Anda di halaman 1dari 26

Keperawatan Gerontik

LAPORAN PENDAHULUAN
ARTRITIS REUMATOID

OLEH:

OKTAVIANA SURNIA
144 2020 1060

PRECEPTOR INSTUTUSI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI


NERS FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan total lansia
sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam pengkajian dan
intervensi muskuloskeletal (Safina, 2016). Perawat memainkan dua peranan
penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum berusia 65
tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari penuaan. Penyakit
muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan yang tidak dapat
dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik,
tidak hanya sebagai akibat dari penuaan (Smith, 2017).
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang
menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan
sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan
berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi
dan kerusakan total sendi (Junaidi, 2016).
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan
tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3
sampai 2,1 persen). Menurut World Health Organisation (WHO) (2016) 335 juta
penduduk di dunia yang mengalami Rematik. Artritis Reumatoid lebih sering
dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3: 1.7
Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Artritis Reumatoid
menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada
umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia.
1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000
pria (Malara, 2017).
Penanganan medis pasien dengan artritis reumatoid pada lansia bergantung
pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat dan termasuk dalam kelompok mana
yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk menghilangkan nyeri dapet
mempergunakan agens antiinflamasi, obat yang dipilih adalah aspirin (Keswara,
2018).

B. Tujuan
1. Mengetahui dimaksud dengan Artritis Reumatoid
2. Mengetahui penyebab dari Artritis Reumatoid
3. Mengetahui patofisiologi Artritis Reumatoid
4. Mengetahui manifestasi klinis dari Artritis Reumatoid
5. Mengetahui komplikasi dari Artritis Reumatoid
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari Artritis Reumatoid
7. Mengetahui penatalaksanaan medis dari Artritis Reumatoid
8. Mengetahui asuhan keperawatan Artritis Reumatoid
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Anatomi dan Fisiologi
Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang
bertemu, adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya.
Persendian dapat diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian
(CiptaNursing, 2016).
a. Klasifikasi Struktural Persendian
1) Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan ikat fibrosa.
2) Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan kartilago.
3) Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan
kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnnya.
b. Klasifikasi Fungsional Persendian
1) Sendi sinartrosis atau sendi mati.
a) Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa
rapat dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura
adalah sutura sagital dan sutura parietal.
b) Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan
dengan kartilago hialin. Salah satu contohnya adalah lempeng
epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang
seorang anak. Saat sinkondrosis sementara berosifikasi, maka
bagian tersebut dinamakan sinostosis.
2) Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap
torsi dan kompresi (Hembing, 2018).
a) Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan
diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan
terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis adalah simfisis
pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus intervertebralis antar
badan vertebra yang berdekatan.
b) Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan
dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh
sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak bersisian
dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti pada tulang
radius dan ulna, serts tibia dan fibula.
c) Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga
sendi sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan
sinovial, suatu kapsul sendi (artikular) yang menyambung kedua
tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial dilapisi kartilago
artikular.
c. Klasifikasi Persendian Sinovial
1) Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk
bulat yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada
tulang lain. Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke
tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah sendi panggul serta sendi bahu.
2) Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan
dikenal sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian pada
lutut dan siku.
3) Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang
memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya
persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid
aksis (CiptaNursing, 2016).
4) Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang
memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang.
Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal.
5) Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang termodifikasi
sehingga memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah
persendian antara tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
6) Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi dalam
batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian. Persendian
semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya persendian invertebrata
dan persendian antar tulang-tulang karpal dan tulang-tulang tarsal.

2. Pengertian Artritis Reumatoid


Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang
tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi,
ankilosis, dan deformitas (Kowalak, 2016).

3. Etiologi Artritis Reumatoid


Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara
pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis
rheumatoid menurut (Purwoastuti, 2019) yaitu:
a. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
b. Endokrin. Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena
pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit
ini.
c. Autoimmun. Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
d. Metabolik
e. Faktor genetik serta pemicu lingkungan. Faktor genetik dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit
ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan artritis
reumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1
untuk menderita penyakit ini.

4. Patofisiologi Artritis Reumatoid


Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis
reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut; Suatu
antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis
sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah
diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan
HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+ (Kowalak, 2016).
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan
proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama
antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah
teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon,
tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-
2, dan IL-4 (Susane, 2017).
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas
ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem
komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a.
Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain
meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan
histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini
dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin
pada membran synovial (Susane, 2017)
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan
menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas
juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi (Susane, 2017).
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1
dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila
antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi
pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya akan
menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada artritis
reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid.
Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG
yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga
proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga
menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya
pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam
arakidonat (Damayanti, 2015).
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling destruktif dalam patogenesis artritis reumatoid. Pannus
merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel
mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan
proteoglikan (Purwoastuti E. , 2018).
PATHWAY (Chairuddin, 2015)

Reaksi Faktor R dg Antibodi, faktor metabolic, infeksi dg kecenderungan virus

Nyeri Reaksi peradangan

Kurang informasi tentang Sinovial menebal


proses penyakit
Pannus
Defisit pengetahuan
Infiltrasi ke dalam os. Subcondria

Hambatan nutrisi pada cartilage artikularis

Kerusakan kartilago dan tulang Kartilago nekrosis

Tendon dan ligament melemah Erosi Kartilago

Hilangnya kekuatan otot Adhesi pada permukaan sendi

Resiko cedera Ankilosi fibrosa dan tulang

Kekakuan sendi Gangguan Mobilitas Fisik


5. Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit
ini akan berkembang menjadi empat tahap menurut (Hembing, 2018) yaitu:
a. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan
kelebihan produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat
merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.
b. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat.
Pasien mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas
sendi.
c. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga
mengurangi ruang gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan
penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.
Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
d. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat
mengakibatkan terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang
meluas dan luka pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin
terjadi.

Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok,


menurut (Stanley, 2017) yaitu :
a. Kelompok 1
Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan
tangan sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-
nodula reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini
dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
b. Kelompok 2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari
American Rheumatologic Association untuk artritis reumatoid karena
mereka
mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering
melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
c. Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan
panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada
pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan
adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan
sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang
dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan
menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan
memiliki prognosis yang baik.

6. Komplikasi Artritis Reumatoid


Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
(disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis rheumatoid (Suratun,
2017).

7. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid


Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnostik pasien
dengan Artritis Reumatoid menurut (Isbagio, 2019) antara lain:
a. Pemeriksaan cairan synovial:
1) Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses
inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3) Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan
berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
b. Pemeriksaan darah tepi:
1) Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila
terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2) Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Pemeriksaan kadar sero-imunologi:
1) Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita; 95% + pada penderita
dengan nodul subkutan.
2) Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis
rheumatoid dini.

8. Penatalaksanaan Artritis Reumatoid


Tujuan utama dari program penatalaksanaan perawatan adalah sebagai
berikut (Damayanti, 2015) :
a. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
b. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
penderita.
c. Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada
sendi.
d. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang
lain. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pendidikan
Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi (perjalanan
penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini,
semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang
kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan
metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim
kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
2) Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang
hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari, tetapi
ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita
harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas
yang diikuti oleh masa istirahat.
3) Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu
diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit
dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi
ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan
latihan khusus, seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang
berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah
lemah oleh adanya penyakit.

Penatalaksanaan Medik (Nugrraha, 2014) :


1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada
penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai
walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain
dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik
yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum
jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam
hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
a) Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.
b) Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi
(histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c) Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
d) Menghambat proliferasi seluler.
e) Menetralisasi radikal oksigen.
f) Menekan rasa nyeri
2) Penggunaan DMARD
Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD
pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian
DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan
ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi
pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan
menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara
siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan
penyakit keganasan. digunakan untuk melindungi rawan sendi dan
tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Beberapa jenis
DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR (Nugrraha,
2014) adalah:
a) Klorokuin: Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis
harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis
makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b) Sulfazalazine: Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam
bentukenteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg /
hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g /
hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk
digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi.
c) D-penicillamine: Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg
atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300
mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu
sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250
sampai 300 mg/hari.
3) Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat
ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement,
memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

9. Prognosis
Pasien dengan faktor rheumatoid seropositif memiliki morbiditas yang
lebih berat. Remisi spontan umum ditemukan dalam dua tahun
pertama. Remisi total jarang ditemukan pada 50-90% pasien dengan penyakit
progresif dan setelah lima tahun pemberian terapi obat anti-rematik (Putri,
2018).
Lima puluh persen skor maksimum untuk penyempitan sendi dan erosi
radiografik ditemukan dalam lima tahun perjalanan penyakit. Pasien dengan
tingkat edukasi formal tinggi memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang
lebih baik (Putri, 2018).
Penanda prognosis baik adalah:
 Terapi dini dan agresif
 Respon baik terhadap terapi
 Pencapaian tujuan terapi dengan remisi total dalam 2 tahun
 Gangguan terbatas pada tangan dan kaki
Penanda prognosis buruk adalah:
 Faktor rheumatoid positif
 Antibodi anti-CCP
 Nodul rheumatoid
 Peningkatan penanda inflamasi seperti LED dan CRP
 Peningkatan jumlah sendi yang membengkak
 Erosi radiologik dini
 Penurunan kemampuan fungsional dini
 Tingkat sosioekonomi rendah
 Wanita

