alas tempat tidur. Namun,
Ramya segera tahu kenyamanan itu tak berarti apa-apa ketika dia menyadari kedua tangannya terikat
kuat oleh tali yang dihubungkan kedua tiang di samping pembaringan.

Mata gadis itu mencari-cari. Dia menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan untuk memahami
suasana di sekelilingnya. Tapi tetap saja dia tak mengerti penuh, kecuali menduga-duga. Ramya lalu
ingat dua iblis yang melumpuhkannya, mereka-reka apakah kedua orang itu yang membawanya
kemari.

Suara daun pintu berderit. Ramya berusaha siaga, meskipun tentu saja tak bisa sempurna karena kedua
pergelangan tangannya terikat kuat.

“Oh, ternyata nini cantik ini sudah siuman. Selamat datang di tempat tinggal Kesusra, Nini!”

Mata Ramya memicing ketika seorang lelaki berumur tiga puluhan muncul dari balik pintu kamar. Dia
mengenakan pakaian mewah dari penghias rambut sampai alas kaki.

Wajahnya sungguh menyiratkan kelicikan. Matanya culas dan Tiraikasih Website


http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi genit. Kumis tebal di atas bibirnya tak membangun
wibawa.

Justru mengundang kekesalan yang sangat.

“Apa maumu?!”

“Oh, benar rupanya kata-kata kedua penga-walku bahwa Nini ini sungguh galak dan tegas. Aku sangat
suka perempuan yang tegas dan galak.”

Kesusra terkekeh dengan nada suara yang dipaksakan.

“Nini, puluhan gadis di Medangkamulan ini berharap menjadi pemuas hati Kesusra, namun tak satu
pun menarik hatiku. Kau tiba-tiba saja datang ke sini dan begitu menarik hatiku. Bagaimana? Apakah
kau bersedia menjadi istriku?”

“Pembicaraan macam apa ini?! Aku sekadar lewat, lalu kedua iblis itu menangkapku dan membawaku
kemari.

Sekarang, tiba-tiba saja kau memaksaku untuk menjadi istrimu. Apakah kau sudah kehilangan akal
pikiranmu?!”

Bukannya berang, Kesusra kembali terkekeh. Rupany, dia semakin suka dengan Ramya yang tak
mampu lagi membendung emosinya.

“Aku sangat suka perempuan sepertimu, Nini. Sungguh suka. Semakin galak, semakin suka.”

“Lepaskan ikatan tangan ini, lalu kita bertarung sampai mati!”

“Bertarung? Siapa yang ingin bertarung? Nini, kau sungguh keterlaluan. Kepada lelaki yang begitu
memujamu, kau berlaku kejam. Ayolah, jangan menolak cinta yang telah ditanamkan Dewata ke
dalam hatiku.”

“Cih! Tutup mulut busukmu! Berani kau menyentuh sehelai rambutku, aku akan membunuhmu!”

“Ho-ho … aku takut. Aku sungguh takut. Tapi aku suka.”

Ramya berteriak tertahan, ketika sebuah hentakan kecil mendarat di bahunya, membuatnya kaku tak
berdaya. Kesusra ternyata berilmu kanuragan cukup tinggi. Dia mampu menotok Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jalan darah Ramya sehingga gadis itu sama sekali
tak mampu menentang kehendaknya.

Sementara itu, di luar sana, alam seperti marah. Hujan besar datang tiba-tiba. Suara petir menggelegar
sambung-menyambung. Seperti memberi peringatan kepada manusia.

Jauhilah kejahatan karena kematian akan selalu mengintai.

Tapi, peringatan itu tak sampai ke bilik mewah milik Kesusra.

Di sana hanya tinggal setan-setan bertanduk yang tertawa dan berpesta dengan mulut yang berdarah-
darah.

Kesusra menjadi salah satu setan itu. Dan, Ramya hanyalah patung mati yang bahkan tak mampu
menggerakkan ujung jarinya sekali pun. Yang ada hanya perihnya hati dan jiwa yang semakin kosong.
Dua bulir air mata menitik dari sudut mata Ramya. Itu saja. Karena, gadis itu segera menutup
matanya, lalu mengasingkan diri dalam kegelapan dirinya sendiri.

0oo0

Brakkk!
Jendela kamar mewah milik Kesusra terbuka paksa. Hari sudah terang ketika sesosok bayangan
melompat masuk ke ruangan itu. Dia seorang pemuda yang langsung terpaku dengan mata terbelalak
menatap pemandangan di depannya.

Serta-merta pemuda yang tak lain adalah Windriya itu meraih secarik kain dari pinggir pembaringan,
lalu menghambur ke tubuh Ramya yang mengenakan pakaian koyak di sana-sini.

Windriya bergerak cepat memutus dua tali yang mengikat kuat pergelangan tangan Ramya. Dia lalu
membebaskan totokan di tubuh Ramya. Tadinya, Windriya mengira Ramya akan berteriak sejadinya
dan menghambur ke pelukannya sambil tersedu.

Tapi ternyata tidak. Gadis itu tetap terdiam di atas pembaringan dengan mata yang terbuka. Pancaran
matanya menatap kosong. Sementara kedua tangannya lunglai.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ramya, kita harus segera pergi dari tempat ini. Saat yang paling berbahaya adalah saat paling aman.
Semua penjaga tak akan mengira aku datang pada siang hari. Kita pasti akan lolos.”

Tak ada jawaban. Ramya tetap diam. Tak ingin membuang waktu, Windriya lalu bergerak ke
pembaringan hendak memondong tubuh Ramya. Namun, tiba-tiba dia terhuyung ke belakang ketika
nyeri di bahu kanannya kembali menyergap.

Sebenarnya, ia merasa sakit bukan kepalang. Namun, melihat keadaan Ramya, Windriya melupakan
sakit itu. Ia lalu perlahan mengangkat tubuh Ramya sambil meringis menahan sakit yang luar biasa di
bahunya. Bahkan, Windriya sendiri tak begitu paham, bagaimana mungkin dia masih mampu
melakukannya.

Pemuda itu hanya mengikuti kata hati ketika ia menggendong tubuh Ramya yang cukup berat untuk
kembali melompati jendela, lalu mengendap menuju dinding batu yang melingkari kediaman Kesusra.
Sekali lompat, Windriya berhasil melewati rintangan itu, meskipun kemudian jatuh berdebam di tanah
berumput di luar dinding batu.

Meskipun jatuh, Windriya berhasil menahan tubuh Ramya agar tak terguling. Sebagai gantinya,
Windriya lagi-lagi harus merasakan sakit yang luar biasa menggigit bahu kanannya.

Tanpa peduli, Windriya lalu mengangkat lagi tubuh Ramya dan berjalan terhuyung menembus
perkebunan di belakang rumah Rakryan Kesusra.

Dia menjumpai seekor kuda yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kuda itu ditambatkan
pada sebuah pohon jati. Dengan tergesa, Windriya menaikkan tubuh Ramya yang setelah bersusah
payah, akhirnya mau duduk tanpa tenaga di atas kuda itu. Windriya lalu menyusul naik ke atas kuda
dan duduk di belakang Ramya.

Ia lalu menyentak tali kekang kuda dan memacunya menuju hutan belantara Medangkamulan. Tanpa
memedulikan apa pun, Windriya terus memacu kudanya. Beruntung tak Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi seorang pun prajurit yang ia temui di sepanjang
jalan.

Windriya menghentikan kudanya di pinggir hutan, lalu kembali menggendong tubuh Ramya
menelusup ke tengah hutan dengan berjalan kaki.

Sudah tak terhitung berapa langkah mereka lewati.

Windriya terus menguras tenaganya yang masih tersisa. Rasa sakit di bahu kanannya semakin
mencekat. Tapi, pemuda itu sudah bertekad untuk sejauh-jauhnya lari ke dalam hutan, menghindari
kejaran orang-orang Kesusra.

Hingga sore menjelang, Windriya benar-benar kehabisan tenaga. Dia jatuh terduduk di pinggir hutan
perbatasan Medangkamulan dan Demak. Tubuh Ramya ia senderkan pada sebatang pohon beringin
yang rindang daunnya.

Ia sendiri lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan berusaha mengurangi rasa sakit pada bahu
kanannya.

Beberapa saat kemudian, Windriya membuka matanya. Ia menatap pilu ke arah Ramya yang belum
juga mengubah kesan wajahnya.

Gadis itu tetap saja membuka matanya dengan tatapan yang tak jelas. Tak ada senyum. Bibirnya
seolah mengambang tanpa nyawa. Ramya benar-benar seperti mayat hidup. Tanpa ada keinginan untuk
melakukan apa pun. Kedua mata Windriya mulai berkaca-kaca.

“Ramya, jangan khawatir. Aku tak akan meninggalkanmu.

Aku akan tetap di sini. Menjagamu.”

Tak ada jawaban. Windriya tersenyum, sementara air mata hangat meluncur dari dua sudut matanya.

“Kau tetaplah di sini. Aku akan mencarikan buah-buahan untukmu. Tenanglah.”

Windriya tersenyum, lalu mengelus rambut Ramya, sebelum kemudian bangkit dan berjalan
sempoyongan masuk ke hutan. Hari segera sore. Hati Windriya bersorak girang ketika dia menemukan
pohon jambu batu berbuah lebat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Susah payah, pemuda itu memanjat pohon itu dan
memetik beberapa buahnya.

Sangat pelan, menjaga agar luka di bahunya tak kian parah, Windriya menuruni batang pohon yang
lumayan licin itu. Dengan wajah berseri, dia lalu berjalan setengah berjingkrak menuju ke tempat
Ramya tadi.

Sontak Windriya kaget. Buah jambu batu di tangannya jatuh menggelinding entah ke mana.
Jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin merembes dari dahinya. Wajah
pemuda itu memucat. Ramya tidak ada!

“Ramya!!!”

Kalap, Windriya berteriak lantang sambil berlari. Dia berusaha menemukan jejak Ramya. Tidak ada
bekas pertempuran, berarti Ramya tak sedang diculik. Windriya mencari petunjuk lain dan
mendapatkannya.

Jejak kaki Ramya bisa ditemukan di antara batang ilalang yang patah terinjak. Itu pasti Ramya, pikir
Windriya. Penuh harap, pemuda itu mengikuti arah patahan batang ilalang itu dengan saksama. Jejak
itu membawa Windriya ke pinggir sebuah tebing dengan jurang yang menganga dan tak terlihat
dasarnya.

“Ramyaaa! Apa yang akan kau lakukan?!”

Napas Windriya terasa terhenti. Matanya membelalak melihat Ramya berdiri canggung di ujung
tebing. Sosoknya yang semampai terlihat ringkih dan kapan saja bisa terhempas angin yang keras
bergerak di tebing itu. Kain lebar yang tadi dipakai Windriya untuk menutupi tubuh Ramya melambai-
lambai tertiup angin. Begitu juga dengan rambut panjangnya yang kini tak lagi diikat tali.

“Ramya, ini bukan dirimu! Kau perempuan gagah yang tak kenal kata menyerah!”

Tak ada jawaban. Windriya merasa berbicara dengan batu.

Perlahan dia berusaha mendekati Ramya tanpa membuat gadis itu kaget. Perlahan sekali. Hingga suatu
titik waktu, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya merasa kakinya tak lagi menapak bumi.
Matanya terbelalak sejadinya. Tubuhnya lemas tanpa tenaga. Saat itulah, tubuh Ramya sedikit
terangkat ke udara, sebelum akhirnya melayang jatuh ke dalam jurang yang tak jelas dasarnya itu.

“Ramyaaa …!”

Beberapa kali Windriya menguras sisa suaranya untuk meneriakkan suara itu. Sekeras-kerasnya,
hingga puaslah hatinya. Windriya terus berteriak tanpa henti, hingga suaranya betul-betul habis.
Bahkan, tak tersisa untuk sekadar menjerit kesakitan ketika rasa nyeri kembali menyergap bahu
kanannya.

Saat itulah, gendang telinga Windriya menangkap sebuah suara. Sayup, tapi benar-benar ada. Suara
kecapi yang dipetik dengan nada yang tertata. Juga suara kidung yang ditembangkan oleh seorang
perempuan. Indah, tapi menyakitkan. Nyatakah suara itu?

Windriya tak sempat lagi memastikannya. Sebab, tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya melambung ke
udara tanpa kehendak hatinya. Dia hanya merasa tubuhnya seperti ditarik oleh sesuatu.

Sekejap dia sempat merasakan benda semacam sabuk yang mengikat perutnya. Lalu, tenaga yang
hebat menariknya ke belakang tanpa kuasa ia menolak.

Sesaat kemudian, dia merasakan ada seseorang yang memaksanya duduk bersila. Orang itu berada di
belakang tubuhnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Windriya. Lalu, perlahan
namun pasti, pemuda itu merasakan aliran hawa murni bergerak ke dalam tubuhnya.

Krek!

Tak sempat lagi Windriya berteriak kesakitan ketika orang di belakangnya membetulkan tulang
bahunya yang patah hanya dengan satu hentakan. Begitu yakin bahwa orang itu tak Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bermaksud jahat, pemuda itu lalu memejamkan
mata untuk mengatur pernapasannya kembali.

“Seberat apa pun persoalan manusia di dunia, bunuh diri bukanlah penyelesaian.”

Suara yang halus dan menyejukkan. Windriya tak menyangka bahwa orang yang menariknya dari
tebing, lalu menyembuhkan letak tulangnya yang patah, sekaligus mengalirkan hawa murni ke dalam
tubuhnya adalah seorang perempuan.

“Terima kasih Nini telah berbaik hati menolong saya. Tapi, Nini salah mengerti jika menganggap saya
hendak bunuh diri.”

Windriya membuka matanya dan langsung menatap sosok seorang perempuan belia yang berdiri
sambil menatap ke arah tebing tempat Ramya melompat ke dalam jurang.

Perempuan penolong itu lalu menatap Windriya dengan saksama. Dia tersenyum dengan kesan wajah
bertanya-tanya.

“Benarkah? Rupanya saya kurang jeli. Tapi, apakah ini sebuah kebetulan, ketika Kisanak meneriakkan
nama Ramya sambil berjalan ke arah pinggir jurang.”

Raut muka Windriya sontak berubah. Pemuda itu lantas murung.

“Ramya seorang perempuan hebat. Dia teman saya yang terlalu banyak menderita. Tapi, saya masih
belum mengerti mengapa dia memilih mengakhiri hidupnya dengan melompat ke dalam jurang.”

“Kau …!””

Windriya merasakan napasnya nyaris putus. Lehernya kini terbelit oleh selembar sabuk perak yang
sangat kuat.

“Apakah yang kau maksud adalah Ni Ramya dari Simongan?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya tak lantas panik. Meskipun wajahnya
memucat karena pembuluh otaknya kehabisan udara, tak lantas dia mengiba-iba memohon agar
belitan di lehernya dilepaskan.

“Bagaimana aku menjelaskannya kepadamu, sementara leherku tercekik?”


“Maaf!”

Sekali sentak, sabuk perak itu lolos dari leher Windriya dan menyisakan penyesalan di garis wajah
gadis belia itu.

“Nini pasti Hui Sing!”

“Bagaimana Kisanak tahu?”

“Ramya banyak bercerita kepada saya.”

“Jadi, benar Ramya yang kau kenal adalah sahabatku?”

Setengah tak percaya, Hui Sing berlari kencang ke ujung tebing. Di sana, dia termangu berusaha
melihat ke dasar jurang yang memang tak kelihatan.

“Ramya tak akan mati!”

Hui Sing menoleh ke arah Windriya yang kini telah berdiri di dekat tebing. Raut wajahnya
memperlihatkan keyakinan.

“Bagaimana kau bisa yakin?”

“Saya tadi sempat mendengar suara kecapi dan perempuan nembang (menyanyi dengan cengkok
khusus khas Jawa) dari dasar jurang. Beberapa puluh tahun lalu, pernah ada seorang perempuan
pendekar kenamaan di tanah Jawa Dwipa yang memiliki kesaktian tinggi. Julukannya “Dewi Kecapi
Maut”. Dia telah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Saya yakin, suaranyalah yang tadi
terdengar.”

“Kau coba menghiburku?”

Hui Sing menghampiri Windriya dengan mata berkaca-kaca.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aku sangat yakin, Nini. Jelas butuh kemampuan yang luar biasa untuk bisa mengeluarkan suara dan
bunyi kecapi dari dasar jurang hingga bisa terdengar sampai di sini.”

“Apa hubungannya dengan Ramya?”

“Saya yakin, orang yang memainkan kecapi itu tak akan tinggal diam melihat tubuh Ramya yang
melayang jatuh ke jurang.”

“Ramya adalah perempuan berhati teguh. Mana mungkin dia bertindak sebodoh itu!”

Hui Sing mengalihkan pembicaraan. Ia masih tak memercayai keyakinan Windriya. Windriya melepas
napas panjang memahami ketidakpercayaan gadis di hadapannya.
Dia mulai menceritakan awal kejadian yang kemudian memukul batin Ramya sedemikian keras.
Mulai pertemuan mereka malam itu, hingga Windriya menemukan tubuh Ramya tergeletak tak
berdaya di bilik mewah milik Kesusra.

Mata Hui Sing memerah karena amarah. Dia

mendengarkan cerita Windriya dengan napas yang terburu.

Bibirnya bergetar, sementara matanya semakin berkaca-kaca.

“Ramya, aku akan membalaskan dendammu!”

Setelah mengatakan itu, Hui Sing menoleh sejenak ke arah tebing, lalu membalikkan tubuhnya
berjalan ke arah Medangkamulan. Tapi baru beberapa langkah, dia berhenti.

“Kau tak ingin ikut, Windriya?”

“Aku akan menunggu Ramya di sini.”

Hui Sing membalikkan badan. Menatap Windriya dengan pancaran mata tak mengerti.

“Jangan kau buat gila dirimu sendiri, Windriya. Kematian Ramya akan tak berarti apa-apa jika kau
yang ditinggalkan menjadi begini bodoh dan putus asa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya tersenyum. Jelas ada kesan pedih yang
mendalam pada raut wajahnya. Tapi, pemuda itu tetap saja tersenyum.

“Hui Sing, aku sama sekali tidak putus asa. Aku justru punya harapan yang meluap-luap. Ramya tidak
mati. Dia ada di bawah jurang sana. Dia pasti akan kembali suatu saat. Dan aku akan menunggunya
sampai kapan pun. Tak peduli berapa tahun.”

Hui Sing kehabisan kata-kata. Dia hanya menatap Windriya dengan tatapan takjub sekaligus tak
mengerti.

Hingga pemuda itu berjalan pelan ke arah pinggir tebing dan duduk bersila di sana.

“Hati-hati, Hui Sing. Aku tahu kemampuanmu sangat tinggi.

Tapi, Dua Iblis Laut Kidul itu sangat licik. Kau harus berhati-hati.”

Tanpa menunggu jawaban Hui Sing, Windriya lalu membetulkan sikap duduknya, kemudian
mengeluarkan seruling dari balik baju kumalnya. Pemuda itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat
ketika alunan seruling yang mengantar lagu sendu mulai mendayu-dayu.

Hui Sing masih berdiri di tempatnya semula. Ia mengangguk-angguk sambil mengeraskan hati supaya
air matanya tak jatuh.
“Ya, aku akan berhati-hati.”

Ia berujar lirih dan tak berharap akan didengar oleh Windriya. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya
dan berjalan dengan langkah mantap ke arah Medangkamulan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 7. Dasar Jurang

Medangkamulan

Semua yang ada di pelataran candi tanpa nama itu seperti gelisah. Angin berisik memindahkan daun-
daun kering.

Binatang-binatang mungil bergerak cepat mencari tempat sembunyi. Kupu-kupu terbang menjauh. Di
undak-undakan batu pertama candi itu, Hui Sing duduk bersila. Matanya memejam.

Rambut panjangnya disentak-sentak angin yang tak kerasan bergerak pelan. Hui Sing sedang
menunggu. Rumah kediaman Rakryan Kesusra baru saja dihantam huru-hara. Hui Sing datang dan
mengamuk menghancurkan semua benda yang ada di hadapannya. Banyak prajurit yang terluka,
meskipun tak ada yang kehilangan nyawa.

Gadis itu berteman kemarahan yang menyembul di ubun-ubun, memburu Kesusra yang tak ada di
rumahnya ketika Hui Sing ingin menantangnya bertarung. Juga Dua Iblis Laut Kidul, seperti sengaja
hengkang dari Griya Rakryan.

Karena itu, setelah membuat onar sejadi-jadinya, setelah meninggalkan jejak kehancuran yang
menyakitkan, Hui Sing menantang duel Kesusra dan para pengawalnya di candi tanpa nama itu.

Kini, Hui Sing tengah menunggu. Sontak membahana tawa bersahut-sahutan. Suaranya sungguh
mencabik-cabik gendang telinga. Karena Hui Sing memahami ilmu pernapasan yang benar, suara itu
sama sekali tak mengganggunya.

“Macam bocah kecil saja! Hanya ini kemampuan kalian?

Kalau begitu, cepat bersujud meminta ampun. Barangkali aku masih berbelas kasihan.”

Hui Sing bergeming dari tempat duduknya. Matanya pun masih terpejam. Sedangkan suaranya
terdengar nyaring mengusik, padahal diucapkan dengan gerakan bibir yang lirih.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tiga bayangan berkelebat cepat. Dalam sekejap,
mereka sudah berdiri di hadapan Hui Sing. Dua lelaki kumal berpakaian serbahitam dan seorang lelaki
tiga puluhan berpakaian necis.

“Inikah perempuan galak yang telah membikin onar tempat tinggalku?”

Hui Sing membuka matanya perlahan. Dia menyisir satu-satu calon lawan duelnya yang berdiri
congkak.

“Itu belum seberapa dibanding kehinaan yang ingin kutumpahkan kepadamu, Kesusra!”

Lelaki cabul itu tersenyum. Ia lalu menyedekapkan kedua belah tangannya.

“Lihatlah, Lowo Ijo dan kau, Kolo Ireng. Betapa kondangnya aku ini. Bahkan, gadis secantik ini pun
mengenalku dengan baik.”

Hui Sing bangkit, lalu menatap ketiga orang itu tanpa memperlihatkan rasa takutnya. Kedua tangannya
menyatu ke belakang.

“Jadi, siapa yang pertama di antara kalian yang ingin kuberi pelajaran!”

Tawa dua iblis dari selatan meledak.

“Lihat, Kakang Kolo Ireng! Bocah ayu ini sungguh bermulut besar. Lebih jumawa dibandingkan gadis
yang kemarin.”

“Maksudmu Ramya?!”

Tatapan mata Hui Sing menyorot kedua iblis itu dengan ketajaman pedang. Sekejap tanpa kata-kata,
kebencian Hui Sing yang meluap-luap terwakili oleh tatapan itu.

“Tak perlu bicara lagi. Siapa di antara kalian yang ingin segera kutumpas. Atau kalian ingin maju
bersama. Sama sekali bukan masalah.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kolo Ireng baru saja hendak melangkah maju,
ketika Kesusra mengangkat tangannya, mematikan langkah terakhir iblis berpedang besar itu.

“Kolo Ireng, biarkan kali ini aku yang bersenang-senang.

Tampaknya, nini yang satu ini begitu mengasyikan untuk diajak bermain.”

“Baik, Ki!”

“Sudah cukup basa-basinya.”

Hui Sing menyentak tanpa menunggu jawaban Kesusra.

Tubuhnya mencelat ringan menghambur ke arah Kesusra dengan angin serangan yang ganas. Kesusra
yang sudah menyiapkan dirinya dengan baik, menyambut datangnya serangan Hui Sing dengan
memiringkan tubuhnya.

Tamparan tangan yang gagal mengenai sasaran tak menghabiskan semangat Hui Sing. Tangan kirinya
segera menerjang ke arah tenggorokkan Kesusra dengan jari telunjuk dan jari tengah yang menonjol.
Diburu sedemikian rupa, Kesusra mengambil langkah mundur tanpa membalikkan tubuhnya.
Tangan kanannya bergerak menangkis, namun keburu menebas ruang kosong karena lengan Hui Sing
meliuk mengikuti garis sikutnya, lalu berubah menyerang ulu hati.

Kesusra baru sadar bahwa gadis yang ia hadapi sama sekali bukan pendekar kacangan yang bisa
dianggap enteng.

Segera dia membantingkan tubuhnya ke kanan, berguling di lantai candi, sambil menghunus keris. Dia
lalu melompat bangkit dengan gerakan katak.

“Kau yang memaksaku!”

Hui Sing merundukkan tubuhnya, membiarkan kaki kirinya menekuk jadi tumpuan, sedangkan kaki
kanannya lurus ke samping. Saat itu seperti tak ada peluang buat Hui Sing untuk menghindar. Kesusra
sudah melayang di udara dan siap menghujamkan kerisnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tapi, pertarungan tak selesai dengan semudah itu.
Tiba-tiba dari lengan Hui Sing meluncur sinar menyilaukan yang menghentak menyerang kepala
Kesusra. Kaget bukan main, Kesusra mengurungkan serangannya dan membanting tubuh ke kiri. Tapi,
sinar itu terus memburunya.

Hui Sing sudah menggenggam sabuk peraknya yang memantulkan cahaya siang dengan sempurna.

Segera sabuk panjang itu membentuk lingkaran-lingkaran maut yang siap menjerat kaki Kesusra,
mencekik lehernya, menghantam kepalanya, atau menotok aliran darah rakryan berhati bejat itu.

Segera setelah itu, keadaan berbalik sama sekali. Kesusra hanya bisa terus-menerus menghindar tanpa
mampu membalas sekali pun. Terlalu malu untuk memanggil dua pengawalnya, Kesusra masih
mencoba bertahan.

Ruang gerak Kukesra semakin habis terkurung sabuk maut yang terus mengepungnya. Ia hanya bisa
mengibaskan kerisnya, sesekali melompat mencari peluang, tapi lebih sering berlari mundur.

Tempat pertarungan pun tak lagi di pelataran candi itu.

Sambil terus berkejar-kejaran, mereka makin menjauh dari candi hingga nyaris ke ujung tebing yang
beberapa tombak saja jaraknya dari jurang yang menganga.

Shuuut… Tar.’

Sebongkah batu sebesar orang dewasa hancur berantakan kena gempur ujung sabuk Hui Sing. Kini,
dara itu seperti tengah memegang cambuk untuk menjinakkan harimau liar.

Bunyi lecutan-lecutan terdengar semakin sering. Ini menandakan bahwa sewaktu-waktu ujung sabuk
itu bisa saja menghantam salah satu bagian tubuh Kesusra. Hanya karena si empunya yang belum
berkehendak, Kesusra pun masih bisa melanjutkan napasnya dan terus berjumpalitan menghindar.

“Ini untuk semua kepedihan Ramya!”


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berteriak, Hui Sing meluncurkan sabuknya
hingga demikian lurus seperti melesatnya anak panah dari busurnya.

“Lancang benar kau tak memandangku, Bocah!”

Sesosok bayangan melesat cepat menengahi pertarungan.

Sekejap kemudian, ujung sabuk Hui Sing yang seharusnya sudah menghajar dada Kesusra membelit di
ujung tongkat ular Kolo Ireng.

Suara bersuit terdengar lagi. Hui Sing menghentakkan sabuknya hingga lepas dari tongkat Kolo Ireng.

“Kau menyusul!”

Seperti enggan membuang waktu, Hui Sing kembali menggerakkan sabuk mautnya. Kini, sabuk yang
liat seperti belut dan kuat layaknya baja itu meliuk seperti ular sendok yang hendak mematok
mangsanya.

Kolo Ireng tak kehilangan ketenangannya. Dia memutar tongkat berkepala ular di tangan kanannya,
menyongsong serangan Hui Sing. Maklum bahwa lawannya adalah jago kanuragan yang sudah lama
malang melintang dalam berbagai pertarungan, Hui Sing memilih untuk berhati-hati.

Meskipun tak ada persentuhan antara tongkat Kolo Ireng dan sabuk Hui Sing, angin serangan
keduanya saling bertumbukan dan membuat desakan angin yang hebat. Kolo Ireng menarik
tongkatnya, sedangkan Hui Sing kembali membuat lingkaran-lingkaran yang mengalihkan hentakan
udara yang bertumbukkan itu.

Ia bahkan melakukan gerakan kayang hingga rambutnya nyaris menyentuh tanah, sementara tangan
kanannya terus mengendalikan sabuk yang tak henti bergerak, membuat lingkaran indah di atas
badannya.

Begitu kembali berdiri sempurna, Hui Sing kembali melabrak lawannya dengan kekuatan penuh.
Sementara Kolo Ireng pun tak berdiri diam dan menunggu serangan. Dia menyambut Hui Sing dengan
gurat keyakinan yang rata di wajahnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ujung sabuk Hui Sing kini mengincar ulu hati
lawan. Dia menerapkan jurus Noiht ze wa (Petik bunga anggrek) yang memungkinkannya menyerang
mantap meskipun ada dalam jarak tempur yang tidak sangat dekat.

Namun, yang dihadapi Hui Sing kini adalah Kolo Ireng, iblis tertua dari ‘“Sepasang Iblis Laut Kidul”
yang masyhur dengan kekejiannya. Meskipun Kolo Ireng juga masih menerka-nerka arah gerakan Hui
Sing yang sangat asing baginya, hal itu tak lantas membuat serangan dan pertahanannya jadi tak
bergigi.

Sebaliknya, Kolo Ireng cepat sekali mempelajari arah gerakan Hui Sing dan mulai bisa masuk ke
lingkar pertahanan Hui Sing. Sadar lawannya begitu tangguh, Hui Sing pun mengubah gaya
bertarungnya dengan lebih sering menyerang tanpa mengurangi kesigapannya mempertahankan diri.

Bagaimanapun, menyerang adalah pertahanan yang paling kokoh.

Tapi lama-kelamaan, langkah ini pun terpatahkan oleh gerakan Kolo Ireng yang makin menggila.
Tongkat di tangannya tak lagi sekadar berputar, namun juga menyodok dengan ganas. Beberapa kali,
nyaris saja Hui Sing dihantam oleh kepala tongkat yang menyerupai kepala ular bersisik itu.

Tangan kiri Kolo Ireng yang menganggur mulai mengeluarkan asap tipis. Ini tanda bahwa iblis itu
tengah merapal Ajian Segoro Wiso (Samudra Racun), ilmu andalan Gua Jerangkong, tempat asal Kolo
Ireng dan Lowo Ijo.

Hui Sing kini terdesak hebat, meskipun tak kelihatan bakal roboh. Gadis itu memilih gerakan
menangkis dan menyerang.

Bersalto lalu melepas Po Nyir menangkis serangan tongkat dengan sabuk yang bergerak mematah.

Hui Sing memutar tubuhnya sedemikian rupa, lalu menggerakkan Po Ung’r dengan tangan kirinya,
menghalau tapak kiri Kolo Ireng yang mulai mengancam. Lalu, ia memiringkan tubuhnya dengan Po
Khe, terus berputar menangkis dan menyerang dengan Po’r re, kembali melompat lalu, melakukan Po
ets po, serangan mendadak yang cukup Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengagetkan Kolo Ireng sehingga kepala tongkat
ularnya kini terbelit sabuk Hui Sing.

Hui Sing sempat bernapas lega sekejap karena tadinya tak yakin bisa melakukan hal itu. Segala
gerakan menangkis dan menyerang yang ia tahu, sudah dikerahkan. Namun, Kolo Ireng justru terlihat
semakin kuat.

Gerakan terakhir dengan memanfaatkan pantulan sinar matahari pada sabuk itu membuat Kolo Ireng
lengah sejenak, hingga tongkatnya kena jerat. Tapi, kelegaan itu tak berarti apa-apa karena

Hui Sing hanya bisa menjerat tanpa berhasil memaksa Kolo Ireng melepaskan tongkatnya.

Padahal, jika itu bisa ia lakukan, sama saja dia telah memenangkan pertarungan secara kesatria.
Meskipun dalam pertarungan hidup dan mati, aturan main seperti itu kadang tak berlaku.

Kini, dua orang itu berdiri kaku mengerahkan tenaga dalam masing-masing. Hui Sing habis-habisan
berusaha menyentakkan sabuknya. Inginnya membuat tongkat itu terlepas dari tangan Kolo Ireng.
Atau paling tidak, ia berhasil menarik kembali sabuknya dan memulai pertarungan baru.

Namun, kini yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan, untuk menarik kembali sabuknya pun, Hui Sing
harus berjuang mati-matian. Keringat mulai menetes dari kening gadis itu. Mukanya memerah,
sedangkan bibirnya bergetar. Sementara Kolo Ireng seperti tak sedang melakukan pekerjaan berat apa
pun.

Matanya menyorot tajam ke arah Hui Sing yang masih berdiri tegap meskipun tak bisa dijamin berapa
lama gadis yang baru memiliki sepertiga usianya itu mampu bertahan.
“Aku bantu kau, Kolo Ireng!”

Sekonyong-konyong Kesusra menyergap Hui Sing dengan keris terhunus. Lelaki beringas itu rupanya
penasaran karena sempat dibuat tak berdaya oleh Hui Sing. Kini, dia ada di atas angin. Melihat
serangan yang berbahaya itu, Hui Sing Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi langsung melompat ke samping tanpa melepas
genggamannya pada sabuk bajanya yang kini terbelit pada tongkat Kolo Ireng.

Kesusra yang tak punya malu itu terus memburu Hui Sing dengan serangan yang makin berbahaya.
Tiba-tiba belitan sabuk Hui Sing di tongkat Kolo Ireng lepas. Dengan sengaja, Kolo Ireng
mengempaskan sabuk itu sambil mendorong Hui Sing dengan tenaganya sendiri. Tanpa harus
mengeluarkan keringat, Kolo Ireng pikir bisa membuat Hui Sing terpelanting karena terdorong oleh
tenaga dalamnya sendiri.

Tapi, nalar Hui Sing yang melaju cepat membuat gadis itu tak gagap melakukan tindakan
penyelamatan. Segera dia memutar sabuknya hingga meliuk-liuk, lalu menyerbu Kesusra dengan
tenaga yang berlebih. Hui Sing melentingkan tubuhnya agar tak terempas keras oleh desakan tenaga
dalamnya sendiri.

Kesusra yang tadinya mengira akan segera bisa melumpuhkan Hui Sing, kaget bukan main. Gadis itu
kembali berubah menjadi dewi maut yang bersemangat sekali untuk mencabut nyawanya. Kesusra
melawan sebisanya. Namun, kali ini Hui Sing betul-betul tak memberinya ampun.

Sabuk peraknya bergerak cepat dan menghempaskan keris di tangan Kesusra.

“Segara Wisaaa!”

Pikiran Hui Sing bercabang. Dia urung menghabiskan serangannya terhadap Kesusra dan
memalingkan tubuhnya menyambut serangan Kolo Ireng yang gila-gilaan. Hui Sing merasakan betul
hawa membunuh dan beracun dari tapak kiri Kolo Ireng yang sesaat lagi menghantam tubuhnya.

Tak mungkin lagi menghindar, Hui Sing menyambut serangnya itu dengan mengepalkan tinju kirinya,
melepaskan dath “Kutub Beku” yang baru seujung kuku dipelajarinya.

Tubuh Hui Sing sontak terpental ke belakang akibat benturan tenaga dalam itu. Ia masih berhasil
mendarat dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi baik dan berdiri meskipun terhuyung-huyung. Hui
Sing merasa matanya berkunang-kunang.

“Segara Wisaaaa!”

Belum hilang pening di kepala Hui Sing, Lowo Ijo yang sejak awal tak ikut berlaga, tiba-tiba saja
sudah melayang di udara dan segera mengirimkan serangan maut. Hui Sing sadar betul posisinya
demikian terdesak. Namun, jiwa kesatrianya tak membolehkannya menyerah begitu saja.

Dia menyentakkan sabuk di tangannya dan membentuk pusaran perak menyambut serangan Lowo Ijo.
Tangan kanan Lowo Ijo yang menggenggam pedang besar mengayun deras menghalau pertahanan
sabuk Hui Sing. Meskipun tak sanggup memotong sabuk itu menjadi serpihan, tenaga dalam yang
menyertainya memaksa pusaran sabuk yang rapat itu memudar.

Pertahanan Hui Sing terbuka, dan tapak kiri Lowo Ijo menyeruak, menghantam dadanya. Hui Sing
merasa napasnya terhenti. Tubuhnya lalu melayang seringan kapas.

Dadanya sesak bukan main. Sementara, tak setitik tenaga pun yang tersisa. Hui Sing seperti melihat
tubuhnya sendiri melayang ringan tanpa berat.

Hui Sing melambung dari tebing tempatnya bertempur mati-matian lalu meluncur ke jurang yang
entah ada apa di dasarnya. Ia benar-benar mati rasa. Bayangan-bayangan cepat sekali bergerak dalam
benaknya. Semua wajah yang ia kenal terpampang. Gurunya, kakak seperguruannya, Ramya, Sad
Respati, bahkan Windriya.

Suara yang sangat berisik. Hui Sing merasakan tubuhnya menghantam sesuatu. Tapi entah apa. Sebab,
yang tampak kemudian adalah gelap. Sementara itu, jauh di atas tebing, Lowo Ijo, Kolo Ireng, dan
Kesusra berdiri termangu.

“Kenapa kalian turun tangan?! Aku pun masih sanggup menaklukannya.”

Wajah Kolo Ireng bersungut-sungut.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Apa kata orang persilatan ketika tahu kita harus turun tangan bertiga hanya untuk membunuh seorang
gadis ingusan?”

“Sudahlah, aku yang terlalu bernafsu. Aku percaya kau masih bisa mengalahkannya.”

Kesusra memandang ke arah jurang dengan wajah menyesal.

“Gadis itu cantik sekali. Sayang, dia harus mati begitu saja.”

Lowo Ijo memandang ke arah Kolo Ireng, lalu mengedipkan matanya. Dia tahu benar apa yang ada di
kepala Kesusra. Seperti halnya ketika majikannya itu melihat Ramya tempo hari.

Kolo Ireng membuang muka, tak menanggapi adik seperguruannya itu. Rupanya, dia kecewa betul
karena pestanya diganggu.

0oo0

Napas Hui Sing tersentak. Ia terbatuk-batuk dengan wajah membiru. Tubuh gadis itu tersangkut sulur
tetumbuhan di tebing tempatnya jatuh. Dadanya terasa sesak dan sakit yang semakin menggila. Hui
Sing mencoba menggerakkan badannya. Gerakan kecil itu cukup membuat belitan sulur yang tak
begitu kencang lolos.

“Aaargh …!”
Tubuh Hui Sing merosot ke bawah, bergulingan, lalu terjerembap di tanah liat yang basah. Di dasar
jurang yang menganga itu, tenyata ada sebuah sungai kecil. Hui Sing tengkurap di pinggir sungai
dengan belulang patah dan pukulan beracun yang bersarang di dadanya. Gadis malang itu pingsan lagi.

Ketika kelopak matanya terbuka, seluruh tubuh Hui Sing basah kuyup oleh air hujan yang begitu
ramai. Suara kodok Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bersahut-sahutan menyambut pagi. Bibir Hui Sing
bergetar hebat. Begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya ketika rasa
sakit menghunjam di lengan kirinya yang patah.

Hui Sing menjerit sejadinya sambil mengangkat lehernya.

Menengadah ke langit menantang hujan. Matanya terpejam.

Aku tak boleh mati sekarang!

Gadis berhati baja itu lalu mengeraskan hati berusaha keras untuk duduk bersila. Susah payah, dengan
wajah yang meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, Hui Sing akhirnya berhasil duduk bersila di
atas tanah yang sudah demikian lembek oleh air hujan.

Pakaian serbasutra berwarna putih yang ia kenakan, nyaris tak menyisakan warna aslinya. Hampir
semuanya berlumur lumpur. Hui Sing tak peduli. Ia lalu memejamkan mata dan memusatkan
pikirannya untuk mengolah dath dalam dirinya.

Lengan kirinya diangsurkan ke depan. Ia lalu menyibak lengan baju kirinya. Ada yang menyembul di
siku-siku lengannya. Kembali memejam, Hui Sing lalu mengelus lengan kirinya dengan tangan
kanannya. Pelan, telapak tangan kanannya bergeser ke pergelangan tangan kiri. Lalu, berhenti di sana.

Kreeek.

“Aaargh …!”

Tonjolan tulang itu sudah tidak ada lagi. Hui Sing lalu menggunakan sabuk perak untuk membalut
lengan kirinya agar tulang patah yang sudah diluruskan tak bergeser lagi.

Napas Hui Sing tersengal-sengal. Tidak teratur. Ia lalu menyeret tubuhnya perlahan ke bibir sungai.
Sesak di dadanya menjadi-jadi, tapi gadis itu mengabaikannya. Hujan masih deras mengguyur.

Begitu menyentuh air sungai yang tak begitu jernih, Hui Sing mengulurkan lengan kanannya.
Membasuh kedua telapak tangannya dengan khidmat dan perlahan. Lalu, ia Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengambil air dengan telapak tangan kanannya
yang dirapatkan untuk berkumur. Dia melakukannya tiga kali.

Air matanya mulai meleleh. Rasa sakit di dada akibat pukulan beracun berbaur dengan nelangsa yang
pekat, membuat badannya terguncang-guncang oleh tangis tanpa suara. Tapi, gadis tabah itu
meneruskan pekerjaannya. Ia kembali mengambil air, lalu membasuh muka dan hidungnya perlahan.
Napas Hui Sing kian tersendat ketika ia membasuh kedua lengannya. Dan, tubuhnya semakin
berguncang ketika batuknya mulai menyentak-nyentak. Tapi, Hui Sing tak peduli.

Dia mengumpulkan sisa tenaganya, lalu membasuh kening dan kedua kakinya.

Selesai itu, Hui Sing merogoh lipatan bajunya dan mengeluarkan selembar kain hijau cukup lebar
berbahan sangat lunak. Gemetar tangannya makin hebat saat ia menutupi kepalanya dengan kain itu.
Sebelumnya, Hui Sing merapikan rambutnya, lalu memasukkannya ke dalam lipatan kain di lehernya.
Ketika ia mengenakan kain itu, tak sehelai rambut pun yang terlihat.

Kemudian, perempuan malang itu mengikatkan ujung sabuk peraknya ke bahu, sehingga lengan
kirinya yang dibalut rapat menggantung sejajar dengan perut dan tak bergerak.

Usai menutupi kepalanya, Hui Sing duduk tim-puh dengan sikap sangat khidmat. Mulutnya berkomat-
kamit. Ia mengangkat tangan kanannya sejajar dengan telinga, lalu ditaruh perlahan di dadanya. Ia
seperti merapal mantra. Untuk beberapa waktu, tak sekali pun batuknya menyentak. Bahkan, air
matanya yang semakin deras, mengucur tanpa dibarengi isak tangis. Hanya badannya yang bergetar
hebat. Suatu saat, Hui Sing merundukkan punggungnya hingga ujung hidung dan keningnya
menyentuh permukaan tanah becek di depannya. Ia diam dalam keadaan seperti itu, cukup lama dan
berkali-kali.

Semuanya tuntas setelah Hui Sing menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri. Hujan mereda, sinar
awal hari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mulai rata di cakrawala. Hui Sing menatap haru ke
luas langit yang tersisa sebatas mulut jurang di atasnya.

Gadis itu kemudian menenangkan dirinya. Kembali mengatur dath dan mengumpulkannya di dalam
dada.

Matanya terpejam dengan air muka yang berubah-ubah.

Ketika jarum-jarum cahaya datang membarengi datangnya pagi, Hui Sing menyentakkan dath-nya dan
darah hitam kental menyembur dari mulutnya berkali-kali.

Hui Sing menjatuhkan tubuhnya ke samping kanan, lemas.

Sebagian besar racun akibat pukulan “Segara Wisa” sudah ia keluarkan. Namun, untuk itu, Hui Sing
harus memeras tenaganya yang tersisa. Kini, dia benar-benar kehabisan daya.

Berbaring miring di atas tanah lumpur dengan mata yang semakin sayup. Tepat ketika hari benar-
benar terang, Hui Sing kembali pingsan.

0oo0

Nyanyian burung yang bercuit-cuit membuyarkan ketidaksadaran Hui Sing. Ia siuman dengan tubuh
yang panas karena demam. Badannya masih tergeletak di tanah, dengan kepala yang tetap tertutup
kain hijau berbahan lunak itu. Hui Sing lalu menempelkan punggung tangan kanan di pipinya.
Benar-benar panas. Panas itu kini rata di sekujur tubuhnya hingga ke perut. Panas yang dibarengi rasa
melilit.

Hui Sing mengingat-ingat kapan terakhir ia mengisi perut.

Kini, ia benar-benar lapar. Dengan badan bergetar, basah kuyup, dan mata sayu, Hui Sing mencoba
bangkit dengan lengan kanannya sebagai penyangga. Setelah duduk beberapa saat, ia mengerahkan
segala dayanya untuk berdiri.

Dengan susah payah, ia berhasil juga melakukannya.

Beberapa saat kemudian, tubuhnya yang sempoyongan mulai tertatih-tatih menuju dinding jurang. Hui
Sing mencari-cari sesuatu untuk mengisi perutnya. Tadinya dia berharap menemukan buah-buahan
sekadar pengganjal lapar.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun, dasar jurang itu hanya diisi tetumbuhan
menjalar saja. Kalaupun ada pohon, buahnya tak enak untuk dimakan.

Hui Sing jatuh tersimpuh. Matanya kembali berkaca-kaca.

Nelangsa. Meskipun yatim piatu sejak lahir, namun berada di sisi Laksamana Cheng Ho membuat Hui
Sing tak pernah kekurangan apa pun. Apalagi sekadar makanan.

Kini, tak sebiji anggur pun yang bisa ia telan. Hui Sing menoleh ke arah sungai. Dia menggelengkan
kepala. Sadar, tak cukup tenaga yang ia miliki untuk bisa menangkap binatang sungai. Hui Sing lalu
menengadah ke atas. Betul-betul hanya tetumbuhan menjalar yang memenuhi dinding jurang.

Hui Sing merasakan perutnya kian panas dan beberapa kali mengeluarkan bunyi. Gadis itu lalu
mengulurkan tangannya meraih beberapa helai daun tumbuhan menjalar itu.

Entah daun apa. Hui Sing mendekatkan permukaan daun itu ke hidungnya. Tak tercium aroma racun.

Sambil memejamkan matanya rapat-rapat, Hui Sing membuka mulutnya. Daun itu dikunyahnya.
Hanya beberapa kali, karena ia buru-buru menelannya. Tak ia nikmati seperti apa rasanya. Dengan
napas memburu, Hui Sing mengulangnya beberapa kali. Ia mencabuti daun-daun tumbuhan menjalar
itu, lalu cepat-cepat mengunyah dan menelannya.

Beberapa saat kemudian, tubuh Hui Sing merosot. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding
jurang. Gadis itu mengusap air matanya, lalu mengeraskan hati, sekeras-kerasnya. Ia tersenyum.
Benar-benar tersenyum.

“Belumlah seseorang itu dikatakan tunduk dan mencintai Thian, kecuali dia telah diuji.”

Hui Sing seperti mendengarkan suara gurunya menggema di pelosok jurang.

“Thian tak akan menguji hambanya lebih dari kemampuan yang diberikan-Nya kepada hambanya itu.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Benar-benar jelas. Hui Sing tersenyum, sementara
matanya kembali berkaca-kaca.

“Guru.”

Ingatan tentang gurunya mendorong tenaga baru yang berlipat-lipat dalam diri Hui Sing. Matanya
berbinar, ketika mengingat sesuatu. Tergesa, Hui Sing lalu merogoh lipatan bajunya. Jemarinya
mencari-cari. Berdebar ia ketika perlahan mengeluarkan sebuah kitab yang lembarannya terbuat dari
kulit kambing.

Hui Sing tersenyum sambil tergagap. Sejak kitab “Kutub Beku” diserahkan, Hui Sing belum sekali
pun membacanya.

Kini dengan jantung yang berdebar kencang, ia membuka lembar demi lembar kitab tak ternilai itu.

Hui Sing mencari bab pengobatan luka dalam dan ia segera menemukannya. Wajah gadis itu seperti
berpijar. Dia lalu membenarkan duduknya. Setelah menaruh kitab itu di depannya, Hui Sing mulai
mengatur napasnya sesuai petunjuk dalam kitab itu. Wajahnya cerah, benar-benar cerah. Senyum itu
sudah kembali.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 8. Bunga Bermarga Shi

Berlayar dengan angin buritan, P’o-lin-pang bisa ditempuh selama delapan hari delapan malam dari
Jawa Dwipa. Daerah ini dulunya masuk wilayah Kerajaan Sriwijaya. Letaknya di sebelah timur
Malaka. Wilayahnya diapit gunung tinggi dan laut luas di sebelah selatan dan utara.

Sebagian besar wilayah P’o-lin-pang adalah air. Tanahnya sedikit. Orang-orang kaya tinggal di rumah-
rumah besar di daratan, sedangkan orang biasa tinggal di atas rakit yang ditambat pada tonggak di
pantai.

Dua kali, setiap pagi dan malam, permukaan air laut pasang. Orang-orang rakit itu sudah terbiasa
dengan keadaan itu. Mereka tetap tinggal nyaman di rumah-rumah rakitnya.

Orang-orang itu masyhur karena pandai bertempur di dalam air.

Di P’o-lin-pang, banyak tinggal perantau dari Provinsi Guangdong dan Quanzhou, daerah Fujian
Selatan, Tiongkok.

Tahun Masehi menunjuk angka 1377 ketika Hayam Wuruk, Raja Majapahit menyerang Sriwijaya.
Menjelang runtuhnya kerajaan itu, ribuan keluarga perantauan dari Tiongkok yang tinggal di sana
mengangkat Liang Daoming sebagai kepala daerah mereka.

Ke sanalah armada Laksamana Cheng Ho kini berlayar.

Ratusan kapal yang membawa puluhan ribu anggota pelayaran Kerajaan Ming segera tiba di
Pelabuhan P’o-lin-pang. Para ping-se mulai bersiap. Pengalaman pahit di Pantai Simongan tak ingin
mereka ulangi. Kehilangan seratus ping-se dalam pertempuran di Simongan sudah cukup
meninggalkan luka mendalam.

Meskipun belum pulih benar, Cheng Ho dan Juen Sui berada di ujung geladak kapal pusaka untuk
memimpin langsung ketika kapal-kapal raksasa itu melabuh.

“Siapa sebenarnya Chen Zhuyi itu, Guru?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Juen Sui belum terlalu bugar. Matanya
memancar lemah, meskipun luka dalamnya sudah mulai sembuh. Namun, demi menghitung bahaya
yang harus dihadapi armada Ming, ia memaksakan diri untuk tetap berada di baris depan.

“Dia seorang pelarian. Bramacorah yang melanggar aturan kaisar, lalu lari minta perlindungan kepada
Raja Sriwijaya.

Sebelum diruntuhkan Majapahit, Zhuyi bekerja untuk Raja Sriwijaya. Setelah sang raja mangkat, dia
mengangkat dirinya sebagai gembong bajak laut dan berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk
dan para pedagang.”

“Apakah kekuasaan Liang Daoming tak cukup untuk meredamnya?”

“Komplotan Zhuyi jumlahnya sangat banyak dan berperilaku keji. Liang tak memiliki kekuatan
cukup.”

“Tapi, bukankah P’o-lin-pang masuk wilayah Majapahit?

Mengapa Raja Majapahit tidak mengirimkan pasukan tempurnya untuk mengusir bajak laut itu?”

Kelompok camar terbang dengan suara mereka yang khas.

“Juen Sui, Majapahit sedang dirundung berbagai persoalan gawat. Bahkan, sekadar mempertahankan
kesatuan daerah bawahannya pun sangat sukar. Perang saudara terjadi terus-menerus. Sang prabu tak
sempat lagi berpikir untuk mengamankan wilayah kekuasaannya yang demikian jauh.”

Juen Sui merekam semua pembicaraan itu.

Memahaminya, lalu melepaskan napas perlahan.

“Apa yang akan kita lakukan terhadap para bajak laut itu, Guru?”

“Sesuai titah kaisar, kita akan memaksa Zhuyi untuk menyerah dan bertaubat.”

Juen Sui menatap lurus ke garis pantai. Beberapa burung laut menukik cekatan, menculik ikan-ikan
kecil yang sedang sial. Paruh kokohnya menjepit licin tubuh ikan yang terus berontak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Jika Zhuyi menolak, Guru?”

“Kita membawa puluhan ribu ping-se dan peralatan perang yang memadai untuk menaklukan mereka
dalam pertempuran.”

Pandangan Juen Sui mengambang. Dia sudah terbiasa dengan perubahan penekanan suara gurunya
setiap membahas permasalahan yang berbeda.

Cheng Ho bisa sangat lembut karena memang hatinya demikian perasa. Namun di saat lain, dia bisa
sangat tegas sekeras batu ketika menghadapi musuh yang aniaya.

“Pada akhirnya, perang hanya meninggalkan kehancuran.”

Cheng Ho menatap lekat murid tertuanya. Dia tersenyum arif.

“Perang harus dilakukan ketika memang sudah tidak ada pilihan, Juen Sui.”

Kini, Juen Sui menatap wajah gurunya. Pandangan mereka bertemu.

“Ketika dunia ini diisi oleh begitu banyak manusia berhati bobrok, Thian akan menghancurleburkan
mereka dan menggantikannya dengan generasi yang lebih baik.”

Juen Sui mengangguk paham.

“Aku akan turun ke darat menemui Liang Daoming dan Zhuyi untuk menawarkan jalan damai. Tapi,
kau harus bersiap bersama Saudara Wang untuk menjaga segala kemungkinan.

Kalian tetap berada di atas kapal, sampai ada perintah dariku.”

Juen Sui mengiyakan kalimat gurunya. Cheng Ho lalu kembali ke ruangan pribadinya untuk bersiap.
Menjelang petang, sampai juga kapal-kapal Kerajaan Ming itu di lepas pantai P’o-iin-pang. Jangkar-
jangkar raksasa kembali dilemparkan, agar kapal-kapal itu tertambat dan tak dibawa ombak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho dan belasan ping-se kemudian turun ke
kapal-kapal kecil menuju daratan. Pantai Po-lin-pang tak seriuh ketika masih dalam kekuasaan

Sriwijaya dulu. Kawasan ini tadinya demikian ramai sebelum gerombolan bajak laut Zhuyi merajalela.
Kini, kapal-kapal dagang dari berbagai negeri berpikir dua kali untuk mampir di kawasan yang juga
terkenal dengan nama Kang Lama itu.

Ketika kapal-kapal kecil rombongan Cheng Ho segera sampai ke bibir pelabuhan, sedikit sekali kapal-
kapal dagang yang terlihat. Itu pun jelas berasal dari daerah-daerah dekat.

Bendera – bendera yang dikibarkan di kapal-kapal itu menandakan mereka bukan berasal dari negeri
yang jauh.
Di pelabuhan, penduduk setempat membangun banyak sekali menara dari batu bata. Menara-menara
itu digunakan untuk menambatkan kapal-kapal dengan tali yang kokoh.

Rombongan Cheng Ho bergerak cepat. Setelah menambatkan kapal-kapal itu, Cheng Ho segera
memimpin para ping-se mencari kediaman Liang Daoming.

0oo0

“Saya sudah tak bisa memikirkan jalan keluar lain, Laksamana.”

Seorang lelaki berusia tiga puluhan duduk di depan Cheng Ho. Badannya tak terlalu tinggi, lagi kurus.
Matanya yang sipit tampak tenang seperti danau. Dia kelihatan berwawasan luas dan bijak. Tutur
katanya santun dan berhati-hati. Dialah Shi Jinqing, pengganti Liang Daoming, penguasa P’o-iin-pang
yang sedang dipanggil pulang oleh

Kaisar Ming ke Tiongkok.

Selama Liang tak ada, Shi dipercaya untuk memimpin rakyat P’o-Lin-Pang. Cheng Ho yang tadinya
hendak menemui Liang Daoming, akhirnya membahas permasalahan bajak laut itu dengan Shi
Jinqing.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Tuan Shi, apakah Tuan sudah berusaha untuk berunding dengan gerombolan Zhuyi?”

Setengah ragu Shi Jinqing mengangkat mukanya.

“Sudah tak terhitung berapa kali, Laksamana. Dia memang berkeinginan keji untuk menguasai Po-lin-
pang seorang diri. Menjadi penguasa tanpa terbagi.”

Cheng Ho tampak sedang berpikir. Dahinya berkerut. Ia melirik keluar pintu ruang tamu rumah Shi
Jinqing yang besar.

Di luar ruangan itu dibangun taman mungil yang asri.

Beberapa perempuan pelayan mondar-mandir melakukan berbagai pekerjaan.

“Tunjukkan kepadaku tempat tinggal Zhuyi. Aku akan mencoba berunding dengannya.”

Shi mengangguk. Ia lalu memanggil beberapa orang pengawal untuk menemaninya mengantar Cheng
Ho menuju perkampungan bajak laut yang dibangun khusus oleh Zhuyi.

Letaknya tak jauh dari pelabuhan. Dengan mengendarai kuda, rombongan Cheng Ho tak butuh waktu
lama untuk sampai di sana.

Cheng Ho meratakan pandangannya ke segala arah.


Perkampungan bajak laut itu nyatanya tak seseram yang dibayangkan. Seperti perkampungan biasa,
tempat itu terdiri dari rumah-rumah penduduk yang tertata rapi. Kesibukan di dalamnya pun tak
banyak berbeda.

Para perempuan terlihat sibuk melakukan berbagai kegiatan. Di antara mereka, ada yang sedang
menjemur ikan-ikan yang dikeringkan. Ada juga yang menampi beras atau bersenda gurau dengan
anak-anak kecil.

Perkampungan ini dilingkari pagar bambu yang tinggi.

Memang, di depan gerbang kampung, beberapa orang bermuka seram berdiri congkak dengan golok di
bahu. Mereka sempat menanyakan keperluan rombongan Cheng Ho datang ke perkampungan itu.
Begitu tahu bahwa lelaki gagah itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi adalah pemimpin armada bahari Kerajaan Ming,
para penjaga gerbang itu mempersilakan mereka masuk.

“Kenapa begini sepi?”

Cheng Ho menjalankan kudanya dengan perlahan begitu masuk ke perkampungan itu. Ketipak kaki
kuda terdengar ramai. Cheng Ho keheranan karena perkampungan ramai itu lebih banyak dihuni oleh
perempuan dan anak-anak.

“Tentu saja. Para lelaki sedang berada di laut, Tuan Ho.

Mereka tak setiap hari pulang ke perkampungan ini.”

Kuda yang ditunggangi Shi menjejeri langkah kuda Cheng Ho. Ia lalu menerangkan seluk beluk
perkampungan bajak laut itu. Misalnya, bagaimana komplotan pembajak yang jumlahnya ribuan bisa
berhari-hari berada di laut tanpa menengok keluarganya. Mereka baru pulang ketika membawa aneka
hasil jarahan.

“Lihatlah, bahkan para bajak laut pun sebenarnya punya mimpi yang sama dengan kita. Menumpuk
harta sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan anak dan istri mereka. Tapi, mereka menempuh cara
yang salah. Manusia sungguh lemah.”

Shi hanya mengangguk tanpa menjawab. Beberapa saat kemudian, dia mengacungkan jari telunjuknya.
Memberi tahu Cheng Ho letak rumah yang ditinggali Zhuyi, gembong bajak laut yang namanya
membuat gentar penduduk daratan dan lautan.

Sebuah rumah dengan ukuran besar berdiri kokoh di tengah perkampungan. Bentuknya masih kental
dengan khas bangunan Tiongkok. Warna merah di mana-mana dengan patung naga di muka rumah.
Belasan lelaki berwajah tak menyenangkan duduk santai di kursi-kursi kecil yang diletakkan di
pekarangan rumah.

Wajah mereka tidak seram, namun tak enak dipandang.

Tidak ada senyum, tidak ada keramahan. Begitu melihat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi rombongan Cheng Ho, mereka segera berdiri
dengan congkaknya.

“Ketua Zhuyi sedang bersiap, silakan Tuan menunggu.”

Seorang lelaki berbadan tinggi besar dengan ikat kepala bergambar tengkorak maju ke hadapan Cheng
Ho. Wajahnya terbentuk oleh tulang-tulang yang menonjol. Kelopak matanya cekung dan sipit.

“Kami akan tunggu.”

Cheng Ho memberi tanda kepada orang-orang di belakangnya supaya turun dari kuda mereka. Setelah
itu, belasan orang ping-se ditambah pengawal Shi, duduk berkelompok di depan pekarangan rumah
itu.

“Tuan, lihat betapa tidak sopannya Zhuyi.”

Shi mendekatkan kepalanya dan berkata lirih kepada Cheng Ho. Mereka duduk di depan meja yang
sama.

“Setelah hari ini, dia tak berhak lagi untuk bersikap sombong.”

Garis muka Cheng Ho begitu yakin. Sorot matanya menajam. Seperti ada api yang ujung merah
kuningnya menjilat-jilat di bola mata sang laksamana. Para lelaki penjaga rumah Zhuyi berdiri tegak
seperti patung di muka pintu rumah besar itu. Wajah-wajah mereka tak semua berkulit kuning dan
bermata sipit.

Ada juga yang berkulit sawo matang dan wajah seperti orang-orang Malaka. Tak lama kemudian, dari
dalam rumah, keluar sesosok lelaki bertubuh pendek. Lebih pendek dari Shi.

Tidak ada kesan seram apalagi angker di wajahnya. Kumisnya melintang, jarang-jarang. Begitu juga
dengan jenggotnya yang seolah-olah jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Lelaki berumur tiga puluhan
itu tersenyum culas.

“Laksamana Cheng Ho, sungguh suatu kehormatan, Zhuyi yang hina dina ini dikunjungi oleh duta
utama Kaisar Ming.

Maaf jika penyambutan kami begini sederhana.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho mengangkat keduanya tangannya seraya
menjura, membalas apa yang dilakukan Zhuyi.

“Tuan Zhuyi, nama Anda demikian mashyur, namun baru kali ini kita bertemu. Sungguh gambaran
tentang Tuan begitu berbeda daripada yang saya dengar.”

Zhuyi tertawa pendek. Ia lalu menyilakan Cheng Ho kembali duduk. Suasana awal pertemuan itu tak
setegang yang dibayangkan sebelumnya.
“Kaisar Ming begitu perhatian hingga mengirimkan Tuan ke P’o-lin-pang,”

Setelah Cheng Ho menerangkan ikhwal kedatangannya ke Kang Lama, Zhuyi masih juga berbasa-basi
menjawabnya.

“Tuan Ho, apakah Tuan tak melihat bagaimana damainya kehidupan di perkampungan kami?
Perkampungan yang disebut sarang bajak laut ini?”

“Saya tak menampiknya.”

“Itulah alasan saya untuk mengumpulkan kekuatan besar di P’o-lin-pang. Rakyat butuh kepemimpinan
yang kuat untuk mengayomi. Bagaimana rakyat bisa hidup tenang jika pemimpinnya lemah tanpa
wibawa?”

Zhuyi melirik ke arah Shi saat mengatakan hal itu. Shi sengaja tak mau menumbukkan pandangannya
dengan Zhuyi.

Dia menyimak perubahan air muka Cheng Ho dengan saksama.

“Semulia apa pun tujuannya, jika ditempuh dengan cara yang melanggar kebenaran, di manakah
keadilan?”

Cheng Ho melekatkan pandangannya ke wajah Zhuyi.

Menjelajahi sejauh mana wibawa orang kerdil di hadapannya itu. Beberapa saat, Zhuyi sempat kuat
menentang sorot mata Cheng Ho. Tapi tak berapa lama, dia mengalihkan pandangannya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Saya justru berpikir sebaliknya, Tuan Ho. Demi kesejahteraan rakyat, apa pun harus dilakukan. Cara
apa pun harus dicoba.”

“Termasuk merugikan banyak orang lain di luar lingkaran rakyat yang Tuan maksud?”

Wajah Zhuyi memerah. Dia kembali menentang sorot mata Cheng Ho.

“Kenapa tidak?”

“Atas nama rakyat yang mana Tuan melakukan semua ini?”

Zhuyi tak bisa menjawab.

“Apakah rakyat yang Tuan maksud adalah orang-orang yang mau tunduk di bawah telapak kaki Tuan,
sedangkan selain itu pantas untuk ditumpas?”

Gigi geligi Zhuyi bergemerutuk. Tapi, dia masih tak melakukan apa pun. Hanya duduk diam dengan
hati bergemuruh. Cheng Ho lalu berdiri gagah. Dia berjalan ke tengah pekarangan, memilih titik
terbaik, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah gulungan kain bercorak mewah.

“Aku Laksamana Cheng Ho membawa titah Kaisar Ming!”

Suara Cheng Ho lantang menyerang. Tidak satu pun orang yang ada di tempat itu tak bisa
mendengarnya. Serentak mereka bersimpuh di tanah tempat mereka duduk dengan kepala tertunduk.
Semuanya, kecuali Zhuyi dan orang-orangnya.

“Chen Zhuyi, kau tak tunduk kepada titah kaisar?”

Mata Zhuyi membelalak. Beberapa saat dia tak melakukan apa pun.

“ZHUYI!!!”

Suara Cheng Ho dua kali lipat lebih keras dari sebelumnya.

Zhuyi tersentak. Dengan badan bergetar antara marah dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi segan, dia menjatuhkan dirinya ke tanah.
Kepalanya menunduk dalam-dalam. Beberapa saat kemudian, seluruh anak buahnya melakukan hal
yang sama.

“Kaisar Ming, Zhu Di memerintahkan kepada Chen Zhuyi untuk segera bertobat dan berhenti
membajak kapal-kapal yang berlabuh di P’o-lin-pang. Jika tunduk, segala kesalahan di masa lalu
dihapus. Jika memberontak, Zhuyi harus diringkus dan dibawa ke hadapan kaisar untuk mendapatkan
hukuman.”

Selesai membaca isi titah itu, Cheng Ho menggulungnya kembali dan memasukannya lagi ke kantong
bajunya.

“Bagaimana, apakah kau menerima titah ini, Zhuyi?” ”

Hening sejenak.

“Sa … sa … saya menerima. Saya bertobat dan tak akan lagi melakukan pembajakan.”

Cheng Ho tersenyum.

“Bagus. Dengan begitu, tak perlu ada pertumpahan darah.

Aku akan segera membawa kabar ini kepada kaisar. Buatmu, inilah saat untuk membuka lembaran
hidup yang lebih baik.”

Zhuyi mengangguk dengan sungguh-sungguh. Keningnya sampai terantuk-antuk ke tanah. Cheng Ho


menghampiri, lalu menepuk bahunya. Ia membimbing Zhuyi berdiri. Gembong bajak laut itu seperti
kehilangan wibawanya. Tak menjawab apa pun dan tak berkata apa pun. Masih menunduk dengan
pandangan menghunjam ke bumi.

“Saudara Zhuyi, sudahlah. Setiap orang pasti sempat melakukan kesalahan. Hal terpenting, kau telah
menyadarinya. Saatnya menebus kesalahan dengan perbuatan berbudi.”

Zhuyi mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. Cairlah suasana. Zhuyi lalu memohon kepada Cheng Ho
untuk mau tinggal sejenak menikmati hidangan. Cheng Ho tak menolak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bersama rombongannya, Cheng Ho berlama-lama
di perkampungan itu untuk beramah-tamah.

Setelah matahari sudah melewati garis lurus ke bumi, Cheng Ho berpamitan untuk kembali ke
kediaman Shi Jinqing.

Ia meninggalkan perkampungan penyamun itu dengan hati yang tersenyum lega.

0oo0

“Guru, ada tamu yang hendak bertemu!”

Juen Sui mengetuk pelan pintu kamar Cheng Ho. Setelah menyelesaikan perundingan dengan Chen
Zhuyi, Ceng Ho memang bergegas kembali ke kapal pusaka. Dia tak ingin membuang waktu untuk
segera melanjutkan pelayaran pulang ke Tiongkok.

“Persilakan masuk. Aku tak mengunci pintu.”

Bunyi berderak terdengar ringan, ketika Juen Sui membuka pintu kamar Cheng Ho penuh hati-hati. Di
samping Juen Sui, berdiri seorang pemuda berumur dua puluhan. Wajahnya putih bersih tanpa noda.
Tubuhnya sedikit lebih pendek dibandingkan Juen Sui dan agak kurus. Matanya sipit dan terkesan
teduh.

“Guru, tuan ini bernama Shi Jisun, putra Shi Jinqing.”

Shi Jisun menjura, disambut hangat oleh Cheng Ho dengan cara yang sama.

“Ada hal penting apa hingga Tuan Muda Shi berkenan datang ke kapal ini?”

Setelah menyilakan keduanya duduk, Cheng Ho langsung menanyakan keperluan Shi Jisun. Dia sudah
mengendus ada hal yang sangat penting dan harus segera dibahas.

“Ini tentang Chen Zhuyi, Tuan Ho.”

Dahi Cheng Ho berkerut. Matanya menatap saksama.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Dia berulah lagi?”


“Tuan Ho, Chen Zhuyi orang yang sangat licik. Dia sebenarnya menyimpan rencana lain saat
menyatakan menyerah kepada titah kaisar. Zhuyi ingin Tuan lengah, lalu menyerang armada untuk
merampas semua harta benda armada.”

Cheng Ho tampak berpikir.

“Dari mana Tuan Shi yakin?”

“Orang kepercayaan ayah saya menelusup ke dalam kelompok pembajak itu. Dia menyamar sebagai
anak buah Zhuyi untuk mengamati gerak-geriknya. Hari ini, mata-mata itu melapor bahwa Zhuyi
sedang menyiapkan gerombolannya untuk menyerang armada Tuan.”

Cheng Ho tersenyum. Tak ada perubahan berarti di air mukanya.

“Sejak awal, aku pun ragu terhadap kesungguhan Zhuyi.

Ternyata dugaanku benar. Tuan Shi tahu berapa kekuatan mereka?”

“Paling tidak, Zhuyi memiliki lima ribu pengikut. Armada lautnya terdiri dari tujuh belas kapal besar
dan puluhan kapal kecil.”

“Lancang. Dia terlalu meremehkan armada Ming. Juen Sui, siapkan kapal meriam. Kita habisi bajak
laut itu malam ini juga.”

“Baik, Guru.”

