BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telah terjadi beberapa kali gelombang migrasi manusia ke Nusantara, di awali oleh
gelombang migrasi Homo erectus, yang terjadi pada sekitar 2 juta tahun lalu saat terjadimya
glasiasi yang menyebabkan turunnya muka air laut sehingga membuat jembatan darat yang
dapat dilalui oleh manusia maupun hewan. Di susul oleh beberapa gelombang migrasi manusia
lainnya, salah satunya ialah gelombang migrasi Austronesia yang terjadi sekitar 5.000 BP, yang
merupakan migrasi manusia terbesar dan paling fenomenal. Kawasan Nusantara pada saat
sebelum masyarakat penutur Austronesia datang, kawasan ini telah di huni oleh masyarakat
pre-Austronesia (ras Australomelanesoid). Mereka telah menghuni kawasan ini sejak akhir
Zaman Es (plestosien) yang merupakan evolusi lanjutan dari Homo Sapiens dan memasuki
wilayah ini sejak puluhan ribu tahun sebelumnya.
Pada saat masyarakat penuntur Austronesia bermigrasi ke Nusantara mereka juga
membawa kebudayaannya, seperti pertanian (padi, jewawut, tebu, ubu, dan keladi),
mendomestikasi hewan ternak (babi, anjing, dan ayam), kemampuan berlayar, pembuatan
gerabah, beliung persegi, perhiasan kerang, tenun, dan memilki kebiasaan dalam
mengkonsumsi sirih, serta memilki tardisi lukisan dinding dan karang. Namun, saat pertama
kali datang ke Kepulauan Indonesia, mungkin masyarakat Austronesia tidak dapat dengan
mudah untuk menembus koridor Kepulauan Indonesia yang di beberapa tempat telah padat
dihuni oleh manusia, seperti misalnya Daratan Papua lokasi berkembangnya pertanian non biji-
bijian secara mandiri (Haberle et al. 2012: 129, dalam Sofwan Noerwidi. 2014: 2). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Austronesia butuh berdaptasi dan berdiaspora dengan
penghuni awal kawasan ini. Migrasi dan diaspora yang terjadi antara masyarakat Austronesia
dengan masyarakat pre-Austronesia menciptakan perpaduan budaya. Bukti-bukti arkeologis
menunjukan adanya perpaduan budaya antara peghuni awal yang memliki ciri kehidupan
berburu dan meramu dengan pendatang baru yang memilki ciri masyarakat pertanian dan
memperkenalkan produk teknologi baru (Simanjuntak, 2015). Dengan adanya perpaduan
budaya tersebut membuat masyarakat Austronesia dapat beradaptasi terhadap lingkungan
barunya.
Manusia pada awalnya sangat bergantung terhadap lingkungannya, oleh karena itu
manusia memilih tempat-tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam sejarahnya
manusia mengalami perkembangan kehidupan melalui tahapan-tahapan yang barangkali tidak
terjadi secara linear. Pada masa Neolitik manusia sudah tidak lagi terlalu bergantng pada
lingkungannya, tetapi sudah mulai mengolah sumberdaya lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pada saat masyarakat Austonesia datang ke Pulau Sumatra, mereka butuh
beradaptasi terhadap lingkungan barunya dan masyarakat pre-Austronesia telah menghuni
Pulau Sumatra lebih dulu dengan hidup di daerah pesisir. Oleh karena daerah pesisir kurang
cocok untuk pertanian dan telah dihuni cukup padat oleh masyarakat pre-Austronesia, maka
masyarakat Austronesia memasuki daerah pedalaman Sumatra yang lebih cocok untuk
pertanian. Kawasan Karst Padang Bindu merupakan tempat yang menyediakan berbagai
sumberdaya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu kawasan ini banyak menghasilkan
berbagai temuan arkeologis dari berbagai masa. Salah satu situs dengan temuan terpadat adalah
Gua Harimau, yang banyak menghasilkan berbagai produk budaya dimulai dari industri litik,
pengerjaan tulang, wadah tembikar, benda-benda logam, sisa pembakaran dan lukiasan cadas,
serta ditemukan kubur-kubur manusia yang berjumlah 78 kerangka individu.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Kebudyaan menurut Koenjaraningrat (1977) terdapat tujuh unsur, yaitu : (1) Bahasa; (2)
Religi; (3) sistem pengetahuan; (4) sistem mata pencaharian hidup; (5) sistem peralatan dan
perlengkapan hidup; (6) sistem kemasyarakatan atau sosial; (7) dan seni. Sedangkan, menurut
Edward B. Taylor (1973) kebudayaan merupakan konsep keseluruhan yang kompleks meliputi
pengetahauan, keyakinan, adat-istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang
dimilki oleh suatu kelompok masyarakat (Saifudin, 2005: dalam Wirdayana 2015). Dalam
konteks budaya materi juga merupakan hasil perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan
telah tertanam dalam masyarakat pendukungnnya. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan dapat
dibagi menjadi dua yaitu: sistem gagasan (pikiran manusia) dan sistem tingkah laku manusia
(Parson, 1958; Koenjaraningrat, 1977; dalam Wirdayana 2015). Jadi permasalahan yang
melatarbelakangi penelitian ini adalah upaya untuk mencoba menggali potensi yang lebih dalam
dari berbagai budaya materi yang dapat mencerminkan sistem gagasan dan sistem tingkah laku
manusia yang hidup di Gua Harimau pada masa lalu.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa saja bentuk budaya materi pendukung yang dapat mencerminkan adanya interaksi
antara masyarakat Austronesia dengan masyarakat pre-Austronesia ?
2. Bagaimana cara masyarakat penutur Austronesia beradaptasi dengan lingkungan
barunya di Gua Harimau?
3. Bagaimana masyarakat Austronesia berdiaspora dengan masyarakat pre-Austronesia,
khususnya yang ada di Gua Harimau ?
Forestier, H. and Guillaud, D. et.al (2006). Menyusuri Sungai Merunut Waktu. Jakarta: PT
Ebrique Indonesia.
Lilley, Ian. (2004). Diaspora and Identity in Archaeology: Moving beyond the Black Atlantic. In
Mask, Lynn and Preucel W. Robert, A COMPANION TO SOCIAL ARCHAEOLOGY (pp.
287-311). Oxford: Blackwell Publishing.
Simanjuntak, T. e. (2015). Gua Harimau dan perjalanan Panjang OKU. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Simanjuntak, T. dkk. (2012). LPA: Peradaban di Lingkungan Karst Kabupaten OKU, OKU
Timur, dan OKU Selatan. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional.