Laporan Tutorial C Blok 28 2017
Laporan Tutorial C Blok 28 2017
Laporan Tutorial C Blok 28 2017
Disusun oleh:
Kelompok B6
Anggota:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario C Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Citra, Sp. PA yang telah
memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan telah
memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah skenario
yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................4
C. Data Tutorial..................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah..............................................................................................................5
V. Kerangka Konsep..........................................................................................................57
VI. Sintesis..........................................................................................................................58
BAB III.....................................................................................................................................61
PENUTUP................................................................................................................................61
I. Kesimpulan......................................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................64
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai distres pernapasan.
B. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Citra, Sp. PA
2. Moderator : Azora Khairani Kartika
3. Sekretaris : 1. Aprita Nurkarima
2. Syah Fitri
4. Waktu : 1. Senin, 25 September 2017
2. Rabu, 27 September 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
BAB II
4
PEMBAHASAN
Skenario C Blok 28 Tahun 2017
I. Klarifikasi Istilah
ISTILAH DEFINISI
Motled Warna kulit tubuh terlihat berbercak
Wheezing Suara pernapasan frek tinggi nyaring yg terdengar di akhir ekspirasi.
Retraksi Supra Penarikan sternum pada saat bernapas
sternal
Stridor Suara yang terdengar kontinyu, bernada tinggi yang terjadi baik saat
inspirasi maupun saat ekspirasi
Ronki Suara nafas tambahan bernada rendah, bersifat sonor, terdengar
tidak mengenakan terjadi pada saluran nafas besar seperti trakea
bagian bawah dan bronkus utama
Suara nafas Suara nafas normal bernada rendah terdengar lebih panjang pada
vesikuler fase inspirasi dari pada ekspirasi dan kedua fase bersambung atau
5
tidak ada silent gaps.
SpO2 Saturation Peripheral Oxygen adalah fraksi Hb yang tersaturasi
oksigen relatif terhadap total Hb.
Sunkup Alat bantu yang digunakan untuk mengalirkan oksigen dengan
rebreathing konsentrasi oksigen 60-80%
Batuk seperti Karakteristik batuk yang merupakan suatu ciri khas pada sindroma
anjing menyalak croup
Nafas cuping Pelebaran nostril ketika bernafas dan merupakan salah satu tanda
hidung adanya kesulitan nafas.
6
panas tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing
menyalak.
a. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin dengan kasus?
Distress pernapasan untuk usia 0,5-5 tahun berjumlah 12,8 insiden per100.000
orang/tahun. Perbandingan laki-laki:perempuan, 63%:54%. Perbedaan
mortalitas keduanya tidak signifikan.
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya
pada usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan
remaja usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan,
dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan
musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien
croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan
berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratorik
atas. Hampir 15%pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat
penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif di Belgia mendapatkanbahwa
16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami minimal satu kali episode croup,
sedangkan 5% mengalami croup berulang (sedikitnya 3 episode).
7
Pada kasus, tumbuh kembang Yudi baik berdasarkan berat dan tinggi
badannya, sehingga infeksi croup yang dialami Yudi bukan karena status gizi
yang buruk.
8
d. Apa saja tanda-tanda kesulitan bernafas pada anak?
- Nafas cepat
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau retraksi dinding dada
- Stridor
- Wheezing
9
Bila anak rewel minta ibu untuk membantu memasangkan selang oksigen
ke anaknya. Berikan O2 100% dengan sungkup 6L/meni atau anak
dipangku ibu dan oksigen di hamburkan di depannya
Pemberian oksigen diatur supaya anak tidak rewel.
Pada kasus ini, sirkulasi dan penampilannya normal, namun gangguan pada
usaha bernapas ditandai dengan adanya nafas cuping hidung dan retraksi
dinding dada.
Initial Asessment
o Airway Jalan napas yang baik untuk oksigenasi dan ventilasi.
Penilaian : terdapat ngorok obstruksi pada saluran nafas
Management : tempatkan anak pada posisi yang nyaman
b. Apa makna klinis dari bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat
dan tidak motled?
Yudi masih memiliki sirkulasi yang baik, aliran darah ke perifer masih cukup.
Hal ini menunjukkan bahwa aliran darah dan perfusi perifer pada Yudi masih
adekuat. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada gangguan sirkulasi pada Yudi.
Tidak motled artinya tidak ada spasme pembuluh darah.
12
1.
1. Appearance
Hal ini dapat menggambarkan status ventilasi ke sistem susunan saraf
pusat.
Element Yang dinilai
Tonus Otot Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
lemah atau tidak
Interaktivitas Alertness: apakah anak waspada dan penuh perhatian
untuk sekitarnya? Apakah apatis?apakah anak
13
berespon terhadap orang, objek atau suara?
Consolability Gelisah/agitasi. Apakah hal-hal yang menghibur anak
dapat mengurangi kegelisahan dan menangis?
Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,
atau apakah tatapan matanya kosong
Speech/cry Apakah vokalisasinya kuat atau lemah, sayu atau
serak?
