Anda di halaman 1dari 19

MATERI PELATIHAN

Behaviorisme dan Perkembangannya


Oleh: Ign. Dharta R. Wijaya, S.Sos., M.Pd

Teori mengenai belajar pertama kali digunakan dalam paradigma perilaku sehingga sampai hari ini
pun belajar selalu diasosiasikan dengan adanya perubahan perilaku yang dapat diamati. Anak
didik kemudian dipandang sebagai individu yang pasif dan siap untuk dibentuk (shape)
perilakunya. Tentu ada kontroversi mengenai pandangan ini, khususnya bagi para
developmentalist modern yang memandang anak sebagai individu yang aktif. Belum lagi bila
diskursus ini dikembangkan pada aspek internal setiap individu manusia maka semakin tajam pula
perbedaan dalam cara memandang seperti apa belajar itu.
Dalam dunia pendidikan sendiri, tujuan-tujuan yang bersifat intruksional dalam praktiknya di
sekolah memang selalui diwarnai oleh paradigma perilaku sehingga tema ini dapat dianggap selalu
pantas untuk dikaji. Terlepas dari benar atau salahnya pandangan ini, maka tulisan ini diharapkan
dapat memberikan kajian sederhana mengenai behaviorisme, teori serta aplikasinya. Selain itu
juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan kuliah yang diberikan dalam rangka memahami
behaviorisme.

Dasar Filosofis
Kajian Behaviorisme memberikan warna tersendiri dalam perkembangan disiplin ilmu psikologi
dimana obyek material dari ilmu ini jelas adalah manusia. Sebagai salah satu mashab tersendiri
dalam ilmu psikologi, behaviorisme berkembang dalam jalurnya sendiri sendiri. Psychological
behaviorism menjadi suatu program studi tersendiri di dalam psikologi yang bertujuan untuk
menjelaskan perilaku manusia dan nonmanusia dalam koridor; stimulus fisik yang bersifat
ekternal, respon-responnya, sejarah belajarnya dan reinforcement yang berlaku bagi beberapa
jenis perilaku. Psychological behaviorism dipresentasikan dalam hasil karya Ivan Pavlov (1849-
1936), Edward Thorndike (1874-1949), dan juga Watson. Hasil karya yang kemudian dianggap
lengkap dan sangat berpengaruh diperoleh dari penelitian B. F. Skinner (1904-90) mengenai
schedules of reinforcement (Bechtel, Abrahamsen, and Graham, 1998, hal. 15-17).
Akar sejarah dari Psychological behaviorism menurut Smith (Smith 1986) menjadi bagian yang
tidak terlepas dari keberadaan asosiasi klasik dari para penganut empirisme di Inggris, khususnya
John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-76). Teori asosiasi klasik menganggap bahwa
intelligent behavior adalah hasil dari belajar asosiatif. Sebagai hasil dari proses asosiasi atau
membandingkan antara pengalaman perseptual (stimulus, ide, dan pikiran), manusia dan
nonmanusia memperoleh pengetahuan mengenai lingkungan dan bagaimana cara mereka
bertindak.

Perkembangan Paradigma
Fase awal perkembangan paradigma perilaku, dimulai dengan adanya revolusi pendekatan
psikologis dari Watson pada tahun 1913. Ia menerbitkan “behavioral manifesto" dan kemudian
menyebut pendekatakan baru ini sebagai: Behaviorism (Watson, 1930).
1. Classical Behaviorism: S – R