Pembicaraan itu berlanjut dengan membahas taktik penumpasan gerombolan Zhuyi. Juen Sui lalu
keluar ruangan untuk melaksanakan perintah gurunya. Sedangkan Shi Jisun terus diajak berunding
oleh Cheng Ho untuk menghitung kekuatan lawan. Hingga siang, pembicaraan itu berlangsung
sungguh-sungguh. Lewat tengah hari, barulah Shi Jisun keluar dari ruang pribadi Cheng Ho.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Alam sama sekali tak ramah

Tak satu pun benda langit yang muncul dari balik selimut gelap angkasa malam itu. Angin begitu
ribut. Mendung menggulung, sepertinya sebentar lagi memuntahkan hujan yang dahsyat. Kapal-kapal
armada Kerajaan Ming mengapung dengan pasrah. Gelap gulita. Tak satu pun lampu kapal yang
menyala.

Ratusan kapal itu tak lebih dari benda yang mengambang dan mati. Bunyi berderak-derak dari gesekan
tiang-tiang kapal yang tak lagi mengibarkan layar. Tak satu orang ping-se pun tampak berjaga-jaga.
Ombak menghempas-hempas di dinding kapal menimbulkan suara ngeri.

Pada saat yang sama, belasan kapal bergerak cepat ke arah armada Ming. Bendera bergambar
tengkorak berkibar ribut.
“Ketua, apakah ini bukan perangkap?”

Chen Zhuyi berdiri sombong di lambung kapal terdepan. Di sampingnya Ma Vi Dong, pengawal setia
Zhuyi, membujuk agar tuannya memikirkan kembali rencana penyerbuan terhadap armada Ming.

“Ma Yi, tidakkah kau tahu, armada yang dibawa Cheng Ho hanyalah para ping-se kelas rendah, tabib,
sastrawan, pedagang dan orang-orang tak berguna lainnya. Mereka tak tahu cara bertempur. Kapal-
kapal itu hanya membawa barang-barang berharga. Tak ada senjata berbahaya.”

“Tapi, Ketua, suasana laut begini kacau-balau, sedangkan para penghuni kapal itu justru tenang-tenang
saja. Apakah itu tidak mencurigakan?”

“Persetan! Kita membawa lima ribu orang yang siap bertempur. Apakah kau masih takut dan tidak
percaya diri, Ma Yi?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ma Yi terdiam. Dia tak mendebat lagi apa kata
Zhuyi.

Kapal-kapal bajak laut itu meluncur semakin dekat ke armada yang dipimpin Cheng Ho. Pada titik
waktu tertentu, serta-merta hening laut malam itu pecah berantakan.

Nyala api seperti ratusan bintang berekor meluncur ke arah kapal-kapal bajak laut itu. Sebelumnya,
meledak suara berdentum-dentum dari kapal-kapal armada Ming. Rupanya, puluhan kapal armada
Ming yang dilengkapi dengan perlengkapan perang meluncurkan peluru meriam mereka.

Zhuyi tersentak dan terpaku di tempatnya berdiri tanpa berbuat apa pun. Sementara satu per satu
kelompok kapal yang ia pimpin, terbakar. Seperti kejatuhan batu sebesar gunung, suara berdebam
menghantam lambung kapal itu hingga porak-poranda. Rasanya, seluruh permukaan laut ikut bergetar.
Seolah-olah bumi akan terbelah.

Menyusul kemudian, nyala api dari bubuk mesiu meriam yang membakar badan kapal dan tiang-tiang
penyangga, sampai layar-layarnya. Lolongan awak kapal tak tergambarkan lagi seperti apa ngerinya.
Sahut-menyahut tanpa habis.

Mereka lari kocar-kacir tanpa arah.

Tak terkira lagi berapa yang mencebur ke laut menghindari amukan api yang menggila. Dalam
sekejap, tujuh kapal besar bajak laut habis terbakar dan tenggelam. Awak kapal yang jumlahnya
ribuan tewas terpanggang. Mereka yang bernasib baik mencebur ke laut.

Tapi, itu pun bukan kesempatan untuk meman-jangan napas mereka. Sebab, perlahan kapal-kapal
Armada Ming merapat ke arah mereka dengan para ping-se siap tempur.

“Ketua, apa yang harus kita lakukan?”

Wajah Ma Yi pucat pasi. Dia berdiri gemetaran di samping Zhuyi yang tak kalah takut. Keduanya
menjadi bayangan hitam dengan latar belakang nyala api yang terang benderang saat melalap tujuh
kapal besar milik bajak laut itu.

“Lawan sampai mati!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Zhuyi berteriak tanpa paham betul apa yang ia
katakan.

Toh, Ma Yi cukup maklum dengan perintah itu. Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk meniup
terompet sebagai tanda pertempuran habis-habisan.

Dimulailah pertumpahan darah itu. Kapal perang armada Ming yang jumlahnya puluhan memisahkan
diri dari kelompok besar kapal-kapal pimpinan Laksamana Cheng Ho yang jumlahnya ratusan.

Begitu kapal-kapal merapat, ratusan ping-se menyeberang ke kapal-kapal bajak laut dengan pedang
terhunus di tangan kanan, dan obor terang benderang di tangan kiri. Suara pedang beradu mulai rata,
gegap gempita, meludeskan sunyi malam sebelumnya. Huru-hara di tengah laut yang gulita.

Obor-obor yang jumlahnya ribuan seperti kunang-kunang yang sedang berpesta. Meliuk-liuk sangat
semarak.

Pada saat yang sama, jeritan menyayat semakin membahana saat para ping-se ataupun anggota bajak
laut yang tersisa ambruk bersimbah darah.

Di antara hiruk pikuk itu, sebuah bayangan ringan berkelebat. Para bajak laut yang coba menahannya
langsung terjungkal dengan nyawa tak lagi terkandung badan. Seperti pedang menyibak arus air. Para
penentang berjungkalan.

Bayangan itu terus merangsek ke depan.

“Zhu Yi menyerahlah dan nyawamu akan tertahan hingga ke hadapan kaisar!”

Bayangan yang tak lain Laksamana Cheng Ho itu seperti harimau terluka. Setiap gerak tubuhnya
mendatangkan maut bagi siapa pun yang mencoba menghalangi. Zhuyi yang mendengar teriakan itu
semakin ketakutan saja.

Diam-diam, dia hendak menyelinap keluar pertempuran ketika tubuhnya tiba-tiba melambung ringan
dan terhempas begitu saja ke lantai geladak. Tulang belulangnya terasa ngilu tercekat dingin yang luar
biasa. Seperti ditusuk ribuan pedang.

Dia menggeletak dengan mata membelalak dan tak berkutik.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bajak Laut Zhuyi! Ketua kalian telah kutawan! Hentikan perlawanan atau kalian semua akan mati
terbantai!”
Suara lantang Cheng Ho disambut sorak-sorai ribuan ping-se di kapal-kapal armada Ming. Gegap
gempita membahana di seluruh penjuru pantai. Bersamaan dengan itu, bunyi berdenting senjata tajam
para bajak laut berjatuhan di lantai kapal tanda mereka telah menyerah. Para ping-se pun segera
meringkus mereka dan mengikatnya dengan tali.

Akhir yang melegakan. Cheng Ho menyuruh anak buahnya untuk mengikat kuat Zhuyi yang tadi
ditundukkannya dengan sekali gebrak. Hampir pagi ketika semua anggota komplotan bajak laut itu
digiring ke dalam satu kapal yang dipilih sebagai tempat tahanan. Sedangkan Chen Zhuyi dibawa ke
daratan.

0oo0

Juen Sui merasakan ketenangan batin yang sangat dalam.

Dia duduk di atas salah satu rumah rakit yang mengapung, berdesak-desakan dengan ratusan rumah
rakit lain di pantai P’o-lin-pang. Juen Sui merapatkan kelopak matanya, lalu mengisi paru-paru
dengan udara segar. Aroma laut terasa benar. Sedikit amis, tapi menenangkan. Suara burung laut yang
bersahut-sahutan saling mengisi dengan deburan ombak di bagian pantai yang lain.

Juen Sui mengedarkan pandangannya, melihat kesibukan orang-orang rakit yang begitu penuh. Mereka
saling bertukar barang. Mulai dari sayur-mayur, ikan segar, dan barang-barang lain. Ada juga yang
sedang bersantai di beranda rakit.

Anak-anak bermain ceria di air. Berkecipak saling serang dengan teman-temannya.

Kesibukan lain hampir sama di setiap rumah mengapung itu. Ada beberapa perempuan yang sedang
menjahit baju, sedangkan suaminya sibuk mengasah golok untuk memotong ikan. Tidak sedikit juga
yang sedang memperbaiki jala dengan saksama.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pandangan mata Juen Sui lalu tertumbuk pada
sesosok perempuan bergaun panjang warna merah yang tampak sibuk dengan kotak di depannya.
Rambutnya digelung ringkas. Ia duduk di atas rakit yang terpisah tujuh sampai sepuluh rakit dari
tempat Juen Sui memandangnya.

Tangan gadis itu cekatan mengeluarkan beberapa benda dari kotak itu. Di hadapannya, seorang bocah
duduk lemas di pangkuan seorang perempuan setengah baya. Mungkin ibunya.

Perempuan muda yang usianya tak akan melebihi dua puluh tahun itu memeriksa tangan mungil si
bocah. Berbicara kepada ibunya dengan kesan muka yang sungguh-sungguh, lalu mengajak bocah itu
berbincang dengan air muka yang ceria. Juen Sui memandang takjub.

Gadis itu sepertinya seorang tabib. Seorang tabib yang tahu benar dengan siapa dia berhadapan. Dia
bisa mengubah kesan wajahnya ketika berbicara dengan sang ibu, berbeda ketika dia mengajak
berbincang si bocah. Sementara, tangannya sama sekali tak canggung mengambil berbagai barang dari
kotak itu. Sungguh lihai.

“Siapa gadis itu, Tuan?”


Juen Sui gagal menahan rasa ingin tahunya. Ia mendekati pemilik rakit yang ia sewa. Si empunya rakit
yang dilengkapi dengan bangunan rumah sekadarnya itu adalah seorang lelaki ceking berumur lima
puluhan. Dia memakai tudung di kepalanya untuk menghalau panas. Laki-laki itu lalu mengalihkan
pandangannya ke arah yang ditunjuk Juen Sui.

Dia lalu tersenyum.

“Dia tabib Shi Tay Nio. Sangat terkenal di Kampung Rakit.

Tiga kali dalam sepekan dia datang untuk memeriksa kesehatan warga Kampung Rakit.”

Juen Sui tertegun sambil menganggukkan kepala.

“Hatinya sungguh mulia. Dia tidak pernah mengambil upah untuk pekerjaannya itu.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui makin takjub. Ia masih saja melihat
jemari lentik Shi Tay Nio yang masih sibuk memeriksa bocah itu. Wajah gadis itu mulai tampak
mengkilap oleh keringat.

Kulitnya yang putih bersih memerah terpanggang sinar matahari dan udara laut. Beberapa helai
rambut yang lepas dari gelungannya menjatuhi mukanya hingga tampak betul kesungguhannya saat
bekerja. Sesekali ia mengusapkan punggung tangannya untuk mengelap keringat di dahinya.

“Terima kasih.”

Juen Sui kembali ke tempat duduknya. Namun, ia masih saja tak mampu mengalihkan pandangannya
dari perempuan muda itu. Beberapa lama kemudian, Shi Tay Nio sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Setelah berpamitan dengan membungkukkan badannya di depan perempuan setengah baya tadi,
perlahan dia menyeberang ke rakit yang lain.

Ia kemudian berbicara sejenak dengan seorang pemuda yang tampaknya sangat menaruh hormat
kepadanya.

Beberapa saat kemudian, pemuda itu masuk ke bilik di atas rakit itu lalu keluar lagi sambil
menggendong seorang perempuan tua ke beranda rakit agar bisa diperiksa dengan leluasa.

Shi Tay Nio segera tenggelam dengan kesibukan barunya.

Hingga lewat tengah hari, Juen Sui masih mengikuti gerak-gerik tabib muda itu dengan saksama.
Semakin terpesona.

Lalu, dengan penuh hati-hati, dia mengikuti langkah Shi Tay Nio yang kini tampak bergegas
menyeberang dari satu rakit ke rakit yang lain menuju daratan. Tangan kanannya memeluk kotak yang
rupanya berisi obat-obatan itu, sedangkan tangan kirinya menjadi tumpuan untuk memudahkan
pergerakannya dari rakit ke rakit.

Gadis itu sampai juga ke daratan. Kakinya menginjak pasir pantai yang putih bersih. Dia segera
beranjak meninggalkan pantai. Baru saja dia hendak berlalu dari kelompok pohon kelapa yang tak jauh
dari pantai, terdengar suara berisik dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bergemuruh dari arah belakang. Dua orang lelaki
muncul dengan pedang terhunus.

Keduanya melompat tinggi dan langsung mengepung Shi Tay Nio. Gadis itu tersentak, meskipun tak
lantas kaget. Di berdiri menghadapi dua orang itu dengan sorot mata yang tegas. Sikap tubuhnya
tenang.

“Apa yang kalian inginkan?”

Satu di antara dua orang itu memain-mainkan pedangnya sambil menyeringai.

“Menghabisi semua orang bermarga Shi!”

Shi Tay Nio tersenyum tanpa beban.

“Apa keuntunganmu membunuhku?”

“Tentu saja kepuasan. Teman-teman kami yang terbunuh karena ayahmu dan mereka yang ditahan
pasti akan berterima kasih kepada kami.”

“Membunuhku bagi kalian tak akan lebih sulit dibandingkan membunuh semut. Tapi, apakah kalian
sempat berpikir tentang orang-orang yang akan membutuhkanku kelak?”

Dua orang itu tergelak dengan keras. Rupanya, dua orang ini adalah anggota bajak laut Zhuyi yang
berhasil lolos saat kapal-kapal mereka dihancurkan oleh Cheng Ho.

“Maksudmu, orang-orang miskin yang tinggal di atas rakit itu?”

Lagi-lagi mereka tertawa seperti orang gila.

“Mana kami peduli tentang hal itu? Lebih baik kau menyerah saja. Agar kami bisa menyanderamu dan
menukar dengan ketua.”

“Aku tak pernah peduli dengan bajak laut atau siapa pun.

Aku seorang tabib yang akan menolong siapa saja yang membutuhkan. Bahkan jika kalian yang
terluka, aku akan tetap turun tangan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kedua orang itu menyeringai. Gigi-gigi mereka
terlihat mengerikan. Apalagi keduanya memiliki jambang lebat dan tak terawat. Dalam hati, Shi Tay
Nio tetap saja merasakan waswas.

“Maaf, kami sama sekali tak tersentuh!”


Dua lelaki itu melompat ke arah Tay Nio dengan beringas.

Gadis itu memejamkan matanya pasrah. Dia memang memiliki kekerasan hati, namun tak menguasai
ilmu kanuragan sama sekali.

Dalam sekejap, sudah pasti gadis itu berada dalam genggaman dua penjahat itu, kalau saja tak ada
sekelebat sosok yang meloncat dan menghadang laju mereka. Dia Juen Sui yang sejak tadi memang
mengikuti langkah Tay Nio.

Sekali meloncat, dia sudah berdiri di muka Tay Nio dan menghadang dua orang penjahat itu.
Tubuhnya bergerak cepat menyambut serangan pedang itu. Tangan kanannya menepis pedang salah
satu penyerang itu dan langsung mematahkannya. Pergelangan tangannya lalu berputar setengah
lingkaran dan menyodok ke dada si penyerang hingga terpental ke belakang.

Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak kilat menghantam pergelangan tangan laki-laki satunya.
Pedang itu mental ke tanah, sedangkan pemiliknya terhuyung-huyung ke belakang. Juen Sui tak
memberi kesempatan keduanya untuk bernapas. Dia menyerbu ke arah dua lelaki itu dan siap
melayangkan pukulan untuk memecahkan kepala dua bramacorah itu.

“Jangan dibunuh!”

Gerakan tangan Juen Sui yang berbau maut itu terhenti. Ia lalu menghunjamkan totokan kuat, agar
mereka tak berkutik.

“Kenapa Nona masih mengampuninya, sedangkan mereka hendak mencelakai Nona?”

Juen Sui membalikkan tubuhnya dan menatap Tay Nio.

Sebenarnya, dia pun tak hendak membunuh dua orang itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Selain hatinya tak sekeji itu, ia memang bermaksud
membawa mereka kepada Shi Jinqing dan gurunya.

“Itulah kenapa saya tak suka ilmu kanuragan. Begitu mudah mengambil nyawa seseorang. Padahal,
untuk menyelamatkan satu jiwa begitu sukar.”

Juen Sui tertegun sejenak. Dia menatap gadis itu dengan pandangan kagum, kebaikan harus menumpas
kejahatan?”

Tay Nio tersenyum. Dagunya tambah runcing karenanya.

“Apakah tidak lebih indah jika kejahatan itu diberi cahaya agar berubah menjadi kebaikan?”

Juen Sui tak mampu menjawab lagi.

“Tuan, terima kasih atas pertolongan Tuan. Semoga Thian membalas budi baik Tuan hari ini.”
Setelah mengucapkan itu, Tay Nio berbalik lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Juen Sui masih
terpaku di tempatnya. Sejenak kemudian, dia menghampiri dua orang bramacorah tadi. Ia
membebaskan totokannya, lalu menggiring keduanya untuk berjalan menuju kediaman Shi Jinqing.

“Tuan Shi, kemunculan dua anggota bajak laut itu menunjukkan tak sedikit anggota mereka yang
lolos.”

Cheng Ho terlibat pembicaraan serius dengan Shi Jinqing, Juen Sui yang baru saja tiba dan Shi Jisun
ada juga di ruangan itu. Setelah berhasil menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuyi, Cheng Ho
memang memutuskan untuk tinggal beberapa hari di P’o-iin-pang sebelum melanjutkan perjalanan
pulang ke Tiongkok. Ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan aksi balas dendam anak buah Zhuyi
yang berhasil meloloskan diri. Kini hal itu terbukti.

“Hari ini, saya berencana menyisir P’o-iin-pang dan memastikan agar tak ada lagi anak buah Zhuyi
yang membuat onar, Tuan Ho.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Saya kira itu langkah sangat baik, Tuan Shi. Dengan begitu, rakyat segera merasakan ketenteraman.
Armada Ming juga mesti segera melanjutkan perjalanan ke Tiongkok.”

Shi Jinqing melepas napasnya perlahan.

“Kapan Tuan Ho berencana kembali berlayar?”

“Secepat mungkin. Bahkan jika tak ada rintangan, dua-tiga hari ini kami akan berangkat.”

“Begitu cepat?”

Cheng Ho tersenyum kalem.

“P’o-iin-pang sudah tenang. Tak ada yang mesti dikhawatirkan. Apalagi Tuan Shi bersama putra Tuan
cukup punya wibawa di sini. Pihak Majapahit pun sangat percaya kepada Tuan.”

Shi Jinqing kini tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.

“Tuan Ho terlalu memuji. Tuan, sebenarnya saya juga ingin mengenalkan putri pertama saya. Setiap
Tuan datang ke sini, dia selalu tidak ada. Hari ini kebetulan sekali dia pulang agak cepat, jadi saya
bisa memperkenalkannya kepada Tuan berdua.”

“Oya? Maksud Tuan Shi, putri Tuan yang pandai dalam hal obat-obatan itu?”

Shi Jinqing menyuruh Jisun untuk memanggil adik perempuannya. Mereka lalu kembali mengobrol
tentang hal-hal ringan. Pembicaraan itu terhenti ketika Jisun kembali ke ruangan itu.

“Tuan Ho, Tuan Juen Sui, inilah putri pertama saya. Adik Ji Sun. Namanya Shi Tay Nio.”
Cheng Ho tersenyum sambil berdiri menjura. Gadis itu melakukan hal yang sama.

“Saya sudah mendengar kehebatan Tuan Ho. Saya sungguh ingin belajar dari Tuan!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho tersenyum.

“Jangan terlalu sungkan, Nona.”

Beda lagi dengan Juen Sui yang sangat terpana. Gadis di depannya ini adalah tabib muda yang sempat
ia tolong siang tadi. Ternyata dia adalah putri pemimpin P’o-lin-pang yang terkenal.

“Nona Shi, ternyata Anda!”

Shi Jinqing bergantian memandang ke arah Juen Sui dan Tay Nio.

“Tuan Juen Sui sudah mengenal anak saya?”

“Pagi tadi, Tuan Shi. Nona Shi adalah perempuan yang saya sebut saat menceritakan penangkapan dua
anak buah Zhuyi yang muncul di Kampung Rakit.”

“Oh, rupanya begitu. Saya kira ini jodoh. Kalau begitu, ini benar-benar hari yang baik. Patut jika kita
rayakan. Tay Nio baru saja memasak hidangan istimewa hari ini. Bukankah semua sudah siap, Nio?”

“Ya, Ayah. Semuanya sudah siap.”

Mereka lalu menuju ruang makan keluarga Shi dengan wajah berseri-seri. Keluarga ini memang selalu
hidup rukun.

Apalagi setelah istri Shi Jinqing meninggal, Tay Nio berusaha mengganti perannya mendidik adik-
adiknya dengan baik.

Selain Shi Jisun kakaknya, Tay Nio masih memiliki dua orang adik yang masih kanak-kanak.

Siang itu, seluruh keluarga berkumpul menyantap hidangan istimewa. Kelegaan setelah berhasil
menumpas gerombolan Zhuyi semakin lengkap.

0o0

“Sayang kita tak tak memiliki banyak waktu untuk saling belajar, Nona Shi.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sore itu, Juen Sui dan Shi Tay Nio berbincang
berdua di kebun belakang keluarga Shi. Halaman belakang itu begitu luas. Sebagian ditanami aneka
sayuran, sebagian lagi dipagari anyaman bambu tinggi berkerangka kayu kokoh. Di dalamnya terdapat
banyak binatang piaraan. Tay Nio membawa sekeranjang makanan untuk binatang piaraannya di
tangan kanan. Ia dan Juen Sui kini berada di depan kandang burung buceros. Tangan Tay Nio sesekali
melemparkan makanan serupa bubuk itu ke dalam kandang.

“Tuan Juen Sui, terkadang pemahaman seseorang terhadap sesuatu tak bergantung pada waktu, tapi
kesungguhan.”

Juen Sui mengalihkan pandangannya ke burung-burung bucerus yang kini tengah berebut makanan.
Burung itu besarnya tak melebihi bebek, bulunya hitam, lehernya panjang, dan paruhnya meruncing.
Tengkoraknya terlihat tebal. Bagian atas tengkoraknya berwarna merah di luar, sedangkan bagian
dalamnya berwarna kuning. Sedap betul dipandang mata.

“Dulu saya pernah mengenal seorang teman yang mirip Nona.”

Tay Nio menghentikan pekerjaannya.

“Itu alasan Tuan ingin tahu banyak tentang saya?”

“Bukan. Bukan begitu, Nona. Saya tak hendak menyamakan Nona dengan teman saya tadi. Saya tiba-
tiba ingat begitu saja.”

Tay Nio lalu mengajak Juen Sui untuk meneruskan langkah. Juen Sui terkagum-kagum oleh berbagai
binatang piaraan keluarga Shi yang kelihatan sangat terawat dan gemuk-gemuk.

“Apa nama binatang serupa kalkun itu, Nona Shi?”

“Kasuari. Itu binatang kesayangan ayah.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui mendekati kandang binatang ajaib itu.
Besarnya hampir sama dengan bangau. Badannya berbentuk bundar dengan leher yang lebih panjang
dibandingkan bangau. Ia memiliki jengger berwarna merah yang terlihat lembut.

Bentuknya seperti topi merah yang dikenakan di kepala.

Paruhnya runcing dengan bulu agak jarang tapi panjang seperti bulu domba. Hanya warnanya kebiru-
biruan.

“Binatang ini bisa berbahaya, Tuan Juen Sui.”

Tay Nio meneburkan makanan tumbuk dari keranjang yang langsung disambut dengan langkah
berderap oleh tiga ekor kasuari di kandang itu.

“Oya?”

“Cakarnya tajam sekali. Sekali sabet, usus seseorang bisa berantakan kena tendang.”

Juen Sui mengangguk-angguk paham.

“Tuan belum selesai cerita tadi. Di mana teman Tuan yang istimewa itu?”
“Barangkali sekarang dia ada di Majapahit.”

“Dia putri keraton?”

“Bukan. Dia orang hwa kiau (Orang-orang Tionghoa yang hidup dalam perantauan) seperti kita. Dia
juga menganut I-selan seperti keluarga Nona.”

Tay Nio tersenyum. Sekarang ia paham apa maksud Juen Sui mengait-ngaitkan dirinya dengan
perempuan yang Juen Sui kenang dengan sungguh-sungguh itu.

“Anda sedang membicarakan Nona Hui Sing, Tuan?”

Juen Sui terhenyak. Ia menatap Tay Nio dengan pandangan heran.

“Saya banyak berbincang dengan Tuan Ho kemarin. Beliau sempat bercerita tentang Nona Hui Sing.
Saya semakin kagum dengan guru Tuan. Pandangannya luas, ilmu agamanya dalam.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kungfunya juga hebat!” Juen Sui memotong kalimat Tay Nio.

“Itu saja yang tak membuat saya tertarik. Sejak kecil, saya tak suka melihat perkelahian.”

Tay Nio kembali meneburkan makanan tumbuk itu kuat-kuat. Ia sebar ke beberapa titik sehingga
kasuari di dalam kandang itu tak lagi berebutan.

“Bukankah Anda butuh sesuatu untuk melindungi diri, Nona?”

“Thian melindungi saya, Tuan. Saya yakin itu. Semua yang bergerak di langit dan bumi sudah
demikian teratur. Tak akan ada yang salah. Jika saya mati hari ini, itu pun sudah menjadi rencana
langit.”

Juen Sui tak ingin berdebat. Dia meminta izin ikut menebarkan makanan itu ke dalam kandang
kasuari. Tay Nio mengiyakan. Obrolan itu mengalir deras. Juen Sui beberapa kali menegaskan rasa
sesalnya karena tak punya waktu lama untuk tinggal di P’o-iin-pang. Kebersamaan mereka tak
berumur lama. Sehari kemudian, Cheng Ho benar-benar mengajak seluruh armada untuk melanjutkan
perjalanan pulang ke Tiongkok.

Berangkatlah armada raksasa itu kembali membelah samudra. Juen Sui semakin tak banyak bicara
setelah mereka meninggalkan P’o-iin-pang. Ingatannya kini terbagi habis.

Setengah di Majapahit, setengah lagi di Kampung Rakit, tempat pertama ketika dia bertemu dengan
Shi Tay Nio.

0oo0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi PADHAJAYANYA

9. Pewaris Blambangan

P’o-lin-pang terang benderang. Setelah penghancuran bajak laut pimpinan Chen Zhuyi, kehidupan
rakyat kembali damai. Shi Jinqing dianugerahi jabatan Duta Xuan Wei oleh Kaisar Ming karena
jasanya membantu Cheng Ho saat menggulung komplotan bajak laut itu.

Bergelar Xuan Wei Shi, Shi Jinqing menjadi pemimpin hwa kiauw yang sah di P’o-lin-pang.
Meskipun demikian, Shi juga tetap tunduk kepada Majapahit. Oleh Raja Wikramawardhana, Shi
dipercaya untuk mengurus keagamaan dan segala macam urusan warga P’o-lin-pang.

Pada tahun Yong Le keenam atau 1408 penanggalan Masehi, dua tahun setelah pelayaran megahnya
yang perdana, Laksamana Cheng Ho kembali mengunjungi Majapahit untuk mengambil denda
peristiwa Simongan dari Raja Wikramawardhana.

Saat itu, Majapahit menyerahkan sepuluh ribu tail emas.

Masih jauh dari denda yang disepakati,

yaitu sebanyak enam puluh ribu tail emas. Tapi akhirnya, Kaisar Ming yang baru, Cheng Zu,
menghapus segala utang itu untuk menjaga hubungan baik dengan Majapahit. Cheng Ho kembali ke
Tiongkok dengan hati gelisah.

Janji dengan Hui Sing untuk bertemu dua tahun setelah perpisahan itu tak terkabul. Orang-orang
Majapahit pun tak pernah mendengar kabar tentang murid kesayangannya itu.

Sementara sepeninggalan Cheng Ho pada pelayarannya yang perdana, peristiwa-peristiwa besar juga
terjadi di Majapahit.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Perkawinan megah Rakryan Rangga Sad Respati
dan Dewi Anindita menjadi kegembiraan seluruh negeri. Pesta tujuh hari tujuh malam memeriahkan
keraton Majapahit.

Rakyat pun ikut berpesta pora.

Pada saat yang sama, pemberontakan-pemberontakan kecil terus berlangsung meskipun dapat segera
ditumpas.

Kelompok-kelompok penentang Wikramawardhana terus bergerak. Barisan paling berbahaya adalah


kelompok pengikut setia Bre Wirabumi dari Blambangan yang konon hendak menuntut balas atas
kehancuran kekuasaan Blambangan saat digilas Majapahit.

Tersiar kabar, kelompok berbahaya yang mengancam kekuasaan raja itu kini ada di Demak. Daerah itu
memang terus tumbuh menjadi pusat keramaian. Dalam jangka waktu dua tahun, kawasan ini sudah
bersaing dengan daerah tetangganya, Medangkamulan. Para pengembara dari Barat yang bermata biru
dan berambut pirang tumpah ruah di sana.
Semakin banyak juga para hwa kiauw beragama I-se-ian yang berdagang sekaligus menyebarkan
kepercayaan baru mereka di sana. Demak akan segera menjadi besar.

Siang itu, Demak dinaungi mendung. Raja siang tak bersinar kejam. Suasana teduh dan
menyenangkan. Orang-orang keluar rumah untuk melakukan berbagai hal. Para wanita berbelanja di
pasar-pasar yang ramai. Para lelaki membawa hasil bumi mereka untuk ditukar dengan aneka
kebutuhan.

Anak-anak diapit orangtuanya berjalan-jalan melihat keramaian. Rumah makan-rumah makan penuh
orang.

Pertunjukan-pertunjukan di tengah jalan dijejali penonton. Ada pertunjukan monyet menari,


pertunjukan kekebalan tubuh, sampai pertunjukan ilmu kanuragan, begitu ramai ditonton.

Orang-orang berdiri melingkar agar semua bisa menyaksikannya.

Kebanyakan orang-orang memakai pakaian bagus. Tidak sedikit di antara mereka memakai kain sutra
yang dibawa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pedagang dari Tiongkok. Sepertinya, kehidupan
demikian menyenangkan.

Di sela kesibukan orang-orang dengan senyum lebar mereka, sesosok kurus berjalan terhuyung-
huyung di tengah keramaian. Dia seorang perempuan muda dengan pakaian lusuh. Seperti tak pernah
ganti selama bertahun-tahun. Seperti ada keremajaan yang tercerabut dari wajahnya yang tirus.

Bibirnya bergetar tertahan, sedangkan sorot matanya layu.

Rambut panjangnya tergerai. Kelihatan kering meskipun tak awut-awutan. Beberapa kali ia mendekati
para penjual makanan. Berbicara sebentar, lalu beranjak pergi dengan wajah muram.

“Kisanak, saya bisa bekerja apa saja. Kisanak tak perlu memberi upah. Bisa makan sehari dua kali pun
saya sudah sangat berterima kasih.”

Perempuan muda itu kini berdiri di depan penjual penganan keliling. Lelaki tua penjual penganan itu
menggelengkan kepala.

“Nini, untuk makan kami sekeluarga saja, saya harus membanting tulang. Kalau Nini mau, Nini bisa
makan dagangan saya untuk sekadar mengganjal perut.”

Perempuan muda itu menggelengkan kepala. “Terima kasih, saya tak ingin memberatkan Kisanak.”

Ia lalu membalikkan badannya dan kembali melangkah terhuyung menembus kerumuman orang.
Mendung di atas Demak semakin gelap. Gerimis pun turun. Makin lama makin deras.

Gadis itu menyeret langkah gontainya menuju sebuah gubuk kosong di pinggir jalan besar pusat Kota
Demak.

Sepertinya gubuk itu biasa dipakai untuk berjualan. Hanya hari itu sedang kosong. Begitu gadis itu
masuk ke gubuk dan duduk di bilah-bilah bambu yang memang disiapkan untuk me-ngaso (istirahat),
halilintar membahana, hujan pun turun dengan galak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kerumunan-kerumunan orang tersebut akhirnya
bubar.

Mereka kembali ke rumah masing-masing atau mencari tempat berteduh sambil bersantap dirumah
makan-rumah makan yang banyak terdapat di pinggir jalan.

Gadis itu beberapa kali menggeser letak duduknya karena atap kajang di atas gubuk itu tak mampu
menahan hantaman air hujan. Dia merapat di pinggir gubuk sambil melipat lengannya menahan
dingin.

Sekarang, gadis itu menatap hujan dengan sinar mata nelangsa. Ia menikmati irama perutnya yang
mulai bersuara.

Panas dan ribut. Sesekali dia membetulkan letak sebagian rambut yang mengganggu pandangan
matanya karena diterpa angin.

Wajahnya yang tirus sebenarnya tidak mampu menyembunyikan sinar cemerlang pada kedua bola
matanya.

Seperti bintang. Berbinar-binar penuh keinginan untuk hidup.

Bibirnya yang mungil semakin bergetar. Menahan dingin dan lapar yang semakin meraja. Gadis itu
lupa kapan terakhir memasukkan makanan yang layak ke dalam perutnya.

Mungkin tiga atau empat hari lalu. Saat itu dia sempat makan besar ketika berhasil menangkap seekor
ayam hutan dan memanggangnya. Setelah itu, perutnya hampir tak pernah puas meremas makanan
yang ia telan. Paling hanya satu-dua buah-buahan hutan yang rasanya pun tak lezat.

Ketika hujan belum juga memperlihatkan tanda-tanda hendak berhenti, sesosok manusia berpayung
patahan daun pisang tergopoh-gopoh menuju gubuk tempat gadis itu berlindung. Dia seorang
perempuan tua berwajah tenang yang mengenakan kebaya hitam dan kain bergambar.

Rambutnya yang digelung dipenuhi dengan uban. Ia tersenyum begitu melihat gadis yang tadi duduk
tepekur di sudut gubuk itu.

“Nini, maaf saya ikut berteduh.”

“Tentu saja, Nyai. Gubuk ini bukan milik saya.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Gadis itu bangkit dari duduknya dan menyambut
perempuan tua tadi. Tanpa canggung, dia membantu perempuan tua itu menurunkan bakul bawaannya.
Si gadis kembali duduk. Perempuan tua itu berjongkok, lalu membuka kain penutup bakul dan menata
lagi barang-barang di dalamnya.

Rupanya, dia baru saja berbelanja. Bermacam sayuran lengkap di dalam bakul yang ia bawa. Tomat
yang merah merona, mentimun yang terlihat segar, juga sayuran hijau segar. Gadis itu menelan ludah.
Perutnya lagi-lagi bersuara.

Kali ini cukup keras.

“Nini pasti belum makan. Saya tadi beli lemper (nasi dikepal berbentuk bulat panjang), lumayan untuk
mengganjal perut.”

Sambil tersenyum, perempuan tua itu lalu membuka-buka barang belanjaannya. Kemudian, ia
mengambil lemper yang cukup besar dari tumpukan belanjaannya.

“Makanlah, Nini.”

“Ah, Nyai tidak perlu repot. Saya tidak apa-apa.”

Perempuan tua itu tersenyum sambil menatap trenyuh.

Tangan kanannya masih mengangsurkan lemper itu.

“Tak perlu sungkan. Saya punya dua. Kita makan bersama, ya.”

Dengan agak canggung, si gadis tak menolak tawaran itu lagi. Dia mengulurkan tangannya menerima
pemberian si nyai.

Sambil tersenyum, keduanya lalu membuka lipatan daun pisang yang membungkus makanan dari
beras berisi keratan daging ayam itu.

Perempuan tua itu takjub melihat cara makan gadis di depannya. Terlihat sekali dia sangat
menikmatinya. Seperti sudah sangat lama tak makan menu yang lezat. Kini, dia malah tak lagi
memedulikan lemper di tangannya. Dia menatap gadis itu dengan penuh perasaan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Penantian panjang.”

Gadis itu berhenti makan, lalu menatap wanita tua di hadapannya.

“Ya, Nyai?”

Wanita tua itu mengubah air mukanya yang sendu dengan tersenyum.

“Ah, tidak. Saya hanya bergumam. Boleh saya tahu nama Nini?”

Perempuan muda itu terdiam sesaat. Berpikir, seperti lupa namanya sendiri.
“Samita. Nama saya Samita.”

Senyum perempuan tua itu semakin lebar. Keriput di wajahnya menambah kesan bijak yang
mendalam.

“Indah sekali. Samita artinya bintang. Mata Nini berbinar seperti bintang.”

Samita. Nama itu muncul mendadak di benak gadis itu.

Sebuah nama yang pernah terucap oleh seseorang di masa lalu. Kata-kata kesatria Majapahit, yang
sempat tenggelam oleh perjalanan waktu dan penderitaan yang bertubi-tubi.

Gadis ini seperti sengaja menutup masa lalunya rapat-rapat dan melahirkan dirinya yang baru.

Perempuan muda bermata bintang ini tak lain Hui Sing, murid kesayangan Laksamana Cheng Ho yang
terkurung selama dua tahun di dasar jurang perbatasan Medangkamulan dan Demak. Niatnya masih
sama ketika dia turun dari Kapal Pusaka armada Ming, datang ke Majapahit untuk membongkar kedok
Dewi Anindita.

“Nama Nyai sendiri?”

Samita masih tersipu ketika balas bertanya kepada perempuan tua itu.

“Rukmi. Nini panggil saja saya Mbok Rukmi.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita mengangguk lalu meneruskan makannya
yang sempat tertunda. Begitu juga dengan Rukmi. Perempuan tua itu sedikit-sedikit mengunyah
lemper. Tampak sedikit dipaksakan.

“Nini ini mau ke mana?”

Samita tak langsung menjawab. Setelah beberapa kali mengunyah dan menelan makanan di mulutnya,
gadis itu merapikan daun pisang pembungkus lemper, lalu meletakkannya di pinggir tempat
duduknya.

“Saya hendak ke Majapahit.”

Rukmi berhenti mengunyah. Ia kembali menatap Samita dalam-dalam.

“Kota Raja jauh sekali dari Demak, Nini.”

“Saya tahu.”

“Jika Nini mengendarai kuda, mungkin akan jauh lebih cepat sampai ke sana.”

Samita mengangguk tanpa suara.


“Begitu pentingkah urusan Nini di Kota Raja?”

“Saya tidak tahu. Dua tahun lalu barangkali masih sangat penting. Entah apakah sekarang masih
penting atau tidak.”

Rukmi menatap Samita dengan air muka heran.

“Nini, menurut saya, lebih baik Nini tinggal dulu di Demak.

Menyehatkan tubuh dan mengumpulkan uang untuk membeli kuda.”

Samita mendengarkan kata-kata Rukmi dengan saksama.

“Keadaan sekarang sedang kacau-balau. Kejahatan di mana-mana. Tanpa badan yang sehat dan
kendaraan yang baik, Nini akan sangat kesulitan untuk pergi ke Majapahit.”

“Tapi, tinggal di Demak pun saya tak tahu harus berbuat apa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi tersenyum. Dia menggeser letak duduknya
mendekati Samita.

“Saya bekerja di rumah makan milik seorang kaya bernama Nyai Laksita. Sekarang kami sedang
mencari tambahan orang untuk membantu di dapur. Kalau Nini mau, Nini bisa bekerja di tempat kami
untuk mengumpulkan uang.”

Samita menatap Rukmi lekat-lekat.

“Simbok bersungguh-sungguh?”

Rukmi menganggukkan kepalanya berulang-ulang sambil tersenyum tulus. Samita pun berkali-kali
mengatakan terima kasih atas ajakan itu. Hujan tak ramai lagi. Jalan-jalan masih becek. Matahari
mulai menusukkan jarum-jarum cahaya lagi.

Meskipun tak seterik siang karena hari mulai sore.

Rukmi dan Samita keluar dari gubuk, lalu berjalan penuh hati-hati menyusuri jalan kota yang mulai
riuh lagi oleh orang-orang yang berlalu-lalang.

0oo0

“Aku ini pedagang. Apa saja kulakukan asal memang menguntungkan. Kalau sekarang kau ingin
bekerja di tempatku, keuntungan apa yang akan kuperoleh?”

Perempuan matang itu duduk di atas kursi dengan melintangkan kaki kirinya santai. Secangkir teh
hangat mengeluarkan asap tipis menantang, diletakkan di atas meja, persis di samping kanannya.
Sekarang dia mengangkat cangkir dari tanah berwarna cokelat itu ke pinggir bibirnya yang bergincu
merah menyala.
Matanya tetap menatap Samita yang duduk kikuk di depannya. Ketika satu teguk teh menghangatkan
tenggorokannya, ada kesan genit di sudut matanya yang bulat.

“Samita bisa membantu saya di dapur, Nyai. Dia bisa mencuci dan membersihkan ruang dapur.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi menggantikan Samita menjawab pertanyaan
Laksita. Dia berkata dengan sangat hati-hati. Tertata dan tidak sembrono.

“Apakah gadis ini tidak bisa menjawab untuk dirinya sendiri?”

Laksita menaruh kembali cangkir teh itu ke atas tatakannya. Raut muka judes belum hilang dari
wajahnya.

Sebenarnya dia tak cukup pantas dipanggil nyai. Selain umurnya yang baru dua puluhan, dia pun
belum menikah.

Hanya, majikan rumah makan Nawa Rawi yang teramai di Demak itu memang menginginkan
panggilan nyai. Dia pun merias wajahnya sedemikian rupa agar kelihatan lebih matang dibandingkan
usia yang sebenarnya.

Pilihan warna pakaian yang ia kenakan juga serbatua. Tak seperti pilihan gadis-gadis yang lebih suka
dengan warna-warna cerah.

“Saya bisa memasak makanan Tiongkok, Nyai. Saya juga bisa memanggang ayam dengan bumbu
khusus.”

Samita akhirnya angkat suara. Tanpa suara mengiba, dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang
ahli.

“Itu baru namanya punya harga jual. Baik. Satu pekan ini, kau bantu Mbok Rukmi di dapur.
Membersihkan segala benda di dapur dan bertanggung jawab menyediakan semua bahan baku untuk
memasak. Kau harus rajin belanja. Kau boleh tinggal di ruangan belakang. Setelah satu pekan, baru
aku pikir lagi, apakah kau layak dipertahankan atau tidak.” ‘

Samita menganggukkan kepala sambil berterima kasih.

Laksita mengiyakannya lalu menyuruh gadis itu untuk segera memulai pekerjaannya di dapur.

“Temui Sudarga. Dia yang nanti akan memberimu arahan.”

Samita lagi-lagi mengangguk, lalu ia bangkit dari duduknya untuk pergi ke dapur. Rukmi pun lantas
berdiri menyusul Samita.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Mbok, kau tetap di sini.”

Langkah Rukmi terhenti. Dia membalikkan tubuhnya, lalu kembali duduk di tempat semula.

“Ya, Nyai?”

“Apa yang kau lihat dari mata Samita?”

“Ss … saya ….”

“Mbok, aku yakin kau melihat sesuatu yang lain pada diri Samita. Seperti halnya ketika kau
meramalkan masa depanku.

Apa yang kau lihat di masa depan Samita?”

Rukmi tak buru-buru menjawab. Dia malah kelihatan bingung. Dua matanya mencari-cari. Sementara
jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Bibirnya bergumam tak jelas.

“Mbok …?”

“Eh … anu, Nyai. Saya melihat Majapahit akan mengalami peristiwa menggemparkan di masa depan.
Samita ada di sana.”

Laksita mengangkat dagunya.

“Itu saja?” ‘

“Ss … saya juga melihat Samita akan menjalani masa penantian cinta yang sangat lama.”

“Penantian apa?”

“Tidak begitu jelas, Nyai.”

“Majapahit. Peristiwa yang menggemparkan. Menarik juga.

Baiklah, dia boleh tinggal bersama kita.”

Rukmi tersenyum lega. Setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih, dia lalu pamitan kepada
majikannya itu. Laksita menganggukkan kepalanya tanpa kata-kata. Lalu, ia kembali menyeruput
tehnya yang mulai dingin. Tatapan matanya melambung tanpa batas. Ada ambisi di sinar matanya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita makin asyik dengan pekerjaannya. Ini
bilasan terakhir sebelum piring-piring dari tanah liat itu dikeringkan dan kemudian siap digunakan.
Tak ada beban pada wajah dara itu.

Ini hari kelima Samita bekerja di rumah makan milik Laksita dan dia masih melakukan pekerjannya
dengan sungguh-sungguh. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya.
Sejak pagi dia sibuk di depan sumur di belakang rumah makan. Sebelum mencuci, dia mesti menimba
air untuk mengisi gentong besar yang diletakkan di dekat sumur. Wajah gadis itu memang jauh lebih
cerah dibandingkan saat pertama bertemu dengan Rukmi beberapa hari lampau.

Dia mulai merawat tubuhnya kembali agar kelihatan segar dan bertenaga. Dia membeli beberapa
lembar kain dan menjahitnya sendiri menjadi baju-baju berukuran longgar.

Tadinya memang dia mencoba memakai pakaian seperti halnya yang dikenakan perempuan Jawa
lainnya. Hanya karena tak terbiasa dengan kebaya yang melekat pas dengan tubuh, Samita tak nyaman
berlama-lama mengenakannya.

Makanya, dia lalu meminjam beberapa kepeng uang kepada Rukmi untuk membeli kain murahan.
Setiap ada waktu luang, dia akan sibuk menjahit. Mengenakan pakaian yang nyaman membuatnya
bebas bergerak saat melakukan berbagai kegiatan. Termasuk saban hari ketika dia mencuci piring di
sumur belakang rumah makan majikan barunya.

Sebentar kemudian, pekerjaan mencuci piring itu purna.

Samita lalu mengangkat tumpukan piring ke dapur. Kesibukan di dapur semakin menjadi, ketika
Samita pelan-pelan meletakkan satu per satu piring itu ke atas meja untuk dikeringkan.

Ia lalu mengambil kain lap dan mulai menghilangkan jejak air pada piring-piring itu. Sementara
pendengarannya menangkap suara dag dug dari tempat pencacahan daging.

Beberapa hari ini, Samita merasa sangat tertarik dengan cara Sudarga melakukan pekerjaannya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dia orang kepercayaan Laksita yang bertugas
mencacah daging sapi dan daging kambing di dapur. Meskipun bukan pekerjaan yang luar biasa,
Samita yakin Sudarga bukan orang sembarangan. Caranya menggerakkan golok saat menguliti
kambing atau ketika mencacah daging sapi sungguh lihai.

Setiap selesai dengan pekerjaannya, Samita lalu mendekati meja tempat Sudarga bekerja. Meskipun
bau tak sedap daging sapi atau daging kambing menyeruak, Samita tak lantas enggan. Biasanya sambil
menebar senyum, Samita mengajak Sudarga untuk membicarakan apa saja.

“Berapa lama waktu yang aku butuhkan agar bisa selihai kau, Darga?”

Pemuda berotot itu malah tersenyum. Lengannya yang besar masih terus mengayun, mencacah
potongan daging besar menjadi serpihan dalam sekejap mata. Paras pemuda itu biasa saja. Hidungnya
tak begitu mancung. Rahangnya kokoh, membentuk wajah yang nyaris kotak.

Tapi ada yang istimewa dari pemuda ini. Kesungguhan dan ketundukannya terhadap sang majikan
begitu besar. Seperti kesetiaan abdi terhadap raja.

“Ini kelima kalinya kau menanyakan hal itu, Samita.”

“Benar. Tapi jawabanmu tak pernah membuatku puas.”


Sudarga menyetop ayunan lengannya. Ia menatap Samita dengan kesan wajah kalem dan bersahabat.

“Buat apa kau belajar pekerjaan kasar seperti ini? Kau lebih pantas melakukan pekerjaan para putri
keraton.”

“Jawaban itu lagi. Kenapa kau begitu yakin aku tak akan pernah mampu melakukan pekerjaanmu?”

“Pekerjaan yang harus kau lakukan jauh lebih besar.”

Samita menatap Sudarga dengan kesan wajah heran.

“Apa maksudmu, Darga?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sudarga tersenyum, lalu melanjutkan
pekerjaannya.

Samita tambah penasaran namun tak meneruskan kata-katanya.

“Hari sudah siang. Bukankah biasanya kau akan melakukan sembahyang pada waktu seperti ini?”

Samita tersenyum tanpa berkata-kata. Dia mulai terbiasa dengan Sudarga yang paling pandai
mengubah inti pembicaraan tanpa memberi peluang lawan bicaranya untuk menjawab.

Setelah berterima kasih, Samita pun menuju sumur untuk bersiap sebelum melakukan sembahyang.
Tak berapa lama, dia sudah duduk bertimpuh di lantai kamar kecil dekat dapur.

Setiap hari Samita tidur di ruangan itu, berbagi dengan Rukmi.

Sekarang Samita tampak khusyuk dengan bibir berkomat-kamit.

Tak sehelai rambut pun tampak karena ia menutupinya dengan kain lebar berwana hijau yang selalu ia
bawa ke mana-mana. Setiap berada dalam keadaan itu, Samita selalu tampak lain. Dia terkesan sangat
berhati-hati. Sikapnya sempurna dan tertata. Setiap gerakannya tidak main-main.

Dia biasanya berbicara sendiri setiap usai melakukan sembahyang. Mengeluhkan segala macam
kesulitan dan memaparkan harapan-harapan masa depan. Memuntahkan rasa syukur, lalu menguras air
mata meminta kebersamaan dengan sesembahannya.

Orang-orang di sekitar Samita pun mulai terbiasa dengan hal itu. Mereka bahkan sudah hafal dengan
kebiasaan Samita dari menjelang fajar hingga larut malam. Kadang, ketika Samita tak juga bangun
ketika ayam jantan mulai berkoar-koar,

Rukmi sengaja membangunkannya untuk segera melakukan sembahyang fajar.

Segala hal ketika dinikmati memang akan selalu terasa berjalan cepat. Seperti juga Samita yang tak
lagi sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghitung berapa lama keberadaannya di rumah
makan itu.

Mungkin sudah satu atau dua bulan. Dia sudah terbiasa dengan kesibukan setiap hari di dapur.

Sesekali dia pun membantu para pelayan membawakan pesanan para tamu rumah makan. Ia juga
mulai dipercaya oleh sang majikan untuk membantu tukang masak meramu menu-menu baru.
Sungguh menyenangkan. Bahkan, Samita mulai lupa dengan keinginannya untuk mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya, lalu secepatnya membeli kuda dan melanjutkan perjalanan ke Kota Raja
Majapahit.

Sebaliknya, kebersamaan dengan orang-orang di rumah makan itu mengikatnya demikian kuat. Sudah
seperti keluarga sendiri. Meskipun sikap Nyai Laksita sang majikan tetap tak berubah. Masih tetap
angkuh dan tak ramah terhadap pegawainya, namun Samita tak merasa terganggu.

Ia justru yakin bahwa sang majikan itu memiliki hati yang mulia. Hanya memang ada sesuatu yang
menyelimuti hatinya hingga tak berbekas pada wajahnya segala kebaikan hatinya itu.

Rukmi pun semakin memanjakan Samita seperti anaknya sendiri. Meskipun sering heran dengan sikap
Rukmi yang kadang dianggapnya berlebihan, Samita pun tak lantas menampik kebaikan orang tua itu.

Ia bahkan membalas kasih sayang Rukmi seperti layaknya anak berbudi. Menerima kasih sayang yang
begitu tulus acap kali membuat Samita terharu. Tentu saja karena sejak lahir dia tak pernah
mendapatkannya, kecuali dari gurunya yang kini sudah tak ada lagi di dekatnya.

Malam itu, Samita kembali mengulas keberadaannya di tempat itu dalam benaknya sendiri.
Menghitung kemungkinan-kemungkinan sambil membayangkan kebaikan orang-orang di sekitarnya.
Rukmi belum juga kembali, sejak sore tadi dipanggil Laksita. Pikiran Samita benar-benar bebas
mengembara sampai terdengar bunyi aneh dari genteng Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bangunan rumah makan tepat di atas ruangan
tempatnya beristirahat.

Samita menajamkan pendengarannya. Jelas bukan satu-dua orang. Sekelompok orang melangkah
ringan di atap tanpa menimbulkan suara ribut. Pasti orang-orang berkanuragan tinggi. Samita bangkit
dari dipan bambu sambil terus menyimak jejak suara itu. Semakin menjauh, lalu hilang sama sekali.

“Silakan, Tuan-tuan! Hari ini kami punya menu khusus untuk Tuan-tuan.”

Dengan luwes, Laksita mempersilakan serombongan prajurit Majapahit yang baru saja muncul dari
pintu rumah makan miliknya. Sebentar lagi ruangan yang cukup untuk menampung ratusan orang itu
pasti penuh. Sejak pagi orang-orang keluar masuk untuk mengisi perut mereka dengan makanan khas
rumah makan Nawa Rawi yang kondang lezat.

Kelompok prajurit itu lalu duduk lesehan di depan meja-meja pendek yang ditata rapi. Wajah mereka
tak kelihatan seram. Atau paling tidak, saat itu mereka enggan memperlihatkan raut muka seram.

Sebaliknya, kedipan mata genit dan senda gurau bernada tak senonoh terdengar keras setiap para
pelayan Nawa Rawi yang memang terkenal cantik-cantik keluar membawakan pesanan para tamu.
Saking kerasnya gurauan prajurit-prajurit itu, beberapa tamu memilih bergegas menyelesaikan makan
siangnya, lalu keluar dari rumah makan.

“Tuan-tuan, apa Tuan-tuan ini sengaja hendak membuat nama Laksita jadi bahan ejekan orang-
orang?”

Majikan Nawa Rawi itu sudah duduk dengan sikap manja di dekat kelompok prajurit Majapahit yang
terkenal angker dan berlaku semena-mena itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para prajurit itu terbahak-bahak. Ada juga yang
mencoba merangkul Laksita, meskipun buru-buru ditepis dengan halus oleh perempuan luwes itu.

“Kenapa, wong ayu? Kok datang-datang, kamu langsung menyerbu kami dengan kata-kata ketus
seperti itu?”

Salah seorang prajurit dengan berewok tebal menggeser duduknya mendekati Laksita. Perempuan itu
lagi-lagi bersikap manja. Dia menegakkan lengan kanannya untuk menumpu badannya yang berisi.
Senyum genit rata di bibirnya. Tak kurang matanya pun menyipit seperti kucing yang sedang
kasmaran.

“Kalau Tuan-tuan datang ke Nawa Rawi lalu menakut-nakuti para tamu lain, itu kan namanya
mencoreng nama baik Laksita. Apa nanti kata orang-orang? Dikiranya Laksita tak berlaku adil kepada
mereka.”

Tawa prajurit itu kembali membahana. Lebih keras dari sebelumnya. Cara bicara Laksita yang manja
membuat mereka gemas. Apalagi ketika perempuan itu cemberut dan berpura-pura merajuk.

“Baiklah, wong ayu. Kami akan menuruti permintaanmu.

Tapi kami minta kamu sendiri yang melayani kami.”

Laksita tersenyum lebar tanpa melepas sikap genitnya. Ia lalu pamit untuk menyiapkan pesanan para
prajurit itu.

Sementara para prajurit itu memenuhi janjinya. Mereka tak lagi mengumbar tawa seperti sebelumnya.
Mereka malah terlibat pembicaraan serius dengan suara yang lirih, setengah berbisik.

“Pekan depan, rakryan rangga tiba di Demak. Artinya, sang prabu benar-benar gerah dengan para
pengacau yang kini bersembunyi di Demak.”

“Atau, sang prabu tak percaya lagi dengan kemampuan kita.”

Prajurit lain yang berkumis tebal menimpali.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Pastinya, kita tidak bisa bersantai lagi begitu rakryan rangga tiba di Demak. Aku dengar ilmu
kanuragannya sangat tinggi.”

“Ya, aku juga mendengar hal itu. Dia memiliki keris pusaka bernama Angga Cuwiri.”

Saking asyiknya para prajurit itu berbincang, hampir saja mereka tak sadar Laksita sudah
menghampiri mereka ditemani dua orang pelayan yang membawakan pesanan para prajurit itu.

“E, e … ternyata tidak cuma para perempuan yang suka mengobrol. Prajurit-prajurit gagah pun gemar
bicara gosip.”

Tanpa menunggu reaksi para prajurit itu, Laksita langsung menyuruh dua pelayannya untuk menata
aneka menu di atas meja yang dikelilingi oleh para prajurit itu. Semua hidangan begitu mengundang
selera.

Pepes ikan mas yang besar-besar, ayam panggang yang menggiurkan, juga cacahan daging kambing
yang sudah dioles dengan sambal tomat dan rempah-rempah. Para prajurit itu langsung lupa dengan
obrolan mereka sebelumnya.

Tangan dan mulut mereka sibuk menyuapkan nasi putih hangat dan lauk pauk yang begitu menggoda.

“Tuan, maaf kalau Laksita lancang. Hanya ingin tahu.

Belakangan ini kok, semakin banyak prajurit Majapahit yang berjaga-jaga.”

Laksita terkesan sekedarnya saat menanyakan hal itu.

Konsentrasinya justru ada pada cangkir-cangkir tanah liat yang satu per satu ia isi dengan arak dari
teko tanah liat.

“Memangnya kenapa, wong ayu? Bukankah rumah makanmu ini akan semakin ramai karenanya?”

Prajurit berewok yang sejak awal memang bersemangat menjawab pertanyaan Laksita, malah balik
bertanya.

Beberapa kali kalimatnya terpotong karena mesti mengunyah nasi di mulutnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Saya ini kan pedagang bodoh, Tuan. Yang saya pikirkan, ya cuma untung. Kalau Demak semakin
ramai, kan saya bisa mengembangkan usaha.”

Prajurit itu tertawa kecil tanpa menghentikan gumpalan nasi di tangannya menjejali mulutnya.

“Kalau selalu berpikir tentang usaha dan untung, kapan kamu kawin?”

Laksita sempat terhenyak meskipun cepat-cepat ia sembunyikan dengan mencubit lengan prajurit itu.
“Siapa yang mau dengan perempuan bodoh ini, Tuan?”

Para prajurit itu mulai ribut lagi. Masing-masing menawarkan diri untuk menjadi suami Laksita,
meskipun dengan nada bercanda.

“Kalau saya pilih satu di antara Tuan, saya nanti dikatakan merusak pertemanan Tuan-tuan semua.”

Laksita kembali tersenyum manja sambil mengisi beberapa cangkir yang sudah kosong dengan arak
yang diramu dari perasan ketela pohon.

“Saya dengar ada pejabat penting dari Majapahit yang akan datang ke Demak, Tuan.”

“Dari mana kamu tahu?”

Kali ini, wajah prajurit berewok itu tak genit lagi.

Sebaliknya, di wajahnya ada garis ketersinggungan.

“Ah, Tuan, begitu saja marah. Saya ini kan, pedagang.

Teman-teman saya menyebar di setiap kota, mulai Demak sampai Mojokerto. Masa kabar begitu
penting bisa terlewat dari telinga saya.”

Wajah prajurit itu sumringah lagi. Ia lalu membuang jauh-jauh kecurigaannya yang tiba-tiba
menyeruak. Kabar kedatangan Rakryan Rangga Majapahit setahu dia memang baru beredar di
kalangan prajurit saja. Tapi masuk akal jika para pedagang di Medangkamulan, Sumbergurit, atau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketemas telah mendengar adanya rombongan dari
Majapahit yang sedang menuju Demak.

“Ya. Mereka akan datang ke Demak untuk menumpas para pemberontak yang menyusup di Demak.”

Wajah Laksita langsung cerah.

“Ah, bagus sekali kalau begitu. Saya juga waswas dengan para pengacau itu. Setiap mengirim orang
suruhan keluar kota selalu khawatir. Takut mereka mencegat di tengah jalan.

Bagus sekali jika sang prabu mengirimkan pasukan untuk menumpas mereka.”

Pembicaraan itu mencair. Tak ada lagi hal-hal serius yang dibahas. Laksita mengerti betul hal-hal apa
yang bisa memancing kegembiraan para prajurit yang jauh dari keluarganya itu. Sikap manja Laksita
dan kemampuannya bersilat lidah membuat para prajurit itu betah berlama-lama di Nawa Rawi.

Bahkan setelah acara makan mereka selesai, obrolan itu berlanjut cukup lama. Baru setelah salah satu
prajurit mengingatkan sebentar lagi giliran patroli berganti, mereka lalu bergegas membayar tagihan,
kemudian buru-buru meninggalkan rumah makan paling tersohor di Demak itu.

0oo0
Hari sudah sore ketika Samita dan dua orang pegawai lainnya sampai di Nawa Rawi setelah beberapa
lama berbelanja kebutuhan dapur di pasar Demak. Ia membawa banyak belanjaan untuk persediaan
hari selanjutnya dalam tiga bakul besar. Setibanya di dapur, dia mengeluarkan isi bakul-bakul itu satu
per satu.

Buah-buahan, telur, dan sayur-mayur hijau dipisahkan.

Begitu juga dengan bumbu-bumbu yang dibungkus dengan daun pisang. Jumlahnya banyak sekali.
Tanpa kesulitan, Samita dibantu dua perempuan itu memilah-milah bumbu-bumbu itu agar tidak
campur baur.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Nini sudah pulang?”

Samita membalikkan badannya dan langsung tersenyum melihat Rukmi berdiri di depannya. Tapi, dia
langsung menghapus senyum itu demi melihat raut muka perempuan tua itu yang kelihatan
menyimpan rasa was-was.

“Ya, Mbok. Kami baru saja datang.” Samita meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. Ia lalu
menghampiri Rukmi dan mengajaknya duduk di balai bambu di pojok dapur.

“Saya tahu, pasti ada sesuatu yang membuat Mbok Rukmi was-was. Ada apa, Mbok?”

Perempuan tua itu menghela napas.

“Tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan, Nini.”

“Jika tidak ada, kenapa Mbok Rukmi kelihatan begitu khawatir?”

Rukmi diam sebentar. Dan lagi-lagi, ia menghela napas panjang.

“Keadaan semakin tidak aman, Nini. Raja Majapahit bahkan akan mengirim pasukan khusus ke
Demak untuk menangkap orang-orang yang mereka anggap pemberontak.”

“Maksud Simbok, sekelompok orang bercadar yang menyerang prajurit Majapahit di perbatasan
beberapa hari lalu?”

Rukmi menganggukkan kepalanya, sementara matanya memancarkan rasa was-was yang semakin
pekat.

“Kenapa Simbok mengatakan bahwa orang-orang itu hanya dianggap pemberontak? Bukankah dengan
menyerang prajurit Majapahit, mereka memang pemberontak yang sesungguhnya?”

Rukmi menoleh ke arah Samita dengan kaget. Wajahnya pucat. Kerut-kerut di kulit mukanya semakin
menjadi.
“Maaf, Mbok. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Saya hanya asal bicara.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi memegang punggung tangan Samita yang
ada di pangkuan gadis ayu itu. Perempuan renta itu masih menatap Samita dengan bibir bergetar.

“Saya sungguh melihatnya. Semakin jelas.”

Samita mengerutkan dahi sambil menggeleng pelan.

“Apa maksud Simbok?”

“Nini akan mempermalukan Raja Majapahit. Ninilah orangnya.”

“Mbok, saya benar-benar tidak paham.”

Hening sejenak. Perempuan tua itu lalu mengalihkan pandangannya sambil mengangkat tangannya
yang keriput dari telapak tangan Samita.

“Sudahlah, Nini. Mungkin saya terlalu terbawa perasaan.”

Tanpa peduli apa yang sedang berputar di benak perempuan renta itu, Samita mengulurkan tangannya
lalu memeluk Rukmi erat-erat.

“Terima kasih, Mbok. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang begitu menyayangi saya seperti
Simbok.”

Tanpa kalimat apa-apa, adegan itu berlanjut. Isak tertahan terdengar pelan. Rukmi pun rupanya tak
mampu menahan harunya. Bahunya yang semakin kurus terguncang-guncang.

Ada lega yang terlepas. Seperti seorang pengembara yang berjalan jauh dengan berbagai barang di
sekujur tubuhnya, lalu melepaskan segala beban itu begitu sampai di tempat yang ia inginkan.

0oo0

Langkah Samita setengah berjinjit. Dia seperti sengaja hendak mengagetkan Sudarga yang masih
sibuk dengan sapi cincangnya. Ada yang berbeda. Gerakan pemuda itu kali ini tak sekencang biasanya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ke mana perginya kecepatan tangan Sudarga yang aku kenal?”

Samita berdiri kagok di muka meja tempat pemotongan daging. Sudarga kelihatan tak peduli dengan
kehadiran Samita. Dia cuma tersenyum sambil meneruskan pekerjaannya. Itu pun tampak betul
dipaksakan.
“Boleh aku tanya sesuatu?”

Masih tak ada suara yang keluar dari bibir Sudarga. Hanya kepalanya yang mengangguk-angguk.

“Aku sering mendengar Mbok Rukmi berkata-kata aneh.

Sangat tidak aku pahami. Dia seperti sedang meramalkan sesuatu terjadi di masa depan.”

Kali ini, Sudarga menghentikan kesibukannya. Dia lalu menoleh ke arah Samita.

“Orang tua itu punya daya Iinuwih (kemampuan istimewa).

Aku tak tahu persis. Hanya aku dengar, dia memang sering mendapatkan gambaran tentang masa
depan seseorang.”

Samita mengangkat alisnya tanpa berkata-kata. “Apa yang ia ramalkan padamu, Samita?” Masih tak
dijawab. Samita seperti sedang berpikir.

“Itu alasan kenapa kau sering mengatakan bahwa aku punya pekerjaan lebih besar dibandingkan
mencacah daging, Sudarga?”

Pemuda itu tampak terhenyak. Merasa tertangkap basah.

“Kau percaya ramalan, Samita?”

“Entahlah. Bagiku tak penting untuk mengetahui seperti apa yang akan terjadi di masa depan. Aku
hanya merasa wajib melakukan yang terbaik bagi hidupku. Kalau besok pagi aku mati, ya pasti mati.
Tak ada yang kebetulan di muka bumi.

Bukan masalah kapan aku mati. Tapi, bagaimana aku mati.”

Sudarga tertegun. Seperti bocah kemarin sore yang menyimak wejangan seorang tua. Padahal, Samita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengucapkan kata-katanya tanpa penekanan di
sana-sini.

Sekadar lepas dari nuraninya yang jujur. Bahkan, gadis itu tak menatap Sudarga saat mengucapkan
kalimat itu. Dia malah melepas pandangannya ke langit-langit dapur.

“Apakah orang sepertimu punya pikiran yang sama, Samita?”

“Sepertiku?”

“Maksudku, orang yang punya keyakinan yang sama denganmu berpikir dengan cara yang sama
denganmu?”

Samita tersenyum.
“Agamaku mengajarkan itu. Tapi bukan berarti semua penganutnya mengamalkannya. Aku kira hal
yang sama berlaku pada kepercayaan selain agamaku. Nilai-nilai agama tetaplah suci. Hanya orang
yang meyakininya kadang menjalaninya setengah-setengah. Celakanya, kadang suatu agama dinilai
dari penganutnya. Padahal, kadang hal itu tidak tepat.”

Sudarga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba mukanya beranjak pucat. Seperti menahan


sakit. Tapi, ia buru-buru menyembunyikannya agar kesan itu tak tertangkap oleh kejelian mata
Samita.

“Sudarga, beberapa hari lalu Mbok Rukmi sempat memberitahuku bahwa akan ada pejabat dari
Majapahit yang datang ke Demak. Menurutmu, apakah keadaan akan semakin kacau?”

Sudarga tak menjawab. Dia mencoba sibuk dengan pekerjaannya. Samita yang sejak tadi tak menatap
langsung wajah Sudarga menjadi penasaran. Merasa berbicara sendiri dan tak diperhatikan, Samita
menoleh dan melihat perubahan raut muka Sudarga. Seperti sedang menahan sakit yang amat sangat.
Gerakan tangannya juga melemah.

“Sudarga!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pemuda itu sontak melepaskan goloknya, lalu
menekan dadanya. Sejurus kemudian dia mengerang, tubuhnya ambruk, berdebam ke lantai dapur
dengan darah merembes dari sela bibirnya.

Samita bergerak sigap. Dia langsung memaksa Sudarga duduk. Mantap ia menghentak punggung
Sudarga dengan dua telapak tangannya untuk menyalurkan hawa murni.

“Pukulan Hanacaraka. Rupanya dia.”

Sudarga memejamkan matanya. Tak berpikir lagi tentang kejutan di depannya, ternyata Samita
memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi. Gadis itu tak perlu lama untuk tahu jenis pukulan yang
bersarang di dadanya.

Sudarga mengabaikannya. Dia hanya berkonsentrasi untuk memudahkan hawa murni kiriman Samita
cepat-cepat membuka pembuluh darahnya yang tersumbat.

“Tiga tulang rusuk patah. Gumpalan darah beku membahayakan jantung.”

Sudarga masih bisa mendengarkan kata-kata Samita meskipun tak merasa perlu menjawabnya.

“Hoeeegh!”

Sudarga muntah darah. Segar dan cukup banyak. Pemuda itu harus beberapa kali memaksakan diri
untuk menguras semua darah kotor itu. Mukanya yang pucat mulai merah kembali. Matanya terbuka
pelan.

‘“Asalkan kau hati-hati menjaganya, tulang rusuk patah itu tak akan menganggumu. Di sana ada
serabut otot yang membuatnya aman. Gumpalan darah kotor itu pun sudah kau muntahkan. Tak akan
terjadi apa-apa.”

“Siapa kau sebenarnya?”

Sudarga masih duduk bersila ketika Samita bangkit dan hendak beranjak ke ruangan pribadinya.
Samita tersenyum.

Wajahnya seperti bercahaya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bukankah kau sudah tahu banyak dari ramalan Mbok Rukmi?”

Sudarga salah tingkah. Dia masih menekan dadanya.

“Sudahlah. Aku sedikit tahu tentang ilmu obat-obatan untuk menyembuhkan luka dalam. Tunggu
sebentar, aku akan meraciknya untukmu.”

Sudarga tak menjawab lagi. Dia perlahan bangkit, lalu mencari-cari kain tak terpakai untuk
menghilangkan genangan darah segar yang tadi ia muntahkan. Samita segera membongkar bungkusan
yang ia simpan di bawah dipan. Ia mengambil beberapa helai daun yang pinggirnya bergigi. Daun ini
juga yang membuat ia cepat pulih ketika tulang belulangnya patah kena pukulan dua iblis dari selatan
dulu.

