Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kematian neonatal masih cukup tinggi dan menjadi masalah

kesehatan baik secara global, regional, maupun di Indonesia walaupun dari tahun

ke tahu menunjukkan penurunan. Di Indonesia pada tahun 2017, Angka Kematian

Neonatal (AKN) berjumlah 15 per 1.000 kelahiran hidup (RISKESDAS 2018).

Secara global 23% dari kematian neonatal dikaitkan dengan asfiksia neonatorum

(Waqar dan Haque, 2012). Menurut World Health Organization (WHO), setiap

tahunnya 120 juta bayi lahir didunia, secara global 4 juta (33 per 1000) bayi lahir

mati dan 4 juta (33 per 1000) lainnya meninggal dalam usia 30 hari (neonatal

lanjut). Kira-kira 3,6 juta (3%) dari 120 juta bayi mengalami asfiksia neonatorum,

hampir 1 juta (27,78%) bayi ini meninggal (Sari, dkk, 2011 ).

Kejadian asfiksia neonatorum masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Indonesia mempunyai 200 juta penduduk dengan angka kelahiran 2,5% per tahun

sehingga diperkirakan terdapat 5 juta kelahiran per tahun. Jika angka kejadian

asfiksia 3-5% dari seluruh kelahiran, diperkirakan 250 ribu bayi lahir dengan

asfiksia lahir per tahun. (Kemenkes RI, 2014).

Secara umum cakupan Angka Kematian Bayi (AKB) di enam tahun terakhir

cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, AKB sebesar 12 per 1000

kelahiran hidup, dengan penyebab terbesanya asfiksia yaitu sebanyak 25%. Kota

Banda Aceh memiliki AKB terendah yaitu sebesar 3 per 1000 penduduk

sedangkan Aceh Barat terbesar yaitu 27 per 1000 penduduk (Dinkes Aceh, 2016).

1
2

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia neonatorum

dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis (Hasan, 2010).

Dampak yang ditimbulkan dari asfiksia sangat banyak, antara lain enselopati

hipoksi iskemik, gagal ginjal akut, respiratory distress, gagal jantung,

enterokolitis, necrotizing enterokolitis. Selain bisa menyebabkan kematian bayi,

dampak jangka panjang pada anak dapat menyebabkan kelainan neurologis dan

retardasi mental (Kosim, 2010).

Hasil penelitian sebelumnya di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya periode

Januari 2011 sampai Juni 2011 didapatkan sebanyak 73,0% dari jenis persalinan

tindakan bayi mengalami asfiksia neonatorum, sedangkan 66,9% dari jenis

persalinan normal bayi tidak mengalami asfiksia neonatorum. Artinya jenis

persalinan tindakan mempunyai risiko 5,471 kali lebih besar terhadap kejadian

asfiksia neonatorum dibandingkan dengan persalinan normal (Neneng, 2011).

Neonatus yang dilahirkan dengan SC (Sectio Caesaera), terutama jika tidak ada

tandanya persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari pengeluaran cairan paru dan

penekanan pada thoraks sehingga mengalami gangguan pernapasan yang

persisten. Jadi, neonatus yang lahir dengan SC mengandung cairan yang lebih

banyak dan udara yang lebih sedikit di dalam parunya selama enam jam pertama

setelah lahir (Fanny, 2015).

Neonatus dengan asfiksia memerlukan perawatan NICU untuk menstabilkan

kondisinya. Lamanya rawatan antara satu bayi dengan bayi yang lain berbeda

tergantung dari keadaan bayi tersebut, banyak faktor yang mempengaruhinya


3

seperti faktor ibu, faktor bayi, faktor persalinan dan faktor plasenta. Pada

penelitian ini akan difokuskan pada faktor persalinan yaitu jenis persalinanan

(pervaginam baik itu spontan, induksi maupun dengan bantuan alat ataupun SC.

Di rumah RSUD Dr. M Soewandhi Surabaya, rata rata perawatan bayi asfiksia

selama 7 hari, akan tetapi apabila disertai kondisi lainnya lama rawatannya bisa

bertambah lama (Neneng, 2011).

Hasil survei awal peneliti di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

berdasarkan 1 tahun terakhir yaitu, pada bulan Januari 2018 sampai dengan

Desember 2018 ada sebanyak 298 neonatus yang mengalami asfiksia dengan

pembagian 196 bayi lahir secara SC dan 102 secara pervaginam (Medical Record

RSUDZA).

Berdasarkan wawancara peneliti dengan perawat ruangan NICU di RSUD

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh bahwa neonatus yang mengalami asfiksia yang

lahir secara SC memerlukan hari rawatan yang lebih lama dibandingkan yang

lahir secara pervaginam. Jumlah hari rawatan biasanya selama 7 hari.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Perbedaan lamanya rawatan neonatus yang mengalami

asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea di NICU Rumah Sakit

Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu Apakah terdapat perbedaan

lamanya rawatan neonatus yang mengalami asfiksia antara persalinan pervaginam


4

dengan sectio caesarea di NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan

lamanya rawatan neonatus yang mengalami asfiksia antara persalinan pervaginam

dengan sectio caesarea di NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia

pada neonatus di NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh.

b. Untuk mengetahui faktor resiko lamanya hari rawatan neonatus dengan

asfiksia di NICU Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan

pengalaman peneliti dalam bidang penelitian keperawatan perioperatif.