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan
organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal), tahapan
misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk
arthritis lainnya (Nanda, 2016).
a. Aktivitas/ istirahat
1) Gejala: Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan
stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan
simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
2) Tanda: Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.
b. Kardiovaskuler
Gejala: Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki (mis; pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
c. Integritas ego
Gejala: Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan) ancaman pada konsep diri,
citra tubuh, identitas pribadi (misalnya ketergantungan pada orang lain).
d. Makanan/ cairan
1) Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk
mengunyah.
2) Tanda: Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
e. Hygiene
Gejala: Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi. Ketergantungan.
f. Neurosensori
1) Gejala: Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jari tangan.
2) Tanda: Pembengkakan sendi simetris.
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan
jaringan lunak pada sendi).
h. Keamanan
Gejala: Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah
tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan membran
mukosa.

2. Diagnosa Keperawatan (PPNI, 2016)


a. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis
b. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
c. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi
d. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan penyakit rematik
3. Rencana Keperawatan (PPNI, 2016)
No Tujuan dan Intervensi Rasional
dx Kriteria Hasil
1 Setelah diberikan asuhan 1. Kaji keluhan nyeri, 1. Membantu
keperawatan selama 3x24 jam kualitas, lokasi, intensitas dan menentukan kebutuhan
diharapkan skala nyeri waktu. manajemen nyeri dan
berkurang dengan kriteria hasil: keefektifan program.
- Skala nyeri berkurang
- Kemampuan mengenali 2. Mengetahui kondisi
penyebab nyeri meningkat. 2. Pantau TTV pasien umum pasien
- Kemampuan menggunakan
tehnik non-farmakologis
meningkat. 3. Penyakit
- Keluhan nyeri menurun. 3. Berikan posisi nyaman berat/eksaserbasi, tirah
(PPNI, 2016) waktu tidur/duduk di kursi. baring diperlukan
untuk membatasi nyeri
atau cedera sendi.

4. Mengistirahatkan sendi
4. Tingkatkan istirahat di yang sakit dan
tempat tidur sesuai indikasi mempertahankan
posisi netral.

5. Panas meningkatkan
5. Anjurkan mandi air relaksasi otot dan
hangat/pancuran pada waktu mobilitas, menurunkan
bangun. Sediakan waslap rasa sakit dan
hangat untuk mengompres kekakuan di pagi hari.
sendi yang sakit beberapa
kali sehari. Sensitivitas pada panas
dapat hilang dan luka
dermal dapat sembuh.

2. Setelah diberikan asuhan 1. Identifikasi kesiapan 1. Agar pasien dan


keperawatan selama 3x24 jam dan kemampuan keluarga dapat
diharapkan pasien dapat menerima informasi menerima informasi
melaksanakan aktivitas tetang penyakit yang di
perawatan diri dengan kriteria alami pasien.
hasil:
- Perilaku sesuai 2. Sediakan materi dan media 2. Agar pasien dapat
anjuran meningkat pendidikan kesehatan mengetahui lebih banyak
- Perilaku sesuai pengetahuan informasi tentang perilaku
meningkat hidup sehat.
- Pertanyaan tentang masalah
yang dihadapi menurun 3. Berikan kesempatan 3. Pasien dapat
- Persepsi yang keliru untuk bertanya menerapkan dalam
terhadap masalah menurun kehidupan sehari-hari
- Menjalani pemeriksaan
yang tidak tepat menurun 4. Jelaskan faktor resiko 4. Agar pasien dapat
- Perilaku membaik yang dapat mempengaruhi megetahui hal-hal yang
kesehatan dapat mempengaruhi
kesehatan.

5. Ajarkan perilaku 5. Agar pasien dan


hidup bersih dan sehat. keluarga dapat
mengetahui pola hidup
sehat dan bersih yang
baik.
3. Setelah diberikan asuhan 1. Lindungi klien dari 1. Karena klien rentan
keperawatan selama 3x24 jam kecelakaan jatuh. untuk mengalami fraktur
diharapkan pasien tidak patologis bahkan oleh
menderita cidera dengan kriteria benturan ringan sekalipun.
hasil:
- Kontrol gerakan meningkat 2. Hindarkan klien dari satu 2. Perubahan posisi
- Keseimbangan posisi yang menetap, ubah berguna untuk mencegah
gerakan meningkat posisi klien dengan hati-hati. terjadinya penekanan
- Ketegangan otot menurun punggung dan
- Ekspresi wajah memperlancar aliran darah
kesakitan menurun serta mencegah terjadinya
- Gangguan mobilitas menurun dekubitus.
- Frekuensi nadi membaik
- Pola istirahat/ tidur membaik 3. Bantu klien memenuhi 3. Kelemahan yang
kebutuhan sehari-hari selama dialami oleh pasien
terjadi kelemahan fisik. hiperparatiroid dapat
mengganggu proses
pemenuhan ADL pasien.