Dia ada di sini!

Samita menghentikan gerakannya ketika ingat sesuatu.

Pukulan Hanacaraka itu jelas milik Sad Respati, orang yang paling ingin ia temui sejak turun dari
Kapal Pusaka, armada Ming, dua tahun lalu. Tapi sekarang, begitu tahu bahwa orang yang ia cari ada
di kota yang sama dengannya, Samita justru ragu bukan main.

Rentang dua tahun, pasti sudah mengubah banyak hal.

Samita tertegun di atas dipan. Tapi, begitu ingat kepentingannya untuk meracik obat buat Sudarga, ia
bergegas mengembalikan buntalan itu dan segera keluar kamar.

0oo0

Ruang pribadi Laksita hening. Padahal, ada beberapa orang di sana. Laksita duduk di muka meja
dengan raut muka sangat serius. Wajahnya kini kelihatan jauh lebih muda. Tak ada bedak tebal yang
biasa menempel pada kulit mukanya yang halus. Gincu merah menyala itu juga lenyap dari bibirnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tatapan genit itu juga sudah tidak ada. Sekarang,
justru sepasang mata majikan Nawa Rawi itu menerawang. Seperti menembus dinding-dinding kamar
yang terbuat dari jati terbaik.

Di hadapannya, duduk tiga orang kepercayaannya. Mbok Rukmi yang kelihatan gelisah, Sudarga yang
duduk dengan dahi berkerut, dan Baskara, penanggung jawab keamanan Nawa Rawi yang bersikap
lebih tenang.

“Ini takdir.”

Penekanan suara Laksita benar-benar beda. Datar dan berwibawa. Sama sekali berbeda dengan Laksita
sehari-hari.

Pandangan matanya masih tak jelas. Sementara tangan kanannya menggenggam daun lontar yang baru
saja selesai ia baca. Sebuah surat resmi berstempel pemerintah Majapahit.

“Sudarga, bagaimana lukamu?”

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Putri. Setelah minum obat, kondisi tubuh saya jauh lebih baik.”

“Samita tak boleh dilibatkan dalam urusan ini. Dia sudah cukup baik mau menolongmu.”

Kalimat Laksita tertahan. Matanya menatap setajam mata anak panah.

“Apakah kalian tetap setia kepadaku sampai titik darah penghabisan?”

“Nyawa pun kami berikan, Putri.”

Hampir serempak Rukmi, Sudarga, dan Baskara menjawab pertanyaan Laksita. Sang majikan menarik
napas dalam-dalam.

“Baskara dan kau, Sudarga, siapkan seluruh anak buah kalian yang tersisa. Kita akan tetap bertahan di
Nawa Rawi sampai napas terakhir.”

“Putri, maaf saya menyela. Apakah tidak sebaiknya saya dan Sudarga saja yang bertahan di sini? Putri
dan Mbok Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi sebaiknya segera mencari tempat untuk
menghindari orang-orang Majapahit.”

“Bicara apa kau, Baskara?! Aku sudah lelah terus-menerus lari. Ini saatnya untuk melawan terang-
terangan.”

Tak ada yang berani bicara. Senyap lagi.

“Mbok Rukmi, kau ajaklah Samita pergi dari Nawa Rawi.

Sejauh-jauhnya. Jika nanti kau dengar kematianku, berbahagialah karena itulah tujuanku.”

Rukmi tak sanggup berkata-kata. Air matanya keluar sejadi-jadinya.


“Putri akan hidup bahagia. Saya sudah mengatakannya.”

“Aku tak peduli dengan ramalan. Aku hanya berpikir untuk menuntut balas. Tidak peduli bahagia atau
tidak.”

Rukmi tergugu di tempat duduknya. Beberapa kali ia menyeka air mata.

“Sudahlah. Kalau ingin membangkang, tetaplah tergugu di situ. Tapi jika kau patuh, segera pergi dari
Nawa Rawi. Aku sudah menyiapkan bekal untuk kalian.”

Pandang mata Laksita begitu tegas dan terkesan keji.

Namun, Rukmi mengabaikannya. Dia beranjak ke muka gadis itu, lalu bersimpuh sambil
menangkupkan kedua tangannya.

Dia kemudian bangkit dan keluar dari ruangan itu.

Sementara pandang mata Laksita tak lagi garang. Kini justru ada air menggenang di kelopak matanya.
Tak sampai jatuh karena dia segera menghentakkan suaranya lagi memberi perintah kepada dua orang
anak buahnya untuk bersiap.

Menjelang petang, Laksita duduk timpuh di lantai kamar. Di depannya, abu dupa berkelok-kelok
semakin tebal.

Perempuan itu duduk takzim. Di depannya, sebilah pedang panjang tergeletak di lantai.

“Ayahanda, kuatkan Ananda.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia lalu memegang gagang pedang itu. Sinar berkilat
beberapa kali dari baja putih pedang itu. Laksita berdiri, menyarungkan pedangnya, lalu keluar kamar.

0oo0

“Mbok, saya masih tak paham alasan Nyai Laksita memecat kita.”

Rukmi tak tertarik untuk menjawab pertanyaan Samita. Dia terus berjalan berderap meninggalkan
pusat Kota Demak.

Samita menjejerinya sambil terus mencari tahu alasan Rukmi mengajaknya meninggalkan Nawa Rawi
dan mengatakan bahwa mereka berdua telah dipecat.

“Bukankah Nini ingin pergi ke Majapahit?”

“Tapi tidak dengan cara ini.”

Rukmi masih terus berjalan. Bakul bambu di punggungnya terguncang-guncang mengikuti irama kaki
perempuan tua itu.
“Aku tak mau melanjutkan perjalanan ini kalau Simbok tak mengatakan hal sesungguhnya padaku.”

Rukmi menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Samita. Mereka kini ada di jalan besar di
luar pusat Kota Demak. Rumah penduduk mulai jarang. Tapi, beberapa warung kecil masih buka dan
lumayan ramai pengunjung.

Perempuan tua itu menatap sayu.

“Mbok, apakah pasukan Majapahit datang ke Demak untuk menyerbu Nawa Rawi?”

Wajah perempuan itu semakin pucat saja.

“Kalau Simbok tak mau jujur, saya akan kembali ke Nawa Rawi untuk mencari tahu.”

Samita berpura-pura hendak membalikkan tubuhnya kembali ke Demak. Melihat itu, Rukmi buru-buru
memanggil Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi namanya. Ia lalu mengajak gadis itu beristirahat di
bawah batang pohon rindang di pinggir jalan.

“Dari mana saya harus memulai, Nini?”

“Simbok bisa memberitahu saya, siapa sebenarnya Nyai Laksita?”

Rukmi masih kelihatan ragu-ragu. Dia lalu melepaskan kain yang mengikat bakul di punggungnya.
Setelah meletakkan bakul tempat segala macam bekal itu di tanah, Rukmi menerawangkan
pandangannya ke langit sore yang cerah. Awan putih berarak pelan. Menjadi latar belakang yang apik
bagi serombongan burung yang mengepak membelah angin.

“Sebenarnya, dia adalah Bre Mataram. Namanya Dewi Suciatma. Ia putri Yang Mulia Bre Wirabumi
dari Blambangan.”

Samita diam. Menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dari bibir perempuan tua itu. Ia mulai
menduga-duga.

“Sejak dua tahun lalu, kami hidup berpindah-pindah untuk menghindari kejaran prajurit Majapahit.”

Samita mendengar nada getir pada suara perempuan tua di sampingnya.

“Putri bertekad untuk melawan Wikramawardhana seumur hidup. Karena itu, di setiap persinggahan
kami, ia memimpin sekelompok sisa prajurit Blambangan untuk membuat kacau prajurit Majapahit.
Entah sudah berapa puluh kali ia terlibat pertempuran. Hingga kami pindah ke Demak setahun lalu.”

“Lalu, bagaimana prajurit Majapahit mengetahui Nawa Rawi adalah markas Putri Suciatma?”

“Rakryan rangga Majapahit turun tangan langsung ke Demak. Luka Sudarga beberapa hari lalu karena
kena pukulan rakryan rangga itu. Dia sangat lihai. Saya kira, dialah yang berhasil menemukan jejak
sang putri.”
Samita makin diam.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Hari ini, rakryan rangga itu mengirimi Putri Suciatma sebuah surat dari Wikramawardhana. Raja
memerintahkan rakryan rangga untuk membawa putri kami ke Majapahit.”

“Putri Suciatma menampiknya?”

Rukmi menganggukkan kepalanya perlahan.

“Akan terjadi pertumpahan darah. Mbok, ikuti saranku.

Simbok akan kuantar ke salah satu rumah penduduk.

Tunggulah di sana. Aku akan kembali ke Nawa Rawi membujuk agar Putri Suciatma mau pergi.”

“Nini, itu tak akan berhasil.”

“Paling tidak, aku akan mencegahnya agar tak terbunuh.”

Tak menunggu perdebatan itu menjadi panjang lebar, Samita lalu membimbing Rukmi pergi ke salah
satu rumah penduduk. Tentu saja dia harus bersilat lidah, mengarang cerita agar pemilik rumah tak
berkeberatan Rukmi menumpang semalam di tempat tinggalnya. Setelah itu, dia meminjam seekor
kuda dan segera memacunya ke arah kota.

Hari mulai gelap. Rumah Makan Nawa Rawi lengang.

Sejak pagi memang sudah diumumkan bahwa rumah makan terbesar di Demak itu tutup. Meja-meja
semua disingkirkan ke pinggir. Sekarang, ruangan itu tak ubahnya tanah lapang yang lega. Di tengah
ruangan, Laksita duduk anteng di kursi dengan senyum dingin. Dua orang pengawalnya, Sudarga dan
Baskara, berdiri dengan pedang terhunus.

Belasan anak buahnya yang lain berdiri gagah di belakang mereka. Tak lama kemudian, suara
berderap semakin mendekat. Di muka pintu masuk rumah makan yang terbuka lebar, berdiri seorang
gagah dengan seragam prajurit. Di belakangnya, puluhan prajurit bersenjata lengkap berjaga-jaga.

Orang gagah itu perlahan memasuki ruangan. Dia seorang lelaki muda berusia lewat 25 tahun.
Badannya kelihatan sekali terlatih. Padat dan berisi. Wajahnya memancarkan wibawa.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dagunya seperti terbelah. Tanpa tersenyum pun,
tampak dua lesung pipit di kedua belah pipinya.

“Rakryan Rangga Sad Respati menghaturkan hormat kepada Putri Suciatma.”


Ia menangkupkan kedua tangannya dengan gagah. Lalu, menatap Suciatma tanpa berkedip. Sementara
perempuan yang diajaknya berbicara tak sekali pun memandangnya.

“Jadi ini orangnya, sang rakryan rangga Majapahit yang demikian kesohor. Apa maumu?”

“Putri, saya membawa titah Prabu Wikramawardhana untuk mempersilakan putri menghadap sang
prabu di Mojokerto.”

“Maksudmu meringkusku?”

Sad Respati tak langsung menjawab.

“Tanpa kekerasan, Putri.”

“Apa kata rajamu jika aku melawan?”

“Sang prabu ingin agar Putri berkenan datang ke Mojokerto untuk membahas semua permasalahan ini
dengan kepala dingin.”

“Maksudmu, melupakan dendam ayahandaku dan tunduk kepada Majapahit?”

Tak ada jawaban.

“Jangan harap!”

“Kami tak mungkin kembali ke Demak tanpa Putri.”

“Jangan banyak bicara!”

Sekonyong-konyong Suciatma menarik gagang pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing. Pada
saat itu juga, tubuhnya melenting ke atas dengan sikap membacok.

Gerakannya diikuti oleh Sudarga, Baskara, dan anak buahnya yang lain. Mereka menyerbu ke arah
para prajurit yang sudah bersiap.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suciatma menyergap seperti banteng luka.
Gerakannya penuh tenaga dan amarah. Pedang di tangannya bergerak kilat mengincar leher Respati.
Jika saja sang rakryan rangga adalah pesilat kacangan, serangan itu tentu sudah membuatnya mati
kutu.

Akan tetapi, Sad Respati adalah bekas kepala bhayangkari Majapahit yang memiliki ilmu kanuragan
sangat tinggi. Dengan mudah ia memutar badannya, lalu bersalto menghindari serangan pedang yang
kian ganas itu. Dia tak membalas.

Tentu saja karena yang dihadapinya kali ini adalah Putri Bre Wirabumi yang hendak dihadapkan
kepada Prabu Wikramawardhana. Ia bergerak dengan hati-hati. Mencari titik lemah Suciatma untuk
membuatnya roboh dalam sekali gebrak. Namun, hal itu pun tak mudah.
Sementara itu, Sudarga dan Baskara mengamuk. Belasan prajurit meregang nyawa dibacok pedang
mereka. Sudarga yang menggunakan pedang berukuran besar mengamuk seperti harimau lapar. Dia
menyerang tanpa ampun dan haus darah. Pedang di tangannya sudah berlumuran darah para prajurit
Maajapahit

Baskara yang bersenjatakan pedang panjang juga tak terkalahkan. Ia terus merangsek ke depan
menumbangkan satu demi satu prajurit yang ada di depannya.

Namun, kehebatan mereka berhadapan dengan jumlah prajurit yang semakin banyak, membuat
Sudarga maupun Baskara merasakan tenaganya terus berkurang.

“Kau harus membayar lunas semua darah pengawalku, Sad Respati!”

Sementara anak buahnya pun satu per satu roboh dengan luka di sekujur tubuhnya, Suciatma semakin
garang. Dia tak lagi peduli kemungkinan lawan melakukan serangan balasan.

Pedang di tangannya terus berputar mencari sasaran.

Sementara setelah puluhan jurus, terasa tenaganya makin tersedot dan segera habis.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati mulai coba-coba meluncurkan serangan
balasan dengan kedua belah tangannya. Tetap dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai cucu
Hayam Wuruk itu.

“Putri, segera pergi dari sini!”

Seorang bercadar hijau tiba-tiba berkelebat dan menengahi pertempuran antara Respati dan Suciatma.
Dia bergerak sangat cepat dan langsung membebaskan Suciatma dari arus serangan tangan kosong
Respati.

Dengan mudah, orang bercadar itu menghalau serangan tangan kanan Respati hanya dengan sentilan
jari bertenaga luar biasa. Sejenak Respati berdiri tertegun. Pandangan mata mereka bertemu.

“Kau!”

Tak memberi waktu Respati untuk berpikir, orang bercadar itu menyerang lagi. Tapak kanannya
mengincar dada Respati.

Merasakan angin serangan yang begitu besar, Respati memilih mundur selangkah, lalu memutar
tubuhnya untuk melakukan tendangan.

Orang bertopeng itu seola h tahu benar apa yang akan dilakukan Respati. Dia langsung membatalkan
serangan tapaknya, lalu menyongsong serangan kaki itu dengan sambaran kaki kirinya.

Pakkk!!!

Sejurus Respati gelagapan. Penyerangnya ini berkemampuan jauh lebih tinggi dari dugaannya. Terasa
sekali dari getaran tenaga dalam yang menghantam pergelangan kakinya. Ia pun tak mau main-main
lagi. Memang tidak boleh karena orang bertopeng itu segera menyusulkan serangan tapak kirinya
dengan kilat.

Respati memiringkan tubuhnya menghindar. Namun, penyerang itu benar-benar seperti sudah hafal
semua langkah Respati. Ia menyusulkan serangan bawah berupa sergapan kaki kanan untuk
merobohkan kuda-kuda Respati.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Putri, tinggalkan tempat ini! Saya mohon.”

Sudarga sudah berada di sisi Suciatma yang masih tertegun melihat perkelahian Respati dan orang
bercadar hijau yang menyelamatkannya.

“Putri, tak ada waktu lagi.”

“Tidak mungkin!”

“Ampunkan saya, Putri!”

Sudarga meluncurkan tangan kanannya menotok jalan darah Suciatma. Sekejap kemudian, dia
menggendong tubuh junjungannya itu menerobos barisan prajurit dan menghilang di malam yang
pekat. Di belakangnya, para prajurit berupaya mengejar dengan suara-suara yang riuh.

Sudarga mengerahkan segenap tenaganya. Melentingkan tubuhnya ke atas atap rumah dan mulai
berlari kencang di atas genteng-genteng penduduk. Sementara perkelahian Respati dan orang
bertopeng itu semakin menjadi.

Respati heran bukan main karena hampir seluruh gerakannya ditebak dengan mudah oleh lawannya.

Sebaliknya, dia sama sekali tak paham dengan semua gerakan orang bercadar itu. Semakin lama,
Respati semakin bingung.

Lewat puluhan jurus, si penyerang mulai melancarkan gerakan mematikan. Titik serangan yang dituju
adalah leher dan ulu hati. Respati berusaha keras untuk melepaskan diri dari kepungan serangan itu.
Tapi gagal.

Wuuus!

Tangan kanan orang bertopeng itu kini menebas ganas seperti pedang. Tak mungkin lagi menghindar,
Respati menghadangkan tangan kanannya untuk menangkis. Sebuah hentakan tenaga yang luar biasa.
Tangan kanan Respati lunglai dan terasa kesemutan disergap hawa dingin.

Sekedipan mata, sang rakryan rangga itu berdiri kaku dengan leher terkunci oleh dua jari tangan kiri si
penyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati menatap penyerangnya. Meskipun kain
hijau yang kini tampak gelap itu menutupi wajah lawannya, namun sepasang mata itu tetap kelihatan.

Respati memandangnya dalam-dalam. Tidak ada sinar dendam. Kalau mau, leher Respati dengan
sangat mudah akan tertembus oleh dua jari lentik yang kini menempel di batang lehernya. Tapi orang
bercadar itu tidak melakukannya.

Mereka masih saja berdiri mematung. Sementara pertempuran di kanan-kiri mereka mulai mereda.
Sebentar lagi seluruh pengawal Nawa Rawi tewas terbantai. Tinggal Baskara yang masih mengamuk
dengan luka-luka di badannya.

Orang bertopeng itu lalu meliukkan jemarinya, menghentikan serangan. Sekali sentak, tubuhnya sudah
melayang ke arah Baskara. Tangannya bergerak ringan untuk merobohkan beberapa prajurit yang
mengepung Baskara.

Kemudian, dia mengajak pengawal utama Putri Suciatma itu menembus barisan prajurit di depan
mereka untuk meloloskan diri. Seperti halnya Sudarga, mereka berdua memanfaatkan ilmu
memperingan tubuh untuk melompat ke atap-atap rumah penduduk. Sekejap saja, bayangan mereka
sudah lenyap ditelan gelap.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 10. Setan Kecapi Bisu

Tengah malam, di hutan pinggir Demak.

Api unggun menyala. Samita tekun menata batang dan ranting kering untuk menahan agar nyala api
tetap besar.

Masih ada setumpuk lagi ranting dan batang kering di sampingnya. Wajahnya memerah terkena
terpaan cahaya api unggun. Berubah-ubah sesuai dengan liukan api yang bercanda dengan angin hutan.

Kain hijau menutupi kepalanya, hanya menyisakan wajahnya yang bulat telur. Artinya, belum lama
Samita melakukan sembahyang seperti biasa. Sementara di bawah pohon rindang tak jauh dari tempat
Samita duduk, Rukmi telaten merawat luka Baskara. Pemuda berbadan besar itu melepas bajunya agar
Rukmi leluasa membalurkan ramuan obat pada luka yang rata di lengan dan punggungnya.

Ramuan obat itu dibuat oleh Samita. Hanya, untuk membalurkannya, Samita minta agar Rukmi yang
melakukannya. Samita sendiri memilih asyik dengan api unggun sambil membelakangi mereka
berdua.

Beberapa kali Baskara menggigit bibir menahan rasa perih ketika ramuan obat itu menyentuh luka
goresan pedang di tubuhnya. Setelah menguatkan diri beberapa lama, selesailah proses pengobatan itu.
Ia kembali mengenakan bajunya yang sudah compang-camping akibat sabetan pedang para prajurit
Majapahit.

Begitu lolos dari kepungan prajurit Majapahit petang sebelumnya, Samita meninggalkan Baskara di
hutan pinggir kota. Gadis itu lalu kembali ke rumah penduduk untuk mengembalikan kuda yang ia
pinjam dan menjemput Rukmi.

Keduanya lalu menelusup ke hutan itu menemui Baskara.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau sudah tahu siapa kami. Tapi, kami sama sekali buta tentang dirimu, Samita.”

Baskara beringsut ke api unggun mendekati Samita. Rukmi menyusul. Bertiga kini mereka duduk
berjajar di muka api unggun.

“Benar, Nini. Kami yakin Nini bukan orang sembarangan.

Jangan sampai karena kami tidak tahu siapa Nini, kami jadi salah bersikap.”

Rukmi yang sejak pertama kali bertemu dengan Samita sudah penasaran dengan jati diri gadis itu
menimpali ucapan Baskara. Sementara orang yang mereka ributkan cuma tersenyum.

Samita malah makin asyik memilih-milih kayu kering, kemudian meletakannya di tumpukan kayu
yang terbakar.

Sebentar kemudian, kayu-kayu itu menjadi bara. Senyap sesaat. Suara kayu yang terbakar
menggantikan perbincangan tiga orang itu.

Sementara, suara-suara penghuni hutan semakin nyata.

Lolongan serigala, bunyi jangkrik yang mengusik, kepak kelelawar dan suara-suara hewan melata silih
berganti. Rukmi dan Baskara masih sabar menunggu.

“Aku bukan siapa-siapa.”

“Samita, bagaimana mungkin seseorang yang bukan siapa-siapa bisa menguasai ilmu siluman itu?”

Samita menoleh ke arah Baskara dengan kesan wajah tak mengerti.

“Maksudku, ilmu yang sangat tinggi hingga tak terbayang olehku bagaimana engkau
mempelajarinya.”

“Semua ilmu ada karena dipelajari. Segala yang aku mampu pun lebih dulu aku pelajari. Bukankah
kita bisa bicara juga, setelah semasa kecil belajar terbata-bata?”

“Samita, Sad Respati adalah pendekar berilmu sangat tinggi. Tidak ada tandingannya di jajaran
Bhayangkari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Majapahit sekali pun. Tapi, kau berhasil
membuatnya tak berkutik hanya dalam beberapa gebrakan.”
Samita tersenyum. Lalu, kembali asyik memilih-milih kayu kering yang akan ia letakkan di tumpukan
paling atas pada api unggun itu.

“Dua tahun lalu kami berteman. Aku sedikit tahu tentang rahasia jurus Hanacaraka-nya. Tapi, itu
bukan alasan aku bisa mengalahkannya hari ini.”

Baskara dan Rukmi khusyuk mendengarkan.

“Sejak pertama aku menentang serangannya, dia sudah menduga-duga siapa aku sebenarnya. Karena
itu, serangannya jadi penuh keraguan. Lagi pula, dia tak menghunus keris Angga Cuwiri-nya yang
begitu ampuh.”

Baskara mengangguk-angguk.

“Tetap saja aku kagum dengan ilmu kanuraganmu, Samita.

Tapi, bagaimana bisa engkau berteman dengan rakryan rangga Majapahit?”

Samita merasa terjebak. Ia lalu tersenyum lebar.

“Baiklah, aku akan menceritakan siapa diriku.”

Kemudian, mengalir cerita panjang dari bibir Samita. Mulai kunjungan armada Ming yang dipimpin
gurunya ke Nusantara, pertemanannya dengan Ramya di Simongan, kisah serangan prajurit Majapahit
yang membuat seratus lebih ping-se tewas mengenaskan, perjalanan ke Majapahit, bertemu dengan
Wikramawardhana, pertemanannya dengan Sad Respati, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Hampir semuanya diceritakan, kecuali pencurian kitab Kutub Beku yang berakhir dengan tewasnya
Sien Feng, kakak seperguruannya.

Selama mendengarkan cerita Samita, Baskara dan Rukmi kelihatan takjub. Tanpa sadar mereka
mengangguk-anggukan kepalanya dengan air muka yang berubah-ubah.

“Saat prajurit Wikramawardhana menyerang armada Ming, kami pikir akan terjadi pembalasan besar-
besaran dari pihak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ming. Tadinya kami sangat berharap itu terjadi.
Samita, kenapa Laksamana Cheng Ho tak melakukan serangan balasan ke Majapahit?”

Samita menoleh ke Baskara, tersenyum maklum.

“Kami diutus kaisar ke Samudra Barat untuk membina hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan
sahabat. Jika kami melakukan pembalasan, sudah pasti semua tujuan itu tak akan tercapai. Sebaliknya,
pertumpahan darah akan terjadi di mana-mana.”

Baskara semakin terdiam. Sementara Rukmi tak banyak bersuara. Ia hanya mendengarkan dengan
tekun.

“Lalu, kenapa kau memisahkan diri dari armada Ming, dan kembali ke Jawa Dwipa?”
Samita tak langsung menjawab. Air mukanya berubah sama sekali.

“Kau tak perlu menjawab jika memang tak ingin.”

“Tak masalah. Aku pun tak yakin, apakah pergi ke Majapahit masih penting.”

Baskara dan Rukmi tampak heran.

“Sudahlah. Kami pun tak berhak mengetahui segala urusanmu, Samita. Pastinya, kami sudah cukup
lega karena kini tahu siapa dirimu. Ceritamu menjawab semua keingintahuan kami selama ini.”

Bertiga mereka diam. Masing-masing berpikir tanpa jelas ujung pangkalnya. Rukmi lalu mengotak-
atik bakul bambu di sampingnya, kemudian mengeluarkan beberapa bungkusan.

“Lebih baik kita isi perut meskipun sedikit, agar punya cukup tenaga untuk esok hari.”

Ketiganya lalu kembali sibuk dengan angan masing-masing. Di sela kunyahan mulut yang sibuk, tak
ada percakapan serius.

“Entah apakah putri bisa makan seperti kita sekarang.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sontak Baskara berhenti mengunyah. Dia lalu
meletakkan sisa penganan di tangannya ke tanah. Seperti ada perasaan bersalah yang membayang di
wajahnya. Padahal, saat mengatakan kalimat itu, Rukmi sekadar bergumam.

“Kau benar, Mbok. Mana boleh kita bersenang-senang di sini, sedangkan nasib putri, kita tak tahu.”

Baskara lalu meraih pedang panjangnya yang sudah bersarang pada warangkanya.

“Aku harus mencari putri.”

“Baskara, kenapa terburu-buru? Putri Suciatma tak akan apa-apa. Bukankah Sudarga bersamanya.”

Samita bangkit dari duduknya karena heran dengan ketergesa-gesaan Baskara.

“Samita, kewajibanku adalah menjaga putri. Aku harus mencarinya.”

“Paling tidak, tunggulah sampai fajar.”

Sinar api unggun menerpa senyum Baskara yang sedikit mengembang.

“Aku tak tahu kapan putri membutuhkan tenagaku. Karena itu, aku harus segera pergi.”

“Baskara!”

Pemuda itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang, ketika suara Rukmi lantang
terdengar.
“Jika bertemu putri, sampaikan permohonan maafku karena tubuh renta ini tak bisa segera
menghadap. Tapi, pasti aku akan menyusul ke mana pun putri berada.”

Baskara mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Ia lalu melangkah berderap menembus pekatnya
hutan dan hawa dingin. Satwa hutan kecil itu terdengar seperti sedang berpesta. Suaranya sungguh
kaya dan bersahut-sahutan.

Mencekam jiwa-jiwa yang jerih. Tapi juga membuat takjub hati yang percaya cita rasa seni Sang
Pencipta.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kediaman Rakryan Medangkamulan, Kesusra.

Bebunyian malam menembus tembok seputar kediaman Kesusra yang raksasa. Tembok tinggi dari
batu bata itu tetap tak bisa mengubah kodrat alam bahwa malam adalah pekat.

Jangkrik menyanyi riang. Berlomba dengan kawanan kodok yang berkecipak di atas air.

Di balik tembok itu, napas para prajurit jaga seperti dengus kerbau yang hendak disembelih. Gelisah
bukan main, tanpa tahu benar apa penyebabnya. Udara dingin yang mencekat tak seharusnya
mendatangkan gerah. Namun, beberapa di antara mereka sibuk mengelap keringat yang meluap dari
pori-pori.

“Kangmas, kenapa hatiku terasa tidak enak.”

“Bicara apa, Nimas. Tidak ada apa-apa. Medangkamulan begini aman. Prajurit-prajurit berjaga patuh.
Kita pun punya ahli kanuragan yang ilmunya setinggi langit. Buat apa khawatir?”

Kesusra seperti tak paham kalimat apa yang ia ucapkan. Ia minta Suminten, istrinya, untuk tidak
gelisah, sedangkan dia berjalan mondar-mandir di kamar mereka tanpa alasan pasti.

Suminten lalu duduk di pinggir pembaringan dengan wajah was-was. Ia mengenakan kemben yang
pinggirnya dihias dengan benang emas. Kain bawahnya pun elok. Rambutnya diurai panjang.

“Rasa hatiku benar-benar tak enak, Kangmas.”

Kesusra tak berkata apa-apa. Dia menghampiri jendela kamar, lalu membukanya perlahan. Bulan tak
tampak.

Suasana mencekam. Langit gelap sama sekali. Obor-obor yang dipasang di tembok yang melingkari
rumah besar Kesusra, satu-satunya penerangan yang sedikit menepis rasa takut akan gelap.

Setelah memastikan para prajurit masih berjaga, Kesusra kembali menutup jendela itu dan beranjak ke
pembaringan.

“Mari kita tidur, Nimas.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suminten tersenyum setengah dipaksakan. Dia baru
saja hendak mengangkat kakinya ke atas pembaringan, ketika sayup terdengar suara kecapi yang terus
mendekat. Ia menatap Kesusra dengan kesan wajah heran. Suaminya pun menatapnya dengan cara
yang sama.

“Malam-malam begini, siapa yang bermain kecapi dengan nada begini seram.”

Wajah Suminten memucat. Bunyi kecapi itu memang menyayat dan benar-benar nyata. Indah, tapi
menebar rasa tak enak. Seperti ancaman. Lambat laun suaranya mengencang. Hingga terasa sangat
dekat dengan bangunan pribadi Kesusra.

Suminten memegang erat lengan suaminya. Ia begitu ketakutan. Sementara suara kecapi itu semakin
menjadi. Kini denting dawainya tak sendirian. Ada kidung. Suara seorang perempuan yang
melengking menyanyikan tembang yang menyedak-nyedak.

“Apa bedanya hidup dan mati, jika kehidupan yang kau jalani tak iagi memberi napas. Seperti mayat
hidup yang tak punya hati. Menyerbu maiam, mengendus darah untuk sebuah baias dendam. Bertahun-
tahun memakan bangkai masa iaiu yang membusuk. Mengubah setiap hentakan jantung menjadi wajah
sang durjana. Menggambarnya dalam-dalam. Menunggu waktunya baias dendam.”

Sungguh mengerikan. Kidung itu dilantunkan penuh perasaan. Seperti tangisan hewan-hewan hutan.
Lebih menyakitkan dibandingkan suara anak ayam yang menusuk gendang telinga. Ada nada sedih dan
dendam. Suminten semakin kencang memeluk lengan suaminya.

“Ke mana para pengawal?”

Baru saja Kesusra hendak bangkit dari pembaringan, suara melengking bersahut-sahutan dari luar
ruangan pribadinya.

Lolongan kematian. Nyawa prajurit jaga baru saja melayang.

“Nimas, kau tenang saja di sini. Aku akan keluar.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kangmas, itu sangat berbahaya.”

Suminten melengkapi rasa takutnya dengan tangis yang tertahan. Tapi Kesusra tak peduli. Setelah
melepas pelukan istrinya, dia mengambil keris pusaka yang diletakkan di atas meja. Sementara
petikan kecapi itu belum berhenti. Begitu juga dengan kidung menyayat hati yang diulang-ulang oleh
pelantunnya.

“Turun kau dari sana, pengacau!”

Rembulan muncul sebagian. Memberi sedikit cahaya ke bumi. Kesusra sudah berada di halaman
dalam kompleks kediamannya. Dia melihat bayangan di atas genteng bangunan pribadinya. Sesosok
bayangan dengan rambut berkibar. Jelas seorang perempuan. Dia mengenakan jubah yang melambai-
lambai diempas angin.

Rambutnya yang panjang memberi kesan angker.

Wajahnya! Kesusra sempat terhenyak ketika melihat wajah orang itu. Sangat kasar dan buruk.
Rupanya, ia mengenakan topeng kayu yang tak dibuat dengan cita rasa seni. Seperti asal jadi.

Orang misterius itu seperti sengaja tak mengabaikan teguran Kesusra. Dia tetap memainkan kecapinya
dengan santai. Sementara Kesusra menoleh ke kanan-kiri. Beberapa prajurit terlihat sudah menghunus
senjata mereka. Di atas rumput, belasan prajurit bergelimpangan bersimbah darah.

Takut juga hati Kesusra.

“Kau panggil Lowo Ijo dan Kolo Ireng!”

Seorang prajurit yang menerima perintah majikannya langsung menganggukkan kepala dan segera
berlari meninggalkan tempat itu. Tapi beberapa langkah saja, tubuhnya keburu limbung dan ambruk
ke atas rumput tanpa erangan.

Kesusra terbelalak. Dia melotot ke arah pemain kecapi di atas genteng yang masih memetik senar
kecapi itu tanpa jeda, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi meskipun sekejap. Mungkinkah dia yang
menyerang prajuritnya hingga tewas tanpa suara?

“Dia bukan manusia.”

Kesusra berbisik tanpa bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya bergetar saking takutnya. Tiba-tiba gerakan
kecapi itu terhenti sama sekali. Sosok misterius di atas genteng itu menoleh perlahan ke arah Kesusra
dengan gerakan yang sangat angker. Sekali sentak, tubuhnya melayang ke arah Kesusra.

Sang rakryan Medangkamulan itu merasa tanggung untuk melarikan diri. Dengan gerakan sea-danya,
dia mengacungkan kerisnya menyambut datangnya serangan. Cuma itu saja yang ia lakukan. Dalam
sekedip mata, pemain kecapi yang keji itu sudah melompat lagi ke arah jendela ruang pribadi Kesusra
yang di dalamnya kini tinggal Suminten seorang diri.

Sesaat, tubuh Kesusra berdiri kaku. Para prajurit yang masih tersisa membelalakkan mata mereka
dengan tubuh bergetar. Tubuh Kesusra berdiri tanpa kepala. Sesaat kemudian, tubuh mati itu roboh
telentang dengan darah berceceran.

Hampir bersamaan, dari ruang pribadi Kesusra, suara jeritan perempuan terdengar melolong melebihi
keributan pasar Medangkamulan sekali pun. Itu suara Suminten. Istri rakryan Medangkamulan itu
berdiri kaku dengan kedua tangannya mengatup mulut. Dua bola matanya seperti hendak keluar dari
ceruknya.

Sekejap kemudian, ia ambruk ke lantai, pingsan. Di hadapannya, persis benda bulat yang mencecerkan
cairan merah menggelinding. Itu kepala Kesusra, suaminya.

0oo0
“Setelah melewati hutan kecil di depan itu, kita akan sampai di wilayah Medangkamulan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi melangkah mantap. Samita yang men-
jejerinya menikmati betul perjalanan itu. Sesekali ia menoleh ke sana kemari. Menikmati cuit-cuit
suara burung yang begitu ramai.

Serbahijau di kanan-kiri jalan setapak itu menyedapkan mata.

Samita seperti kehilangan beban hidup. Udara adem yang menelusup ke dadanya menjadi anugerah
paling menggembirakan pagi itu.

“Mbok, apa Simbok tak ingin istirahat sebentar?”

“Nini lelah?”

Samita menggeleng dengan senyum yang cerah. “Badan ini memang sudah renta. Tapi, masih ada sisa
tenaga untuk melanjutkan perjalanan.”

Samita meraih bahu Rukmi. Mereka berjalan dengan obrolan akrab diselingi tawa kecil. Samita
menikmati betul perjalanan pagi itu. Wajahnya kelihatan segar setelah subuh sebelumnya mandi di
sungai pinggir hutan Demak.

Seperti terlahir kembali. Kehadiran Rukmi bagi Samita memunculkan keceriaan yang menggebu.
Samita merasa punya ibu. Sosok yang melimpahkan kasih sayang dan perlindungan. Menawarkan
pangkuannya setiap waktu untuk menyender. Juga siap setiap saat mendengarkan keluh kesah dan
menemani setiap air mata yang jatuh.

Kini, mereka masih saja telaten menyusuri jalan setapak yang menembus hutan perbatasan Demak dan

Medangkamulan itu. Menjelang siang, ketika keringat mulai meleleh di dahi dua perempuan itu,
Samita lagi-lagi menawarkan kepada Rukmi untuk istirahat. Kali ini, perempuan itu tak menolak.
Mereka pun memilih duduk di bawah pohon rindang dan membuka perbekalan.

Sambil berbincang, keduanya menenangkan perut yang mulai keroncongan dengan menelan pisang
besar berkulit kuning. Angin sepoi-sepoi siang itu, membuat nyaman tubuh dan mengundang rasa
kantuk. Samita menyenderkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi punggungnya di batang pohon besar itu sambil
memejamkan mata.

Bersama angin yang berhembus dari timur, terdengar alunan seruling yang merayu. Menambah rasa
kantuk yang sudah bertumpuk. Samita membuka matanya, lalu menoleh ke arah suara seruling tadi.

“Diakah? Tidak mungkin. Ini sudah dua tahun.”

“Siapa, Nini?”
“Mbok, peniup seruling itu membuatku penasaran. Kita temui dia.”

Tanpa membantah, Rukmi segera berkemas. Keduanya lalu berjalan setengah tergesa mengikuti
perasaan, menebak-nebak arah suara seruling yang mengundang rasa penasaran.

Tak berapa lama, keduanya berada di pinggir hutan dekat sebuah tebing yang sebelahnya menganga
jurang tanpa dasar. Sebuah pemandangan yang hampir tak masuk akal.

Tepat di bibir tebing itu berdiri sebuah pondok sederhana.

Kayu-kayu penyangganya tak halus dan terkesan seadanya.

Hanya berupa batang-batang pohon yang besar dan panjangnya sama.

Atapnya kajang yang sudah berumur. Dinding pondok itu terbuat dari anyaman bambu yang juga
sudah kelihatan tua.

Pandangan Samita lalu menyergap sesosok laki-laki yang duduk santai di atas batu di pinggir jurang.
Dia memainkan seruling dengan mata terpejam. Seorang pemuda dengan rambut terikat seperti ekor
kuda. Beberapa helai dibiarkan melambai di atas telinganya, membangun kesan romantis yang pekat.

Kulit wajahnya halus, tampak timpang dengan pakaian lusuh yang ia kenakan. Memainkan seruling
seperti melepaskan napas. Begitu penuh perasaan.

“Kau memenuhi janjimu untuk menunggunya?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita menghampiri pemuda itu. Sementara
Rukmi dimintanya untuk tetap di tempat karena tebing itu cukup berbahaya. Rukmi menatap Samita
keheranan. Perempuan tua itu memilih untuk mengikuti saja apa yang terjadi tanpa bertanya apa pun.

Permainan seruling itu berhenti. Si pemuda menoleh.

Wajahnya sontak berubah kesan. Matanya melebar, sementara mulutnya meluaskan senyum hingga
gigi-giginya yang putih terlihat jelas.

“Berapa nyawa yang kau punya, Hui Sing?”

“Tidakkah itu pertanyaan yang tak sopan, Windriya?”

Windriya terbahak memamerkan keceriaan bocah pada wajahnya yang polos. Ia bangkit lalu menjura
di depan Samita.

“Kabar yang tersiar, kau dipukul jatuh ke jurang oleh Dua Iblis Laut Kidul, Hui Sing.”

“Tapi, jiwaku ada di tangan Thian, bukan ditentukan oleh dua iblis itu.”

Keduanya tersenyum. Samita lalu memanggil Rukmi yang masih termangu di bawah pohon jati.
Mereka lalu beranjak ke pondok sederhana milik Windriya. Tuan rumah lalu menyuguhkan air kelapa
muda, langsung dari buahnya.

“Jadi, namamu kini Samita. Indah sekali.”

Samita sedikit saja bereaksi. Dia memang selalu begitu setiap menerima pujian dari siapa pun.
Sebelumnya, Samita menceritakan perjalanan panjangnya setelah terjatuh ke jurang karena dikeroyok
Dua Iblis Laut Kidul dan Kesusra.

Lengkap ia kisahkan pengalamannya terkurung selama dua tahun di tempat itu hingga berhasil
menemukan jalan keluar dengan mengikuti aliran sungai menuju Demak.

Samita juga menceritakan kisah pertemuannya dengan Rukmi dan keterlibatannya di rumah makan
Nawa Rawi.

Hanya, dia tak menyebut cerita Dewi Suciatma dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi lengkap. Apalagi kenyataan bahwa perempuan itu
adalah Putri Bre Wirabumi.

“Lalu, bagaimana dengan penantianmu?”

Air muka Windriya sedikit berubah. Tak lantas menjadi muram. Hanya dua alisnya sedikit terangkat.

“Aku masih menunggunya dan rasa-rasanya dia sudah muncul.”

Windriya mengatakannya tanpa beban. Seperti itulah Windriya sebenarnya. Sedikit tak peduli dan
seenaknya.

Seperti anak-anak. Hanya karena tersandung asmara hingga kepribadiannya sedikit berubah. Lebih
romantis dan doyan bermuram durja.

“Rasa-rasanya?” Samita tak puas dengan jawaban Windriya.

“Ya. Aku merasa dia sudah muncul, tapi tidak yakin.”

“Bagaimana bisa begitu?”

Windriya seperti sedang berpikir. Diam lalu mengangkat dagu.

“Kau tahu kabar Kesusra?”

Samita menggelengkan kepala.

“Dua hari lalu, pria bejat itu tewas dengan kepala putus.”

Mata Samita melebar tak percaya.

“Seseorang bertopeng datang seperti dewa pencabut nyawa. Kediaman Kesusra diobrak-abrik. Banyak
prajurit tewas mengerikan. Kesusra menemui ajalnya dengan kepala menggelinding.”

“Keji sekali!” Windriya menggaruk-garuk kepalanya.

“Bukankah dulu kau pun ingin menghukumnya, Samita?”

“Ya, tapi tidak dengan cara itu.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Orang bertopeng yang mengobrak-abrik kediaman Kesusra itu adalah orang sakti yang suka memetik
kecapi maut.”

Samita mereka-reka.

“Kau hendak menghubungkannya dengan suara kecapi yang kau dengar dari dasar jurang dua tahun
lalu, Windriya?”

Pemuda itu menganggukkan kepala.

“Kau pikir, orang yang membunuh Kesusra itu Ramya?”

“Karena itulah, aku katakan bahwa aku tak yakin.”

Samita diam. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Apa yang kau alami selama dua tahun berada di tempat ini, Windriya. Apakah kau pernah mendengar
suara kecapi itu?”

“Hanya sekali, ketika Ramya terjun ke jurang. Tidak pernah setelah itu.”

“Lalu, bagaimana kau tetap yakin bahwa pendengaranmu tak salah?”

Windriya menggerakkan lehernya sedikit sambil tersenyum badung.

“Aku selalu yakin dengan diriku. Kalau tidak, untuk apa aku diam saja di tempat ini menunggu Ramya
tanpa pergi ke mana-mana.”

Samita seperti baru saja disadarkan dari lamunan. Dia kembali mengagumi keteguhan hati Windriya
menunggu Ramya. Pemuda ini begini Jenaka dan masih sangat muda.

Pasti keinginannya untuk melanglang buana begitu kuat. Tapi demi sebuah penantian yang sangat ia
yakini, Windriya rela memupus semua keinginan itu.

“Lalu, apa rencanamu sekarang, Windriya?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pemuda itu menyentak dua tempurung lututnya
yang terlipat sambil nyengir.

“Aku masih punya waktu puluhan tahun untuk menunggunya. Tidak ada masalah. Asalkan aku merasa
dekat dengannya, waktu akan bergerak begitu cepat.”

“Itulah keluarbiasaan cinta.”

Rukmi yang sejak awal tak banyak bicara, tiba-tiba nyeletuk. Kontan Samita dan Windriya menoleh
ke arahnya sambil tersenyum. Rukmi mengangkat bahu sambil menenggak sisa air kelapa muda dari
bulir kelapa yang disungguhkan Windriya. Ikut-ikutan sableng.

Obrolan akrab terus mengalir. Kini mereka melepaskan beban hidup dengan membahas hal-hal lucu.
Windriya seperti menemukan dirinya yang sempat hilang. Cerita-cerita konyol kembali mengalir dari
bibirnya.

Rukmi dan Samita beberapa kali terpingkal-pingkal karenanya. Selama dua tahun, Windriya
menghabiskan waktu dengan kesendirian. Tidak ada teman untuk berbagi cerita lucu dan banyolan-
banyolan segar yang sudah menumpuk dan ingin segera dimuntahkan.

Malam itu, Samita dan Rukmi memutuskan untuk menginap di pondok sederhana Windriya. Selain
memang tubuh mereka terasa penat oleh perjalanan jauh, bertemu dengan Windriya memunculkan
keceriaan yang menyenangkan. Bahkan, Rukmi bisa sejenak melupakan rasa was-wasnya memikirkan
Putri Suciatma yang kini entah di mana.

Pagi harinya, ketika penat tubuh menguap tanpa bekas, Samita dan Rukmi pamitan. Tanpa raut muka
muram durja, Windriya melepas kepergian mereka berdua.

“Setelah aku menemukan Ramya, pasti kami akan mencarimu ke Majapahit.”

Samita mengangguk tanpa suara. Dalam hatinya menggores perih. Tapi, dia tak ingin
memperlihatkannya.

Semua orang punya cara sendiri menyikapi kecenderungan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi hatinya. Windriya termasuk orang yang tak suka
mengiba-iba.

Ia tetap yakin meskipun kemungkinan yang ada hanya sebesar lubang jarum.

Sinar matahari rata menembus dedaunan pohon-pohon hutan yang saling berhimpit ketika Samita dan
Rukmi meneruskan perjalanan mereka. Setelah mendengar kabar bahwa Kesusra sudah tewas,
keinginan Samita untuk mendatangi Kesusra dan membalas sakit hati Ramya sekaligus menantang
Dua Iblis Laut Kidul menjadi urung.

Tapi, tetap saja mereka harus memasuki Kota Medangkamulan karena tak ada jalan lain yang bisa
ditempuh dengan mudah untuk sampai ke Sumber-gurit. Menjelang sore, setelah sempat lebih dulu
beristirahat untuk mengisi perut dan melakukan sembahyang, Samita dan Rukmi sampai juga di
perbatasan Kota Medangkamulan.
Setelah melalui pemeriksaan prajurit jaga perbatasan, keduanya lalu meninggalkan batas kota.
Pemeriksaan di perbatasan sungguh ketat. Rupanya, setelah kematian Rakryan Medangkamulan
Kesusra, pengamanan dilakukan dua kali lipat lebih ketat dari biasanya.

Samita harus meyakinkan para prajurit jaga itu agar bisa diperbolehkan lewat. Rukmi pun ikut
menambah-nambahkan cerita yang memperkuat bualan mereka. Begitu diizinkan lewat, Samita dan
Rukmi segera meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang.

0oo0

Beberapa saat sebelum Samita dan Rukmi sampai di pintu gerbang Medangkamulan, dua ekor kuda
dipacu gila-gilaan oleh pengendaranya menjauh dari tempat itu. Suara lecutan terdengar keji.
Ringkikan dua kuda bernasib sial itu bisa saja berupa tangisan. Hanya karena bahasanya yang tak bisa
dipahami manusia, dua orang yang duduk terguncang-guncang di atas punggungnya tak akan mengerti.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tapi kali ini, kalau pun bahasa dua binatang
malang itu bisa dimengerti, tetap saja kedua penunggang kuda itu tak peduli. Sebab, mereka adalah
saudara seperguruan yang terkenal keji, Kolo Ireng dan Lowo Ijo. Pesilat golongan hitam yang
dijuluki Dua Iblis Laut Kidul itu rupanya ingin secepatnya meninggalkan Medangkamulan.

“Kau masih yakin orang bertopeng itu adalah Dewi Kecapi Maut, Adi Lowo Ijo?”

“Siapa lagi yang menguasai ilmu kecapi dan jurus Cakar Siluman di kolong langit ini kecuali iblis
betina itu, Kakang?”

Suara tapal kuda yang beradu dengan permukaan tanah terdengar begitu ribut. Berderap dan
meninggalkan debu yang mengepul pekat.

“Tapi, bukankah iblis betina itu seangkatan dengan guru?

Harusnya dia sudah menjadi nenek renta yang tak punya tenaga.”

“Kakang, apakah guru kita yang usianya sudah hampir satu abad itu kurang tenaga untuk menghabisi
kita dalam satu gebrakan?”

Kolo Ireng yang memang tak sepintar adik seperguruannya itu mengangguk-angguk. Hari itu,
keduanya hendak secepatnya meninggalkan Medangkamulan untuk menghindari maut. Kedatangan
orang misterius bersenjata kecapi itu membuat mereka ngeri.

Meskipun ilmu keduanya sangat tinggi dan beracun, munculnya nama Dewi Kecapi Maut membuat
hati mereka keder juga. Kolo Ireng memang sangat yakin bahwa orang yang melabrak kediaman
Kesusra, membunuh banyak prajurit, sekaligus mencabut nyawa Kesusra adalah Dewi Kecapi Maut.

Dari gurunya, Kolo Ireng sempat mendengar cerita bahwa di masa mudanya dulu, ada seorang
perempuan berilmu setan yang merajai dunia persilatan. Julukannya Dewi Kecapi Maut.

Meskipun sama-sama berhati iblis dan masuk golongan pesilat Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sesat, namun antara majikan Gua Tengkorak dan
Dewi Kecapi Maut tak pernah ada pertemanan.

Sebaliknya, mereka selalu bertemu dalam pertarungan maut. Beberapa kali Siluman Laut Kidul, guru
Lowo Ijo dan Kolo Ireng, kalah oleh perempuan berhati keji itu. Masuk akal kalau kemudian Lowo Ijo
bersegera mengajak kakak seperguruannya untuk hengkang dari Medangkamulan. Kalau guru mereka
saja tak mampu berbuat banyak menghadapi Dewi Kecapi Maut, bagaimana dengan mereka berdua?

“Lalu, mengapa nenek renta itu membuat kacau Medangkamulan? Apa hubungannya dengan
Kesusra?”

Kolo Ireng masih penasaran. Ia menoleh sungguh-sungguh ke arah Lowo Ijo tanpa kehilangan
keseimbangan ketika kudanya berlari kesetanan.

“Itu yang aku masih belum paham. Tapi, apa pun alasannya, kita tetap harus segera menghadap guru.”

Setelah mengangguk mantap, Kolo Ireng meluruskan pandangannya ke depan. Keduanya benar-benar
tak ingin membuang waktu meskipun sekejap. Mereka hanya butuh beberapa saat untuk melesat jauh
dari garis perbatasan Medangkamulan.

Tiba-tiba kedua kuda yang mereka tunggangi mengangkat kaki setinggi-tingginya sambil meringkik
dengan suara yang melengking. Sebatang pohon yang tak terlalu besar merintangi jalan setapak yang
hendak mereka lalui.

Setelah berhasil menenangkan kudanya masing-masing, Kolo Ireng dan Lowo Ijo saling pandang.
Suasana mendadak sepi. Ringkikan kuda terdengar sesekali. Kolo Ireng dan Lowo Ijo melihat ke
sekitar dengan pandangan menyelidik. Mata mereka memicing.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara khas yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Suara kecapi
yang dipetik penuh perasaan. Kuda kedua orang itu mulai gelisah ketika petikan kecapi semakin
menusuk perasaan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tertawalah dunia ketika manusia mencoba lari dari
kematian. Sedangkan tembok setebal apa pun, mustahil mampu menahan maut.

Menangislah manusia jika dia tahu kepengecutan adalah sebenar-benarnya kematian. Apa arti hidup
dalam seribu rasa takut.

“Keluar kau, nenek tua! Kau kira ilmumu yang cetek itu akan mampu melukai kami?!”

Lowo Ijo menutupi ketakutannya dengan sumpah serapah.

Suaranya menggema oleh tenaga dalam yang tinggi, membalas suara kecapi dan kidung yang juga
melengking mengerikan.
Kolo Ireng pun bersiap. Dia menggenggam erat tongkat ular sendoknya. Sama seperti Lowo Ijo yang
buru-buru menghunus pedang besarnya. Mengagetkan, dari balik rerimbunan pohon hutan meluncur
sesosok serbahitam yang langsung menyerang ke arah Kolo Ireng dan Lowo Ijo.

Dua Iblis Laut kidul itu langsung menyentakkan tubuhnya, melompat dari kuda menghindari serangan
kilat itu. Ringkikan kuda memecah udara sejadi-jadinya disusul suara berdebam karena dua binatang
naas itu roboh ke tanah. Di perut mereka menancap helaian dawai baja dari kecapi penyerang itu.

Penyerang misterius yang mengenakan jubah serba hitam itu kini berdiri tegak di hadapan Dua Iblis
Laut Kidul. Tangan kanannya menenteng kecapi yang sebagian dawainya menusuk perut kuda-kuda
tunggangan Kolo Ireng dan Lowo Ijo. Saat melakukan serangan sambil melompat dari atas pohon, si
jubah hitam bertopeng kayu itu langsung melesatkan dawai-dawai sekecil jarum ke arah Dua Iblis
Laut Kidul.

Hanya, karena dua orang itu buru-buru melompat, dua kuda itu yang jadi sasaran. Kini, orang
bertopeng kayu itu belum juga menghentakkan kecapinya untuk mencabut dawai-dawai yang telah
melayangkan nyawa dua kuda tunggangan itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepertinya, dia sedang menunggu sesuatu. Lowo
Ijo dan Kolo Ireng masih berjaga-jaga tanpa mau lebih dulu menyerang.

“Kau bukan Dewi Kecapi Maut!”

Teriakan lantang Lowo Ijo tak membuat orang bertopeng itu bergerak sedikit pun. Dia masih saja
menatap dua orang di depannya dengan tatapan angker.

“Kalau dia bukan Dewi Kecapi Maut, apa yang kita takutkan?”

Tanpa menunggu lagi, Kolo Ireng melompat dengan penuh percaya diri. Tongkat ular beracun di
tangannya seolah-olah sudah mencium bau darah. Melihat lawannya mulai menyerang, orang
bertopeng itu akhirnya menyentakkan kecapinya. Sekejap dawai-dawai panjang dan sangat halus itu
menyambut Kolo Ijo.

“Kakang Kolo, hati-hati!”

Meskipun sudah yakin bahwa penyerangnya bukanlah Dewi Kecapi Maut, Lowo Ijo tetap tak mau
gegabah.

Bagaimanapun, orang bertopeng yang jelas seorang perempuan ini berilmu tinggi. Sekilas, meskipun
wajahnya tak kelihatan, hampir bisa dipastikan usianya masih belia.

Badannya yang tegak dan kulitnya yang sesekali terlihat ketika kain lengannya tersingkap,
membuktikan bahwa dia masih muda. Sedangkan Dewi Kecapi Maut pastilah jika masih hidup usianya
sudah hampir seratus tahun. Tentunya selain bungkuk, kulit tubuhnya juga keriput.

Kini, Lowo Ijo mengira-ngira bahwa perempuan bertopeng kayu di hadapannya adalah murid Dewi
Kecapi.
Sementara Lowo Ijo berpikir keras, Kolo Ireng terus berupaya menembus pertahanan lawannya. Ia
menggerakkan tongkat ularnya ke segala arah. Namun, tanpa harus bergerak dari tempatnya berdiri,
perempuan bertopeng itu dengan mudah menghalau semua serangan Kolo Ireng.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa suara sama sekali, dia menggerakkan
kecapinya menutup semua ruang serangan yang bisa dimanfaatkan Kolo Ireng. Sementara dawai-
dawai kecapi yang lepas dari kuncinya terus memburu tubuh Kolo Ireng dan sewaktu-waktu bisa
menembus kulitnya.

Melihat perkembangan yang tak menyenangkan, Lowo Ijo memutuskan untuk masuk ke gelanggang.
Dia melompat ke sebelah kiri lawan mencoba membelah pikiran perempuan bertopeng itu. Benar saja,
kini perempuan bertopeng itu mulai menggerakkan kakinya yang dari tadi menghunjam bumi.

Ia memutar kecapi di tangannya sehingga dawai-dawai itu pun meliuk seperti belasan ular yang
hendak mematuk siapa saja yang hendak mengganggunya. Karena wujudnya yang sangat halus, sekilas
tak bisa tertangkap oleh pandangan mata. Karena tingkat ilmu kanuragan Kolo Ireng dan Lowo Ijo
sudah demikian tinggi, tak sulit bagi mereka untuk melihat pergerakan dawai-dawai penyebar maut
itu.

Namun, bisa melihat wujud dawai itu pun tak cukup karena kini seseorang berilmu seperti siluman
tengah memainkannya.

Perempuan bertopeng itu tampak sangat teguh menjaga jarak tempurnya sehingga tak mudah bagi
Lowo Ijo ataupun Kolo Ireng untuk mendekat dan memperlihatkan keunggulan senjata mereka.

Sekarang, gerakan perempuan itu semakin kilat, beberapa kali dia bersalto sambil menggerakkan
dawai-dawai kecapinya ke segala arah. Pada titik waktu tertentu, dia seperti sengaja membuang kecapi
itu dan mendorongnya dengan tenaga besar ke arah Kolo Ireng.

Kecapi itu berputar membentuk pusaran angin dan terus memburu tubuh Kolo Ireng. Pada saat yang
sama, dawai-dawainya juga ikut berputar dan benar-benar sangat berbahaya. Selagi kecapi itu
menyerbu Kolo Ireng, perempuan bertopeng itu melompat ke arah Lowo Ijo dengan dua telapak
tangan membentuk cakar.

“Kau benar murid Dewi Kecapi Maut!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa menjawab pertanyaan Lowo Ijo, perempuan
itu menyorongkan cakar kanannya. Menganggap gerakan itu terlalu gegabah, Lowo Ijo membabatkan
pedangnya dan membentur pergelangan tangan perempuan itu. Tapi aneh, justru Lowo Ijo merasakan
tangannya kesemutan.

Ternyata, pergelangan tangan perempuan aneh itu dilindungi semacam gelang besar yang menahan
pedangnya.

Rasa kaget itu membuat Lowo Ijo lengah, cakar kiri perempuan itu sontak mengincar lehernya. Lowo
Ijo segera memutar tubuhnya menghindar. Tak urung, kain lengannya sobek terkena cakar berbisa itu.

Kali ini lawannya tak meneruskan serangan. Sebaliknya, ia bergerak mundur mengejar kecapinya yang
segera berhenti berputar dan jatuh ke tanah. Terlambat sekejap saja, kecapi itu tentu jatuh ke tanah dan
robohlah wibawanya.

Pada saat yang tepat, perempuan bertopeng itu menangkap kecapinya sambil melancarkan serangan
cakar ke arah Kolo Ireng. Menyambut serangan itu, Kolo Ireng langsung mendorong tongkatnya.

“Segara Wisa!”

Lowo Ijo tak mau membuang kesempatan. Selagi perempuan itu menghadapi tongkat Kolo Ireng, dia
melompat dengan sepenuh tenaga pada kedua tapaknya. Dia tak lagi memegang pedang.

Sadar posisinya sangat tak menguntungkan, perempuan itu memutar tubuhnya. Bersamaan dengan
kecapi yang menghunjam ke tanah, kedua tapaknya menyambut serangan Kolo Ireng dan Lowo Ijo,

Waktu seperti berhenti. Ketiga orang yang tengah mengadu nyawa itu berdiri ngotot dalam posisi
masing-masing. Dua tangan perempuan bertopeng itu merentang.

Tangan kanannya menahan kepala tongkat Kolo Ireng, sedangkan tapak kirinya menahan tapak Lowo
Ijo.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Kolo Ireng dan Lowo Ijo tampak tegang.
Bulir-bulir keringat berjatuhan. Rupanya mereka sedang mengerahkan tenaga dalamnya habis-habisan.
Tiba-tiba perempuan bertopeng itu menarik tangannya, hingga Kolo Ireng dan Lowo Ijo terdorong ke
depan. Tapi sesaat saja, karena perempuan berilmu siluman itu kembali menghentakkan tapaknya
dengan kekuatan penuh.

Sontak Kolo Ireng dan Lowo Ijo terjungkal beberapa tombak. Mereka bergulingan di tanah, kalah adu
tenaga dengan perempuan bertopeng itu.

Sementara orang yang mereka keroyok berdiri santai dengan dua tangan menyatu di belakang
pinggangnya.

Perlahan, ia jongkok dan meraih kecapinya. Sikapnya sangat teliti ketika satu-satu dawai-dawai yang
tadi sengaja dilepas dari kuncinya, ia kembalikan ke tempatnya semula.

Tak satu pun dawai yang lepas lagi. Kini, benar-benar kecapi sempurna. Setenang danau mati,
perempuan itu lalu melangkah pelan mencari batu hitam di pinggir jalan. Duduk di sana, lalu mulai
memetik dawai kecapinya lagi.

Kali ini, Kolo Ireng dan Lowo Ijo yang masih berusaha mengendalikan aliran darahnya yang
menggejolak semakin keder. Bunyi kecapi itu kini dilambari tenaga dalam yang keji.

Mereka kemudian bergerak seperti hewan melata berusaha duduk dan bermeditasi.
Bunyi petikan kecapi itu semakin menjadi-jadi. Melengking menembus udara. Orang biasa bisa
langsung kehilangan pendengarannya jika berada di tempat itu. Kolo Ireng dan Lowo Ijo saja harus
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan serangan tenaga dalam itu.

Entah apa yang ada di kepala Kolo Ireng. Dia menuntaskan diamnya, lalu melompat dengan muka
pucat, menyerang perempuan bertopeng itu. Sementara tanpa mengubah sikapnya, perempuan
bertopeng pemetik kecapi itu seolah tak peduli terhadap bahaya yang mengancam.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hingga titik waktu terakhir, baru dia menancapkan
kecapinya ke tanah dan menyambut serangan Kolo Ireng dengan jemari membentuk cakar sempurna.
Seperti mendapat limpahan tenaga baru, Kolo Ireng menyerang sepenuh tenaga.

Jurus Segara Wisa dia terapkan sungguh-sungguh.

Pertempuran semakin sengit. Perempuan bertopeng itu juga tak bisa serta-merta merobohkan murid
tertua Majikan Gua Tengkorak itu. Beberapa kali cakarnya menerpa ruang kosong. Begitu juga dengan
tapak Kolo Ireng yang juga belum mampu mengenai sasaran.

Lewat belasan jurus, belum diketahui siapa yang akan menang. Perempuan bertopeng itu sengaja
mengulur waktu.

Menikmati pancaran mata takut lawannya. Dalam adu tenaga dalam tadi sudah ketahuan bahwa dia
unggul. Sekarang, dia terkesan sekadar ingin bermain-main.

“Suatu saat, aku akan membalaskan dendammu, Kakang!”

Suara Lowo Ijo sudah pasti tak terdengar oleh Kolo Ireng.

Dia mengatakannya tanpa tenaga. Setengah berbisik malah.

Lalu, perlahan dia beringsut bangkit dan melangkah pelan penuh hati-hati meninggalkan tempat itu.
Setelah itu, dia lari sekencang-kencangnya.

Sementara Kolo Ireng mulai merasakan tenaganya merosot. Dia semakin tak mampu menembus
pertahanan tangan lawannya yang kini seolah punya puluhan lengan.

Setiap serangannya mampu dipatahkan lawan dengan mudah.

Perempuan bertopeng yang sudah sadar bahwa Lowo Ijo melarikan diri, mempercepat gerakannya.

Seperti harimau mengamuk, dua lengannya mengincar perut Kolo Ireng. Sementara kakinya pun tak
diam, terus menyerang kaki Kolo Ireng yang semakin meninggalkan kuda-kuda sempurna.

“Aaaarrrrgh!”

Sebuah gerakan kilat menuntaskan perlawanan Kolo Ireng.


Cakar kiri perempuan bertopeng itu tiba-tiba menyeruak ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi atas dan menancap di dahi Kolo Ireng. Berikutnya,
kuku-kuku tajam itu diseret terus ke bawah meninggalkan lima garis luka di wajah Kolo Ireng hingga
ke leher.

Murid utama Majikan Gua Tengkorang itu langsung roboh ke tanah dengan darah hitam muncrat dari
mulutnya. Cakar Siluman telah menebarkan racun dengan kilat ke seluruh tubuhnya dan mencabut
nyawanya.

Kini, perempuan bertopeng itu berdiri kaku di dekat mayat Kolo Ireng. Beberapa saat ia tertegun,
seperti menikmati wajah rusak Kolo Ireng yang nyaris tak berwujud. Ia lalu berjalan santai ke arah
kecapinya. Setelah memungutnya kembali, dia langsung melompat ke arah yang sama dengan arah lari
Lowo Ijo.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 11. Pertemuan Tak sempurna

Tak terlalu jauh dari tempat pertempuran Dua Iblis Laut Kidul dengan perempuan aneh pemetik
kecapi maut, di atas padang rumput yang luas dan hijau, puluhan kemah berbendera Majapahit berdiri
tegak.

Ratusan prajurit berseragam lengkap siap siaga membentuk lingkaran pelindung. Kuda-kuda yang
jumlahnya tak lagi terhitung ditambat berjejer di bagian belakang perkemahan.

Di bagian depan lingkaran prajurit itu, tiba-tiba muncul keributan. Para prajurit menghunus pedangnya
seperti kedatangan orang berbahaya.

“Saya abdi Rakryan Kesusra. Izinkan saya bertemu dengan Rakryan Rangga. Saya harus bertemu
dengan Gusti Respati!”

Rupanya, Lowo Ijo yang membuat onar. Begitu meninggalkan Kolo Ireng yang sedang mengadu
nyawa dengan pewaris Dewi Kecapi Maut itu, Lowo Ijo berlari kesetanan ke arah Timur. Tak
disangka, dia menemukan rombongan Rakryan Rangga Respati yang tengah beristirahat di padang
rumput di luar Kota Medangkamulan. Ia yakin bahwa pasukan besar itu dipimpin oleh Sad Respati
setelah mendengar kabar keberangkatan pasukan Rakryan Rangga dari Demak.

Begitu melihat jumlah pasukan yang begitu besar dan berkibarnya panji-panji kebesaran Majapahit di
antara perkemahan itu, yakinlah Lowo Ijo bahwa pemimpin pasukan besar ini adalah Rakryan Rangga
Sad Respati yang kondang sakti mandraguna.

Dia pun berbesar harapan untuk bisa benar-benar selamat dari kejaran perempuan iblis itu. Jika
Respati mau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi memandang bahwa Lowo Ijo pernah mengabdi
pada Kesusra, pastilah masalah itu selesai. Kesaktian Sad Respati sudah begitu masyhur. Ditambah
dengan jumlah prajurit yang ratusan menjadi jaminan keselamatan jiwanya.
Sesakti-saktinya perempuan bertopeng itu, ia pasti berpikir dua kaii untuk melawan pasukan yang
begitu banyak, begitu pikirnya. Tak heran jika Lowo Ijo nekat menerobos pasukan dan bersikeras
untuk bertemu dengan Respati.

“Biarkan dia!”

Sesosok gagah keluar dari salah satu kemah yang berukuran paling besar. Dia mengenakan
perlengkapan prajurit yang menambah dahsyat wibawa yang memancar dari matanya. Tubuhnya tegap
dengan otot yang mencolok pada lengan dan kakinya.

“Gusti Respati, saya Lowo Ijo, pengawal setia mendiang Rakryan Kesusra. Mohon perlindungan
Gusti!”

Respati tak langsung bereaksi. Dua tangannya menyatu di belakang pinggang. Tatap matanya
menghunjam pada Lowo Ijo yang kini tersungkur sambil menyembah.

“Bukankah kau salah satu dari Dua Iblis Laut Kidul?”

Perlahan, Lowo Ijo mengangkat mukanya yang sedari tadi menunduk. Hanya sesaat dia berani
bertatapan dengan sorot mata Respati. Segera setelah itu, dia menundukkan kembali kepalanya sambil
mengangguk.

“Bukankah murid Majikan Gua Tengkorak terkenal berilmu kanuragan tinggi?”

“Gusti, orang yang membunuh Rakryan Kesusra adalah penerus Dewi Kecapi Maut yang sangat sakti.
Dia terus mengejar hamba dan kakak seperguruan hamba hingga keluar Medangkamulan.”

“Lalu, kau lari terbirit-birit seperti pengecut? Apa kau tak khawatir tindakanmu ini akan menginjak-
injak nama besar gurumu?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lowo Ijo tak menjawab. Tubuhnya bergetar
menahan malu dan rasa terhina. Tapi saat ini, ia benar-benar tak punya pilihan sehingga memilih
untuk tetap diam. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi petikan kecapi dari kejauhan.

“Itu dia, Gusti! Pasti dia sudah membunuh kakak seperguruan saya.”

Tanpa diingatkan oleh Lowo Ijo pun, Respati langsung menoleh ke arah datangnya suara kecapi itu.
Pandangannya memicing. Suara kecapi itu semakin nyata dan nyaring.

Kini, para prajurit yang membentuk benteng melingkar di seputar perkemahan, mulai terganggu
dengan suara itu.

Mereka menutup telinga, mengurangi rasa menyayat yang timbul dari suara kecapi itu. Melihat
gelagat yang pasti akan semakin memburuk, Respati memutuskan untuk memburu asal suara itu,
setelah memaksa Lowo Ijo menyertainya.

Respati dan Lowo Ijo harus berlompatan di dahan-dahan pohon sebelum akhirnya menemukan
perempuan bertopeng itu. Orang misterius itu tengah santai memetik dawai kecapi di salah satu dahan
pohon besar di pinggir hutan yang berbatasan langsung dengan padang rumput tempat rombongan
prajurit Majapahit beristirahat. Kini, Sad Respati berdiri gagah di bawah pohon tempat perempuan itu
memetik kecapi. Di belakangnya, Lowo Ijo berdiri dengan was-was.

“Maaf jika tak sopan. Saya Sad Respati. Mohon kepada Pendekar untuk menghentikan suara kecapi.
Sebagian besar anggota rombongan yang saya pimpin berkemampuan sekadarnya. Tak akan mampu
menahan suara kecapi Pendekar.”

Tidak ada jawaban.

Tinggg!

Itu bunyi terakhir kecapi yang dipetik perempuan aneh itu.