Khususnya tentang perbedaan lamanya rawatan neonatus yang mengalami

asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea, pemahaman


5

statistik serta teknik pembuatan laporan penelitian yang baik dan benar.

Sehingga ilmu-ilmu yang telah didapatkan dapat diterapkan baik di

perkuliahan maupun dikehidupan pekerjaan khususnya yang terkait dengan

tingkat ketergantungan pasca bedah.

2. Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana kepustakaan di bagian

keperawatan perioperatif dan menambah pengetahuan mahasiswa tentang

keperawatan praoperatif khususnya tentang perbedaan lamanya rawatan

neonatus yang mengalami asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio

caesarea. Sehingga hasil penelitian dapat dijadikan bahan perbandingan

untuk pengembangan penelitian lain atau penelitian lanjutan khususnya

yang berhubungan dengan kejadian asfiksia.

3. Perawat

Untuk memberikan informasi ataupun referensi tambahan pada tenaga

profesi keperawatan tentang perbedaan lamanya rawatan neonatus yang

mengalami asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea.

Sehingga diharapkan para perawat memiliki pengetahuan yang baik.

4. Institusi Rumah Sakit

Untuk memberikan informasi pada rumah sakit khususnya kepada

penyedia layanan kesehatan tentang perbedaan lamanya rawatan neonatus

yang mengalami asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea

di NICU rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Sehingga dapat dirumuskan perencanaan atau intervensi yang tepat untuk


6

menanggulangi permasalahan tersebut dan tentunya agar dapat

meminimalkan angka kejadian asfiksia.

5. Pasien

Untuk memberikan informasi pada Orangtua pasien khususnya

tentang perbedaan lamanya rawatan neonatus yang mengalami asfiksia

dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea di NICU rumah sakit

umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Sehingga pasien dapat

mengetahui hal tersebut dan dapat melakukan penanggulangan

permasalahan tersebut dan tentunya agar dapat meminimalkan jumlah

kejadian asfiksia tersebut.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian Perbedaan lamanya rawatan neonatus yang mengalami asfiksia

dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea di NICU Rumah Sakit Umum

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh belum pernah diteliti sebelumnya. Namun, ada

beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti:

1. Nila Marwiyah 2016, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara penyakit kehamilan dan jenis persalinan dengan kejadian

asfiksia neonatorum di RSUD dr Dradjat Prawiranegara Serang. Metode

penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan pendekatan cross

sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara penyakit

kehamilan dengan asfiksia tetapi tidak ada hubungan antara jenis

persalinan dengan asfiksia


7

2. Neneng, 2011, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara jenis persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Dr.

M Soewandhie Surabaya. Metode penelitian ini merupakan penelitian

korelasi dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian didapatkan

bahwa ada hubungan antara jenis persalinan denga kejadian asfiksia.

3. Gilang et al 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD

Tugurejo Semarang. Metode penelitian ini merupakan penelitian analitik

dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum

adalah umur ibu, perdarahan anterpartu, berat badan lahir, ketuban pecah

dini, presentasi janin


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

b.1 Lama Rawatan

b.1.1 Pengertian

Lamanya rawatan atau lamanya hari rawat atau LOS (Length of Stay) adalah

menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu periode

perawatan. Satuan untuk lama rawat adalah hari, sedangkan cara menghitung lama

rawat adalah dengan menghitung selisish antara tanggal pulang (keluar dari rumah

sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan tanggal masuk rumah sakit.

Umumnya data tersebut tercantum dalam formulir ringkasan masuk dan keluar di

Rekam Medik (Indradi, 2011).

Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit

dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara

pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda. LD menunjukkan

berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode perawatan.

Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung

selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun mati) dengan

tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar

pada hari yang sama – lama dirawatnya dihitung sebagai 1 hari dan Pasien yang

belum pulang atau keluar belum bisa dihitung lama dirawatnya (Indradi, 2007;

Fema S., 2009).


9

Lama hari rawat merupakan salah satu indikator mutu pelayanan medis

yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien (quality of patient care).

