Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU

METODELOGI PENELITIAN

(MEMBUAT TINJAUAN PUSTAKA)

UJI AKTIVITAS EKSTRAK DAUN ALPUKAT (Persea americana) TERHADAP


HIPERTENSI PADA MENCIT PUTIH JANTAN DENGAN PEMBANDING
CAPTOPRIL

NAMA : GENTA NEVIEL NURRIZAL

NIM : 1848201047

SEMESTER :6

DOSEN PENGAMPUH : Bapak MIMING ANDIKA

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS FORT DE KOCK
KOTA BUKITTINGGI
2021
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan alpukat meliputi sistematika tumbuhan, nama lain, habitat umum,
morfologi tumbuhan, dan manfaat dari tumbuhan.

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan alpukat menurut Herbarium Medanense (MEDA) Fakultas


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Laurales

Famili : Lauraceae

Genus : Persea

Spesies : Persea americana Mill.

2.1.2 Nama Lain Tumbuhan

Tumbuhan alpukat memiliki nama daerah yaitu Alpuket (Sunda), apokat (Jawa),
alpokat, advokat (Melayu). Nama Asing yaitu advocaat, advocatier, alligator pear,avocado pear
(Inggris), poire d’avocad (Perancis), abacate (Portugal), aguacalte palta (Spanyol) (Dalimartha,
2008).

2.1.3 Habitat Umum Tumbuhan

Alpukat (Persea americana Mill) berasal dari Amerika Tengah.Tumbuhan ini masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-18. Alpukat tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di
kebun dan pekarangan yang lapisan tanahnya gembur dan subur serta tidak tergenang air.
Tumbuh di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan antara 1.800 mm sampai 4.500 mm
tiap tahun. Pada umumnya tumbuhan ini cocok dengan iklim sejuk dan basah. Di Indonesia
tumbuh pada ketinggian tempat antara 1 m sampai 1000 m di atas permukaan laut (Yuniari,
2008).

2.1.4 Morfologi Tumbuhan

Tanaman alpukat merupakan pohon yang tinggi dapat mencapai 10 meter. Batang
berkayu, bulat, barcabang, coklat kotor. Daunnya Tunggal, bulat telur, bertangkai, letak
tersebar, ujung dan pangkal runcing, berbulu, panjang 10-20 cm, lebar 3-10cm, hijau.
Bunganya majemuk, bentuk malai, berkelamin dua, tumbuh di ujung ranting, benang sari
duabelas, ruang kepala sari empat, putih kotor, mahkota berambut, diameter 1-1,5 cm, putih
kekuningan. Buahnya buni, bulat telur, panjang 5-20 cm, berbintik-bintik atau gundul, daging
buah jika sudah masak lunak, hijau atau kuning keunguan. Bijinya bulat, diameter 2,5-5 cm,
keping biji putih kemerahan. Akarnya tunggang, bulat, coklat (Depkes RI, 2001).

2.1.5 Manfaat Tumbuhan

Buah alpukat banyak dimanfaatkan menjadi bahan makanan dan minuman di berbagai
negara. Daunnya memiliki rasa pahit dan kelat, bersifat antibakteri, antihipertensi,
antikonvulsan, antivirus. Selain memiliki sifat peluruh air seni(diuretik), daun alpukat juga
memilki berbagai macam efek farmakologis seperti antioksidan, antiinflamasi, antijamur dan
analgesik (Permadi, 2008).

2.2 Simplisia dan Ekstraksi

2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral) (Depkes RI, 2000).

2.2.2 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dari massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI,1995). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehinga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
pelarut cair. Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat obat. Senyawa aktif yang terdapat dalam
simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain –
lain (Depkes RI, 2000).

Pemilihan untuk ekstraksi tergantung pada bagian tanaman yang akan diekstraksi dan
bahan aktif yang diinginkan. Teknik ekstraksi yang ideal adalah teknik ekstraksi yang mampu
mengekstraksi bahan aktifyang diinginkan sebanyak mungkin,cepat,mudah dilakukan, murah,
ramah lingkungan dan hasil yang diperoleh selalu konsisten jika dilakukan berulang-ulang
(Kumoro, 2015). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu cara dingin
dan cara panas.

Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi dilakukan dengan merendam bagian tanaman secara utuh atau yang sudah digiling
kasar dengan pelarut dalam bejana tertutup pada suhu kamar sekurang-kurangnya 3 hari dengan
pengadukan berkali-kali sampai semua bagian tanaman yang dapat melarut dalam cairan
pelarut.Pelarut yang digunakan adalah alkohol atau kadang-kadang juga air (Kumoro, 2015).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan
bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (Penetesan/penampung ekstrak)
secara terus menerus sampai diperoleh perkolat. Penghentian ekstraksi dilakukan dengan cara
menguji tetesan terakhir dengan menggunakan pereaksi tertentu (Depkes RI, 2000).

Cara Panas

a. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus
dimasukkan dalam penangas air mendidih, temperatur 90oC selama 15 menit) (Depkes RI,
2000). Kekurangan sediaan infusa ialah hanya dapat menyari zat-zat yang bersifat polar,
penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman
dan kapang, oleh karena itu sari yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam
(Kristianingsih dan anang, 2015).

b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi
dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi
bagian tengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu
destilasi, demikian berulangulang (Depkes RI, 2000).

c. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik
(Depkes RI, 2000).

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih
tinggi dari temperatur kamar (40-50oC) (Depkes RI, 2000).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infundasi pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai
titik didih air (DepkesRI ,2000).

2.3 Hipertensi

2.3.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah di dalam


tubuh secara tinggi di ambang batas normal dikatakan normal apabila tekanan darah pada tubuh
≥ 120 mmHg pada sistolik dan ≤ 80 mmHg pada diastolik (Dipiro et al 2009). Terjadinya
peningkatan dikarenakan adanya gangguan pada pembulu darah yang mengakibatkan suplai
oksigen yang di bawa darah terhambat sehingga jaringan atau organ tubuh yang membutuhkan
tidak mendapatkan oksigen (Lanny et al 2010). Dan dapat diasumsikan bahwa penyakit
hipertensi penyakit yang cukup tinggi pada masyarakat karena hipertensi dapat memicu
penyakit yang lainnya misalnya seperti stroke, jantung, gangguan ginjal dan lain-lain apabila
dibiarkan akan mengakibatkan kecacatan bahkan kematian. Hipertensi biasanya berhubungan
dengan tekanan darah, tekanan darah dibagi menjadi dua yaitu tekanan darah diastol dan
tekanan darah sistolik.
Tekanan darah diastol adalah tekanan darah minimal yang berasal dari aorta pada saat
jantung mengisi darah kembali. Sedangkan tekanan darah sistolik dimana tekanan darah
puncak vertikal jantung saat memompa darah untuk melampau tekanan darah maksimal aorta
agar darah dapat mengalir ke arteri. Tekanan darah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
curah jantung (cardiac output = CO) dan resistensi perifer (vaskular peripheral resistance =
TPR) dan rumus tekanan darah (TD) = CO x TPR (Yogiantoro 2006). Curah jantung
merupakan hasil antara frekuensi dan isi kencup sedangkan kuncup ditentukan aliran balik vena
dan kekuatan miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah
dimana dilihat ke elastistitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah. Pada parameter
diatas dipengaruh oleh beberapa faktor antara lain sistem saraf simpatis dan parasimpatis,
sistem reninangiontensisn- aldosteron dan beberapa lain dipengaruhi oleh faktor lokal yaitu
bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.

Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan meningkatkan pembuluh darah. Sistem
parasimpatis bersifat depresif dengan menurunkan tekanan darah karena dapat menurunkan
frekuensi denyut jantung. SRAA sama seperti sistem saraf simpatis dimana akan
mempengaruhi efek vasokontriksi yang menyebabkan perangsangan aldosteron dan
vasokontriksi angiotensin II yang akan menyebabkan peningkatan volume darah. Pada obat-
obatan hipertensi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda, namun tujuannya tetap sama
akan berakhir pada penurunan curah jantung ataupun resistensi periefer yang akan menurunkan
tekanan darah (Departemen Farmakologi dan Teraupetik FK UI 2007).

2.3.2 Patofisiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang
spesifik (hipertensi sekunder) atau penyebab yang tidak diketahui (hipertensi sekunder).
Hipertensi sekunder bernilai 10-20% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut
disebabkan oleh penyakit lain yaitu kardiovaskuler dan ginjal. Kondis yang dapat
menyebabkan hipertensi yaitu pheochromocytoma, syndrome cushing, hipertiroid,
hiperparatiroid, kehamilan dan penyempitan aorta. Namun ada beberapa obat yang dapat
menyebabkan meningkatkan tekanan darah antara lain obat-obatan AINS, kortikosteroid,
hormon tiroid, MAO inhibitor, amphetamin, dekongestan oral (Dipiro et al. 2009).