2. Work of breathing
Hal ini untuk mengkonfrmasi apakah anak bernafas dan apakah ada usaha
berlebih untuk bernafas.
Element Yang dinilai
Frekuens nafas Tachypnea atau bradypnea
Suara jalan napas Altered speech, stridor, wheezing atau grunting
abnormal
Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
intercostals atau substernal
Flaring Nasal flaring (nafas cuping hidung)
3. Circulation
Hal ini dilakukan dengan melihat warna kulit, bibir, lidah, telapak tangan
dan kaki
Element Yang dinilai
Pallor White skin coloration from lack of peripheral blood
Mottling Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,
due to vascular instability
Cyanosis Bluish discoloration of skin and mucus
14
Distress Nasal flaring
Grunting
Stridor
Wheezing
Retractions
Respiratory Abnormal Abnormal Normal/ abnormal
Failure
Normal
Auskultasi
Vesikular,(-) Tidak ada gangguan disaluran
:vesikular, ronki (-)
pernapasan bawah
15
100/140-
HR 135x/menit Normal
190kali/menit
Nadi brachialis
kuat Kuat Normal
Nadi radialis kuat
CRT < 2detik < 2detik Normal
17
S Sign and symptoms (Batuk dan kesulitan bernapas)
a. Sudah berapa lama
b. Pola: malam/dini hari?
c. Faktor pencetus
d. Paroksismal dengan whoops atau muntah atau sianosis sentral
A Allergies
{Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll} pada pasien atau keluarga
19
Jika tersedia, pemberian oksigen harus dipandu dengan pulse oxymetry.
Berikan oksigen pada anak dengan kadar SaO2 < 90%, dan naikkan pemberian
oksigen untuk mencapai SaO2 hingga > 90%. Jika pulse oxymetry tidak
tersedia, kebutuhan terapi oksigen harus dipandu dengan tanda klinis, yang
tidak begitu tepat.
Bila persediaan oksigen terbatas, prioritas harus diberikan untuk anak dengan
pneumonia sangat berat, bronkiolitis, atau serangan asma yang:
Sumber oksigen
Persediaan oksigen harus tersedia setiap waktu. Sumber oksigen untuk rumah
sakit rujukan tingkat pertama, umumnya adalah silinder/tabung oksigen dan
konsentrator oksigen. Alat-alat ini harus diperiksa kompatibilitasnya.
Silinder Oksigen dan Konsentrator Oksigen
Lihat daftar peralatan yang direkomendasikan yang dapat digunakan dengan
silinder oksigen atau konsentrator oksigen serta instruksi penggunaannya.
Metode Pemberian Oksigen
Terdapat tiga metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen yaitu
dengan menggunakan nasal prongs, kateter nasal dan kateter
nasofaring. Nasal prongs atau kateter nasal lebih sering dipakai dalam banyak
situasi. Nasal prongs merupakan metode terbaik dalam pemberian oksigen
pada bayi muda dan anak dengan croup yang berat atau pertusis.
Penggunaan kateter nasofaring membutuhkan pemantauan ketat dan reaksi
cepat apabila kateter masuk ke esofagus atau timbul komplikasi lainnya.
Penggunaan sungkup wajah atau headbox tidak direkomendasikan.
20
Nasal prongs. Nasal prongs adalah pipa pendek yang dimasukkan ke dalam
cuping hidung. Letakkan nasal prongs tepat ke dalam cuping hidung dan
rekatkan dengan plester di kedua pipi dekat hidung (lihat gambar). Jaga agar
cuping
hidung anak bersih dari kotoran hidung/lendir, yang dapat menutup aliran
oksigen.
Pasang aliran oksigen sebanyak 1–2 liter/menit (0.5 liter/menit pada bayi
muda) untuk memberikan kadar-oksigen-inspirasi 30–35%. Tidak perlu
pelembapan.
21
Kateter Nasofaring. Kateter dengan ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan ke dalam
faring tepat di bawah uvula. Letakkan kateter pada jarak dari sisi cuping
hidung hingga ke arah telinga (lihat gambar B). Jika alat ini diletakkan terlalu
ke bawah, anak dapat tersedak, muntah dan kadang-kadang dapat timbul
distensi lambung.
Pemantauan
Latih perawat untuk memasang dan mengeratkan nasal prongs atau kateter
dengan tepat. Periksa secara teratur bahwa semua alat berfungsi dengan
semestinya dan lepaskan serta bersihkan prongs atau kateter sedikitnya dua
kali sehari.
Pantau anak sedikitnya setiap 3 jam untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
masalah yang terjadi, meliputi:
5. Aspek Klinis
a. Diagnosis Banding
Gejala dan tanda Croup Epiglotitis Bronkiolitis Aspirasi Asma
benda asing eksaserbasi
akut
Kesulitan + + + + +
23
bernapas
Riwayat panas + +/- + (demam - -
tidak tinggi, (demam seharusnya
batuk, pilek 2 hari seharusny tinggi)
sebelum a tinggi)
Gelisah (agitasi) + + + + +
Bibir sianosis + + + + -
Takipnea + + + + (parsial) +
Stridor + - - + (parsial) -
Nasal flaring + + - - -
Retraksi + + + + -
suprasternal,
intercostal
Ronkhi negatif + + - - -
24
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya adalah
Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang
digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk
lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi.
Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan
skor akhir berkisar dari 0 sampai 17. Evaluasi status hidrasi. Evaluasi pasien
dengan menggunakan Croup Score setiap 30-90 menit berdasarkan tingkat
keparahan pasien.
c. Diagnosis Kerja
Distres pernapasan et causa croup
d. Etiologi
Penyakit ini biasanya menyebar melalui pernafasan dari percikan yang
mengandung virus di udara atau berhubungan langsung dengan penderita yang
terjangkit melalui percikan dahak.
25
a) Virus
Parainfluenza virus tipe I,II,III (50-75% kasus), Virus influenza tipe A dan B,
Adenovirus, Enterovirus, Respiratory syncytial virus (RSV), Measles,
Coxsackievirus, Rhinovirus, Echovirus, Reovirus, Metapneumovirus.
b) Bakteri (jika terjadi infeksi sekunder)
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae,, Moraxella catarrhalis, Mycoplasma pneumoniae.
e. Epidemiologi
Virus parainfluenza menyebabkan sekitar 75% kasus; adenovirus, virus sinsisial
respiratorik, influenza, dan campak menyebabkan kasus virus sisanya. Pada
sebuah penelitian Mycoplasma pneumonia ditemukan dari 3,6% penderita yang
menderita obstruksi saluran pernapasan akut. Walaupun Haemophilus influenzae
tipe b merupakan penyebab biasa epiglotitis akut. Kebanyakan penderita yang
menderita croup virus berumur antara 3 bulan dan 5 tahun, tetapi penyakit yang
disebabkan H. Influenzae dan Corynebacterium diphterae lebih lazim ditemukan
pada penderita yang berumur 3-7 tahun. Insidens croup lebih tinggi pada laki-laki,
dan penyakit ini paling lazim selama musim dingin setiap tahunnya. Sekitar 15%
penderita mempunyai riwayat keluarga croup yang kuat dan laringitis cenderung
kambuh pada anak yang sama.
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan remaja
usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa.1 Penyakit ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio
3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi
penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari
seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan
sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan
struktur anatomi saluran respiratorik atas. Hampir 15%pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif
di Belgia mendapatkanbahwa 16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami
minimal satu kali episode croup, sedangkan 5% mengalami croup berulang
(sedikitnya 3 episode).
26
f. Faktor risiko
Berat badan lahir rendah (BBLR)
Faktor usia: anak berumur kurang dari 2 tahun lebih mudah terserang croup
dikarenakan imunisasi yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relative sempit.
Anak dengan defisiensi vitamin A yang dapat menghambat pertumbuhan
balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan.
Faktor gizi: malnutrisi
Faktor pendidikan ibu rendah
Polusi udara
g. Patofisiologi
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human
Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus Influenza A dan B,
Adenovirus, Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Seperti infeksi
respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari
nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus,
eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya
mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan
suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran
respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti
dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan
abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami
hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan
henti napas.
h. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis croup berdasarkan derajat kegawatan, dibagi menjadi empat
kategori:
i. Pemeriksaan penunjang
j. Tatalaksana
a) Terapi suportif
Gejala croup sering timbul pada malam hari sehingga banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit
gawat darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang
penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
- Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
- Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya
sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan
turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan.
b) Farmakoterapi
29
- Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau
antipiretik pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini
karena membuat anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.
- Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam
menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak
dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya,
dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup.
- Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak
dengan croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus,
sehingga secara empiris terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi
super infeksi –paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan
kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik
untuk profilaksis juga tidak rasional.
- Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup
berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat
mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam
waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat
dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam
setelah terapi.
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup;
epinephrin 1:1.000 memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan
bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml
epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan berat
badan.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan
dibeberapa unit perawatan intensif anak.
- Glucocorticoids
30
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian
intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka
kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala
pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat.
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral.
Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya
digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat
beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg
BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol,
yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis
yang baik pada sebagian besar pasien.
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan
dexamethasone oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal
sehingga tidak secara rutin digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas
yang berat, pemberian budesonide dan epinephrine secara bersamaan adalah
logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian epinephrine saja.Pada pasien
dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk memberikan
inhalasi steroid.
31
32
33
k. Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi. Kurang dari 5% anak yang didiagnosis croup
memerlukan perawatan di rumah sakit, dan kurang dari 2%-nya memerlukan
intubasi. Kematian terjadi pada 0,5% anak yang diintubasi. Superinfeksi bakteri
dapat menyebabkan pneumonia atau bacterial tracheitis. Infeksi yang mengancam
jiwa yang dapat timbul setelah infeksi saluran pernapasan akut akibat virus.