Sedangkan cara perhitungan rata-rata lama hari rawat menurut Departemen

Kesehatan RI (2005), adalah sebagai berikut :

Rata-rata lama hari rawat (Average Lenght of Stay) = X:Y

Dimana :

X : Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di rumah sakit

pada suatu periode tertentu

Y : Jumlah pasien rawat inap yang keluar ( hidup dan mati ) di rumah sakit pada

periode waktu yang sama

b.1.2 Faktor yang mempengaruhi lamanya rawatan

Beberapa faktor baik yang berhubungan dengan keadaan klinis pasien,

tindakan medis, pengelolaan pasien di ruangan maupun masalah adminstrasi

rumah sakit bisa mempengaruhi terjadinya penundaan pulang pasien. Ini akan

mempengaruhi LOS. Terutama untuk pasien yang memerlukan tindakan medis

atau pembedahan, faktor-faktor yang berpengaruh tersebut antara lain;

1. Komplikasi atau infeksi luka operasi

2. Jenis Operasi

3. Jenis kasus atau penyakit

4. Tenaga Dokter Yang Menangani atau pelaksana operasi

5. Hari masuk rumah sakit

6. Hari masuk rumah sakit


10

7. Umur pasien

8. Pekerjaan

9. Jenis penanggung biaya

10. Alasan keluar dari rumah sakit

11. Pemeriksaan penunjang medis

12. Pemilikan, kebijakan dan administrasi rumah sakit

13. Kelas rawatan yang dipilih

b.2 Asfiksia Neonatorum

b.2.1 Pengertian

Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas

spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan

karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut

(Manuaba, 2012). Asfiksia neonaturum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak

dapat bernapas spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer,

2010).

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan

dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh

hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor

yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-

akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan

secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan


11

mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut

yang mungkin timbul (Manuaba, 2012).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa asfiksia

adalah bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan sehingga

dibutuhkan penanganan segera setelah bayi lahir agar tidak menimbulkan akibat

buruk dalam kelangsungan hidupnya.

b.2.2 Klasifikasi
Menurut Mochtar (2015), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam,

yaitu sebagai berikut :

a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit

kebiru- biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif,

bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik.

b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,

tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung

irreguler, prognosis jelek.

Berikut ini adalah tabel APGAR score untuk menentukan asfiksia (Ghai,

2010).

Tabel 2.1 Nilai APGAR

Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur


Denyut jantung Tidak ada <100 x / menit >100 x/menit
Warna kulit Biru/pucat Ekstremitas Kemerahan
merah, badan
pucat
12

Tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi


Refleks Tidak ada Lemah/lambat Kuat

Menurut Mochtar (2015) setiap bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai

APGAR, tabel tersebut di atas dapat digunakan untuk menentukan tingkat atau

derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau asfiksia berat dengan klasifikasi

sebagai berikut:

1. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3)

2. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6)

3. Asfiksia ringan/normal (nilai APGAR 7-10)

b.2.3 Patofisilogi

Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada

masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia

ringan yang bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang

hemoreseptor pusat pernapasan untuk terjadinya usaha pernapasan yang pertama

yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan yang teratur. Pada penderita

asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode

apneu. Pada tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung

(bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas

(flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak

menunjukan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan

pertukaran gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya

menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan

terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik,
13

selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan

kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana

kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa (squele)

(Depkes RI, 2005).

b.2.4 Penanganan

Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin.

Resusitasi dapat dilihat dariberat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara

menghitung nilai APGAR (Novita, 2011).

Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu

diingat adalah :

a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran

pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu

agar oksigen dan pengeluaran CO2berjalan lancar.

b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang

menunjukan usaha pernapasan lemah.

c. Melakukan koreksi terhadap asidosisyang terjadi.

d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia.

Penatalaksanaan penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa.

a. Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10)

Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian

lingkungan suhu yang baik pada bayi, pembersihan jalan napas bagian
14

atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan memberikan

rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung turun

untuk sementara waktu dapat dimasukan kedalam inkubator.

b. Asfiksia sedang (skor apgar 4-6)

Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian

membersihkan jalan nafas. Melakukan stimulasi agar timbul refleks

pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan,

ventilasi aktif harus segera dimulai.Ventilasi yang aktif yang sederhana

dapat dilakukan secara “frog brething”. Cara tersebut dikerjakan dengan

meletakan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit.

Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam posisi dorsofleksi kepala.

Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan rangsangan pernapasan

dengan menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil juga maka

pasang penlon masker kemudian di pompa 60x/menit. Bila bayi sudah

mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi natrium

bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose

40% sebanyak 1-2 cc/kg berat badan dan diberikan melalui umbilikalis.

c. Asfiksia berat (skor apgar 0-3)

Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas

sambil memompa jalan nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5

liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang ETT (endo tracheal

tube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi

bernafas namun masih sianosis maka berikan tindakan kolaborasi berupa


15

natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc dan dektrose 40% sebanyak 4cc.

Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk ICU dan infus terlebih

dahulu.

b.2.5 Faktor resiko

Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan

sirkulasi darah uteroplasenter sehingga oksigen ke bayi menjadi berkurang.

Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat

berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir (Prawiroharjo, 2005). Beberapa faktor

tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir,

diantaranya faktor Ibu, faktor plasenta, faktor bayi, dan faktor persalinan.

a. Faktor ibu

Yang termasuk dalam faktor ibu antara lain, umur ibu terlalu muda atau

terlalu tua, hipertensi dalam kehamilan, jumlah paritas, anemia,

amnionitis, demam saat hamil, dan kehamilan postdate.

b. Faktor plasenta

Plasenta merupakan akar janin untuk menghisap nutrisi dari ibu dalam

bentuk O2, asam amino, vitamin, mineral dan zat lain dan membuang

sisa metabolisme janin dan O2. Pertukaran gas antara ibu dan janin

dipengaruhi oleh luas kondisi plasenta. Gangguan pertukaran gas di

plasenta yang akan menyebabkan asfiksia janin. Fungsi plasenta akan

berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 dan

memberikan nutrisi pada metabolisme janin. Asfiksia janin terjadi bila

terdapat gangguan mendadak pada plasenta. Kemampuan untuk


16

transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga metabolisme

janin berubah menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan PH darah turun

(Mochtar, 2015). Dapat terjadi pada situasi lilitan tali pusat, tali pusat

pendek, simpul tali pusat dan prolapsus tali pusat.

c. Faktor Bayi

1. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan).

2. BBLR

3. Kelainan kongenitas

4. Air ketuban bercampur mekonium

d. Faktor persalinanan

b.3 Persalinan Pervaginam

b.3.1 Pengertian

Persalinan pervaginam merupakan persalinan dimana janin dilahirkan

melalui vagina. Persalinan pervaginam terbagi 2, yaitu persalinan spontan dan

normal. Persalinan spontan merupakan proses persalinan lewat vagina yang

berlangsung tanpa menggunakan alat maupun obat tertentu, baik itu induksi,

vakum atau metode lainnya, dengan persentasi belakang kepala maupun bokong

(sungsang). Persalinan normal merupakan persalinan melalalui vagina dengan

menggunakan alat maupun obat dengan presentasi belakang kepala (Manuaba,

2012).

Persalinan merupakan proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan

cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan belakang kepala berlangsung
17

dalam 18 – 24 jam tanpa komplikasi baik pada ibu ataupun pada janin

(Winkjosastro, 2005).

b.3.2 Faktor-faktor penyebab dimulainya persalinan

Beberapa teori yang menyatakan kemungkinan proses persalinan menurut

Manuaba (2012).

1. Teori Estrogen-Progestero

Pada 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai, terjadi penurunan kadar

hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai

penenang otot-otot polos rahim dan penurunan progesterone akan

menyebabkan konstriksi pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar

progesteron turun.

2. Teori Oksitosin

Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyebabkan

oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise part posterior dapat

menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks.

3. Teori Distensi Rahim

Rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia otot-otot

rahim, sehingga mengganggu sirkulasi utero plasenta.

4. Teori Iritasi Mekanik

Di belakang serviks terletak ganglion servikal (Fleksus Frankenhauser).

Bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin, akan

timbul kontraksi uterus.

5. Teori Prostaglandin
18

Konsentrasi prostaglandin yang dikeluarkan oleh desidua meningkat

sejak umur hamil 15 minggu. Prostaglandin dianggap dapat memicu

persalinan, semakin tua umur kehamilan maka konsentrasi prostaglandin

makin meningkat sehingga dapat menimbulkan kontraksi otot rahim

sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan.

6. Teori Hipotalhamus-Pituitari dan Glandula Suprarenal

Teori ini menunjukkan bahwa pada kehamilan dengan anensefalus sering

terjadi keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipothalamus dan

glandula suprarenal yang merupakan pemicu terjadinya persalinan.

7. Induksi Persalinan (Induction of Labour)

Partus yang ditimbulkan dengan jalan :

a. Memecahkan ketuban ( amniotomi)

Pemecahan ketuban akan mengurangi keregangan otot rahim

sehingga kontraksi segera dapat dimulai.

b. Induksi persalinan secara hormonal/kimiawi

Dengan pemberian oksitosin drip/prostaglandin dapat

mengakibatkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi

dapat dikeluarkan.

c. Induksi persalinan dengan mekanis

Dengan menggunakan beberapa gagang laminaria yang

dimasukkan dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang

pleksus frankenhauser

d. Induksi persalinan dengan tindakan operasi


19

Dengan cara seksio caesaria.

b.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan

Menurut Mochtar (2015), faktor yang mempengaruhi persalinan

diantaranya:

1. Passage (Jalan Lahir)

Merupakan jalan lahir yang harus dilewati oleh janin terdiri dari

rongga panggul, dasar panggul, serviks dan vagina. Syarat agar

janin dan plasenta dapat melalui jalan lahir tanpa ada rintangan,

maka jalan lahir tersebut harus normal.