2.3.3 Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi tidak mengenal usia siapa saja dapat terkena hipertensi baik usia muda
maupun tua oleh karena itu Joint National Commission (JNC) VII mengklasifikasi hipertensi
untuk anak usia ≥ 18 tahun dapat dilihat pada tablpe sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah usia >18 tahun berdasarkan Joint National Commission (JNC) VII,2013

Kategori Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Dastol (mmHg)


Normal <120 <80
Pre-hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Tingkat 1 140-159 90-99
Tingkat 2 >160 >100

Klasifikasi hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu :

a. Hipertensi Primer

Hipertensi tanpa kelainan pada organ tubuh namun banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya hipertensi seperti faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
mempengaruhi dari kepekaan natrium, reaktivitas pembuluh darah dan lain-lain. Sedangkan
yang termasuk faktor lingkungan adalah stress, emosional, obesitas dan lain-lain (Yogiantoro
2009).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi non essensial pada hipertensi sekunder 5-10%
disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin, obat dan lain-lain.
Hipertensi endokrin karena adanya kelainan korteks adrenal, hipertiroidisme, akromegali,
hipotiroidisme dan lain-lain (Nafrialdi 2007).

2.3.4 Gejala Hipertensi

Pada penyakit hipertensi biasanya jarang menimbulkan gejala. Namun pada penderita
hipertensi yang dirasakan pusing, emosional, sesak nafas, medah lelah mata kunang-kunang
dan lain-lain. Gejala terjadi karena adanya gangguan metabolisme pada tubuh (Sutanto 2010).

2.3.5 Komplikasi Hipertensi


Pada penyakit hipertensi jangka lama dan berat dapat menimbulkan komplikasi berupa
kerusakan organ antara lain jantung, mata, otak, ginjal, pembulu darah perifer. Dimana kerja
jantung akan semakin berat dan membiarkan perusakan dinding pembulu darah lebih cepat
(Sustrani 2006).

2.3.6 Regulasi Tekanan Darah

Pengaturan tekanan darah dibagi menjadi dua yaitu pengaturan tekanan darah jangka
pendek dan pengaturan tekanan darah jangka panjang. Pada pengaturan jangka pendek di atur
pada sistem saraf dimana pada sistem saraf tekanan darah dikontrol dengan mempengaruhi
tahanan pembulu darah. Pada kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah dan
mempertahankan tekanan arteri rata-rata dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah.
Pada kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor dan
pusat otak (hipotalamus dan serebrum) (Mayuni 2013). Salah satu reseptor yang penting
sebagai pendeteksi perubahan tekanan darah adalah baroreseptor yang mempunyai sistem kerja
sangat cepat untuk mengkompesasi perubahan tekanan darah dan baroreseptor yang bertugas
memberikan infoormasi mengenai tekanan darah didalam arteri (Sherwood 2006).

Pada pengaturan tekanan darah jangka pendek di kontrol secara kimia dimana kadar
oksigen dan karbon dioksida membantu proses pengaturan tekanan darah melalu refleks
kemoreseptor. Pada tubuh terdapat hormon yang penting dalam pengaturan tekanan darah yaitu
hormon yang dihasilkan oleh medula adrenal (norefepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium,
antidiuretik, angiotensin II dan nitric oxidase (Mayuni 2013). Sedangkan pengaturan tekanan
darah jangka panjang di atur oleh organ ginjal karena ginjal berfungsi untuk menjaga
keseimbangan tekanan darah secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme kerja ginjal
secara langsung dibutuhkan watu 5 liter/menit, dan secara tidak langsung melibatkan
mekanisme renin angiontensin. Pada saat tekanan darah turun maka ginjal akan mengeluarkan
enzim renin ke dalam darah yang akan mengubah angontensin I menjadi angiontesin II.
Angiontensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri sehingga
dapat memberikan efek vasokontriksi di dalam tubuh dan menurunkan ekskresi garam dan air
oleh ginjal (Ronny 2008).

2.3.7 Metode Pengujian Hipertensi

a. Invasive (langsung)
Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan alat pengukur tekanan darah
langsung ke dalam pembuluh darah yang dihubungkan dengan manometer.

b. Non Invasive (tidak langsung)

Metode tidak langsung ini sama seperti metode langsung menggunakan alat, tetapi alat
pengukur tekanan darah dihubungkan pada luar tubuh. Pengukuran metode tidak langsung pada
manusia ini menggunakan dua cara yaitu palpasi (perabaan) dan auskultasi (mendengarkan
suara dalam tubuh menggunakan alat stetoskop). Penelitian menggunakan hewan uji dengan
alat blood pressure analyzer.