Revolusi dari Watson ini dikenal dengan model S-R atau penjelasan terjadinya perilaku
dalam pengertian antecedent stimulus (S) yang dapat diamati (observable) yang
kemudian menggerakkan adanya respon (R) yang dapat diamati. Behaviorisme Klasik lebih
jauh lagi bertujuan untuk memprediksi dan mengontrol perilaku yang dapat diamati.
Dalam psikogi, pemberian stimulus harus ditentukan sehingga dapat diprediksi responnya.
Namun ada juga ahli yang berpendapat bahwa behaviorisme klasik ini muncul sebagai
perlawanan dari aliran strukturalisme dan fungsionalisme yang semakin meluas.
2. Neo Behaviorism: Mediational: S – O – R
Stimulus dan respon dalam praktiknya tidak selalu berkorelasi seperti yang dinyatakan dalam
model S – R dan juga tidak mudah mengakomodasikan terminology-terminologi yang
subyektif dalam menjelaskan berbagai kondisi di dalam kita. Sebagai konsekuensinya
menurut Turner (Turner, M. B., 1967) peneliti-peneliti di awal tahun 1930 mulai
meninggalkan model S-R dan mengembangkan bentuk baru. Bentuk baru ini memasukkan
hal-hal yang tidak dapat diamati dalam pengembangan teorinya. Secara teoretis kemudian
diungkapkan dalam variable organismik (O) yang dimasukkan diantara stimulus yang dapat
diamati(S) dan respon yang terlihat (R). Hal-hal yang tidak dapat diamati dari organisme
kemudian dapat diketahui melalui media stimulus dan respon yang terlihat. Bentuk baru dari
fase ini kemudian disebut sebagai ‘meditational S - O - R neobehaviorism’.
3. Skinnerian: Behavior Analysis
Teori Operant Conditioning yang dianggap lengkap dan sangat berpengaruh dari B. F. Skinner
(1904-90) bagi para psikolog di Amerika pada tahun 1933 kemudian memunculkan
terminologi baru dalam perkembangan behaviorisme (dalam Bechtel, Abrahamsen, and
Graham, 1998, hal. 27-35). Tiga komponen dalam fase Behavior Analysis diturunkan dari
hasil karya Skinner, yaitu:
1. experimental analysis of behavior
Analisis eksperimen dari perilaku dapat dipahami sebagai basic atau proses
fundamental yang mempengaruhi perilaku individual organism. Proses fundamental itu
meliputi; reinforcement, punishment, avoidance, escape, discrimination,
generalization, acquisition, dan extinction.
2. applied analysis of behavior
Analisis aplikasi perilaku adalah aplikasi yang sistematis dari teknologi dan prinsip-
prinsip perilaku di luar laboratorium. Teknologi dan prinsip-prinsip tersebut
diaplikasikan untuk memecahkan persoalan-persoalan tertentu dalam setting remedial,
misalnya institusi, dalam setting pendidikan, misalnya di kelas atau dalam konteks
sosial yang lebih luas seperti komunitas, misalnya dalam program konservasi energi.
Dalam praktiknya, prinsip-prinsip baru kadang ditemukan ketika diaplikasikan.
3. conceptual analysis of behavior
Analisis konseptual perilaku adalah filosofi, teori mengenai permasalahan subyek dan
metode-metode dalam analisa perilaku. Filsafat ilmu yang mendasari konsep analisa
perilaku adalah "radical behaviorism."
Definisi

Bila di-definisikan, Behaviorisme adalah sekumpulan doktrin mengenai perilaku organisme

(manusia dan bukan manusia). Tiga klaim menurut behaviorisme, yaitu:


1. Psikologi adalah ‘science of behavior’

2. Sumber dari perilaku adalah eksternal (dalam lingkungan) dan bukan internal (dalam
pikiran)

3. Dalam teorinya, konsepsi mental untuk menjelaskan perilaku harus dihapus dan
digantikan dengan konsepsi perilaku

Teori Operant Conditioning dari Skinner


Operant conditioning mengkaji belajar sebagai respon yang sadar. Bila Classical Conditioning
diilustrasikan sebagai teori belajar S-->R, maka operant conditioning sering dipandang sebagai
teori belajar R-->S. Konsekuensi yang mengikuti respon akan mempengaruhi apakah respon akan
terjadi lagi. Model kontengensi dari operant conditioning (S--> R -->S) menjelaskan konsep
bahwa respon tidak dapat terjadi tanpa peristiwa dalam lingkungan, misal melalui antecedent
stimulus yang mendasarinya. Antecedent tidak serta merta membentuk atau menyebabkan
terjadinya respon (sebagaimana dalam Cassical Conditioning), tetapi dapat mempengaruhinya.
Jika antecedent memberikan pengaruh dalam terjadinya respon, maka secara teknis dapat disebut
sebagai discriminative stimulus. SD (discriminative stimulus) adalah stimulus yang diikuti oleh
respon yang disadari. Selain itu Skinner juga mengungkapkan perlunya penjadwalan
reinforcement sebagai upaya untuk memelihara respon (dalam Bechtel, Abrahamsen, and Graham,
1998, hal. 17-21).