2. Power

Power adalah kekuatan atau tenaga untuk melahirkan yang terdiri

dari his atau kontraksi uterus dan tenaga meneran dari ibu. Power

merupakan tenaga primer atau kekuatan utama yang dihasilkan oleh

adanya kontraksi dan retraksi otot-otot rahim. Kekuatan yang

mendorong janin keluar (power) terdiri dari :

a. His (kontraksi otot uterus)

His adalah kontraksi uterus karena otot-otot polos rahim bekerja

dengan baik dan sempurna. Pada waktu kontraksi otototot rahim

menguncup sehingga menjadi tebal dan lebih pendek. Kavum

uteri menjadi lebih kecil serta mendorong janin dan kantung

amneon ke arah segmen bawah rahim dan serviks.

b. Kontraksi otot-otot dinding perut

c. Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengejan


20

d. Ketegangan dan ligmentous action terutama ligamentum

rotundum

3. Passanger

a. Janin

Bagian yang paling besar dan keras dari janin adalah kepala

janin. Posisi dan besar kepala dapat mempengaruhi jalan

persalinan.

b. Sikap (habitus)

Menunjukkan hubungan bagian-bagian janin dengan sumbu

janin, biasanya terhadap tulang punggungnya. Janin umumnya

dalam sikap fleksi, di mana kepala, tulang punggung, dan kaki

dalam keadaan fleksi, serta lengan bersilang di dada.

c. Letak janin

Letak janin adalah bagaimana sumbu panjang janin berada

terhadap sumbu ibu, misalnya letak lintang di mana sumbu janin

sejajar dengan dengan sumbu panjang ibu; ini bisa letak kepala,

atau letak sungsang.

d. Presentasi

Presentasi digunakan untuk menentukan bagian janin yang ada

di bagian bawah rahim yang dapat dijumpai pada palpasi atau

pemeriksaan dalam. Misalnya presentasi kepala, presentasi

bokong, presentasi bahu, dan lain-lain.

e. Posisi
21

Posisi merupakan indikator untuk menetapkan arah bagian

terbawah janin apakah sebelah kanan, kiri, depan atau belakang

terhadap sumbu ibu (maternal pelvis). Misalnya pada letak

belakang kepala (LBK) ubun-ubun kecil (UUK) kiri depan,

UUK kanan belakang.

f. Placenta

Placenta juga harus melalui jalan lahir, ia juga dianggap sebagai

penumpang atau pasenger yang menyertai janin namun placenta

jarang menghambat pada persalinan normal.

4. Psikis (psikologis)

Perasaan positif berupa kelegaan hati, seolah-olah pada saat itulah

benar-benar terjadi realitas kewanitaan sejati yaitu munculnya rasa

bangga bisa melahirkan atau memproduksi anaknya. Mereka seolah-

olah mendapatkan kepastian bahwa kehamilan yang semula

dianggap sebagai suatu keadaan yang belum pasti sekarang menjadi

hal yang nyata.

5. Penolong

Peran dari penolong persalinan dalam hal ini Bidan adalah

mengantisipasi dan menangani komplikasi yang mungkin terjadi

pada ibu dan janin. Proses tergantung dari kemampuan skill dan

kesiapan penolong dalam menghadapi proses persalinan.


22

b.3.4 Tanda-Tanda Persalinan

Menurut Sumarah (2009) membagi tanda persalinan sudah dekat, meliputi :

1. Terjadi his persalinan

His atau kontraksi uterus yang terjadi teratur, intervalnya makin

pendek dan kekuatannya makin besar, menimbulkan

ketidaknyamanan yang disertai rasa sakit

pada pinggang yang menjalar ke depan di sekitar abdomen bawah

berlanjut terus semakin meningkat frekuensinya, mempunyai

pengaruh terhadap perubahan serviks dan makin beraktivitas maka

kekuatannya makin bertambah.

2. Pengeluaran lendir dan darah (show)

Keluaran lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena

robekan robekan pada kapiler pembuluh darah serviks yang

diakibatkan oleh pendataran dan pembukaan serviks.

3. Pendataran dan pembukaan serviks

Pendataran serviks adalah pemendekan dari kanalis servikalis yang

semula berupa sebuah saluran yang panjang 1-2 cm menjadi suatu

lubang dengan pinggir yang tipis, sedangkan pembukaan serviks

dalah pembesaran dari ostium externum yang berupa lubang dengan

diameter beberapa milimeter menjadi lubang yang dapat dilalui bayi

kira-kira 10 cm.

4. Pengeluaran cairan
23

Ketuban pecah menimbulkan pengeluaran cairan. Sebagian besar

ketuban baru pecah menjelang pembukaan lengkap, dengan

pecahnya ketuban diharapkan persalinan akan berlangsung dalam

waktu 24 jam.

5. Engagement presenting part

Kepala janin akan mengalami engagement atau terbenam ke dalam

panggul. Pada primigravida peristiwa ini terjadi 3-4 minggu

sebelum proses persalinan dimulai.

6. Pembentukan tonjolan ketuban

Pembentukan tonjolan ketuban atau cairan amnion / ketuban yang

terperangkap dalam serviks di depan presenting part, tonjolan ini

terasa tegang pada saat his dan dapat mengalami ruptur. Ruptura

selaput amnion dapat terjadi setiap saat dalam proses persalinan,

biasanya terjadi pada akhir kala satu persalinan.