2.3.8 Terapi Pengobatan Hipertensi

Terapi Non Farmakologi

Pada terapi non farmakologi diperlukan karena pengobatan dengan farmakologi saja
tidak cukup tanpa mengubah gaya hidup yang sehat. Pencegahan lebih baik. Perubahan pola
hidup dengan cara mengurangi konsumsi garam, tidak merokok, konsumsi alkohol, membatasi
konsumsi lemak, olahraga yang teratur dan mengkonsumsi buah dan sayuran. Perubahan gaya
hidup terbukti efektif untuk meningkatkan efektifitas obat dan menurunkan resiko
kardiovaskuler (Gunawan 2001; Depkes 2006).

Terapi Farmakologi

a. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium air dan klorida sehingga dapat
menurunkan tekanan darah dan cairan ekstraseluler. Hal ini disebabkan terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah pada diuretik sehingga dapat menurunkan Tekanan darah.
Golongan thiazid yang memulai memberikan efek hipotensif pada dosis kecil. Contoh dari
golongan thiazid adalah klorotiazid, hidrokortiazid dimana golongan ini bekerja
menghambat transpot bersama (symport) NaCl ditubulus distal ginjal sehingga ekskresi
Na+ dan Clmeningkat.

b. Diuretik Tiazid

Golongan thiazid bekerja dengan cara menghambat transport Na-Cl pada tubulus ginjal
sehingga ekskresi Na+ dan Cldapat meningkat dan menurunkan tekanan darah. Obat –
obatan golongan thiazid antara lain HCT, metolazon, indapamid dan lain-lain
c. Diuretik Kuat

Diuretik kuat disebut juga dengan loop diuretik. Pada golongan ini mempunyai
mekanisme kerja menghambat ko-transport Na+ , K+ , Cldan menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Namun golongan ini mempunyai waktu paruh pendek sehingga perlu pemberian
2 atau 3 kali dalam sehari. Obat – obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat antara
lain furosemid, torsemid, dan bumetanid.

d. Diuretik Hemat Kalium

Penggunaan diuretik hemat kalium antara lain obat amilorid, triamteren dan
spironolakton merupakan diuretik lemah sehingga perlu dikombinasikan dengan diuretik
lain salah satu contohnya diuretik golongan diuretik thiazid untuk mencegah hipokalemia.

e. Beta Blocker

Pada pemberiaan obat hipertensi golongan β-bloker mempunyai mekanisme kerja


penurunan tekanan darah yaitu penghambatan reseptor β1 yaitu dengan penurunan
frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung
dan hambatan sekresi renin di sel - sel glomerulus yang berada pada ginjal dengan
penurunan produksi angiontensin II dan efek sentral yang dipengaruhi aktifitas saraf
simpatis. Contoh obat beta bloker adalah propanolol, atenolol dan yang lainnya.

f. ACE inhibitor

Pada penggunaan obat ACE-inhibitor dimana obat ini mempunyai mekanisme kerja
mengubah angiontensi I menjadi angiontensin II dan merupakan komponen aktif pada
sistem renin angiontensin aldosteron. Dimana SRAA berfungsi sangat penting untuk
mengatur penurunan tekanan darah dan volume cairan pada tubuh. Inhibitor ACE dapat
mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya
yaitu prostagladin E dan prostasiklin. Salah satu contoh obat pada golongan ACEinhibitor
adalah kaptropil, epinepril dan lain-lain.

g. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)

Pada golongan ARB digenerasikan oleh jalur sistem renin-angiontensi dan jalur
alternatif yang digunakan untuk enzim lainnya seperti khimase. Angiotensi reseptor bloker
mempunyai reseptor angil terdiri dari 2 komponen besar yaitu AT1 dan AT2. Reseptor AT1
terdapat terutama diotot polos pembuluh darah dan diotot jantung dan AT2 terdapat
dimedula adrenal dan mungkin terdapat SSP. Mekanisme ARB ini adalah menghambat
reseptor angil seperti vasokontriksi, sekresi aldostreon rangsangan saraf simpatis,
pelepasan hormon antidiuretik dan efek sentral.

h. Antagonis Kalsium

Mekanisme kerja pada pemberian antagonis kalsium yaitu menghambat influksi


kalsium pada pembuluh darah antagonis kalsium menimbulkan relaksasi arterior sehingga
dapat menurunkan tekanan darah dan mengambat sakuran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan sehingga mempengaruhi masuknya kalsium ke dalam sel. Relaksasi otot polos
dapat menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah Salah stu contohnya obat
antagonis kalsium adalah verampil dan lain-lain.

i. Vasodilatasi

Salah satu contoh obat vasodilatasi adalah hidralazin dimana bekerja langsung untuk
merelaksasi otot polos arteriol. Sehingga hidralazin dapat menurunkan tekanan darah
karena bekerja pada arteriol (Departemen Farmakologi dan Teraupetik FK UI 2007).