Prinsip Dasar Operant Conditioning

(dalam Kazdin, Alan E., 1994, hal. 29)

Pengaruh dalam Pendidikan


Operant Conditioning memberikan pengaruh dalam pendidikan, pengaruh-pengaruh tersebut
diantaranya adalah:
A. Tujuan pendidikan yang sesuai dengan teori operant conditioning adalah: Tujuan-tujuan
yang bersifat behavioristik. Tujuan yang bersifat behavioristik dipengaruhi oleh Marger
dan disebut sebagai Behavioral Objectives. Standard yang sesuai dari Marger ini
kemudian dikembangkan dalam Toxonomy Bloom yang berlaku pada domain kognitif
individu, yaitu: knowledge-comprehension-application-analysis-synthesis-evaluation. Tiga
bagian tujuan belajar yang bersifat behavioristik menurut Marger:
1. perilaku murid
tindakan atau keterampilan yang perlu bagi murid, misal; menamakan, menghitung,
mendeskripsikan, dsb.
2. kondisi dari performance
apakah keterampilan itu ditunjukkan dalam suatu presentasi lisan atau tulisan.
3. performance criteria
seberapa baik perilaku/keterampilan ditunjukkan dan dengan stadandard apa?
B. Metodologi pendidikan yang konsisten dengan operant conditioning adalah: reinforcement
dan extinction (punishment).
C. Menurut operant conditioning tujuan sekolah dan pendidikan adalah: untuk mengubah
(shape) perilaku
D. Pencapaian murid dalam belajar menurut operant conditioning dipandang sebagai:
perubahan perilaku sesuai dengan yang diinginkan.
E. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi dalam achievement adalah: perlunya tujuan-
tujuan yang bersifat perilaku (behavioral goals) yang dapat dicapai anak dan kemudian
menyediakan reinforcement yang dibutuhkan.
F. Faktor yang kemudian menghalangi adanya achievement (yang memungkinkan juga
munculnya label negative pada anak) adalah: guru tidak menyusun ‘behavioral goals’
yang dapat dicapai anak dan tidak menyediakan reinforcement yang diperlukan.
G. Tidak tercapainya tujuan pendidikan menurut operant conditioning adalah akibat dari
pengajaran yang tidak tepat. Bila anak tidak belajar itu berarti kesalahan ada pada sistem
pendidikan.

Kritik terhadap Behaviorisme dan teorinya


Beberapa kritik yang sering dilontarkan terhadap para behaviorist dan pengaruhnya terhadap
pendidikan, diantaranya adalah:
1. Semua individu dipandang pasif. Tidak ada kehendak yang bebas dan tidak dapat
mengambil keputusan dengan bebas sehingga untuk menggunakan teori ini berarti
kita harus aktif membentuk anak didik dan dapat memutuskan tujuan secara
behavioristik untuk kemudian dianalisa datanya. Mungkinkah seseorang secara
obyektif menganggap dirinya aktif sementara yang lainnya pasif dan dapat dibentuk?
2. Aspek internal pada anak didik tidak mendapatkan tempat sehingga bila
dikembangkan pada pembahasan mengenai kreativitas maka behavioristik tidak
banyak memberikan peluang pada anak didik untuk menemukan kaidah dan
mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.
3. Analis aplikasi perilaku yang dilakukan dalam setting-setting pendidikan baik formal
maupun nonformal dianggap tidak dapat mendukung konsep mengenai generalisasi
dengan alasan bahwa sangat sulit untuk mencari setting natural yang ekuivalen
dengan setting yang bersifat terapeutik.

Daftar Pustaka

Graham, G. 1991. "Connectionism in Pavlovian Harness". In T. Horgan and J. Tienson (eds.),


Connectionism and the Philosophy of Mind (pp. 143-66). Dordrecht: Kluwer.

Kazdin, Alan E., Behavior Modification in Applied Setting. 1994. UCLA

Ryle, G. 1949. The Concept of Mind. London: Hutchinson. Schwartz, B. and Lacey, H. 1982.
Behaviorism, Science, and Human Nature. New York: Norton.

Smith, L. 1986. Behaviorism and Logical Positivism: A Reassessment of Their Alliance. California:
Stanford.

Turner, M. B. (1967). Philosophy and the science of behavior. New York: Appleton-Century-Crofts.
Applied Behavior Analysis (ABA)
dan Autisme

 Oleh: Ign. Dharta R. Wijaya, S.Sos., M.Pd

Pendahuluan
Tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul, “The Behavior Of Organisms”. Buku
tersebut mendeskripsikan hasil penelitiannya yang dikenal sebagai operant conditioning, atau
suatu proses yang menjelaskan bahwa  pembelajaran itu terjadi sebagai hasil seleksi dari
konsekuensi terhadap perilaku. Skinner juga menyebutkan bagaimana suatu stimulus ketika
dikorelasikan dengan fungsinya dalam meningkatkan efek suatu konsekuensi dapat memperkuat
atau bahkan melemahkan berulangnya perilaku tertentu di masa datang. Teori tersebut kemudian
dikenal sebagai three-term contingency (A-B-C). A-B-C adalah dasar dari analisa perilaku dan
merupakan penjelasan awal dari discrete trial. Penelitian yang berdasarkan eksperimen disebut
Skinner sebagai experimental analysis of behavior (EAB). Perkembangannya kemudian, teorinya
diaplikasikan oleh para behavior analysts dalam dunia pendidikan dan untuk menangani
persoalan-persoalan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Aplikasi dari teori-teori perilaku ke
dalam setting-setting kehidupan bermasyarakat oleh para penganut paham perilaku inilah yang
kemudian dikenal secara luas sebagai Applied Behavior Analysis (ABA).