34
l. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad Sanationam : bonam
m. SKDI
3B: Acute Respiratory Disstress
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
35
IV. Learning Issue
1. Respiratory Distress pada Anak
a. Definisi
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan
diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk
melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory distress
digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory
failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi
dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.
b. Etiologi
Perubahan Fisiologis Volume Frekuensi Temuan Lain
Tidal Pernapasan
Hipoksemia, asidemia, ↑ Sedikit ↑ -
demam, peningkatan
metabolism
Penyakit restriktif ↓ ↑ Mendengkur, pernapasan paksa pada
inspirasi
Penyakit obstruktif jalan Normal ↓ Inspirasimemanjang, pernapasan paksa
nafas atas pada inspirasi
Penyakit obstruktif jalan Normal Bervariasi Ekspirasi memanjang, pernapasan
nafas bawah atau ↓ paksa pada ekspirasi dan sering pada
inspirasi
Penyakit neuromuscular ↓ ↑ Mungkin ada tanda kelemahan otot
lain
Gangguan pengendalian Normal ↓ Tanpa tanda distress
atau ↓
c. Diagnosis
37
2. Respiratory Failure pada Anak
a. Definisi
Gagal nafas adalah keadaan dimana sistim pernafasan tidak mampu memenuhi
fungsinya memenuhi kebutuhan metabolisme sehingga terjadi hipoksia dan hiperkarbia.
Gagal nafas akut masih merupakan masalah utama dalam kegawatan pediatric. Lebih
kurang 8% dari penderita-penderita yang masuk ke ruang perawatan intensif adalah
penderita dengan gagal nafas akut dengan angka kematian 40-75%. Di RS dr. Soetomo,
kematian karena gagal nafas akut sama dengan data-data yang dilaporkan di center-center
lain yaitu 52%.
Dua pertiga dari kasus kasus gagal nafas terjadi pada anak usia < 1 tahun yang
setengahnya terjadi pada masa neonatus. Hal ini disebabkan karena belum matangnya
organ-organ pernafasan selain banyaknya kelainan kongenital pada usia ini yang dapat
menyebabkan gagal nafas. Faktor-faktor predisposisi terjadinya gagal nafas pada anak
terutama pada usia dibawah 5 tahun adalah :
1. Saluran nafas anak lebih sempit dibanding dewasa, sehinggga bila terjadinya sedikit
penebalan saja sudah dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang berat. Pada bayi
penebalan saluran nafas 1 mm saja sudah dapat mengurangi 75% diameter saluran
nafas, sedang pada dewasa penebalan yang sama hanya menyebabkan pengurangan
20% dari diameter saluran nafas. Selain dari itu saluran nafas bayi masih dikelilingi
oleh tulang rawan yang lunak sehingga akan kollap pada inspirasi yang kuat.
Epiglottis relatif lebih besar dari dewasa dan letaknya lebih horizontal dengan posisi
laring yang lebih cephalad ( sekitar C3 - C4 dibanding pada dewasa yang terletak
sekitar C6-C7 ), ditambah dengan area subglottis yang lebih sempit akan menyulitkan
dalam pemasangan pipa endotracheal.
2. Dinding thorak
Tulang dada dan tulang iga masih sangat lunak dengan posisi tulang iga yang lebih
datar sehingga bentuk rongga dada lebih bulat dan lebih elastis. Otot otot pernafasan
masih belum tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga gerakan dinding thorak
jadi lebih terbatas. Bayi terutama bernafas dengan otot diafragma (pernafasan
38
abdominal) sehingga penyakit-penyakit atau proses yang mengenai diafragma dapat
menyebabkan gangguan pernafasan.
3. Ventilasi kollateral pada bayi dan anak belum terbentuk seluruhnya
Pori pori dari Kohn ( antar alveolus) dan kanal bronkoalveolar dari Lambert masih
sedikit sehingga mudah terjadi atelektasis. Pada bayi clossing volume yaitu volume
paru dimana pada volume tersebut saluran nafas terminal sudah mulai kollap lebih
besar sehingga ruang mati ( dead space ) menjadi lebih besar. Selain dari itu jumlah
alveoli bayi dan anak lebih sedikit dari dewasa yaitu + 20 juta dengan luas alveoli
yang lebih kecil dan baru mencapai jumlah dan luas seperti dewasa + 300 juta pada
usia 8 tahun.
4. Sistem saraf pusat dan perifer masih belum matang
Pusat pernafasan pada bayi dan anak masih belum matang sehingga sering terjadi
apnea dan pernafasan yang tidak teratur. Selain dari itu bayi yang tipe tidurnya lebih
dominan dengan REM sleep sering terjadi gangguan pernafasan karena pada keadaan
REM sleep ini sering terjadi gangguan koordinasi otot-otot pernafasan. Pada keadaan
REM sleep ini pernafasan melalui diafragma meningkat, tapi hal ini tidak
bermanfaat karena gerakan ini tidak sesuai dengan gerakan dinding thorak. Padahal
tidur bayi lebih dominan dengan REM sleep sehingga kelompok usia ini lebih mudah
mengalami gagal nafas terutama. dalam keadaan stress.
5. Pada bayi angka kejadian gagal nafas juga lebih tinggi karena kelainan kelainan
kongenital yang dapat menyebabkan gagal nafas seperti hipoplasia paru, kelainan
jantung kongenital, atresia esofagus dengan fistula tracheoesofageal, hernia
diafragma serta trauma kelahiran.
b. Patofisiologi
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan/ aliran oksigen di udara luar sampai ke
dalam sel dan pengeluaran CO2 dari dalam tubuh. Proses pernafasan dibagi dalam 4
tahap :
1. Ventilasi paru-paru yaitu proses pertukaran udara antara udara luar dan alveolus.
2. Diffusi O2 dan CO2 melalui membran respirasi.
3. Transpot O2 dan CO2 dari dan kedalam sel.
39
4. Pengaturan ventilasi oleh susunan saraf pusat.
Proses pernafasan dimulai dari rangsangan reseptor-reseptor pernafasan baik mekanis
atau kimiawi yang diteruskan ke pusat pernafasan yang terletak di medulla oblongata dan
dari sini impuls efferens dikirim ke otot-otot pernafasan sehingga terjadi kontraksi otot-otot
pernafasan.
Akibat dari kontraksi otot pernafasan ini tulang dada dan tulang iga terangkat keatas
dan diafragma tertarik kebawah sehingga terjadi pengembangan rongga dada dan terjadi
tekanan yang lebih negatif dalam rongga dada, akibatnya udara dari luar masuk kedalam
alveoli. Proses pernafasan akan terus berlanjut melalui proses diffusi melalui membran
alveolocapiler atau membran respirasi. Proses diffusi ini terjadi karena perbedaan tekanan
antara rongga alveoli dan kapiler pembuluh darah. Darah dari jantung kanan dengan
kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi akan masuk kedalam sirkulasi paru dan
terjadi pertukaran gas di alveoli, CO2 masuk alveoli sedang O2 dari alveoli masuk
kedalam kapiler paru. Proses difiusi ini berlangsung cepat sehingga darah sudah tersaturasi
penuh dengan oksigen pada sepertiga awal sebelum mencapai ujung kapiler darah alveoli.
O2 di dalam darah akan diikat oleh Hb dalam bentuk oksihemoglobin dan dibawa ke
seluruh tubuh, di kapiler jaringan oksigen akan dilepas melalui suatu proses diffusi karena
kadar oksigen jaringan rendah sedang hasil metabolisme yang berupa CO2 akan masuk ke
dalam kapiler untuk dibawa kembali ke dalam paru-paru.
Pada pernafasan dengan udara biasa kadar oksigen yang masuk ke jantung kiri tidak
pernah mencapai 100 mm Hg sebab masih terdapat aliran darah yang tidak ikut dalam
pertukaran gas di alveoli tapi dari jantung kanan langsung ke jantung kiri, aliran darah ini
merupakan 2 ½ % dari seluruh aliran darah yang ke paru-paru dan disebut Venous
Admixture.
40
Gamba1 1. Fisiologi Pernapasan
2
Membran respirasi ini sangat luas + 70 m dan berhubungan sangat dekat dengan
dinding eritrosit karena kapiler dalam alveolus ini sangat kecil sehingga hanya dapat dilalui
oleh satu sel eritrosit. Kondisi seperti ini akan sangat membantu proses diffusi udara
pernafasan, sehingga pertukaran gas dapat terjadi dengan cepat. Penyakit-penyakit tertentu
yang menambah tebalnya membran respirasi seperti udema paru, pneumonia, fibrosis dan
sebagainya akan memperlambat proses diffusi. Setiap gangguan dari tiap tahap proses
pernafasan dapat menyebabkan ketidakmampuan paru-paru melaksanakan fungsinya
dalam pertukaran gas pernafasan sehingga terjadi gagal nafas.
c. Etiologi
Penyebab gagal nafas sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari suatu
penyakit. Karande et al, dan Randolph et al mendapatkan penyebab tersering dari gagal
41
nafas akut adalah penyakit paru-paru ( > 63% ) terutama bronkopneumonia dan
bronkiolitis, kemudian gangguan neurologis ( 12 - 14% ) dan penyakit – penyakit jantung
dan neuromuskuler. Telah banyak dilakukan pengelompokan penyebab gagal nafas akut
berdasar lokalisasi kelainan, fisiologi atau akibat yang terjadi.. Akibat yang terjadi dari
gagal nafas adalah terjadinya hipoksia dan hiperkarbia dengan berbagai akibatnya.
