Anda di halaman 1dari 33

REFERAT Mei 2021

SINDROM NEFROTIK

Nama : Aliyah Rezky Fahira


No. Stambuk : N 111 20 025
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Aliyah Rezky Fahira


No. Stambuk : N 111 20 025
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Judul Refarat : Sindrom Nefrotik

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSUD UNDATA
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Mei 2021

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Amsyar Praja, Sp.A Aliyah Rezky Fahira

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang...................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 5
2.1 Definisi................................................................................. 5
2.2 Etiologi................................................................................. 5
2.3 Epidemiologi........................................................................ 5
2.4 Patofisiologi.......................................................................... 6
2.5 Gejala Klinis......................................................................... 6
2.6 Diagnosis.............................................................................. 7
2.7 Diagnosis Banding............................................................... 11
2.8 Penatalaksanaan.................................................................... 13
2.9 Prognosis.............................................................................. 15
BAB III PENUTUP..................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan........................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+),
hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200
mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui
(Trihono et al., 2008).
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih
tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (Trihono et
al., 2008).
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi
primer/idiopatik termasuk di dalam nya kongenital dan sekunder akibat penyakit
sistemik (Kliegman et al., 2007). Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura,
dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria, gejala infeksi, nafsu makan
berkurang, diare, nyeri perut akibat terjadinya peritonitis, dan hipovolemia.
Prognosis sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal berkisar antara 4-25% dalam
waktu 5-20 tahun. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh diagnosis dini dan
penatalaksanaan awal yang tepat (Atalas et al., 2002).
Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat
kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk
pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindak lanjuti

4
sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom nefrotik
sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan dapat
mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan penatalaksanaan.
Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindrom nefrotik, yang
meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada
anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+),
hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200
mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui
(Trihono et al., 2008).

2.2 Etiologi

Umumnya, berdasarkan etiologinya, para ahli membagi SN menjadi tiga


kelomok, yaitu: Sindrom nefrotik bawaan/kongenital, Sindrom nefrotik
primer/idiopatik, dan Sindrom nefrotik sekunder, yang mengikuti penyakit
sistemik, antara lain SLE. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2
golongan, yaitu :
a. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu
lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom
atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus

6
telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007).
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan
melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan
dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan
Mantan, 2005). Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik
sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut
rekomendasi ISKDC.

2.3 Epidemiologi
SN merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka
kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-3
kasus pertahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Terbanyak pada
anak berumur antara 3-4 tahun dengan perbandingan anak lakilaki dan
perempuan 2: 1. Laporan dari luar negri, menunjukkan dua per tiga kasus anak
dengan SN dijumpai pada umur < 5 tahun.1,3,6 Pada sindroma nefrotik idiopatik
paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun.

2.4 Patofisiologi
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier yang
selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus yang
terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang
terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma.
Berikut ini gambar skematis dinding kapiler glomerulus :

7
Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)

Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang lebih
besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah
diafragma (Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses filtrasi
glomerulus :

8
Gambar 2. Gambar Skematis Proses Filtrasi Glomerulus (Jalanko, 2009)

Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kaki-kaki


podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi
glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting untuk
patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :
a. Mutasi Protein Podosit
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom
nefrotik yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003). Beberapa protein tersebut
antara lain dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus normal


dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit (Eddy dan Symons,
2003).
A: Prosesus sel podosit dipisahkan oleh celah pori-pori B: Pada sindrom nefrotik,
celah pori-pori menghilang dan prosesus sel podosit terlihat bergabung menjadi

9
satu C: Mutasi protein podosit 1: slit diaphragm proteins (nephrin), 2: membrane
proteins (podocin), 3: cytoskeleton (α-actinin-4, CD2-AP), 4: extracellular
matrix adhesion molecule, (β4 integrin), 5: sialylated anionic surface proteins, 6:
nuclear proteins (WT1, LMX1B, SMARCAL1),7: basement membrane proteins
(α5 chain collagen IV).

b. Adanya Faktor Plasma


Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada pasien
dengan sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003).

c. Abnormalitas Respon Sel Limfosit T


Sel T diduga mensintesis faktor permeabilitas yang dapat mengubah selektivitas
glomerulus terhadap protein, sehingga terjadilah proteinuria massif. Hipotesis
lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau menyebabkan down
regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada kondisi normal berfungsi
mencegah proteinuria (Eddy dan Symons, 2003).

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik (Atalas et al., 2002) :


1. Proteinuria
Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa
faktor yang turut menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu :
- Konsentrasi plasma protein

10
- Berat molekul protein
- Electrical charge protein
- Integritas barier membrane basalis
- Electrical charge pada filtrasi barrier
- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
- Degradasi intratubular dan urin

2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul
69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh
kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme
kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk
mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra
vaskular.
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual
- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma
albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti
oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi
keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium

11
Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif
sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai
akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H 2O yang
berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi
bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme
sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang
mengandung antagonis aldosteron.