Ia meluluskan permintaan Respati. Perlahan kepalanya bergerak. Bola matanya yang tampak aneh,
menyorot dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi balik lubang topeng kayu buruk itu menatap tajam
ke arah Lowo Ijo. Penuh dendam.

“Jika ada masalah, alangkah lebih baik kita bicarakan.”

Respati menganggap keputusan perempuan itu menghentikan permainan kecapinya sebagai permulaan
yang baik. Ia pun menawarkan sebuah pembicaraan untuk berdamai. Tapi, Respati salah sangka kali
ini. Ternyata, perempuan itu menghentikan permainan kecapinya karena memang dia punya rencana
lain.

Ia akan menyergap Lowo Ijo. Serta-merta tubuhnya melayang, bersalto di udara hendak melewati
Respati untuk memburu Lowo Ijo.

“Sangat menyesal, Lowo Ijo ada dalam perlindungan saya, Pendekar!”

Sambil mengatakan itu, Respati mencabut keris Angga Cuwiri dan mendorong tubuh Lowo Ijo ke
pinggir. Keris unik dengan panjang bilahnya tak kalah dengan pedang itu, kini menyambut serangan
perempuan berilmu siluman itu. Tanda bahwa Respati benar-benar tak memandang enteng lawannya.

Meskipun awalnya tak peduli dengan kehadiran Respati, perempuan bertopeng itu akhirnya mau tak
mau harus menghadapinya. Dia pun meluncurkan kecapi kayunya menghadang keris Angga Cuwiri.
Dibuat dari logam khusus yang konon jatuh dari langit, keris Angga Cuwiri sangatlah dahsyat. Batu
karang pun hancur dengan sekali tebas. Namun kali ini, ketika menghantam badan kecapi kayu itu,
keris itu seperti tak mampu mengeluarkan seluruh dayanya.

Merasa penasaran, Respati memutar kerisnya dan mulai menyerang bagian bawah lawannya. Dia kini
sadar betul tenaga dalam lawannya benar-benar luar biasa dan sangat berbisa sehingga dia memilih
sangat berhati-hati.

“Datasawala!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati salto ke belakang menghindari cakar
perempuan aneh itu yang sekonyong-konyong menyergapnya. Gerakan itu mengawali inti kedua dari
empat jurus inti Hanacaraka.

“Da. Dumadining dzat kang tanpa winangenan, menerima hidup apa adanya!” Sontak tubuh Respati
berputar, lalu melompat dengan arah serangan yang tak terduga.

Lengannya seolah menjadi banyak. Keris Angga Cuwiri di tangannya menjadi benteng yang tak
tertembus oleh cakar beracun itu. Pamor birunya berkelebat ke segala penjuru.

“Ta. Tatas, tutus, titis, titi ian wibawa. Mendasar, sekuat tenaga, satu pikiran, teliti memandang
hidup!”

Kini, ujung keris Angga Cuwiri merangsek ke depan.

Perempuan bertopeng itu buru-buru menghindar ke belakang dengan langkah mundur yang sangat
cepat. Sementara waktu, dia dibuat linglung oleh jurus Hanacaraka yang susah ditebak dan tiba-tiba.
Lowo Ijo yang menyaksikan pertarungan itu dari pinggir, lega bukan main. Ternyata, kabar bahwa
rakryan rangga Majapahit itu memiliki kemampuan tinggi, bukan kabar bohong. Lowo Ijo merasa tak
perlu khawatir lagi.

“Sa. Sifat ingsun handuiu sifat Gusti. Membentuk kasih sayang seperti kasih Gusti!”

Jurus yang diterapkan Respati sama sekali bukan jurus yang kejam. Sebaliknya, sama dengan makna
rapalannya yang begitu welas asih, jurus itu pun penuh budi pekerti dan tak sekadar memburu lawan
hingga mati.

“Wa. Wujud hana tan kena kinira. Ilmu manusia sangat terbatas, penerapannya sungguh tanpa batas!”

Setelah terus-menerus terdesak mundur, perempuan bertopeng itu akhirnya bisa lolos dari kepungan
jurus Hanacaraka. Sementara tangan kanannya menyorongkan kecapi ke sana kemari menghadang
keris Angga Cuwiri, lengan kiri perempuan itu bergerak liar menyebar maut lewat cakaran.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

” La. Lir handaya paseban jati. MengaIirkan hidup semata pada tuntunan Gusti!”

Ini jurus pelepas tenaga dalam yang sangat dahsyat.

Respati melakukan gerakan menebas sambil melepaskan tenaga dalamnya yang hebat. Kekuatan besar
seperti angin ribut menerpa perempuan bertopeng itu. Tubuhnya terdorong ke belakang dengan hebat.
Begitu juga dengan segala yang ada di sekitar tempat itu.

Dahan-dahan patah. Dedaunan ikut terhempas. Bahkan, satu pohon yang tak terlalu besar, tumbang
berdebam.
Namun, Respati harus menarik keyakinannya bahwa jurus itu cukup ampuh untuk membuat lawannya
roboh. Setelah sempat terdorong ke belakang, perempuan bertopeng itu kembali melompat
menyerang.

Meskipun terbelalak, Respati bersiap untuk menahan serangan lanjutan perempuan iblis itu, yang kali
ini pasti lebih dahsyat.

Wuuut!

Suara bersuit disusul angin dingin yang berdesing, memapak jarak tempur antara Respati dan
perempuan berilmu tinggi itu. Benda menyilaukan yang meliuk laksana ular ikut campur dan langsung
menahan serangan perempuan bertopeng.

Benda berkilau perak itu adalah sabuk perak, senjata andalan Samita yang sudah lama tak beraksi.
Tubuh Samita bergerak tak kalah cepat. Tangannya segera menyentak ujung sabuk hingga membentuk
pusaran.

Benturan tenaga dalam yang dahsyat. Kali ini, sebatang pohon besar tumbang dengan suara yang
sangat berisik. Tak terhitung dahan-dahan pohon yang patah. Dua orang perempuan berkemampuan
luar biasa itu kini berdiri saling berhadapan. Meskipun akibat benturan tenaga dalam itu demikian
dahsyat, keduanya seperti tak terpengaruh sama sekali.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dari balik topengnya yang buruk, perempuan
misterius itu menatap Samita dengan saksama. Seperti terpana tanpa suara. Samita pun mulai
menduga-duga dengan membaca bahasa tubuh perempuan di depannya. Namun, tak satu kata pun yang
ia keluarkan.

Tanpa basa-basi dan alasan pasti, perempuan aneh itu langsung balik kanan dan melompat cepat,
menghilang di balik pepohonan. Seperti enggan berhadapan dengan Samita.

Atau, justru tidak ingin sama sekali bertemu dengan murid Laksamana Cheng Ho itu.

“Hui Sing! Apa kabar?”

Perlahan, Samita membalikkan badannya dengan jantung berdebar. Rasanya, seluruh darahnya
bergejolak. Bahkan, dia merasa tubuhnya lemas tak bertenaga. Namun, ia segera memupus
kecenderungan hati yang melemahkan itu. Dia menatap Respati dengan senyum lebar.

“Hormat saya, Rakryan Rangga Sad Respati!”

“Mengapa begitu sungkan? Bukankah kita ini teman?”

Samita mengangguk pelan tanpa membuang senyumnya.

Sejenak Respati seperti tersihir. Dua tahun waktu yang cukup lama rupanya. Dia melihat sosok Hui
Sing menjelma menjadi seorang perempuan yang sangat matang. Tatapan matanya masih berbinar bak
bintang, seperti dulu. Namun, kini ada sinar kedewasaan pada sinar cemerlang itu.
Begitu juga dengan bahasa tubuhnya yang lebih teratur.

Tak lagi seenaknya setengah manja seperti gadis remaja yang dulu sempat ia kenal. Kecantikan gadis
cerdas itu juga makin sempurna. Pipinya masih merah seperti dulu. Rambutnya pun terurai indah dan
halus berkilau.

“Ilmu kanuraganmu semakin sempurna, Hui Sing!”

“Jurus Hanacaraka Kakang juga semakin hebat!” Dua orang sahabat lama itu saling memberikan
senyum terbaik mereka. Respati mempersilakan Samita untuk datang ke perkemahannya. Namun,
gadis itu justru minta izin untuk lebih Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dulu menjemput Rukmi, perempuan tua yang oleh
Samita dilukiskan sebagai teman perjalanan yang menyenangkan.

Samita memang meninggalkan Rukmi di belakang begitu mendengar suara kecapi yang sangat
membuatnya penasaran. Tentu saja keterangan Windriya beberapa hari lalu membuatnya penasaran,
ingin tahu siapa pemetik kecapi itu.

Apalagi setelah dia menemukan mayat Kolo Ireng dan tempat yang porak-poranda bekas pertempuran
dahsyat.

Karena Rukmi tak memiliki kemampuan untuk berlari cepat, akhirnya Samita meninggalkannya untuk
mengejar suara kecapi itu. Setelah menyimak cerita Samita, Respati menyuruh salah seorang
prajuritnya untuk meminjami Samita seekor kuda, agar bisa lebih cepat menjemput Rukmi dan segera
kembali ke perkemahan.

Sementara itu, Lowo Ijo yang mengenali senjata khas Samita langsung kabur karena yakin keadaan
sama sekali tidak akan menguntungkannya. Dia masih ingat bagaimana bersama Kolo Ireng dan
Kesusra, dia mengeroyok Samita hingga jatuh ke jurang, dua tahun lalu.

Karena itu, di saat Samita bertempur dengan perempuan pemetik kecapi itu, Lowo Ijo kabur.

0o0

“Bukankah dia pemimpin prajurit yang hendak menangkap putri, Nini?”

“Yah. Dia juga teman baikku, Mbok. Percayalah, dia bukan orang jahat. Aku sedikit penasaran, kenapa
dia memimpin pasukannya kembali ke Majapahit, seolah-olah tugasnya sudah selesai!”

“Maksud Nini, Putri Suciatma tertangkap?”

“Itulah kenapa kita harus ke sana untuk mencari tahu.”

Rukmi tak membantah lagi ketika Samita mengajaknya menaiki kuda pinjaman prajurit Majapahit itu.
Kuda itu segera berlari kencang menuju perkemahan prajurit Majapahit.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sampai di padang rumput itu, suasana hangat
menyambut Samita dan Rukmi. Para prajurit mempersilakan mereka memasuki wilayah perkemahan.
Respati menyambut langsung kedatangan mereka dengan senyum yang mengembang.

“Jadi, ini teman perjalanan yang sangat menyenangkan itu?”

Respati memberi hormat kepada Rukmi. Tentu saja wanita tua itu menjadi kikuk. Selain merasa
berderajat jauh di bawah Respati, dia tetap ingat bahwa sebagai abdi Blambangan, prajurit Majapahit
adalah lawan sehingga dia bingung harus bersikap bagaimana.

Untungnya, kekakuan itu tak berumur panjang. Samita dan Rukmi segera dipersilakan menuju salah
satu kemah utama yang ada di bagian paling depan barisan kemah-kemah dari kulit kambing yang
dijahit itu. Berbagai hidangan lezat segera terhampar di atas meja. Siap disantap.

“Samita. Nama yang sangat cantik!”

Samita pura-pura tak memperhatikan kesan wajah Respati.

Gadis itu mengambil sepotong daging ayam dan mulai melahapnya. Sebelumnya, dia memang
menerangkan bahwa namanya kini sudah berganti menjadi Samita. Sementara wajah Respati sejenak
seperti berubah warna. Mana mungkin dia lupa bahwa gadis itu mendengar kata Samita pertama kali
dari mulutnya.

“Belum ada sebulan lalu, Tuan Ho datang ke Majapahit.”

“Guru.”

Samita menghentikan makan besarnya. Rasa trenyuh setiap mendengar nama gurunya, mengusir rasa
lapar yang tadi sempat menghebat. Sementara Rukmi yang cuma makan sedikit-sedikit tak berani
menyela.

“Tuan Ho menanyakan dirimu. Beliau mengatakan bahwa dua tahun lalu kau memisahkan diri dari
armada Ming dan kembali ke Majapahit.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dua pipi Samita memerah. Tentu Respati mulai
menduga-duga alasan kenapa dia nekat turun dari kapal pusaka dan bersikeras untuk kembali ke
Majapahit.

“Kami semua khawatir tentang dirimu, Samita. Ajaib, hari ini aku justru bertemu denganmu di sini.”

Samita tak menjawab. Kesan sendu masih ada di wajahnya.

“Apakah guru baik-baik saja?”

“Terus terang, ketika mendengar bahwa tidak ada kabar tentangmu di Majapahit, Tuan Ho terlihat
sangat khawatir.
Bahkan, dia menyuruh beberapa anak buahnya untuk mencarimu.”

Tak ada suara. Samita merasa kehilangan tenaga.

“Dua tahun lagi, Tuan Ho berjanji untuk kembali ke Majapahit. Sebelum kembali ke Pelabuhan
Surabaya, Tuan Ho sempat berpesan kepadaku agar menyimpan kabar apa saja tentangmu.”

Samita masih tak bersuara.

“Sudahlah. Kau pasti akan menemui gurumu dua tahun lagi!”

“Yah, Kakang benar. Banyak hal yang akan aku lakukan di Jawa Dwipa. Pasti waktu akan berlalu
tanpa terasa.”

Samita mencoba menghibur diri. Dia lalu mengajak Rukmi dan Respati untuk meneruskan makan.
Namun, pandangan mata Respati sempat menangkap setitik air mata yang jatuh dari kelopak mata
Samita. Gadis di hadapannya seolah sedang menahan beban duka yang sangat mendalam.

“Bagaimana dengan Anindita, Kakang? Kalian sudah mempunyai anak berapa?”

Wajah Respati langsung sumringah. Dia menceritakan bahwa setelah kepergian Samita dua tahun lalu,
ia dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita melangsungkan pernikahan. Meskipun
belum juga dikarunai putra, keduanya hidup tenang tanpa gejolak.

Samita tersenyum. Setelah mengucapkan selamat, ia tak banyak mengucap kata. Ada aura lain pada
matanya. Respati paling pandai mengetahui isi hati seseorang lewat pandangan matanya. Ia
menangkap kesan itu di mata Samita. Kini, ia pun menebak-nebak apa yang terjadi dengan hati gadis
itu.

Hari menjelang petang ketika terdengar keributan di antara prajurit jaga. Bunyi pedang beradu begitu
ribut. Samita dan Rukmi segera terbangun. Setelah berbicara banyak hal dengan Respati, keduanya
dipersilakan beristirahat oleh rakryan rangga itu.

Sementara Respati keluar kemah, Samita dan Rukmi me-ngaso di dalam kemah. Namun, begitu ada
suara ribut-ribut, keduanya langsung terjaga dan bergegas keluar kemah untuk melihat keadaan.

Di luar, bunyi pertempuran sudah reda. Seorang pemuda berbadan besar dengan pakaian compang-
camping tersungkur bertumpu pada dua tempurung siku kakinya. Ia bersikeras mengangkat wajahnya,
meskipun beberapa kali para prajurit menginjakkan kaki mereka agar pemuda itu menundukkan
kepala.

Mulutnya menyeringai dengan mata merah menyala.

Respati berdiri gagah di depannya. Ia memandang lelaki itu dengan tatapan menghunjam.

“Berani sekali mengacau di sini! Di Nawa Rawi, kau kuberi kesempatan hidup. Tapi kini berani
berulah.”
Pemuda itu tak menjawab. Dia malah membuang ludah dengan garang. Sontak beberapa prajurit
menyorongkan pedang dan tombak ke lehernya. “Baskara!”

Samita berlari mendekat sambil menatap tak percaya.

“Mohon rakryan rangga berbuat bijak. Pemuda ini teman hamba. Dia mungkin kurang sopan, tapi dia
tidak bermaksud jahat!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Memandang Samita, Respati menyuruh para
prajurit untuk melepaskan Baskara. Pemuda itu langsung bangkit tanpa mengubah kesan wajahnya.
Samita menghampirinya, disusul Rukmi yang tak mau ketinggalan.

“Kenapa kau berbuat begini nekat, Baskara?”

Samita memandang cemas. Rukmi lebih-lebih. Perempuan tua itu memeriksa luka goresan pedang
yang rata di tubuh pemuda itu.

“Untuk menyelamatkan putri, apa pun akan kulakukan!”

Mata Samita melebar. Dia lalu memandang Respati dengan tatapan selidik.

“Maksudmu, Putri Suciatma ada di tempat ini?”

Giliran Baskara yang menatap Samita dengan heran.

“Kau tidak tahu, Samita?”

Samita menggeleng, lalu menatap Rukmi yang wajahnya kini sudah pucat pasi.

“Kau sudah berjanji untuk tak melukai orang-orangku!”

Teriakan lantang dari pinggir laga, memaksa semua orang menoleh. Di sana, berdiri seorang
perempuan muda yang memiliki aura ningrat sangat pekat di wajahnya. Rukmi yang berdiri di sebelah
Samita menatap tak percaya. Matanya membelalak, tubuhnya bergetar. “Putri ….”

Respati langsung menghormat, lalu memberi ruang untuk Suciatma yang berjalan dengan agung
mendekati kericuhan itu.

“Aku sudah mengikuti keinginanmu, kenapa kau ingkar janji?”

“Sama sekali tidak, Putri. Pemuda ini tiba-tiba datang dan mengamuk. Tentu saja para prajurit harus
mengamankan keadaan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati mencoba memberikan pemahaman kepada
Suciatma yang menatapnya dingin. Putri Wirabumi itu lalu menatap Baskara, Rukmi, dan Samita
bergantian. Ada haru di matanya. Apalagi ketika pandangannya bertemu dengan mata Rukmi yang
berkaca-kaca.

Tapi, ia langsung menepis rasa hatinya yang haru biru.

“Mbok Rukmi dan kau, Baskara, kita berpisah di sini. Aku akan menemui Raja Majapahit. Kalian
mulailah kehidupan yang baru.”

“Putri ….”

Tak ada kata-kata lain keluar dari bibir Rukmi. Hanya air matanya yang membanjir menggantikan
seluruh kata-kata yang ia punya. Sementara Baskara masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia
menatap Suciatma dengan penuh tanda tanya.

“Putri menyerah?”

“Demi membelaku, begitu banyak nyawa orang tak bersalah melayang. Jika aku masih mementingkan
diriku sendiri, entah berapa banyak lagi orang yang mati.”

“Putri!”

“Kau berani menentangku, Baskara?”

Baskara langsung terdiam. Kepalanya menunduk.

“Bahkan Sudarga tewas dan aku tak bisa berbuat apa-apa.”

Baskara kembali mengangkat kepalanya. Matanya membelalak.

“Siapa yang membunuhnya? Izinkan saya membalas dendam, Putri!”

Suciatma tersenyum dingin. Pandangan matanya pun sama sekali tak menyiratkan kehangatan.

“Aku yang membunuhnya.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Baskara, Rukmi, dan Samita kaget bukan main.

“Kalau saja aku tak memaksanya ikut dalam pemberontakan ini, dia tak akan terbunuh!”

“Putri, saya mohon jangan berkata seperti itu.”

Rukmi akhirnya membuka mulutnya, berbicara lantang.

Ada isak dalam kalimat yang ia ucapkan.

“Aku tak mau berdebat lagi. Cepat tinggalkan tempat ini.

Mulailah hidup yang lebih baik.”


Seolah tak peduli, Suciatma lalu membalikkan tubuhnya dan berlalu dari tempat itu. Respati
menyuruh para prajurit untuk membuka ruang supaya Baskara bisa leluasa pergi dari tempat itu.
Tanpa berkata lagi, Baskara langsung membalikkan badannya dan berjalan tegap menjauh dari padang
rumput itu. Bahkan, dia tak sempat lagi berbasa-basi dengan Rukmi atau pun Samita.

“Saya ambil perbekalan dulu. Saya juga pergi.”

Tanpa menunggu persetujuan Samita, Rukmi berlari kecil menuju kemah tempat ia meninggalkan
bakul perbekalan.

Samita sekilas menatap Respati, sebelum ia juga bergegas menyusul langkah Rukmi.

“Kau hendak meninggalkan perkemahan, Samita?”

Respati sudah berdiri di depan kemah tempat Samita tadi sempat beristirahat. Samita dan Rukmi baru
saja keluar dari kemah dan tampak sudah siap untuk meneruskan perjalanan.

“Bukankah sudah aku katakan, Mbok Rukmi adalah teman perjalanan yang menyenangkan. Jika harus
memilih, tentu saja aku memilih Mbok Rukmi.”

Samita tersenyum seperti tak terjadi apa-apa. Sementara Rukmi sibuk mengikat bakul perbekalannya
dengan kain panjang dan memasangnya di punggung rentanya yang mulai bungkuk.

“Tapi, bukankah kau juga akan ke Majapahit?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Yah, tapi aku lebih menikmati perjalanan yang membuatku senang.”

“Berjanjilah, sesampainya di Majapahit, kau akan bertamu ke griya rakryan rangga!”

“Akan aku usahakan, Kakang.”

“Paling tidak, ambillah dua ekor kuda agar perjalanan kalian lebih cepat.”

Samita menggeleng sambil tersenyum. Setelah menghormat, Samita dan Rukmi lantas berjalan
menuju kerumunan prajurit jaga. Tak butuh waktu lama, mereka sudah meninggalkan perkemahan,
berjalan menuju jalan setapak ke arah Sumbergurit.

Respati tak melepas pandangannya dari sosok Samita hingga bayangan gadis itu semakin mengecil
dan menghilang di belokan bukit yang hijau.

Sementara itu, dalam perjalanan kali ini, Rukmi merasa kurang bersemangat. Langkahnya tak
semantap sebelumnya.

Samita yang mengerti beban batin perempuan itu berusaha mengimbanginya.


“Kenapa sedih, Mbok? Bukankah Mbok Rukmi yakin, Putri Suciatma akan hidup bahagia? Barangkali
kejadian hari ini menjadi jalan baginya menuju kebahagiaan itu.”

Samita dan Rukmi tengah beristirahat di sebuah dangau pinggir sawah yang tak lagi diolah. Lepas
petang, Samita masih mengenakan penutup kepala sehabis melakukan sembahyang. Kini, dua
perempuan berbeda generasi itu duduk santai menikmati suara alam.

“Saya masih yakin bahwa Putri Suciatma tengah menjemput kebahagiaannya. Hanya, rasanya sangat
sulit untuk menerima kenyataan harus berpisah dengannya. Sejak kecil, saya mengasuhnya. Seluruh
hidup saya abdikan kepada putri.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita mengulurkan lengannya. Ia peluk
perempuan tua yang mulai menangis itu. Meskipun tergolong perempuan berhati baja dan tahan
menderita, Rukmi tak sanggup menahan rasa sedihnya setiap mengingat Suciatma. Kini, tubuhnya
terguncang-guncang di pelukan Samita. Sementara suara alam semakin meraja. Kelepak kelelawar,
nyanyian kodok, dan jangkrik bersahut-sahutan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 12. Batas Sebuah Dendam

Keraton Majapahit gebyar. Sisa-sisa kebesaran masa lalu masih terlihat pada bangunan megah
kompleks keluarga raja.

Tembok tinggi yang mengelilingi keraton menandakan keteguhan dan kehebatan sejarah.

Pepohonan rindang menelan kesan angkuh patung-patung batu yang tersebar di penjuru keraton. Serba
hijau, membangun suasana teduh dan tenteram. Kelompok-kelompok dayang acap kali berseliweran
menjinjing aneka barang. Prajurit-prajurit terbaik berjaga-jaga penuh waspada.

Sungguh pagi yang cerah. Di kamar raja, Wikramawardhana tengah menatap penuh rasa ke arah
Permaisuri Kusumawardhani yang duduk anggun di depan cermin besar.

Perempuan agung itu pelan menyisir rambut panjangnya yang dihias melati. Pakaian serbagemerlap
membungkus tubuhnya yang mewarisi darah ningrat dan kebesaran Raja Hayam Wuruk.

Kusumawardhani sebenarnya paling berhak meneruskan tampuk pimpinan Kerajaan Majapahit setelah
ayahandanya mangkat. Namun, kesederhanaan jiwanya yang tak pekat ambisi membuat
Kusumawardhani menyerahkan tahta kepada sang suami. Apalagi Raja Hayam Wuruk juga begitu
bangga dan percaya kepada Wikramawardhana.

Kini, setelah perjalanan panjang kepemimpinan sang suami masih juga dikoyak oleh berbagai
pemberontakan, memaksa Kusumawardhani turun tangan memberi masukan-masukan berharga untuk
suaminya.

“Dinda, Sad Respati sudah kembali bersama Suciatma.”


Senyum agung mengembang. Wikramawardhana

menyaksikan keayuan Kusumawardhani terpantul dari cermin di hadapannya. Bukan kecantikan yang
sembarangan. Darah biru yang mengalir dalam diri perempuan itu memendarkan aura wibawa dan
harga diri yang sulit dikatakan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Keponakanku itu sungguh malang. Berkelana dan menderita. Menghabiskan waktu mudanya dengan
hati yang terjajah.”

“Menurut Dinda, apa yang harus Kanda lakukan sekarang?”

Wikramawardhana bergerak ke pembaringan. Ia lalu duduk di pinggir pembaringan megah dengan


kain mewah yang menutup permukaannya.

“Kanda lupa dengan pembicaraan kita beberapa waktu lalu?”

Kusumawardhani menggeser duduknya, menghadap suaminya. Pandangan matanya yang teduh


menularkan ketenteraman pada jiwa Raja Majapahit itu. Wikramawardhana melukiskan rasa kasihnya
dengan menatap sang permaisuri penuh syahdu.

“Apakah Kanda tak akan melukai hati Dinda?”

Kusumawardhani tersenyum, lalu meraih telapak tangan suaminya. Mengelusnya penuh kasih, lalu
membelai punggung tangan sang raja dengan pipinya yang sehalus beludru.

“Menyelamatkan negara adalah bentuk cinta terbesar Dinda untuk Kanda.”

Wikramawardhana merasa hatinya babak belur dihajar rasa kasih yang semakin dalam. Ia memandang
Kusumawardhani dengan rasa bangga yang meluap-luap.

“Sekarang biarkan Dinda menemui Suciatma untuk membicarakan rencana kita, Kanda. Semoga dia
menerimanya demi rakyat Blambangan.”

Wikramawardhana mengangguk lemah. Dia lalu membimbing sang permaisuri bangkit dari duduknya.

Perempuan agung itu lalu menyempurnakan penampilannya sebelum melangkah penuh keindahan ke
keputren, menemui Suciatma.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketika Kusumawardhani sampai di gerbang
keputren, seluruh prajurit jaga langsung memberikan hormat. Sang permaisuri lalu melangkah penuh
anggun diiringi sepuluh orang dayang di belakangnya.

“Suciatma memberi hormat kepada Rajapadni!”


Kusumardhani segera menghampiri Suciatma yang bersimpuh di hadapannya, ketika sang permaisuri
sampai di ruangan yang didiami putri Blambangan itu.

“Aku bibimu, Suciatma. Kenapa mesti sungkan?”

Suciatma disergap rasa haru yang pekat. Meskipun ia sangat memusuhi Majapahit, menghadapi sang
permaisuri membuat hatinya takluk. Perempuan agung ini adalah kakak tiri ayahandanya. Sewaktu
kecil, Suciatma cukup dekat dengan Kusumawardhani. Wirabumi pun sangat menghormati kakak
perempuannya itu.

“Apa kabarmu, Nduk?”

Tanpa ragu, Kusumawardhani memeluk keponakannya dengan hangat. Suciatma semakin tak bisa
berkata apa-apa.

Dia mengikuti arus saja.

“Bibi selalu menunggu kabar tentangmu, Suciatma.”

Dua perempuan ningrat itu lalu duduk di kursi jati berukir yang ada di ruangan itu. Kusumar-wadhani
lantas menyimak cerita panjang Suciatma selama dia ada di pelarian. Meskipun agak canggung karena
selama ini Suciatma mendendam terhadap Majapahit, cerita tentang hidupnya yang terlunta-lunta,
termasuk ketika berhadapan dengan prajurit Majapahit mengalir sampai habis.

Beberapa kali Kusumawardhani mengangguk penuh perhatian. Senyumnya sesekali mengembang


tulus. Tak jarang, keningnya berkerut mencoba merasakan duka yang dialami keponakannya selama di
pelarian.

“Kau sungguh tabah, Suciatma. Pantas mewarisi darah Hayam Wuruk.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suciatma menatap bibinya dengan sinar mata
takjub.

Matanya berkaca-kaca. Sambutan yang begini hangat melunturkan rasa bencinya yang selama ini
menumpuk tanpa jelas arahnya. Seperti sia-sia semua perjalanan selama bertahun-tahun bergerilya,
membunuhi prajurit Majapahit, dan menyemai rasa benci terhadap raja.

Selama ini, Suciatma merasa menjadi anak yang dibuang dari garis keturunan yang agung. Kenyataan
bahwa ayahnya seorang anak dari seorang selir membuatnya tak begitu percaya diri untuk menyebut
Hayam Wuruk sebagai kakeknya.

Tapi kini, semua perasaan itu luluh. Tinggal rasa sesal yang menimbun. Rasa bersalah kepada para
pengikutnya yang rela kehilangan nyawa untuk membela dendam kesumatnya.

“Putri, bibimu ini belum juga dikaruniai putra sampai kini.

Sepertinya, Dewata punya rencana lain untuk Majapahit. ”


Suciatma mencoba menebak-nebak arah pembicaraan bibinya.

“Rakyat kini tengah menderita. Rasa benci menyulut di mana-mana. Padahal mereka memiliki
kesetiaan yang sama hebat terhadap junjungannya masing-masing. Karena itu, mereka rela melakukan
apa saja untuk membuktikan kesetiaan mereka.”

Kusumawardhani menghentikan kalimatnya sesaat.

Bahkan, saat menarik napas pun, perempuan ini terlihat begitu anggun dan agung.

“Kalau saja para pemimpin negeri ini mau mengorbankan kepentingannya sendiri dan mau merasakan
kepedihan rakyat, alangkah damainya.”

Kusumawardhani seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya menerawang tak jelas ke
mana mengembara. Suciatma tak berani menyela. Dia tekun mendengarkan setiap kata-kata sang
permaisuri.

“Putri, maukah kau menjadi juru damai negeri ini?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Saya … saya selalu memimpikan hal itu, Bibi. Hanya saya tak tahu caranya.”

Kusumawardhani tersenyum.

“Jadilah ibu negeri ini. Lahirkan raja-raja pemberani.”

Suciatma menatap Kusumawardhani dengan pandangan tak percaya. Bibirnya bergetar tanpa mampu
berkata-kata.

Samita dan Rukmi terlihat di antara kerumunan warga Kota Raja. Hari itu tampaknya sungguh
istimewa. Wajah orang-orang di jalan-jalan utama Kota Raja berseri-seri. Kemeriahan pun rata di
setiap sudut. Rumbai-rumbai janur kuning menambah semarak wajah kota.

“Kita cari penginapan dulu, Mbok!”

Langkah renta Rukmi berusaha menjejeri Samita.

Sepanjang jalan menuju penginapan, keduanya sibuk menoleh ke kanan-kiri penuh heran. Tak banyak
yang berubah sebenarnya di Majapahit. Dibandingkan dua tahun lalu, hanya sedikit bangunan-
bangunan baru yang berdiri.

Berbeda dengan Demak yang memperlihatkan

perkembangan kota yang sangat cepat selama dua tahun terakhir, Majapahit seperti jalan di tempat.
Namun, kemeriahan kota ini sungguh terasa dari kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang. Seperti
ada yang sesuatu terjadi.
Begitu sampai ke penginapan, Samita langsung menanyakannya kepada pelayan jaga.

“Nini pasti baru datang dari luar kota, ya? Seluruh kota sedang gembira karena Prabu Wikrama-
wardhan hendak menikahi Putri Blambangan.”

Bola mata Samita berbinar. Wajahnya sumringah meskipun masih menyisakan rasa kaget dan heran
yang sangat. Terlebih lagi Rukmi yang langsung terpaku di tempatnya, berdiri tanpa suara. Telapak
tangannya menutupi mulut saking kagetnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Maksud Kisanak, Putri Suciatma keturunan Bre Wirabumi?”

Lelaki pelayan itu mengangguk-angguk. Masih dengan perasaan campur aduk, Samita lalu
menuntaskan pesanan kamarnya. Bersama Rukmi, ia pun segera mencari kamar yang mereka pesan.

“Apakah ini bukan lelucon, Nini?”

Rukmi duduk di amben penginapan tanpa lebih dulu menurunkan bakul tempat perbekalan. Ada rasa
heran yang belum berujung.

Samita tersenyum sambil meletakkan buntalan kain bekal perjalanannya. Dia lalu duduk di sebelah
Rukmi.

“Bukankah ini menegaskan bahwa ramalan Simbok benar terjadi? Putri Suciatma akan bahagia
menjadi pendamping raja. Melupakan dendam dan membuat rakyat kembali hidup tenteram.”

Rukmi mengangguk-anggukan kepala. Dia lalu menurunkan bakul bambu dari punggung, kemudian
mengurut kakinya yang terbungkus kulit keriput untuk mengusir rasa pegal usai perjalanan panjang
mereka.

Perubahan besar mengiringi peristiwa ajaib, menikahnya Raja Wikramawardhanda dengan Putri
Suciatma. Dua orang yang selalu berhadapan sebagai lawan justru dipersatukan oleh takdir. Suciatma
mengubur dendam lamanya dan menerima pernikahan itu sebagai sebuah perjuangan baru untuk
menegakkan kedamaian di tanah Blambangan.

Bagi Prabu Wikramawardhana, menikahi Suciatma sama saja melampaui dua-tiga pulau dengan sekali
merengkuh dayung. Selain menuntaskan dendam Blambangan, dia juga hendak membayar semua
utangnya atas segala penderitaan yang dialami Suciatma.

Bumi Blambangan pun damai. Untuk sementara, tak ada riak pemberontakan. Meskipun begitu, di
jajaran pengikut Suciatma, tak sedikit pula yang menganggap sang putri telah Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berkhianat terhadap Blambangan. Mereka lalu
keluar dari keramaian, menyepi di gunung-gunung untuk mengendapkan perasaan dendam.
Pesta pernikahan Wikramawardhana dan Suciatma berlangsung sederhana, tidak terlalu megah. Tidak
ada kemeriahan tujuh hari tujuh malam perayaan hari besar yang serbagebyar. Tapi, pilihan
kesederhanaan itu justru membuat rakyat semakin paham niat baik raja untuk membangun suasana
nyaman.

Segala sesuatu segera diperbaiki. Pelayanan kepada rakyat Majapahit ditingkatkan. Hanya sikap tak
tegas raja terhadap prajurit yang melenceng dari nilai-nilai kesatria menjadi titik lemah. Keti-
daktegasan ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang pemikirannya berseberangan dengan
Wikramawardhana untuk menggoyang kepemimpinannya.

Rakyat Majapahit pun banyak terkotak-kotak karenanya.

Sebagian tetap menjunjung tinggi nilai warisan leluhur dengan menempatkan raja sebagai wakil
Dewa. Kepatuhan menjadi hal utama. Kecintaan kepada raja menjadi napas hidup.

Sementara rakyat dari kalangan terdidik mulai bersikap tak mau tahu.

Mereka menganggap kepemimpinan Wikramawardhana tak lebih dari sekadar pemerintahan yang
berjalan apa adanya. Tak ada pemikiran-pemikiran cerdas yang mengiringinya. Sang Raja sekadar
boneka orang-orang culas di sekelilingnya. Tak memiliki keputusan yang mandiri.

Orang-orang yang suka mengkritik ini lalu mendirikan perkumpulan-perkumpulan khusus untuk
membahas permasalahan-permasalahan negara. Nasib mereka memang tak selalu bagus. Bahkan lebih
sering apes. Selain suara mereka yang tak pernah sampai ke telinga sang raja, tindakan mereka
memicu bahaya. Mereka ditangkapi layaknya kelompok maling kacangan. Diseret, dipermalukan, dan
dicap sebagai pengkhianat negara yang hendak merongrong kekuasaan raja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kota Raja semakin ramai oleh para pengkritik.

Penangkapan terhadap sebagian dari mereka tak lantas menghentikan arus penentangan lewat akal
pikiran itu.

Bahkan, para pengkritik baru terus bermunculan. Hilang satu datang selaksa.

“Nini, kapan kita memberi pelajaran perempuan culas itu?”

Samita menatap Rukmi dalam-dalam Seperti hendak memastikan, apa benar kalimat galak itu
dikatakan perempuan renta yang kini menjadi bagian penting hidupnya.

“Kenapa Simbok berpikir seperti itu?”

Rukmi tersenyum memamerkan keriput-keriput di wajahnya.

“Dulu yang membuat saya selalu gelisah adalah nasib Putri Suciatma. Tapi sekarang beliau sudah
bahagia menjadi pendamping raja. Tak perlu lagi saya khawatirkan.”

Samita makin saksama mendengarkan kalimat Rukmi.


“Setelah lega dengan jalan hidup Putri Suciatma, saya sekarang selalu berpikir tentang masa depan
Nini.”

“Maksud simbok apa?”

Rukmi diam sejenak.

“Saya tahu kini Nini ragu untuk membongkar misteri kematian Rakryan Rangga Abyasa dua tahun
lalu. Tapi menurut saya, hal itu akan menyiksa Nini jika tidak segera dilakukan.”

“Memang saya ragu, Mbok. Kakang Respati begitu mencintai Anindita. Mbok pasti ingat betapa dia
sangat bersemangat saat menceritakan perihal rumah tangganya.”

“Tapi matanya jauh lebih berbinar ketika mengharap Nini untuk berkunjung ke kediamannya.”

Samita terdiam. Dia mengalihkan pandangan dari Rukmi untuk berpikir. Sudah lebih dari satu pekan
ia dan Rukmi tinggal di penginapan itu tanpa tahu harus melakukan apa.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Jika dulu Samita begitu menggebu untuk
mendatangi Respati dan membe-ritahu tentang culasnya hati Dewi Anindita istrinya, sekarang tidak
lagi.

Samita merasa tak tega menghancurkan kebahagiaan Respati. Namun di sisi lain, dia merasa wajib
untuk membongkar misteri pembunuhan itu. Sebab, dialah satu-satunya orang yang bisa membuktikan
keterlibatan Anindita di belakang kematian Abyasa.

“Paling tidak, jika Nini tak ingin dianggap memperjuangkan perasaan hati, lakukan itu semua demi
Majapahit. Nini bisa bayangkan kerusakan apa yang akan terjadi di Majapahit jika orang seperti
Anindita itu tetap dibiarkan.”

Samita belum menjawab. Selama ini, dia memang lebih banyak mengungkapkan permasalahan itu
dengan bercerita kepada Rukmi. Sedangkan semua rencana untuk membuka kedok Anindita sama
sekali tak terlaksana.

“Baiklah. Hari ini kita bertamu ke Kakang Respati. Setelah itu, baru kita bicara lagi mengenai rencana
selanjutnya.”

Samita membalas senyum Rukmi dengan tulus. Keduanya lalu segera bersiap-siap meninggalkan
penginapan murah yang mereka tinggali. Lepas siang, mereka telah berdiri di depan kediaman
Rakryan Rangga Respati.

“Oh, Nini ini Nini Samita? Silakan masuk, Nini! Sejak beberapa pekan lalu, rakryan rangga sudah
menunggu kedatangan Nini.”

Alis mata Samita sedikit terangkat. Ia memandang dua prajurit di hadapannya dengan tatapan tak
percaya. Harusnya tak semudah ini masuk ke kediaman seorang pejabat di Majapahit. Namun, rupanya
dia salah sangka. Bahkan Respati telah berpesan kepada seluruh prajuritnya untuk melayani dirinya
jika sewaktu-waktu datang.

Setelah mengucapkan terima kasih, Samita dan Rukmi diantar oleh seorang prajurit untuk menunggu
di pendopo.

Mereka berdua lalu duduk lesehan sambil menikmati suasana Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi nyaman di sekelilingnya. Samita mengedarkan
pandangannya ke tembok-tembok pelindung bangunan itu.

Ia tersenyum ketika ingat, dulu dia pernah berlompatan di atas tembok istana saat mengejar orang
bertopeng pembunuh Abyasa. Senyumnya langsung sirna begitu ingat bahwa orang itu adalah Sien
Feng, kakak seperguruannya.

“Kenapa baru sekarang engkau datang, Samita?”

Lamunan Samita buyar. Pandangannya lalu menyergap pemilik suara serak basah yang menyapanya.
Sad Respati berdiri gagah di muka pendopo. Lelaki berwibawa itu lalu masuk ke pendopo dengan
senyumnya yang khas. Entah untuk ke berapa kali, Samita harus memalingkan pandangan matanya
menghindari sorot mata elang Respati.

Gadis itu benar-benar menjaga diri.

“Di mana Anindita, Kakang?”

“Oya, dia rupanya tak ingin mengecewakanmu, Samita.

Dia tengah berdandan agar tampil cantik di depanmu.”

Samita tersenyum masygul. Respati lalu menyapa Rukmi dan menanyakan kesehatannya.

“Harusnya kalian berangkat bersama rombongan kami sehingga bisa lebih cepat tiba di Majapahit.
Dengan begitu, kalian bisa menjadi saksi pernikahan Prabu Wikramawardhanda dengan Putri
Suciatma.”

“Kami telah mendengar kabar gembira itu, Kakang.

Tampaknya seluruh rakyat Majapahit bersukacita karenanya.”

Seorang dayang datang membawakan minuman dan aneka buah-buahan segar. Segera setelah
menatanya di atas meja, dayang itu berlalu dari pendopo.

“Hui Sing!”

Samita menoleh ke arah suara lembut itu. Pandangannya tertumbuk pada sosok cantik yang berdiri
anggun. Anindita.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dia masih seorang putri penuh santun seperti yang
ia kenal dulu.

Samita berdiri untuk menghormati kehadiran Anindita. Tak disangka, perempuan itu menghambur ke
arah Samita dan memeluknya sangat erat disertai isak haru. Sesaat Samita sama sekali tak bisa
bersikap. Dia seperti patung kayu yang berdiri kaku. Tapi begitu sadar, dia membalas pelukan
Anindita meskipun terasa sekadarnya bagi Anindita.

Mereka berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya Anindita duduk mendampingi suaminya dengan mata
yang masih berair.

“Ketika Tuan Ho mengatakan bahwa kau turun di Pelabuhan Simongan dua tahun lalu, aku selalu
mengkhawatirkan keselamatanmu, Hui Sing.”

Seperti tak terjadi apa-apa, Anindita bertutur layaknya seorang kawan akrab yang sudah lama tak
bersua. Seperti tak ada rahasia besar yang dipendamnya.

Sementara Anindita terus mengurai cerita, Samita tertegun dan tak menjawab apa-apa. Hanya
memperhatikan bahasa tubuh Anindita dan gerak bibirnya agar dia bisa menemukan sebuah kepura-
puraan. Tapi Samita gagal. Anindita benar-benar lihai dalam hal ini.

Justru Rukmi yang tak bisa menyembunyikan gejolak hatinya. Matanya menatap tajam penuh benci ke
arah Anindita. Untungnya, hal itu tak sempat tertangkap basah oleh Respati hingga tak menimbulkan
kecurigaan.

“Anindita yang aku kenal tak terlalu banyak bicara. Tapi lihatlah, begitu kau datang, Samita, dia
menjadi begini ceria.”

Anindita tersipu malu.

“Kami sudah lama tak bertemu. Wajar kalau aku sangat gembira. Ah, aku lupa kau telah berganti
nama menjadi Samita. Nama cantik. Kau pun semakin cantik, Samita.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita hanya tersenyum. Justru dia yang kini tak
banyak bicara. Lebih banyak menyimak cerita-cerita Anindita dan Respati. Juga kemesraan keduanya
yang tak berusaha ditutup-tutupi.

Samita merasa terjebak di tempat dan suasana yang salah.

Dia seperti dipaksa ada di tempat itu sekadar untuk melihat pameran keceriaan sepasang suami istri
muda. Meskipun mampu menutupinya dengan kesan wajah yang dipaksa gembira, Samita tak ingin
berlama-lama.

Sebentar kemudian dia pamit kepada Respati dan Anindita untuk kembali ke penginapan. Dia bahkan
tak bisa menjawab dengan pasti ketika Anindita menanyakan rencananya ke depan. Tak mau berlama-
lama, Samita lalu bergegas mengajak Rukmi keluar dari kediaman Respati.
Malam seolah berkabung. Bintang-bintang yang penuh sesak di langit hitam tak mampu
mendatangkan keceriaan di hati Samita. Gadis itu duduk di dekat jendela kamar penginapan sambil
memandang langit.

Sepertinya, keceriaan alam hanya untuk orang lain, bukan buat dirinya.

“Nini, waktunya kian dekat.”

Samita menoleh. Ia mendapati Rukmi berdiri dengan raut muka muram. Perempuan tua itu lalu duduk
di samping Samita dan membelai punggung tangan halus gadis itu.

“Sepanjang hidup, saya tak menginginkan hal-hal muluk.

Dulu saya hanya berpikir tentang kebahagiaan Putri Suciatma.

Sekarang hal itu sudah terwujud. Tugas saya sudah selesai.”

Samita mereka-reka maksud hati Rukmi tanpa kata apa pun keluar dari bibirnya.

“Saya hanya ingin Nini yakin kepada kebenaran yang Nini junjung tinggi. Jangan ragu.”

Mata Rukmi berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum. Samita merasakan aura yang sangat sedih. Tanpa
alasan yang jelas, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi gadis itu merengkuh Rukmi ke dalam pelukannya.
Dia menumpahkan sedih hatinya. Pertentangan dalam dirinya.

Masih tanpa kata-kata. Hanya debur jantungnya seolah membahasakan semua jerit hatinya. Ia
beruntung karena Rukmi mema- haminya. Sangat paham.

Menjelang fajar, Samita tak menemukan Rukmi di pembaringan yang biasa mereka gunakan untuk
beristirahat.

Tidak biasa-biasanya Rukmi pergi tanpa pamit. Tapi Samita tak terlalu memikirkannya. Dia segera
melaksanakan kebiasaannya melakukan sembahyang fajar. Lalu setelah membersihkan diri, dia
menunggu pagi sambil melakukan latihan ringan.

Bermeditasi untuk mengatur aliran darah dan membuat badan bugar.

Hingga hari terang, Rukmi belum juga kembali. Samita mulai gelisah, lalu keluar kamar menanyakan
hal itu kepada pelayan penginapan. Pelayan itu mengaku memang melihat Rukmi yang keluar
penginapan saat hari masih gelap. Tapi perempuan tua itu tak mengatakan hendak ke mana.

Mencoba untuk tak panik, Samita lalu menenangkan pikirannya, bersabar menunggu hingga petang.
Tapi tak ada kabar dari Rukmi. Samita keluar dari penginapan dan mulai mencari-cari. Kepada orang-
orang yang tak dikenalnya, Samita menanyakan perihal Rukmi. Para pedagang di pinggir jalan,
prajurit yang sedang berpatroli, bahkan sekadar orang lewat pun ditanyainya. Tetap tak ada informasi.

Malam harinya, Samita kembali ke penginapan dengan wajah pucat penuh khawatir. Ia gelisah bukan
main. Tak tenang melakukan apa pun. Terlebih untuk memejamkan mata. Setelah sembahyang malam,
air mata Samita mengalir deras. Dia tersedu-sedu mohon perlindungan untuk Rukmi.

Tengah malam, Samita benar-benar tak sanggup memejamkan mata. Dia sibuk berpikir tentang
kemungkinan.

Hingga terpikir olehnya untuk mendatangi Respati, minta pertolongan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pikirannya yang mengembara dihentikan oleh
suara langkah di atap kamar tempatnya berandai-andai. Samita segera mendekat ke jendela. Sekali
lompat, tubuhnya melompat ke atap bangunan dan mengejar bayangan hitam yang tadi mengendap-
endap.

Mereka terus berkejar-kejaran hingga ke pinggir kota.

Sebuah danau tenang yang permukaan airnya berkilau tertimpa cahaya bulan. Samita sesaat tertegun.
Di tempat itu, dua tahun lalu, dia berbicara dengan Respati, malam sebelum rombongan Laksamana
Cheng Ho meninggalkan Majapahit.

Samita langsung membuyarkan lamunannya dan memandang sosok bercadar di depannya. Orang itu
lalu melepaskan cadarnya perlahan.

“Danurdara!”

“Hui Sing, apa kabar?”

Samita memandang heran ke arah lelaki gagah di hadapannya. Dia orang terdekat Respati yang kini
menjabat sebagai kepala bhayangkari menggantikan Respati. Dulu, meskipun tak dekat, Samita
sempat pula berteman dengan Danurdara.

“Baik. Sangat baik. Ada apa rupanya hingga seorang kepala bhayangkari mengendap-endap di
penginapan pinggir kota malam-malam begini?”

Danurdara mengajak Samita untuk masuk ke dangau di pinggir danau. Bangunan sederhana itu masih
seperti dua tahun lalu. Kaki-kaki bambunya menancap ke dalam air danau. Meskipun tak terlihat
kokoh, namun waktu membuktikan bahwa bangunan ini cukup kuat.

“Aku tahu kau telah datang ke Majapahit sepekan lalu.

Hanya aku ragu untuk menemuimu.”

Samita mengangkat dagunya.

“Selama ini kau dekat dengan Respati. Tak terlalu mengenaliku. Apa alasanku untuk
mengunjungimu.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Danurdara, maaf. Aku sangat senang kau mau menemuiku. Bagaimanapun kita teman lama. Tapi
malam selarut ini, rasanya tak tepat untuk melakukan pertemuan.”

“Maaf. Aku terlalu berbasa-basi, Samita. Aku juga tahu kau telah mengganti namamu menjadi Samita.
Ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu.”

Dahi Samita berkerut. Ia menunggu.

“Ini tentang perempuan tua yang selalu bersamamu.”

“Mbok Rukmi. Kau tahu kabar tentang Mbok Rukmi?”

Danurdara mengangguk.

“Dia kini ditahan di kediaman rakryan rangga.” “Apa?!”

“Pagi tadi, orang tua itu datang ke kediaman Kakang Respati. Dia ngotot ingin bertemu dengannya
karena ingin menyampaikan berita.”

Jantung Samita berdegup kencang. Dia mulai menduga-duga.

“Ketika itu, dia bertemu dengan Anindita dan langsung menyemprotnya dengan kata-kata pedas.”

“Dia mengatakan bahwa Anindita bertanggung jawab atas pembunuhan Rakryan Rangga Abyasa, dua
tahun lalu.

Mendengar hal itu, Anindita langsung memerintahkan kepada prajurit untuk menangkap Mbok
Rukmi.”

“Apakah Kakang Respati sudah mengetahuinya?”

Napas Samita memburu karena amarah. Dadanya penuh sesak oleh kesal.

“Dua hari ini, Kakang Respati dipanggil oleh Prabu Wikramawardhana untuk membahas suatu
masalah. Besok baru kembali.”

“Aku akan menjemput Mbok Rukmi sekarang juga.”

Tanpa memedulikan Danurdara yang berteriak melarangnya, Samita segera beranjak dari dangau itu.
Tapi, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tiba-tiba dia menghentikan langkah, lalu
membalikkan badannya.

“Kenapa kau mengatakan semua ini padaku, Danurdara?”

Ada curiga yang menyeruak dari balik kata-kata itu.


Danurdara tercekat tanpa sanggup mengeluarkan suara. Tapi dia segera tersenyum.

“Aku hanya tak ingin melihatmu menderita, Samita.”

Samita melihat ada yang lain di mata Danurdara. Hampir sama dengan yang selama ini ia temukan
pada pancaran mata Respati. Namun, Samita tak ingin berlama-lama terpaku pada titik waktu itu. Dia
mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan langkahnya kembali ke penginapan.

Sampai di kamarnya, Samita menimbang-nimbang. Jika menuruti rasa hatinya, dia ingin segera
melabrak kediaman rakryan rangga untuk membebaskan Rukmi. Namun, karena dia masih
memandang Respati dan menghitung kemungkinan lain, termasuk ketidakmengertiannya kenapa
Danurdara mendatanginya, Samita mengurungkan ketergesaannya.

Ia memilih menunggu pagi sambil terus berdoa demi keselamatan Rukmi. Dia lalu mengenakan kain
hijau beludru di kepala dan kembali melakukan sembahyang untuk minta ketetapan hati dan
ketenteraman pikiran.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 13. Perginya Pendekar Sejati

Gerbang kediaman Rakryan Rangga Majapahit dijaga lebih ketat daripada biasa. Sedikitnya dua puluh
prajurit berjaga-jaga di gerbang depan. Sedangkan di dalam, belasan prajurit lain berseliweran. Seperti
tengah berwaspada. Pagi masih sangat muda. Sinar matahari belum lagi menerpa. Udara masih dingin
menggigit tulang. Embun-embun bergoyang-goyang di atas dedaunan, menunggu kesempatan untuk
menyatu dengan bumi. “Aku ingin bertemu dengan rakryan rangga.” “Maaf, Nini. Rakryan Rangga
Respati sedang menghadap sang prabu.”

“Kalau begitu, pertemukan aku dengan Dewi Anindita!”

“Tanpa izin dari rakryan rangga, kami tak berani ceroboh, Nini.”

Samita berdiri gagah. Hari ini istimewa rupanya. Dia mengenakan setelan gaun panjang berwarna
putih. Kain bawahannya pun putih. Samita memilih warna yang sama untuk tali rambutnya. Pagi itu,
dia menjadi yang tercantik di antara segala yang muncul di pagi hari.

Meskipun tak ada senyum yang menghias bibirnya, wajah itu demikian segar. Matanya berbinar dan
pipinya merah menahan marah. Rambut panjangnya terurai panjang, tampak bertolak belakang dengan
warna bajunya. Hitam mengkilat dan jatuh.

Ia memilih helaian rambut paling pinggir di depan kedua daun telinganya untuk ditarik ke belakang.
Rambut itu menyatu di sana oleh kain putih.

“Apa benar kalian menangkap perempuan tua bernama Rukmi?”

“Mulutnya lancang. Pantas untuk dihukum!” Kalimat itu telanjur keluar dari mulut prajurit muda di
depan Samita.

Meskipun dia tampak sangat menyesal mengatakannya, tapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kelopak mata Samita telanjur membesar tanda dia
paham dengan apa yang harus dilakukan.

“Tunjukkan di mana majikan kalian menyekapnya.”

“Nini jangan memaksa. Kami hanya menjalankan perintah.

Kami sangat bisa berbuat kasar.”

Tangan Samita bergerak kilat. Tahu-tahu dua ujung jarinya telah bersarang di leher prajurit muda itu.

“Aku tak menjamin keselamatan nyawamu jika tak mau mengatakan di mana kalian menyekap Mbok
Rukmi!”

“Seraaang!”

Samita memutar tubuhnya menghindar ke belakang.

Ternyata dia tak setega itu. Membunuh hanya karena pertanyaannya tak terjawab sungguh bukan sikap
kesatria.

Sedangkan para pajurit itu hampir tak peduli dengan nasib temannya yang sempat disandera Samita.

Satu hal yang mereka pikir, yakni menyelesaikan permasalahan yang merusak suasana pagi itu.
Permasalahan itu tentu saja kehadiran Samita. Kini, dua puluh prajurit lebih menghunus senjata
mereka masing-masing. Keris, pedang, dan tombak diangsurkan ke arah Samita.

“Kalian tak mau menunjukkan di mana Mbok Rukmi. Aku akan mencarinya sendiri.”

Setelah mengatakan itu, Samita berjalan dengan langkah-langkah lebar tanpa gentar sedikit pun. Tak
ada tawar-menawar lagi, para prajurit itu langsung menghadang Samita.

Saat itulah, kedua lengan Samita menghentak ke bawah, keluar asap tipis putih dari gerakannya itu.
Tanpa sebab yang bisa dipahami, setiap prajurit yang menghadangnya langsung terpental dan tak bisa
bangkit dalam sekejap.

Samita memang tak bermaksud membunuh. Hanya melumpuhkan. Hal itu terjadi beberapa kali.
Sementara Samita terus berjalan dengan langkah penuh keyakinan, para prajurit Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berusaha mengepung dan menghadangnya. Tapi
kejadian yang sama terulang.

Tubuh-tubuh mereka terpental tanpa tahu sebabnya.

Sebab, Samita pun tak kelihatan bersusah payah menghalau serangan mereka. Dia hanya
menggerakkan kedua lengannya ke arah bawah, sedangkan tapaknya mengarah kepada para penyerang.

“Samita, kau telah menentang Majapahit. Apakah kau tak memikirkan hukuman raja?”
Samita menghentikan langkahnya. Dia kini tersenyum, meskipun terkesan sinis. Di hadapannya,
Anindita berdiri dengan sinar mata memusuhi.

“Apakah kau datang untuk merusak kebahagiaanku, Samita? Kau tak memandang persahabatan kita di
masa lalu?”

Samita kehabisan kata-kata. Ketika semua perkataan buruk dan caci maki telah ada di ujung lidah,
justru tak mudah untuk memuntahkannya.

“Minggirlah, Anindita. Atau tunjukkan tempat kau menyekap Rukmi agar aku tak perlu
menghancurkan setiap bangunan di tempat ini untuk mencari tahu.”

“Apa salahku padamu, Samita? Kemarin, kau suruh perempuan tua itu untuk menyebar racun tudingan
palsu itu.

Kini, kau datang membuat onar.”

“Oya? Begitukah?”

Sambil tersenyum mengejek, tubuh Samita bergerak sangat cepat. Kini, dua ujung jarinya sudah
menempel di leher Anindita, siap menembus hingga ke tenggorokan.

“Kau lihat, Anindita. Dengan atau tanpa sandiwaramu yang memuakkan ini, bagiku sangat mudah
untuk mengakhiri hidupmu.”

Anindita tak menyangka Samita mengalami kemajuan ilmu kanuragan yang begini pesat. Bahkan, dia
tak sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghindar ketika tubuhnya tertotok begitu saja.
Kini, malah nyawanya ada di ujung tanduk.

“Aku pikir kau tak akan melawanku sekarang, Anindita.

Bukankah itu akan membuka kedok bahwa kau sebenarnya adalah pesilat keji yang memiliki ilmu
beracun?”

Anindita tak menjawab. Dagunya terangkat karena ujung jemari Samita menyodok tenggorokannya.
Sementara para prajurit membentuk lingkaran untuk memastikan Samita tak akan bisa keluar dari
tempat itu.

“Sudahlah. Kau tahu aku bukan pembunuh. Sekarang, tunjukan saja di mana kau sembunyikan
Rukmi.” ”

Anindita membisu.

“Apakah kalian tidak tahu Mbok Rukmi adalah orang kepercayaan Putri Suciatma, istri sang prabu?
Jadi, siapa sebenarnya yang akan diganjar hukuman berat?”

Anindita terkesiap mendengar kata-kata Samita. Ia akhirnya menyerah. Ia lalu menunjuk ke salah satu
bangunan di bagian pinggir kompleks kediaman rakryan rangga itu.

Bangunan gudang. Samita sempat tersedak emosi melihatnya.

Jemarinya pun sempat menyodok tenggorokan Anindita lebih dalam sehingga membuat perempuan itu
berkeringat dingin.

Samita tak bisa menerima perlakuan Anindita terhadap Rukmi.

Perempuan renta itu ditangkap layaknya maling dan kini disekap di dalam gudang.

Tanpa memedulikan Anindita lagi, Samita lalu mendatangi bangunan gudang itu. Sementara Anindita
mengangkat tangan kirinya, menahan gerakan para prajurit, sementara tangan kanannya mengelus-elus
batang lehernya. Samita menyentakkan tangannya. Seketika itu juga, pintu gudang porak-poranda.
Hari ini, kesannya Samita benar-benar ingin pamer kekuatan.

Kemudian, dia memasuki bangunan yang agak berdebu itu dengan hati-hati. Masih terpikir oleh
Samita untuk tak gegabah. Tak ada jaminan Anindita mengatakan hal Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sesungguhnya. Ia lalu mengedarkan pandangan ke
seluruh ruang gudang. Matanya langsung membelalak ketika melihat sosok Rukmi tergeletak di lantai
dengan tangan terikat.

Ia langsung menghambur ke tubuh perempuan renta itu dan memeluknya erat-erat. Air matanya
menjadi hujan.

Melelehi pipinya yang sehalus pualam.

“Mbok Rukmi

Tak ada kata-kata lain. Samita lalu memeriksa denyut nadi Rukmi. Sudah tak ada, seperti dugaannya.
Air mata itu semakin menjadi. Isaknya terta-han-tahan. Samita membelai rambut Rukmi dengan kasih
sayang penuh. Dia menciumi kening keriput itu dengan kesungguhan.

Di benaknya, waktu berputar ke belakang. Malam itu, Rukmi seolah-olah telah berpamitan kepadanya.
Kata-kata perempuan tua itu terngiang lagi. Ingatan-ingatan kebersamaan mereka seperti nyata
terpampang di depan mata. Samita semakin hanyut dalam dukanya. Betapa sebelumnya dia hanya
punya Rukmi. Sekarang, perempuan welas asih itu sudah pergi.

Masih dengan wajah yang basah air mata, Samita lalu memeriksa tubuh Rukmi dengan saksama. Lalu,
membuka perlahan kelopak matanya. Dugaannya terjawab. Rukmi dibunuh, bukan mati wajar. Samita
lalu kembali memeluk Rukmi erat-erat.

“Tenanglah, Mbok. Tak akan ada lagi perjalanan yang melelahkan. Kau akan merasa nyaman di sana.”

Bibir Samita terus berkomat-kamit dengan suara lirih. Dia mengajak bicara jasad mati Rukmi dengan
sepenuh hati.
Kadang-kadang dia tersenyum ketika bicara tentang hal-hal lucu yang mereka alami. Di waktu lain,
matanya beranjak sayu ketika menyinggung hal-hal yang membuat trenyuh.

“Samita!”

Tak ada jawaban. Samita masih memeluk tubuh Rukmi dengan tatapan kosong. Sementara di pintu
gudang, Sad Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati berdiri gagah dan siap siaga. Di
belakangnya, puluhan prajurit berbaris penuh waspada.

“Samita, apa tujuanmu sebenarnya datang ke Majapahit?”

Tetap tak ada jawaban.

“Apakah benar kau menyuruh Mbok Rukmi untuk menyebarkan kabar bohong itu?”

Bulu-bulu mata Samita bergerak-gerak, tapi dia tetap membisu.

“Samita, apakah kau sudah memperhitungkan hukuman yang akan dijatuhkan raja atas hal ini?”

Respati mencengkeram Samita dengan pandangan ragu.

Di satu sisi, dia tak tega menekan Samita yang sedang berkabung. Di sisi lain, dia pun harus berbuat
tegas menegakkan hukum.

“Siapa yang membunuh Rukmi?”

Suara Samita terdengar datar tanpa emosi.

“Dia datang ke sini dengan menyebar berita yang menghasut. Sangat wajar jika Anindita
memerintahkan prajurit untuk menangkapnya. Tapi tentang kematiannya, itu masih harus diselidiki.
Bisa jadi dia tak kuat, lalu kehabisan tenaga.”

Samita tersenyum. Perlahan dia bangkit. Lengan kirinya ditelusupkan ke belakang lutut kaki Rukmi,
sedangkan lengan satunya menahan leher perempuan malang itu.

Dia membopong jasad Rukmi, lalu berjalan menuju pintu gudang. Respati terpana melihat
pemandangan itu.

“Samita, kau tahu aku tak mungkin melepaskanmu begitu saja!”

Samita tak menjawab. Dia terus berjalan menuju Respati dan para prajurit jaga.

“Turunkan jasad Rukmi dan biarkan kami menguburnya.

Sedangkan kau harus ditahan untuk pemeriksaan!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kata-kata Respati tersapu angin. Lenyap tanpa
bekas.

Melihat tak ada celah untuk berbicara, Respati mengulurkan tangannya untuk menotok Samita.
Namun, perempuan berhati baja itu dengan mudah mengelak. Senyum dingin menghiasi bibirnya.
Sontak ia memutar tubuhnya, melancarkan tendangan dengan kaki kanan. Respati hendak menangkis
tendangan memutar itu. Namun, begitu merasakan angin serangan yang begitu dahsyat dia langsung
bersalto menghindar dan keluar dari gudang.

Samita terus maju. Kini, dia yang membopong jasad Rukmi berhadapan dengan puluhan prajurit
bersenjata lengkap.

Tanpa bicara lagi, tubuh Samita melesat disambut berbagai senjata tajam para prajurit.

Tanpa kedua lengannya yang kini menjaga agar tubuh Rukmi tak jatuh, Samita lebih banyak
melakukan gerakan menghindar. Hanya sesekali kakinya menendang ke sana kemari dengan tenaga
penuh. Itu saja sudah cukup membuat prajurit yang ada di dekatnya terjungkal dengan senjata lepas
dari tangan.

“Hentikan serangan!”

Respati melompat dan langsung menyerbu Samita dengan serangan tangan kosong. Baginya, lebih
baik dia turun tangan daripada puluhan prajurit menyergap tanpa perhitungan.

Menghadapi Respati dua kali lipat lebih sulit dibandingkan merobohkan belasan prajurit. Karena itu,
Samita benar-benar berhati-hati. Beban membopong jasad Rukmi saja sudah membuatnya repot. Kini,
dia dihadapkan dengan serangan jurus Hana-caraka yang membuatnya semakin terdesak.

Srennnnnnggg!

Sinar biru membelah udara. Dalam sekejap, keris Angga Cuwiri telah menawan Samita yang kini tak
bisa berkutik lagi.

Tapi, gadis itu sama sekali tak gentar. Ia menatap Respati dengan pandangan yang mencengkeram.
Untuk pertama kali sepanjang mereka kenal, Samita berani menantang sinar mata Respati dengan kilat
amarah.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Jadi, ini pertempuran yang kau anggap adil, Kakang?”

“Turunkan jasad itu! Lalu, serahkan dirimu agar semua permasalahan ini bisa selesai!”

Ujung keris yang panjangnya sama dengan pedang itu mengarah ke leher Samita. Respati tampaknya
tak main-main.

Meskipun tak ada amarah dalam sinar matanya, namun lantang suaranya tak ragu sama sekali.
Menghentak dan membuat ngeri.

“Pendekar macam apa jika orang bersalah justru dibela, sedangkan si lemah malah ditindas!”

Mata Respati melebar. Dia coba membaca arti kalimat Samita dengan saksama. Dia tahu benar,
Samita perempuan cerdas yang teliti. Tak mungkin mengeluarkan kata sia-sia.

“Beri aku kalimat yang membuatku berpikir dua kali tentang tudingan kejimu itu?”

Samita tersenyum dingin.

“Dua tahun lalu, saat bertempur dengan orang bertopeng di atas keputren, aku berhasil melukainya.
Dua atau tiga lempengan besi senjatanya justru melukainya sendiri. Waktu dua tahun, kukira belum
bisa menghilangkan bekas luka di bawah bahunya!”

Respati tampak berpikir. Kesan wajahnya berangsur berubah sama sekali. Sedikit pucat. Lalu,
perlahan keris yang ditodongkan ke leher Samita ia turunkan.

“Pergilah. Aku akan datang kepadamu untuk meminta maaf setelah kuselesaikan urusan ini.”

Para prajurit yang mengepung arena laga itu terbengong-bengong. Bagaimana mungkin junjungannya
begitu saja melepaskan lawan yang sudah ada di genggaman tangan hanya karena kalimat yang
kedengarannya tak berarti apa-apa. Tapi, mereka tak berani menentang. Begitu Respati memberikan
tanda, mereka langsung membelah barisan, agar Samita bisa keluar dari tempat itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dengan tenang, Samita pun berjalan dengan
langkah kemenangan. Matanya memperlihatkan rasa lega yang dalam.

Sementara Respati berdiri dengan kesan wajah yang sulit ditebak. Matanya menerawang tak percaya.
Perlahan dia memasukkan kembali Angga Cuwiri ke dalam warangkanya.

“Bagaimana mungkin Samita tahu ada bekas luka di bawah bahumu, Anindita?”

“Jika kakang lebih percaya terhadap orang lain dan meragukan istri sendiri, buat apa aku menjawab
omong kosong ini?”

“Jawab saja pertanyaanku!”

Anindita tersentak. Ini pertama kali sejak mengenal Respati hingga menjadi istrinya, ia dibentak
dengan suara yang demikian galak. Wajahnya memucat. Matanya berkaca-kaca.

“Kami dulu begitu dekat. Mungkin saja suatu kali tanpa sepengetahuanku dia melihat luka itu, lalu
menjadikannya sebagai alasan untuk bicara bohong.”

“Seberapa dekat kalian hingga Samita bisa melihat bagian pribadimu?”

Anindita tak menjawab. Dia tergagap-gagap.


“Jawab yang benar. Sebenarnya, luka apa yang menembus tubuhmu hingga membekas begini lama?”

Anindita semakin bisu. Ia hanya memainkan ujung kain bajunya dengan gemas.

“Ketika Samita tinggal di Majapahit, aku sempat belajar beberapa gerakan silat. Dia melukaiku
dengan pedang.”

“Pembohong!”

Suara Respati menjadi halilintar. Seolah-olah seluruh ruangan itu hendak roboh. Sementara Anindita
beringsut ke arah dinding kamar karena takut. Respati mendekatinya, lalu meraih rahangnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Apa yang terjadi selama dua tahun ini? Aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak aku kenal.”

“Kakang percaya bahwa aku yang mendalangi pembunuhan Paman Abyasa?”

“Soal itu butuh sebuah pembuktian. Tapi, apa yang bisa kupercaya dari seorang istri yang
membohongi suaminya selama dua tahun?”

Anindita kehabisan kata-kata. Air matanya terkuras.

Sementara Sad Respati tak peduli dengan hal itu. Ia bangkit dari pembaringan, lalu beranjak ke pintu
kamar.

“Aku akan menghadap Ayahanda Sadhana.”

Mata Anindita membelalak. Ia mencoba memanggil suaminya, namun tak dipedulikan. Anindita
kehabisan akal, lalu membanting tubuhnya ke pembaringan. Menangis sejadinya.

Hati yang meranggas. Permukaan danau itu masih damai.

Suasana juga adem, meskipun matahari sedang terik-teriknya.

Pepohonan yang berjajar rapat di sekeliling danau mengusir rasa gerah. Namun bagi hati Samita yang
demikian gersang, semua itu tak bisa mengusir gundah dan nuansa berkabung.

Ia berdiri takzim di depan pusara yang masih basah. Di pinggir Danau Tirta Kusuma, ia kuburkan
jasad Rukmi dengan baik. Kini, dia menatap gundukan tanah di depannya dengan nelangsa.

“Cukup sandiwaramu, Samita. Aku akan mencabut nyawamu!”

Sebuah bayangan melesat kencang dengan pedang terhunus. Tanpa memberi kesempatan kepada
Samita untuk bersiap, dia langsung memba-batkan pedangnya. Sementara Samita yang sadar akan
bahaya mencelat ke udara, lalu melakukan salto ke belakang.
“Kebenaran akan selalu terkuak, Anindita!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tubuh Samita berputar membuat pusaran. Serta-
merta dari lengan bajunya meluncur sabuk perak yang menyilaukan.

Anindita pernah sekali berhadapan dengan sabuk ampuh itu dua tahun lalu dan kalah. Sekarang, dia
membabi buta membinasakan Samita dengan jurus-jurus beracun yang ia latih keras selama dua tahun
terakhir.

Tapi, permainan sabuk Samita pun semakin matang setelah gadis itu mendalami kitab Kutub Beku di
dasar jurang Medangkamulan. Serangan pedang Anindita yang ganas dan menebar racun justru
terkepung oleh pusaran sinar perak dari sabuk Samita.

Lingkaran-lingkaran menyilaukan terus menyerbu Anindita dari berbagai arah. Sementara Anindita
memainkan jurus pedang kejam. Selain batang pedang yang sudah dilumuri racun, tebasan pedang itu
terasa betul tanpa ampun.

Membacok untuk membunuh.

Samita yang sudah berpengalaman menghadapi jurus keji itu, sengaja tak memberi kesempatan ujung
pedang Anindita untuk mendekati tubuhnya. Dia memutar tubuhnya hingga pakaian bawahnya mekar
seperti cendawan. Pada saat yang sama, ujung sabuknya terus mengincar dua kaki Anindita.

Suara berdesing begitu ramai. Anindita me-lucurkan senjata rahasianya berupa lempengan-lempengan
besi beracun. Samita bersalto, mengelak. Saat selanjutnya, sabuk di tangannya kembali meluncur
deras menyerbu Anindita.

Istri Rakryan Rangga Majapahit itu mulai kehabisan kesabaran karena serangannya belum juga
berhasil menyentuh tubuh Samita. Ia lalu melompat sambil menodongkan pedangnya. Sementara
kedua kakinya terangkat untuk menyentak. Serta-merta pedangnya ditebaskan ke udara, melepas
tenaga dalam.

Samita yang menyadari datangnya serangan berbahaya, segera melindungi dirinya dengan jurus nuruty
doty. Sabuk peraknya membentuk pusaran yang melindungi tubuhnya. Dua tenaga dalam beda kutub
bertemu. Tubuh Anindita terlempar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi ke belakang. Pedangnya terlempar dan menancap
di tanah dengan gagang bergetar. Samita menggeser kakinya beberapa langkah menjaga keseimbangan
tubuhnya.

Anindita merasakan seluruh tubuhnya lungkrah. Sendi-sendi tubuhnya seperti terlepas dan tercekat
hawa yang dingin. Dia tak akan sanggup lagi meskipun sekadar untuk mendarat dengan tegak.
Untunglah ada sepasang lengan kokoh yang menyambut tubuh Anindita sebelum terbanting ke tanah.

“Samita, tunggulah di sini. Setelah kuselesaikan masalah ini, aku akan mendatangimu!”

Begitu mendapati tubuh istrinya terkulai dalam pelukannya, Respati berlari meninggalkan tempat itu
dengan kilat. Samita tertegun di tempatnya berdiri. Beberapa saat kemudian, dia menghampiri
gundukan tanah kuburan jasad Rukmi. Terpekur lagi di sana tanpa suara.

“Kakang mau menemui perempuan itu?”

Anindita bersandar di pinggir pembaringan dengan dahi berkerut melihat suaminya sibuk memilih-
milih pakaian dan beberapa barang yang kemudian ia masukkan ke dalam buntalan kain.

“Kakang hendak meninggalkan aku dan menemui Samita?”

“Aku baru saja menghadap sang prabu dan mengundurkan diri dari jabatan rakryan rangga.” Mata
Anindita membelalak.

“Aku akan pergi ke Tuban dan mungkin tak akan kembali ke Majapahit.”

“Lalu, kau anggap apa pertalian suci suami istri di antara kita, Kakang?”

Respati menghentikan gerakannya. Menatap Anindita tanpa senyum.

“Apanya yang suci? Kau membohongiku sejak awal perkawinan kita.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita merasa napasnya tercekat di tenggorokan.

Sementara Respati melanjutkan kesibukannya.

“Aku sudah menemui ayahanda Sadhana. Aku akan meninggalkan Majapahit dan mungkin menjadi
pendeta.”

Anindita yang kehabisan tenaga setelah bertempur dengan Samita, tak bisa banyak bergerak. Dia
hanya menggeliat sesekali, memperlihatkan protes diri. Masih untung Samita memang tidak
mengeluarkan seluruh tenaganya, hingga dia tidak terluka dalam.

“Menjadi pendeta? Bagaimana denganku, Kakang?”

“Hubungan kita tak mungkin diteruskan lagi, Anindita. Jika dipaksakan pun pasti akan menyakitkan.
Sudahlah. Kita cari jalan hidup kita masing-masing.”

Anindita terpaku di tempatnya. Bibirnya bergetar hebat.

Bahkan, dia tak kuat untuk mengeluarkan sumpah serapah sekali pun. Anindita menatap Respati
dengan sinar mata berkilat. Ia masih tak bisa berbuat apa pun dan tak berusaha melakukan apa pun
ketika Respati kemudian bergegas meninggalkan ruangan kamar mereka.

“Terima kasih. Bagaimanapun, kita pernah saling mencintai. Aku sangat menghargai caramu
mencintaiku.

Hanya ini semua tak akan berhasil.”


Respati segera berlalu setelah mengatakan kalimat itu.

Sementara Anindita mulai menguras air matanya tanpa suara.

Hatinya mengeraskan kebencian yang amat sangat.

“Ke Tuban?”

Respati mengangguk. Dia sekilas menatap paras Samita yang masih berkabung. Keduanya kini berdiri
di dangau pinggir Danau Tirta Kusuma yang dulu menjadi tempat keduanya mengucapkan selamat
tinggal. Kini, saat-saat itu terulang kembali.

“Aku pernah bertemu dengan seorang arif di sana.

Barangkali beliau mau mengangkatku menjadi murid. Mungkin Tiraikasih Website


http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi setelah itu, aku tak akan pernah peduli terhadap
masalah dunia lagi.”

Samita tak bersuara. Hanya bola matanya beberapa kali bergerak gelisah. Hari semakin sore.

“Samita, terima kasih.”

Samita menoleh, lalu menatap Respati dengan pandangan tak paham.

“Aku tahu perjalanan sulit yang engkau tempuh dua tahun ini untuk mengingatkanku siapa Anindita
sebenarnya.

Sungguh aku sudah merepotkanmu.”

Samita mengalihkan pandangannya, menumbuk

permukaan air danau yang datar dan diam.

“Danurdara menceritakan semuanya kepadaku.”

Samita kembali menoleh ke arah Respati dengan alis mata yang hampir bertaut.

“Danurdara?”

Respati mengangguk.

“Saat Mbok Rukmi mendatangi kediamanku, Danurdara ada di sana karena ingin menemuiku. Begitu
Anindita memerintahkan prajurit untuk menyekap Rukmi, dia sempat menemuinya di gudang karena
didorong rasa penasaran. Saat itulah, Rukmi berpesan kepada Danurdara untuk menyampaikan semua
yang ia ingin katakan kepadaku.”

“Pesan? Pesan apa?”


“Mbok Rukmi menceritakan dari awal kau turun dari kapal pusaka, jatuh ke jurang Medangkamulan,
bekerja di rumah makan Nawa Rawi, hingga perjalanan ke Majapahit.”

Pipi Samita memerah. Wajah Rukmi segera berkelebat dalam benaknya. Perempuan terkasih itu masih
melakukan sesuatu untuk dirinya pada saat terakhir kehidupannya.

Sebenarnya, Samita memang ingin mengisahkan semua Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kesulitan hidup yang ia jalani untuk bisa kembali
ke Majapahit dan menyadarkan Respati siapa sebenarnya Anindita.

Hanya, semangat itu serta-merta menguap ketika melihat kebahagiaan Respati bersama Anindita,
hingga dia tak tega mengatakannya.

“Mbok ….”

Nada lirih keluar dari bibir Samita. Dia kembali melempar pandangannya ke gundukan tanah yang tak
jauh dari tempat ia dan Respati berdiri. Di sana, jasad perempuan mulia itu terbaring untuk selamanya.

“Aku sungguh minta maaf karena telah banyak menyusahkanmu, Samita!”

Samita mengangguk tanpa menjawab apa pun. Ia pun tak sanggup menatap sepasang mata Respati
yang menyimak setiap perubahan kesan pada wajahnya dengan saksama.

“Aku pamit.”

Respati tersenyum pada Samita yang perlahan menoleh ke arahnya. Senyum itu begitu menghunjam
dan menghabiskan nalar. Samita menatap Respati dengan bola mata berkaca-kaca. Senyum itu belum
pudar. Respati seperti menikmati saat-saat tersulit itu.

Di kedua pipinya, terbentuk jurang kecil yang menambah terjajah rasa hati Samita.

Buru-buru gadis itu mengalihkan pandangannya dari Respati.

“Aku berharap Kakang menemukan kesejatian hidup yang Kakang cari.”

Respati mengangguk. Ia beberapa kali mengucapkan terima kasih, sebelum perlahan meninggalkan
dangau itu, menaiki kudanya, lalu memacunya menjauh. Bahkan, Respati tak sempat menanyakan
rencana hidup Samita selanjutnya.

Padahal, gadis itu benar-benar hitam menatap masa depan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah Rukmi tiada dan tujuannya ke Majapahit
telah tercapai, apa lagi yang hendak ia lakukan?

“Apa yang salah dari caraku mendidikmu, Anindita?”


Sadhana termangu. Ia berdiri menghadap jendela kamar, membelakangi Anindita yang masih
terbaring di dipan pribadinya. Lelaki setengah tua itu tak mendapat jawaban.

Tapi, dia pun rupanya tidak begitu mengharapkan jawaban dari bibir Anindita. Dia justru tenggelam
dalam lamunan yang ia bangun.

Tangannya menyatu di belakang pinggang. Mahapatih Majapahit itu masih tampak agung meskipun
seluruh rambutnya sudah memutih. Tapin sekarang matanya berkaca-kaca.

“Apa yang harus aku katakan kepada ibumu di alam baka, Nduk?

Anindita masih juga diam. Dia malah sibuk memainkan ujung kain selimut yang menutup tubuhnya
nyaris sampai ke leher. Pandangan perempuan itu kosong.

“Apa alasanmu memilih semua ini?”

Kali ini Sadhana betul-betul butuh sebuah jawaban. Dia membalikkan tubuhnya, menghadap putri
semata wayangnya itu.

“Aku melakukan semuanya untuk Ayah.”

Suara serak Anindita terdengar pelan. Kata demi kata diselingi isak yang tertahan. Matanya mulai
mengalirkan air mata.

“Apa katamu?”

“Paman Abyasa jelas mengincar jabatan mahapatih, Ayah.

Selama hidupnya pun, dia selalu iri terhadap ayah dan berpikir untuk menyingkirkan Ayah.”

“Itu alasanmu membunuh?” Anindita membisu.

“Katakan Anindita!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Membunuh atau dibunuh.”

Sadhana terkesiap. Bibirnya bergetar. Matanya membelalak. Tangannya mengayun, nyaris menghajar
pipi halus Anindita. Nyaris, karena telapak tangan itu tertahan, lalu lemas.

“Kepada siapa kau belajar cara hidup hewani itu, Nduk?”

Anindita tak menjawab. Air matanya sudah kering. Kini, terpancar kebengisan di sana.

“Siapa gurumu yang engkau sembunyikan bertahun-tahun itu?”

Masih diam. Sadhana menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Baiklah, ini takdir. Sia-sia semuanya. Bagaimanapun, engkau darah dagingku, Anindita.”

Sadhana kembali membalikkan tubuhnya, menghampiri jendela kamar. Sikap berdirinya persis seperti
semula.

“Ayah tak sanggup membodohi diri sendiri. Ayah akan mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih.”

Giliran Anindita terkesiap. Tapi, tetap tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

“Kau. Kau pergilah jauh-jauh dari Majapahit. Ayah bisa melindungimu, tapi tak bisa membohongi
raja. Ayah akan menceritakan semuanya. Pergilah jauh-jauh. Ayah akan memohon agar sang prabu
berkenan menjatuhkan hukuman kepada ayah, menggantikanmu.”

“Ayah!”

Sadhana tersenyum.

“Ayah tak ingin kau terluka, tapi Ayah juga tak ingin mengkhianati sang Prabu.”

Anindita tergugu di tempatnya berbaring.

“Lekaslah berkemas. Jika tak ada lagi pertemuan antara kita, Ayah harap kau bisa mengambil sisi baik
dari kejadian ini.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pikirkanlah! Sebab Ayah pun tak paham, apa sisi
baik dari semua hal yang kau lakukan.”

Setelah mengatakan itu, Sadhana menoleh ke arah Anindita. Matanya sungguh berkaca-kaca. Tapi,
keteguhan hati lelaki gagah itu menang. Dia melangkah penuh keyakinan menuju pintu kamar.
Meninggalkan Anindita yang masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Beberapa saat kemudian,
ketika kesadaran telah terkumpul penuh pada benaknya, Anindita segera bangkit. Secepat-cepatnya dia
harus pergi. Sejauh-jauhnya dia harus berlari. Membawa dendam, berbekal benci yang menjadi-jadi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 14. Kekasih Bisu

Siang itu, di Bukit Medangkamulan, maut menari. Mayat-mayat prajurit Majapahit bergelimpangan.
Darah berceceran, menyinggung batang-batang ilalang dan pucuk-pucuk rumput yang menghijau.
Suara erangan rata di padang yang tak terlalu luas itu. Masih ada yang hidup. Satu-dua orang yang
menyeret tubuhnya untuk menghindari maut.

“Ampun, Nini. Saya hanya prajurit. Hanya melaksanakan perintah. Ampuni saya, Nini.”

Bunyi angin menderu. Bersamaan dengan itu, tubuh si prajurit langsung lunglai dengan suara tercekik
di lehernya, melepas nyawa. Barangkali bibir perempuan bertopeng itu menyeringai. Tak tampak
memang karena topeng kayu buruk yang ia kenakan mematikan kesan apa pun di permukaan
wajahnya.

Ia lalu melangkah penuh kesombongan di antara mayat-mayat prajurit Majapahit yang saling tindih.
Mencari-cari rintihan dan tanda-tanda kehidupan. Lalu, segera mematikannya dengan sekali kibas.

Kecapi di tangan kanannya mengeluarkan suara tipis saat diterpa angin.

Kenyamanannya bercumbu dengan kematian terhenti ketika angin menderu memendarkan rambutnya
yang panjang terurai. Begitu juga dengan jubah hitam yang ia kenakan.

Sesaat kemudian, meledak tawa dari segala arah. Menggema oleh tenaga dalam yang menyedak
gendang telinga.

“Dewi Kecapi Maut. Nama yang terlalu hebat untuk ilmu yang begini cetek.”

Gerakan perempuan bertopeng itu benar-benar mandek.

Dia mengumpulkan kemampuannya untuk tahu di mana lawannya kini berada. Tapi tak semudah itu.
Ia memilih diam menunggu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lehernya menoleh ke samping dan menemukan
dua lelaki bertampang kucel berdiri dengan tangan berkacak pinggang.

Satu di antaranya sudah ia kenal. Lowo Ijo, lelaki pengecut yang kabur dari kejarannya berbulan-bulan
lalu, kini telah berdiri dengan wajah mengejek.

Di sampingnya, seorang lelaki yang lebih tua juga berdiri jumawa. Seluruh rambutnya sudah putih.
Menjemukan sekali wajah lelaki itu. Matanya memancarkan sinar licik. Bibirnya selalu menyeringai.
Rambutnya panjang gimbal.

“Jadi, ini penerus Dewi Kecapi Maut. Cepat kau pulang ke gurumu. Suruh dia datang ke sini agar bisa
kuberi pelajaran.”

Sejak muncul pertama kali di kediaman Rakryan Kesusra, perempuan aneh ini tak pernah
mengeluarkan sepatah kata pun. Kecuali saat ia melengking menembangkan syair bernada satir dan
mencekam. Sejak itu, dia dikenal dengan julukan Setan Kecapi Bisu yang menggegerkan dunia
persilatan.

Dia pembunuh berdarah dingin yang tanpa ampun mencabut nyawa seseorang tanpa alasan yang jelas.
Tak terhitung berapa prajurit Majapahit yang tewas di tangannya.

Ia seperti mendendam terhadap setiap prajurit yang belum tentu berdosa itu.

Kini, di hadapannya berdiri guru dan murid yang merajai dunia hitam. Siluman Laut Kidul dan salah
seorang muridnya, Lowo Ijo.

“Pantas julukanmu setan bisu. Barangkali gurumu telah memenggal lidahmu, Bocah!”
Tetap tak ada jawaban. Lowo Ijo yang sejak tadi berdiri diam dan merasa aman di samping gurunya,
maju ke depan.

Kali ini tanpa bicara apa-apa, dia langsung menghunus pedang besarnya dan memburu tubuh
perempuan bertopeng buruk itu.

Suara ribut pecah ketika pedang besar dan beracun itu menabrak udara dan terus meluncur. Tadinya,
Setan Kecapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi itu tak bergerak sedikit pun. Seperti sedang
mereka-reka kapan dia harus bertindak. Pada titik waktu yang pas, tubuhnya berputar dan menyambut
pedang Lowo Ijo dengan badan kecapi kayunya.

Nada bising berdengung ketika dawai-dawai pada kecapi maut itu terhantam pedang. Namun, tak satu
pun putus.

Padahal, Lowo Ijo telah mengerahkan tenaga yang cukup kuat.

“Ini untuk nyawa Kakang Kolo Ireng.”

Lowo Ijo kesetanan. Dia memutar pedangnya dan membabat ke seluruh titik mati Setan Kecapi. Lowo
Ijo seperti lupa, berbulan-bulan lalu, dia dan Kolo Ireng dibuat malu karena tak sanggup melakukan
apa pun untuk merobohkan Setan Kecapi itu.

Kini, begitu gurunya ada di tempat itu, Lowo Ijo seperti mendapatkan tambahan tenaga. Namun,
semangat saja tak cukup. Setan Kecapi menggerakkan badan kecapinya ke segala arah, menghalau
pedang Lowo Ijo. Sementara, tangan kirinya memainkan jurus Cakar Siluman yang pernah membuat
gempar para pendekar puluhan tahun lalu. Lowo Ijo tak menyerah. Dia mempertaruhkan semua jurus
yang ia kuasai dan nama angkernya sebagai Iblis Laut Kidul yang sangat ditakuti. Seolah ingin
membayar rasa malunya, Lowo Ijo bertarung habis-habisan.

“Segara Wisa!”

Lowo Ijo menghentakkan tangan kirinya, mencuri kelengahan Setan Kecapi. Namun, dia terlalu
menganggap enteng kelihaian perempuan itu. Sekali meliukan tangan, Setan Kecapi sudah mampu
mengubah posisi tangannya dan menyambut tapak berbisa dari jurus keji itu.

Tenaga dalam yang dibenturkan itu membuat kedua orang yang sedang berhadapan itu terpental. Jika
Setan Kecapi langsung bisa berdiri tegak, setelah beberapa kali menggeser kakinya ke belakang, Lowo
Ijo tak begitu. Lelaki itu terpental Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jauh ke belakang dan terbanting ke tanah sambil
memegangi dadanya.

“Kau pantas menjadi penerus Dewi Kecapi Maut.”

Siluman Laut Kidul berdiri dengan tangan menyatu di belakang pinggang. Dia mengamati perubahan
gerak Setan Kecapi yang sangat halus. Langsung mengingatkannya pada sosok Dewi Kecapi Maut
yang sempat membuatnya jatuh hati sekaligus benci setengah mati, puluhan tahun lalu.
Meskipun sama-sama menjadi tokoh golongan hitam, keduanya tak pernah rukun. Sejak muda, mereka
selalu bertikai. Bertemu untuk saling menjajal ilmu. Hingga sama-sama renta, keduanya tetap tak mau
berdamai. Hingga dua puluh tahun lalu, Dewi Kecapi menghilang dari dunia persilatan. Kini, Siluman
Laut Kidul berhadapan dengan penerus Dewi Kecapi Maut yang tak kalah aneh dibandingkan gurunya.
Bahkan lebih aneh.

Kedua tangan majikan Gua Tengkorak itu mengangsur ke depan. Langsung menghentak dengan
kekuatan penuh. Angin besar menerjang Setan Kecapi yang masih berdiri tenang.

Begitu sadar kekuatan lawan, perempuan itu langsung menancapkan kecapinya ke tanah, lalu
menyusul lawannya menyentakkan tangannya ke depan, melepas tenaga dalam terhebat.

Lagi-lagi tumbukan tenaga dalam hebat terjadi. Kali ini, tubuh Setan Kecapi yang terlontar. Dia
terseret tenaga dalam lawan hingga beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya bahkan langsung ambruk
ke tanah tanpa langsung bisa berdiri. Saat itu pula, terjadi beberapa kali ledakan memekakkan telinga,
disusul asap tebal yang menutup pandangan mata.

Lowo Ijo dan gurunya mengibas-ibaskan tangan untuk menghalau asap tanpa racun itu. Perlahan, asap
itu menipis dan menghilang sama sekali. Setan Kecapi telah lenyap.

“Tak perlu dikejar!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lowo Ijo menghentikan langkahnya dan menoleh
ke arah gurunya.

“Kita tak tahu siapa yang menolongnya. Jika kesaktiannya sama dengan Setan Kecapi, kita akan
kalah.”

Lowo Ijo menatap gurunya tanpa berkedip.

“Tenagaku terkuras. Pukulannya sedikit meninggalkan luka dalam di dadaku. Tak perlu dikejar. Yang
penting, utang malu kita terbalas.”

Lowo Ijo mengangguk paham. Ia menghampiri gurunya, lalu mereka berjalan meninggalkan padang
penuh mayat itu dengan hati puas.

Windriya mengangsurkan potongan batang bambu yang sudah diisi dengan air segar. Di depannya,
Setan Kecapi tengah bersila sambil mengatupkan kedua tangannya. Ia sedang berusaha mengurangi
rasa sakit akibat luka dalam terkena pukulan berbisa Siluman Laut Kidul.

“Ini kecapimu!”

Windriya memang tak mengharapkan jawaban.

Dia langsung beringsut agak menjauh, lalu du- duk membelakangi Setan Kecapi. Mereka berdua kini
ada di depan pondok tua Windriya.
Pemuda itu seperti tak ambil pusing dengan keadaan perempuan keji yang baru saja ia tolong itu.
Peledak asap merupakan senjata rahasia Windriya yang digunakan untuk menyelamatkan diri saat
terjepit keadaan genting. Nyatanya, beberapa kali senjata itu bisa menyelamatkan nyawanya.

Windriya baru saja hendak menempelkan bibirnya di lubang seruling bambu kesayangannya, ketika
gerakan tangannya terhenti.

“Tidakkah kau lelah membunuh begitu banyak orang?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tak ada jawaban. Windriya nyengir, lalu belagak
membersihkan serulingnya dengan ujung bajunya yang semakin ketara usang.

“Jika dendam bisa memanggil nyawa yang telanjur melayang, aku akan menyebar bibitnya di ladang
yang luas.

Jika kesumat mampu mengembalikan waktu yang tertinggal, akan kuperas seluruh darahku untuk
membenci.”

Windriya mulai bersyair. Itulah teman hidupnya. Kata-kata yang mengalir lewat lidahnya, mewakili
hati, menghibur kesendirian yang ramai. Itu pula yang ia lakukan dua tahun terakhir. Setelah
memutuskan untuk tinggal di bibir jurang Medangkamulan, Windriya seorang diri saja menghabiskan
waktu dari pagi kembali ke pagi.

Selain serulingnya yang mendayu-dayu, pemuda itu gemar betul bersyair, meskipun tak ada yang
mendengarkan atau menikmati. Dia nyaman seorang diri. Menunggu seseorang yang ia yakini pasti
datang.

Windriya lagi-lagi mengusap permukaan seruling bambunya. Setelah puas, ia kemudian mulai
meniup-niup lubang seruling itu, bergantian memunculkan irama syahdu dan memanjakan
pendengaran. Kedua mata pemuda itu memejam. Seperti penikmat masakan yang mencium aroma
hidangan yang lezat dan istimewa.

Sampai beberapa lama, Windriya terus-menerus seperti itu. Hingga ia benar-benar puas.

“Kau suka mendengarkan seruling?”

Windriya menghentikan permainannya. Dia lalu menoleh ke arah Setan Kecapi tadi bermeditasi.
Kosong. Perempuan bertopeng itu sudah lenyap. Tanpa suara, tanpa kata pamit.

Bahkan, batang bambu tempat air yang disediakan Windriya pun tak pindah dari tempat semula. Mata
Windriya sayu. Ia harus menunggu lagi.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi BAB MAGABATHANGA

15. Kakek Sableng


Perbatasan Canggu.

Tanah-tanah berdebu. Siang yang terik rasanya menguapkan semua air yang ada di dalam tubuh.

Kerongkongan tercekik rasa haus yang menghebat. Musim panas rasanya tak berujung. Dedaunan
hijau tak cukup sakti untuk mengusir panas penyengat kulit.

Seorang penunggang kuda menghela tunggangannya perlahan. Tak seperti sebelumnya, ketika ia
menarik kekang kuda seolah mengajak binatang itu untuk terbang tanpa menginjak bumi. Secepat-
cepatnya sampai ke tujuan. Kini, kuda itu berjalan pelan seolah ingin menikmati suasana di kanan-
kirinya.

Sad Respati, penunggang kuda itu, membiarkan dirinya mengikuti irama kaki tunggangannya. Ter-
sentak-sentak dengan jeda waktu yang demikian teratur. Ringkik kuda sesekali memecahkan suasana
yang bisu. Respati mengedarkan pandangannya. Baru sampai Canggu.

Perjalanan masih sangat jauh untuk ke Tuban, kota yang dipilihnya sebagai tempat mencari kesejatian
hidup.

Pengalaman sesaat ketika dia bertemu dengan seorang arif di kota pelabuhan itu, membuat tekadnya
selalu menghentak-hentak untuk membawanya kembali ke sana.

Padahal, pertemuan itu sudah dua atau tiga tahun lalu.

Nyatanya, Respati tidak kehilangan rasa itu.

Bahkan, sekarang dia rela meninggalkan gemerlapnya kehidupan seorang rakryan rangga Majapahit
yang kesohor.

Dia mengundurkan diri dengan menanggung segala akibat yang ia tak mau pusing memikirkannya.
Pengunduran diri Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sang rakryan rangga yang baru saja menyelesaikan
tugas besar, menghadapkan Putri Suciatma ke hadapan raja sudah pasti mengundang pertanyaan besar.

Bahkan, Prabu Wikramawardhana penasaran dengan alasan Respati yang sekadar ingin mengasingkan
diri ketika berpamitan di hadapan para pejabat Majapahit. Ditambah lagi dengan menghilangnya
Anindita tanpa sebab pasti dari keraton.

Respati hanya mengatakan beban batinnya kepada Mahapatih Sadhana, ayah mertuanya. Tak heran
jika orang nomor dua di Majapahit itu tak ikut sibuk mencari tahu alasan Respati mengundurkan diri.
Namun, tetap saja dia menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengikuti jejak Respati dan
mencari tahu ke mana perginya Anindita, sebelum akhirnya dia pun mengundurkan diri dari jabatan
Mahapatih Majapahit.

Respati pun bukan tak paham pengunduran dirinya bakal mendatangkan banyak masalah. Namun, rasa
sakitnya karena merasa gagal memimpin keluarga telah membuat kepercayaan dirinya menggelepar
dan sekarat. Ia kini tak lebih dari seorang laki-laki yang menyiksa diri dengan perasaan kesal dan sesal
yang menggunung.
“Nora kurang wuiang wuruk Tumrape. Wong tanah Jawi Laku-lakune ngagesang. Lamun gelem
angiakoni. Tegese aksara Jawa Iku guru kang sejati.”

Respati betul-betul menghentikan laju kudanya. Ia dibuat penasaran oleh tembang yang dinyanyikan
oleh suara lelaki tua di pinggir jalan setapak itu. Tidak terlalu merdu. Hanya syairnya yang sarat
makna membuat hati terhenyak.

“Tak kurang piwulang dan ajaran. Bagi orang tanah Jawa perilaku dalam kehidupan. Jika mau
menjalaninya. Makna aksara Jawa itu guru yang sejati.”

Alangkah dalamnya. Respati meresapi setiap kata dalam syair itu. Ia merasa perlu untuk turun dari
punggung kuda dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghampiri seorang lelaki tua yang duduk
menyender pada batang pohon di pinggir jalan berdebu itu.

Dia benar-benar kumal. Wajahnya keriput dengan rambut putih yang tak teratur. Matanya cekung,
parasnya tirus.

Pakaian yang ia kenakan pun demikian kucel. Sepertinya sudah berbulan-bulan tak dicuci. Ada
tambalan di sana-sini.

Tapi, kesan di matanya seperti tak pernah menerima siksaan hidup. Seperti danau yang menaungi
berbagai kehidupan di dalamnya.

“Kisanak, bolehkah saya mengganggu keasyikan Kisanak?”

Lelaki tua itu memandang lekat-lekat ke arah Respati. Dia tersenyum. Semakin lebar. Gigi-giginya
yang kekuningan mulai kelihatan. Semakin lebar. Dia pun kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Dunia ini sudah gila. Para pemimpin tak memikirkan rakyatnya.”

Respati bengong. Dia terus saja mencermati setiap perubahan kesan wajah lelaki tua aneh yang masih
saja tertawa itu. Matanya sampai berkaca-kaca karenanya. Respati membiarkannya sampai puas
tertawa.

“Saya tertarik dengan syair yang Kisanak tembangkan tadi.”

Respati masih berusaha santun. Padahal, hatinya mulai berpikir lain. Bisa jadi orang tua ini memang
tak sempurna pikirannya. Melantunkan syair begitu sarat makna tanpa kesadaran yang penuh. Sekadar
menggumamkan kata-kata yang pernah ia dengar dari orang lain.

“Semakin banyak orang tak mengenal dirinya sendiri. Kau pun begitu!”

Respati setengah tersentak. Lelaki tua itu seperti sengaja hendak mengagetkannya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Tak sadar mana cinta mana benci. Mana baik mana buruk. Ragu-ragu dalam bersikap. Membiarkan
diri jadi pengecut. Cih!”

Respati merasa ditelanjangi. Lelaki tua itu menyudahi kata-katanya dengan membuang ludah ke
samping kanannya.

Masih untung tak ke mukanya. Gigi-gigi Respati beradu. Dia menahan emosi yang hebat. Orang tua
ini bahkan sama sekali tak mengenal siapa dirinya. Bagaimana mungkin dia berani mengumbar caci
maki yang demikian rendah.

Tapi, hati Respati benar-benar merasa ditelanjangi. Sebab, semua yang dikatakan lelaki tua asing itu
benar. Dia coba memimpin hatinya dengan bijak. Meredamkan emosi yang menggelegak. Lalu
tersenyum. Semakin tulus. Hingga benar-benar tulus.

“Saya Sad Respati dari Majapahit. Saya hendak ke Tuban untuk mencari seorang guru.”

Lelaki tua itu kembali tertawa sepuas-puasnya. Seakan kata-kata yang keluar dari bibir Respati
sampah adanya.

Bahunya yang terlihat ringkih terguncang-guncang. Respati semakin tak mengerti. Tapi, dia
membiarkan saja pak tua di depannya menyelesaikan kesenangannya itu. Kata hati Respati merasakan
ada yang istimewa pada diri lelaki tua itu.

“Zaman sudah edan. Bahkan orang bertindak saja tidak bisa jujur. Harus berpura-pura. Mengasihani
diri sendiri.”

Lagi-lagi Respati dibuat tersentak. Orang aneh di depannya seperti tahu betul seluk beluk otak dan
semua isi hatinya. Alis mata Respati terangkat. Sontak tangannya bergerak cepat. Meluncur ke ulu hati
lelaki di depannya.

Gerakan itu tertahan pada jarak setebal kuku dari dada kakek tua itu. Tak ada reaksi.

“Maaf.”

Respati menarik tangannya ketika melihat kakek tua itu tak lantas menangkis serangannya. Berarti dia
bukan orang jahat berkemampuan tinggi seperti yang direka-reka Respati Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sebelumnya. Atau benar, bisa jadi dia memang
orang gila.

Sepakat dengan dugaannya, Respati lalu bangkit sambil memberi hormat. Dia tersenyum sendiri
karena merasa bodoh telah melayani pembicaraan orang gila itu.

Ia lalu menghampiri kudanya, naik di punggungnya, dan mulai memacu kudanya ke arah utara. Pusat
keramaian di Canggu tak sehebat Demak atau Medangkamulan yang kini sedang giat membangun.
Canggu hanyalah sebuah wilayah pedesaan berpenduduk ratusan keluarga yang bekerja sebagai petani
dan nelayan. Dulunya, ketika Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk, Pelabuhan Canggu menjadi
salah satu titik kekuatan niaga. Namun, perang saudara yang berlarut-larut membuat tempat itu tak
seramai sebelumnya.

Penduduk pun banyak yang berpindah ke perbukitan.

Mereka hidup nyaman di punggung-punggung bukit dan dataran rendah di bawahnya. Hidup sederhana
tanpa banyak tuntutan. Apa yang ada di hadapan mereka, itulah kebahagiaan hidup. Tahap-tahap hidup
berputar apa adanya dan tetap seperti itu. Bayi-bayi lahir, belajar berjalan, lalu tumbuh dewasa.
Mereka menjadi tenaga-tenaga baru yang menambah subur tanah Canggu dengan ayunan cangkul yang
kuat.

Mereka kemudian berpasang-pasangan, melahirkan keturunan, lalu terulanglah lingkaran hidup yang
tetap itu.

Respati tak menemukan alasan yang bisa menahannya untuk berlama-lama tinggal di Canggu. Setelah
beristirahat sejenak, membersihkan diri, dan mengisi perbekalan, dia kembali memacu kudanya
menuju Gresik.

Berhari-hari perjalanan dengan kuda terasa singkat.

Respati tak mau berleha-leha. Ia ingin secepatnya sampai ke Tuban dan memulai hidup baru.
Keseharian yang jauh dari hiruk pikuk kepentingan di lingkar kekuasaan. Sambil terguncang-guncang
di atas kuda, Respati semakin dalam merenungkan apa-apa yang telah ia jalani sepanjang 26 tahun
kehidupannya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketidakjelasan asal-usul sudah lama ia kubur dan
tak membuatnya menjadi resah. Ditemani Angga Cuwiri, keris pusaka pemberian gurunya yang konon
warisan kakek buyutnya sendiri, Respati melanjutkan hidup penuh semangat.

Latihan keprajuritan sejak umur belasan mengusir semua kerinduan terhadap kebersamaan keluarga.
Semakin tajam keinginannya untuk menangis, semakin keras Respati melatih diri.

Hingga akhirnya dia terpilih sebagai anggota bhayangkari pada usia tujuh belas tahun. Bertahun-tahun
ditempa segala ilmu dan kepiawaian, Respati menikmati hidupnya. Meskipun acap kali hati nuraninya
bertumbukan dengan tugas yang ia emban. Hati nuraninya yang basah oleh welas asih hampir selalu
bertabrakan dengan tugas kerajaan yang tertanggung di pundaknya.

Seperti ketika dia harus sampai hati membabat pemberontakan di daerah-daerah ketika menjabat
sebagai rakryan rangga. Batinnya begitu tersiksa setiap melihat mayat-mayat bergelimpangan. Pedang
dan tombak tak punya mata.

Perempuan dan anak-anak ikut bersimbah darah dan kehilangan nyawa.

Dua tahun menjabat rakryan rangga nyaris merenggut perasaan halus yang menjadi kepribadian
Respati. Karena itu, di sela kekaguman orang-orang terhadap reputasinya, Respati justru merasa
tersiksa. Ia ingin segera berhenti menghirup udara. Mati terpuji.

Tapi, takdir itu tak kunjung menyapanya. Terbongkarnya kebohongan Anindita menjadi puncak segala
kekecewaan Respati kepada dirinya sendiri. Selain memang sudah muak dengan keseharian di
lingkungan keraton, kenyataan itu benar-benar memukul kepercayaan dirinya.

Tak berlebihan kalau kemudian Respati bertekad bulat mengundurkan diri dari jabatan penting itu.
Apalagi ia juga semakin tertekan dengan kegilaan Rakryan Tumenggung Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sadali. Kebencian dan rasa iri yang pekat di kepala
panglima perang itu membuat Respati semakin tak nyaman.

Puncak segala gejolak itu benar-benar terjadi. Meskipun sadar bahwa akibat keputusan itu akan
mengganggu masa depannya, Respati tak lagi berpikir panjang. Kini dia merasa menjadi anak panah
yang meluncur dari busurnya. Terus melesat mencari sasaran untuk menancap. Tak lagi peduli dengan
masa lalu. Dia hanya berpikir tentang masa depan.

Siang menjelang, ketika derap kaki kuda yang ditunggangi Respati masuk ke Kota Pelabuhan Gresik
yang tak jauh dari pelabuhan besar Surabaya. Ciri khas kota-kota yang tengah berkembang terlihat
juga di sana. Orang-orang yang berlalu lalang tak hanya pribumi berkulit sawo matang.

Orang-orang Tiongkok dan mereka yang berkulit putih sesekali terlihat sibuk melakukan berbagai
pekerjaan. Seperti halnya kota pelabuhan lain, kesibukan mereka berhubungan dengan laut. Respati
terus menghela kudanya perlahan memasuki pusat kota.

Rasa perut yang melilit memaksa Respati untuk menghentikan langkah kudanya di depan sebuah
rumah makan agak besar. Dia segera menyerahkan kudanya kepada seorang penerima tamu untuk
dikandangkan. Lalu, dia segera masuk ke rumah makan itu dengan langkah gagah.

Suasana rumah makan lumayan ramai. Orang-orang duduk melingkar di depan meja-meja kecil yang
menyajikan menu-menu istimewa. Kebanyakan menyantap ikan laut yang telah dimasak dengan
berbagai cara.

Respati menghampiri sebuah meja kosong. Dia duduk tenang di sana, menunggu pelayan datang.

“Pesan apa, Kisanak?”

Seorang laki-laki pelayan mendatangi Respati dengan wajah sumringah dan bersahabat. Sebuah awal
yang baik untuk memancing kenyamanan tamu.

“Apa saja yang istimewa dari tempat ini?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum, lalu
segera kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan Respati. Sambil menunggu pesanannya datang,
Respati menebar pandangannya ke seluruh ruangan rumah makan yang tampak sangat terawat itu.

Lingkungannya cukup bersih dengan segala peralatan yang terlihat rapi dan tertata. Respati merasa
nyaman duduk di sana sambil sesekali menoleh ke arah jalanan yang tampak semakin sibuk. Dari
jendela yang persis ada di belakang punggungnya, Respati bisa menyaksikan lalu-lalang orang-orang
dan kesibukan para pedagang yang menggelar aneka barang di pinggir jalan.

Tepat ketika pelayan datang membawakan menu ikan laut panggang yang mengundang selera, dari
pintu masuk rumah makan itu muncul lima orang laki-laki dan seorang perempuan yang sontak
menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di rumah makan. Mereka yang datang terlihat menarik
karena sama-sama mengenakan pakaian serba putih.

Jubah panjang putih pucat dipadu dengan celana panjang longgar berwarna sama. Keriuhan rumah
makan yang tadinya rata, tiba-tiba terhenti. Semua orang seperti kehilangan hak untuk berbicara.

Sementara pelayan mengatur nasi dan lauk pauk di atas meja, Respati malah sibuk melihat sekeliling.
Dia heran bukan main melihat orang-orang yang tiba-tiba bisu. Mereka terlihat ingin cepat-cepat
menyelesaikan makan siangnya.

“Siapa mereka?”

Pelayan yang ditanya Respati tak menjawab. Justru wajahnya memucat dan tampak ketakutan. Respati
mengangkat alisnya menunggu jawaban. Pelayan itu menggelengkan kepala, lalu buru-buru
meninggalkan Respati.

Tak mendapat jawaban memuaskan, Respati lalu mulai menyantap hidangan di hadapannya. Ia sesaat
tak peduli dengan keadaan sekeliling. Mulutnya terus mengunyah.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lidahnya dimanjakan oleh bumbu-bumbu yang
sungguh nikmat.

Para tamu rumah makan satu per satu menyelesaikan makan siangnya. Mereka kemudian beranjak dari
tempat bersantap dan keluar rumah makan setelah sebelumnya membayar tagihan.

Respati melihat mereka yang keluar dengan saksama.

Kebanyakan para pengembara. Mereka membawa buntalan yang pasti berisi perbekalan di punggung
mereka. Sementara orang-orang berpakaian serba putih tadi mulai menyantap hidangan yang mereka
pesan sebelumnya.

Respati tak lagi peduli. Ia melenyapkan perasaan ingin tahunya tentang orang-orang aneh itu.
Perjalanan masih jauh.

Jadi, ia tidak mau ambil pusing dengan segala hal yang bukan urusannya. Setelah membayar tagihan,
ia pun bersegera meninggalkan rumah makan itu.

Respati menyempatkan diri berputar-putar kota sekadar melihat-lihat suasana. Setelah lama tak
mengunjungi Gresik, segala perkembangan di kota ini membuat Respati berdecak kagum. Kota
pelabuhan itu tampaknya akan semakin maju.

Semakin banyak kapal-kapal dari berbagai negeri yang datang. Para pedagang dari negeri-negeri yang
jauh berniaga dengan tenang.
Orang-orang pribumi pun banyak belajar dan mulai mengembangkan diri. Menjelang sore, Respati
menghela kudanya keluar dari Gresik. Di tepi sebuah danau yang tenang, Respati menghentikan laju
kudanya dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Sambil menikmati suasana alam yang menyegarkan pikiran, Respati membuka buntalan
perbekalannya. Dan, ia merasakan kesegaran ketika air dingin kendi membasahi kerongkongan. Lalu,
ia memejamkan mata, menikmati desau angin.

Tapi sesaat saja. Matanya langsung terbuka ketika pendengarannya menangkap suara gaduh tak jauh
dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tempatnya berleha-leha. Naluri keprajuritan
pemuda ini sungguh tajam. Ia langsung bangkit dan mereka-reka sumber suara yang mencurigakan itu.

Setelah mencari-cari beberapa saat, Respati segera menemukan kegilaan di padang kecil yang tak
terlalu jauh dari pinggir danau tempat ia beristirahat. Orang-orang sedang bertempur hebat. Rasa
heran Respati ketika di rumah makan tadi terjawab.

Orang-orang berpakaian serbaputih yang ia jumpai di sana ternyata adalah kelompok pembantai sadis
tanpa otak. Orang-orang pengembara yang tadi juga bersantap di rumah makan yang sama dengan
Respati kini telah menjadi mayat bergelimpangan dengan darah berceceran.

Orang-orang berjubah putih dengan pedang terhunus itu lalu mulai menggeledah buntalan-buntalan
perbekalan para pengembara itu. Di antara para korban itu masih ada yang hidup. Tapi tak berlangsung
lama. Tangan keji orang-orang berjubah putih itu langsung beraksi, membabat leher mereka hingga
putus.

“Manusia sungguh aneh. Membunuh tanpa alasan.

Padahal setiap hal pasti punya alasan.”

Masih ada yang tersisa. Dia seorang lelaki muda bertampang lugu yang tengkurap di tanah dengan
leher diangkat ke atas. Dia tak kelihatan takut. Matanya yang bening mencerminkan keyakinan.

Sementara itu, meskipun terlambat, Respati merasa bersalah jika mendiamkan aksi itu. Sekali sentak,
ia melompat lalu berdiri menantang di hadapan enam orang pencabut nyawa itu.

“Katakan satu alasan saja, kenapa aku harus melepaskan kalian pergi tanpa lebih dulu kuhukum kalian
atas perbuatan keji ini!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Enam orang berjubah putih itu menoleh ke arah
Respati yang tersenyum dingin. Sama sekali tak memperlihatkan rasa takut.

“Enyahlah dari tempat ini dan kami sementara akan mengampuni nyawamu.”

Respati tak menjawab. Dia malah perlahan menggenggam gagang keris Angga Cuwiri, lalu serta-
merta menghunusnya dengan kecepatan kilat. Pamor biru berkilat.
Enam orang berjubah putih itu sempat terpana. Namun, mereka segera menepis kekagetan itu dengan
menyiapkan pedang masing-masing. Tak mau menunda waktu, Respati langsung menyerbu dengan
gerakan kilat. Enam orang lawannya berlompatan dan membuat lingkaran mengepung Respati.

Mantan rakryan rangga Majapahit itu lantas memutar kerisnya yang panjang dan elok, menyerang
segala arah.

Jurus Hanacaraka yang masyhur itu langsung menampakkan kesaktiannya. Enam orang lawannya
kelihatan sangat berhati-hati. Mereka tak meremehkan Respati, meskipun dia seorang diri.

“Menjala Ikan, Menebar Racun!”

Kepungan enam orang lawan tangguh itu terasa makin rapat. Teriakan salah seorang di antara mereka
rupanya memberi komando perubahan gerak. Respati menyadari, dia tak mengenal cara berkelahi itu.
Jadi, dia memutuskan untuk tak setengah-setengah bertempur. Akhirnya, dia bergerak cepat, berusaha
lepas dari kepungan enam pedang yang terus memburunya.

Tiba-tiba dari segala penjuru meluncur jala-jala yang dilepaskan oleh enam orang aneh itu. Tak beda
dengan jala yang biasa digunakan para nelayan. Senjata unik itu meluncur deras hendak meringkus
tubuh Respati.

Sadar tak mungkin menghindari jurus muslihat ini, Respati menguatkan hati untuk melepaskan tenaga
dalam sekuat-Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kuatnya. Ia langsung memutar tubuhnya sambil
berteriak dan melepas kekuatan bawah sadarnya ke segala arah.

Sontak enam orang yang hendak meringkusnya itu terpental ke belakang. Pedang-pedang mereka
terlontar entah ke mana. Begitu juga dengan jala-jala itu. Kini, keenam-enamnya bergulingan di tanah
sambil memegangi dada mereka yang terasa sesak.

Dahi Respati berkerut. Dia tak yakin telah mengalahkan enam orang itu dengan begitu mudah.
Tadinya dia mengira akan ada ledakan tenaga dalam yang hebat. Kalau pun menang, Respati mengira
dia akan mengalami luka dalam yang hebat. Tapi ternyata tidak. Tenaga dalamnya jauh di atas enam
orang pembunuh itu.

Setelah pikirannya kembali jernih dan keyakinan dirinya kembali. Respati lalu menghampiri salah
seorang dari enam pembunuh berjubah putih itu.

“Kalian bukan sekadar perampok. Katakan, dari kelompok mana kalian berasal!”

Ujung keris berpamor biru di tangan Respati itu kini mengancam leher salah satu anggota komplotan
berjubah putih itu. Dia seorang lelaki berumur tak beda jauh dari Respati. Hanya mukanya terkesan
dingin, tak bersahabat.

Garis wajahnya kasar dan kejam.

Dia tak menggubris kata-kata Respati.


“Kau kejam! Sungguh kejam!”

Gendang telinga Respati terdesak. Dia mendengar suara perempuan dari sisi kanan tempat ia berdiri.
Kedengarannya sangat lain. Sepertinya suara itu mencengkeram pikirannya.

Respati menoleh. Ternyata satu-satunya perempuan di antara kelompok penjahat berbaju putih itu
yang berteriak kencang dan membuyarkan pikiran Respati. Pemuda itu memicingkan matanya.
Melihat lekat-lekat, sementara hatinya kacau-balau.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau bunuh keluargaku semua. Lihat! Kau habisi mereka semua dengan kejam!”

Respati tersentak. Seperti baru sadar dari lamunan panjang. Dia keheranan melihat tubuh-tubuh yang
bergelimpangan bersimbah darah. Respati seperti orang linglung.

Diakah yang membunuh orang-orang itu? Respati kembali menatap perempuan berjubah putih yang
duduk di atas tanah sambil menekan dadanya yang tampaknya terluka.

“Kau tak percaya padaku? Lihat saja, seluruh tubuhmu bersimbah darah orang-orang yang kau
bunuh!”

Respati tersentak. Matanya melotot ketika melihat seluruh pakaiannya bersimbah darah merah segar.
Begitu juga dengan kerisnya. Semua serba darah.

“Harusnya kau menyesali perbuatanmu dan bunuh diri!”

Mata Respati berkaca-kaca. Hatinya tiba-tiba dicengkeram sesal dan sedih yang luar biasa. Ia merasa
menjadi manusia paling berdosa di muka bumi. Sekali lagi, ia menatap perempuan muda yang masih
duduk di atas tanah itu.

Lalu, perlahan-lahan tangan kirinya bergabung dengan tangan kanannya, menggenggam gagang keris
dan diacungkan ke arah dadanya sendiri.

Otaknya terasa kosong. Cuma ada rasa sesal yang menggunung. Rasa bersalah yang tak termaafkan.
Tangan Respati bergetar hebat.

Tanpa ragu, ia lalu menghunjamkan keris berbilah panjang itu ke dadanya. Namun, pada saat yang
sangat kritis itu, punggungnya disentak oleh pukulan seseorang dari belakang, yang membuat tubuh
Respati terdorong ke depan. Keris pusaka itu jatuh ke tanah.

Respati terhenyak. Meskipun tak sampai jatuh, dia sempat sempoyongan akibat pukulan dari belakang
itu. Dia lalu membalikkan tubuhnya, penasaran dengan orang yang medorongnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Orang tua sinting itu! Lelaki kumal yang ditemui
Respati di perbatasan Canggu berdiri dengan dagu terangkat dan tangan bersedekap. Seolah tak peduli
dengan keterperangahan Respati.

“Kisanak, kenapa Anda menyerang saya?”

“Lihat dirimu, keledai bodoh!”

Respati bertambah heran. Lelaki itu tak lagi tertawa seperti ketika keduanya bertemu pertama kali.
Sekarang dia malah mengatai Respati sebagai keledai bodoh tanpa beban sama sekali.

“Maksud Kisanak?”

“Tanya saja pada pemuda dungu itu.”

Respati menoleh ke arah pemuda bertampang lugu yang berdiri tak jauh darinya. Dia pemuda
pengembara yang tadi nyaris dibunuh oleh komplotan berjubah putih kalau saja Respati tak datang.

Yah, di mana komplotan jubah putih berdarah dingin itu?

Ke mana puia perempuan yang menuding Respati sebagai pembunuh? Respati semakin bingung. Dia
menatap pemuda di depannya dengan tatapan tak mengerti.

“Kisanak hampir bunuh diri jika kakek itu tak menepuk punggung Kisanak.”

Respati tambah melongo. Dia menggelengkan kepala tak percaya. Bunuh diri? Atas dasar apa?
Bahkan, tindakan itu sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran Respati.

“Namanya Ilmu Jala Sukma. Siapa pun yang menguasai ilmu itu bisa menguasai pikiran orang lain.”

Respati menoleh lagi pada lelaki tua itu. Dia masih tak bersuara.

“Kau ini bagaimana? Namamu terkenal di mana-mana, tapi menghadapi ilmu picisan seperti itu saja
tak becus.”

“Saya ….”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Percuma kau mewarisi Ilmu Hanacaraka. Melawan ilmu cetek mereka, kau tak bisa apa-apa.”

Respati bengong tanpa kata-kata. Dia mulai bisa memahami mengapa ia merasa ada yang terputus
dalam pikirannya. Seingatnya, dia telah mengalahkan enam penjahat berjubah putih itu. Tapi tiba-tiba
saja, dia seperti terperangkap dalam keadaan yang memusingkan.

Emosinya kacau-balau dan tak berpijak pada pikiran yang jernih.

“Saya Sad Respati memang bodoh. Mohon petunjuk dari Kakek yang berilmu mumpuni.”
Respati mengatupkan kedua tapak tangannya.

Dia lalu menundukkan kepalanya khidmat.

“Aaah! Aku paling benci kelakuan seperti ini. Sudah-sudah!

Kau bangkitlah. Lalu bantu aku menguburkan mayat-mayat ini.”

Respati tak banyak bicara. Ia menganggukkan kepala dan mengikuti apa kata kakek tua aneh itu.
Dibantu oleh Martaka, pengembara berwajah lugu yang ia selamatkan, Respati mulai membuat galian
di lahan itu. Kakek tua aneh itu duduk timpuh sambil berkomat-kamit di depan jasad-jasad mati para
pengembara malang itu.

Tidak ada kesan seenaknya di raut wajahnya. Benar-benar khusyuk. Sangat menghormati jasad-jasad
mati itu. Setelah beberapa lubang besar selesai digali, mayat-mayat itu mulai dimasukkan ke liang
tanah. Beberapa lubang mesti diisi dua sampai tiga mayat. Menjelang sore, barulah semua selesai.

Tanpa bicara apa-apa, lelaki tua itu sudah berjalan dengan sesekali berjinjit meninggalkan tempat itu.
Betul-betul orang aneh. Respati menoleh ke arah Martaka. Seolah mendapat kesepakatan, keduanya
lalu bangkit dan menyusul lelaki tua itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati merasa otaknya semakin ruwet. Rasa
penasaran terhadap lelaki tua itu semakin menjadi. Dia dengan santainya berjalan menuju tepi danau
tempat Respati menambatkan kudanya. Rupanya, dia tahu benar mana tempat paling nyaman untuk
beristirahat.

“Apa yang kau siapkan untuk menjamuku?”

Setelah ketiganya duduk di bawah pohon pinggir danau itu, si kakek aneh mulai membuka percakapan.
Sambil tersenyum, Respati lalu membuka buntalan perbekalannya. Ia mengeluarkan beberapa
penganan, lalu disodorkan kepada kakek misterius itu. Baru setelah itu, dia menawari Martaka.

Ketiganya menyantap makanan tanpa kata-kata. Kecuali bunyi mulut kakek gila itu yang terdengar
lumayan keras saat mengunyah. Betul-betul seenaknya.

“Jadi pemimpin itu harus seperti surya (matahari), memancarkan sinar terang sebagai sumber
kehidupan.

Menumbuhkan daya hidup rakyatnya untuk membangun negerinya.”

Kata-kata aneh itu lagi. Keluar di sela bunyi decak setiap kakek gila itu mengunyah penganan dalam
mulutnya.

Terdengar bijak. Hanya karena yang mengucapkannya adalah lelaki tua kumal dan tak tampak
berpendidikan, kalimat itu seperti kata-kata tak berarti.

Toh Respati tetap mendengarkan dan tak bermaksud mendebat. Dia memperhatikan gerak-gerik lelaki
tua aneh itu sambil sedikit-sedikit mencicipi penganan di tangannya.

Sementara Martaka tak begitu peduli terhadap dua orang teman barunya itu. Pemuda lugu yang
umurnya belum genap dua puluh tahun itu bersemangat sekali mengisi perutnya yang sudah
keroncongan setelah seharian menguras tenaga menguburkan mayat-mayat itu.

“Seorang pemimpin juga harus menjadi candra (rembulan).

Memancarkan sinar di tengah gelap malam. Dia harus mampu memberi semangat kepada rakyatnya di
tengah suasana suka ataupun duka.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki aneh itu selesai menghabiskan penganan di
tangannya. Tanpa sungkan, dia meraih kendi milik Respati dan menenggak isinya.

“Orang-orang merindukan pemimpin berjiwa kartika (bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada
di tempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah. Dia harus menjadi teladan perbuatan yang
baik.”

Dahi Respati berkerut. Ia semakin tak mengerti apa maksud lelaki renta itu. Dia datang seperti orang
gila, berhari-hari mengikutinya, menyelamatkan nyawanya, dan kini memberi wejangan panjang lebar,
seolah-olah seorang guru yang tengah memberikan nasihat kepada muridnya Kakek aneh itu lalu
menggeleng-gelengkan kepala.

Menatap permukaan danau dengan mata syahdu.

“Negeri ini kehilangan pemimpin berhati angkasa, luas tak terbatas. Mampu menampung apa saja
yang datang padanya.

Punya ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri, menampung pendapat rakyatnya.”

Respati tersenyum. Dia meraih kendi bekas kakek tua itu, lalu menenggak air sisa di dalamnya.

“Yah, sejak lama rakyat mendambakan pemimpin berjiwa maruta (angin). Ada di mana-mana tanpa
membedakan tempat. Selalu mengisi semua ruang yang kosong. Dekat dengan rakyat, tanpa
membedakan derajat dan martabatnya.”

Serta-merta kakek aneh itu menoleh ke arah Respati.

Memandanginya dengan saksama tanpa berkedip. Kata-kata pemuda di hadapannya adalah lanjutan
yang pas dari lima kalimat yang ia katakan lebih dulu. Ia tampak seperti menahan marah.

“Pemimpin juga harus bersemangat samudra (laut/air), betapa pun luasnya, permukaannya selalu datar
dan bersifat sejuk menyegarkan. Bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati menaruh kembali kendi wadah air yang
tadi ia tenggak isinya. Ia sempat menawarkan air segar itu kepada Martaka yang menggelengkan
kepala karena memang masih sibuk mengunyah.

“Tapi, seorang pemimpin sejati juga harus memiliki sifat dahana (api). Punya kemampuan membakar
semua yang bersentuhan dengannya. Berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa
pandang bulu.”

Tatapan dua orang laki-laki beda generasi itu bertumbukan. Sama-sama memicing. Kesan seenaknya
yang biasanya rata pada wajah lelaki renta itu, lenyap sama sekali.

Sebaliknya, dia menatap Respati seperti elang lapar.

“Tapi kau tak boleh lupa. Pemimpin sejati juga harus berhati nurani bhumi (bumi/tanah). Kuat dan
murah hati.

Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Bermurah dan tidak mengecewakan kepercayaan
rakyatnya.”

Lelaki tua itu menyeringai sinis penuh kemenangan.

Sebab, dia memperoleh giliran mengucapkan kata terakhir dari delapan sifat pemimpin sejati tanpa
bisa dilanjutkan oleh Respati. Sementara pemuda di depannya itu memutar otak agar tak terjebak
dalam kekalahan.

“Apakah kalian sedang membincangkan Hasta Brata?

Kakek tua dan Respati langsung memandang Martaka dengan kesan wajah yang sulit ditebak
maknanya. Mereka lalu berpandangan. Diam sejenak. Sontak keduanya tertawa lepas sangat keras.
Sejadi-jadinya.

“Jangan pernah menilai orang dari penampilannya.”

Kalimat itu sempat juga keluar dari bibir kakek tua itu, meskipun kemudian tenggelam oleh tawa yang
menjadi-jadi.

Kedua matanya mengeluarkan air mata. Sementara tawa Respati mulai melemah.

Dia kembali menguasai diri, lalu menatap Martaka saksama. Salah satu alis pemuda tanggung itu
terangkat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kelihatan sekali dia masih seorang bocah yang
menjelang dewasa. Masih mentah.

“Dari mana kau belajar tentang Hasta Brata, Martaka?”

Rupanya, hal inilah yang membuat kakek aneh dan Respati tepingkal-pingkal. Hasta Brata merupakan
bagian dari ajaran kepemimpinan yang hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Mengetahui bahwa
kakek misterius itu tahu benar tentang

Hasta Brata sudah cukup membuat Respati kaget.

Makanya, ia lantas menjajaki seberapa jauh lelaki tua itu memahami hakikat Hasta Brata. Setelah
saling bersahutan, sadarlah Respati bahwa lelaki tua itu benar-benar bukan orang sembarangan.

Selain tahu makna tersirat Ilmu Hanacaraka, mementah-kan Ilmu Jala Sukma, tahu benar siapa
Respati, kini kakek itu mengartikan dengan sangat tepat setiap kata dalam Hasta Brata. Tapi,
kesadaran baru itu langsung disentakkan oleh kesadaran lain yang lebih segar. Kesadaran untuk tak
meremehkan orang lain. Kesadaran itu muncul ketika Martaka dengan santainya menebak bahwa
kedua orang di depannya sedang saling sahut melafalkan inti Hasta Brata.

Bukankah itu sebuah keluarbiasaan? Ketika Respati dan kakek itu berupaya menang satu sama lain,
justru Martaka yang menjadi pemenang. Dia seperti jurus pamungkas yang hanya muncul satu kali,
namun demikian menentukan. Kalimat yang dikatakan pemuda tanggung itu merupakan simpul mati
yang meringkus keakuan Respati dan si Kakek yang saling tak mau mengalah.

“Bocah, dari siapa kau tahu tentang Hasta Brata?”

Martaka tetap tak menjawab. Dia meraih kendi dan menenggak sisa air di dalamnya. Ia sengaja
membuat si kakek aneh dan Respati menunggu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Apa hebatnya tahu rapalan Hasta Brata? Banyak orang pintar yang hafal bertumpuk-tumpuk kitab,
namun tak satu kalimat pun yang digunakan untuk menolong orang lain.”

Martaka tak merasakan beban apa pun saat mengatakannya. Dia tak peduli pada Respati dan kakek
gila yang kini terbengong-bengong menatapnya. Sontak meledaklah tawa lelaki tua itu untuk kesekian
kalinya. Sekeras sebelumnya.

“Kau benar. Otakmu ternyata tak sedungu wajahmu.”

Lelaki renta itu terus tertawa. Sementara Respati menggelengkan kepalanya. Setelah tawa itu reda dan
si lelaki tua itu tak punya lagi alasan untuk tertawa, Respati mencoba berbicara sungguh-sungguh.

“Kakek, bahkan kami belum mengetahui nama Kakek.

Rasanya tidak sopan bagi kami yang lebih muda berbicara tanpa menyebut nama Kakek.”

“Buat apa kau pusing memikirkan namaku? Pikirkan saja nama besarmu yang cuma omong kosong
itu.”

Wajah Respati memerah.

“Kakek sungguh-sungguh mengenal saya?”


“Siapa tak kenal nama Sad Respati, Rakryan Rangga Majapahit yang ternyata tak sehebat namanya?”

Respati merasa malu sendiri. Sementara Martaka mengangkat alisnya hingga bertaut.

“Jadi, Kakang adalah rakryan rangga Majapahit?”

“Bekas. Sekarang tidak lagi.” Respati merasa terjebak dan merasa kehabisan kalimat untuk berdebat.
Dia melepaskan pandangan ke air danau yang tenang memantulkan cahaya sore.

“Orang di seluruh negeri membicarakanmu, Respati.”

Respati kembali menoleh ke arah lelaki tua itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Orang-orang heran kenapa kau tinggalkan segala kemasyhuranmu dan memilih menjadi gelandangan
tak jelas seperti sekarang.”

Respati tersenyum. Akhirnya, dia bisa mendengarkan kata-kata si kakek tua itu dalam kalimat yang
tak main-main.

“Banyak alasan. Tapi yang paling utama, aku sudah sangat capek melawan hati nuraniku sendiri.”

“Bukankah enak menjadi seorang rakryan rangga, Kakang?”

Respati berganti menatap Martaka. Kepalanya menggeleng.

“Bagaimana kau tahu, Martaka?”

“Nama terkenal, harta berlimpah, perempuan-perempuan cantik. Apa lagi yang dicari?”

“Aku menikmati jabatan itu sebagai salah satu warna dalam hidupku. Sekarang, aku merasa harus
bergerak menyambut warna lain dalam perjalanan umurku.”

“Tampaknya kau sama sekali tak tertarik membicarakannya, Respati?”

Respati tersenyum dan menatap kakek tua di hadapannya.

“Kenapa tidak kita bicarakan tentang kelompok perampok berjubah putih yang hampir saja membunuh
Martaka, Kakek?”

“Cih! Mereka cuma bramacorah kelas rendah. Buat apa pusing memikirkannya.”

“Aku sependapat denganmu, Kek. Tenaga dalam mereka biasa saja. Bahkan, aku bisa mengalahkan
mereka semua dalam satu gebrak. Tapi, ilmu aneh yang digunakan salah satu anggota kelompok itu
sungguh hebat.”

“Apanya yang hebat? Itu cuma ilmu tipu muslihat untuk membohongi lawan.”
“Bagaimana melawannya, Kek?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau ini bagaimana, Respati? Seingatku, gurumu tak sebodoh ini.”

“Kakek mengenal guruku?”

Respati tersentak. Matanya melebar setengah tak percaya.

Senyumnya mengembang penuh harap. Sudah belasan tahun dia tak bertemu dengan gurunya.

“Sudarpa itu orang gila. Lebih sinting dibandingkan aku.

Tapi dia tak terlalu bodoh. Tidak seperti-mu.”

Respati tak peduli dengan caci maki lelaki tua itu. Dia terus menatapnya dengan penuh harap.

“Kakek salah seorang temannya?”

“Kata siapa gurumu itu punya teman? Dia itu orang yang sangat bangga dengan dirinya. Tak merasa
perlu teman.”

Senyum Respati semakin mengembang. Dia yakin kakek aneh itu tak sedang berbohong. Sebab, sosok
gurunya memang sama persis dengan gambaran yang dikatakan kakek renta itu. Ki Sudarpa, gurunya,
adalah pendekar pilih tanding yang memiliki sifat sedikit angkuh meskipun hatinya baik.

“Kapan Kakek bertemu dengannya? Di mana dia sekarang?”

“Kau ini seperti bocah saja. Siapa peduli di mana gurumu sekarang. Aku hanya ingin mengatakan, dia
tak sebodoh dirimu. Karena dengan pemahaman Hanacaraka yang ia miliki, ilmu picisan seperti Jala
Sukma itu tak akan bisa berbuat apa-apa.”

Respati menghentikan rengekannya. Dia mendengarkan kata-kata kakek aneh itu dengan sungguh-
sungguh.

“Apa yang kau pahami dari huruf ca, Respati?”

“Cipta wening, cipta manduiu, cipta dadi. Satu arah dan tujuan kepada Gusti pencipta alam raya.”

“Lalu, kenapa kau masih bingung ke mana kau harus menyandarkan jiwa ragamu?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam.

“Melawan ilmu pengacau pikiran sejenis Jala Sukma hanya perlu meyakinkan hati terhadap kekuasaan
Gusti. Jika kau yakin kekuatan Gusti mengalahkan segala-galanya, tipu muslihat itu tak akan bisa
membuat otakmu rancu.”

Respati makin diam. Dia merasa menjadi murid bodoh yang tengah mendengarkan wejangan gurunya.
Nyatanya dia merasa masih mentah memahami hakikat jurus Hanacaraka warisan gurunya.

“Aku jadi tak paham bagaimana Sudarpa melatihmu.”

Kakek bermulut pisau itu membuang muka. Seperti seorang guru yang sebal karena muridnya tak
kunjung paham dengan pelajaran yang ia berikan.

“Sayalah yang bodoh.”

“Kau memang bodoh. Bahkan, kalah oleh perempuan belia yang baru sehari belajar hakikat
Hanacaraka.”

Kening Respati berkerut hebat. Sementara kakek aneh itu menutup rapat mulutnya, seperti bocah yang
menyesal karena keceplosan mengatakan sebuah rahasia.

“Perempuan muda siapa?”

“Ah, bicara apa kau ini. Setiap kata-kataku kau anggap sungguh-sungguh. Aku hanya ingin kau tahu
bahwa kau kurang bertekad belajar Ilmu Hanacaraka.”

Respati melepas napas panjang. Menekan rasa harga dirinya agar tak terbawa amarah karena merasa
direndahkan.

“Respati mohon petunjuk kepada Kakek.”

Tak ada kalimat yang menyahut. Lelaki tua itu malah celingukan, seperti tak peduli terhadap Respati.
Sedangkan Martaka menyenderkan punggungnya di batang pohon tanpa bermaksud menyela
perdebatan dua orang hebat di depannya.

“Ah, kau tidak bodoh. Siapa bilang kau bodoh. Dulu kau pun sangat hebat. Hanya kau terlalu sibuk
dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pekerjaanmu. Sekarang, kau sebebas burung. Kau
punya banyak waktu untuk memaknai Hanacaraka.”

Respati melongo. Kepalanya menggeleng. Orang tua ini benar-benar bebal, kadang menyebalkan.
Bicara seenak perut sendiri. Meskipun begitu, Respati tetap bersikap hormat karena yakin orang tua
itu bukan orang sembarangan.

Hari mulai gelap. Ketiganya mulai sibuk membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Hingga
larut malam, perbincangan tentang keadaan negara yang carut-marut mengalir deras. Ketiganya
semakin akrab meskipun tetap saja sifat-sifat dasar yang saling bertentangan sesekali membuat
letupan-letupan. Si kakek setengah gila yang gemar mencaci, Martaka yang cuek tapi cerdas tak
seperti wajahnya yang lugu, dan Respati yang kalem dan sedikit menjaga wibawa, menjadi pertemuan
yang sungguh unik.
Berbeda satu sama lain dan tak saling mencampur. Seperti air dan minyak. Membentuk garis batas
yang tak saling membaur. Hampir fajar ketika ketiganya tertidur sambil bersedekap. Mata terpejam,
tapi indra waspada. Hari benar-benar terang ketika Respati menggoyang tubuh Martaka.

Membangunkannya dengan paksa. Keduanya lalu celingukan, mencari-cari. Si kakek aneh itu sudah
tak terlihat. Pergi tanpa pamit. Respati terlalu lelap hingga tak sadar orang tua itu meninggalkan
tempat itu ketika hari hampir terang.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 16. Perguruan Kesawa

Kuda yang dinaiki Respati dan Martaka berketipak pelan ketika masuk Kota Tuban. Dari Gresik,
keduanya sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke kota pelabuhan itu bersama-sama. Setelah
memastikan bahwa kakek aneh itu tak bakal kembali, keduanya lalu berboncengan dengan satu kuda
melaju ke Tuban.

Hari menjelang siang ketika mereka sampai di gerbang Kota Tuban. Mereka lalu turun dari kuda dan
menuntunnya perlahan menyusuri jalan kota yang padat. Kota pelabuhan ini semakin ramai saja.
Respati mengunjunginya dua tahun lalu.

Kelihatan sekali ada banyak kemajuan yang dicapai oleh para penduduk.

