ANTHRAKS
OLEH
KELOMPOK 6
Penyakit antraks merupakan salah satu dari sebelas jenis penyakit hewan
menular strategis yang memiliki nilai ekonomi dan eksternalitas tinggi atau
berpotensi mengancam kesehatan masyarakat (Abawi dan Fibriana, 2019). Anthraks
adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis
ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam
tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-
perubahan jaringan bersifat septisemia, timbulnya infiltrasi serohemoragi pada
jaringan subkutan dan subserosa, disertai dengan pembengkakan akut limpa.
Agen Penyebab
Penyakit ini disebabkab oleh B. anthracis, bakteri berbentuk batang, gram
positif, ukuran (1 - 1,5) µm X (3 - 5) µm, non motil, non hemolitik, membentuk
spora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkan toksin. Basil Antraks tidak tahan
terhadap oksigen, oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan dari badan ternak dan
jatuh di tempat terbuka, kuman menjadi tidak aktif lagi, kemudian melindungi diri
dalam bentuk spora. Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara
28 -30 °C, basil antraks tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau
suhu antara 5 -10 °C pembusukan tidak terjadi, basil antraks masih ada selama 3-4
minggu. Basil Antraks dapat keluar dari bangkai hewan dan suhu luar di atas 20°C,
kelembaban tinggi basil tersebut cepat berubah menjadi spora yang tahan hidup
selama bertahun-tahun. Bila suhu rendah maka basil antraks akan membentuk spora
secara perlahan – lahan (Anggraeni et al., 2017).
Faktor-faktor lingkungan termasuk bioclimatic (suhu dan curah hujan), edafis
(vegetasi dan tanah properti), dan topografi (ketinggian) faktor yang diketahui
mempengaruhi kegigihan B. anthracis di lingkungan. Wabah dipicu di daerah dimana
tanah terkontaminasi dengan spora antraks dari bangkai hewan yang terinfeksi
sebelumnya, peristiwa alam seperti periode lama panas, cuaca kering setelah hujan
lebat dan banjir, atau dengan timbulnya hujan mengakhiri masa kekeringan. Faktor-
faktor lingkungan dapat dianggap untuk memprediksi eksposur dan risiko infeksi
antraks di daerah tertentu (Abawi dan Fibriana, 2019).
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi merupakan salah satu rangkaian kegiatan
surveilans antraks. Penyelidikan Epidemiologi dimaksudkan untuk mengetahui hal-
hal terkait penegakkan diagnosis dengan pengambilan sampel, identifikasi faktor
risiko, pencarian sumber penularan dan adanya kasus baru. Penyelidikan
Epidemiologi dilaksanakan maksimal 24 jam setelah ada laporan dari masyarakat
ataupun puskesmas dan rumah sakit (Nurhayati et al., 2012).
Diagnosis Penyakit
Diagnosis antraks umumnya dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan di laboratorium untuk mengisolasi agen penyebab, uji serologis dan
molekuler.
Pemeriksaan Laboratorium
Metode isolasi dan identifikasi dilakukan untuk menentukan agen penyebab
telah direkomendasikan WHO dan Central for Disease Control and Prevention.
Metode ini dilakukan dengan berbagai teknik tergantung jenis spesimen, yaitu : (1)
Spesimen yang masih baru dan hewan atau manusia tanpa pengawet, (2) spesimen
yang masih baru dan hewan atau manusia dengan pengawet, dan (3) spesimen yang
sudah lama, karkas yang sudah membusuk, material yang sudah diproses atau dan
lingkungan (tennasuk tanah).
Untuk sampel yang masih baru, hal yang biasa dilakukan adalah dengan
melihat adanya kapsul maupun bentuk kuman dengan pewamaan polychrome
methylene blue (M fahdeyan 's reaction) . Untuk sampel yang sudah lama, sudah
busuk, yang sudah diproses atau sampel tanah, sampel terlebih dahulu hams
dipanaskan pads 65°C selama 15 menit untuk kemudian ditanam pads media agar
darah atau agar yang mengandung polymyxin, lysoryme, EDTA, thallous acetat
(PLET), dan diinkubasikan 37°C selama 16 - 48 jam.
Teknik PCR mulai digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya gen faktor
virulensi (kapsul dan toksin PA). Jadi dalam hal ini dapat dipastikan suatu isolat
adalah virulen atau tidak . Metode ini relatif cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Teknik DFA juga dilaporkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi . Uji ini dapat mendeteksi B. anthracis dalam waktu beberapa jam saja
dan dapat membedakan B. anthracis dari Bacillus spp. lainnya .
Deteksi antigen yang lebih sensitif dan spesifik adalah dengan teknik
immunochromatographic assay. Enzyme linked immuno-sorbent assay (ELISA)
digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi yang ada dalam sampel serum dan
banyak digunakan untuk evaluasi vaksinasi, studi epidemiologi pada manusia, hewan
ternak maupun hewan liar . Jika uji ini digunakan untuk diagnosa harus juga
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lain.
Investigasi
Investigasi merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian antraks,
khususnya di daerah endemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali.
Untuk memprediksi kejadian penyakit, harus diketahui sejarah dan daerah-daerah
endemik antraks serta diketahui kapan saja kasus antraks pernah muncul . Tindakan
yang perlu dilakukan dalam investigasi adalah melakukan monitoring tingkat
kekebalan ternak hasil vaksinasi, tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora pada
tanah dan pakan di daerah tersebut.
Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim, iklim, suhu dan curah hujan
yang tinggi. Kasus antraks seringkali muncul pada awal musim hujan di mana rumput
sedang tumbuh, hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada
di tanah . Belum pernah ada laporan bahwa antraks dapat menular dari hewan ke
hewan atau dari manusia ke manusia.
Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik antraks di Indonesia seperti di
Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, D .I . Yogyakarta,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB dan Papua. Di
Jawa Barat (Kabupaten Bogor), Nusa Tenggara Barat (Bima dan Sumbawa Besar)
dan Nusa Tenggara Timur hampir setiap tahun dilaporkan adanya kejadian antraks.
Untuk koleksi sampel, harus diketahui peta daerah endemik, situasi geografik,
kondisi tanah dan vegetasi suatu daerah dan juga diketahui suhu serta iklimnya .
Ketinggian permukaan tanah, pH dan komposisi tanah kemungkinan juga mempunyai
pengaruh yang cukup berarti bagi daya hidup spora B. anthracis di suatu daerah.
Beberapa hal yang perlu dicatat adalah tipe padang gembalaan, kondisi pengairan,
keluar masuknya ternak, kebiasaan merumput, sumber air, kontrol serangga dan
sebagainya. Koleksi sampel untuk tindakan ini adalah dengan pengambilan tanah di
tempat kejadian antraks dan daerah sekitarnya, tempat pengambilan rumput atau
padang pengembalaan ternak, tempat bekas kuburan hewan yang mati karena antraks,
sumber air dan daerah rendah yang mempunyai hubungan dengan daerah kasus
antraks.
Penggunaan vaksin antraks pada manusia pada saat ini masih dilaporkan
beresiko tinggi. Di Cina dan Rusia, vaksinasi pada manusia menggunakan live spora
vaccine dari B. anthracis galur A16R (Cina) dan galur STI (Rusia). Vaksin ini
diaplikasikan dengan earn digoreskan pada kulit dengan dosis 20 µl. Pemberiannya
adalah 2 kali dengan interval 21 hari setelah vaksinasi pertama.
Disinfeksi
Disinfeksi dilakukan dengan menyemprotkan formalin ke tempat-tempat
yang diduga banyak terdapat spora antraks seperti tempat menyembelih sapi,
mengubur sapi, kandang, tanah sekitar rumah serta pada peralatan untuk
menyembelih hewan sakit. Penyemprotan disinfektan tidak bisa dilakukan dengan
cepat dan efektif apabila tidak adanya partisipasi masyarakat itu sendiri. Selain itu
hingga saat ini kegiatan disinfeksi bukan menjadi kegiatan yang dapat rutin
dilaksanakan. Pelaksanaan disinfeksi dilakukan di desa-desa endemis atau risiko
tinggi (Nurhayati et al., 2012).
Abawi, I., dan Fibriana, A.I. (2019). Analisis spasial faktor lingkungan fisik daerah
endemik antraks. HIGEIA, 3 (2): 190-201
Adji, R. S. dan Lili, N. (2006). Pengendalian penyakit antraks: diagnosis, vaksinasi
dan investigasi. WARTAZOA, 16(4): 198-205.
Bagenda, I., Dariani, W., Yudianigtyas, D.W. (2018). Investigasi outbreak penyakit
antraks di Kabupaten Polewali Mandar tahun 2016. Proc. of the 20th FAVA
CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI, 1(3): 385-389
Anggraeni N.D. et al. (2017). Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman
Epidemiologi Penyakit). Katalog Terbitan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Nurhayati, Yuliawati, S., Saraswati, L.D. (2012). Gambaran penyelidikan dan
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) anthraks yang terjadi di Desa
Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Jawa Tengah tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2): 374-383
Priyamanaya, I. G. A. (2018). Investigasi wabah anthraks di kabupaten Pinrang
Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2016.