2.4 Captopril

2.4.1 Sifat Fisikokimia Captopril

Captopril, ACE-Inhibitor pertama yang diperdagangkan. Pada pemberian oral,


captopril secara cepat diabsorpsi dan memiliki ketersediaan hayati sekitar 75%. Kosentrasi
puncak dalam plasma terjadi selama 1 jam, kemudiaan obat dibersihkan secara cepat (waktu
paruhnya sekitar 2 jam). Sebagian obat dieliminasi dalam urin (Goodman & Gilmam, 2012).
Rumus kimia dari Captopril:

Gambar 2.4.1 Struktur Kimia Captopril

Rumus molekul : C9H15NO3S


Nama IUPAC : (2S)-1-[(2S)-2-methyl-3-sulfanylpropanoyl] pyrrolidine2-carboxylic acid

Nama Generik : Captopril

Nama Dagang : Acepress, Sapoten, Captensin,Captopril, Casipril, Dexacap, Faemoten,


Forten,Locap, Lotensin, Metopril,Otoryl, Praten, Scantensin,Tenofax,Tensicap.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform (
Anaytullah, 2011).

2.4.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Tujuan penggunaan adalah sebagai terapi pada hipertensi dan renovaskuler.

Indikasi

a. Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat. Captopril dapat dipergunakan sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid.

b. Payuh jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan
digitalis.

Kontraindikasi

ACE-Inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat teratogenik.


Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi ACE-Inhibitor diekskresi melaui ASI dan
berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor diindikasikan
untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus berhati-hati terutama bila ada
hipertensi kalemia, karena ACE-Inhibitor akan memperberat hyperkalemia. Kadar kreatinin ,
maka obat ini harus dihentikan. ACEInhibitor dikontraindiksikan pada stenosis arteri renalis
atau unilateral pada ginjal tunggal (Katzung, 2013).

2.4.3 Farmakokinetik Captopril

Bioavailabilitas oral captopril adalah sekitar 70%, jika ada makanan maka terjadi
penurun penyerapan obat, sehingga obat harus diminum saat perut kosong. obat terikat dengan
plasmaprotein sekitar 30% dan Volume distribusi adalah 0,8 ± 0,2 L / kg, lebih tinggi di CHF.
Cl adalah 0.72 ± 0.08 L / hr / kg terjadi penurunan dosis yang dimetabolisme sekitar 20% dan
menyebabkan disfungsi,terutama untuk captopril disulfida. Ekskresi captopril tidak berubah
adalah 24-38% lebih dari 24 jam. Waktu paruh2.2 ± 0,05 jam pada subyek sehat dan
berkepanjangan di disfungsi ginjal atau CHF (Anderson, 2002).
2.4.4 Farmakodinamik Captopril

Captopril, ACE-Inhibitor, antagonis efek RAAS. RAAS adalah mekanisme


homeostasis untuk mengatur hemodinamik, air dan keseimbangan elektrolit. Selama stimulasi
simpatis atau ketika tekanan darah ginjal atau aliran darah berkurang, renin dilepaskan dari sel-
sel granular juxtaglomerular di ginjal. Dalam aliran darah, renin membelah dan menyebarkan
angiotensinogen untuk ATI, yang kemudian dibelah untuk ATII oleh ACE-Inhibitor. ATII
meningkatkan tekanan darah dengan menggunakan sejumlah mekanisme. Pertama,
merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron perjalanan ke tubulus distal
secara pelan dan tersendat-sendat (DCT) dan mengumpulkan tubulus nefron di mana
meningkatkan natrium dan air reabsorpsi dengan meningkatkan jumlah saluran natrium dan
ATPase natrium-kalium pada membran sel. Kedua, ATII merangsang sekresi vasopresin (juga
dikenal sebagai hormon antidiuretik atau ADH) dari kelenjar hipofisis posterior. ADH
merangsang reabsorpsi air lebih dari ginjal melalui penyisipan aquaporin-2 saluran pada
permukaan apikal sel-sel DCT dan mengumpulkan tubulus. Ketiga, ATII meningkatkan
tekanan darah melalui vasokonstriksi arteri langsung. Stimulasi Tipe 1 ATII reseptor pada sel-
sel otot polos pembuluh darah menyebabkan kaskade kejadian yang mengakibatkan kontraksi
miosit dan vasokonstriksi. Selain efek utama, ATII menginduksi respon haus melalui stimulasi
neuron hipotalamus. ACE-Inhibitor menghambat konversi yang cepat dari ATI untuk ATII dan
memusuhi meningkat Raas-diinduksi tekanan darah. ACE-Inhibitor (juga dikenal sebagai
kininase II) juga terlibat dalam penonaktifan enzimatik bradikinin, vasodilator. Menghambat
deaktivasi bradikinin meningkatkan kadar bradikinin dan dapat mempertahankan efek dengan
menyebabkan peningkatan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (DragBank, 2017).