Prinsip-prinsip dan prosedur dari ABA


Pengajaran adalah kumpulan dari setiap moment reaksi dan keputusan individu manusia.
Ini berarti bahwa prinsip-prinsip yang digunakan dalam menerangkan perilaku, seperti; ada
hukum tertentu (law of effect), terukur (measureable), tampak (observable), dan berdampak pada
lingkungan, telah diadaptasikan ke dalam metoda pengajaran. Mungkin kita perlu mengajarkan
anak-anak kita untuk belajar, proses itu dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip
ABA. Bentuk perilaku(shape)  mereka, dukung (reinforce) perilaku mereka yang produktif, perbaiki
perilaku yang ‘salah’ (correct teaching errors), bila perlu tegur mereka (punish) meskipun yang
terpenting adalah selalu perhatikan perilaku-perilaku yang baik dari mereka.  
Applied behavior analysis tidaklah jahat dan tidak anti terhadap individualitas seseorang
apalagi kejam dan tidak berperasaan. Apakah ABA ditujukan untuk mengubah perilaku? Tepat, ini
adalah esensinya. Namun demikian, perilaku yang ditargetkan untuk berubah selalu dipilih dengan
pertimbangan mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang. Benarkah nilai-nilainya ditentukan
oleh para pendidik? Ya, tetapi nilai-nilai tersebut tidak jauh berbeda bahkan sama dengan norma-
norma yang ada pada masyarakat secara luas (menyapa orang lain ketika bertemu di jalan,
bercakap-cakap dengan ‘sopan’, berinteraksi dengan orang lain, dsb.) Bagian yang terpenting dari
semua itu adalah bahwa pengajaran selalu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap anak
sehingg aplikasi dari ilmu perilaku yang diimplementasikan masuk akal, efektif dan positif bagi
anak.
Bila anak tidak mampu belajar bukan selalu berarti bahwa guru yang  bertanggung jawab
tetapi kemungkinan terbesar selalu mengarah pada pengajaran itu sendiri yang bermasalah. Data
sangat obyektif, data juga membawa kredibilitas perilaku pendidik. Hal ini penting baik bagi anak
didik maupun para guru sendiri. Belum semua orang menggunakan data untuk mengarahkan
proses belajar sehingga kurikulum yang diberikan tidak kohesif. Program harus bersifat fungsional,
antecedent harus bervariasi, konsekuensi harus konsisten dan reinforces secara berkala diuji
untuk melihat efektivitas dan preferensi para anak didik.
Hal penting yang perlu dingat bersama-sama adalah keseluruhan pendekatan tersebut didasarkan
dari the science of behavior analysis.  Jelas ada perbedaan diantara ilmu murni (pure science)
dimana dikumpulkan berbagai prinsip-prinsip perilaku (seperti reinforcement, prompting, fading,
shaping, dsb.) dengan ilmu terapan (applied science).  Setiap Behavior analysts pun akan
mengaplikasikan pengetahuan mereka secara berbeda sehingga pendekatan yang diambil
multiperspektis, misal; Lovaas, DTT, Verbal Behavior, Picture Exchange, Enviroment Training,
TEACCH, dsb.  Apa yang berhasil dengan baik, seluruhnya ditentukan oleh anak sendiri.
Banyak orang beranggapan bahwa ABA sama seperti dengan kondisi dimana seorang anak
autis belajar di meja berhadapan dengan terapisnya sambil diberikan berbagai perintah, catatan
program dan makanan tersedia di depan meja. ABA lebih dari sekedar pemberian pengajaran
terstruktur (Discrete Trial Teaching/DTT umumnya). ABA lebih luas pengertiannya dibandingkan
DTT sementara anak autis sendiri harus belajar beradaptasi dengan lingkungan di sekitar dirinya.
Kontingensi belajar di setting-setting yang berbeda harus dimungkinkan bagi seluruh anak autis.

