Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

ANALISA ARTIKEL JURNAL PENYAKIT SLE DARI SUDUT PANDANG


DERMATOLOGI DAN PSIKONEUROIMUNOLOGI
Psikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi
antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi sistem endokrin. Cabang
ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak
memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di
otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipotalamus yang ditanggapi sebagai stress
perception, kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI telah
berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam
patobiologi beberapa penyakit. Respons stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang
dikenal sebagai homeostatis.1,2 Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan
limfoid primer dan sekunder diperantarai secara anatomis melalui serat saraf yang mempersarafi
jaringan limfoid yaitu kelenjar limfe regional maupun kelenjar timus, serta melalui mediator
neurotransmiter dan neuropeptida. Telah dibuktikan bahwa organ limfoid primer misalnya
sumsum tulang, timus, dan kelenjar limfe dipersarafi oleh serat saraf simpatik. Sel limfoid
memiliki reseptor terhadap berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf
dan kelenjar endokrin, sehingga komunikasi menuju dua sistem tersebut dapat terjadi secara
timbal balik.2,3 Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(fisis) telah ada sejak era
Hipocrates yang mengatakan bahwa “kesalahan besar para dokter adalah memisahkan antara
badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) menyatakan bahwa pikiran dan tubuh tidak
terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaan
membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng mengakibatkan asam lambung
keluar tanpa melihat makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, mengkaji secara ilmiah
dengan mengemukakan teori homeostatis dan teori “fight or flight”. Hans Selye (1936)
memperkenalkan respons biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General Adaptation
Syndrome”. Istilah psikoneuroimunologi pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Robert Ader
(1975), yang mengungkapkan learning process tubuh sehingga tubuh merespons stres dengan
melibatkan multiorgan.3 Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai
stresor, baik stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan, ataupun sosial yang dapat
mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan
respons sistem imun. Seperti juga organ lainnya, kulit dapat berfungsi sebagai cermin keadaan
mental dan psikologis seseorang. Sejak lama telah diketahui bahwa beberapa penyakit kulit dapat
dicetuskan atau diperberat oleh stresor termasuk stresor psikologis, misalnya dermatitis atopik,
urtikaria kronis, psoriasis, akne vulgaris, alopesia, lupus eritematosus sistemik, dan
sebagainya.4,5 Sejak dua dekade terakhir, telah diketahui bahwa sistem saraf dan sistem
endokrin dapat mengendalikan respons imun. Demikian juga sebaliknya, sistem imun dapat
mempengaruhi sistem saraf dan sistem endokrin. Hubungan timbal balik antara ketiga sistem
besar tersebut terjadi karena terdapat sistem komunikasi yang diperantarai oleh serabut saraf,
neurokimiawi, dan sitokin. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan tubuh
(homeostatis). Pada awal perkembangan embriologis, organ sistem imun primer maupun
sekunder dipersarafi oleh ujung saraf otonom, demikian juga sebaliknya, sel-sel imun mampu
mensintesis beberapa jenis neurotransmiter dan neuropeptida, serta sel saraf dapat memproduksi
sitokin atau mediator yang lain. Makalah ini akan membahas secara singkat peran PNI pada
patofisiologi beberapa penyakit kulit yang sering dijumpai, terutama penyakit yang berdasarkan
atas respons imun dan hipersensitivitas.

PSIKONEUROIMUNOLOGI DAN DERMATOSIS Dari uraian di atas jelas tampak


hubungan antara stresor, neuroendokrin dengan sistem imun. Sistem imun bukanlah sistem
otonom, karena banyak sistem yang mempengaruhinya. Konstelasi yang rumit ini
memungkinkan dipertahankannya homeostasis tubuh. Pada keadaan tertentu, terjadi perubahan
pada stress perception dan stress response yang menyebabkan gangguan keseimbangan Th1/Th2
dan perubahan mediator sistem imun maupun mediator dari sistem saraf, sehingga dapat
menimbulkan berbagai manifestasi klinis. Beberapa penyakit kulit yang dipengaruhi oleh stresor
psikologis seperti yang tercantum di bawah ini. Dermatitis atopic, Psoriasis vulgaris, Akne
vulgaris, Urtikaria Urtika, Alopesia areata.