7. Mekanisme Persalinan

Menurut Prawirohardjo (2005), pada minggu- minggu terakhir

kehamilan, segmen bawah lahir meluas untuk menerima kepala

janin, terutama pada primipara. Supaya janin dapat dilahirkan, janin

harus beradaptasi dengan jalan lahir selama proses penurunan.

Putaran dan penyesuaian lain yang terjadi pada proses kelahiran

disebut mekanisme persalinan, yang terdiri dari :

a. Engagement
24

Apabila diameter biparietal kepala melewati pintu atas panggul,

kepala dikatakan telah menancap (engaged) pada pintu atas

panggul. Pada wanita multipara hal ini terjadi sebelum

persalinan aktif dimulai karena otot-otot abdomen masih tegang,

sehingga bagian presentasi terdorong ke dalam panggul.

b. Penurunan (decent)

Penurunan adalah gerakan bagian presentasi melewati panggul.

Penurunan terjadi akibat tiga kekuatan, yaitu :

o tekanan dari cairan amnion

o tekanan langsung kontraksi fundus pada janin

o kontraksi diafragma dan otot-otot abdomen ibu pada tahap

kedua persalinan

o pada kehamilan pertama, penurunan berlangsung lambat,

tetapi kecepatan sama.

c. Fleksi

Segera setelah kepala yang turun tertahan oleh serviks, dinding

panggul, atau dasar panggul, dalam keadaan normal fleksi

terjadi dan dagu didekatkan ke arah dada janin. Dengan fleksi,

suboksipitobregmatika yang berdiameter lebih kecil (9,5 cm)

dapat masuk ke dalam pintu bawah panggul.

d. Putaran Paksi Dalam


25

Putaran paksi dalam dimulai pada bidang setinggi spina

iskiadika, tetapi putaran ini belum selesai sampai bagian

presentasi mencapai panggul bagian bawah.

e. Ekstensi

Saat kepala janin mencapai perineum, kepala akan defleksi ke

arah anterior oleh perineum. Mula-mula oksiput melewati

permukaan bawah simfisis pubis, kemudian kepala muncul

keluar akibat ekstensi, pertama-tama oksiput, kemudian wajah

dan akhirnya dagu.

f. Restitusi dan putaran paksi luar

Setelah kepala lahir, bayi berputar hingga mencapai posisi yang

sama dengan saat ia memasuki pintu atas, gerakan ini dikenal

sebagai restitusi. Putaran 450 membuat kepala janin kembali

sejajar

b.4 Sectio Caesarea

b.4.1 Pengertian

Sectio Caesarea menurut adalah suatu persalinan buatan dimana janin

dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan

syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.  (Mochtar,

2015) .

b.4.2 Klasifikasi

Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:


26

a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan

dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus (Prawiroharjo, 2005).

Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran

dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa

keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak

menimbulkan perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan

dalam mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan

luka insisi dan dapat menimbulkan perdarahan Arah insisi melintang

(secara Kerr) dan insisi memanjang (secara Kronig) (Manuaba, 2012).

b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau

korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak

dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada

vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada

segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan

kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2013).

Teknik ini juga memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi

relatif sulit, kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan

berikutnya dan kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding

abdomen lebih besar (Manuaba, 2012).

c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus

setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan

tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau
27

pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan (Cunningham

dkk, 2005).

d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior

ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam

praktek obstetri (Charles, 2013).

e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi

peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung

kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan

insisi di segmen bawah (Charles, 2013).

b.4.3 Indikasi

Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu

persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan ibu),

psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu faktor

tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan

dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin jika

keadaan tersebut berlanjut (Manuaba, 2012).

Indikasi untuk sectio caesarea antara lain meliputi:

1. Indikasi Ibu

a. Usia

b. Tulang Panggul

c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea

d. Faktor hambatan jalan lahir

e. Kelainan kontraksi rahim


28

2. Indikasi Janin

a. Ancaman gawat janin (fetal distress)

b. Bayi besar (makrosemia)

c. Letak sungsang

d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta

e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat

Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang

lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan

keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan

aman (Cunningham dkk, 2005).

b.4.4 Kontra indikasi

Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin

sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.

Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan

pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal

mungkin (Cunningham dkk, 2005).

b.4.5 Komplikasi

Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya

(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan

dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani

seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan

tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka (Manuaba,

2012; Bobak. 2004).


29

Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai

38,50C (Heler, 2007). Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan

sebuah diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas

febris merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio

seksarea (Rayburn, 2001).

Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai kehilangan

darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat kegagalan

mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental bed akibat

atoni uteri. Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan hipoksia, depresi

pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma persalinan (Mochtar, 2015).

b.5 Kerangka Teori

Persalinan Secara Persalinan Secara


Pervaginam Sectio Caesarea

Asfiksia

Lama Komplikasi Prognosis


Rawatan

Gambar 2.1 Kerangka teoritis (Manuaba, 2012 & Hasan, 2010).


30

BAB III
KERANGKA KERJA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Kerangka konsep umumnya disajikan dalam bentuk bagan, sehingga jelas

hubungan antar variabelnya. Uraian dalam kerangka konsep menjelaskan

hubungan dan keterkaitan antar variabel penelitian (Saryono & Setiawan, 2011).

Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Asfiksia Pada
Persalinan pervaginam Lamanya rawatan
neonatus yang mengalami
Asfikisa Pada Sectio asfiksia
Caesarea

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.1.1 Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (Variabel Independent)

Variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2011) dan

disebut juga variabel terikat atau variabel pengaruh (Notoatmodjo, 2012).


31

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah asfiksia pada persalinan pervaginam

dan asfiksia pada Sectio Caesarea.

b. Variabel terikat (Variabel Dependent)

Variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2011) dan

disebut juga variabel terikat atau variabel terpengaruh (Notoatmodjo, 2012).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah lamanya rawatan neonatus yang

mengalami asfiksia.

3.2 Hipotesa Penelitian

Hipotesa adalah jawaban yang bersifat sementara dari rumusan masalah atau

pernyataan penelitian, sampai terbukti setelah data terkumpul (Arikunto, 2010).

Rumusan hipotesa pada penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada perbedaan antara lamanya rawatan neonatus yang

mengalami asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caeserea

di rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik sehingga

dapat diamati atau diukur (Saryono & Setiawan, 2011). Adapun definisi

operasional dalam penelitian ini adalah:


32

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Definisi
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Independen

Asfiksia Asfiksia yang Wawancara APGAR Score 7-10 : Bayi normal Ordinal
Pada terjadi pada bayi atau asfiksia ringan
Persalinan yang lahir 4-6 : Asfiksia
pervaginam melalui vagina sedang
baik secara 0-3 : Asfiksia berat
spontan, induksi
maupun
menggunakan
alat
Asfiksia Asfiksia yang Wawancara APGAR Score 7-10 : Bayi normal Ordinal
Pada Sectio terjadi pada bayi atau asfiksia ringan
Caesarea yang lahir 4-6 : Asfiksia
melalui melalui sedang
suatu insisi pada 0-3 : Asfiksia berat
dinding perut
dan dinding
rahim

Dependen
Lamanya Jumlah hari Perhitungan Rekam medis Lamanya rawatan Rasio
rawatan rawatan neonatus yang
neonatus neonatus yang mengalami
yang mengalami asfiksia.
mengalami asfiksia di NICU
asfiksia dari awal masuk
sampai pulang.
33

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional

yaitu untuk mengetahui perbedaan lamanya rawatan neonatus yang mengalami

asfiksia dengan persalinan pervaginam dan sectio caesarea di NICU rumah sakit

umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Saryono, 2011). Dalam penelitian ini populasinya adalah neonatus

yang mengalami asfiksia yang dirawat di NICU terhitung mulai Januari 2017 s/d

Desember 2017 di rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sebanyak 298

pasien.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo, 2012). Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada

penelitian ini adalah non probability sampling. Non probability sampling adalah

pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas kemungkinan yang dapat

diperhitungkan, tetapi semata-mata hanya berdasarkan kepada segi-segi

kepraktisan belaka (Notoatmodjo, 2012).


34

Menurut Saryono (2011) non probalility sampling memiliki beberapa

teknik, yaitu: quota sampling, consecutive sampling, convenient sampling,

judgmental sampling/purposive sampling dan accidental sampling. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling yaitu peneliti

menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang

sesuai dengan tujua penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah neonatus yang

mengalami asfiksia. Pada penelitian ini sampelnya adalah neonatus yang

mengalami asfiksia yang di rawat di NICU.

a. Kriteria Inklusi

1. Neonatus dengan asfiksia sedang (APGAR score 4-6)

2. Neonatus cukup bulan

b. Kriteria Ekslusi

1. Neonatus dengan penyakit penyerta

2. Neonatus yang meninggal sebelum dipulangkan

Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus Slovin (Sugiyono, 2013)

yaitu:

Keterangan :

n = ukuran/ jumlah sampel


N = ukuran populasi
35

e = error level, 15% atau 0,15


Berdasarkan rumus perhitungan sampel tersebut, didapatkan jumlah sampel

minimal dalam penelitian ini adalah 38 responden, yaitu 19 neonatus yang lahir

dengan persalinan pervaginam dan 19 neonatus yang lahir secara SC.

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini di NICU rumah sakit Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh,

dengan waktu pengumpulan datanya dilakukan pada tanggal 10 Juni s/d 15 Juli

2019.

4.4 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan, dengan prosedur:

a. Tahap persiapan pengumpulan data

Persiapan pengumpulan data dilakukan melalui prosedur admistrasi

dengan cara mendapatkan izin dari ketua progam studi D-IV Keperawatan

dan izin pengambilan data dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh.

b. Tahap melakukan pengumpulan data

Pengambilan data dilakukan denga prosedur :

1. Peneliti memberitahukan kepada Direktur Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dan penanggung jawab lainnya akan

melakukan penelitian.

2. Peneliti meminta izin kepada kepala ruang NICU dengan

memberitahukan maksud dan tujuan penelitian.