Bangunan-bangunan baru rata di kanan-kiri jalan. Semakin banyak orang asing yang berlalu-lalang
atau berdagang.

Wajah-wajah mereka menunjukkan asal usul beragam. Ada orang-orang berkulit putih dan bermata
biru, tidak sedikit juga perantau Tiongkok bermata sipit dengan kulit kuning langsat.

Selain itu, perantau asal Gujarat yang berkulit cokelat juga mulai terlihat banyak.

Mereka berjualan aneka barang yang selalu dikerumuni oleh para pembeli yang kebanyakan warga
pribumi. Berbagai perhiasan dan kain-kain indah mereka bawa dari negeri jauh.

Barang-barang itu begitu diminati. Terbukti semakin siang, justru banyak orang-orang yang
mengerumuni para penjual itu dan mulai menawar harga barang.

“Aku minta angin berembus kuat, biar ayahku bisa mencari ikan sampai ke tengah laut dan
memperoleh hasil tangkapan yang banyak.”

Seorang gadis belia berdiri anggun di depan seorang lelaki yang duduk bersila dengan tumpukan daun
lontar di depannya. Nada suaranya tegas namun terkesan badung.

Umurnya sekitar delapan belas tahun. Kulitnya cokelat, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kelihatan bersih. Dia mengenakan pakaian
sebagaimana perempuan pribumi berdandan. Hanya di bahunya tergantung kain lebar yang terjuntai.
Warnanya merah mencolok. Seperti milik gadis-gadis Gujarat. Rambutnya ikal terurai kemerahan.
Kelihatan sangat terawat. Warna merah pada rambutnya tak kering, seperti ketika rambut biasa
terpanggang sinar matahari. Rambut indah itu sepertinya sengaja diwarnai dengan cairan khusus
hingga kemilau indah.

Wajahnya bulat telur berkulit cokelat halus. Matanya bulat lebar dengan bulu mata lentik. Hidungnya
mungil mancung.

Selain gadis itu, beberapa orang ikut berdiri mengerubung lelaki setengah tua yang bertingkah
layaknya dukun itu.

“Nini jangan khawatir. Dengan mantra-mantra saya, Dewa akan mendengarkan setiap permintaan
Nini.”

Si gadis menaruh uang kepengan di depan lelaki yang bersila itu. Dia seorang lelaki pribumi dengan
kepala diikat kain berwarna hitam. Mulutnya komat-kamit.

“Tunggu. Pamanku satu lagi adalah seorang petani. Kalau angin bertiup terlalu kencang, bisa-bisa padi
yang ditanamnya akan hancur semua!”

Gadis itu terlihat bersungguh-sungguh saat mengucapkan kalimat yang memotong mantra dukun itu.
Dia betul-betul seperti sedang mengkhawatirkan seseorang. Sementara si dukun tampak setengah
kesal.

“Nini jangan khawatir, dengan mantra-mantra saya, paman Nini yang petani itu akan selamat dari
musibah angin besar.”

Gadis belia itu tersenyum tertahan. Ia lalu mengangkat dagunya.

“Hebat sekali mantra Bapak ini. Di satu tempat angin bisa mempunyai dua sifat. Setengah besar,
setengah kecil.”

Gadis itu seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Kesan mukanya seperti tengah berpikir keras untuk memahami kalimat itu. Sementara orang-orang
yang ikut mengerumuni dukun itu juga ikut berpikir.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Wah, kau dukun palsu. Kau cuma ingin cari keuntungan!”

Orang-orang mulai berteriak-teriak. Satu-dua mulai meninggalkan tempat itu dengan gerutu. Sebagian
lagi menyusul kemudian.

“Tunggu, Tuan-tuan. Saya bukan pembual. Mantra-mantra saya benar-benar bisa jadi perantara
Dewa.”

Tak ada yang mendengarkan. Mereka sudah bubar.


Tinggal gadis berambut ombak itu yang masih berdiri di depan dukun itu. Si gadis lalu
membungkukkan badannya, memungut lagi uang kepeng yang tadi ia berikan kepada dukun itu.

“Hei, apa yang kau lakukan, Bocah gemblung (gila/edan)?”

Si gadis pura-pura tak paham. Dia tetap memungut uang kepeng itu, lalu hendak membalikkan
tubuhnya dan berlalu.

Sementara laki-laki dukun itu bangkit dan meraih bahunya.

“Kau kira bisa seenaknya mempermainkan aku, heh?!”

“Kau hendak berbuat kasar pada perempuan?”

Tangan si dukun semakin kuat mencengkeram bahu gadis itu. Bahkan ketika si gadis mengancam
hendak berteriak, lelaki dukun itu bergeming.

“Aku akan memberimu pelajaran dulu, baru kau bisa pergi.”

Gadis itu mulai meronta, tapi tak berhasil melepaskan cengkeraman tangan lelaki dukun itu. Malah
kemudian lengan dukun itu melingkar di lehernya. Tentu saja si gadis mulai panik. Lehernya yang
ramping tergencet oleh lengan si dukun yang cukup berotot. Ia terus meronta. Kedua tangannya
bergerak sekenanya. Tapi tetap saja tak mengubah apa pun.

“Kau akan menyesal!”

Itu saja kalimat yang keluar dari bibir gadis belia itu. Sebab, ia lantas sibuk menggerakkan tangan dan
kakinya berusaha melepaskan diri. Sementara lengan yang melingkar di lehernya semakin erat
mencekik. Orang-orang yang telanjur Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berlalu dari tempat itu tak seorang pun berminat
menolehkan kepalanya.

Sementara yang lain cuma celingukan. Ragu-ragu, antara hendak menolong atau menyingkir jauh-jauh
karena tak ingin ikut repot sebab lelaki dukun itu mulai memperlihatkan wajah aslinya. Tampangnya
berubah garang dan mengancam. Pisau besar yang menggelantung di bahunya sewaktu-waktu siap
dicabut dan dihunjamkan.

Gadis belia itu pun sudah kehabisan akal. Dia hampir putus asa karena merasa napasnya semakin
sesak. Namun kemudian, tiba-tiba desakan di lehernya mengendur. Cepat sekali mengendur. Tubuh
lelaki dukun yang memeluknya dari belakang pun secepat kilat melorot dan ambruk ke tanah begitu
saja. Dia lantas tak bergerak sama sekali. Cuma matanya yang masih melirik ke sana kemari.

Si gadis menoleh ke kanan dan ke kiri karena yakin ada orang lain yang telah menolongnya. Dukun
gila yang menyerangnya tadi jelas terkena totokan yang ampuh. Sebab, dia sama sekali tak mendengar
suara apa pun sebelum dukun sableng itu ambruk ke tanah.

“Berbuat baik tak akan pernah berujung penyesalan.


Laksmi berterima kasih atas pertolongan Kakang berdua.”

Dari arah kanan gadis itu, Respati dan Martaka berjalan pelan menghampirinya. Respati tegap
melangkah sambil memegangi tali kekang kudanya. Sementara Martaka berjalan di samping kuda
dengan langkah patah-patah.

“Hmmm, jadi gadis pemberani dan cerdas ini bernama Laksmi?”

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk.

“Ah, tak enak rasanya berutang budi. Katakan saja apa yang bisa Laksmi berikan kepada Kakang
berdua sebagai balas budi.”

Respati tersenyum lebar. Dia terdiam sesaat. Matanya mendapati kebingungan di wajah Laksmi, gadis
belia itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati menggelengkan kepala tanpa alasan. Sosok
Laksmi mengingatkannya kepada seseorang, sebuah nama.

“Mengapa berpikir tentang balas budi? Bukankah manusia ada untuk saling membutuhkan?”

Gadis itu menautkan kedua alisnya seperti sedang berpikir keras. Tangannya bergerak luwes
membetulkan letak sebagian rambutnya yang dikibarkan angin hingga mengganggu pandangannya.

“Ah, mana boleh begitu. Baiklah, aku akan mengisahkan suatu cerita lucu kepada Kakang berdua.
Kalau kalian tertawa, berarti utangku lunas. Bagaimana?”

Respati terpana, sedangkan Martaka tak bereaksi.

Keduanya sama-sama dibuat takjub oleh perilaku gadis belia itu yang lain daripada yang lain.

Respati dan Martaka saling pandang dan tersenyum lebar.

Keduanya lalu mengangguk tanpa beban. Sementara Respati semakin tertarik dengan kepribadian
Laksmi yang dianggapnya tak lazim bagi seseorang yang baru saja saling kenal.

Laksmi mulai berjalan bolak-balik. Setiap kakinya membuat tiga-empat langkah. Dua tangannya sibuk
mengelus sebagian rambutnya yang ada di depan bahu.

“Seorang buta berjalan membawa gentong di atas pundaknya sambil menenteng obor. Ia berjalan
menuju sungai untuk mengambil air. Seseorang yang melihatnya menghampiri sambil terheran-heran.
Dia berkata, ‘Wahai orang buta, malam hari dan siang hari sama saja bagimu.

Apakah guna obor itu?” Orang buta itu menjawab, ‘Hai orang yang suka mencampuri urusan orang
lain, lampu ini kuperuntukkan bagi orang-orang yang buta hati agar ia tidak terpeleset atau
menabrakku hingga aku terjatuh dan gentongku pecah.’”
Laksmi berhenti bergerak. Menolehkan kepalanya menunggu reaksi dua pemuda di depannya. Tak ada
suara.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tapi beberapa saat kemudian, senyum Respati
mengembang.

Semakin lebar, hingga gigi-giginya yang putih dan rapi terlihat begitu jelas. Martaka yang tadinya
membisu, sontak terbahak.

Keras sekali hingga beberapa lama. Matanya berkaca-kaca, sedangkan kedua tangannya memegangi
perut.

“Sungguh lelucon yang sarat makna. Nini pandai sekali bercerita.”

Gadis itu tersenyum puas menyambut sanjungan Respati.

“Baiklah. Utangku sudah lunas. Terima kasih karena Kakang berdua sudah bermurah hati. Semoga
takdir mempertemukan kita dalam kebaikan.”

Setelah mengatakan itu, Laksmi membalikkan badannya dan hendak pergi begitu saja.

“Nini Laksmi, boleh saya bertanya sesuatu?”

Langkah kaki Laksmi terhenti ketika mendengar suara Respati memanggilnya. Ia membalikkan
tubuhnya lagi menghadap ke arah Respati dan Martaka. Matanya yang sudah besar itu semakin
membulat.

“Apa yang bisa aku bantu, Kakang?”

“Melihat perawakan Nini, saya mengira Nini berasal dari Gujarat.”

Laksmi tak menjawab. Dia hanya mengangkat dagu dan menunggu kalimat Respati selanjutnya. Sebab
dia tahu, lelaki muda itu bukan tak punya maksud ketika menyebut tenang asal-usulnya.

“Saya datang ke Tuban karena mencari seorang arif bernama Ki Kesawa. Dia berasal dari Gujarat.
Apakah Nini mengetahui di mana tempat tinggalnya?”

Laksmi melebarkan senyumnya. Lalu diam sejenak seperti sedang berpikir.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ki Kesawa tinggal di ujung timur Kota Tuban. Kakang tak akan kesulitan mencarinya. Setiap orang
di timur kota tahu tempat kediamannya.”

Respati mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.


Sementara Laksmi tak lagi menunggu kalimat lanjutan dari Respati. Setelah berpamitan, ia langsung
balik kanan dan berjalan cepat ke arah barat. Sosoknya segera hilang ditelan kerumunan orang yang
berlalu-lalang.

Respati tertegun. Dia masih kagum dengan kepribadian gadis itu. Selain penampilannya yang
menyedapkan mata, kekayaan hatinya sungguh melimpah ruah. Caranya bicara membuat orang
kerasan berlama-lama ada di dekatnya. Tapi di balik sikapnya yang cepat akrab, dia juga sangat
menjaga diri.

Sosoknya semakin menyenangkan karena pandai sekali menyisipkan pesan tatanan sikap mulia dalam
sebuah lelucon yang menggelikan.

“Kakang!”

Respati menoleh ke arah Martaka. Dia baru sadar bahwa banyak orang berdiri termangu menyaksikan
mereka. Orang-orang itu berdiri sejak tadi ketika dia melumpuhkan dukun gila yang nyaris melukai
Laksmi.

Mereka berbisik-bisik, di antaranya tak sedikit yang berdecak kagum. Sadar akan hal itu, Respati lalu
menghampiri dukun sableng yang masih menggeletak tak berdaya itu, lalu membebaskan toto-kannya.

“Ampun, Kisanak. Saya tak akan mengulangi perbuatan gila ini!”

Dukun itu buru-buru membungkuk sambil mengiba-iba.

Jika Respati tak segera menghindar, sudah pasti dia telah mencium ujung kaki Respati. Namun, karena
sifat bekas rakryan rangga Majapahit itu memang tak gila hormat, dia menepisnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Jika sekali lagi aku mendapatimu melakukan hal yang sama, aku tak akan mengampunimu.
Enyahlah!”

Tanpa berkata-kata lagi, lelaki dukun itu langsung beringsut dan lari terbirit-birit meninggalkan
tempat tersebut.

Sementara Respati dan Martaka lantas melanjutkan perjalanannya ke arah timur, mencari kediaman
Kesawa, lelaki asal Gujarat yang oleh Respati dinilai memiliki kearifan yang mumpuni.

0o0

“Bagus sekali peruntungan saya hari ini, Tuan Respati.

Seorang rakryan rangga Majapahit berkunjung ke rumah saya yang sederhana.”

“Ki Kesawa terlalu merendah. Lagi pula, saya bukan lagi seorang rakryan ranggan. Sekarang saya
hanyalah seorang pengembara.”
Ki Kesawa terdiam, menyimak kata-kata Respati. Lelaki asal Gujarat ini memang begitu santun. Siapa
pun yang bicara dengannya pasti akan merasa nyaman. Tutur katanya lembut dan pembawaannya
demikian tenang. Setiap orang lain berbicara selalu didengarkan dengan baik-baik dan tak pernah ia
sela.

Lelaki berumur empat puluh tahunan itu selalu terlihat sumringah dengan senyum mengembang. Air
mukanya jernih, wajahnya tampak bersih. Setiap kata yang ia keluarkan terasa sangat mengena. Dia
seperti telah berpikir masak-masak, apakah kalimat yang keluar dari bibirnya akan berpengaruh
kepada orang yang diajak bicara.

Kesawa seorang guru. Kediamannya adalah tempat tinggal yang berbentuk seperti padepokan. Setiap
hari siswa-siswa datang untuk belajar. Berbagai kelas digelar. Ilmu hitung, baca tulis, obat-obatan,
hingga agama semua diajarkan pada kelas-kelas khusus.

Pengajarnya adalah murid-murid utama Kesawa. Tidak mengherankan, sebagai seorang guru, Kesawa
memiliki Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pengetahuan yang sangat luas dan kedalaman
pribadi yang terlihat nyata. Begitu sampai di kediaman Kesawa, Respati dan Martaka disambut
hangat.

Bak tamu istimewa, mereka pun dilayani dengan baik.

Setelah beramah-tamah dan mengisi perut, Respati dan Martaka dipersilakan beristirahat. Begitu lelah
lepas dari tubuh, setelah semalaman menikmati mimpi, pagi ini Respati dan Martaka ada di ruang
tamu, berbincang dengan Kesawa.

“Setelah mengundurkan diri dari jabatan rakryan rangga, saya berkeinginan menuntut ilmu di sini,
Ki!”

Kesawa mengangguk-angguk. Masih menunggu kalimat Respati selanjutnya.

“Teman saya ini kebetulan juga punya keinginan yang sama. Karena itu, saya mengajaknya kemari.”

Kesawa tersenyum arif. Jubah putih dilengkapi serban yang mengikat kepalanya tambah mengentalkan
karisma dari dalam dirinya. Setelah yakin Respati telah menyelesaikan kalimatnya, barulah Kesawa
bicara.

“Semua wadah di dunia ini memang akan selalu penuh, kecuali wadah ilmu. Saya senang sekali
mendengar bahwa Tuan berdua begitu ingin menambah ilmu. Kalau boleh tahu, ilmu apa yang
membuat Tuan begitu tertarik?”

Suara Kesawa sungguh membuat adem. Datar, meresap ke hati, dan seperti memiliki senyum. Respati
semakin yakin dia tidak mendatangi orang yang salah.

“Saya ingin belajar hakikat hidup, Ki. Selama ini saya seperti kehilangan pegangan. Menjalani waktu
tanpa tujuan pasti. Mengalir seperti air.”

Kesawa menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah Martaka. Pemuda tanggung itu tersenyum.
Wajahnya yang polos lugu, memerah seperti orang tertangkap basah.

“Ss … saya ikut saja dengan Kakang Respati.”

Senyum Kesawa melebar.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Di tempat kami memang ada kelas agama. Kami mengenalkan agama Islam kepada orang-orang yang
berminat mempelajarinya. Tapi saya kira, karena Tuan berdua bukan penganut Islam, tak bijak kalau
saya menganjurkan Tuan berdua untuk mengikuti kelas tersebut.”

Respati mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kesawa dengan saksama. Seperti menikmati alunan
musik yang menggetarkan kalbu.

“Mungkin lebih tepat kalau saya sendiri yang akan menemani Tuan berdua untuk membicarakan apa
saja. Tak perlu memakai aturan. Seperti sahabat yang tengah berbincang.”

Respati semakin takjub dengan lelaki di hadapannya.

Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.

“Saya tidak berkeberatan, Ki.”

Respati menoleh ke arah Martaka. Pemuda tanggung itu mengangguk sepakat.

“Saya juga tak berkeberatan.”

Kesawa menatap Martaka dengan sungguh-sungguh. Ia tersenyum tulus.

“Orang yang sempurna akalnya memang sedikit bicaranya.”

Martaka pura-pura tak paham dengan kata-kata Kesawa.

Kepalanya malah tertunduk malu.

“Baiklah. Sekarang kita jalan-jalan. Tuan berdua akan saya antar untuk berkeliling di padepokan ini.
Melihat kesibukan para murid yang tengah rajin menimba ilmu.”

“Ki Kesawa, bisakah kita mulai hari-hari penuh ilmu ini dengan menyingkirkan hal-hal yang membuat
sungkan? Saya kira, tak perlu lagi Ki Kesawa memanggil kami dengan sebutan tuan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kesawa tersenyum. Ia lalu bangkit diikuti Respati
dan Martaka.

“Baiklah. Begitu lebih nyaman.”


“Dan kami harus memanggil guru!”

Ki Kesawa mengerutkan dahinya. Seperti ragu-ragu.

“Kami mohon Guru tak menolak.” Akhirnya, lelaki arif itu tersenyum dan mengangguk.

“Untuk satu urusan, saya guru kalian. Untuk urusan lain, barangkali kalianlah guru saya.”

Ketiganya tersenyum tulus dan saling memberi hormat.

Kemudian mereka keluar dari ruang tamu, berjalan di lorong panjang di bagian tengah bangunan.
Beberapa saat kemudian, kesibukan di perguruan itu terlihat jelas. Para pemuda asyik duduk
melingkar beralaskan rumput taman. Ada juga yang melakukan hal sama di ruangan-ruangan.

Mereka mengelilingi seorang guru yang tengah menerangkan berbagai hal. Taman yang cukup luas di
tengah bangunan disulap menjadi ruang kelas raksasa. Ada belasan kelompok belajar yang tengah
tekun mendengarkan penjelasan guru-guru mereka.

Respati memandang takjub. Ini pertama kalinya melihat kesibukan orang-orang yang begitu giat
menimba ilmu, mengisi tempurung otak dengan pengetahuan. Tak ada kekerasan, tak ada ambisi.
Semua saling memberi dan menerima dengan kecintaan yang nyata.

Rombongan kecil itu lalu melangkah ke bangunan besar yang ada di bagian tengah kompleks
kediaman Kesawa.

Seperti joglo yang ditutup rapat oleh dinding kayu. Setelah melewati pintu, ketiganya masuk ke dalam
bangunan dan menyaksikan sekelompok bocah tengah belajar membaca.

Pandangan Respati langsung menancap pada sosok perempuan muda yang giat bergerak dari satu
bocah ke bocah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi lain. Suaranya lantang membetulkan bacaan para
bocah bersuara cadel itu.

“Itu Laksmi, anak tunggal saya.”

Respati dan Martaka melongo. Kebetulan yang luar biasa.

Gadis cerdas bermata besar, berambut ikal panjang kemerahan itu ternyata putri Ki Kesawa, lelaki arif
yang kini menjadi guru mereka.

“Kami pernah bertemu dengan putri Guru.”

Kesawa menoleh ke arah Respati.

“Bocah itu semakin badung saja. Dia pasti tengah sibuk mencampuri urusan orang lain ketika bertemu
kalian.”

“Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Laksmi sungguh mewarisi kearifan dan kecerdasan Guru.”
Kesawa tersenyum. Dia manggut-manggut sambil mengalihkan pandangannya ke arah Laksmi. Sadar
sedang diperhatikan, gadis ceria itu lalu menghentikan kegiatannya.

Lantas ia berjalan berjingkat menghampiri ayahnya dan dua orang tamu yang sebelumnya sudah
sempat ia kenal.

“Rupanya, dua orang berbudi ini sedang bertamu di perguruan kami.”

“Nini tak pernah memberi tahu bahwa Ki Kesawa adalah ayah Nini.”

“Kakang berdua pernah menanyakannya kepadaku?”

Respati tak berkutik. Dia merasa serbasalah. Pemuda ini benar-benar telah menghapus segala
kegagahannya sebagai seorang rakryan rangga yang pantang tunduk terhadap orang lain. Dia malah
kebingungan harus berkata apa.

“Maafkan kami karena tak awas sehingga bersikap kurang sopan terhadap putri Guru Kesawa.”

Kalimat Martaka melumerkan suasana yang beku. Pemuda itu mengatupkan tangan, memberi hormat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kali ini, giliran Laksmi yang salah tingkah. Tentu
saja penghormatan Martaka terlalu berlebihan. Ia sampai merasa tak enak hati terhadap ayahnya
sendiri. Sementara Kesawa tersenyum memandang Martaka.

“Lidah orang berakal ada di belakang hatinya. Hati orang dungu ada di belakang lidahnya.”

Martaka menundukkan kepalanya tersipu. Laksmi merasa salah dengan semua gerak tubuhnya,
sementara Respati masih menduga-duga maksud kata-kata gurunya.

“Kalian akan segera menjadi saudara seperguruan. Pasti nanti akan lebih banyak perdebatan yang
menyenangkan.”

Kesawa tersenyum lagi, lalu menghampiri kerumunan bocah yang tengah belajar itu. Seperti Laksmi,
dia pun lalu sibuk memeriksa bacaan bocah-bocah itu satu per satu.

Wajahnya kian berseri, berubah-ubah mengikuti keceriaan bocah-bocah itu.

“Kakang berdua ingin belajar di perguruan ini?”

“Sudah. Kami sudah memulainya.”

Respati mengamati perubahan kesan di wajah Laksmi.

Gadis itu menepukan kedua telapak tangannya, mewakili rasa sukacitanya.

“Bagus. Bagus sekali. Perguruan ini akan semakin ramai saja. Baiklah. Aku punya hadiah selamat
datang untuk kalian berdua.”
Respati dan Martaka tertegun.

“Hadiah apa?”

Laksmi tersenyum lalu mengangkat dagu. “Sebuah cerita lucu.”

“Lagi?”

“Kalian tidak suka?”

“Ah … tentu saja kami suka. Kami sangat suka.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati buru-buru memperbaiki kalimatnya ketika
melihat Laksmi yang mulai cemberut. Kini, rona gembira kembali tampak pada wajah gadis itu.

“Seorang badui berwajah buruk kawin dengan seorang wanita berparas cantik. Pada suatu hari, si istri
berkata, ‘Aku berharap engkau dan aku akan masuk nirwana.’ Suaminya lalu bertanya, ‘Bagaimana
engkau dapat menetapkan hal itu?’ Si istri lalu menjawab, ‘Sebab, engkau diberi istri seperti aku, lalu
engkau bersyukur, sedangkan aku diberi suami seperti engkau, lalu aku bersabar. Orang yang bersabar
dan bersyukur pasti masuk nirwana.’”

Cerita itu seperti belum selesai di telinga Respati. Dia belum merasa ada yang lucu. Belum cukup
alasan, bahkan untuk sekadar tersenyum. Ia mengerutkan dahi, berpikir.

Menyambungkan setiap kalimat yang diucapkan Laksmi dengan saksama. Barulah perlahan bibirnya
mengembang.

Pada saat itulah, tawa Martaka meledak sejadi-jadinya.

Respati menoleh dan menemukan Martaka sibuk memegangi perutnya. Dia menggelengkan kepalanya.
Kedua kalinya, Martaka lebih dulu memahami lelucon ala Laksmi. Jelas Respati bukan seorang
pandir. Hanya dia belum terbiasa dengan guyonan ala Laksmi yang tak sembarangan lelucon.

Sementara Martaka dan Respati mulai berbincang akrab dengan Laksmi, Kesawa berdiri mematung di
antara para bocah yang tengah giat berlatih. Senyum arifnya mengembang ketika melihat keakraban
putri tunggalnya dan dua murid barunya itu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 17. Serangan Serigala Putih

Jalarnya waktu menjadi kilat, ketika seseorang melakukan pekerjaan yang menyenangkan. Sebulan
lebih Respati dan Martaka tinggal di perguruan milik Kesawa, orang arif asal Gujarat itu. Mereka
melatih diri didampingi Kesawa. Setiap sehabis fajar, Respati dan Martaka dipanggil gurunya untuk
berkumpul di ruang belajar. Membicarakan dan membahas apa saja. Begitu hingga siang.

Lepas siang, mereka membantu beberapa murid Kesawa yang lain melakukan banyak pekerjaan
rumah. Mulai dari bersih-bersih seluruh ruangan perguruan, menimba air, hingga sibuk di tambak
merawat ikan yang menjadi salah satu sumber uang untuk menjalankan perguruan yang tak memungut
bayaran terhadap murid-muridnya itu.

Kesawa memang seorang dermawan. Puluhan tahun lalu ia datang ke Tuban sebagai seorang saudagar
dari Gujarat.

Waktu itu, dia adalah seorang pemuda tampan berusia sekitar 26 tahun. Sebagai seorang pedagang
yang berhasil, kekayaan Kesawa cukup untuk mendirikan sebuah pusat belajar bagi warga Tuban yang
punya keinginan untuk menimba ilmu.

Selain pintar berdagang, Kesawa juga seorang cerdik pandai yang menguasai banyak ilmu. Ia lalu
membuka perguruan yang dinamai sama dengan namanya, “Kesawa”.

Mulailah dia mengajak pemuda-pemuda yang ingin menimba ilmu. Sedikit demi sedikit terkumpul
juga pemuda-pemudi pribumi yang benar-benar ingin menempa ilmu di perguruan yang didirikan di
pinggir kota, terpisah dari rumah-rumah penduduk itu.

Perlahan-lahan bangunan perguruan diperbesar hingga menjadi sebuah kompleks yang lengkap. Kini,
bangunan itu terdiri dari sebuah bangunan besar, lima bangunan sedang, dan belasan bangunan kecil
yang mengelompok. Seluruh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kompleks perguruan itu dikelilingi pagar sederhana
dari kayu yang tingginya tak melebihi pinggang orang dewasa.

Bangunan besar yang ada di tengah kompleks menjadi kelas raksasa apabila semua murid berkumpul.
Ruangan sedang adalah kelas-kelas kecil yang digunakan untuk tempat belajar berbagai macam ilmu,
sedangkan bangunan-bangunan kecil yang mengelilinginya adalah pondok-pondok sederhana tempat
para murid menginap.

Berbagai ilmu diajarkan di perguruan yang kian berkembang itu. Dari mulai membaca dan menulis,
berhitung, bercocok tanam, berdagang, ilmu agama, dan lainnya. Kalau sebelumnya Kesawa mengajar
sendiri semua muridnya, lama-kelamaan, dia mengangkat guru-guru baru. Mereka adalah murid-
murid pendahulu yang dirasa sudah cukup mampu untuk mengajar di kelas-kelas pemula.

Meskipun begitu, guru-guru baru itu tetap ditempa dalam kelas khusus oleh Kesawa. Pada
perkembangannya, tak sedikit para murid Kesawa yang pindah ke agama baru yang dibawa oleh
Kesawa. Agama Islam yang mengajarkan Keesaan Sang Penguasa Jagad. Namun, masih banyak yang
tetap memegang keyakinan lama mereka.

Kesawa sendiri tak pernah memaksa murid-muridnya untuk mengikuti ajaran baru yang ia bawa.
Itulah alasan perguruan yang ia pimpin terus berkembang. Jumlah muridnya kini mencapai ratusan.
Setiap hari perguruan itu begitu ramai.

Selain belajar di kelas, para murid juga dikenalkan dengan dunia nyata. Diajarkan bagaimana bertahan
hidup dengan membuka usaha atau mengolah lahan. Keseharian yang begitu menyenangkan.

“Respati, apa makna kehidupan bagimu?”


Suara jangkrik mulai bersahut-sahutan. Malam itu, Respati dan Martaka menghadap gurunya di ruang
belajar. Setelah sebulan lebih mengikuti cara belajar seperti ini, dua pemuda itu mulai terbiasa
mengakhiri kegiatan pada larut malam dan memulainya kembali sebelum fajar.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kehidupan merupakan peluang bagi manusia berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan orang lain.”

Kesawa tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Bertiga mereka duduk bersila dan saling
berhadapan.

“Bagaimana menurutmu, Martaka?”

“Kehidupan ini ibarat papan permainan bagi Penguasa Jagad. Manusia adalah bidak-bidak yang tak
mampu melakukan apa pun, kecuali menuruti keinginan Sang Pencipta.”

Kesawa menatap tajam Martaka. Matanya memicing.

Jawaban pemuda itu bernada satir dan penuh keingintahuan.

Kesawa kembali tersenyum.

“Aku tak ingin memaksakan sebuah pemahaman kepada kalian. Jalanilah hidup kalian. Pada suatu
titik, pastilah nanti kalian paham untuk apa kita diciptakan dan untuk apa kehidupan ini diadakan.”

Kesawa mendehem, lalu membetulkan caranya bersila.

“Mengapa hanya manusia yang bisa berbicara, bisa melakukan apa saja? Mengapa gunung diam?
Mengapa surya tak bersinar pada malam hari? Mengapa daun berwarna hijau?”

Kesawa menangkap bahasa tubuh Respati yang seolah-olah ingin menyela kalimatnya.

“Apa yang ingin kau katakan, Respati?”

“Guru, sejak lama saya berpikir mengenai hal itu. Jika diperhatikan, seluruh isi bumi ini ada sebuah
garis yang saling berhubungan. Seolah-olah semuanya ada untuk kepentingan manusia.”

Kesawa tersenyum penuh makna.

“Penguasa Jagad ini begitu memanjakan manusia.

Menundukkan semuanya untuk manusia.”

Kesawa bertambah takjub.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Lalu, apa yang bisa kau pahami dari kenyataan itu, Respati?”

“Mohon petunjuk Guru, jika murid salah memahaminya.

Tapi menurut akal saya yang bodoh ini, ada kesan bahwa seluruh alam diciptakan untuk kepentingan
manusia. Kuda bisa dinaiki hanya oleh manusia. Laut bisa diarungi, juga hanya oleh manusia. Api bisa
dinyalakan juga oleh tangan manusia.”

Mulut Respati seperti dipenuhi oleh kata-kata yang tak hendak berhenti keluar. Segala yang berdesak-
desakan di otaknya bersikeras ingin segera dimuntahkan. Martaka yang sejak tadi hanya
mendengarkan, tampak gelisah.

“Tapi, Kakang, bagaimana dengan banjir, kebakaran, gempa bumi?”

Respati menoleh ke arah Martaka.

“Bisa jadi itu merupakan bahasa Sang Penguasa Jagad.

Itu cara-Nya bercakap-cakap dengan manusia. Memberi peringatan kepada manusia.”

Kesawa semakin asyik menyimak perdebatan kedua murid istimewanya itu. Ketika pembicaraan itu
mulai meledak-ledak, ia kembali mendehem.

“Itulah beda antara manusia dan ciptaan lain yang ada di muka bumi. Kita diberi akal. Anugerah yang
tidak diberikan kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang ketika mereka diciptakan.”

Respati dan Martaka kembali tenang dan mendengarkan wejangan gurunya.

“Manusia dengan akalnya bisa memiliki rasa malu, sedangkan binatang tidak. Manusia dengan
akalnya bisa menciptakan sesuatu, sedangkan ciptaan lain tidak.”

Respati dan Martaka semakin khusyuk menyimak setiap kata yang keluar dari bibir gurunya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Manusia diciptakan dengan bekal yang demikian mulia.

Akal merupakan kelebihan manusia yang tak boleh disia-siakan. Jika akal manusia diasah dengan
baik, dia akan bisa menjadi pemimpin bagi seisi bumi. Sebaliknya, jika akal manusia tak dihargai, dia
hanya akan menjadi budak manusia lain.”

“Guru, lalu bagaimana akal kita bisa memahami, bahwa benar kita sebagai manusia memiliki
hubungan dengan sesuatu yang kita anggap sebagai Sang Pencipta?”

Kesawa melepas napas perlahan. Sejak awal dia sadar betul, Martaka bukan pemuda sembarangan.
Meskipun penampilannya sangat bersahaja, bahkan wajahnya terlihat demikian lugu, namun cara
berpikirnya sangat tidak biasa.
“Semua keyakinan di muka bumi meyakini Sang Pencipta memiliki utusan-utusan di kalangan
manusia. Utusan-utusan itu dibekali dengan ilmu yang cukup untuk membahasakan kehendak-Nya
terhadap manusia.”

“Maaf, Guru, bagaimana jika sang utusan itu sudah mati.

Apakah berarti, perbincangan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya terhenti?”

Kesawa tersenyum. Terkesan tulus sekali.

“Martaka, setiap keyakinan di atas bumi selalu dilengkapi dengan kitab-kitab. Kitab-kitab itu menjadi
pedoman hidup yang kekal. Tetap digunakan, meskipun para utusan sudah tak hidup lagi.”

“Maaf jika murid lancang. Pertanyaan inilah yang selalu mengganggu pikiran saya. Bagaimana kita
yakin bahwa kitab-kitab itu tak diubah oleh manusia?”

“Martaka, sebelum kemari, di mana engkau belajar tentang ini semua?”

Martaka terdiam. Dia tak langsung menjawab. Bibirnya bergetar. Wajah lugunya kembali nyata. Dia
seperti hendak menangis saja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kau tak perlu menjawab. Hanya kau harus tahu, membincangkan kitab suci tidaklah mudah. Karena
keyakinan berhubungan dengan hati, tak selalu dengan akal. Namun, untuk memahami keberadaan
Sang Pencipta, bisa juga dicapai dengan akal. Sebab, seluruh isi alam ini membuktikan kebe-radaan-
Nya.”

Martaka berusaha keras menerima kata-kata gurunya.

“Aku punya sebuah cerita. Pahamilah oleh kalian berdua.”

Respati dan Martaka bersiap.

“Ini sebuah dongeng kuno tentang seseorang yang sakit lalu didatangi oleh malaikat pencabut nyawa.
Orang sakit itu lalu bertanya. ‘Kau datang kepadaku sekadar ingin berkunjung atau kau ingin
mencabut nyawaku?’ Malaikat itu menjawab bahwa dia datang sekadar berkunjung.’”

Respati mengerutkan dahi. Satu lagi sebuah kisah yang diceritakan dengan gaya yang asing. Meskipun
mulai terbiasa dengan cerita-cerita lucu yang disampaikan oleh Laksmi, tetap saja dahinya berkerut
setiap mendengarkan kisah-kisah dari negeri asing itu. Kesawa meneruskan ceritanya.

“Orang itu lalu berkata lagi, ‘Demi persahabatan kita, jika waktu matiku kelak sudah dekat, tolong
kirimkan utusan agar aku bisa bersiap-siap menghadapi maut.’ Sang malaikat menyanggupi. Setelah
beberapa lama berselang, malaikat itu kembali mendatangi orang yang sakit itu dan mengatakan
bahwa dia hendak mencabut nyawanya.’”
Kesawa menarik napas. Sengaja hendak membuat kedua muridnya penasaran.

“Orang itu berontak. Dia berkata, ‘Bukankah kau berjanji hendak mengirim utusan kalau waktu
matiku sudah dekat?’

Malaikat itu menjawab, ‘Sudah … sudah. Bahkan, utusanku sudah beberapa kali datang kepadamu.’”

Kesawa kembali menjeda kalimatnya. Respati menahan napas. Sementara Martaka bertanya-tanya
dalam hati, penasaran.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Malaikat itu berkata lagi, ‘Bukankah tulang punggungmu bungkuk, padahal sebelumnya lurus?
Bukankah rambutmu mulai memutih, padahal sebelumnya hitam legam? Suaramu pun kini gemetaran,
sedangkan dulu lantang? Bahkan akhir-akhir ini tubuhmu melemah, sedangkan dulu kau gagah
perkasa? Pandanganmu semakin rabun, padahal dulu begitu jeli? Kau hanya minta satu utusan,
sedangkan aku mengirimkan begitu banyak. Lalu, mengapa kau masih juga menganggapku tak
menepati janji?’”

Kesawa mengakhiri ceritanya. Ruang belajar itu berubah hening. Suara jangkrik di taman tambah
menguat. Suara-suara lain dari luar juga menyerbu masuk ke gendang telinga tiga orang itu. Desir
angin yang tak terperhatikan pun seolah-olah menjadi nyata.

“Pahamilah, betapa Sang Pencipta demikian memanjakan manusia. Begitu berkasih sayang. Dia tak
pernah menyia-nyiakan ciptaan-Nya, bahkan yang menentang-Nya sekalipun.”

Respati semakin tenggelam dalam alam pikirnya yang berkecamuk. Dia seperti dihadapkan pada
gambaran-gambaran yang mewakili setiap perubahan waktu selama masa hidup yang ia jalani.

Begitu juga dengan Martaka yang lebih hening dibandingkan malam itu sendiri. Pemuda bertampang
lugu, namun memiliki pemahaman yang dalam itu diam. Kepalanya menunduk, sedangkan matanya
berkaca-kaca tanpa sebab.

‘“Malam sudah larut. Kalian kembalilah ke kamar.

Renungkanlah apa yang kita bicarakan dan apa yang kalian alami sepanjang hari ini. Besok, menjelang
fajar, kalian harus bangun untuk memulai hari baru.”

Kesawa menuntaskan hening di ruangan itu. Ia lalu bangkit dari duduk, diikuti kedua muridnya itu.
Setelah bersalaman, ketiganya keluar dari ruang belajar. Kesawa kembali ke ruang pribadinya,
demikian juga Respati dan Martaka. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang tempat mereka
tinggal.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 0o0


“Aku punya satu cerita lucu.”

Respati menatap sejenak paras Laksmi yang tanpa dosa.

Gadis itu kelihatan tak pernah bersedih. Selalu ceria seperti burung-burung. Tak pernah diam dan terus
berkicau. Petang itu ketika Respati sedang beristirahat di taman, Laksmi menghampirinya dengan
langkah seperti kidang.

Lalu, tanpa peduli dengan apa yang sedang berputar di benak Respati, dia mulai mengajaknya bicara
tentang banyak hal. Bahkan, ketika Respati tampak tak terlalu tertarik dan kelihatan sedikit terganggu
dengan kehadirannya, Laksmi tetap tak mau beranjak.

“Kakang tak mau mendengarnya dan ingin aku pergi?”

“Tentu saja tidak, Laksmi.”

“Kalau begitu, usir tampang sedih itu dari wajahmu sebab aku akan mengisahkan cerita lucu
untukmu.”

Respati tersenyum. Ia berusaha tulus melakukannya. Lalu, ia menunggu cerita Laksmi dimulai.

“Suatu hari, ada seorang lelaki naik perahu kecil bersama ibu, istri, dan anaknya. Ketika sampai di
tengah sungai, perahu itu dihempas oleh arus yang besar hingga terbalik. Lelaki itu berpikir keras,
siapa dulu yang hendak ia selamatkan, sementara ibu, istri, dan anaknya berteriak-teriak minta tolong.

Serta-merta dia memeluk tubuh ibunya, dan berusaha menyelamatkannya sambil berteriak-teriak,
‘Ibuku, ibuku.

Mustahil aku bisa mendapatkan gantinya.’”

Laksmi tersenyum puas. Ia lalu menoleh ke arah Respati.

Senyumnya kabur entah ke mana, ketika ia melihat Respati tetap murung. Pemuda itu berusaha
tersenyum, tapi kelihatan sekali dipaksakan.

“Tidak lucu, ya?”

“Bukan begitu, Laksmi. Ceritamu sungguh segar. Caramu bercerita pun menyenangkan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Lalu?”

“Lelaki dalam ceritamu itu masih beruntung. Sebab, aku tak pernah tahu siapa dan di mana ibuku. Aku
tak punya kesempatan untuk mengabdi.”

Laksmi tercenung.
“Aku juga tak mengenal ibuku.”

Giliran Respati yang merasa tak enak. Dia menoleh pada Laksmi dengan kening berkerut.

“Maaf.”

Laksmi tersenyum tanpa beban. Seperti biasa.

“Ibuku meninggal ketika melahirkan aku. Aku hanya tahu tentang ibu dari cerita ayah.”

“Kita bernasib sama, Laksmi.”

“Tentu saja beda. Kalau aku menerima kenyataan itu tanpa menyiksa diri.”

“Apakah aku menyiksa diri, Laksmi?”

“Apa yang disembunyikan hati seseorang akan dibeberkan oleh wajahnya sendiri.”

Respati tersenyum lagi. Ia semakin merasa dekat dengan Laksmi. Pada diri gadis itu dia menemukan
keceriaan yang abadi. Seperti warna langit saat tak ada mendung.

“Kakang sedang memikirkan seseorang?”

“Aku tak yakin.”

“Berarti jawabannya iya.” Respati tak menjawab.

“Kakang memikirkan istri Kakang?”

“Bekas. Bekas istri.”

“Jadi, benar Kakang masih memikirkannya.”

“Aku menikahinya dua tahun lamanya, Laksmi. Kami telah melampaui banyak peristiwa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Lalu, kenapa Kakang tetap meninggalkannya?”

“Barangkali Anindita adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.”

“Kakang tidak sedang membicarakan perempuan lain, bukan?”

Respati terdiam. Dia membuang pandangannya ke langit lepas. Awan putih seperti kapas mengambang
tenang.

Bergerak bagai siput menuju arah yang bebas.


“Berarti jawabannya iya.”

“Laksmi. Ini tak semudah yang kau kira.”

“Aku mengatakan begitu?”

“Sulit sekali untuk diurai. Demikian bertumpuk. Aku miskin kata-kata.”

“Kakang bisa membaginya dengan Laksmi.”

Respati tersenyum. Dia menatap Laksmi dengan saksama.

“Kau gadis baik.”

“Hanya itu saja yang aku dapatkan, Kakang?”

Respati nyaris tak bisa menahan tawanya melihat cara Laksmi mengatakan kalimat itu. Seperti bocah
yang memohon penganan kepada ibunya. Gadis ini begitu istimewa. Jeda waktu hingga petang mereka
habiskan dengan bercanda.

Respati menjadi pendengar yang baik untuk cerita-cerita lucu yang mengalir deras dari bibir Laksmi.

Beberapa kali Respati pura-pura tak geli dengan cerita itu.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membuat bulan sabit terbalik dengan bibirnya. Setiap
itu terjadi, Laksmi pasti cemberut penuh kesal dan tertantang untuk memikirkan cerita lain yang lebih
lucu. Begitu ia berhasil membuat Respati terpingkal-pingkal, puaslah dia.

“Di sini rupanya putri Ayah.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati dan Laksmi segera menghentikan candaan
mereka ketika melihat Kesawa datang menghampiri. Lelaki arif itu masih juga memiliki senyum yang
kalem dan menenangkan. Ia mengenakan jubah hijau lumut dengan serban sewarna di kepala.

Di tangannya tergenggam gulungan daun lontar. Seperti sebuah surat.

“Respati, aku ingin bicara denganmu.”

“Kenapa begitu rahasia, Ayah?”

“Ini bukan soal apa yang dibicarakan, tapi dengan siapa membicarakannya, Laksmi.”

Laksmi tak menjawab lagi. Setelah berpamitan kepada keduanya, ia lalu meninggalkan tempat itu
menuju ruang pribadinya. Meskipun sempat merasa kesal, ia maklum bahwa ayahnya pasti punya
alasan untuk tak melibatkannya dalam urusan itu.

“Respati, bacalah ini. Aku menerimanya pagi tadi.”


Respati menerima gulungan daun lontar yang diangsurkan gurunya tanpa berkata-kata. Ia membaca
setiap kalimat di dalamnya dengan saksama.

Dahinya berkerut.

“Aliran Serigala Putih

“Kau mengenalnya, Respati?”

“Tidak, Guru. Bahkan, baru sekarang saya mendengar nama aliran ini.”

“Aliran ini memang belum lama muncul. Konon, mereka datang dari belahan barat Swarna Bumi.
Kini, mereka menyebar hingga ke Gresik. Tapi beberapa waktu terakhir, anggota mereka memang
mulai bermunculan di Tuban.”

“Gresik ….”

Respati tampak tengah berpikir. Mengingat-ingat sesuatu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Apakah mereka kelompok orang dengan jubah putih dan bertampang dingin, Guru?”

“Kau pernah bertemu mereka?”

“Saya dan Martaka sempat bertemu mereka di Gresik, Guru. Bahkan, saya sempat bertarung dengan
mereka.”

Kepala Kesawa mengangguk-angguk.

“Lalu, apa alasan mereka memaksaku untuk menyerahkanmu, Respati?”

“Saya tak tahu, Guru. Hanya waktu itu, saya memang hampir mengalahkan mereka, sebelum ….”

Kesawa menatap Respati yang tiba-tiba menghentikan kalimatnya.

“Ah, ilmu mereka sebenarnya tak terlalu tinggi, Guru.

Hanya, mereka menguasai ilmu aneh.”

“Maksudmu Jala Sukma?”

“Guru mengetahuinya?”

“Ilmu itu memang tak banyak dikenal di tanah Jawa Dwipa. Namun, di Gujarat dan Tiongkok, banyak
pendekar yang menguasai ilmu semacam itu.”

“Kalau memang mereka menginginkan saya, Guru tak perlu khawatir. Biar saya saja yang menghadapi
mereka.”

Kesawa tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya ke taman di tengah kompleks perguruan.

“Kita tidak tahu kelompok mana yang kau taklukan ketika mereka bertemu denganmu di Gresik.
Jangan anggap remeh mereka, Respati. Kita belum tahu kekuatan mereka yang sebenarnya.”

“Maaf jika saya terlalu jumawa, Guru.”

“Tidak. Ilmu kanuraganmu memang mumpuni. Tak ada salahnya percaya kepada diri sendiri. Hanya
kita tetap harus Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi selalu waspada. Serigala Putih mengancam akan
menyerang kita malam ini, jika aku tak menyerahkanmu.”

Respati menyimak kalimat gurunya dengan saksama.

“Kau tahu bahwa sebagian murid perguruan ini sama sekali tak menguasai ilmu kanuragan. Bahkan,
apa yang kukuasai pun tak ada seujung kuku jika dibandingkan dengan kelihaianmu. Karena itu, jika
mengandalkan kekuatan tubuh, pasti kita akan kalah.”

Respati tetap tak memotong kata-kata gurunya.

“Tapi, aku pun yakin Serigala Putih tak akan gegabah.

Bagaimanapun, perguruan ini memiliki nama baik yang dihargai orang-orang mulai Tuban hingga
Mojokerto. Mereka akan berpikir dua kali untuk menyerang kita terang-terangan.”

“Kenapa rakryan penguasa Tuban tak turun tangan, Guru?”

“Hukum ibarat rumah laba-laba yang hanya menjerat serangga-serangga kecil, Respati. Sedangkan,
binatang yang lebih besar merobek-robek-nya dengan mudah.”

“Sekuat itukah mereka sekarang, Guru?”

“Serigala putih sangat licin. Kejahatan mereka susah dibuktikan. Mereka pun sangat dekat dengan
kekuasaan di Gresik. Entahlah, apa yang akan terjadi dengan Tuban kelak.”

“Saya telah membuat perguruan ini jadi susah.”

Kesawa tersenyum lagi, lalu memegang pundak Respati.

“Bukan seperti itu. Serigala putih hanya menjadikanmu sebagai alasan. Mereka memang berambisi
untuk melenyapkan perguruan ini dan menjadi kekuatan berpengaruh di Tuban.”

“Licik sekali. Lalu, apa yang harus kita lakukan, Guru?”

“Menunggu. Tak ada yang akan keluar dari perguruan malam ini. Kita tetap bertahan seperti tidak ada
apa-apa. Aku pun ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bagaimana jika mereka membabi buta, Guru?”

Kesawa menurunkan tangannya dari pundak Respati.

“Tidakkah aku bisa mengandalkanmu jika itu terjadi?”

Respati tersipu. Ia lalu mengangguk pelan. Tak banyak yang mereka obrolkan kemudian. Kesawa
menyuruh Respati untuk mencari Martaka dan melanjutkan pelajaran mereka hari itu. Seperti tak
terjadi apa-apa. Semua berlangsung apa adanya. Entah apa alasannya, Kesawa memang tak
memberitahu semua muridnya tentang surat ancaman Serigala Putih yang ia terima.

Hanya Respati dan beberapa murid utama yang diberitahu.

Bahkan, Martaka pun tidak. Tak heran jika suasana belajar di perguruan itu berlangsung biasa. Tidak
ada kepanikan.

Sesudah penghuni perguruan itu melakukan sembahyang malam bersama-sama, Kesawa memanggil
Respati dan Martaka ke ruangannya untuk melanjutkan pelajaran mereka.

“Guru, di setiap hati seseorang selalu terbersit pikiran buruk walaupun sedikit. Bagaimana caranya
untuk membuat pikiran buruk itu menjadi kerdil dan tak merusak hidup kita?”

Martaka tampak bersungguh-sungguh melontarkan pertanyaan itu. Dia tidak tahu bahwa dua orang
yang kini duduk satu ruangan dengannya itu tengah menunggu sesuatu.

Wajar saja, sebab Kesawa memang tak memperlihatkan kecemasan sama sekali di wajahnya.
Sedangkan Respati selalu mengikuti apa yang dilakukan gurunya.

“Martaka, pertanyaanmu sangat dalam. Memang, hidup setiap orang adalah rentang waktu panjang
yang membentrokkan kebaikan dan keburukan. Keduanya sama-sama ingin menjadi pemenang.
Seperti apa akhir hidup manusia, seperti itulah dia akan memulai kehidupannya yang abadi kelak.”

Martaka mendengarkan dengan khidmat. Malam bergerak lamban. Hawa semakin mencekat,
sementara bebunyian hewan semakin ramai. Respati menajamkan pancaindranya, Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berjaga-jaga. Ia hampir tidak mendengarkan
kalimat-kalimat gurunya lagi.

“Seorang bijak berkata, jika pada hati manusia berdetak bisikan, pemiliknya harus berusaha agar
bisikan itu tetap di hatinya. Jika tidak, hal itu akan berubah menjadi buah pikiran.

Tapi jika telanjur menjadi buah pikiran, hendaklah orang itu mendiamkannya dalam benak. Jika tidak,
ia akan berubah menjadi nafsu berahi.”
Telinga Respati semakin lebur dengan desau angin. Tak lagi jeli mendengar kata-kata gurunya.

“Jika kecenderungan itu telanjur menjadi nafsu berahi, orang tadi harus bisa meredamnya. Sebab jika
tidak, ia akan menjadi rencana buruk dalam bentuk kehendak. Ini pun harus dihentikan. Sebab jika
tidak, ia akan mewujud menjadi perbuatan jahat.”

Dahi Respati berkerut. Bukan memikirkan kalimat gurunya.

Ada bunyi angin yang mendesak-desak. Tapi jaraknya tak terlalu dekat, juga tak semakin dekat.

“Jika perbuatan jahat itu tak bisa dicegah, ia akan menemani manusia sebagai sebuah kebiasaan.
Sedangkan bagi manusia, alangkah sukarnya meninggalkan sebuah kebiasaan.”

Martaka mengangguk-angguk paham. Dia masih tak bersuara. Memikirkan setiap kata gurunya dan
melumerkannya dalam sebuah pemahaman yang utuh.

Sedangkan Respati tak bergerak. Tetap seperti itu, ketika Kesawa menatapnya dengan pandangan
heran.

“Respati, kau mendengar sesuatu?”

“Sempat guru. Seperti ada pertempuran. Tapi tak terlalu dekat.”

Kesawa tampak berpikir. Dia lalu bangkit menghampiri jendela, dan membukanya perlahan. Angin
basah menyeruak masuk. Malam sudah tertinggal di belakang.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

‘“Sebentar lagi fajar. Kalian istirahatlah. Aku harus bersiap untuk sembahyang fajar.”

Respati dan Martaka menyusul bangkit, lalu berpamitan kepada gurunya. Baru saja mereka hendak
keluar dari ruangan itu, terdengar ribut-ribut dari halaman.

“Guru, kami hendak melapor.”

Respati dan Martaka urung membuka pintu ruangan itu.

Mereka menunggu gurunya bertindak. Kesawa yang tadinya asyik menatap langit yang masih gulita,
menghampiri pintu. Ia mendahului kedua muridnya membuka pintu itu.

“Ada apa, Seta?”

Beberapa murid Kesawa yang bertugas ronda malam tampak berdiri dengan napas memburu di depan
ruangan gurunya. Wajah mereka pucat. Setapati, salah seorang murid kepercayaan Kesawa, berdiri
paling depan sambil memegangi obor.

“Perguruan ini sudah dikepung mayat, Guru!”


Kesawa tak menjawab. Dia meneliti wajah Setapati seperti hendak memastikan apakah muridnya itu
betul-betul dalam keadaan sadar. Melihat kesungguhan di garis wajah Setapati, Kesawa lalu
mendehem.

“Kita lihat ke sana.”

Tanpa menunggu persetujuan, Kesawa segera melangkah dengan tegap keluar dari kompleks
perguruan, diikuti seluruh muridnya. Murid-murid lain yang ikut terjaga akibat berisik yang
ditimbulkan para murid peronda itu keluar dari pondok mereka masing-masing, lalu menyusul
gurunya.

Beberapa di antara mereka melengkapi diri dengan obor dan senjata sekadarnya. Jadilah rombongan
guru murid yang jumlahnya tak kurang dari dua puluh orang itu berjalan menderap keluar kompleks
perguruan.

Apa yang dikatakan Setapati akhirnya dipahami Kesawa.

Puluhan tubuh berjubah putih tergeletak kaku begitu saja di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi luar kompleks perguruan. Mereka betul-betul mirip
jasad-jasad tanpa nyawa yang menunggu dikuburkan. Tubuh-tubuh mereka tidak berkumpul di satu
tempat.

Bergelimpangan dalam barisan seperti bentuk busur panah. Ketika Kesawa, Respati, dan anggota
rombongan itu memeriksa, ternyata tubuh-tubuh itu masih bernyawa.

“Serigala Putih. Siapa yang mampu merobohkan mereka tanpa suara.”

Respati terheran-heran. Lengannya meraba nadi salah seorang anggota Serigala Putih yang tergeletak
meringkuk di depannya, seperti kedinginan.

“Guru, ada seseorang berilmu tinggi yang mencegah orang-orang Serigala Putih menyerang perguruan
kita.”

“Aku tahu. Bahkan tak satu pun dari mereka dibunuh.

Orang sakti itu hanya melumpuhkan.”

Respati memandang ke arah gurunya masih dengan kesan heran di wajahnya.

“Ilmu apa ini? Totokan yang luar biasa.”

Kini, Respati menoleh ke arah Martaka yang ada di sampingnya. Matanya membesar.

“Kakang pikir, kakek aneh itu pelakunya?” Martaka segera bisa menebak isi benak Respati. Dia pun
berpikiran sama.

“Sudahlah, kita bawa dulu orang-orang ini ke perguruan.


Perlakukan dengan baik.”

“Tapi, Guru..”

Sorot mata Kesawa memutus kalimat Setapati yang tadinya hendak memprotes keputusan gurunya.

“Jangan kau benci musuhmu melampaui batas. Tak ada yang tahu, suatu saat bisa saja dia menjadi
sahabatmu yang paling setia.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tak ada lagi perbincangan. Kesawa memerintahkan
murid-muridnya untuk bergegas. Dia sendiri tak ketinggalan menggendong salah seorang anggota
Serigala putih yang tertotok itu menuju perguruan.

Fajar segera sampai, ketika seluruh orang berjubah putih itu sudah berada di ruang besar di tengah-
tengah kompleks perguruan. Mereka diikat dengan tali yang kukuh. Pagi harinya, para murid
membagikan ransum makanan. Karena anggota Serigala Putih yang jumlahnya sekitar tiga puluh
orang itu tertotok, terpaksa para murid menyuapinya satu per satu.

Kebanyakan dari mereka menolak untuk disuapi.

Sedangkan mereka yang mau memakan ransum itu tak menghilangkan kesan dingin dari wajah
mereka.

“Menurutmu, apa yang akan terjadi pagi ini, Respati?”

Kesawa, Respati, dan Martaka bicara serius di luar ruang utama perguruan. Mereka berdiri di sana,
seperti tengah menunggu kedatangan seseorang.

“Kalau benar kakek aneh itu yang menghalau orang-orang Serigala Putih kemari, kenapa dia tak
menampakkan diri?”

Respati tak menjawab pertanyaan gurunya. Justru dia mengambangkan pertanyaan lain yang tak jelas
apa jawabannya.

“Siapa kakek aneh yang kau sebut-sebut itu, Respati?”

“Saya pun tak mengenalnya, Guru. Dia datang tiba-tiba, ketika saya dan Martaka dalam keadaan
terjepit dikeroyok orang-orang Serigala Putih.”

“Ehrn. Siapa pun dia, pastilah dia berkepentingan denganmu atau perguruan ini.”

“Guru, jika saja penolong itu tidak turun tangan, bukankah orang-orang Serigala Putih telah
menyerang perguruan?”

Kesawa terdiam. Memikirkan betul kata-kata apa yang hendak ia ucapkan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Artinya, Serigala Putih benar-benar tak lagi memandang kita. Mereka semakin berani.”

“Guru, izinkan saya pergi ke Gresik untuk menghancurkan pusat aliran Serigala Putih.”

“Jangan. Kita harus memikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan perguruan tanpa mengorbankan
siapa pun.”

Pembicaraan ketiga orang itu terhenti ketika dari arah muka perguruan, Laksmi dan beberapa murid
berjalan menghampiri mereka.

“Ayah, ada utusan aliran Serigala Putih yang ingin bertemu dengan Ayah.”

“Oya? Kalau begitu, kenapa tidak kau antar tuan-tuan ini ke ruang tamu, Laksmi?”

Laksmi menoleh ke arah lelaki berjubah putih di sampingnya. Dia seorang lelaki bertampang dingin
yang usianya tak akan melebihi empat puluh tahun. Perawakannya gempal dengan rambut yang diurai
memaksakan kesan angker.

“Ki Kesawa, saya Lembu Peteng, Ketua Serigala Putih wilayah Tuban. Saya datang untuk
membebaskan anggota kami.”

Kesawa tak langsung menjawab. Dia meneliti orang di depannya dengan pandangan saksama.

“Apakah tidak lebih baik kita bicarakan hal ini sambil menikmati daun sirih, Tuan Lembu Peteng?”

“Kami akan menganggap tak pernah ada masalah di antara aliran Serigala Putih dan Perguruan
Kesawa, jika anggota kami dibebaskan sekarang juga.”

“Bukankah selama ini pun tidak pernah ada masalah di antara kita, Tuan?”

Lembu Peteng menoleh ke arah Respati. Tatapan matanya menajam. Seperti hendak melumat pemuda
itu mentah-Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mentah. Sementara Respati menantang tatapan
mata Lembu Peteng tanpa ragu. Dia merasa sama sekali tak berurusan dengan lelaki berwajah dingin
itu. Dia pun bukan satu di antara gerombolan Serigala Putih yang nyaris mencelakai Respati dan
Martaka di Gresik beberapa bulan sebelumnya.

“Baiklah. Saya kira, tak seorang pun ingin membuat masalah. Anggota Serigala Putih ada di ruang
utama. Tak satu pun yang terluka. Tuan bisa mengambil mereka dengan syarat.”

Lembu Peteng mendongakkan kepalanya menunggu lanjutan kalimat Kesawa.

“Tidak pernah ada masalah antara perguruan kami dan Serigala Putih. Saya ingin pada waktu
selanjutnya pun, kita tak akan saling mengganggu.”

Lembu Peteng tampak sedang berpikir. Dia terdiam beberapa saat.


“Baik. Saya sepakat.”

Tak menunggu lama, puluhan anggota Serigala Putih benar-benar bebas dari sekapan Perguruan
Kesawa.

Meskipun bisa saja orang-orang itu melanjutkan rencana mereka menyerang Perguruan Kesawa, tapi
hal itu tidak terjadi. Rupanya, Lembu Peteng memegang janjinya.

Pagi itu juga, ruang utama Perguruan Kesawa kembali senyap, tanpa para tawanan. Para murid
Perguruan Kesawa banyak yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Sebagian besar dari mereka memang tak tahu pasti alasan berdatangannya orang-orang sesat itu ke
perguruan mereka.

Tiba-tiba saja setelah sempat disekap, orang-orang asing itu angkat kaki tanpa banyak kata.

“Untuk sementara, kita bisa tenang. Serigala Putih tak akan sembarangan melanggar janji.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kesawa, Respati, Martaka, dan Laksmi berkumpul
di ruang pribadi Kesawa. Berempat mereka tengah membicarakan peristiwa dua hari terakhir yang
begitu mengagetkan.

“Ayah, apa yang sebenarnya dicari oleh orang-orang Serigala Putih?”

Laksmi yang tak mengikuti sejak awal sebab musabab kedatangan gerombolan sesat itu begitu
penasaran.

“Tak ada yang tahu. Gerakan mereka begitu halus. Sulit ditebak apa yang mereka inginkan. Tapi dari
gerakan Serigala Putih yang begitu tertata, jelas mereka bukanlah perguruan silat biasa.”

“Guru, apakah mereka ingin menggoyahkan kekuasaan Majapahit?”

“Sulit dipastikan. Sebab mereka pun sangat dekat dengan penguasa. Di Gresik, mereka berteman baik
dengan penguasa di sana. Yang jelas kita benar-benar harus waspada.”

“Negeri ini kian hari kian kacau saja.” Laksmi bergumam lirih, menghempaskan kegelisahannya.

“Apa yang bisa kita perbuat jika penguasa sudah tak punya jati diri?”

Respati menoleh ke arah Martaka. Dia masih saja sering merasa tersindir setiap ada yang menilai
langkah penguasa Majapahit. Bagaimanapun, dia pernah memegang jabatan wakil panglima perang
Majapahit yang berpengaruh. Toh pemuda itu segera menekan perasaannya. Selain karena dia bukan
lagi bagian dari penguasa, kata-kata Martaka memang benar adanya.

“Kenyataannya memang demikian. Kita tak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sejarah tak lagi
berarti apa-apa.”
Respati tampak murung. Dia menyudahi kalimatnya dengan tatapan yang tak pasti. Sejak dulu
memang dia selalu menyemangati diri sendiri dengan sejarah keunggulan Majapahit di masa lalu.
Kekuasaan yang membentang di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi seluruh Nusantara. Kini, kekuasaan Majapahit terus
menyusut, pengaruhnya pun tak lagi meraksasa.

“Respati, semua yang ada di dunia memiliki masa. Tak akan selamanya. Saling menggantikan satu
sama lain. Kita sekarang berbicara di sini. Belum tentu dua puluh tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi,
atau bahkan esok hari kita bisa mengulanginya. Majapahit pernah besar. Seperti halnya Sriwijaya di
Swarna Dwipa. Tapi, adakah yang kekal di dunia ini?”

Respati cukup terhibur dengan kalimat gurunya. Dia mengangguk pelan. Pikirannya bisa sumeleh
(pasrah) karenanya. Tak lagi menyalahkan pemimpin-pemimpin negeri secara membabi buta.
Keteledoran pemimpin tentu saja menjadi penyebab goyahnya suatu bangsa. Namun, di atas itu semua,
pada sebuah tataran yang ada di luar jangkauan akal, ada aturan gaib yang memang telah menentukan
semuanya.

Barangkali memang Majapahit tinggal punya sedikit waktu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 18. Penantian Bintang

Penyerangan yang gagal oleh orang-orang Serigala Putih telah lewat berbulan-bulan. Tak terasa
Respati dan Martaka telah melewati masa setahun lebih di Perguruan Kesawa. Jika digenapkan
beberapa bulan lagi, mereka telah dua tahun tinggal berguru di sana.

Jika seseorang pernah mengenal Respati dua tahun sebelumnya, lalu bertemu lagi dengannya
sekarang, pastilah dia akan terheran-heran. Mantan rakyran rangga Majapahit itu seperti menjadi
manusia baru. Sikapnya yang kalem bertambah-tambah. Segala langkah dan kata-kata begitu ia
pikirkan. Perilakunya yang santun bertambah matang. Sama dengan Martaka, dia pun semakin merasa
nyaman tenggelam dalam keseharian mencari ilmu yang tak pernah habis bersama Kesawa, guru
mereka.

Hanya, sebuah keyakinan adalah sebuah keajaiban yang sama sekali tak bisa teraba. Meskipun sudah
hampir dua tahun tinggal dan bergaul dengan orang-orang Islam taat di Perguruan Kesawa, baik
Respati maupun Martaka masih bertahan pada keyakinan lamanya. Sejak lama Respati memang
cenderung melumuri pikirannya dengan nilai-nilai luhur nenek moyang dibandingkan melakukan
upacara-upacara keagamaan yang biasa dilakukan orang-orang di sekitarnya.

Dia merasa cukup dengan kebersihan hati dan keteladanan laku dibandingkan upacara-upacara yang
acap kali dipahaminya sebagai topeng semata. Sama saja dengan bekas istrinya, Anindita. Rasanya,
tak pernah lepas perempuan itu melakukan upacara-upacara keagamaan dengan begitu khusyuk. Tapi,
apa yang kemudian terbongkar setelah dua tahun pernikahan mereka benar-benar membelalakkan
mata.

Seperti ada dinding pemisah antara ajaran-ajaran suci dan perilaku manusia yang sebenarnya. Orang-
orang menjadi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi begitu tunduk kepada Sang Pencipta dan
berperilaku alim ketika mengucapkan mantra suci, tapi berubah menjadi Serigala ketika kembali
kepada kehidupan nyata.

Respati sendiri bukan bocah ingusan yang buru-buru menyimpulkan sesuatu dengan gegabah. Sebab,
kecenderungan keterpisahan antara ajaran agama yang suci dan penganutnya yang taat pun terjadi
pada setiap agama.

Karenanya, Respati masih merasa nyaman dengan keteraturan hatinya yang paling dalam,
dibandingkan topeng-topeng yang ia anggap menyesatkan itu.

Toh, Respati terkagum-kagum dengan tata cara dan ajaran-ajaran agama baru yang dibawa Kesawa.
Sama dengan kekagumannya ketika melihat kesempurnaan hati para biksu yang rela meninggalkan
hiruk pikuk kehidupan dan menyepi, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Makna tersembunyi dan luas dalam aturan nyata ketika orang-orang seperti Kesawa hendak
bersembahyang sudah cukup mengundang penasaran bagi Respati. Kenapa harus membasuh diri,
kenapa harus berpakaian bersih, dan seribu satu kata kenapa yang pelan-pelan ia peroleh jawabannya
dari Kesawa.

Sementara itu, Kota Tuban semakin ramai saja. Kapal-kapal asing berdatangan membangun
perniagaan yang semakin berjaya. Hampir tak ada gangguan yang membuat warga gelisah. Kecuali
orang-orang Serigala Putih yang mulai bermunculan lagi. Namun, mereka tak terang-terangan
membuat onar. Mereka sering tampak bersama-sama dengan prajurit Majapahit dan hadir dalam
pertemuan orang-orang penting di jajaran penguasa Tuban. Waktu itu, tahun Masehi segera genap
pada angka 1410.

“Respati, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.

Apakah kau mau mendengarkannya?”

Pagi itu, Kesawa dan Respati sedang berjalan di antara kesibukan Kota Tuban. Sekadar jalan-jalan
melepaskan penat di otak.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kenapa Guru menjadi sungkan? Tentu saja saya tak berkeberatan.”

“Sebaiknya, kita mampir di kedai itu agar perbincangan kita terasa lebih nyaman.”

Guru dan murid itu lalu memasuki sebuah kedai sederhana yang tak begitu ramai pengunjung. Setelah
memesan minuman dan sedikit penganan, keduanya duduk berhadapan.

Kesawa menatap Respati dengan saksama. Pemuda itu kian berwibawa saja. Umurnya kini sekitar 28
tahun. Usia matang bagi seorang lelaki. Garis wajahnya pun menyiratkan pemahaman yang sangat
baik terhadap kehidupan.

Di luar ketampanan yang tampak mencolok, sekilas pun orang bisa menduga betapa kuatnya
kepribadian lelaki muda itu. Bahkan untuk mengganti kesan wajahnya pun, Respati tampak demikian
berhati-hati. Kesawa seperti melihat dirinya sendiri sewaktu muda dulu.

“Ini tentang Laksmi, anak tunggalku.”

Air muka Respati tetap tak berubah. Hatinya menangkap kalimat Kesawa dengan tak tergesa-gesa.
Bibirnya yang seolah-olah selalu tersenyum itu masih diam.

“Usianya sudah hampir sembilan belas tahun. Seharusnya dia sudah memiliki pelindung.”

Kata hati Respati mulai menebak-nebak. Tapi bahasa tubuhnya begitu pandai menyembunyikan
kegelisahan. Dia masih tetap tenang. Sementara Kesawa tampak sangat berhati-hati memilih kata-
kata.

“Sebelumnya aku ingin tahu, apa kesanmu tentang Laksmi, Respati?”

“Sejak awal bertemu, saya tahu Laksmi adalah gadis yang istimewa, pintar, dan berbudi luhur.”
Kesawa tersenyum lega.

“Adakah yang menahan seorang lelaki untuk jatuh cinta kepadanya, Respati?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Menurut saya, setiap lelaki memiliki kecenderungan yang berbeda dalam mengagumi sosok
perempuan, Guru. Hanya, menurut saya, Laksmi mewakili semua hal yang diinginkan laki-laki.”

Senyum Kesawa semakin lebar. Seperti ada gunung es yang melumer dari dadanya.

“Lalu, apa yang menahanmu untuk meminangnya, Respati?”

Kali ini Respati tak menjawab. Bayangan Laksmi berkelebat di benaknya. Keceriaan yang begitu
indah. Rambut ikal, merah, dan bercahaya itu demikian memesona.

Wajahnya yang berbinar oleh kedua mata yang jernih tentu saja memancing simpati.

“Tapi, Guru….”

“Apakah yang membuatmu ragu adalah keyakinan kalian yang berbeda?”

Respati mengangguk lemah. Sementara Kesawa meraih cangkir tanah liat berisi air kelapa, lalu
menenggaknya perlahan.

“Respati, kapan kau usaikan pencarianmu?”


“Saya tidak begitu yakin, Guru.”

“Apakah kau kini telah merasa nyaman?”

Respati lagi-lagi menganggukkan kepala.

“Lalu, kau merasakan lingkungan di sekitarmu dan keseharian yang ada membuatmu tenang dan
tenteram?”

“Ya, Guru.”

“Itu bukan sebuah akhir pencarian bagimu?”

Respati tak langsung menjawab. Pikirannya menerawang dan enggan kembali ke bumi. Pandangan
matanya ragu.

“Mohon Guru memberi saya waktu untuk berpikir.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kesawa tersenyum tulus. “Berapa lama?”

Respati tak buru-buru menjawab.

“Baiklah, Respati. Aku tahu ini bukan masalah enteng. Aku sangat menghargai dan tak ingin
menekanmu. Ini hidupmu.

Karenanya, aku tak memberi batasan waktu untukmu berpikir.”

Respati mengiyakan. Dia tak lagi bisa bersikap biasa setelah itu. Setelah menghabiskan minuman
mereka, guru dan murid itu lalu kembali ke perguruan. Hari-hari terlewati apa adanya. Namun,
sesekali Respati menemui Kesawa secara khusus untuk membahas lebih dalam mengenai keyakinan
baru yang diamalkan orang-orang Islam.

Seperti melupakan persoalan intinya, yakni usulan pernikahan dengan Laksmi, Respati begitu
bersemangat untuk mempelajari agama baru itu. Dia tak memikirkan pendalaman pengetahuannya
tentang Islam merupakan langkah awal yang sangat berpengaruh terhadap keputusan diterima atau
tidaknya tawaran Kesawa.

Sayangnya, kehidupan di perguruan itu demikian rapat.

Keseharian yang begitu dekat antar penghuninya membuat sebuah rahasia sulit disembunyikan.

Meskipun tak pernah membicarakannya dengan orang lain, namun tawaran Kesawa untuk mengangkat
Respati sebagai menantu segera tersebar di antara para murid.

Rupanya, ketika sedang berbicara empat mata, ada salah seorang murid yang mendengar isi
pembicaraan antara Kesawa dan Respati. Seperti biasa, inti berita beranak pinak ketika menyebar dari
satu orang ke orang lain. Dalam waktu sekejap, tersiar kabar Kesawa sudah pasti akan menikahkan
Respati dengan Laksmi, putrinya.

Tak sekadar di antara murid, berita itu mulai didengar oleh warga Tuban. Karena Perguruan Kesawa
demikian tersohor dan banyak pemuda Tuban yang belajar di sana, kabar itu pun segera tersiar dari
satu keluarga ke keluarga lain. Ini menjadi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berita besar, karena Laksmi adalah gadis pujaan
yang membuat banyak sekali pemuda Tuban jatuh hati.

Malah tidak sedikit dari mereka yang menjadi murid di perguruan itu sengaja mendaftar karena ingin
mengenal Laksmi. Makanya, begitu tersiar kabar bahwa Kesawa hendak mengangkat Respati sebagai
menantu, banyak hati yang remuk redam.

“Kakang, kabar rencana pernikahanmu dengan Laksmi sudah demikian tersebar. Jika kau menampik
kabar itu, lalu bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?”

Martaka mencecar Respati dengan pertanyaan bernada cemas. Pemuda yang dulu pernah diselamatkan
Respati saat hendak dibantai orang-orang

Serigala Putih itu sudah banyak berubah. Meskipun kesan lugu masih tampak pada matanya, namun
kelihatan benar bahwa dia sudah jauh lebih dewasa. Dua tahun belajar di Perguruan Kesawa
membentuk pribadinya yang baru.

“Martaka, ini benar-benar di luar kuasaku. Memang benar Guru pernah membahas hal ini. Tapi belum
sejauh itu. Aku pun tak paham bagaimana bisa seisi kota tiba-tiba membicarakan hal ini.”

“Kakang, guru adalah orang yang sangat dihormati di kota ini. Tentu saja kabar tentang rencana
pernikahan putrinya menjadi perbincangan hangat orang-orang.”

Respati tampak berpikir. Meskipun hatinya kacau balau, tapi hal itu tak tampak pada air mukanya.
Segalanya menjadi begini rumit. Sementara dia belum memutuskan apa pun tentang tawaran Kesawa,
kabar tak benar itu sudah menyebar ke mana-mana.

“Aku harus menemui guru.”

Setelah berpamitan kepada Martaka, Respati meninggalkan sahabat kentalnya itu di ruang belajar
mereka.

Ia lalu bergegas menuju ruang pribadi gurunya yang terpisahkan oleh beberapa bangunan pondok
mungil.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Bocah sableng! Aku pikir kau itu anak bodoh. Tak kusangka, ternyata kau bodoooh sekali!”

Respati menghentikan langkahnya. Tak langsung menoleh.


Dia seperti hendak mencerna arti kata-kata orang asing yang menelusup di telinganya tanpa basa-basi.

“Kenapa? Kau malu untuk bertemu denganku, Bocah?

Benar-benar tak tahu diuntung!”

Lidah pisau itu, siapa yang bisa melupakannya. “Kakek aneh!”

Respati membalikkan tubuhnya dengan wajah sumringah.

Tebakannya benar. Kakek berperilaku aneh yang bertemu dengannya sekitar dua tahun lalu di Gresik
kini bertengger di atap salah satu pondok.

“Sembarangan! Siapa yang menyuruhmu memanggilku kakek aneh? Aku punya nama, Bocah
gendeng!”

Senyum Respati semakin melebar. Nyatanya, nama itu terlontar begitu saja dari bibirnya tanpa
maksud apa pun. Dia memang tak tahu siapa nama lelaki tua nyeleneh yang tetap kelihatan kumal
setelah lama menghilang itu.

“Kakek tak pernah berkenan saya mengenal nama Kakek.”

“Gombal. Jangan pura-pura sopan kepadaku. Kau memang tak pantas tahu namaku.”

Respati tak lantas mengubah sikapnya. Dia tahu benar hati kakek aneh itu demikian baik. Hanya
penampakan luarnya yang kasar. Begitu lelaki tua itu melompat turun dari atap pondokan, dia
langsung menghampirinya dan memberi hormat.

Dengan angkuhnya, lelaki tua itu bersedekap sambil mendongakkan kepalanya.

“Kau sungguh tak tahu diri.”

“Apa tidak sebaiknya Kakek mampir lebih dahulu ke pondokan saya agar lebih tenang berbicara?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kakek tua itu menoleh dengan mata melotot.
“Sudah kubilang jangan berlagak sopan terhadapku! Aku ke sini hanya ingin memperingatkanmu.”

Respati tak ingin berdebat. Dia lalu menunggu lelaki tua di depannya berkata-kata lagi.

“Sejak dua tahun lalu, ada seseorang yang mengikuti ke mana pun kau pergi dan menyimak setiap
tindak tandukmu.

Aku sempat bertemu dengan dia dan kami pun menjadi teman.

Dia sangat cerdas dan berbudi baik.”

Respati masih belum tahu ke mana arah pembicaraan orang tua itu.
“Aku benci harus berbicara seperti ini. Huh! Tapi aku tak punya pilihan.”

Kakek aneh itu seperti mendebat dirinya sendiri.

“Dia mengikutimu dari Mojokerto sampai ke Tuban ini. Tapi sekarang dia pergi karena kau
menyakitinya.”

“Kakek, maaf saya benar-benar tak paham.”

Kakek tua itu kelihatan sangat geregetan.

“Huh, kau memang bodoh! Gadis itu sangat mencintaimu, sedangkan kau menyia-nyiakannya!”

“Gadis siapa?”

“Muridku, Bodoh!”

“Saya bahkan tak tahu nama Kakek, bagaimana mungkin saya mengenal murid Kakek?”

“Berani-beraninya kau katakan tak mengenal Samita?!”

Respati merasa degup jantungnya bertambah keras. Nama itu sudah sangat lama tak disebut lagi.
Sekejap, bayangan wajah Samita berkelebat dalam benaknya. Respati tak sanggup berkata-kata.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Anak bodoh! Dua tahun lalu, aku mengangkat Samita sebagai muridku. Dia jauh lebih pandai darimu.
Dia cepat menguasai jurus Hanacaraka yang kuajarkan.”

“Jurus Hanacaraka?”

“Kenapa? Kau pikir hanya kau yang mewarisi jurus itu?”

Respati terdiam. Sebenarnya, nama Samita-lah yang masih membuatnya terbengong-bengong, bukan
kata-kata setajam pisau yang dilontarkan kakek itu. Dia bahkan tak peduli siapa kakek aneh yang
menguasai Ilmu Hanacaraka itu.

“Boleh saya tahu di mana Samita sekarang, Kek?”

“Enak saja! Dua tahun dia menunggumu di pinggiran Tuban, kau tak peduli. Sekarang, kau pura-pura
menanyakannya?”

Respati heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin tiba-tiba dia disergap rasa haru? Matanya
bahkan berkaca-kaca. “Dia menunggu saya?”

“Bodoh! Kau kira, siapa yang menyuruhku menyelamatkanmu ketika nyaris dibantai oleh orang-orang
Serigala Putih dua tahun lalu?”
“Diakah?”

Respati semakin tak bisa banyak berkata-kata. “Kau pura-pura bodoh, Bocah. Jangan-jangan, kau juga
tak tahu siapa orang yang melumpuhkan orang-orang Serigala Putih yang hendak menyerbu perguruan
ini beberapa bulan lalu?”

Mata Respati membesar. Ketenangannya tetap terjaga, hanya kesan di matanya benar-benar tak bisa
berbohong. Dia sedang gelisah.

“Saya kira, kakeklah yang melumpuhkan orang-orang itu.”

“Cih! Benar dugaanku, kau memang bodoh. Buat apa aku menolongmu? Samita mengadu nyawa untuk
menyelamatkan perguruan ini karena di sini ada kau.”

‘“Di mana dia sekarang, Kek?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kakek aneh itu tak bergerak. Dagunya terangkat
semakin tinggi.

“Satu lagi, kau tahu kenapa dia mengubah namanya menjadi Samita?”

Respati menggelengkan kepala.

“Sebab, itu satu-satunya hal yang pernah kau tinggalkan padanya.”

Bibir Respati bergetar. Sebenarnya, sejak bertemu di batas Kota Medangkamulan bertahun-tahun lalu,
Respati sudah menyadari hal itu. Namun, dia sengaja menghapus dugaan-dugaan itu karena ia sendiri
masih menjadi suami Anindita.

Lagi pula, dia tak pernah berpikir jika Samita menyimpan perasaan demikian dalam.

“Kakek, saya mohon. Di manakah Samita sekarang?”

“Dua tahun ini dia tinggal di sebuah pondok di pinggir barat Tuban. Tapi entahlah. Setelah mendengar
kabar bahwa kau akan menikahi putri Kesawa, sepertinya dia bersiap-siap untuk meninggalkan
Tuban.”

“Pergi? Pergi kemana?”

“Tahun ini, armada Ming akan kembali datang ke Majapahit untuk menemui Wikramawardhana.
Tentu saja Samita akan pergi ke Pelabuhan Surabaya menyambut Laksamana Cheng Ho, gurunya.
Barangkali, dia akan ikut kembali ke Tiongkok!”

Napas Respati tercekat. Dia tak sanggup lagi berkata-kata.

Dia bahkan tak berpikir lagi untuk berteriak mencegah, ketika kakek aneh itu melompat dan lenyap di
balik atap pondokan.
Satu hal yang terpikir di benak Respati kini adalah mencari Samita. Ia lalu mengurungkan niatnya
menemui Kesawa.

Langkahnya berderap menuju kandang kuda di samping bangunan utama, lalu menuntun satu di antara
belasan kuda yang ada di sana. Beberapa saat kemudian, dia sudah ada di atas punggung kuda gagah
berwarna cokelat yang membawanya ke arah barat.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 0o0

Respati berdiri ragu di depan sebuah pondok sangat sederhana di punggung bukit sebelah barat pusat
Kota Tuban.

Pondok itu kelihatan sekali dibangun sekadarnya. Atap jerami disokong oleh tiang-tiang berupa
potongan batang-batang pohon kering. Lingkungan di sekitarnya memang asri dan bersih.

Udaranya terhirup segar dan hijaunya tetumbuhan merambah kulit dengan nyaman. Dari penduduk di
bawah bukit, Respati mendapat keterangan bahwa seorang gadis cantik bernama Samita tinggal di
pondok itu selama hampir dua tahun. Penduduk cukup mengenalnya karena Samita bekerja sebagai
juru masak di salah satu rumah makan di pinggir kota.

Makanya, tak sulit bagi Respati untuk menemukan pondok itu. Kini, dia berdiri sambil menghardik
dirinya sendiri berkali-kali. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan mengetahui bahwa Samita tinggal
di kota yang sama dengannya selama dua tahun.

Meskipun perasaan itu tak pernah terungkapkan, Respati sadar, dia merasa saat-saat terbaiknya adalah
ketika bersama Samita. Meskipun sesaat, namun begitu berarti. Dia membodoh-bodohkan dirinya
sendiri karena dua tahun lalu, ia begitu saja meninggalkan Samita. Padahal dia tahu, untuk bisa sampai
ke Mojokerto, gadis itu telah melewati perjalanan panjang dan berat.

Sebuah perjalanan yang hampir merenggut nyawanya.

Tapi begitu akhir perjalanan itu tercapai, bahkan Respati tak berusaha memahami maknanya. Ia hanya
memberikan ucapan terima kasih mengakhiri pertemuan di pinggir Telaga Tirta Kusuma, lalu ia
meninggalkan Samita begitu saja.

Toh, itu semua tak mengubah keteguhan gadis itu. Dia bahkan menyusul Respati ke Tuban dan
mengikuti setiap kabar tentangnya tanpa sekali pun menyorongkan rasa ke-Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi aku-annya dengan menemui Respati dan menuntut
bayar atas semua yang telah ia lakukan.

“Dia sudah pergi.”

Respati masih termangu di depan pondok yang pintunya tertutup itu, ketika kakek aneh yang
sebelumnya menyatroninya di Perguruan Kesawa tiba-tiba keluar dari pondok. Respati tak
berkomentar. Tatapannya sendu, sementara kedua kakinya seperti terhunjam ke tanah tanpa mau
bergerak.

“Kau tunggu apa lagi, Bocah sableng?”

Respati mendongakkan kepalanya.

“Percuma kau berguru pada orang arif itu jika kata hatimu pun tak kau mengerti.”

“Respati mohon petunjuk kepada Kakek.”

Lelaki tua nyeleneh itu diam sejenak. Berbeda dari biasanya yang terkesan ceplas-ceplos. Tatapan
matanya meredup, tak lagi melotot kejam.

“Apa yang dikatakan hatimu, Respati?”

Pemuda itu tak langsung menjawab. Matanya bergerak-gerak perlahan.

“Saya ingin bertemu dengan Samita, Kek.”

“Lalu, apa yang menahanmu untuk menyusulnya ke Surabaya?”

“Bagaimana dengan Perguruan Kesawa? Kabar pertunangan saya dengan Laksmi sudah begitu
menyebar.

Bisa menjadi aib besar, jika tiba-tiba saya pergi begitu saja.”

“Kau memikirkan perasaan orang-orang Kesawa, sedangkan perasaan Samita sengaja kau abaikan.”

“Ini saat paling sulit untuk saya, Kek.”

“Kau minta pendapatku atau hanya sekadar basa-basi?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Respati tak berani bersikap kurang ajar kepada Kakek.”

“Kalau begitu, temui Kesawa dan anaknya. Terangkan apa yang terjadi, lalu susul Samita.”

Respati merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut.

Sungguh sulit apa yang sedang ia hadapi. Pilihan-pilihan yang tak bisa dianggap remeh.

“Boleh saya masuk ke pondok Samita, Kek?”

Tanpa menjawab, kakek aneh itu lalu menjauhi pintu.

Tanpa memedulikan Respati, dia lalu menghampiri salah satu pohon rindang di dekat pondok,
kemudian duduk menyandarkan punggungnya pada batang pohon.
Merasa sudah diberi izin, Respati menghampiri pintu pondok. Perlahan, dia membuka pintu dengan
jantung berdegup. Tak ada apa-apa dalam pondokan itu, kecuali tempat berbaring dari beberapa batang
bambu yang dirapatkan. Lantai tanah yang lembap tak meninggalkan bekas apa pun.

Respati menghampiri pembaringan sederhana itu dan duduk di atasnya. Tangannya perlahan meraba
pembaringan penuh perasaan. Pandangannya merata ke seluruh ruangan.

Pada dinding gedhek (dinding dari anyaman bambu) terlihat guratan-guratan unik. Tak tampak jelas
karena jaraknya dari tempat Respati duduk cukup jauh.

Pemuda itu lantas menghampiri dinding gedhek dan mencermati guratan-guratan yang ternyata
membentuk huruf-huruf Jawa itu. Respati tersenyum sendiri. Jadi benar bahwa selama dua tahun di
tempat itu, Samita mempelajari Ilmu Hanacaraka dari kakek aneh itu.

Kini, Respati mulai mereka-reka siapa sebenarnya kakek nyeleneh yang menguasai jurus Hanacaraka
itu. Tapi, dia buru-buru mengusir pikiran itu mengingat tujuan awalnya masuk ke gubuk itu,
memastikan ada sesuatu yang ditinggalkan Samita. Ternyata tak ada apa-apa. Ia pun akhirnya keluar
gubuk itu menemui si kakek aneh. Respati Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tersenyum masygul ketika dia tak menemukan
lelaki tua nyeleneh itu di bawah pohon tempatnya bersender sebelumnya. Ia lalu melangkah gontai
meniti punggung bukit, mengambil kuda yang sebelumnya ia titipkan kepada penduduk desa di bawah
bukit.

0o0

“Bagus sekali. Tentu saja aku mendukung. Kalau Kakang bisa menemuinya, pasti mendung di wajah
Kakang akan lenyap sama sekali.”

Respati nyaris tak percaya dengan reaksi Laksmi. Gadis itu seperti kegirangan ketika dia
mengutarakan maksudnya untuk menyusul Samita ke Pelabuhan Surabaya. Sebelumnya, Respati
menceritakan siapa Samita dan apa yang telah ia lakukan pada hidupnya.

Tadinya, pemuda itu berpikir, Laksmi akan terpukul mendengar maksud hati Respati. Kabar burung
tentang rencana pernikahan mereka tentu sudah sampai ke telinga Laksmi. Kini, tiba-tiba Respati
mengatakan bahwa ia hendak meninggalkan Perguruan Kesawa dan tak pasti apakah akan kembali
atau tidak.

Tapi, apa yang dikatakan Laksmi betul-betul di luar dugaan. Mata gadis itu melebar dengan kesan
wajah yang ceria. Bahkan, ia menepukkan kedua telapak tangannya menyempurnakan kesan gembira
dalam hatinya.

“Kau yakin, Laksmi?”

“Maksud Kakang?”

“Kabar burung itu tak mengganggumu sama sekali?”

“Apa peduliku dengan omongan orang?”


Respati tersenyum sementara hatinya masih merasa tak percaya. Sebelumnya, dia pun dibuat terharu
ketika gurunya, Ki Kesawa sama sekali tak menahan niatnya untuk meninggalkan perguruan. Malah,
lelaki arif itu membekali Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati dengan wejangan-wejangan hebat. Dia pun
tak mewajibkan Respati untuk berpamitan kepada Laksmi.

Hanya karena Respati sudah merasa dekat dengan gadis itu, dia tetap saja mendatangi Laksmi untuk
membicarakan rencananya. Ternyata, semuanya terasa jauh lebih mudah dibandingkan dengan apa
yang dibayangkan Respati sebelumnya.

“Baiklah, aku punya sebuah cerita buat Kakang. Cerita ini menjadi kenang-kenangan agar Kakang tak
lupa padaku. Aku akan marah kalau sampai Kakang melupakan cerita ini.”

Respati manggut-manggut tanpa suara. Sebenarnya, dia memang sudah tak tahu harus berkata apa lagi.

“Di Gujarat banyak dibangun tempat ibadah yang memiliki menara tinggi. Suatu hari, ada dua orang
dungu yang memandang menara dengan penuh kekaguman. Salah satu di antara mereka berkata,
.Alangkah tingginya badan orang-orang dulu, hingga mereka bisa membangun menara setinggi
itu.Kawannya menjawab, ‘Bodohnya kamu! Mana ada di dunia ini manusia yang badannya setinggi
menara itu? Mereka membuat menara itu di bawah, baru kemudian ditegakkan.’”

Respati memperhatikan betul cara Laksmi bercerita.

Seperti biasanya, gadis itu menjadi pencerita yang baik. Dia mampu membuat perhatian lawan
bicaranya terpaku beku.

Begitu cerita itu berakhir, Respati tersenyum simpul.

“Tidak cukup lucu, ya?”

“Kata siapa. Ini sangat lucu.”

Laksmi tersenyum puas. Ia banyak bertanya tentang Samita. Beberapa kali dia manggut-manggut,
ketika Respati menceritakan sosok tegar Samita dan kemampuan luar biasa yang dimiliki gadis itu.
Laksmi semakin tertarik mendengarkan kisah Respati. Dia terus saja bertanya.

“Jadi, kapan Kakang berangkat?”

“Besok pagi.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Baik. Aku akan menyiapkan perbekalan untuk Kakang.

Sekarang, aku harus kembali ke pondok untuk memasak.”


Respati mengangguk pelan. Perasaannya lega bukan main. Segala yang menghimpit dadanya lolos
lepas tak berbekas. Ia lalu berjalan pelan menuju ruang pribadinya untuk mempersiapkan
keberangkatannya esok harinya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 19. Di Atas Geladak

Ada mendung di atas Perguruan Kesawa. Wajah-wajah sedih melepas keberangkatan Respati seorang
diri menuju Pelabuhan Surabaya. Para murid yang sudah terbiasa dengan Respati tentu saja merasa
sangat kehilangan karena pemuda itu sudah menjadi bagian dari keluarga besar perguruan.

Satu-satunya orang yang justru kelihatan ceria adalah Laksmi. Dia terus mengumbar senyum, seolah
ingin menggerus keraguan Respati untuk meninggalkan tempat itu.

Ia membekali Respati dengan ransum untuk beberapa hari dan beberapa kitab untuk teman perjalanan.

Ki Kesawa juga membekali Respati dengan wejangan-wejangan berharga, sebelum akhirnya melepas
kepergian pemuda itu. Puluhan murid menemani Respati hingga gerbang perguruan. Tangan mereka
melambai-lambai ketika kuda Respati mulai berketipak melangkah semakin cepat meninggalkan
perguruan.

“Laksmi, boleh aku menemanimu?”

Martaka menghampiri Laksmi yang dari tadi kelihatan melamun di kursi taman. Siang hari setelah
Respati meninggalkan perguruan, kegiatan di tempat itu kembali seperti biasa. Martaka pun tadinya
hendak membantu murid-murid lain merawat hewan ternak mereka, ketika ia merasa heran melihat
Laksmi duduk tepekur di kursi taman.

Gadis itu menatap kosong. Kitab di depannya dibiarkan begitu saja tanpa sungguh-sungguh ia baca.

“Tentu saja, Kakang Martaka. Kenapa mesti sungkan?”

Setelah dipersilakan, Martaka duduk di depan Laksmi.

Bangku tempat mereka duduk saling berhadapan.

“Aku lihat kau sedang memikirkan sesuatu.”

“Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Martaka meneliti kesan wajah Laksmi dengan
saksama.

Ada perubahan warna yang bias di sana.

“Kau memikirkan Kakang Respati?”


Laksmi sedikit tersentak. Tapi, dia buru-buru berusaha bersikap wajar.

“Tentu saja. Aku berpikir, apakah dia akan baik-baik saja.”

“Dia seorang pendekar tangguh, Laksmi. Kau tak perlu khawatir.”

“Ya, tentu saja.”

Martaka tersenyum tanpa disadari Laksmi. Jawaban gadis itu jelas sekenanya. Ada sesuatu yang telah
terjadi.

Sementara Laksmi mencari kesibukan dengan membolak-balik lembaran daun lontar di depannya.

“Aku punya sebuah cerita, Kakang mau mendengarnya?”

Martaka tak menjawab. Dia malah menatap Laksmi dalam-dalam.

“Rupanya jawabannya tidak. Baiklah, belajarku sudah selesai. Aku harus kembali ke kamarku
sekarang.”

“Seorang perempuan dapat menyimpan cintanya sampai empat puluh tahun. Tapi, tak bisa menyimpan
rasa bencinya barang sesaat.”

Laksmi menghentikan kesibukan tangannya yang hendak berkemas. Ia menatap Martaka.

“Apa maksud Kakang?”

Sorot mata Laksmi menajam. Nada suaranya datar namun penuh makna. Martaka terdiam. Dia
kelihatan menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Pemuda bersorot mata lugu itu menggelengkan
kepala tanpa berkata-kata.

Laksmi lalu bergegas mengambil tumpukan daun lontar di atas meja taman dan buru-buru
meninggalkan tempat itu. Tapi gerakannya sontak berhenti. Tanpa menoleh pada Martaka, Tiraikasih
Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dia diam berdiri membelakangi pemuda itu.
Pandangannya menerawang sendu. Matanya berkaca-kaca.

“Cinta asmara adalah suatu kelelahan yang kebetulan bertemu dengan hati yang kosong. Aku akan
segera mengisi hati itu. Pastilah nanti rasa lelahnya akan sirna.”

Tanpa menunggu jawaban Martaka, Laksmi

meninggalkan taman dengan langkah buru-buru dan kepala menunduk. Sementara Martaka
menggelengkan kepala. Ia masih termangu di kursi taman itu beberapa saat, sebelum kemudian dia
bangkit dan berjalan menyusul murid-murid lain yang tengah sibuk mengurus hewan ternak mereka di
halaman belakang perguruan.

0o0
Berhari-hari memacu kuda ke arah selatan, rasanya seperti terbang. Respati tak mau disapa rasa lelah.
Keinginannya sudah bulat, bertemu dengan Samita. Meskipun ia tak yakin apa yang akan ia lakukan
jika bertemu dengan Samita, namun semangat untuk melihat sepasang mata cemerlang milik Samita
demikian menggebu.

Berhari-hari terguncang di atas punggung kuda, Respati tak ingin berhenti. Sesekali saja dia menepi
untuk memberi makan kudanya sekaligus mengisi perut dengan ransum yang dibekalkan Laksmi.
Seperti itu terus hingga ia tiba di Gresik.

Ingatannya kembali ke masa beberapa tahun lalu.

Di tempat yang sama, dia bertemu dengan Martaka dan kakek aneh yang hingga kini tetap tak jelas,
siapa dia sebenarnya. Ia pun tak lupa, di tempat ini dia pertama kali bertemu dengan orang-orang
Serigala Putih yang hampir membuat Perguruan Kesawa rata dengan tanah.

Hari segera sore ketika Respati masuk ke sebuah rumah makan di tengah kota Gresik. Rumah makan
yang sama dengan yang ia datangi dua tahun lalu. Respati sengaja ke sana, sekadar ingin tahu.
Ternyata memang tak banyak perubahan. Rumah makan tempat Respati pertama kali melihat orang-
orang Serigala Putih itu tetap seperti dulu.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bersih, tertata rapi, dan ramai pengunjung. Setelah
memesan makanan, Respati langsung memilih tempat di pojok ruangan dan duduk di sana.

“Sayangnya, aku tak melihat secara langsung waktu perempuan pendekar itu mengamuk.”

“Yah, sayang sekali. Aku sungguh beruntung karena waktu perempuan digdaya itu melabrak markas
Serigala Putih, aku melihatnya langsung.”

Mata Respati segera melirik ke arah dua orang lelaki yang berbincang tak jauh dari tempatnya duduk.
Kedua lelaki berpakaian bagus itu rupanya baru saja selesai bersantap.

Sambil menunggu perutnya nyaman, keduanya lalu mengobrol.

“Bayangkan, Serigala Putih yang begitu berkuasa, ia obrak-abrik seorang diri.”

“Aku pun nyaris tak percaya.”

“Seluruh kota juga hampir tak percaya.”

Dua laki-laki itu kelihatan sangat bersemangat membincangkan kejadian luar biasa beberapa hari lalu.

Markas kelompok Serigala Putih di Gresik memang baru saja diratakan dengan tanah oleh seorang
perempuan pendekar yang misterius. Penduduk Gresik meyakininya sebagai utusan dewa.

Jika tidak, mana mungkin seorang gadis anggun dan berparas jelita itu mengalahkan puluhan jago-
jago Serigala Putih yang dikenal memiliki kedigdayaan sangat tinggi.
“Tapi aku dengar, saat pendekar itu menyatroni markas Serigala Putih, dedengkot kelompok itu
sedang ada di Tuban?”

“Aku dengar juga begitu. Tapi, tetap saja pendekar perempuan itu sangat hebat.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Laki-laki yang mengenakan ikat kepala memberi
tanda agar temannya tak terlalu keras membicarakan hal itu. Ia lantas celingukan sesaat.

“Bukan itu maksudku. Kau bisa bayangkan jika Ketua Serigala Putih dan puluhan pengikutnya pulang
dari Tuban dan menemukan markas mereka sudah rata dengan tanah.

Kau kira apa yang akan terjadi?”

Lelaki satunya lagi langsung pucat bukan main. Dia juga celingukan, takut kalau-kalau perbincangan
itu didengarkan orang lain. Pandangan mereka pun tertumbuk pada Respati.

Pemuda itu mengangkat alis sambil tersenyum.

“Hei, apa yang kau lihat?”

“Kenapa begitu gusar, Kisanak? Saya tak bermaksud apa-apa.”

Meskipun sambil menggerutu, dua orang itu kemudian mengalihkan pandangannya dari Respati yang
kemudian sibuk menyantap makanan di depannya. Beberapa saat kemudian, suasana menjadi senyap.
Padahal masih banyak orang di sana, termasuk dua lelaki yang tadi sibuk berbicara tentang Serigala
Putih.

Respati langsung paham jawabannya, ketika dia melihat sekelompok orang-orang berjubah putih
masuk ke rumah makan itu. Senyum pemuda itu mengambang karena di antara orang-orang itu, dia
menemukan wajah-wajah yang pernah ia lihat sebelumnya. Seorang pemuda berwajah dingin dan
perempuan berwajah judes. Dua orang ini pernah bertempur dengannya di pinggiran Gresik dua tahun
lalu.

Mereka berdiri mengapit seorang lelaki berjambang dengan rambut digelung dan kumis melintang.
Bisa jadi dialah pemimpin Serigala Putih. Kali ini, rupanya rombongan itu sama sekali tak hendak
bersantap. Mata angker mereka menyebarkan pandangan ke seluruh ruangan tanpa bicara apa pun.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Serta-merta pandangan mereka berhenti pada sosok
Respati yang duduk tenang sambil menenggak air dari gelas bambu.

“Rupanya kau di sini! Setelah mengobrak-abrik markas Serigala Putih, kau masih berani muncul!”

Respati menatap lelaki berjambang dan berkumis tebal itu tanpa berkedip. Air mukanya biasa saja.
Tak menampakkan kekagetan, apalagi rasa takut.
“Aku tak mengerti bagaimana mungkin kau menudingku sebagai orang yang menghancurkan
markasmu. Tapi sebenarnya, aku pun ingin melakukan hal yang sama dengan orang itu.”

Mata lelaki setengah tua itu melotot mendengar jawaban Respati.

“Kau cari mati! Jangan harap aku akan sungkan hanya karena kau pernah menjadi rakryan rangga
Majapahit!”

“Bagus kalau begitu. Aku pun tak akan sungkan untuk menghukum kalian. Tentukan saja di mana kita
akan bertarung. Aku akan menyusul kalian.”

Tanpa kehilangan kesan santainya, Respati menghabiskan sisa air di gelas bambu itu. Ia lalu
menyenderkan punggungnya ke dinding kayu, ketika lelaki setengah tua itu mendengus sambil
memerintahkan anak buahnya keluar dari tempat itu.

“Padang rumput pinggir utara Kota Gresik. Kau pasti sudah tahu tempatnya. Jika kau tak muncul
hingga senja ini, kau sudah tak punya muka lagi di dunia persilatan.”

Respati tersenyum menjawab tantangan Ketua Serigala Putih itu. Setelah orang-orang itu berlalu,
barulah dia memanggil pelayan untuk membayar tagihan, kemudian bersiap-siap pergi ke padang
rumput tempat ia akan bertarung dengan orang-orang Serigala Putih.

0o0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Padang rumput di pinggir Kota Gresik itu masih
senyap.

Padahal, di sana ada puluhan orang berjubah putih yang berbaris membentuk lingkaran besar. Di
tengah lingkaran, seorang lelaki berjambang lebat dan berkumis tebal berdiri kaku. Sorot matanya
kejam mengancam.

Dialah Yudayana, ketua kelompok Serigala Putih yang beberapa tahun ke belakang semakin ditakuti
penduduk mulai Gresik hingga Tuban. Setelah membangun kelompoknya empat tahun lalu, anggota
Serigala Putih kini berjumlah ratusan, tersebar di kota-kota di Jawa Dwipa belahan timur.

Tak heran jika pengaruh kelompok ini semakin mengakar dan terus menyebar. Apalagi mereka sangat
lihai menjalin hubungan baik dengan para penguasa kepanjangan tangan Raja Majapahit di daerah-
daerah. Para rakryan di daerah sengaja memanfaatkan tenaga Serigala Putih untuk mengamankan
kekuasaan mereka.

Orang-orang ini dipelihara untuk menjaga kepatuhan rakyat, agar tak memberontak. Makanya,
kebencian rakyat Majapahit kepada Serigala Putih dan pemerintah Majapahit kian menjadi-jadi.

Ini pula yang membuat Yudayana dan orang-orangnya semakin besar kepala. Mereka semakin terang-
terangan memperlihatkan kegilaannya. Menampakkan kekuasaan agar rakyat ketakutan dan tak berani
menentang. Kejadian beberapa hari lalu ketika markas utama Serigala Putih diobrak-abrik seorang
pendekar menjadi aib yang mencoreng nama Yudayana.
Ia marah bukan main. Apalagi markas di Gresik merupakan markas terbesar dibandingkan markas di
kota-kota lain.

Karena di kota inilah pusat kekuatan Serigala Putih. Si penyerang misterius itu tahu benar cara
menampar harga diri Yudayana. Dengan hancurnya kekuatan di pusat, tentu saja membuat keyakinan
anggota di daerah jadi berkurang.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Inilah yang membuat Yudayana bertekad
membalas kekalahan anak buahnya. Paling tidak, rasa malu karena aib itu bisa sedikit berkurang.

“Jadi, kalian akan maju satu-satu atau bersamaan?”

Sebuah bayangan berkelebat, melenting di atas kepala orang-orang berjubah itu, lalu mendarat di
tengah lingkaran, berhadapan langsung dengan Yudayana.

“Sombong sekali kau!”

Respati tersenyum, menganggap kalimat Yudayana sebagai angin lalu.

“Aku tak punya alasan untuk takut kepada orang-orang berhati keji seperti kalian. Lebih-lebih, tak ada
yang istimewa dari ilmu kasar kalian.”

“Pongah! Kau cari mati!”

“Salah satu wujud sikap rendah hati adalah bersikap pongah kepada orang pongah!”

Yudayana tak sanggup lagi menguasai amarahnya. Dia langsung mencabut pedang yang tadi ia
sarungkan di pinggang lalu mencelat ke arah Respati. Tanpa panik, Respati menyambut serangan
Yudayana dengan gerakan berputar. Ia lebih sering menghindar dari serangan pedang Yudayana
sambil mencari titik lemah jurus Ketua Serigala Putih itu.

Lewat beberapa jurus, Respati maklum bahwa kemampuan Yudayana jauh di atas murid-muridnya
yang pernah ia kalahkan di tempat yang sama dua tahun lalu. Ia pun bergerak lebih hati-hati. Pada titik
waktu paling pas, Respati mencabut keris Angga Cuwiri secepat kilat.

Sinar biru segera terpancar dari logam keris istimewa itu.

Yudayana yang pernah mendengar tentang kesaktian keris itu tetap saja takjub melihat keelokan
pamornya. Namun, dia tak punya banyak waktu. Segera sinar biru itu mengurung ruang geraknya dan
menebar maut yang mencengangkan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Yudayana beberapa kali bersalto dengan pedang
berputar cepat. Tenaga dalamnya mengantarkan hawa panas menyengat. Sadar lawannya bukan orang
sembarangan, Respati tak mau tanggung-tanggung. Jurus Hanacaraka tingkat tinggi ia kerahkan.
Pertempuran semakin seru. Sinar biru dari keris Angga Cuwiri berkelebat-kelebat bukan main.
Pedang di tangan Yudayana pun tak mau menyerah.

Bacokan-bacokan berbahaya meluncur deras ke arah seluruh titik berbahaya di tubuh Respati. Namun,
dengan penuh percaya diri, Respati memutar kerisnya agar bisa bertumbukan langsung dengan pedang
itu.

Tranggg!

Kedahsyatan keris Angga Cuwiri kini terbukti. Pedang di tangan Yudayana patah jadi dua, ketika
Respati mengadunya dengan bilah keris pusaka itu. Yudayana melompat mundur sambil
mencampakkan potongan pedangnya. Ia lantas membuat kuda-kuda kokoh sebelum menghambur lagi
ke arah Respati dengan teriakan lantang.

Respati yang sejak awal sudah siap bertempur habis-habisan sama sekali tak merasa takut.
Menyambut serangan terakhir Yudayana, dia langsung membabat ruang kosong sambil melepas
tenaga dalamnya.

Benturan tenaga dalam dahsyat terjadi. Yudayana terlempar ke belakang sambil menekan dadanya.
Sementara Respati terhuyung ke belakang beberapa langkah.

“Seraaaaaang!”

Melihat ketuanya terluka, orang-orang Serigala Putih tak tinggal diam. Mereka serempak menyerbu
Respati dengan senjata terhunus. Respati bereaksi cepat, segera menyambut serangan mereka. Bunyi
logam beradu terdengar nyaring.

Jantung-jantung berdegup kencang menyaksikan patahan-patahan pedang yang terlempar ke udara.

Tubuh-tubuh ambruk berdebam dengan luka menganga.

Darah berceceran, menjadi noda merah mencolok pada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pakaian serbaputih yang dikenakan orang-orang
Serigala Putih. Satu per satu mereka ambruk dan meregang nyawa.

Respati tak berhenti bergerak. Dia habis-habisan menyerang ke segala arah, membabat siapa saja yang
ada di dekatnya.

Namun, datangnya serangan dari segala penjuru seperti ombak yang tak mengenal habis. Puluhan
anggota Serigala Putih terus merangsek ke depan. Melayangnya nyawa rekan-rekan mereka tak
membuat kendur semangat untuk meringkus Respati. Telanjur basah. Nama besar Serigala Putih sudah
babak belur ketika markas utama mereka disatroni pendekar misterius dua hari sebelumnya.

Kelompok ini tak akan punya wibawa lagi di dunia persilatan jika hari ini tak bisa melumpuhkan
Respati yang jadi kambing hitam penyerangan hebat yang meruntuhkan ketakutan orang-orang
terhadap kelompok Serigala Putih.

Suara ribut kian menjadi-jadi. Sebagian dari orang-orang Serigala Putih itu melemparkan jaring-jaring
aneh yang menyerbu Respati dari segala arah. Pemuda itu menyadari bahaya yang mengintainya jika
ia membiarkan jala-jala yang beracun itu meringkus tubuhnya.

Respati langsung memutar kerisnya sambil

menghempaskan tenaga dalam yang tersisa di tubuhnya.

Serta-merta, orang-orang Serigala Putih yang tadinya mengepung Respati terlempar ke belakang.
Namun, lontaran tenaga dalam Respati kali ini tak sedahsyat sebelumnya sehingga hanya beberapa
orang yang ambruk dan tak bisa bangkit lagi. Orang-orang Serigala Putih yang lain langsung
melancarkan serangan susulan bersama-sama. Meskipun tak gugup, Respati sadar sepenuhnya,
melawan sedemikian banyak orang, kecil kemungkinan menang.

Dia pun cepat memutar otak mencari peluang untuk menuntaskan pertempuran itu dengan
kemenangan. Serta-merta, tubuh Respati melenting ke belakang. Bergerak cepat memburu Yudayana
yang kini duduk bersila, mengendapkan rasa sakit yang menghantam dadanya akibat adu tenaga dalam
dengan Respati beberapa saat sebelumnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Gerakan kilat keris Angga Cuwiri tak lagi bisa ia
tepis.

Ujung keris sakti itu menyentuh kulit lehernya.

“Aku paling tak suka cara ini. Tapi menghadapi orang-orang seperti kalian, rasanya semua menjadi
sah-sah saja.”

Orang-orang Serigala Putih yang tadinya hendak menyerbu langsung menghentikan langkahnya.
Sedikit saja mereka teledor, ujung keris itu bisa menembus leher Yudayana yang sekarang kelihatan
tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Matanya terpejam, bibirnya bergetar menahan sakit.

“Aku tak punya alasan lagi untuk bertempur. Markas kalian sudah hancur, ketua kalian juga sudah
kutaklukkan. Aku tak harus membunuh kalian satu per satu untuk menamatkan riwayat Serigala
Putih.”

“Tutup mulutmu!”

Gendang telinga Respati seperti bergetar. Suara itu lagi.

Suara perempuan yang sangat mengganggu. Respati segera menemukan wajah perempuan sebaya
dengannya yang kini berdiri dengan pandangan mata tajam. Wajahnya tak menampakkan kejahatan
sebenarnya. Kulitnya bagus, garis wajahnya sama sekali tak kejam. Hanya matanya yang setajam
golok demikian mengganggu.

“Apalagi yang akan kau lakukan?! Tak puas kau bunuh semua saudaraku?!”

Pandangan mata Respati beradu dengan sinar mata perempuan bergelung rambut itu.

“Harusnya kau malu kepada dunia dengan perbuatanmu ini!”


Respati masih diam.

“Tunggu apalagi?!”

“Aku menunggu kau habiskan kata-katamu.” Dua mata perempuan itu membelalak. Dia tak
menyangka Ilmu Jala Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sukma yang ia lancarkan sama sekali tak mempan.
Seperti membentur tembok.

“Sudah selesai. Ilmu itu hanya bisa kau gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Justru jika aku jadi
kau, pasti aku sudah bunuh diri karena malu!”

Perempuan itu tak lagi punya kata-kata untuk diucapkan.

Dia berdiri kaku dengan alis mata bertaut. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Begitu juga dengan
puluhan anggota Serigala Putih lainnya yang mematung.

Respati lantas memasukkan keris Angga Cuwiri ke warangkanya, perlahan. Tanpa khawatir akan
diserang dari belakang, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan santai meninggalkan tempat itu.
Orang-orang Serigala Putih seperti kehilangan semangat untuk mengejarnya. Mereka lalu
menghampiri Yudayana dengan harap-harap cemas.

0o0

Pelabuhan Surabaya, ketika sore dikepung langit emas.

Bagi hati yang sendiri, warna alam sore itu pasti menyempurnakan rasa terjajah. Kekuatan hilang,
tinggal nelangsa yang menjadi-jadi. Langit dilukisi alam dengan warna emas dan merah yang
mencolok. Sisa sinar matahari hanya cukup untuk memastikan pandangan mata agar tak ada sesuatu
yang tertukar.

Burung-burung laut menukik ke permukaan laut, menjemput rezekinya pada tubuh molek ikan-ikan
yang bernasib sial sore itu. Permukaan laut membentuk lembah-lembah air yang senantiasa bergerak
dan berubah-ubah.

Riuh rendah suasana pantai yang semarak. Kapal-kapal dari negeri seberang tertambat rapi, berjajar
seperti kawanan kuda yang siap bersantap. Respati menatap nanar pada sekelompok kapal-kapal besar
yang ditambat lumayan jauh dari pantai. Lelaki muda itu seolah menyaksikan keajaiban yang belum
pernah ia saksikan seumur hidupnya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia kini berdiri di atas perahu kecil yang
mengantarnya berlayar dari pantai menuju kapal induk, terbesar di antara kendaraan-kendaraan laut
yang luar biasa itu.

“Kisanak, berapa lama kapal-kapal Tiongkok itu ada di sini?”


“Sudah sebulan lebih, Tuan. Saya dengar mereka akan segera kembali ke negeri asalnya.”

Respati mengangguk sambil tersenyum, mewakili ucapan terima kasihnya kepada pemuda pemilik
perahu yang sibuk mendayung. Hatinya tak habis bersyukur karena masih punya harapan untuk bisa
bertemu dengan Samita. Terlambat beberapa hari saja, mungkin mereka sudah mengangkat jangkar,
kembali ke tanah Tiongkok.

“Apakah mereka tak berkeberatan kita datang?”

“Sama sekali tidak, Tuan. Orang-orang dari seberang itu ramah-ramah. Mereka kan, tamu Prabu
Wikramawardhana yang terkenal baik budi.”

Respati manggut-manggut. Dia sama sekali tak ragu lagi.

Orang-orang di atas kapal itu benar utusan Kerajaan Ming dari Tiongkok. Jantung Respati berdegup
semakin cepat ketika sebentar lagi perahu yang ia tumpangi merapat di kapal raksasa, salah satu dari
puluhan kapal armada Ming.

Beberapa orang ping-se menyambut kedatangan Respati dengan senyum mengembang. Mereka lantas
mempersilakan Respati naik ke kapal, bergabung dengan belasan orang pribumi yang sedang asyik
beramah tamah dengan penghuni kapal.

“Saya hendak bertemu dengan Laksamana Cheng Ho.”

Ping-se berperawakan ramping itu mengernyitkan dahinya.

Rupanya, kehendak tamunya kali ini berbeda dengan tamu-tamu sebelumnya. Jika biasanya para
penduduk pribumi datang ke kapal-kapal itu sekadar ingin merasakan berada di atas kapal raksasa
Kerajaan Ming, kali ini ada yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menanyakan perihal bahariawan agung pemimpin
armada Ming itu.

“Boleh saya tahu siapa Tuan dan apa keperluan bertemu dengan Laksamana Ho?”

“Nama saya Sad Respati dari Majapahit. Saya sekadar ingin bertemu dengan Tuan Ho.”

Wajah Ping-se itu sedikit berubah. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Apakah Tuan ini rakryan rangga Majapahit yang termasyhur itu?”

“Tak perlu berlebihan, Tuan. Saya memang pernah menjabat sebagai rakryan rangga. Tapi sekarang
tidak lagi.”

“Ah, tentu Laksamana Ho sangat berkenan menemui Tuan.

Ikutlah dengan saya. Akan saya antar Tuan bertemu dengan Laksamana Ho.”

Respati tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengikuti langkah tegap ping-se itu
menuju pintu masuk ke ruangan dalam. Mereka lalu berjalan di lorong-lorong kapal berlantai kayu
yang kokoh. Setelah melewati beberapa penjagaan ping-se yang ketat, mereka berdua sampai di depan
ruangan dalam kapal yang pintunya tertutup rapat. Di muka pintu itu, ada dua ping-se berdiri dengan
siap siaga.

“Tuan tunggulah sebentar. Saya akan memberitahukan kedatangan Tuan kepada Laksamana Ho.”

Setelah diiyakan oleh Respati, ping-se itu lalu meminta izin kepada dua ping-se jaga untuk masuk ke
ruangan. Setelah berbicara beberapa saat menggunakan bahasa Chung Kuo, salah seorang ping-se jaga
itu lalu masuk ke dalam ruangan.

Tak harus menunggu lama, dia keluar dengan wajah sumringah.

“Laksamana Ho menunggu Anda di dalam, Tuan.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Jantung Respati berdetak lebih cepat lagi. Saat-saat
mendebarkan yang jarang ia alami selama hidup. Rasanya, semua benda dan orang yang berhubungan
dengan Samita membuatnya gugup. Sekarang, ia harus bertemu dengan orang paling berpengaruh
dalam kehidupan Samita.

Sesaat setelah berhasil menenangkan hatinya, Respati lalu masuk ke ruangan itu ditemani salah
seorang ping-se jaga. Tentu saja, sebelumnya dia sudah berterima kasih kepada ping-se yang
mengantarnya dari geladak ke kabin itu.

Respati menangkap aura agung itu lagi. Seorang lelaki hebat yang sudah ia kenal sejak empat tahun
lalu. Bertemu dalam perbincangan-perbincangan tak panjang lebar, namun membuat hatinya takluk.
Laksamana Cheng Ho berdiri menatapnya dengan sinar mata berbinar dan senyum lebar.

Ia kini adalah seorang lelaki matang yang usianya mendekati empat puluh tahun. Tetap tegap seperti
dulu.

Hanya kini dagunya dihiasi jenggot panjang hitam mengkilap menambah wibawa

“Tuan Respati, apa yang telah saya lakukan hingga begini beruntung? Sore yang istimewa, Tuan mau
bertamu ke kapal kami.”

Respati buru-buru menjura membalas penghormatan Cheng Ho yang ia rasa berlebihan.

“Tuan Ho, sedikit sekali penduduk Jawa Dwipa yang beruntung pernah mengenal Tuan. Saya merasa
tersanjung karena termasuk di antara sedikit orang itu.”

Tanpa melepas senyumnya, Cheng Ho mempersilakan Respati duduk di bangku bulat di tengah
ruangan. Bahariawan itu lalu mengisi cangkir kecil yang sudah disiapkan di atas meja kecil dengan
ramuan ginseng dan mempersilakan Respati untuk mencobanya.

“Sudah lebih dari dua tahun. Pasti banyak hal hebat yang Tuan alami.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati membiarkan tenggorokannya dimanjakan
rasa hangat dari ramuan gingseng yang ia tenggak. Setelah itu, ia kembali meletakkan cangkir itu di
atas meja.

“Jika Tuan Ho baru saja bertemu dengan sang Prabu, tentunya sudah mendengar berita pengunduran
diri saya.”

“Ya, Tuan benar. Tapi, itu bukan hal terhebat yang Tuan alami bukan?”

Respati diam sejenak. Berusaha mencerna maksud kata-kata Cheng Ho. Ia sadar orang di depannya
memiliki pandangan luas dan mumpuni. Tak boleh sembarangan bicara.

“Saya berkelana beberapa lama, lalu menetap di Tuban.

Memang banyak hal hebat saya alami di sana.”

Cheng Ho manggut-manggut dengan senyum penuh makna. Respati menebak-nebak. Tapi dia memilih
berhati-hati.

Akhirnya, hingga langit benar-benar gelap, perbincangan itu menghangat oleh pembicaraan mengenai
situasi negara beberapa waktu terakhir. Pemberontakan yang belum juga mati dan perkembangan
daerah-daerah pesisir yang semakin ramai ketika para pendatang dari negeri jauh berdatangan.

Cheng Ho minta izin kepada Respati untuk

bersembahyang petang, ketika malam segera matang.

Beberapa lama, Respati dibiarkan menunggu di ruang pribadi Cheng Ho sambil menikmati berbagai
hidangan yang disiapkan pelayan. Setelah beberapa lama, barulah Cheng Ho kembali.

“Saya kagum kepada ketaatan orang-orang Islam.

Bersembahyang lima kali sehari semalam bukanlah hal yang ringan.”

Cheng Ho tersenyum, lalu menuangkan ramuan ginseng ke dalam cangkir porselen di depannya.

“Tuan Respati belum merasakannya, bagaimana bisa menilainya?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Selama dua tahun di Tuban, saya tinggal di lingkungan orang-orang Islam yang taat menjalankan
ibadah mereka.”

“Sembahyang akan menjadi hal yang berat jika dimaknai sebagai kewajiban. Sebaliknya, akan
menjadi hal ringan dan membuat tenang jika dinikmati sebagai sebuah kebutuhan.”
Respati langsung teringat gurunya, Kesawa. Seperti ini juga ketika gurunya itu memberikan wejangan
tentang hakikat sembahyang.

“Tuan Ho, sebenarnya ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan Tuan.”

“Oya? Katakan saja, Tuan Respati. Tak perlu sungkan.”

Respati diam sesaat. Menimbang-nimbang. “Ini tentang Samita.” Dahi Cheng Ho berkerut.

“Maksud saya … ini tentang Hui Sing, Tuan Ho.”

Cheng Ho masih menunggu. “Kalau boleh, saya ingin bertemu dengan murid Tuan.”

“Hui Sing ada di kapal ini, Tuan Respati?”

Respati tak segera menjawab. Dia malah melongo karena bingung harus berkata apa. Ia tatap kesan
wajah Cheng Ho yang kelihatan tak sedang bergurau.

“Jadi, Tuan Ho belum bertemu dengan Hui Sing?”

Cheng Ho masih diam. Tatapannya berubah sendu.

Perlahan lelaki matang itu memindahkan pandangannya ke atas meja.

“Tuan Ho, saya mohon maaf. Saya kira Hui Sing telah sampai di kapal ini dan bertemu dengan Tuan.”

“Apakah Tuan Respati pernah bertemu dengannya?”

“Sekitar dua tahun lalu di Majapahit.”

“Dia baik-baik saja?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho menatap lekat ke arah Respati. Pemuda
itu jadi serbasalah. Merasa telah mengatakan hal yang tak tepat.

“Waktu itu dia kelihatan segar bugar, Tuan Ho.”

“Tuan tak pernah lagi mendengar kabar tentang Hui Sing setelah itu?”

Respati semakin merasa tak enak hati.

“Sekitar sebulan lalu, saya mendengar kabar bahwa Hui Sing pergi ke Pelabuhan Surabaya ini untuk
menemui Tuan Ho.”

Pandangan Cheng Ho menerawang. Dia kelihatan sangat berduka. Respati memandanginya trenyuh.

“Maafkan saya, Tuan Ho.”


“Jika Tuan bertemu dengan Hui Sing, apa yang hendak Tuan katakan?”

Kali ini, Respati benar-benar tak mampu menggerakkan lidahnya untuk berkata-kata. Sebab, dia
memang tak memiliki jawabannya. Benar juga. Apa yang hendak ia katakan jika bertemu dengan Hui
Sing? Sejauh ini, Respati sama sekali tak pernah memikirkan hal itu.

“Ss … saya ….”

Cheng Ho kembali menatap Respati dengan tajamnya.

Pandangannya seperti anak panah runcing yang menghunjam jantung.

“Saya ….”

Semakin nyata rasa gugup di dada Respati. Dia seperti kehilangan jati dirinya yang begitu tenang dan
penuh perhitungan. Di depan Cheng Ho, Respati seperti bocah yang bingung dengan dirinya sendiri.

“Saya hendak melamarnya menjadi istri saya.”

Dua alis mata Cheng Ho terangkat. Ia cukup kaget.

“Bukankah Tuan Respati sudah beristri?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kami sudah berpisah, Tuan Ho.”

Cheng Ho masih terheran-heran.

“Tuan sadar betul dengan apa yang Tuan katakan?”

“Sekarang saya yakin benar, Tuan Ho. Untuk itulah, saya datang kemari menemui Tuan sebagai wali
Hui Sing.”

“Tapi, ada perbedaan yang tak bisa dipandang remeh antara kalian.”

“Jika yang Tuan Ho maksudnya adalah soal keyakinan, saya telah memutuskan untuk memeluk
Islam.”

“Tuan Respati, ini bukan masalah sepele.”

“Tuan Ho, bertahun-tahun saya mengagumi Islam tanpa sebab yang saya pahami. Namun, setelah saya
tinggal di Tuban dan selama dua tahun mempelajarinya, saya merasa nyaman dengan agama ini.”

Cheng Ho menentang sorot mata Respati yang kian yakin.

Tak ada yang menang. Keduanya bertahan.


“Tuan Respati yakin dengan keputusan ini?”

“Saya tak pernah seyakin ini sebelumnya, Tuan Ho.”

Sang laksamana berpikir tekun.

“Pada akhirnya, orang yang bersangkutan yang akan menentukan. Tanyakan kepada Samita. Dia yang
akan menerima atau menolak Tuan.”

“Samita. Tuan tahu nama Samita?”

“Empunya nama memberitahukannya kepada saya.”

“Samita ada di sini?”

“Saya tadi menanyakan hal itu kepada Tuan, bukan berarti saya menampik bahwa Samita ada di sini
bukan?”

Senyum Respati melebar. Dia seperti tak lagi berpijak di bumi. Jantungnya berdegup keras. Matanya
berkaca-kaca.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ini sudah larut. Tak baik lelaki dan perempuan bertemu.

Datanglah lagi besok petang. Samita akan menemui Tuan di geladak kapal.”

Respati masih tak percaya dengan apa yang ia alami.

Bibirnya bergetar, tapi ia tak mengeluarkan kata apa pun. Ia memandangi wajah Cheng Ho yang
seperti tengah bersinar. Ia segera menyadarkan diri, lalu bangkit dan memberi hormat kepada sang
laksamana. Tanpa banyak berkata, ia berpamitan dan keluar dengan langkah mantap.

Ada kelegaan luar biasa dalam dadanya. Seperti air bah yang menjebol dinding tanggul. Bibirnya tak
pernah sepi dari senyum. Ia segera kembali ke atas geladak, lalu menatap langit gelap yang dijejali
bintang-bintang. Benaknya sudah membayangkan sebuah pertemuan yang syahdu di atas geladak
kapal itu esok petang.

Respati segera menepis angan-angan itu dan menghardik dirinya sendiri. Alangkah lugunya ia
diperlakukan oleh asmara.

Ia lalu turun dari kapal raksasa itu dan kembali menaiki perahu kecil yang disewanya sejak sore.
Pemilik perahu, seorang pemuda setempat memang tetap menunggu selama Respati bertamu, karena
ia dibayar untuk itu.

Ribuan lampion pada kapal-kapal raksasa armada Ming menjadi latar belakang yang cantik, ketika
perlahan perahu kecil yang ditumpangi Respati bergerak ke pantai.
0o0

“Tak lelahkah kau terus-menerus membunuh?”

Sosok berjubah hitam dan bertopeng kayu dengan rambut terurai itu berdiri kaku. Tangan kanannya
menjinjing kecapi, sedangkan tangan lainnya ia angsurkan ke belakang. Di sekitarnya, bergelimpangan
mayat-mayat prajurit Majapahit bersimbah darah. Kini, ia seperti kehabisan tenaga untuk bergerak.
Atau sengaja memanjakan diri mendengarkan kata-kata Windiriya yang begitu santun dan lemah
lembut.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Toh, dia tetap tak menjawab sepatah kata pun dan
tetap berdiri membelakangi pemuda berwajah tak berdosa itu.

“Nini, dendam tak akan pernah membawa kebahagiaan.”

Hening. Suara angin menabrak ranting-ranting pohon begitu ribut. Jubah panjang yang dikenakan
Setan Kecapi Bisu juga berbunyi berisik saat diterpa udara yang bergerak.

“Tidakkah Nini rindu kampung halaman?”

Kepala Kecapi Bisu sedikit menyentak. Seperti orang yang sadar dari lamunan. Sesaat kemudian dia
menyentakkan tubuhnya, berlari sekuat-kuatnya meninggalkan tempat itu dan menghilang di antara
pepohonan hutan Medangkamulan.

Windriya menatap trenyuh. Hatinya perih bukan main.

Entah kali ke berapa ia melakukan ini. Mencari tahu ke mana jejak Setan Kecapi Bisu, pembunuh
berdarah dingin yang beberapa tahun terakhir mencekam dunia persilatan. Nama Setan Kecapi Bisu
menjadi mimpi buruk bagi siapa saja yang berurusan dengannya.

Entah sudah berapa ratus prajurit Majapahit yang nyawanya melayang di tangan iblis satu ini tanpa
alasan jelas.

Setiap itu terjadi, Windriya hampir selalu ada di tempat yang sama. Pemuda itu seperti hafal kapan
iblis itu akan muncul dan mengumbar maut. Maka, dia akan berusaha mencegah agar peristiwa itu tak
terulang.

Namun, dia tak pernah berhasil. Pembantaian besar-besaran acap kali terjadi di depan matanya. Kalau
sudah begitu, yang ia lakukan adalah mengubur satu per satu tubuh prajurit yang menjadi korban
keganasan Setan Kecapi.

Jumlahnya yang kadang belasan sampai puluhan membuat Windriya harus bekerja keras. Tapi tetap
saja dia melakukannya. Ia seperti hendak membayar kekejaman Setan Kecapi Bisu dengan
memperlakukan jasad-jasad mati itu sebaik-baiknya.

Hari itu, Windriya mengulangi pekerjaannya. Satu demi satu, ia membuat liang kubur ukuran besar
untuk menampung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi beberapa mayat sekaligus. Untuk menguburkan
mereka satu per satu jelas butuh waktu lama. Sedangkan dengan cara ini pun dia harus bekerja tanpa
henti dari sore hingga fajar menyingsing.

0o0

Pemandangan sore yang sempurna.

Warna emas itu lagi. Selimut langit berwarna merah bara diseling kuning yang membuat jiwa
tercekam. Namun bagi hati yang sedang dirundung asmara, pemandangan itu begitu indahnya.
Bayangan hitam serombongan burung yang bergerak menembus angin memastikan bahwa
pemandangan itu nyata, bukan lukisan.

Respati berdiri di pinggir geladak kapal pusaka armada Ming dengan hati berdebar. Seperti lidah-lidah
ombak yang menampar lambung kapal. Ia sabar menunggu dengan hati yang sibuk merangkai-rangkai
kata.

“Tuan Respati!”

Suara Cheng Ho memecah sunyi pikiran Respati. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan merasa
napasnya berhenti terembus. Laksamana Cheng Ho berdiri gagah dengan jubah hijau. Namun, bukan
segala atribut penambah kewibawaan sang laksamana yang membuat Resapati kehilangan kata-kata.

Sosok semampai yang ada di samping sang laksamana-lah yang membuatnya terpaku. Samita, gadis
itu berdiri dengan anggun. Sementara pandangannya tunduk menatap lantai kapal. Ia mengenakan
gaun sutra biru yang berkibar-kibar diterpa angin sore.

Saat perlahan dia angkat wajahnya, seperti ada sinar yang memancar. Respati semakin tak mampu
mengeluarkan sepatah kata pun.

“Kakang Respati, apa kabar?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati tak segera menjawab. Dia tertegun
menatap Samita. Rasa terpesona yang sama ketika pertama kali ia bertemu dengan gadis itu. Juga
ketika ia menemuinya di pinggir hutan Medangkamulan. Namun, kali ini ada getaran lebih dahsyat
yang menghantam dadanya. Samita mendadak berubah menjadi dewi, di mata dan di hatinya.

Senyumnya yang mengembang diapit dua pipi merona menahan malu saja, sudah membuat Respati
gelagapan.

Suara halus yang keluar dari bibir mungil Samita seperti mengusir akal sehat di otaknya.

“Jauh-jauh datang dari Tuban, bukankah Tuan ingin menemui Samita?”

Kalimat Cheng Ho segera menyadarkan Respati.

“Eh, benar. Saya kemari untuk menemuimu Samita.”


Samita mengangkat kedua alisnya yang rapi dan meruncing pada ujung-ujungnya.

“Bukankah Kakang Respati tengah sibuk mempersiapkan pernikahan dengan putri Ketua Perguruan
Kesawa di Tuban?”

“Eh, tidak. Kau salah paham. Kami tak akan menikah.”

“Kabar yang beredar seperti itu.”

“Yah. Itu sebuah kesalahpahaman.”

“Kesalahpahaman yang menjadi pembicaraan di seluruh kota. Alangkah malangnya gadis itu jika ia
sampai tahu.”

“Namanya Laksmi. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dia pun tak mempermasalahkan
berita tak benar itu.”

Hening sejenak. Laksamana Cheng Ho tersenyum.

Sengaja dia tak ikut campur ketika muda-mudi di depannya mengurai kesalahpahaman di antara
mereka.

“Hari segera gelap, apakah Tuan Respati tak ingin segera mengutarakan maksud hati Tuan?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lagi-lagi Respati merasa salah tingkah. Semua
kata-kata yang ia siapkan buyar entah pergi ke mana. Dia kelihatan gugup. Barangkali ini pertama kali
sepanjang hidupnya.

Namun, beberapa saat kemudian dia sanggup menenangkan diri dan berdehem untuk mengurangi rasa
gugupnya.

“Saya datang untuk meminangmu, Samita.”

Giliran Samita yang kini tersentak. Matanya melebar.

Pipinya memerah semakin nyata. Bibirnya bergetar. Dia tak tahu harus menjawab apa.

Cheng Ho tahu kegundahan hati murid sekaligus putri angkatnya itu. Ia lalu mengajak Samita dan
Respati duduk di bangku-bangku mungil yang memang disiapkan untuk bersantai di atas geladak.
Setelah ketiganya duduk tenang, Cheng Ho membuka percakapan.

“Samita, kau dengar sendiri keinginan hati Tuan Respati.

Apa jawabanmu?”

Samita sama sekali tak menjawab. Dia menundukkan kepalanya dengan berbagai perasaan yang
campur aduk.
Kedatangan Respati saja sudah di luar dugaannya. Kini, ia mengutarakan maksud hati yang sama
sekali tak pernah terbayangkan oleh Samita.

“Diamnya seorang gadis berarti setuju.”

Kalimat Cheng Ho semakin membuat Samita merasa tak punya hak melakukan apa pun. Dia masih
diam tanpa kata-kata. Sementara Cheng Ho tersenyum lebar.

“Besok pagi, datanglah lagi kemari, Respati. Jika Samita tak ragu lagi untuk menerimamu sebagai
suami, ia akan mengatakan mas kawin yang harus kau penuhi.”

Respati mengangguk pelan. Untuk melakukan gerakan lemah itu saja, sudah menjadi pekerjaan berat
baginya saat itu. Dia berada dalam sebuah puncak perasaan yang susah diungkapkan dengan bahasa
manusia. Karenanya, ketika Cheng Ho bangkit lalu membimbingnya untuk berdiri, dia menurut saja
tanpa kalimat apa pun.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Begitu pula ketika sang laksamana yang akan
menjadi ayah mertuanya itu mengantarnya ke ujung geladak, meninggalkan Samita yang masih duduk
gelisah di bangku geladak, dia masih tak berani berkata-kata.

“Respati, kau akan segera menjadi menantuku. Ada hal-hal yang mesti kau penuhi jika benar Samita
menerima pinanganmu.”

“Apa pun akan saya lakukan, Tuan.”

“Apa pun?”

Respati berusaha menentang sorot mata Cheng Ho.

“Apa pun, asal tak menentang kebenaran.”

“Bagus. Itu baru menantuku.”

Keduanya tersenyum lebar. Respati segera melompat ke atas perahu kecil yang ia sewa. Pelan, perahu
itu bergerak menjauhi kapal pusaka. Sementara Respati berusaha menangkap sosok Samita dengan
pandangannya. Tapi tentu saja gagal. Toh, dia tetap tersenyum penuh kebahagiaan.

“Aku bangga padamu, Samita. Jika saja kau tak menjaga diri dari amukan cinta, belum tentu nasib
baik ini yang akan kau raih.”

Selepas kepergian Respati, Cheng Ho mengajak Samita berbincang di ruang pribadinya. Samita masih
belum banyak bicara. Hal ini keluar dari kepribadiannya yang dulu dikenal Cheng Ho. Bagaimanapun,
Samita kini memang seorang gadis matang berusia 21 tahun.

Selain usianya yang memang sudah cukup dewasa, pengalaman hidup yang ia alami sendiri empat
tahun terakhir telah menempa kepribadiannya.
“Saya tak akan pernah melupakan nasihat Guru.”

“Kenapa kau tak juga memanggil aku ayah, Samita.”

Samita tersipu, masih dengan kepala tertunduk.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Aku yakin, selama berada di Tuban, kau pun tahu perkembangan pengetahuan Respati tentang tata
cara dalam agama kita.”

“Guru, eh, Ayah, setahu saya, Kakang Respati menjadi salah seorang murid dekat Ki Kesawa. Saya
kira, ia sudah mengenal betul tata cara dan inti ajaran agama kita.”

“Artinya, Respati tahu benar syarat sah sebuah pernikahan dalam agama kita?”

“Insya Allah, Ayah.”

“Termasuk kewajiban bersunat?”

Samita kembali tersipu. Dia tak menyangka Cheng Ho menanyakan hal yang ia anggap tabu itu.

“Ah, aku salah. Seharusnya, aku menanyakannya kepada Respati.”

Cheng Ho pura-pura keseleo lidah untuk mengurangi rasa malu Samita.

“Lalu, apa mas kawin yang kau inginkan, Samita?”

Samita berpikir sejenak.

“Cukup keislaman Kakang Respati, Ayah.”

Cheng Ho tersenyum lagi.

“Beruntungnya aku, punya anak dan menantu yang begini baik akhlaknya. Baiklah. Sebelum aku
berangkat kembali ke Tiongkok, kalian akan menikah di kapal ini. Dengan begitu, aku akan pulang
dengan hati tenang. Aku percaya Respati bisa membahagiakanmu, Samita.”

Samita mengangguk dan berterima kasih. Perbincangan itu terhenti ketika salah seorang ping-se
mengumandangkan ajakan sembahyang petang. Cheng Ho dan Samita lantas bergegas keluar ruangan
untuk bergabung dengan awak kapal lain mendirikan kewajiban agama mereka.

0o0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita, angin laut, dan langit fajar
Perasaan gila apakah ini? Samita berdiri termangu di pinggir geladak. Rambutnya bergerak mengikuti
kehendak angin. Tatapan mata gadis itu mengapung pada permukaan air laut yang berbukit-bukit.
Seperti itu juga hatinya. Terapung.

Tak paham lagi apakah warnanya.

Bahagiakah? Berdebar-debar dan tak sabar menunggu.

Kadang ia tersenyum sendiri. Pertemuan dengan Respati kemarin adalah segala-galanya. Titik waktu
yang demikian ia puja. Bertahun-tahun menunggu, akhirnya tiba juga. Respati berdiri di hadapannya
dengan tatapan mata dan kalimat malu-malu.