3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan
difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron
- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar
adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone
aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion
natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.

12
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan
vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.

4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

2.5 Gejala Klinis


Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,
daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh
dan masif (anasarka) (Hammersmith et al., 2006).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab
muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan
bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit
menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat
pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut
disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien
SNKM (Atalas et al., 2002).

13
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan
sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al., 2010).
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat
dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu (Atalas et al., 2010).
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur (Darnindro dan Muthalib, 2008).

2.6 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

14
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:


1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
1.1 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
1.2 Albumin dan kolesterol serum
1.3 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
1.4 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan
anti ds-DNA

Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%.
Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium
yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom
nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid
(Noer, 2002).

2.7 Diagnosis Banding

15
1. Edema Non Renal
2. Glomerulonefritis Akut
3. Lupus Sistemik Eritematorus

2.8 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaanpemeriksaan


berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,
atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan


menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein

16
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik
untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.

17
Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik (Trihono et al., 2008)

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi


karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al., 2008).

18
IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (Inactivated
Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008).

TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut:

Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak


dengan Sindrom Nefrotik (Noer, 2002)
Istilah Keterangan
Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut
Relaps Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut,
dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Relaps tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4
kali dalam periode 12 bulan
Relaps sering Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal,  atau  ≥ 4 kali kambuh

19
pada setiap periode 12 bulan
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid
saja
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama
masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu
14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah
diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari
selama 4 minggu
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi
prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan
terapi lain
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang
sebelumnya responsif-steroid

Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3
dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

20
Gambar 5. Pengobatan Inisial Kortikosteroid (Trihono et al., 2008)
Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison,
dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat
infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang
tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥
++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.

Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008)


Keterangan : Pengobatan SN relaps  prednison dosis penuh (FD) setiap hari
sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

21
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset
penyakit pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama,
dan remisi lambat pada episode awal (Noer, 2002).

1. Steroid Jangka Panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-
12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba

22
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x
seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan

23
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi.

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.

Protokol pengobatan sindrom nefrotik relaps :

Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral


(Trihono et al., 2008)

24
Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu

Gambar 8. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid


(Trihono et al., 2008)
Keterangan :
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari

25
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau
dependen steroid :

Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik SN Relaps Sering atau


Dependen Steroid (Trihono et al., 2008)
Keterangan :
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid

26
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan)
(Trihono et al., 2008).

Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping
CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga

27
bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu
pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
- Kadar kreatinin darah berkala
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka
obat ini belum direkomendasi di Indonesia .

28
Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
(Trihono et al., 2008)
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid
oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).

29
Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteiuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria.
Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui
penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI
juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming
growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB
memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:

- Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5


mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
- Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

2.9 Prognosis

Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak, prognosis
adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon
yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal
(chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab lain seperti focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan terjadi end stage renal disease

30
(ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat lagi sindroma nefrotik adalah
level protenuria, control tekanan darah dan fungsi ginjal.
Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu sebagai
berikut :
- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun
- Jenis kelamin laki-laki
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria
- Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
- Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran
klinis
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri
dari edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemi.
2. Beberapa pengertian terkait dengan sindrom neftorik diantaranya adalah
Remisi, Relaps, Frequently Relapsing NS, Steroid Dependent NS, Steroid
resistant NS.
3. Diagnosa Banding dari sindrom nefrotik yaitu Edema non-renal,
glomerulonefritis akut dan lupus sistemik eritematosus.
4. Prednisolon digunakan sebagai lini pertama dalam tatalaksana sindrom
nefrotik pada anak
5. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari sindrom nefrotik adalah infeksi,
acute kidney injuri dan thromboembolism.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutedja, Tirawan, and Nana Supriana. "Radioterapi pada Tatalaksana Tumor

Wilms." Radioterapi & Onkologi Indonesia 8.2 (2017): 84-92.

2. Cook A, Farhat W, Khoury A. Update on Wilms’ tumor in children. J Med

Liban 2005;53:85–90.

3. Treswari, Bambang, and Indrastuti “Peranan Radiologi pada Kasus Tumor

Wilms” Jurnal Radiologi Indonesia 4.1 (2018): 26-33

4. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Manual of Pediatric Hematology and

Oncology. Edisi ke-4. New York: Churchill Livingstone, 2006. H. 549-60.

5. Davidoff AM. Wilms Tumor. Adv Pediatr.2012; 59 (1):247-67.

6. Szychot E, Apps J, Pritchard-Jones K. Wilms’ tumor : biology, diagnosis and

treatment. Transl Pediatr 2014;3(1):12-24.

7. Dumba M, Jawad N, McHugh K. Neuroblastoma and nephroblastoma: a

radiological review. Cancer Imaging 2015;15:5. doi:10.1186/s40644-015-

0040-6.

33

Anda mungkin juga menyukai