Hipoksia dan asidosis metabolik yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya penurunan
berbagai fungsi organ. Selain dari hipoksia, retensi CO2 dapat menyebabkan depresi
fungsi susunan saraf pusat, kesadaran penderita menurun sampai koma dan bahkan bisa
terjadi kejang. Otot-otot menjadi lemah, terjadi hipotoni, demikian pula gerakan peristaltik
usus menurun sehingga dapat terjadi ileus paralitik.
Tabel 3. Penyebab gagal nafas akut
42
d. Diagnosis
Seperti pada penyakit-penyakit lain untuk membuat diagnosis yang baik diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gagal nafas akut yang didahului gejala-
gejala panas, batuk dan pilek yang disertai sesak biasanya disebabkan oleh penyakit-
penyakit infeksi saluran nafas akut. Adanya riwayat sesak berulang dan sesak yang sama
dalam anggota keluarga mengarahkan kita pada kemungkinan asma sebagai penyebab
gagal nafas.
Penderita yang sering sesak nafas sejak kecil terutama bila minum, atau saat bermain
kemungkinan penyebabnya adalah penyakit jantung. Riwayat kecelakaan atau adanya
riwayat kebakaran akan mengarahkan diagnosis kita terhadap trauma atau keracunan
carbon monoksida sebagai penyebab. Sangat sulit membuat diagnosis gagal nafas hanya
berdasar pada pemeriksaan fisik saja, diagnosis klinis biasanya dibuat berdasar hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan gas darah. Periksaan fisik sangat bervariasi
tergantung dari penyakit primer gagal nafas. Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda
klinis dari penakit primer penyebab gagal nafas seperti adanya penarikan-penarikan,
ronki basah halus atau wheezing pada penyakit-penyakit bronchopneumonia atau asma
bronchiale. Suara nafas yang menurun dan adanya keredupan pada perkusi menunjukkan
adanya efusi pleura atau adanya suatu massa di rongga dada, tetapi penurunan suara nafas
tanpa keredupan bisa juga terjadi pada stadium lanjut penyakit paru-paru dimana sudah
terjadi kelelahan dari otot pernafasan.
Pemeriksaan foto dada anterioposterior atau lateral sangat penting dilakukan untuk
mencari kelainan-kelainan penyebab gagal nafas. Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang
lain yang perlu dilakukan tergantung pada dugaan kita terhadap kemungkinan penyebab
gagal nafas seperti ECG, Echocardiografi, kultur darah, darah lengkap, USG, CT scan,
pemeriksaan neurologis dan sebagainya. Pemeriksaan gas darah sangat penting untuk
menentukan diagnosis klinis gagal nafas akut. Kriteria dari gagal nafas akut adalah
PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 50 mmHg, saturasi oksigen < 90% atau PaO 2/FiO2 < 300.
Indikator lain adalah penentuan perbedaan tekanan oksigen alveolar ( PAO2 ) dan arterial
( PaO2 ).
43
PAO2 = ( Pb- PH2O ) – PaCO2/R
AaDO2 = Alveolar – arterial oksigen difference PAO2 = Tekanan O2 alveolus
PaO2 = Tekanan O2 arteri
Pb = Tekanan O2 yang dihirup
PH2O = Tekanan H2O di udara pernafasan (47 cm)
R = Ratio antara ventilasi dan perfusi (0,8)
Normal perbedaan tekanan O2 alveolar dan arterial adalah < 15 mm Hg.
Pada penderita yang mendapat oksigen tekanan O 2 alveolar dapat dihitung secara
kasar dengan mengalikan FiO2 dengan 6. Penderita yang mendapat O2 100% maka
PAO2 = 6 x 100 = 600, bila mendapat O2 60% maka PAO2 6 x 60 = 360.
Parameter lain dari hipoksia adalah perbandingan PaO2 / FiO2, ratio < 200 mm Hg
menunjukkan adanya hipoksia berat dengan pirau intra pulmonal > 20 %, normal
PaO2/FiO2 500-600. Diagnosis differensial yang harus dipikirkan pada gagal nafas
adalah penyakit- penyakit dengan gambaran klinis yang mirip yang disertai hipoksia dan
hiperkarbia yaitu penyakit jantung dengan pirau dari kanan ke kiri (R-L shunting) dan
malformasi vena paru (Pulmonary Venous Malformation). Berdasarkan hasil
pemeriksaan analisa gas darah gagal nafas dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1. Acute hypoxemic respiratory failure ( Gagal nafas akut tipe 1 )
Pada gagal nafas jenis ini terjadi hipoksemia dengan kadar PaCO 2 yang normal atau
rendah. Dikatakan gagal nafas tipe hipoksemia bila kadar PaO 2 darah < 50 mmHg
dengan catatan tidak ada pirau kanan ke kiri di dalam jantung ( intracardiac R L
shunting ). Gagal nafas tipe ini disebabkan oleh penyakit-penyakit yang merusak
jaringan paru.
Hipoksemia terjadi karena :
a. Meningkatnya R L shunt : terjadi karena kollap dari alveolus atau adanya cairan
di dalam alveolus.
44
b. V/Q mismatch : ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi alveolus.
Keadaan ini terjadi pada kerusakan parenchym paru hingga terjadi gangguan
ventilasi atau perfusi.
c. Lebih sering kedua hal tersebut terjadi bersama.
Tipe 1 ini terjadi karena mekanisme kompensasi tubuh yang masih mampu
mengatasi akibat-akibat dari gangguan ventilasi sehingga pada saat ini PaCO2 masih
normal atau bahkan menurun, tapi bila proses ini berlanjut tubuh tidak mampu lagi
melakukan kompensasi maka PaCO2 akan meningkat.
2. Ventilatory respiratory failure ( Gagal nafas akut tipe 2 )
Pada tipe ini terjadi hiperkarbia karena terjadi gangguan ventilasi hingga tubuh tidak
bisa mengeluarkan CO2. Kegagalan ventilasi ini terjadi karena :
a. Menurunnya usaha-usaha pernafasan.
b. Meningkatnya tahanan pernafasan.
c. Dead Space yang meningkat.
d. Meningkatnya produksi CO2.
e. Gabungan faktor-faktor di atas.
3. Mixed Respiratory Failure ( Gagal nafas akut tipe 3 )
Pada fase awal penyakit parenkim paru akut biasanya menyebabkan gagal nafas tipe 1
tapi bila tidak mendapatkan penanganan yang baik akhirnya akan terjadi kelelahan otot-
otot pernafasan sehingga tubuh tidak mampu mengeluarkan CO2.
Tabel 4. Kriteria Gagal Nafas
Tanda-tanda klinis Tanda-tanda laboratois
45
Sistim Pernafasan 1. Asidosis
1. Wheezing 2. Kapasitas vital < 30% dari normal
2. Merintih ( Expiratory grunting ) 3. Kapasitas vital < 3 x volume tidal
3. Suara nafas menurun atau negatif 4. Tek. Inspirasi maksimum > 20 cm
4. Pernafasan cuping hidung H2O
5. Retraksi
6. Takipnea, bradipnea, apnea
Sistim kardiovaskular
1. Bradikardia atau takikardia
2. Hipotensi atau hipertensi
3. Pulsus paradoksus > 12 mm Hg
4. Cardiac Arrest
46
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hendaknya segera dilakukan terhadap :
1. Perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen
2. Penyakit primer penyebab gagal nafas
3. Komplikasi yang terjadi
4. Terapi supportif : perbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi
Penatalaksanaan secara khusus bervariasi tergantung pada penyebab dari gagal nafas,
tapi secara umum terdapat kesamaan prinsip.
Pemberian O2
Semua penderita dengan gagal nafas mengalami hipoksia maka pemberian oksigen
adalah suatu keharusan. Oksigen yang diberikan harus dilembabkan dan hangat, sebab
pemberian oksigen yang kering dan dingin akan menyebabkan gangguan gerakan
mukosilier saluran nafas dan pengentalan mukus sehingga akan memperbesar tahanan
saluran nafas dan memperburuk keadaan. Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa
terjadi pada pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian
oksigen sebaiknya diberikan dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan
oksigenasi jaringan yang cukup yaitu saturasi O 2 > 90% ( keadaan ini sudah dapat
47
- Head box : bisa memberikan O2 sampai 90% tergantung ada/tidaknya kebocoran
headbox
- Tenda oksigen
Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis yaitu sianosis
berkurang atau hilang, frekuensi pernafasan dan retraksi berkurang.
Bantuan Pernafasan
Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi penderita:
1. CPAP ( Continous Positive Airway Pressure )
Diberikan pada anak yang masih bisa bernafas spontan dengan diberikan tekanan
positif ( Positive End Expiratory Pressure = PEEP ). Dengan member tekanan positif
pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap terbuka sehingga pertukaran gas tetap
berjalan dengan baik. CPAP dapat diberikan dengan kanula nasal, masker sederhana
atau dengan pipa endotracheal.
- Non invasive Positive Pressure Ventilation ( NPPV )
- Ventilasi mekanik konvensional
- Nonconventionan mechanical ventilation
Inverse ratio ventilation : waktu inspirasi lebih panjang dari waktu ekspirasi atau
dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi pernafasan dimana expirasi
selalu lebih lama dari inspirasi,oleh karena itu perlu sedasi dan paralisis otot-otot
pernafasan. Cara ini dapat meningkatkan mean airway pressure dan
memperbaiki oksigenasi
Airway Pressure Release Ventilation ( ARPV )
48
High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory Ventilation
Disini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang lebih kecil dari dead space
tapi frequency pernafasan lebih tinggi yaitu 150 – 900/m ( 2 – 15 Hz ),sehingga
memperkecil resiko kerusakan paru yang bisa terjadi ( Ventilator induce lung
injury ).
Liquid ventilation
49
50
3. Initial Assessment pada Anak
Penilaian gawat nafas pada anak
1. Appearance
Hal ini dapat menggambarkan status ventilasi ke sistem susunan saraf pusat.