Menikah! Menyatukan yang dua menjadi satu. Samita telah menempuh rintangan yang sudah tak
terhitung jumlahnya dan kini dia masih tak percaya. Semua yang dia inginkan betul-betul di depan
mata. Semua! Sebab, jiwanya yang sederhana memang hanya memuja seorang Respati.

Satu sosok yang telah mengalahkan semua keinginan duniawi. Samita tersipu. Ia menitipkan
khayalan-khayalan masa depannya pada buih-buih di permukaan air yang terus bergerak.

Selesai semua luka. Samita mendongakkan kepalanya kini. Menantang sinar fajar menuju benderang,
lalu berbisik sangat pelan, “Aku pantas bahagia.”

0o0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 20. Bumi dan bulan

Pernikahan syandu di atas kapal pusaka armada Ming menyatukan Respati dan Samita berlangsung
sepekan kemudian. Kegembiraan rata di antara para awak kapal. Tak ada pesta berlebihan. Semua
berlangsung sederhana meskipun kemeriahan tetap terasa. Seperti sebuah perjalanan panjang yang
sampai pada tujuan.

Respati sadar betul bahwa ia tengah menjelang berbagai keberuntungan hidup. Pernikahan ini begitu ia
inginkan sejak lama. Hanya, takdir seperti sengaja mematangkan jiwanya terlebih dahulu dalam
perjalanan waktu yang demikian lama agar tak ada penyesalan.

Kini, dia merasa sangat siap untuk memiliki dan menaungi Samita. Tak seperti empat tahun lalu, atau
dua tahun lalu.

Begitu pula dengan Samita, dia menerima kehadiran Respati tanpa rasa bersalah. Tak akan seperti ini
jika dia memaksakan hati empat tahun lalu atau dua tahun lalu.

Semua seperti sudah direncanakan. Keduanyapun yakin, memang ada yang merencanakannya.

“Samita lihat, bulan purnama sedang penuh.”

Malam pengantin yang mendayu-dayu. Respati dan Samita berdiri di belakang jendela kamar
pengantin menatap suasana malam di tengah laut yang hidup. Bulan sebesar tampah bulat sempurna
dan bercahaya penuh. Permukaan laut berubah warna jadi keperakan.

“Aku sudah pernah mengatakannya kepada Kakang. Bulan memang selalu ingin datang menyinari
penduduk bumi.”

Respati tersenyum. Semakin erat ia dekap tubuh Samita dan membiarkan kepala istrinya menyandar di
dadanya yang kokoh. Ingatannya kembali ke masa empat tahun lalu. Di sebuah dangau pinggir Danau
Tirta Kusuma, kata-kata serupa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pernah mereka ucapkan, ketika perpisahan sudah di
depan mata.

“Kau ingat, Samita? Waktu itu Kakang juga mengatakan bahwa bumi akan selalu mengharapkan
kehadiran bulan.

Selalu dan selamanya.”

Keduanya tersenyum ikhlas. Hati mereka juga ikhlas.

Sementara kehidupan laut berjalan seperti apa adanya.

Rombongan ikan berkecipak dengan suara yang riuh. Angin darat menyentak-nyentak tubuh kapal,
ketika malam semakin larut dan diam.

Jauh dari Pantai Surabaya, di pinggir hutan Ketemas, Windriya tengah berbincang dengan beberapa
orang prajurit Majapahit mengelilingi api unggun yang nyalanya kian meredup.

Sejak tadi, cerita-cerita lucu yang keluar dari mulut Windriya membuat para prajurit itu terpingkal-
pingkal dibuatnya.

“Ada sepasang suami istri tinggal di pinggir Medangkamulan. Sang suami buta, sedangkan si istri
buruk rupa. Suatu malam, sang istri berkata kepada suaminya,

‘Suamiku, kalau saja kau bisa melihat, tentunya kau akan bangga memiliki istri secantik aku.’
Mendengar kata-kata istrinya itu, si suami menjawab, ‘Kalau benar kau cantik jelita, mana mungkin
lelaki di desa ini membiarkanku mengawinimu.’”

Para prajurit itu sontak terbahak-bahak. Mendengarkan cerita lucu di saat malam yang mencekat
seperti itu tentu saja sangat menguntungkan. Selain bisa mengusir rasa kantuk, juga mengurangi
dingin yang menusuk.

“Kau masih punya cerita lucu, Windriya? Ayo keluarkan semuanya.”

“Ah, nanti dulu. Masa dari tadi aku saja yang bercerita.

Bukankah Tuan-tuan ini juga sangat menguasai ilmu bercerita?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Cerita seram aku punya. Kau mau mendengarkannya?”

Salah seorang prajurit berkumis tebal nyeletuk. Tiba-tiba semua diam. Para prajurit yang berkumpul
di depan api unggun itu jumlahnya sepuluh orang. Mereka adalah sebagian kecil dari puluhan prajurit
Majapahit yang tengah melakukan perjalanan menuju Demak.

Windriya bertemu dengan mereka di pinggir hutan Ketemas. Pemuda itu sengaja bergabung dengan
mereka dan menemani mereka beristirahat di pinggir hutan. Bahkan, ketika sebagian besar prajurit
sudah terlelap, dia menemani para prajurit jaga bergadang.

“Ih, belum-belum bulu kudukku sudah berdiri. Apa tak ada cerita lain kecuali cerita seram?”

Prajurit jaga yang lain menimpali kalimat rekannya. Dia seorang prajurit muda dengan garis wajah
halus, tak seperti seorang prajurit kasar. Ia duduk memeluk kakinya yang dilipat untuk mengusir rasa
dingin. Pada saat bersamaan, Windriya merasakan sesuatu.

Pandangan matanya menajam. Pendengarannya disiapkan baik-baik. Wajah berserinya lenyap.


Matanya bergerak-gerak.

“Sebaiknya Tuan-tuan bersiap. Prajurit lain juga harus dibangunkan.”

“Bicara apa kau, Windriya?”

“Sejak siang tadi, saya sudah berusaha mengingatkan, kawasan ini tidak aman bagi prajurit
Majapahit.”

“Kau membicarakan Setan Kecapi Bisu, Windriya?”

Pemuda itu mengangguk.

“Saya akan coba menghadapinya untuk mengulur waktu.

Tuan-tuan sebaiknya segera meninggalkan tempat ini.”

“Omong kosong. Kau anggap kami prajurit pengecut?”

“Bukan begitu, Tuan. Sudah terlalu banyak prajurit Majapahit yang dibantai di Medangkamulan dan
Ketemas.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kalau begitu, kami akan menuntut balas atas kematian saudara-saudara kami!”

Kalimat si prajurit berkumis tebal itu terputus oleh denting kecapi yang menyanyat. Asal suaranya
dari dalam hutan.
Irama kecapi itu benar-benar membuat jerih hati. Para prajurit segera bersiap. Mereka mencabut
senjata masing-masing dengan dada berdegup. Beberapa di antara mereka lantas menyerbu ke tenda-
tenda prajurit untuk membangunkan rekan-rekan mereka.

Windriya bangkit. Dia melepaskan seruling dari ikat pinggangnya, lalu menempelkan lubang paling
ujung dari batang seruling itu ke bibirnya. Mengalunlah tembang sendu dengan cengkok yang khas
lewat bunyi seruling itu.

Bunyi kecapi mengawini irama seruling. Menyatu dalam keharuan yang tak terkatakan. Para prajurit
yang sudah siap dengan pedang di tangan tertegun. Mereka berdiri tak mengerti, mengapa Setan
Kecapi Bisu tak segera datang menyerang.

Sementara percintaan alunan kecapi dan seruling itu terus berlangsung. Tambah menyayat. Windriya
memejamkan matanya, menyimak benar denting kecapi yang menelusup ke gendang telinganya, tanpa
kemudian membuat permainan serulingnya kacau-balau.

Beberapa lama dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba bunyi kecapi terhenti. Windriya sendiri
mengembarakan nada serulingnya ke sudut-sudut hutan Ketemas. Begitu sadar, pecintaan nada itu
telah terputus. Windriya membuka matanya. Tanpa kata pamit, dia melompat ke arah hutan,
meninggalkan para prajurit yang kini diam terbengong-bengong.

Windriya berlari sekencang-kencangnya. Pastilah duri semak-semak telah tak terhitung berapa kali
menusuk telapak kakinya. Rasa perih di kaki tak lagi merisaukannya. Di kepalanya hanya terisi
kerinduan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sampai di tengah hutan, langkahnya terhenti di
depan pohon besar dengan cabang-cabang raksasa. Sosok gelap berdiri mematung di atas salah satu
batang itu. Windriya menatapnya dengan pandangan syahdu. Sisa sinar bulan yang mengintip dari sela
dedaunan menerpa wajahnya.

“Jangan ikuti aku lagi!”

Mata Windriya membelalak. Setengah tak percaya. Iblis pembunuh itu mengeluarkan kata-kata. Ini
pertama kalinya setelah bertahun-tahun orang-orang dunia persilatan menamainya sebagai Setan
Kecapi Bisu.

“Ramya, tidakkah kau merindukan saat-saat dulu?”

Tak ada jawaban. Setan itu kembali bisu.

“Semua orang merindukanmu. Hui Sing mencarimu ke mana-mana. Begitu juga aku.”

Setan itu tambah diam. Bahkan, hatinya pun tak bicara.

Sementara Windriya masih memohon, tubuh Setan Bisu melenting dan lenyap begitu saja. Windriya
berdiri kaku.
Jiwanya terguncang. Matanya berkaca-kaca, lalu mulai melelehkan air mata.

Setengah putus asa, ia pun jatuh terduduk di tanah dengan perasaan tak keruan. Sementara rasa sakit di
kaki dan bagian tubuh lain yang tertusuk duri-duri semak mulai meraja.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 21. Anak Soma

Satu tahun berlalu secepat anak panah yang meluncur dari busurnya. Kehidupan rakyat Majapahit
mulai tenang.

Pemerintahan Wikramawardhana tetap mengundang sikap menentang di daerah-daerah. Namun, kali


ini sang prabu bersikap sangat hati-hati agar kehendak berseberangan itu tak berubah menjadi
pemberontakan yang berbahaya Sikap sangat hati-hati ini pula yang mengundang ketidaknyamanan
kelompok rakyat tertentu. Mereka merasa dikebiri karena kerajaan selalu membatasi ruang geraknya.

Rakyat sepertinya hanya disuruh untuk hidup membosankan tanpa semangat untuk maju. Kegiatan
peribadatan dibiarkan, tapi ketika perbincangan antarpenganut menyentuh soal keadilan hidup, mereka
langsung digerus.

Dianggap menentang kerajaan dan membahayakan keyakinan rakyat, tokoh-tokoh agama yang tak
mau alam pikirannya terpasung itu ditangkapi dan tak jelas lagi seperti apa nasibnya kini. Perguruan-
perguruan silat pun harus punya hubungan baik dengan kerajaan jika ingin tetap bertahan dan diakui.

Jika tidak, mereka akan diserbu berbagai tudingan palsu.

Salah satunya menghimpun kekuatan untuk menyerang Majapahit. Kini, salah satu perguruan yang
sedang banyak diperbincangkan adalah Perguruan Hanacaraka di pesisir Surabaya. Hanya dalam waktu
satu tahun, murid perguruan itu jumlahnya sudah mencapai ratusan.

Perguruan mereka tak hanya mengajarkan ilmu kanuragan, tapi juga berbagai pengetahuan yang
sangat lengkap. Mulai dari ilmu berhitung, perbintangan, falsafah, sastra, sampai ilmu pertanian
diajarkan di sana.

Bentuknya mirip dengan Perguruan Kesawa di Tuban.

Hanya di Perguruan Hanacaraka, ilmu bela diri cukup diutamakan. Dalam waktu sebentar saja, sudah
tercetak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi murid-murid berkemampuan lumayan tinggi.
Pendiri sekaligus ketua perguruan hebat itu adalah Sad Respati, mantan rakryan rangga Majapahit
yang telah meninggalkan dunia kekuasaan.

Bersama istrinya, Samita, Respati bahu membahu membangun perguruan yang mengamalkan sikap
hidup welas asih Hanacaraka, selain juga memperkenalkan Islam kepada masyarakat Surabaya.
Pemahaman Respati yang mumpuni, ditambah kemampuan luar biasa Samita yang menguasai ilmu
Islam dan hakikat Hanacaraka sekaligus, membuat perguruan itu berkembang pesat.
Nama pasangan pendekar berilmu tinggi itu dikenal luas di Surabaya dan daerah-daerah lain.
Kenyataan bahwa Respati adalah seorang bekas rakyran rangga dan Samita sebagai putri Laksamana
Cheng Ho, utusan agung kerajaan Ming membuat orang maklum bahwa kemampuan mereka berdua
sungguh sulit dicari tandingannya.

Hari itu, hari Soma Bulan Caitra. Para penganut Islam biasa berpuasa pada bulan istimewa itu.
Termasuk juga para penghuni Perguruan Hanacaraka yang memeluk Islam.

“Kakang, sayang aku tak bisa menemani Kakang untuk poso.”

“Justru Kakang akan khawatir kalau kau bersikeras poso, Samita. Kita pikirkan calon jabang bayi
dulu. Bukankah kau bisa mengganti amalan poso di luar Bulan Caitra?

Samita mengangguk sambil mengelus perutnya yang membesar. Usia kandungannya sudah lewat
sembilan bulan.

Tak akan lama lagi, buah cintanya dengan Respati lahir ke dunia. Perempuan itu justru bertambah
cantik dalam keadaan berbadan dua.

Paling tidak, Respati merasakan betul hal itu. Dia lalu mendekati istrinya yang duduk di pinggir
pembaringan, lalu berjongkok di depannya. Perlahan, dia menempelkan daun telinganya ke perut
Samita.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Anakku, kau jangan menyusahkan ibumu. Cepatlah lahir dan menjadi pendekar berbudi.”

Samita tersenyum. Ia mengelus kepala suaminya dengan penuh kasih.

“Jika dia lelaki, aku ingin kau menamainya Soma.”

Kepala Respati sedikit mendongak dengan kesan wajah memohon.

“Hari ini hari Soma. Kenapa begitu istimewa bagi Kakang?

Lagi pula, Kakanglah yang nanti akan memberi nama anak kita. Kenapa mesti aku?”

Respati tak menjawab. Dia kembali menempelkan telinganya di perut istrinya. Menunggu si jabang
bayi bergerak-gerak. Akhirnya Respati tersenyum puas, ketika keinginannya terwujud. Ia merasakan
degup jantung di dalam perut Samita.

Juga gerakan-gerakan kecil yang mengundang keingintahuan.

Respati lalu duduk menjejeri Samita. Ia memandang takjub istrinya, seperti baru pertama kali
bertemu. Samita yang hari itu menggelung rambutnya memang kelihatan sangat anggun dan keibuan.
Tanpa berkata-kata, Respati lantas mencium kening Samita penuh perasaan.
“Kakang harus pergi ke pesisir, Samita. Seorang pemuka masyarakat di sana mengundang Kakang
untuk membicarakan rencana melatih pemuda kampung ilmu pertanian. Barangkali Kakang baru
pulang malam nanti.”

“Jauhkah?”

“Kau tahu Desa Tumpak, di sisi Selatan Surabaya?”

“Tak terlalu jauh.”

Respati mengangguk pelan. Setelah mendapat persetujuan dari istrinya, Respati segera bangkit dan
hendak berjalan ke arah pintu kamar, ketika Samita memanggil namanya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Kakang, aku dengar Majapahit semakin membabi buta menangkapi orang-orang yang dianggap
menentang. Apakah Kakang pikir, perguruan kita juga diincarnya?”

Respati tersenyum. Ia tidak jadi melangkah ke pintu, tapi kembali menghampiri istrinya, lalu
berjongkok di depannya.

“Kita mengajarkan kebaikan dan tak menentang siapa pun.

Kenapa mesti khawatir?”

Samita menganggukkan kepalanya dan tersenyum ikhlas, ketika suaminya benar-benar pergi.
Beberapa saat kemudian, dia sibuk menulis sesuatu di atas daun lontar dengan ujung pisau kecil
sebagai alat tulis. Selama menunggu masa kelahiran, Samita memang banyak menghabiskan waktu
dengan menulis apa saja. Kadang dia menumpahkan perasaan hatinya yang berbunga-bunga dengan
syair-syair indah.

Di saat lain, dia menulis tentang hakikat hidup dan penjabaran ilmu-ilmu agama. Seperti itu, hingga
pergantian hari sungguh berlalu cepat dan tak terasa berat.

0o0

Malam sudah hampir sampai di ujung perjalanan. Samita merasa rahimnya terdesak rasa sakit yang
kian menghebat.

Dia sadar, si jabang bayi akan segera lahir. Keringat dingin mulai merembes dari keningnya. Rasa
mulas yang luar biasa.

Perlahan, Samita bangkit dari pembaringan. Satu hal yang ia inginkan, tak ingin sendiri.

Dengan tertatih, ia mendekati pintu ruang pribadinya.

“Mbok Usrek!”
Tangan kanan Samita memegangi perut, sedangkan tangan lainnya mulai meraih daun pintu kamar itu.
Sebentar kemudian, palang pintu kayu berhasil ia angkat. Bunyi berderit cukup keras terdengar ketika
pelan Samita membuka pintu kamar untuk kemudian melangkah keluar.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pada saat yang sama, dari arah pintu luar kamar,
seorang perempuan setengah baya tergopoh-gopoh datang.

“Aduh, Nyai … ini sudah waktunya. Nyai mau ke mana?”

Usrek lantas membimbing Samita kembali ke

pembaringan. Perlahan dia membantu Samita kembali berbaring terlentang.

“Saya akan mencari bantuan. Nyai jangan ke mana-mana.

Saya tak akan lama.”

Meskipun mengiyakan, tak urung Samita berpesan agar perempuan tua itu tak terlalu lama
meninggalkannya. Sehebat-hebatnya ilmu kanuragan yang dimilikinya, Samita tetap saja perempuan
biasa yang tengah menghadapi persalinan pertama seumur hidupnya. Rasa sakit yang menjadi-jadi
membuat wajahnya pucat pasi.

Napas Samita semakin tak teratur. Bahkan, ketika dia memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga
dalam, tak lantas rasa sakit di perutnya lenyap. Sebaliknya, dia semakin bingung harus berbuat apa.
Untungnya, beberapa saat kemudian Usrek datang bersama dua orang perempuan lain yang membawa
air panas dan beberapa ramuan dalam botol.

Mereka bergerak sigap berjaga-jaga. Usrek lalu meraba-raba perut Samita untuk memastikan bahwa
bayi dalam kandungan Samita benar-benar hendak lahir. Setelah yakin, ia pun lantas membimbing
Samita untuk mengikuti setiap perintahnya.

“Kakang Respati!”

Suara Samita lebih mirip jeritan. Dia mencoba tenang tapi tak sempurna. Sakit yang menghantam
perutnya jauh lebih luar biasa dibandingkan ketika tulang belulangnya patah saat jatuh di jurang
Medangkamulan lima tahun lalu.

“Saya sudah menyuruh salah seorang murid untuk menjemput suami Nyai. Jangan khawatir, dia akan
segera datang.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita memusatkan tenaga dalamnya di dada.
Mengatur napas dengan saksama dan mulai mendorong si jabang bayi ke mulut rahim. Toh, wajahnya
yang putih kian pucat. Seperti tak ada darah yang mengalir di sana. Perempuan hebat itu
membentangkan kedua tangannya, lantas mencengkeramkan kedua telapak tangan, hingga sepuluh jari
tangannya menghunjam di pinggir-pinggir pembaringan.
Gigi-giginya beradu menahan sakit. Bulir-bulir keringat menghambur dari seluruh pori-pori yang ada
di permukaan kulitnya. Tiba-tiba Samita merasakan amarah yang luar biasa.

Amarah manusiawi ketika dia merasa kesal harus menjalani rasa sakit yang begitu hebat. Dia dengan
kesendiriannya, tanpa satu pun orang untuk berbagi.

Kebencian pada suatu hal yang tak jelas. Kebencian yang kemudian dihentakkan oleh Samita hingga
berujung pada tangisan bayi yang melengking sejadi-jadinya. Samita merasa tubuhnya langsung
lemas. Semua tenaga seakan tercerabut dari tubuhnya. Ia masih telentang dengan tubuh tanpa
kekuatan.

“Tampan sekali. Pasti dia akan menjadi pendekar ternama suatu saat kelak.”

Usrek, dukun beranak yang satu bulan terakhir tinggal di Perguruan Hanacaraka itu berkata setengah
teriak. Wajahnya sumringah, hingga kerut-kerut di wajahnya demikian kentara.

Ia buru-buru menyuruh dua orang perempuan di dekatnya untuk menyiapkan air hangat. Dengan
telaten dan saksama, ia lantas membersihkan tubuh si jabang bayi hingga benar-benar tak bersisa noda
pada kulitnya. Ia lalu melilitkan kain di tubuh bayi merah itu agar terasa hangat.

“Lihat Nyai. Putra Nyai sungguh tak sabar untuk minum air susu ibunya.”

Samita tersenyum dalam kebingungan. Dia sendiri belum paham bagaimana menghadapi bayi mungil
yang kelihatan begitu lemah itu. Dengan dibimbing Usrek, Samita pun melakukan tugas termulianya,
menyusui buah hatinya dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi cinta kasih. Sementara kesan di mata Samita masih
penuh ketidakpercayaan.

Sembilan bulan lebih menunggu, tapi begitu si jabang bayi lahir, dia masih belum percaya bahwa
dirinya telah menjadi seorang ibu. Tak urung air matanya meleleh melihat si jabang bayi yang kini
terdiam. Wajah damainya seperti telaga.

Matanya memejam, sementara mulutnya sibuk meminum susu dari ibunya.

“Pantas Kakang Respati ingin kau bernama Soma, Nak.”

Samita memejamkan matanya penuh syukur. Beberapa lama bayi mungil itu akhirnya terlelap.
Dibantu Usrek, Samita lalu membaringkan bayi itu di amben khusus di samping pembaringan
orangtuanya.

Samita duduk di pinggir pembaringannya tanpa melepas pandangan matanya dari sosok suci itu. Rasa
sakit selepas melahirkan tak dirasakannya lagi. Dia berkomat-kamit mengucap syukur dengan nada
lirih.

“Nyai!”

Samita dan tiga perempuan renta di ruangan itu menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Usrek
lalu bangkit menuju pintu kamar dan membukanya perlahan.
“Kau kenapa?”

Wajah Usrek langsung berkerut melihat pemuda tanggung yang tadi ia suruh untuk menjemput
Respati berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi. Kakinya menggigil, giginya bergemerutuk.

“Sa … saya ….”

“Apa yang terjadi?”

“Murid-murid perguruan diserang oleh orang-orang bertopeng. Warga Desa Tumpak juga banyak yang
tewas dibunuh.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepasang mata tua itu membelalak. Bibirnya
bergetar hebat. Kini, dia celingukan bingung harus bagaimana. Berdiri di depan pintu sambil
bergantian menoleh ke arah dalam dan luar ruangan.

“Ada ada Mbok?”

“Ah tidak, Nyai. Hanya urusan kecil.”

“Urusan kecil?”

Usrek kaget untuk kedua kalinya karena ternyata Samita sudah berdiri di belakangnya. Wajah
perempuan ayu itu masih kelihatan pucat.

“Apa yang terjadi dengan gurumu?”

Nada suara Samita datar dan tenang. Ia paham telah terjadi sesuatu di luar pengetahuannya. Dia kini
memaksa murid muda Hanacaraka itu untuk bicara.

“Orang-orang jahat menyerang Desa Tumpak, Nyai.”

Samita mengangguk-angguk. “Dan. murid-murid Hanacaraka tak bisa mengusirnya?”

“Kemampuan mereka sungguh sangat tinggi, Nyai. Para murid kewalahan, penduduk desa banyak
yang tewas.

Sekarang guru tengah dikeroyok oleh mereka.”

Samita berusaha tetap tenang. Padahal, hatinya jelas gundah gulana. Pasti orang-orang yang
menyerang Desa Tumpak bukan kelompok semba-rangan. Murid-murid Perguruan Hanacaraka tak
mungkin begitu saja lumpuh oleh serangan bramacorah mana pun. Kalau kelompok bertopeng itu
mampu mempecundangi mereka, berarti orang-orang itu memang berilmu tinggi.

Tersirat dalam benaknya untuk menyusul Respati, tapi hatinya langsung ragu mengingat bayi merah
yang baru saja ia lahirkan. Selain itu, terlalu berbahaya memaksakan diri bertarung usai melahirkan.
Tenaganya belum pulih. Luka bekas melahirkan juga masih terasa menggigit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Mbok Usrek, jaga anakku baik-baik. Dan kau, Anak muda, beritahu semua saudara seperguruan untuk
berjaga-jaga di luar. Bukan tak mungkin, orang-orang itu akan menyerang kemari.”

“Nyai mau ke mana?”

Usrek menatap Samita penuh cemas.

“Kakang Respati butuh bantuanku, Mbok.”

“Tapi keadaan Nyai masih sangat lemah. Terlalu berbahaya untuk bertarung.”

Samita tersenyum. Ia menggenggam telapak tangan perempuan tua itu.

“Nyawa bukan berada di tangan kita, Mbok. Percayalah, aku akan baik-baik saja.”

Setelah mengatakan itu, Samita menghampiri pembaringan. Mengambil secarik kain lalu
membebatkannya melingkari perut. Dia menghampiri amben kecil tempat putranya pulas tertidur. Ia
ciumi bayi mungil itu beberapa saat.

Napasnya terhela perlahan.

Beberapa saat kemudian, Samita telah berdiri di pelataran perguruan dengan pakaian siap tarung.

Seperti ketika dia masih gadis dulu. Hanya rambutnya yang elok kini digelung memberi kesan dewasa.
Sambil menekan rasa sakit di perutnya, Samita menaiki kuda yang telah disiapkan muridnya.

Para murid yang berdiri melepas kepergiannya tampak cemas.

“Ingat, tak ada yang boleh keluar perguruan. Apa pun yang terjadi di perguruan, semua adalah
tanggung jawab kalian.”

Tak menunggu lama, Samita lalu memacu kudanya ke Desa Tumpak. Terguncang-guncang di atas
kuda tentu saja membuat luka sehabis melahirkan tambah terasa sakit. Tapi Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita bertahan. Kepalanya mulai pening, tapi dia
tak mengurungkan niat.

Satu hal yang berputar di benaknya hanyalah bertempur melawan musuh di samping suaminya
tercinta. Kuda terbaik yang ia naiki melesat cepat memasuki kawasan Desa Tumpak.

Desa ini dihuni oleh orang-orang yang gemar bekerja keras.

Mereka tak pernah diam, selalu berpikir untuk maju.


Sampai kemudian terpikir untuk membekali para pemuda setempat dengan ilmu pertanian. Karena
Perguruan Hanacaraka juga mengajarkan ilmu pertanian, hari itu Kepala Desa Tumpak mengundang
Respati untuk melatih pemuda setempat cara bertani yang baik.

Tak disangka malah hal itu menjadi awal malapetaka.

Samita tak membiarkan dugaan-dugaan buruk berputar di kepalanya. Ia ingin segera sampai ke tujuan
untuk melihat keadaan suaminya. Hingga akhirnya, ia benar-benar masuk ke pintu gerbang Desa
Tumpak dengan dada berdegup kencang.

Terdengar bunyi pertempuran. Samita memacu kudanya hingga tampak jelas orang-orang
berjumpalitan dalam pertempuran yang dahsyat. Samita mencari-cari sosok suaminya. Dia sedikit lega
ketika melihat Respati masih mati-matian menentang serangan belasan orang bercadar hitam dengan
keris Angga Cuwiri-nya.

Sekali sentak, tubuh Samita melayang, menerobos kepungan orang-orang itu.

“Kakang!”

“Samita! Bagaimana anak kita?”

Samita tak sempat menjawab pertanyaan Respati. Ia langsung disibukkan oleh serangan orang-orang
bertopeng itu.

Kini, belasan orang bertopeng itu terbagi dua. Sebagian mengeroyok Respati, sebagian lagi memburu
Samita.

Perempuan pendekar itu lantas melolos sabuk peraknya yang kesohor. Sekali sentak, sabuk panjang itu
meliuk menyebarkan maut. Tapi baru beberapa jurus, gerakan sabuk Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi yang biasanya sangat berbahaya itu melemah.
Samita merasakan tenaganya merosot tajam.

Keringat dingin menghambur keluar, sementara rasa sakit di perut Samita kembali meraja. Beberapa
kali Samita menghentikan serangannya untuk mengatur napas.

“Yaaah!”

Samita memaksakan diri mengeluarkan Ilmu Kutub Beku.

Memang di antara para pengeroyok itu ada yang terpental ke belakang. Namun, Samita sendiri
langsung roboh. Jatuh terduduk dengan lengan menyangga tubuh.

“Samita!”

Melihat istrinya roboh, Respati jadi panik. Gerakan keris Angga Cuwiri-nya membabi buta ke segala
arah. Ia ingin segera menghampiri istrinya dan menghalau orang-orang yang hendak melukainya.
Tapi, serangan para pengeroyok justru tambah hebat.

Mereka merangsek ke depan dan mengurung Respati dari segala arah dengan berbagai senjata. Luka-
luka di tubuh Respati menjadi bukti betapa pendekar mumpuni itu telah berjuang mati-matian untuk
bertahan.

Samita mencoba bangkit, namun gagal. Seluruh tubuhnya lemas bukan main. Dia hanya bisa
menyaksikan suaminya terus terdesak hebat. Sementara orang-orang yang tadinya mengeroyok Samita
seperti tak tertarik lagi untuk melukai perempuan digdaya itu. Mereka malah bergabung dengan
belasan pengeroyok lain yang mengepung Respati.

Jadilah bekas rakyran rangga Majapahit itu berjuang sendiri menghadapi serangan maut belasan orang
bertopeng.

Samita lagi-lagi memaksakan tubuhnya untuk bangkit.

Setiap kali berusaha bangkit, saat itulah dia gagal. Samita berusaha keras menahan tangis. Ia tahu itu
tak akan berarti apa-apa.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia kemudian berusaha mengatur tenaga dalamnya
perlahan sambil terus menyaksikan perkembangan pertempuran. Sementara Respati tengah merapal
jurus pamungkas Hanacaraka yang sebenarnya belum sempurna ia kuasai. Rapalan Ma Ga Ba Ta Nga
yang menuntaskan keseluruhan jurus Hanacaraka belum sepenuhnya ia pahami.

Tapi, dalam keadaan genting seperti sekarang, apa pun harus dilakukan.

“Magabatanga!”

Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh-tubuh terlontar ke udara. Para pengeroyok itu menyebar ke segala
arah dengan luka yang rupa-rupa. Tapi, mereka segera bisa bangkit dan bersiap untuk kembali
bertempur.

Sementara Respati berdiri dengan ujung keris Angga Cuwiri menghunjam ke tanah, menopang
tubuhnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya luruh, bersamaan dengan darah muncrat dari bibirnya.
Tapi, dia tak membiarkan dirinya roboh begitu saja. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan kaki kirinya
lunglai ke belakang.

Tangan kanan Respati masih menggenggam gagang keris yang ujungnya menghunjam ke bumi.

Samita menyaksikan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia lantas menyeret tubuhnya perlahan. Sangat
pelan karena tubuhnya pun dirajam rasa sakit yang hebat. Sementara para pengeroyok bertopeng itu
tak meneruskan serangannya.

Mereka berdiri tertegun menyaksikan adegan mengharukan itu.

Sekuat tenaga Samita terus menyeret tubuhnya, sekaligus menekan rasa pedih yang berujung pada air
mata. Dia tak mau menangis saat itu. Ketika akhirnya ia bisa meraih tubuh suaminya, pertama kali
yang ia lakukan pun bukan tersedu-sedu. Ia menangkap tubuh gagah suaminya yang langsung roboh
begitu ia sentuh.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kepala pendekar perkasa itu lunglai di pangkuan
istrinya.

Samita menyeka darah kental dari bibir Respati. Perlahan kemudian ia tempelkan bibirnya di kening
suaminya.

“Anak kita laki-laki, Kakang. Namanya Soma. Soma Tanaya.”

Respati tersenyum. Perlahan, kelopak matanya terbuka.

“Jaga anak kita, Samita.”

“Pasti, Kakang.”

“Ce … ceritakan padanya, tentang kisah kita.”

“Tak akan luput satu kalimat pun.”

Respati terbatuk-batuk. “Kapan terakhir aku katakan cinta, Samita?”

“Kakang tak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata.”

Samita nyaris tak sanggup menahan air matanya. Sebentar lagi pasti meledak tangis yang menyayat.

“Bodohnya aku.”

“Kakang tak perlu mengatakannya. Semua yang Kakang lakukan adalah cinta yang sesungguhnya.”

Respati terdiam sesaat. Seperti tengah menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Aku mencintaimu, Samita.”

“Aku tak pernah meragukannya, Kakang.”

“Allah!”

Air mata Samita tumpah sudah. Menetesi wajah Respati yang kian memutih.

“Allah!”

Samita betul-betul kehabisan kata-kata.

“Allah!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa suara, air mata Samita bercucuran. Perlahan,
ia tutup kelopak mata Respati yang tak lagi bergerak-gerak.

Lantas ia ciumi wajahnya yang masih menyisakan hangat.

Sebelum kemudian ia peluk erat tubuh Respati. Ia seperti ingin menyatu dengan suaminya tercinta.

Para pengeroyok bercadar masih ada di tempat itu. Mereka berdiri kaku. Bahkan, seperti tak sedang
bernapas. Salah seorang yang berdiri paling depan tampak memperhatikan betul adegan di depannya.

Samita perlahan mengangkat kepalanya.

“Katakan kepada rajamu, satu bulan lagi, aku akan datang menemuinya. Jika dia kesatria, tunggu
kedatanganku. Tapi jika dia pengecut, segeralah pergi dari Majapahit.”

Orang bercadar yang berdiri paling depan tampak tersentak. Matanya mendelik kaget. Ia bahkan buru-
buru membuang muka ketika sorot mata Samita menghunjam bak pedang ke arahnya. Ia lalu
mengangkat tangannya, memberi perintah kepada teman-temannya untuk meninggalkan tempat itu.

Sementara Samita masih duduk timpuh di tanah, memangku kepala suaminya yang lunglai dan mulai
terasa dingin. Orang kampung yang tadinya pilih bersembunyi mulai berdatangan. Jerit tangis
melengking. Banyak mayat bergelimpangan, meninggalkan tangis dan rasa sedih mendalam pada
keluarganya.

Dibantu beberapa murid yang masih selamat, Samita lalu mengangkat tubuh suaminya ke beranda
salah satu rumah terdekat. Hanya beberapa saat. Samita lalu mengutarakan keinginannya untuk
membawa pulang jasad suami dan murid-murid Perguruan Hanacaraka. Akhirnya, dibantu oleh
beberapa orang penduduk, tubuh mati Respati ditandu menuju Perguruan Hanacaraka. Perjalanan tak
lantas terhenti meskipun malam semakin larut.

Dicengkeram warna gelap dan suasana sunyi senyap, rombongan membawa jasad Respati dan para
murid yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tewas dalam pertempuran di Desa Tumpak. Alam
yang sepi dan perjalanan yang tanpa bicara. Rombongan itu sampai di depan Perguruan Hanacaraka
dengan pandangan lusuh.

Membayangkan betapa kagetnya para penghuni perguruan ketika tahu guru mereka telah tewas.

Tapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Rombongan pembawa jasad-jasad mati itu justru yang
kaget bukan kepalang. Pemandangan di pelataran perguruan membuat kaki-kaki mereka terasa tak lagi
menginjak tanah. Samita yang tadinya duduk tenang di atas kuda segera meluncur turun dan berlari ke
arah pelataran.

Mayat-mayat juga bergelimpangan di sana. Samita menutup mulutnya dengan tangan. Bibirnya
bergetar hebat.

Tubuhnya terhuyung-huyung. Mayat-mayat para murid perguruan terbiar begitu saja dengan keadaan
mengenaskan.
Kepala pecah, tangan buntung, dada jebol, dan luka-luka kejam lainnya.

“Anakku!”

Samita berlari sekencang-kencangnya menuju ruang pribadinya. Sekali lagi matanya membelalak. Isi
kamarnya menjadi merah oleh darah yang muncrat ke mana-mana.

“Mbok Usrek!”

Samita memburu tubuh renta yang tergeletak di lantai kamar dengan kepala pecah. Darah segar itu
segera membasahi pakaian Samita. Penerangan obor yang remang-remang membuat suasana
bertambah seram.

Samita lalu menghambur ke arah amben kecil tempat ia meletakkan bayi yang belum lama ia lahirkan.
Kosong! Samita nyaris menjerit. Tapi, suaranya tersumbat di kerongkongan.

Ia menoleh ke kanan dan kiri. Harap-harap cemas, mengitari kamar dan berharap anaknya ada di sana.
Tapi harapannya mesti menguap. Dia hanya mendapati tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawa.
Tiga perempuan renta yang membantunya bersalin, tewas dengan luka mengerikan.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita merasa rohnya tercabut saat itu. Dia
berjalan mengambang tanpa tenaga dan suara. Rasa hatinya mati. Ia seperti mendengar suara tangis
bayi. Samita menghambur ke arah amben. Dia yakin anaknya ada di sana.

“Soma!”

Samita tak menemukan apa-apa, kecuali segulung daun lontar asing yang menggeletak di atas
pembaringan.

Meskipun dengan suasana hati kacau-balau, Samita masih bisa berpikir bahwa gulungan lontar itu bisa
jadi sebuah petunjuk. Perlahan dia membukanya dengan tangan bergetar.

“Dua puluh tahun lagi, aku akan mengirim anakmu untuk menentangmu. Saat itu dendamku akan
terbayar. Dewi Anindita.”

Samita langsung lemas. Daun lontar itu terjatuh dari tangannya, berbarengan dengan tubuhnya sendiri
yang terempas ke pembaringan. Matanya sudah kering, tanpa air mata. Hanya bibirnya yang bergerak-
gerak tanpa suara jelas.

Matanya menerawang tanpa berkedip.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 22. Takluknya Senja

Udara berkabut, juga hati orang-orang yang kini duduk timpuh di depan gundukan tanah di pesisir
Surabaya. Samita menghela napas tanpa suara. Ia mengenakan pakaian serbaputih, tanda berkabung.
Sementara wajah-wajah lain yang ada di tempat itu juga diliputi mendung.

Perlahan Samita meraih tusuk konde yang menjaga gelung rambutnya tetap rapi. Ia mencabut tusuk
konde bertahta mutiara itu, hing-ga terurai rambut hitamnya.

“Kakang, tusuk konde ini akan menemani Kakang. Aku akan membiarkan rambutku tergerai hingga
raja pandir itu kuberi pelajaran. Aku juga berjanji akan menghabiskan umurku untuk mencari anak
kita, Kakang. Tak akan kubiarkan Anindita merusak jati diri pendekar yang engkau wariskan
kepadanya. Tak akan.”

Bibir Samita lalu terkatup. Tak ada air mata. Sepertinya, seluruh kepedihan yang ia alami sudah cukup
membuat mati rasa. Puncak kepedihan ketika dia tak lagi sanggup untuk mengeluarkan air mata.

Sementara hari beranjak terang. Matahari segera menyebar panasnya. Orang-orang mulai beranjak
dari tanah pekuburan. Sementara Samita tetap duduk timpuh di depan pusara Sad Respati, suaminya.

Jauh dari pesisir Surabaya, di balik tembok-tembok keraton yang kokoh, Wikramawardhana duduk di
atas kursi indah di ruang kamarnya yang mewah. Di sampingnya sang istri tercinta, Dewi Suciatma,
duduk kikuk menunggu kalimat sang raja.

“Respati adalah putra terbaik Majapahit. Kenapa semua jadi tak terkendali?”

“Kangmas, apakah memang Kangmas memerintahkan pembunuhan atas bekas rakryan rangga itu?”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wikramawardhana menggelengkan kepala.

“Aku hanya ingin ia diselidiki. Respati melatih pemuda pesisir berlatih ilmu kanuragan. Aku tak mau
akhirnya dia menghimpun kekuatan untuk menentang Majapahit.”

“Tapi itu masih dugaan, sedangkan tindakan bhayangkari sudah begitu berani.”

“Sadali yang kupercaya untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Kangmas, Sadali pula yang sejak dulu menyimpan rasa tak suka terhadap Respati!”

Wikramawardhana terdiam. Kejadian kali ini mengingatkannya atas tragedi Blambangan ketika
Pangeran Gajah memenggal kepala Bre Wirabumi tanpa perintah langsung darinya. Api dendam
Blambangan berhasil ia redam setelah Suciatma, putri Wirabumi, ia nikahi. Lalu, apa yang kini harus
ia lakukan untuk memadamkan api dendam rakyat pesisir Surabaya?

“Samita berhati baja, Kangmas. Dia pasti membuktikan janjinya.”

“Aku tahu, Nimas. Dia putri Laksamana Cheng Ho yang sekian lama bersahabat dengan Majapahit.
Aku tak bisa membayangkan jika masalah ini meluas nantinya. Apa yang akan dilakukan Kerajaan
Ming jika putri Laksamana Ho disakiti?”

“Saya berharap masalah ini tak akan mengembang sejauh itu, Kangmas. Samita sangat dewasa.
Menurut saya, lebih baik Kangmas meluluskan keinginannya untuk bertemu. Samita tak akan
melakukan hal bodoh.”

“Tapi, ilmu kanuragan perempuan itu sangat tinggi. Siapa bisa menjamin dia tak akan membahayakan
jiwaku, Nimas?”

“Saya yang akan menjamin keselamatan Kangmas. Nyawa saya sebagai taruhannya.”

Wikramawardhana tertegun. Istri termudanya ini sungguh penuh semangat. Membuatnya berapi-api
untuk meneruskan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi hidup. Darah mudanya masih demikian kental dan
meletup-letup. Itulah yang senantiasa membuat Wikramawardhana bersemangat untuk menata ulang
Majapahit menjadi kerajaan yang dicintai rakyatnya.

0o0

Bulan Waisyaka, Hari Soma

Gerbang keraton Majapahit riuh. Para prajurit bersenjata lengkap berdiri dengan sikap siap siaga.
Tombak, pedang, dan pasukan pemanah siap tempur. Mereka rupanya siap menukarkan nyawa, agar
tak ada seorang pun yang bisa memasuki pintu gerbang istana.

Di depan mereka, sesosok perempuan dengan pakaian serbaputih berdiri mematung. Tak ada senyum
di wajahnya.

Kesan muka yang berduka. Tapi, itu tak bisa menghapus kejelitaan yang sulit dicari tandingannya.
Dialah Samita, murid utama Laksamana Cheng Ho sekaligus istri pendekar termasyhur Sad Respati.

Dia berdiri kaku dengan rambut terurai tanpa tali. Angin yang mendesau membuat helaian rambutnya
berpendar-pendar. Di punggungnya terpanggul sebilah keris berukuran tak wajar yang warangkanya
saja sudah menyebarkan aura kedigdayaan. Itulah keris Angga Cuwiri. Keris pusaka mendiang
suaminya, Sad Respati, yang sempat menggegerkan dunia persilatan.

Kini dengan wajah tanpa takut, Samita berdiri di muka pintu gerbang Majapahit untuk membuat
perhitungan. Dia tahu benar bahwa belasan orang bertopeng yang mengeroyok suaminya hingga tewas
adalah lima belas bhayangkari utama Majapahit. Samita meyakininya setelah melihat cara bertempur
mereka yang begitu khas.

Formasi bhayangkari sudah dihafal luar kepala oleh Samita. Tentu saja sebagai istri Sad Respati yang
pernah memegang jabatan kepala Bhayangkari, Samita paham bahwa Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi formasi serangan itu hanya mungkin dilakukan
oleh bhayangkari Majapahit.

Tapi, untuk bisa menemui sang raja jelas bukan perkara sepele. Bahkan, sebagian besar rakyat
Majapahit belum pernah melihat wajah raja mereka selama berabad-abad. Tapi Samita telah
berketetapan hati. Dia tak akan membalikkan langkah, sebelum bertemu muka dengan sang raja.
“Sebulan lalu aku telah membuat janji dengan raja kalian.

Apakah sang prabu begitu takut hingga tak berani menemuiku?”

“Lancang! Kau kira siapa dirimu?”

Samita tersenyum dingin. Dia seperti tak hirau terhadap kalimat pedas salah seorang prajurit itu. Kini,
rambutnya benar-benar dicandai angin. Beberapa kali pandangan matanya terganggu helaian rambut
yang berkibar-kibar di depan wajahnya.

“Aku adalah seorang istri yang menuntut hak untuk tahu, kenapa raja kalian berbuat sewenang-wenang
membunuh suamiku tanpa alasan?”

Para prajurit yang jumlahnya puluhan itu bukan tak tahu bahwa sosok yang kini mereka kepung adalah
pendekar perempuan pilih tanding dari pesisir Surabaya. Hanya, sejak awal mereka memang sudah
bersiap untuk menghadang Samita agar tak mengusik ketenteraman sang raja.

“Apa kau tahu di dalam keraton ada ribuan prajurit yang akan melumatkan tubuhmu dalam satu
gebrakan?”

“Pantas saja Majapahit semakin mundur. Bahkan, prajuritnya hanya pandai bicara muluk.”

“Kau!”

Tanpa hendak berunding lagi, Samita berlari cepat menyongsong para prajurit yang segera
menggerakkan senjata mereka masing-masing menyambut kedatangan Samita. Sementara begitu jarak
dengan para prajurit itu sudah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sangat dekat, Samita memutar tubuhnya
sedemikian rupa, sambil mendaratkan tendangannya ke salah seorang prajurit di depannya.

Si prajurit langsung terjengkang tanpa daya. Selanjutnya, Samita melolos sabuk peraknya yang
langsung mengeluarkan sinar menyilaukan. Sinar matahari yang terang benderang dipantulkan
sempurna oleh sabuk istimewa itu sehingga sangat mengganggu pandangan mata siapa pun yang
menatapnya.

Gerakan Samita semakin cepat. Hampir setiap pergerakan kaki atau tangannya disusul oleh suara
berdebam atau jerit kesakitan para prajurit yang roboh. Samita terus mengamuk.

Sabuk di tangannya meliuk-liuk seperti ular yang memburu mangsa. Tak jarang senjata-senjata para
prajurit yang disorongkan berbarengan bisa terbelit oleh sabuk itu kemudian dibetot oleh Samita
dengan tenaga penuh.

Sontak para pemilik senjata itu terdorong ke depan ketika senjata-senjata mereka terampas oleh sabuk
sakti itu. Saat berikutnya, berbagai senjata itu sudah meluncur balik menyerang kerumunan prajurit
itu. Akibatnya bisa ditebak, beberapa prajurit segera roboh bersimbah darah ketika senjata-senjata
temannya menghunjam dalam ke dada mereka.

Jumlah prajurit yang puluhan itu seperti tak pernah habis.


Teman-teman mereka yang ada di balik pintu gerbang berhamburan keluar hendak membantu teman-
temannya meringkus ‘harimau betina’ dari pesisir Surabaya yang kini tengah mengamuk. Jumlah
prajurit yang berlipat-lipat tak membuat Samita takut.

Dia malah bertambah semangat memutar sabuknya.

Gerakan tubuhnya sudah sulit ditangkap oleh pandangan mata biasa. Begitu cepat dan trengginas.
Tahu-tahu, sekelompok prajurit roboh dengan mulut berdarah.

“Hentikan!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita bersalto sebelum akhirnya mendaratkan
kakinya di atas tanah, ketika mendengar teriakan lantang yang mengandung tenaga dalam hebat.
Sontak pertempuran terhenti.

“Kepala bhayangkari, sungguh tersanjung saya dengan kedatangan Tuan.”

Danurdara berdiri di depan Samita dengan pandangan mata ragu. Pemuda gagah itu lebih kelihatan
matang.

Bertahun-tahun tak bertemu, Samita masih sangat mengenal dirinya dengan baik.

“Bertahun-tahun tak bertemu, apa kabarmu, Samita?”

“Danurdara, entah bagaimana caramu berhitung. Kau merasa bertahun-tahun kita tak jumpa,
sedangkan aku melihatmu dengan jelas sebulan lalu.”

“Samita, apa maksudmu membuat onar keraton Majapahit?”

“Bukankah satu bulan lalu aku sudah katakan kepadamu, bahwa hari ini aku akan mendatangi rajamu
untuk minta pertanggungjawaban atas kematian suamiku, belasan murid Perguruan Hanacaraka, dan
puluhan warga Desa Tumpak yang tak berdosa?”

Danurdara tak menjawab. Bahkan, dia tak berani menentang pandangan mata Samita.

“Danurdara, dari mulut suamiku, hanya hal-hal baik saja yang ia katakan ketika bercerita tentang
dirimu. Mana pernah ia menyangka, akhir hidupnya justru ada di tanganmu.”

“Samita, kumohon. Hal itu sulit sekali untuk dijelaskan.”

“Maksudmu, kau melakukannya dengan alasan tugas prajurit, Danurdara?”

Tak ada jawaban. Danurdara merasa salah dengan segala gerak-geriknya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


“Lalu kau kira, kenapa Kakang Respati meninggalkan Majapahit kecuali untuk menghindari hal yang
justru engkau banggakan itu.”

“Kami sama sekali tidak sama, Samita.”

“Kalau begitu, bersiaplah. Apa pun alasanmu, aku datang hari ini untuk membuat perhitungan dengan
seluruh bhayangkari.”

“Samita, kumohon. Ini tindakan bodoh. Jiwamu akan terancam.”

“Apa yang kau pedulikan sebenarnya, Danurdara?”

“Tentu saja kelangsungan hidupmu, Samita.”

“Jika kau benar-benar peduli, kenapa kau membunuh orang yang paling kucintai dan menyebabkan
buah hati kami terpisah dari orangtuanya?”

Danurdara terkesiap. Kedua alisnya bertaut.

“Soma, bayi merah yang baru aku lahirkan dibawa lari oleh Anindita. Kau kira itu akan terjadi kalau
kau tidak membantai orang-orang Desa Tumpak?”

“Samita, aku tak tahu harus bicara apa.”

“Cabut pedangmu!”

“Melawanmu, Samita? Lebih baik kau membunuhku sekarang juga.”

Samita tertegun. Dia tak segera bergerak. Batinnya menduga-duga. Satu lagi kebodohan di atas bumi
disebabkan oleh cinta.

“Kau ingin aku iba dengan kecengenganmu, Danurdara?”

“Terserah padamu, Samita.”

Samita belum juga bertindak. Ia semakin erat menggenggam sabuk perak yang setiap saat siap untuk
dihentakkan. Niat itu benar-benar urung ketika dari dalam gerbang, seorang prajurit datang dengan
langkah tegap penuh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi wibawa. Di belakangnya, sepasukan prajurit
bersenjata lengkap mengimbanginya dengan langkah berderap.

“Sabda Raja Wikramawardhana!”

Semua orang langsung merunduk, memberi hormat.

Kecuali Samita.

Danurdara meliriknya penuh khawatir.


“Nyai Samita dari pesisir Surabaya diperkenankan menemui sang prabu jika mampu melewati
rintangan bhayangkari. Jika menampik, Nyai Samita diperbolehkan meninggalkan keraton tanpa
hukuman.”

Senyap. Prajurit pembawa perintah raja itu lalu mendekati Samita. Sementara prajurit lain
mendongakkan kepalanya.

“Bagaimana, Nyai Samita?”

“Di mana bhayangkari menungguku?”

Semua mata membelalak. Siapa pun maklum bahwa ilmu kanuragan Samita sangat tinggi. Namun,
menghadapi lima belas bhayangkari Majapahit sekaligus sama juga bunuh diri.

Bahkan, Sad Respati yang dulunya merupakan kepala bhayangkari tewas saat menghadapi mereka.
Sungguh tak ada orang di tempat itu yang menyangka Samita akan menerima tantangan raja.

“Samita, masih ada waktu untuk membatalkannya.”

Danurdara minta perhatian Samita, namun ia tak mendapatkannya. Samita berjalan menuju pintu
gerbang tanpa memedulikan Danurdara.

“Jangan khawatirkan aku. Siapkan saja dirimu untuk pertempuran nanti.”

Samita melangkah yakin ke arah yang ditunjukkan prajurit pembaca perintah raja itu. Kali ini, ratusan
prajurit yang tadinya menghadang Samita membuat jalan agar Samita bisa melewatinya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Siapa pun bakal keder sekaligus trenyuh melihat
kesan wajah Samita yang demikian dingin. Sepertinya, segala kejadian beberapa waktu terakhir
membuat hatinya beku. Di benaknya, hanya ada keharusan untuk memberi pelajaran kepada Raja
Majapahit yang ia anggap bertindak terlalu gegabah.

Ratusan pasang mata para prajurit memandang takjub dengan sikap gagah Samita yang tanpa risau
berjalan terus penuh keyakinan ke arah siti hinggii. Di pelataran muka tempat pertemuan para pejabat
kerajaan dengan sang raja itu, kini telah berdiri bhayangkari utama Majapahit dalam formasi yang
kukuh.

Mereka semua berjumlah empat belas orang. Kurang satu.

Tapi segera lengkap ketika Danurdara muncul dan mengisi kekosongan itu. Di antara wajah-wajah itu,
ada beberapa orang yang dikenal Samita. Mereka adalah Danumaya, Daniswara, Sasmaya, Harimurti,
Harsaya, dan Hartaka.

Keenamnya bhayangkari seangkatan dengan Respati dan Danurdara.

“Sad Respati datang untuk menghukum kalian yang tak tahu makna persaudaraan!”
Para bhayangkari tak langsung paham maksud omongan Samita. Mereka tetap berdiri di tempatnya
masing-masing tanpa bicara. Demikian juga dengan ratusan prajurit yang kini membentuk barisan
menyerupai busur, berawal dan berakhir di bangunan siti hinggii.

Samita segera menjawab tanda tanya itu. Ia meraih gagang Angga Cuwiri dan mencabutnya dengan
kilat. Sinar biru berkelebat. Semua orang terkesima. Mereka seperti melihat Sad Respati berdiri di
sana dan siap untuk menuntut balas.

“Nyai Samita, Angga Cuwiri adalah keris yang hanya bisa dimainkan sempurna dengan Jurus
Hanacaraka. Nyai bisa terluka jika nekat menggunakannya.”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Danurdara masih tak bisa tega. Dia memandang
penuh khawatir.

“Bersiaplah kalian!”

Pandangan Samita menyelidik. Seperti tengah memilah-milah, lawan mana yang harus ia hadapi
pertama kali. Formasi rajawali yang diterapkan barisan bhayangkari itu memang terlalu kokoh. Bagian
kepala dikomandoi Danurdara. Dua sayap dijaga Danumaya dan Daniswara.

Bagian tubuhnya tak lepas dari kewaspadaan Sasmaya dan Harimurti. Sedangkan di bagian ekornya
dipimpin Harsaya dan Hartaka. Pilihan Samita, sayap kanan. Tubuh Samita bergerak diikuti sinar biru
yang menakjubkan, memburu Danumaya dan tiga orang bhayangkari yang menjaga sayap kanan
rajawali.

“Da! Dumadining dzat kang tanpa winangenan! Menerima hidup apa adanya!”

Samita berteriak lantang membuat dada orang-orang bergetar. Perempuan pendekar itu menerapkan
tingkat dua jurus Hanacaraka. Bahkan, Danurdara terkesiap begitu tahu Samita memahami jurus sakti
itu.

Sekali hentak, keris Angga Cuwiri mematahkan senjata tangan seorang bhayangkari di sayap kanan
yang dipimpin Danumaya. Ia roboh oleh hantaman tangan kiri Samita.

“Ta! Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa! Mendasar, sepenuh hati, satu pandangan, ketelitian dalam
memandang hidup!”

Keris sakti di tangan Samita berputar deras menghadang laju pedang Danumaya, lalu berputar cepat
mengancam ke arah dadanya. Begitu Danumaya bersalto menghindar, kaki kanan Samita meluncur
deras, menghantam perut bhayangkari di belakangnya. Suara berdebam menyertai erangan. Sudah dua
bhayangkari di sayap kanan roboh.

Tinggal dua lagi.

“Rajawali mengoyak angin!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Teriakan lantang Danurdara segera disambut suara
berderap, ketika tiga belas bhayangkari yang tersisa mengubah posisi. Bagian kepala rajawali yang
paruhnya diisi Danurdara meluncur ke arah Samita. Sedangkan sayap kanan yang telanjur diobrak-
abrik Samita segera menyingkir ke samping.

“Kata siapa aku ingin buru-buru menghadapimu, Danurdara?”

Tubuh Samita melambung menghindari paruh rajawali, lalu bergerak cepat ke arah ekor.

“Sa! Sifat ingsun handuiu sifat Gusti! Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan!”

Serangan Samita datang bak angin topan. Cepat, galak, dan sulit dibendung. Ia langsung mengincar
Harsaya. Pada saat yang sama, Harsaya yang bersenjata tombak sama sekali tak menyangka Samita
menyerang bagian ekor dengan begitu gencar. Bagaimanapun, dia adalah anggota bhayangkari berilmu
tinggi.

Segera saja ia songsongkan mata tombaknya menyambut datangnya keris Angga Cuwiri. Samita
menghindar ke samping, tanpa menghentikan gerakannya. Segera saja Angga Cuwiri di tangannya
mengincar dada Haryasa yang juga tak mau mati konyol. Pemuda itu menggerakkan tombaknya ke
arah belakang dengan maksud menghalau laju keris, namun gagal.

Tangan kiri Samita menghadang laju tombak. Sekali tebas, patahlah tombak itu. Sementara keris
Angga Cuwiri kembali meluncur. Kini ke arah leher Haryasa. Begitu hendak menembus kerongkongan
Haryasa, Samita menarik gagang kerisnya. Gantian telapak tangan kirinya yang menghantam bahu
Haryasa sehingga pemuda itu terpental dan bergulingan di tanah. Tulang bahunya pasti patah.

“Wa! Wujud hana tan kena kinira! Ilmu manusia hanya terbatas, namun penerapannya tanpa batas!”

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa jeda waktu, Samita membalikkan tubuhnya
dan menghadapi Hartaka. Kali ini jauh lebih mudah. Keris Angga Cuwiri meluncur cepat tanpa bisa
dibendung oleh pedang besar milik Hartaka. Pedang baja itu berkeping-keping, nyawa Hartaka di
ujung tanduk.

Lagi-lagi Samita menarik kerisnya, lantas mendaratkan tendangan di perut Hartaka, hingga anggota
bhayangkari itu terjungkal kesakitan.

“Rajawali memburu naga!”

Danurdara mulai panik karena sayap kanan dan ekor formasi rajawali sudah porak-poranda. Bahkan,
empat orang bhayangkari telah roboh. Bagaimanapun, dia harus tetap mempertahankan formasi dan
tak bisa bertempur sembarangan. Kecuali dia mau kehilangan wibawanya sebagai kepala bhayangkari.

Kini, formasi kembali bergerak. Bagian kepala lebih bebas bergerak dibandingkan sebelumnya.
Danurdara rupanya benar-benar ingin segera menuntaskan pertempuran itu. Ia berpikir keras agar
Samita segera bisa ditundukkan.

“Aku kabulkan permintaanmu, Danurdara.”


Samita tak lagi menghindar. Ketika paruh rajawali menyongsongnya, ia langsung menghadang dengan
kekuatan penuh.

“La! Lir handaya paseban jati! Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Tuhan!”

Danurdara berlatih lama dengan Respati, ketika mereka sama-sama tinggal di Griya Bhayangkari.
Makanya, jurus-jurus Hanacaraka sama sekali tak asing buatnya. Namun, apa yang dimainkan Samita
terasa beda. Serupa tapi tak sama. Lebih berkekuatan dan mematikan.

Tak heran jika Danurdara benar-benar gelagapan. Pedang panjang di tangannya membuat pusaran
angin untuk menghadang keris sakti di tangan Samita. Setengah hati Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi memang. Sebab, Danurdara tak ingin melukai
Samita. Ini sangat menguntungkan buat lawan.

Samita menyerbu dengan keris berkelebat kilat. Bahkan, Samita tak menyangka akan semudah ini.
Pedang di tangan Danurdara terpental kena sepak kaki Samita. Tahu lawannya tak sedang sungguh-
sungguh, Samita tak bersemangat untuk melumpuhkannya, Dia lantas melentingkan tubuhnya
menyerang bagian tubuh rajawali.

“Pa! Papan kang tanpa kiblat! Kekuasaan Gusti yang ada di segala arah!”

Seorang bhayangkari roboh.

“Dha! Dhuwur wekasane endek wiwitane! Mendaki puncak dimulai dari dasar!”

Sasmaya tersungkur.

“Ja! Jumbuhing kawula lan Gusti! Berusaha memahami kehendak Gusti!” Harimurti menyusul.

Ratusan orang yang berjejal menyaksikan pertempuran itu membelalak tak percaya. Bahkan, barisan
Bhayangkari tak kuasa membendung kedahsyatan jurus Hanacaraka di tangan Samita.

“Rajawali terbang ke nirwana!”

Danurdara lebih kacau lagi. Dia sudah kehilangan kepercayaan diri sama sekali. Bagian tubuh, sayap
kanan, dan ekor sudah penuh luka. Bahkan, bagian kepala pun tak lagi memiliki paruh yang
mengoyak.

“Ya! Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi!

Yakin atas titah Gusti!”

Samita tak melayani tantangan Harimurti. Dia malah melompat ke arah sayap kiri.

“Nya! Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki! Memahami kodrat kehidupan!”

Daniswara terpelanting dengan mulut berdarah.


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Ma! Madep mantep manembah mring Gusti! Yakin, mantap dalam menyembah Gusti!”

Seorang bhayangkari menyusul.

“Ga! Guru sejati sing muruki! Belajar pada guru nurani!”

Samita kini tak perlu berpikir menundukkan formasi itu.

Sebab, memang sudah tak ada formasi. Kepala, sayap, ekor, dan tubuh sudah koyak. Kini, tinggal lima
orang bhayangkari yang menyerangnya bersamaan. Tapi sebentar saja. Karena, jumlahnya segera
berkurang menjadi empat. Satu di antara mereka roboh dengan belulang patah.

“Ba! Bayu sejati kang andalani! Menyelaraskan diri pada gerak alam!”

Dua orang sekaligus terpelanting dengan gigi rompal dan kaki patah.

“Tha! Tukul saka niat! Segala sesuatu tumbuh dari niat!”

Samita mendaratkan kakinya dengan santai di pelataran Siti hinggil. Ada senyum dingin di bibirnya.
Suasana hening, kecuali desau angin. Bahkan, empat belas anggota bhayangkari menahan sakit tanpa
suara. Tak satu pun di antara mereka yang tewas. Tapi, luka dalam yang mereka dapati juga tak bisa
disepelekan.

Semua orang di pelataran siti hinggil menahan napas.

Tinggal satu orang bhayangkari yang masih berdiri. Itu pun tanpa semangat untuk menang. Danurdara
berdiri limbung dengan tatapan mata kosong. Segalanya telah tercerabut dari dirinya. Kebanggaan
sebagai kepala bhayangkari, cinta tak terkatakan, dan kepercayaan raja yang disembah.

“Nga! Ngracut busananing manungso! Melepaskan keakuan manusia!”

Danurdara hanya bergerak sekenanya. Dia segera jatuh terduduk dengan ujung keris Angga Cuwiri
menempel di kulit lehernya.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi

“Danurdara, alasan apa sebenarnya yang membuatmu mempertahankan hidup? Sahabat kau khianati!
Diri sendiri tak kau bela!”

“Kau, Samita. Alasanku untuk tetap hidup hanyalah kau.”

Samita tertegun. Dia tersenyum dingin, lalu menarik kerisnya perlahan. Gagah, dia lalu membalikkan
tubuhnya dan berjalan tanpa sungkan menuju siti hinggii. Samita tak peduli, meskipun para prajurit
bersamaan mencabut senjata mereka.

Dia menyarungkan kembali Angga Cuwiri, lantas berjalan tegap menyongsong janji raja.

Ratusan prajurit merangsek ke depan dengan senjata terhunus. Tak satu orang pun yang berani
mendahului menyerang. Mereka hanya berjaga-jaga. Langkah Samita tak terhenti. Telapak kakinya
yang bersepatu segera menaiki tangga siti hinggii satu demi satu.

Dia segera mendapati Raja Majapahit yang duduk tenang di kursi kebesaran. Di samping kanannya,
sang permaisuri, Kusumawardhani, tak kelihatan panik. Senyumnya adem dan menyejukkan.
Sedangkan di samping kanan sang raja, Suciatma duduk takzim dengan kesan muka datar. Di jajaran
pejabat, tampak Rakryan Tumenggung Sadali bersikap pongah.

“Saya telah merobohkan seluruh penjaga Sang Prabu.

Saatnya menagih janji,”

Wikramawardhana bergeming. Sebenarnya dia masih kaget dengan kenyataan bahwa lima belas
bhayangkari terbaik Majapahit bahkan tak bisa menghentikan perempuan pendekar itu. Di hatinya
tentu ada rasa was-was. Tapi sabda telanjur keluar, tak mungkin raja menjilat ludahnya sendiri.

“Apa yang kau inginkan, putri Laksamana Cheng Ho?”

Tanpa bicara, tangan Samita bergerak cepat, sabuk peraknya yang sangat lihai meluncur deras ke arah
kepala Wikramawardhana. Semua orang di ruangan itu sama sekali Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tak menyangka ini bakal terjadi. Tak seorang pun
sempat mencegahnya.

Wikramawardhana menahan napas. Pasrah ketika ujung sabuk beberapa saat lagi akan menghancurkan
kepalanya.

Bahkan, ia sempat merasakan ujung sabuk itu menyentuh keningnya. Tapi sekejap saja. Karena Samita
kembali menyentakkan sabuknya, hingga sang raja terbebas dari maut.

Wikramawardhana tertegun. Keringat dingin keluar dari keningnya. Tapi dia masih seorang raja yang
berwibawa. Tak lantas dia bereaksi berlebihan. Justru ia kini diam, berpikir keras, apa maksud Samita
melakukan hal ganjil itu. Dia bertambah heran ketika tanpa berkata apa pun, Samita membalikkan
tubuhnya dan berjalan dengan langkah gontai keluar bangunan siti hinggii.

“Prabu, ini penghinaan terhadap kerajaan. Mohon Prabu izinkan saya menghukum perempuan itu.”

Wikramawardhana bergeming. Dia masih tertegun. Ucapan Rakryan Tumenggung Sadali tak
diindahkannya.

“Sadali, kau sudah cukup membuat masalah. Sekarang diamlah!”

Suara Wikramawardhana tak terlalu kencang, namun sangat tegas. Seluruh orang di ruangan itu
mendengarnya.

Merah muka Sadali karenanya. Ia tertunduk lesu dengan gigi bergemerutuk.

“Biarkan dia!”

Titah sang raja segera dipatuhi. Tak satu pun prajurit yang berusaha menghadang langkah Samita.
Perempuan pendekar itu berjalan perlahan namun pasti. Tak lagi berderap. Seperti ingin menikmati
pergantian gerak kakinya dan mereguk nikmatnya kemenangan.

Rambutnya dimainkan angin. Begitu juga dengan pakaian yang berkibar-kibar. Seperti ada pesta
dalam batin Samita.

Pesta kemenangan tanpa darah dan hilangnya nyawa. Dia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi rasakan kedua kakinya tak lagi menapak bumi.
Berjalan dengan angin, ringan dan nyaman.

Langit mulai kaya warna. Di garis cakrawala, surya menjadi benda bulat utuh kemerahan. Samita
menuju ke sana.

Sosoknya menjadi bayangan hitam yang menabrak merahnya matahari. Semakin kecil dan jauh,
mengejar matahari. Burung-burung menjadi bayangan hitam yang menyemarakkan langit sore. Ikut
berpesta dalam kesyahduan. Seperti itu, seolah untuk selamanya.

0o0

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pustaka Pendukung

Buku:

1. Basyaramil, A. Aziz Salim. Hikmah daiam Humor, Kisah dan Pepatah. Jil. 1-6. Jakarta:

2. Gema Insani Press.

3. Yuanzhi, Prof. Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Jakarta: Pustaka Populer Obor. Pepatah Lao Zi.

Situs:

1. joewono.tripod.com

2. www.jawapalace.org (sumber hanacaraka)

3. thifanpokhan.tripod.com

4. students.ukdw.acid

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tasaro

adalah nama pena Taufiq Saptoto Rohadi yang lahir di Gunung Kidul, 1 September 1980, putra dari
Bapak Muryadi dan Ibu Umi Daridjah. Tasaro menjalani pendidikan dasarnya di SDN Trowono I lulus
pada 1992, kemudian melanjutkan ke SMPN 4 Yogyakarta lulus pada 1995, dan menamatkan sekolah
menengah atasnya di SMA Mataram Yogyakarta pada 1998.

Tasaro pun pernah merasakan bangku perkuliahan pada Jurusan Jurnalistik, PPKP Universitas Negeri
Yogyakarta (lulus 2000), dan pada Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hidayah,
Bogor (keluar 2003/karena pindah lokasi kerja).

Penulis berbakat ini meniti karier di dunia jurnalistik dan media, mulai calon reporter harian pagi
Radar Bogor (Agustus September 2000), lalu dipercaya sebagai reporter harian pagi Radar Bogor
(September 2000 Agustus 2001), penanggung jawab ha-laman Radar Bogor (Agustus 2002-Januari
2003), redaktur Radar Bogor (Januari-April 2003), redaktur Radar Bandung (April 2003-April 2004),
koordi-nator liputan Radar Bandung (April-Juni 2004), dan redaktur pelaksana Radar Bandung (Juni
2004-sekarang).

Dalam menjalani hidup, Tasaro begitu optimis. Hal ini tecermin dari moto hidupnya; “Terdepan,
Terbaik, dan Terbeda!” Luaaar biasa!

Novel Historical Fiction SAMITA: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004) ini
adalah karya perdana Tasaro yang diterbitkan DAR! Mizan di bawah Lini Sahabat Remaja Muslim.
Buku-buku lainnya, kita tunggu saja karya terbaik penulis potensial ini!

Saat ini, Tasaro berdomisili di Dago, Bandung (rencananya mau pindah ke kampung pendidikan;
Jatinangor). Ia ingin menikmati masa kebersamaannya dengan istri tercinta, Alit Tuti.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bagi sahabat-sahabat pembaca DARI Mizan yang
ingin berkenalan dengan penulis Samita ini, silakan menghubungi moslem@ journalist.com.

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Anda mungkin juga menyukai