Dan salah satunya lupus ini Lupus eritematosus Lupus eritematosus adalah penyakit
radang, yang sebabnya belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan buktibukti patogenesisnya
penyakit ini terjadi akibat mekanisme autoimun. Gambaran klinis lupus dapat akut atau kronis
eksaserbasi yang diperantarai oleh autoantibodi dalam tubuh, akibat kehilangan toleransi
terhadap sel tubuh sendiri. Pada keadaan stres, selain terjadi peningkatan hormon stres, juga
terjadi peningkatan CRH. Mediator ini dapat secara langsung menstimuli sintesis neuropeptida
SP, sitokin proinflamasi IL-1, dan IL-6. C-reactive protein, merupakan mediator yang penting
dalam proses peradangan pada lupus eritematosus dan penyakit autoimun lainnya, sehingga stres
dapat berperan sebagai faktor risiko atau memperberat keadaan lupus eritematosus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ader R, Cohen N. Psychoneuroimmunology: interaction


between the nervous system and immune system. Lancet. 1995; 345: 99-102. 2. Fleshmer M,
Laudenslager M. Psychoneuroimmunology: then and now. Behav Cogn Neurosci Rev. 2004; 3:
114-30. 3. Ader R. Historical perspective on psychoneuroimmunology.
Psychoneuroimmunology, stress and infection. Boca Raton: CRC Press; 1995. h. 1-21. 4. Asadi
AK, Usman A. The role of psychological stress in skin disease. J Cutan Med Surg. 2001; 2:140-5
5. Kim JE, Park HJ. Stress hormone and skin disease. Skin biopsy – perspectives. In Tech Open.
[Disitasi 25 Maret 2011] Tersedia di http//www.intechopen.com/ . 6. Elenkov IJ, Chrousos GP.
Stress hormones, Th1/Th2 patterns, pro/anti-inflamatory cytokines and susceptibility to disease.
Trends Endocrinol Metab. 1999; 10: 359-68. 7. Wamboldt MZ, Laudenslagen M, Wamboldt FS,
Kelsay K, Hewitt J. Adolecents with atopic disorders have an attenuated cortisol response to
laboratory stress. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111(3): 509-14. 8. Buske-Kirschbaum A, Jobst
S, Hellammer DH. Altered reactivity of the hypothalamus-pituitary-adrenal axis in patients with
atopic dermatitis: pathologic factor or symptom? Ann NY Acad Sci. 2001; 3: 747-54. 9. Ionescu
G, Kiehl R. High palasma levels of noradrenaline in severe atopic dermatitis. Zeitscrift fur
Hautkrankheiten. 1998; 64(11): 1036-7 10. Jadali Z, Izad M, Eslami MB, Mansouri P, Safari R,
Bayatian P, dkk. Th1/Th2 cytokines in psoriasis. Iran J Public Health. 2007; 36(2): 87-91. 11.
Schmid-Ott G, Jacobs R, Jager B, Klages S, Wolf J, Werfel T, dkk. Stress-induce endocrine and
immunological changes in 180 penuaan fisiologis.23 Selain penyakit-penyakit di atas masih
banyak penyakit kulit yang kekambuhannya dapat dijelaskan melalui paradigma PNI misalnya
pemfigus vulgaris, diskoid lupus eritematosus, dan sebagainya. MDVI Vol. 38 No. 4 Tahun
2011; 175 - 180 psoriasis patients and healthy controls: a preliminary study. Psychother
Psychsom. 1998; 67: 37-42. 12. Ganceviciene R, Bohm M, Fimmel S, Zauboulis CC. The role of
neuropeptides in the multifactorial pathogenesis of acne vulgaris. Dermato-Endocrinol. 2009;
1:170-6. 13. Yosipotich G, Tang M, Dawn AG, Chen M, Goh CL, Chan YH, dkk. Study of
psychosocial stress, sebum production and acne vulgaris in adolecents. Acta Derm Venereol.
2007; 87: 135-9. 14. Papadopoulou N, Kalogeromitros D, Staurianeas NG, Tibalxi D.
Corticotropin releasing hormone receptor-1 and histidine decarboxylase expresion in chronic
urticaria. J Invest Dermatol. 2005; 125: 953-5. 15. Theoharides TC, Cochrane DE. Critical role
of mast cells in inflamatory diseases and the effect of acute stress. J Neuroimmunol. 2004; 146:
1-12. 16. Paus R, Arck P. Neuroendocrine perspective in alopecia areata: Does stress play a role?
J Invest Dermatol. 2009; 129:1324- 6 17. Botchkarev V. Stress and hair follicle: Exploring the
connections. Am J Pathol. 2003; 162: 709-12 18. Jacobs R, Pawlak CR, Mikeska E, Olson DM,
Martin M, Heijnen CJ, dkk. Systemic lupus erythematosus and rheumatoid arthritis patients
differ from healthy controls in their cytokine pattern after stress exposure. Rheumatol. 2001; 40:
868-75. 19. Sternberg EM. Neuroendocrine regulation of autoimmune/ inflammatory disease. J
Endocrinol. 2001; 169: 429-35 20. Sheridan JF, Dobbs C, Brown D, Zwilling B.
Psychoneuroimmunology: stress effects on pathogenesis and immunity during infection. Clin
Microbiol Rev.1994; 7(2): 200-12. 21. Padget DA, Sheridan JF, Dorne J, Berntson GG,
Candelora J. Social stress and the reactivation of latent herpes simplex virus type 1.

Anda mungkin juga menyukai