2.4.5 Efek Samping Captopril

Efek samping dari captopril yang sering terjadi adalah hilangnya rasa (kadang-
kadangjuga penciuman), batuk kering, exanthema ( ruam-ruam pada kulit). Efeknya dapat
ditiadakan oleh indometasin atau NSAID lainnya (Tjay & Rahardja, 2007).

2.5 Hewan Percobaan

2.5.1 Klasifikasi

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus (Vanderlip, 2001: 15).

2.5.2 Karakteristik Hewan Percobaan

Salah satu hewan uji yang sering digunakan adalah mencit. Mencit (Mus musculus)
adalah hewan pengerat (Rodentia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak,
variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiolgisnya terkarakterisasi dengan
baik (Malole, 1989: 94).
DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, S. 2008. 1001 resep herbal. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 3,9.

Depkes RI. 1985. Cara pembuatan simplisia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan
Makanan. Halaman 7-11.

Depkes RI. 1995. Materia medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Halaman 333-337.

Depkes RI. 2000. Parameter standard umum ekstrak tumbuhan obat. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawas Obat dan Makanan. Halaman 3-6, 9-14.

Depkes RI. 2001. Interaki tanaman obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Halaman 225-226.

Dipiro JT & Talbert RL et al. 2008. Pharmacotherapy a Patophysiologic Approach. Seventh


Edition. New York : McGraw-Hill.

Goodman dan Gillman. 2010. Manual farmakologi dan terapi. Penerjemah: Laurence L et al.
Jakarta:ECG. Halaman 443.

Gunawan dan Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam: Farmakognosi. Jilid I. Depok: Penebar
Swadaya. Hal 9.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, editor. Edisi VIII. Jakarta: Selemba Medika. Halaman 26.

Kumoro, A.C. 2015. Teknologi ekstraksi senyawa bahan aktif dari tanaman obat. Yogyakarta:
Plantaxia. Halaman 43-45.

Kristianingsih, I., dan Wiyono, A. S. 2015. Penggunaan infusa daun Alpukat (Persea americana
Mill.) dan ekstrak daun Pandan (Pandanus amarrylli folius Roxb) sebagai peluruh kalsium batu
ginjal secara in Vitro. Jurnal Wiyata: Penelitian Sains dan Kesehatan. 2(1): 93-101.

Lanny dkk. 2006. Stroke. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Malole MBM dan CSU Pramono. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB, 1989.
Mayuni, I Gusti A.O. 2013). Pelatihan Senam lansia Menurunkan Tekanan Darah Di Banjar
Tuka Dalung, tersedia http://www.pps.unud.ac.id, akses Desember 2017.

Nafrialdi. 2007. Antihipertensi. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth editor.
Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Jakarta: Gaya Baru, p.342.

Permadi, A. 2008. Tanaman obat pelancar air seni. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 5, 17.

Sutanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modern; (Hipertensi, Stroke, Jantung,
Kolestrol dan Diabetes). Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Tjay dan Rahardja. 2007. Obat-obatan Penting Khasiat Penggunaan dan Efek Sampingnya.
Jakarta : Elex Media Komputind.

Vanderlip, Lynn Sharon. Mice:Everything about History, Care, Nutrition, Handling and
Behavior. China: Barron‟s Educational Series Inc, 2001.

Yogiantoro M. 2009. Hipertensi Essensial. In: Sudoyo, A.W., et al eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5 th ed. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing. 1079- 1085.

Anda mungkin juga menyukai