36

3. Peneliti mencari bayi yang mengalami asfiksia sedang.

4. Peneliti melihat buku rawatan dan melakukan wawancara dengan

orang tua bayi lalu mencatat data demografi meliputi umur,

pendidikan, pekerjaan ibu pasien, dan riwayat kehamilan. Peneliti

menghitung lamanya rawatan rata-rata dibedakan berdasarkan tindakan

persalinannya (normal atau SC).

5. Setelah data selesai didapatkan, peneliti melapor kembali pada

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

bahwa pengambilan data telah selesai dilakukan.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini, penelitian menggunakan rekam medis dan

kuesioner berisi informasi mengenai identitas, usia, pendidikan, pekerjaan,

riwayat kehamilan, usia kehamilan, metode melahirkan dan lama rawatan

neonatus.

4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data adalah upaya mengubah data yang telah dikumpulkan

menjadi informasi yang dibutuhkan (Supardi & Rustika, 2013). Langkah-langkah

proses pengolahan data dengan komputer:

1. Editing adalah pemeriksaan jawaban responden pada kuesioner yang

mencakup kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan, keseragaman

ukuran, dan sebagainya sebelum diberi kode penomoran. Dalam

penelitian ini peneliti telah memeriksa jawaban responden pada


37

kuesioner, setelah semua jawaban responden sesuai dan lengkap baru

peneliti melangkah ke proses berikutnya.

2. Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf pada

kuesioner tertutup atau semi tertutup menurut macamnya menjadi

bentuk angka untuk pengolahan data komputer. Dalam penelitian ini

peneliti mengubah pendidikan, pekerjaan, riwayat kehamilan, usia

kehamilan dan metode melahirkan menjadi bentuk angka.

3. Data File adalah pembuatan progam pengolahan data komputer.

Dalam penelitian ini, peneliti membuat satu file program SPSS berisi

data mengenai penelitian ini.

4. Entry data adalah pengetikan kode jawaban responden pada kuesioner

ke dalam progam pengolahan data. Peneliti mengetikkan kode jawaban

responden ke dalam program SPSS.

5. Cleaning data adalah pembersihan data hasil entry data agar terhindar

dari ketidaksesuaian dengan koding jawaban responden pada

kuesioner. Peneliti melakukan pengecekan akhir untuk mencegah

ketidaksesuaian dengan koding.

4.7 Analisa Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang digunakan terhadap tiap variabel dari

hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012). Analisa ini dilakukan dengan uji statistik

deskriptif untuk mengetahui distribusi frekuensi. Statistik deskriptif adalah


38

statistik yang berfungsi untuk mendiskripsikan atau memberi gambaran terhadap

objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa

melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku umum, cara penyajian

datanya menggunakan distribusi frekuensi (Sugiyono, 2013).

Data yang didapat dari pengisian kuesioner dianalisa secara deskriptif,

kemudian menghitung presentase menggunakan rumus distribusi frekuensi, yaitu:

Keterangan

P = presentase

= frekuensi teramati

N = jumlah responden menjadi sampel

100% = bilangan tetap

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi kedua

variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif (Saryono &

Setiawan, 2011). Analisa bivariat penelitian ini menggunakan uji chi-square

menggunakan software komputer. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan nilai

alpha 0,05. Dikatakan signifkan apabila ada perbedaan yang bermakna jika p-

value ≤ 0.05 maka Ho ditolak dan jika nilai p-value > 0.05 maka Ho diterima.
39

4.8 Etika Penelitian

Penelitian keperawatan pada umumnya melibatkan manusia sebagai subjek

penelitian. Sehingga etika penelitian merupakan menjadi sangat penting untuk

diperhatikan dan dapat memberikan jaminan bahwa keuntungan yang diperoleh

dari penelitian jauh melebihi efek samping yang ditimbulkan (Dharma, 2011).

Menurut (Nursalam, 2011) secara umum prinsip etika dalam penelitian

dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai

hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.

1) Prinsip Manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

b. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,

tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apapun.

c. Risiko (benefits ratio)

Peneliti harus berhati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

2) Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)


40

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak

memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak,

tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya, jika mereka seorang klien.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right

to full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.

c. Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed

consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya

akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu

3) Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair

treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikut-sertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari

penelitian.
41

b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)

dan rahasia (confidentiality).

Pada penelitian ini, peneliti sudah melewati semua tahapan etika penelitian

dengan memperhatikan prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan

prinsip keadilan. Dalam prinsip manfaat, peneliti telah memastikan bahwa

responden bebas dari penderitaan, bebas dari eksploitasi dan bebas dari resiko.

Dalam prinsip menghargai hak-hak subjek, peneliti telah memberikan informed

consent pada orang tua pasien, sedangkan dalam prinsip keadilan peneliti telah

menjamin bahwa responden mendapatkan hak yang sama dalam hal pengobatan

dan semua hasil penelitian ini bersifat rahasia dan hanya dapat diakses oleh

peneliti.

Anda mungkin juga menyukai