Element Yang dinilai
Tonus Otot Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
lemah atau tidak
Interaktivitas Alertness: apakah anak waspada dan penuh perhatian
untuk sekitarnya? Apakah apatis?apakah anak
51
berespon terhadap orang, objek atau suara?
Consolability Gelisah/agitasi. Apakah hal-hal yang menghibur anak
dapat mengurangi kegelisahan dan menangis?
Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,
atau apakah tatapan matanya kosong
2. Work of breathing
Hal ini untuk mengkonfrmasi apakah anak bernafas dan apakah ada usaha berlebih untuk
bernafas.
Element Yang dinilai
Frekuens nafas Tachypnea atau bradypnea
Suara jalan napas abnormal Altered speech, stridor, wheezing atau grunting
Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
intercostals atau substernal
Flaring Nasal flaring (nafas cuping hidung)
3. Circulation
Hal ini dilakukan dengan melihat warna kulit, bibir, lidah, telapak tangan dan kaki
Element Yang dinilai
Pallor White skin coloration from lack of peripheral blood
Mottling Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,
due to vascular instability
Cyanosis Bluish discoloration of skin and mucus
52
Gambar 9. Primary assessment
53
V. Kerangka Konsep
54
55
VI. Sintesis
Yudi, 2 tahun, BB 12kg, TB 87cm, mengalami distres pernapasan akibat
adanya obstruksi di saluran napas atas. Distres pernapasan pada awalnya ditandai dengan
gejala berupa takikardia dan takipnea sebagai upaya untuk memperbaiki ventilasi
semenit dan curah jantung serta mempertahankan hantaran oksigen ke jaringan.
Perjalanan penyakit selanjutnya dapat menyebabkan dyspnea, napas cuping hidung,
penggunaan otot bantu napas (retraksi supra sternal dan sela iga). Yudi sudah mengalami
gejala-gejala ini pada saat dilakukan penilaian umum dan survey primer. Tanda kasip
hantaran oksigen tidak memadai dapat beruba sianosis dan perubahan status mental.
Tanda kasep ini belum ditemukan pada Yudi.
Infeksi pada laring dan trakea dapat menimbulkan inflamasi, eritema, dan
edema pada struktur-struktur tersebut sehingga mengganggu gerakan plica vocalis.
Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah
laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi
56
saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran
udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds,
akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor
bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi
semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan
terdengar juga saat ekspirasi. Pada kasus ini, ditemukan stridor inspirasi pada penilaian
umum. Batuk yang timbul menjadi lebih khas (batuk seperti anjing menyalak) juga
terjadi dengan mekanisme yang serupa. Suara parau yang juga diemukan pada penilaian
umum terjadi akibat edema pada plica vocalis. Inflamasi pada saluran napas atas ini juga
dapat menimbulkan nyeri tenggorokan sehingga bisa membuat anak rewel dan terus
menangis seperti yang dialami Yudi.
Penegakan diagnosis croup dapat dilakukan dengan melihat manifestasi klinis
ataupun radiologi. Croup juga dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinisnya.
Pada kasus Yudi, croup yang terjadi adalah croup sedang dengan gejala berupa takipnea,
stridor inspirasi, batuk menyalak, suara parau, retraksisupra sternal dan sela iga, napas
cuping hidung, tanpa adanya sianosis ataupun penurunan kesadaran. Pemeriksaan
penunjang seperti rontgen AP leher dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding dengan menemukan stepple sign akibat adanya
penyepitan subglotis.
57
Terapi yang bisa diberikan pada Yudi adalah kortikosteroid oral atau IM
berupa deksametason IM (0,6-1mg/kgBB)10mg atau deksametason oral (0,6-
1mg/kgBB)10mg. Sebagai alternatif dapat diberikan prednisolone oral
(1mg/kgBB)14mg. Setelah empat jam, dilakukan observasi kembali. Jika tidak ada
perbaikan, diberikan nebulisasi adrenalin 5mls 1:1000 dan pemberian kortikosteroid
kembali. Jika hana terdapat perbaikan parsial, diberikan kortikosteroid kembali setelah
12 jam.
Prognosis croup pada kasus Yudi adalah bonam. Penyakit ini biasanya hanya
berlangsung sekitar 5 hari. Komplikasi seperti pneumonia hanya terjadi pada pasien
imunokompromis.
58
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Yudi, anak laki-laki 2 tahun, mengalami distres pernapasan karena obstruksi jalan napas
atas.
59
DAFTAR PUSTAKA
University Press
Indonesia.
IDAI. 2009. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:
IDAI.
Neto, et.al., 2002, A Randomized controlled trial of mist in the acute treatment of
Rosekrans, J.A., 1998, Viral Croup: Current Diagnosis and Treatment, 1102-1107,
Mayo Clinic.
60
Sherwood L. 2013. Fisiologi Manusia dari Selke Sistem. Edisi ke-6. EGC, Jakarta,
Indonesia
World Health Organization. 2005. Pocket Book of Hospital Care for Children,
Resources.
61