Pengkodisian ABA dan Autisme di Indonesia


Ada banyak orang tua yang memiliki anak autis di Indonesia berkata, “Saya tidak suka
ABA”, “ABA kaku”, “ABA robotik”, “Tidak manusiawi”, dsb. Mereka sesungguhnya keliru ketika
menyikapi bahwa ABA sama dengan Lovaas Therapy. Mungkin mereka belajar dari pengalaman
dimana mereka mengalami aplikasi Lovaas yang diterapkan secara ‘serampangan’ dan tanpa
afiliasi serta pengetahuan mendalam tentang penelitian yang telah dilakukan oleh Lovaas. Mereka
kemudian mempersepsikan terapi perilaku bagi anak-anak autis di Indonesia sebagai suatu bentuk
intervensi yang tidak manusia dan negatif bagi perkembangan anak. Padahal perlu dipertanyakan
apakah terapi perilaku yang dilakukan itu sungguh-sungguh replika dari Lovaas Therapy.
Generalisasi terhadap terapi perilaku yang tidak manusia inilah yang membuat aplikasi dari Lovaas
mendapat nama buruk di Indonesia. Ironisnya lagi, persepsi ini kemudian berkembang pada pada
‘ilmu pengetahun perilaku’ sendiri sehingga banyak orang tua dan guru yang sudah alergi
terhadap kata behaviorism. Ada lagi kemudian yang berbeda pendapat mengenai perlukah anak
autis belajar 40 jam setiap minggunya sambil melakukan kontak mata dan tetap duduk di kursi?
Ini mungkin inti persoalan bila kita menginterpretasikan (padahal salah interpretasinya) dan
menggeneralisasi aplikasi dari Lovaas yang tegas terhadap ‘ilmu pengetahuan perilaku’ sebagai
sama dengan ABA.
Pengetahuan mengenai perilaku adalah payung dimana berbagai metode dan teknik
intervensi diturunkan baik di setting pendidikan (misalnya bagi anak autis) dan di setting-setting
lain dalam kehidupan bermasyarakat (dunia usaha, militer, budaya, dsb.). Jarang sekali orang
berbeda pendapat terhadap ide-ide bahwa; anak autis akan mengulangi perilakunya bila diberikan
konsekuensi positif (reinforcement), kalau anak autis tidak tahu dan belum mampu maka kita
harus membantu mereka untuk belajar (prompting), bantuan-bantuan yang diberikan pada anak
autis pada akhirnya pun harus dihilangkan (fading) hingga tercapai respon yang mandiri dari
mereka dan setiap anak autis akan semakin berkembang kemampuannya bila dilatih secara terus
menerus (shaping). Sementara bagi individu dengan autisme yang berusia remaja, para orang tua
seringkali mengeluhkan persoalan-persoalan perilaku mereka sebagai hambatan utama dalam
belajar. Padahal, kegiatan terstruktur dan kebiasaan bekerja baik di rumah dan dalam komunitas
mereka tinggal sangat terbatas. Memerlukan analisa fungsional dan task analysis dalam
menangani persoalan-persoalan perilaku pada individu-individu dengan autisme yang telah berusia
remaja.
Uraian-uraian di atas merupakan inti dan prinsip-prinsip umum dari ilmu pengetahuan
perilaku dan aplikasinya terhadap pendidikan bagi Individu-individu dengan autisme. Semoga
melalui kegiatan pelatihan yang tengah Bapak/Ibu jalani, semakin berkembang pengetahuan dan
pemahaman yang obyektif terhadap aplikasi analisis perilaku dalam menangani kasus-kasus
autisme di Indonesia.
Mengatasi Persoalan Perilaku pada Anak Autis
Oleh: Ign. Dharta R. Wijaya, S.Sos., M.Pd

Mencegah
Cara efektif menangani persoalan perilaku pada anak autis adalah dengan mencegah
terjadinya perilaku tersebut. Prosedur ini dapat dilakukan dengan mengubah kondisi fisik
lingkungan, instruksional, dan lingkungan sosial.

1. Mengubah kondisi fisik lingkungan


 menata kembali perabotan atau benda-benda di sekitar
 bekerja/belajar di tempat/lokasi yang berbeda
 memindahkan benda-benda yang membuat anak sulit berpartisipasi atau
yang membuat transisi menjadi sulit
 tempatkan anak diposisi yang aman dan memudahkannya berpatisipasi

2. Adaptasi instruksi ke dalam lingkungan


 mengubah kompleksitas, jumlah, atau urutan kegiatan
 menggunakan strategi visual untuk membantu melakukan setiap tahapan
tugas
 menyertakan berbagai manipulasi dan gerakan dalam setiap pelajaran

3. Mengubah kondisi lingkungan sosial


 melibatkan orang-orang yang berbeda dalam rutinitas
 ajarkan anak sebaya sebaya dan orang-orang yang ada di sekitar anak
bagaimana berinteraksi dengan anak
 menyediakan berbagai pilihan-pilihan selama waktu-waktu aktif anak
 meningkatkan berbagai peluang dalam mendapatkan perhatian secara positif
baik dari anak sebaya dan orang dewasa lainnya yang ada di sekitar anak
 menghargai peran-peran yang dapat dilakukan anak dan berusaha selalu
memberikan tanggung jawab

Perubahan-perubahan di atas dapat mencegah munculnya persoalan perilaku sehingga anak


autis dapat mengalami interaksi yang positif dan berbagai bentuk partipasi yang dapat
dihargai. Melalui upaya pencegahan, perhatian kita selalu difokuskan untuk menciptakan
lingkungan belajar yang positif, bukan menunggu persoalan perilaku terjadi dan kemudian
menanggapinya.

Mengajar
Mengajarkan keterampilan baru pada anak autis sangat berkaitan dengan apa yang
dibutuhkan anak tersebut untuk belajar menggantikan persoalan perilaku yang
ditunjukkannya. Mengetahui dan memahami tujuan atau fungsi dari persoalan perilaku anak
autis, sangat penting dalam menentukan perilaku/keterampilan pengganti yang akan
diajarkan.

1. Anak mencengkram tangan/baju/rambut orang lain


Kemungkinan tujuan/fungsi perilaku: mendapatkan perhatian dari orang lain
Ajarkan anak menepuk bahu atau menyentuh tangan/lengan orang lain ketika
menginginkan sesuatu

2. Anak melempar/membuang materi belajar ketika belajar


Kemungkinan tujuan/fungsi perilaku: melarikan diri atau menghindari diri dari
kegiatan belajar yang sulit
Ajarkan anak mengangkat tangan/menunjuk jari untuk meminta bantuan atau
mengganti tugasnya

3. Anak berjalan-jalan di dalam ruangan ketika belajar


Kemungkinan tujuan/fungsi perilaku: mendapatkan sesuatu – yang berbentuk
(makanan, minimuman, mainan)
Ajarkan anak memberikan gambar/simbol dari sesuatu yang diinginkannya kepada
guru

4. Anak tiba-tiba mengambil suatu benda yang kita pegang atau benda yang ada di
meja/lemari dan tempat lainnya
Kemungkinan tujuan/fungsi perilaku: untuk bermain-main dengan benda yang
diambilnya
Ajarkan anak memilih benda-benda pribadinya yang dapat digunakan untuk bermain
selama waktu-waktu bebasnya

5. Anak tiba-tiba berdiri/bergumam/berteriak/bertepuk tangan/melompat/dsb.


sewaktu belajar
Kemungkinan tujuan/fungsi perilaku: mendapatkan ketenangan atau melepas
ketegangan
Ajarkan anak untuk kembali melakukan aktivitas yang dirancang untuk melepaskan
ketegangan dan mengurangi tekanan stress yang dialaminya

Merespon
Suatu rencana ‘positive behavior support’ selain menekankan pada upaya mencegah
munculnya persoalan perilaku dan mengajarkan perilaku pengganti yang dapat diterima,
juga akan mempertimbangkan bagaimana merespon ketika persoalan perilaku terjadi.
Diperlukan adanya persiapan sehingga setiap orang mampu merespon persoalan perilaku
yang terjadi secara efektif. Beberapa strategi berikut ini disarankan agar situasi-situasi yang
sulit dapat diatasi.
 perhatikan tanda-tanda munculnya perilaku tambahan lainnya yang dapat menjadi
persoalan
 sediakan pilihan-piihan materi dan kegiatan
 istirahat sejenak
 tetap tenang
 ambil materi pelajaran/benda dari anak
 jangan berkata apapun mengenai persoalan perilaku anak ketika sedang mengajar,
fokus hanya pada bagaimana membangun partisipasi anak
 arahkan anak kembali pada tugasnya melalui bantuan nonverbal maupun bantuan
fisik lainnya
 hindari agar anak tidak membuat kesalahan
 sediakan selalu respon positif ketika anak berusaha menunjukkan partisipasinya
 selalu bersikap antusias terhadap keberhasilan anak
 gunakan materi-materi pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang dapat diprediksi
 bersikap kompromi/sesuaikan kembali rencana mengajar
 lindungi diri anda dan orang di sekitar anak dengan cara-cara yang tidak kasar

Hukuman (punishment) dan cara-cara kasar lainnya bukan solusi tepat untuk mengatasi
persoalan perilaku yang ditunjukkan anak. Sadari selalu bahwa perilaku memiliki fungsi atau
tujuan tertentu dan itu berarti indikasi adanya kebutuhan belajar tertentu. Gunakan selalu
strategi-strategi pengajaran yang positif dalam membantu anak berkomunikasi,
bersoasialisasi, dan mengontrol perilakunya.
Lembar Observasi Antecedent – Behavior – Consequence (A–B–C)

Nama Anak : ____________________________ Hari/Tanggal: _________________


Setting : ____________________________ Observer : ____________________
Kelas/Pelajaran/Kegiatan : ____________________________________________________
Target Perilaku
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________

Waktu / Antecedents Behavior Consequences Hypothesis


Jam Apa yang terjadi sebelum anak Apa yang dilakukan Apa yang terjadi sesudah anak Fungsi dari perilaku
menunjukkan perilakunya? anak? menunjukkan perilakunya? anak?
Apa yang dikatakan atau dilakukan Bagaimana reaksi orang di sekitar
kepada anak sebelumnya? anak?

Diadopsi dari: Behavioral Support: 2nd Edition (2008) by Janney & Martha E. Snell. Paul H. Brookes Publishing Co.
BEHAVIOR CONTRACT

Nama Anak: ____________________________________________________


Tanggal Pembuatan BC: __________________________________________

Orang-orang yang terkait:


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Target Perilaku (perilaku yang diharapkan dari anak):


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Prosedur Pencatatan Data:


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Prosedur Reinforcement (apa dan seberapa sering):


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Apa yang harus dilakukan anak untuk bisa mendapatkan reinforcement:


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
Konsekuensi yang diberikan bila anak tidak dapat memenuhi/mencapai target perilaku:
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Bonus bila anak menunjukkan performance perilaku yang sangat baik:


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Tanda-tangan orang-orang yang terkait:

Diadopsi dari: Effective Cassroom Management (2008) by Knoster, T., Baltimore, MD: Paul Brookes Publishing Co.
CRISIS MANAGEMENT PLAN

Nama Anak: ___________________________________________________


Tanggal Pembuatan CMP: ________________________________________

Alasan perlunya dibuat CMP: ___________________________________________________


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Siklus Persoalan Perilaku: ______________________________________________________


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Siapa saja yang akan mengimplementasikan CMP: __________________________________


___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________

Prosedur

Diadopsi dari: Individualized Supports for Students with Problem Behavior (2005) by Bambara, L. M. & Kern, L. Guilford

Press: New York


CLASSES OF REINFORCERS

Classes Examples
Edibles: pilihan anak terhadap makanan dan biskuit, jely, permen, roti, keripik, wafer, juice,
minuman tertentu susu, air putih, pudding, dsb.

Activity: pilihan anak terhadap aktivitas atau computer games, membaca buku, bermain
kegiatan yang disukainya puzzle, main bola, mendengar musik,
menyanyi, mewarnai gambar, memasak, main
sepeda, membantu guru, waktu bebas,
berenang, membersihkan kelas, tidak ada PR,
dsb.

Tangibles: benda-benda yang disukai anak, buku, tas, agenda, pensil, logo gambar, topi,
seperti mainan, benda-benda pribadinya, dan jaket, saputangan, majalah, miniatur alat
sesuatu yang dipakai anak transportasi, miniatur binatang, action figures,
dsb.

Social: pujian dari orang lain, pelukan, Senyum dari guru atau orang tua kepada anak,
senyuman, ngobrol, perhatian dan kontak mengangguk sebagai konfirmasi tanda setuju,
mata kata-kata yang menunjukkan perghargaan
terhadap setiap usaha anak: ‘bagus’, ‘hebat’,
‘keren’, ‘pintar sekali’, ‘nah begitu caranya’,
‘usaha yang bagus’, dsb.

Token: sesuatu yang dapat ditukar dengan karcis untuk nonton, jalan-jalan, nasi goreng,
reinforcer tertentu yang sangat dihargai anak akses bermain komputer, nilai bonus, bebas
dari kewajiban tugas rumah, kupon makanan
gratis, hadiah, uang, dsb.

Diadopsi dari: Behavior Management Principles of Positive Behavior Suppor (2008) by Wheeler, J.J. & Richey, D.D. New

Jersey: Pearson Prentice Hall.


Disain Rencana Intervensi

Nama Anak : _____________________________ Hari/Tanggal: __________________


Target Perilaku
___________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
Mencegah : Bagaimana mengubah antecedent (misal: apa, siapa, kapan, dimana, dan
setting event) yang diasosiasikan dengan persoalan perilaku anak autis?
Mengajarkan : Perilaku lain atau kemampuan apa yang akan diajarkan pada anak autis
dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dapat diterima semua
orang?
Merespon : Bagaimana menanggapi persoalan perilaku yang ditunjukkan anak autis
dengan cara yang tidak ‘mengikuti’ tujuan anak tersebut? Jika perlu,
jelaskan bagaimana menangani situasi krisis tertentu?

Mencegah Mengajarkan Merespon/ Manajemen Krisis


LEMBAR PENGEMBANGAN ‘POSITVE BEHAVIOR SUPPORT’ UNTUK ________________

Fungsi Perilaku:
Target Perilaku (dapat diamati dan terukur):
Komunikasi Sensori
Getting attention Self-regulation

Escape / avoidance Play or entertainment

Getting something tangible

Mencegah – bagaimana kita Mengajarkan – perilaku Merespon – bagaimana Dukungan jangka


mengubah antecedent (siapa, apa, atau keterampilan lain yang cara menanggapi persoalan panjang Apa yang akan
kapan, dimana, setting events) yang perlu diajarkan untuk perilaku dengan tidak dilakukan untuk mencegah
diasosiasikan dengan adanya menggantikan persoalan mengikuti ‘tujuan’ anak? munculnya persoalan perilaku di
persoalan perilaku? perilaku? kemudian hari, di setiap setting
kehidupan anak, dan demi
meningkatkan kualitas hidup?
Menurunkan Target Perilaku
Meningkatkan/mendukung perilaku-perilaku alternatif
Bahan Bacaan

Alberto, P.A., & Troutman, A.C. (1995). Applied behavior analysis for teachers (4th
ed.).Englewood Cliffs, NJ: Merrill/Prentice-Hall.
Bullock, L.M., & Gable, R.A. (Eds.) (1997). Making collaboration work for children,
youth,families, schools, and communities. Reston, VA: Council for Children with Behavioral Disorders
&Chesapeake Institute.
Durand, V. M. (1990). Severe behavior problems: A functional communication training
approach. New York: Guilford.
Durand, V. M. (1993). Functional assessment and functional analysis. In M. D. Smith (Ed.).
Behavior modification for exceptional children and youth. Boston: Andover Medical Publishers.
Gable, R. A., Sugai, G. M., Lewis, T. J., Nelson, J. R., Cheney, D., Safran, S. P., & Safran,
J. S. (1997). Individual and systemic approaches to collaboration and consultation. Reston, VA:
Council for Children with Behavioral Disorders.
Gresham, F.M. (1991). Whatever happened to functional analysis in behavioral
consultation? Journal 15 of Educational and Psychological Consultation, 2, 387-392.
Iwata, B. A., Vollmer, T. R., & Zarcone, J. R. (1990). The experimental (functional) analysis
of behavior disorders: Methodology, applications, and limitations. In A. C. Repp & N. Singh (Eds.),
Aversive and nonaversive treatment: The great debate in developmental disabilities (pp. 301-330).
DeKalb, IL: Sycamore Press.
Kaplan, J.S. (with Carter, J.) (1995). Beyond behavior modification: A cognitive-behavioral
approach to behavior management in the school (3rd edition). Austin, TX: Pro-Ed.
Karsh, K. G., Repp, A. C., Dahlquist, C. M., & Munk, D. (1995). In vivo functional
assessment and multi-element interventions for problem behaviors of students with disabilities in
classroom settings. Journal of Behavioral Education, 5, 189-210.
Kerr, M.M., & Nelson, C.M. (1998). Strategies for managing behavior problems in the
classroom (3rd edition). New York: MacMillan.
Lawry, J. R., Storey, K., & Danko, C. D. (1993). Analyzing behavior problems in the
classroom: A case study of functional analysis. Intervention in the School and Clinic, 29, 96-100.
Lewis, T. J. (1997). Teaching students with behavioral difficulties. Reston, VA: Council for
Exceptional Children.
Long, N., & Morse, W.C. (1996). Conflict in the classroom. Austin, TX: Pro-Ed.
Lovaas, O. I., Freitag, G., Gold, V. J., & Kassorla, I. C. (1965). Experimental studies in 16
childhood schizophrenia: Analysis of self-destructive behavior. Journal of Experimental Child
Psychology, 2, 67-84.
Mathur, S. R., Quinn, M .M., & Rutherford, R.B. (1996). Teacher-mediated behavior
management strategies for children with emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for
Children with Behavioral Disorders.
Reed, H., Thomas, E., Sprague, J. R., & Horner, R. H. (1997). Student guided functional
assessment interview: An analysis of student and teacher agreement. Journal of Behavioral
Education, 7, 33-49.
Rutherford, R.B., Quinn, M.M., & Mathur, S.R. (1996). Effective strategies for teaching
appropriate behaviors to children with emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for
Children with Behavioral Disorders.
Sugai, G. M., & Tindal, G. A. (1993). Effective school consultation: An interactive approach.
Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Anda mungkin juga menyukai