4. Atur aktivitas yang tidak 4. Aktivitas yang


melelahkan klien. berlebihan dapat
memperparah penyakit
pasien.

5. Ajarkan cara melindungi diri 5. Mencegah terjadinya


dari trauma fisik seperti cara cedera pada pasien
mengubah posisi tubuh, dan
cara berjalan serta menghindari
perubahan posisi yang tiba-tiba.
4. Setelah diberikan asuhan 1. Identifikasi adanya nyeri 1. Untuk mengetahui
keperawatan selama 3x24 jam dan keluhan fisik batasan gerakan yang
diharapkan mobilitas fisik lainnya akan dilakukan
meningkat dengan kriteria hasil :
- Pergerakan ekstremitas 2. Agar pasien
meningkat 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
- Kekuatan otot meningkat melakukan dan memperlancar
- Rentang gerak (ROM) pergerakan aliran darah
meningkat
- Nyeri menurun 3. Memaksimalkan
- Kecemasan menurun latihan pergerakan
- Kaku sendi menurun 3. Libatkan keluarga untuk
- Kelemahan fisik menurun membantu pasien
melakukan pergerakan 4. Agar keluarga pasien
dapat mengetahui lebih
4. Ajarkan mobilisasi banyak informasi
sederhana yang harus tentang pentingnya
dilakukan (kepada pergerakan sendi dan
keluarga) dapat menerapkan
secara mandiri kepada
pasien.
4. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses
keperawatan dan merupakan tahapan dimana perawat merealisasikan rencana
keperawatan ke dalam tindakan keperawatan nyata, langsung pada klien.
Tindakan keperawatan itu sendiri merupakan pelaksanaan dari rencana
tindakan yang telah diktentukan dengan maksud agar kebutuhan klien
terpenuhi secara optimal (Hidayat, 2016).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaan sudah berhasil di capai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawat memonitor “kealpaan“ yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Hidayat, 2016).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang
tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi,
ankilosis, dan deformitas.
Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui
secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis
reumatoid, yaitu: Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-
hemolitikus, endokrin, autoimmun, metabolik, dan faktor genetik serta pemicu
lingkungan.
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka
penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap yaitu terdapat radang
sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi cairan
sinovial, secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat
dilihat, jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga
mengurangi ruang gerak sendi, ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan
gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis
terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah nyeri, gangguan
mobilitas fisik, gangguan bodi image, kurang perawatan diri, risiko cedera,
dan defisit pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Chairuddin, R. (2015). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi.


CiptaNursing. (2016). Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT. Indeks.
Damayanti. (2015). Arthritis Rheumatoid Dan Penatalaksanaan Keperawatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Hembing, W. (2018). Atasi Asam Urat dan Rematik Ala Hembing. Jakarta: Puspa
Swara.
Hidayat, A. A. (2016). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Isbagio, H. (2019). Pendekatan diagnostik penyakit rematik. Subbagian Reumatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran h.12.26.
Junaidi. (2016). Reumatik dan Asam Urat. Jakarta: BIP.
Keswara, U. R. (2018). Kegiatan Penyuluhan Tentang Rematik Pada Lansia Di
Wilayah Kerja. Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat, Volume
1 nomor 1, 17-18.
Kowalak. (2016). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Kushariyadi. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba
Medika.
Malara, R. d. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan
Penyakit Rematik Diwilayah Puskesmas Beo Kabupaten Talaud. e-journal
Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Mei 2017 , 2.
Nanda, I. (2016). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Purwoastuti, E. (2018). Waspadai Gangguan Rheumatoid Arthritis. Yogyakarta: PT.
Gramedia.
Purwoastuti, E. (2019). Waspadai Gangguan Rheumatoid Arthritis. Yogyakarta:
PT.Gramedia.
Putri, A. J. (2018). Rheumatoid Arthritis.
http://www.welfare.ie/en/downloads/protocol14.pdf.
Safina, H. (2016). Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Cet. ke-2 (Edisi Revisi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Smith. (2017). Penyakit Radang Sendi. Jakarta: Rineke Cipta.
Stanley, M. (2017). Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Suratun. (2017). Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Susane, S. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 8) Vol.3. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai