Laporan Tutorial C Blok 28 2017

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO C BLOK 28 TAHUN 2017

Disusun oleh:
Kelompok B6

Anggota:

Dani Gemilang Kusuma 04011181419068


Aprita Nurkarima 04011181419216
Azora Khairani K. 04011281419082
M. Aufar Isytahar 04011281419086
Siti Thania Luthfyah 04011281419088
Syah Fitri 04011281419092
M. Afif Baskara E. 04011281419112
Fitria Masturah 04011281419116
Andini Karlina CH 04011281419120
Archita Wicesa Saraswati 04011281419132

Tutor: dr. Citra Dewi, Sp. PA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario C Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Citra, Sp. PA yang telah
memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan telah
memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah skenario
yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palembang, September 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang...............................................................................................................4

B. Maksud dan Tujuan........................................................................................................4

C. Data Tutorial..................................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN........................................................................................................................5

I. Klarifikasi Istilah..............................................................................................................5

II. Identifikasi Masalah.......................................................................................................6

III. Analisis Masalah............................................................................................................7

IV. Learning Issue..............................................................................................................37

V. Kerangka Konsep..........................................................................................................57

VI. Sintesis..........................................................................................................................58

BAB III.....................................................................................................................................61

PENUTUP................................................................................................................................61

I. Kesimpulan......................................................................................................................61

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................64

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai distres pernapasan.

A. Maksud dan Tujuan


1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

B. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Citra, Sp. PA
2. Moderator : Azora Khairani Kartika
3. Sekretaris : 1. Aprita Nurkarima
2. Syah Fitri
4. Waktu : 1. Senin, 25 September 2017
2. Rabu, 27 September 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB

BAB II
4
PEMBAHASAN
Skenario C Blok 28 Tahun 2017

Yudi, anak laki-laki 2 tahun, BB 12 kg. TB 8 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH


karena mengalami kesulitan bernafas. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas tidak
tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak.
Pada penilaian umum terlihat :
Anak sadar, menangis terus dengan suara sekali sekali terdengar parau. Masih bisa
ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak hendak diperiksa, anak berontak dan langsung
menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak
motled. Nafas terliha cepat dengan peningkatan usaha nafas. Terdengar stridor inspirasi.
Kemudian dokter melakukan survey primer:
Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring dalam batas
normal. RR 45 x/menit. Nafas cuping hidung (+). Gerakan dinding dada simetris kiri dan
kanan, tampak restriksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas vesikuler. Tidak terdengar
ronki. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung dalam batas normal, bising
jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat, nadi radialis kuat. Laju nadi 135 x/menit. Kulit
berwarna merah muda, hangat, CRT kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan pada survey
disability.
Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sunkup rebreathing, tetapi anak menolak,
menghindar serta berontak.

I. Klarifikasi Istilah
ISTILAH DEFINISI
Motled Warna kulit tubuh terlihat berbercak
Wheezing Suara pernapasan frek tinggi nyaring yg terdengar di akhir ekspirasi.
Retraksi Supra Penarikan sternum pada saat bernapas
sternal
Stridor Suara yang terdengar kontinyu, bernada tinggi yang terjadi baik saat
inspirasi maupun saat ekspirasi
Ronki Suara nafas tambahan bernada rendah, bersifat sonor, terdengar
tidak mengenakan terjadi pada saluran nafas besar seperti trakea
bagian bawah dan bronkus utama
Suara nafas Suara nafas normal bernada rendah terdengar lebih panjang pada
vesikuler fase inspirasi dari pada ekspirasi dan kedua fase bersambung atau

5
tidak ada silent gaps.
SpO2 Saturation Peripheral Oxygen adalah fraksi Hb yang tersaturasi
oksigen relatif terhadap total Hb.
Sunkup Alat bantu yang digunakan untuk mengalirkan oksigen dengan
rebreathing konsentrasi oksigen 60-80%
Batuk seperti Karakteristik batuk yang merupakan suatu ciri khas pada sindroma
anjing menyalak croup
Nafas cuping Pelebaran nostril ketika bernafas dan merupakan salah satu tanda
hidung adanya kesulitan nafas.

II. Identifikasi Masalah


1. Yudi, anak laki-laki 2 tahun, BB 12 kg. TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH
karena mengalami kesulitan bernafas. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas
tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak.
2. Pada penilaian umum terlihat :
Anak sadar, menangis terus dengan suara sekali sekali terdengar parau. Masih bisa
ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak hendak diperiksa, anak berontak dan
langsung menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak
pucat dan tidak motled. Nafas terliha cepat dengan peningkatan usaha nafas.
Terdengar stridor inspirasi.
3. Kemudian dokter melakukan survey primer:
Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring dalam
batas normal. RR 45 x/menit. Nafas cuping hidung (+). Gerakan dinding dada simetris
kiri dan kanan, tampak restriksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas vesikuler.
Tidak terdengar ronki. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung dalam
batas normal, bising jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat, nadi radialis kuat.
Laju nadi 135 x/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, CRT kurang dari 2 detik.
Tidak ditemukan pada survey disability.
4. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sunkup rebreathing, tetapi anak
menolak, menghindar serta berontak.

III. Analisis Masalah


1. Yudi, anak laki-laki 2 tahun, BB 12 kg. TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH
karena mengalami kesulitan bernafas. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita

6
panas tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing
menyalak.
a. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin dengan kasus?
Distress pernapasan untuk usia 0,5-5 tahun berjumlah 12,8 insiden per100.000
orang/tahun. Perbandingan laki-laki:perempuan, 63%:54%. Perbedaan
mortalitas keduanya tidak signifikan.
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya
pada usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan
remaja usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan,
dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan
musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien
croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan
berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratorik
atas. Hampir 15%pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat
penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif di Belgia mendapatkanbahwa
16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami minimal satu kali episode croup,
sedangkan 5% mengalami croup berulang (sedikitnya 3 episode).

b. Bagaimana hubungan status gizi dengan kasus?


Penelitian Nasution et al., (2009) menyebutkan balita yang mengalami IRA
lebih banyak dengan gizi kurang dibandingkan pada balita dengan gizi cukup
atau lebih. Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan
kematian balita dengan infeksi saluran pernafasan.
Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya
berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas, dan kerusakan
mukosa, perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem
pernafasan disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan
pasien terserang infeksi saluran pernafasan (Wilar et al., 2006).

7
Pada kasus, tumbuh kembang Yudi baik berdasarkan berat dan tinggi
badannya, sehingga infeksi croup yang dialami Yudi bukan karena status gizi
yang buruk.

c. Apa penyebab kesulitan bernafas pada anak usia 2 tahun?

8
d. Apa saja tanda-tanda kesulitan bernafas pada anak?
- Nafas cepat
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau retraksi dinding dada
- Stridor
- Wheezing

e. Bagaimana mekanisme kesulitan bernafas pada kasus?


Akibat adanya infeksi virus parainfulenza (droplet, sentuhan)  menginfeksi
bagian nasofaring  terjadi inflamasi yang bersifat diffuse  terjadi inflamasi
di laring  eritema dan edema terutama pada bagian subglotis (bagian
tersempit pada jalan nafas anak)  obstruksi saluran nafas bagian atas 
ressistance airway mengalami peningkatan  Kesulitan bernafas.

f. Bagaimana penanganan awal kesulitan bernafas pada kasus?


 Posisikan anak pada posisi senyaman mungkin untuk memperbaiki jalan
nafas.
 Tenangkan anak misalnya dengan cara membacakan cerita

9
 Bila anak rewel minta ibu untuk membantu memasangkan selang oksigen
ke anaknya. Berikan O2 100% dengan sungkup 6L/meni atau anak
dipangku ibu dan oksigen di hamburkan di depannya
 Pemberian oksigen diatur supaya anak tidak rewel.

Pada kasus ini, sirkulasi dan penampilannya normal, namun gangguan pada
usaha bernapas ditandai dengan adanya nafas cuping hidung dan retraksi
dinding dada.
Initial Asessment
o Airway Jalan napas yang baik untuk oksigenasi dan ventilasi.
Penilaian : terdapat ngorok  obstruksi pada saluran nafas
Management : tempatkan anak pada posisi yang nyaman

Penanganan mengoptimalkan dengan :

 Meletakkan kepala secara “SNIFFING POSITION” (posisi menghirup):


kepala anak digerakkan kearah depan dan atas dengan manuver chin lift
dan jaw thrust.

 Membersihkan rongga mulut dan orofaring. Kepala dimiringkan ke kiri.


Pada anak tidak sadar perlu mempertahankan jalan nafas secara mekanik
yaitu oral airways yang dimasukkan secara langsung dan gentle dengan
bantuan spatula lidah. Bisa juga Intubasi orotraceal untuk trauma kepala
berat, dan krikotiroidotomi.
o Breathing Evaluasi pernafasan.
Penilaian : retraksi suprasternal dan sela iga, dan nafas cuping hidung 
peningkatan usaha bernapas
Management : berikan oksigen dengan cara blow- by tehnique.
Pemberian Oksigen melalui ambu bag dengan tetap mengingat
kerentanan alami dari cabang traceobroncial dan alveoli bayi dan anak
yang belum matang untuk mencegah cedera.
o CirculationPenanganan/evaluasi perdarahan, resusitasi cairan,
penggantian darah, pengontrolan produksi urin, dan panas.
Penilaian : pada kasus ini normal
o Disability
Penilaian : pada kasus ini kesadaran anak baik.
10
g. Bagaimana hubungan gejala sebelumnya dengan kesulitan bernafas pada
kasus?
Gejala yang ditemukan pada Yudi disebabkan oleh virus yang menginfeksi
saluran pernapasan. Virus masuk melalui rongga hidung. Terjadi respon tubuh
untuk mengeluarkan virus dengan pengeluaran mucus yaitu pilek. Bila virus
sudah menyebar sampai bagian laring akan terjadi reaksi inflamasi. Hal inilah
yang dapat mengaktivasi reseptor batuk sehingga terjadilah batuk. Kejadian ini
bersamaan dengan terjadinya demam akibat pengeluaran pirogen endogen
dalam usaha Makrofag melawan virus tersebut. Akibat terjadi proses inflamasi
sehingga terjadi edem di bagian laring terutama di area subglotik itulah yang
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran nafas bagian atas sehingga terjadi
kesulitan bernafas.

h. Bagaimana mekanisme dari batuk seperti anjing menyalak pada kasus?


Didalam laring terdapat jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel
goblet, dimana reseptor batuk menempel disana, virus yang menempel di
jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet akan merangsang
reseptor batuk kemudian reseptor batuk akan merangsang serabut saraf
afferent selanjutnya mengirim stimulus ke pusat batuk (dorsal medulla
oblongata) kemudian merangsang serabut saraf motorik dan menghasilkan
reflex batuk. Edema pada bagian subglottis yang menyebabkan penyempitan
saluran penafasan inilah yang menyebabkan suara batuk yang dihasilakn
seperti anjing menyalak.

2. Pada penilaian umum terlihat :


Anak sadar, menangis terus dengan suara sekali sekali terdengar parau. Masih
bisa ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak hendak diperiksa, anak berontak
dan langsung menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit
tidak pucat dan tidak motled. Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha
nafas. Terdengar stridor inspirasi.
a. Apa penyebab dan mekanisme menangis terus dengan sekali sekali
terdengar parau?
Pada kasus, infeksi mengakibatkan edema pada bagian subglottis, sehingga
terjadi penyempitan jalan nafas, hal tersebut membuat anak gelisah karena
11
rasa sesak yang ditimbulkan, selain itu, pembengkakan yang terjadi juga dapat
mengenai bagian pita suara sehingga menyebabkan suara yang parau.

b. Apa makna klinis dari bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat
dan tidak motled?
Yudi masih memiliki sirkulasi yang baik, aliran darah ke perifer masih cukup.
Hal ini menunjukkan bahwa aliran darah dan perfusi perifer pada Yudi masih
adekuat. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada gangguan sirkulasi pada Yudi.
Tidak motled artinya tidak ada spasme pembuluh darah.

c. Apa penyebab dan mekanisme nafas terlihat cepat dengan peningkatan


usaha nafas?
Obstruksi jalan nafas akibat infeksi (edema subglotis, inflamasi mukosa,
eksudat fibrin)  hipoksia  menstimulus pusat respirasi  terjadi
peningkatan usaha bernafas untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

d. Apa penyebab dan mekanisme terdengar stridor inspirasi?


Stridor adalah bunyi kasar saat inspirasi, karena penyempitan saluran udara
pada orofaring, subglotis atau trakea. Jika sumbatan berat, stridor juga bisa
terjadi saat ekspirasi.

e. Bagaimana membedakan obstruksi jalan nafas atas dan bawah?


Bagaimana membedakan obstruksi jalan nafas atas dan bawah?
Obstruksi Jalan Nafas Atas Obstruksi Jalan Nafas
Bawah
Gejala Perasaan seperti tersedak Sesak
Batuk Dada terasa berat
Nafas berbunyi Panik
Stridor inspirasi Wheezing yang sangat
jelas
Sianosis
Penyebab Aspirasi benda asing Bronchiolitis
Trakheolaringitis Asma bronkitis
Abses retrofaringeal Pneumonia
Atresia koana Fistula trakeoesofagus

f. Bagaimana cara penilaian general assesment?

12
1.

1. Appearance
Hal ini dapat menggambarkan status ventilasi ke sistem susunan saraf
pusat.
Element Yang dinilai
Tonus Otot Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
lemah atau tidak
Interaktivitas Alertness: apakah anak waspada dan penuh perhatian
untuk sekitarnya? Apakah apatis?apakah anak

13
berespon terhadap orang, objek atau suara?
Consolability Gelisah/agitasi. Apakah hal-hal yang menghibur anak
dapat mengurangi kegelisahan dan menangis?
Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,
atau apakah tatapan matanya kosong
Speech/cry Apakah vokalisasinya kuat atau lemah, sayu atau
serak?

2. Work of breathing
Hal ini untuk mengkonfrmasi apakah anak bernafas dan apakah ada usaha
berlebih untuk bernafas.
Element Yang dinilai
Frekuens nafas Tachypnea atau bradypnea
Suara jalan napas Altered speech, stridor, wheezing atau grunting
abnormal
Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
intercostals atau substernal
Flaring Nasal flaring (nafas cuping hidung)

3. Circulation
Hal ini dilakukan dengan melihat warna kulit, bibir, lidah, telapak tangan
dan kaki
Element Yang dinilai
Pallor White skin coloration from lack of peripheral blood
Mottling Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,
due to vascular instability
Cyanosis Bluish discoloration of skin and mucus

Interpretasi dari hasil general impression:

General Appearance Work of Breathing Circulation to the


Impression skin
Stable Normal Normal Normal
Respiratory Normal Abnormal Normal

14
Distress Nasal flaring
Grunting
Stridor
Wheezing
Retractions
Respiratory Abnormal Abnormal Normal/ abnormal
Failure

Pada kasus, Yudi mengalami respiratory distress

3. Kemudian dokter melakukan survey primer:


Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring
dalam batas normal. RR 45 x/menit. Nafas cuping hidung (+). Gerakan dinding
dada simetris kiri dan kanan, tampak restriksi supra sternal dan sela iga. Suara
nafas vesikuler. Tidak terdengar ronki. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%.
Bunyi jantung dalam batas normal, bising jantung tidak terdengar. Nadi
brachialis kuat, nadi radialis kuat. Laju nadi 135 x/menit. Kulit berwarna merah
muda, hangat, CRT kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan pada survey
disability.
a. Bagaimana interpretasi dari survei primer?
Kasus Nilai normal Interpretasi
Meningkat
RR :45 kali/menit, 20-30 kali/menit Suplai O2 ↓usaha peningkatan dengan
RR

Nafas cuping Abnormal


(-)
hidung (+) Peningkatan usaha bernapas
Gerakan dinding
Simetris Normal
dada simetris
Retraksi supra Abnormal
sternal dan sela iga (-)
(+) Peningkatan usaha bernapas

Normal
Auskultasi
Vesikular,(-) Tidak ada gangguan disaluran
:vesikular, ronki (-)
pernapasan bawah

15
100/140-
HR 135x/menit Normal
190kali/menit
Nadi brachialis
kuat Kuat Normal
Nadi radialis kuat
CRT < 2detik < 2detik Normal

b. Bagaimana mekanisme dari takipnea, nafas cuping hidung dan retraksi


supra sternal dan sela iga?
Takipnea:
Pada kasus, terjadi edema pada laring sehingga jalan nafas menjadi tertutup.
Distres pernapasan merupakan respon tubuh atau kompensasi terhadap
peningkatan produksi CO2 atau permasalahan pertukaran gas di paru-paru.
Mekanisme kompensasi pertama adalah peningkatan laju pernapasan yang
dilakukan untuk meningkatkan laju pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida di paru-paru, dan dengan demikian juga membantu penurunan
PaCO2.
Nafas cuping hidung:
Jalan napas bagian atas menciptakan tahanan tinggi terhadap aliran udara. Saat
terjadi peningkatan usaha bernapas, mekanisme kompensasi tubuh adalah
memperlebar nares (bukaan hidung) sehingga jalan napas melebar dan tahanan
menurun, menyebabkan manifestasi napas cuping hidung (nasal flaring).
Retraksi supra sternal dan sela iga:
Usaha pernapasan yang meningkat melibatkan peningkatan kerja otot-otot
dinding dada dan perut. Retraksi terjadi ketika tekanan negatif yang diciptakan
di paru tidak dapat tercukupi dengan aliran udara dari jalan napas bagian atas
sehingga dinding dada yang tidak disokong oleh struktur yang kokoh seperti
tulang dapat terlihat masuk ke rongga dada.

c. Bagaimana melakukan survey primer pada anak?


Initial Asessment ABCDE
Airway  Jalan napas
Penilaian:
Terdapat suara napas abnormal, ngorok  obstruksi pada saluran nafas
16
Manajemen:
 Tempatkan anak pada posisi yang nyaman
 Meletakkan kepala secara “SNIFFING POSITION” (posisi
menghirup): kepala anak digerakkan kearah depan dan atas dengan
manuver chin lift dan jaw thrust.
 Membersihkan rongga mulut dan orofaring. Kepala dimiringkan ke
kiri.
 Pada anak tidak sadar perlu mempertahankan jalan nafas secara
mekanik yaitu oral airways yang dimasukkan secara langsung dan
gentle dengan bantuan spatula lidah. Bisa juga intubasi orotraceal
untuk trauma kepala berat, dan krikotiroidotomi.
Breathing  Evaluasi pernafasan.
Penilaian:
Retraksi suprasternal dan sela iga, dan nafas cuping hidung  peningkatan
usaha bernapas
Manajemen:
Berikan bantuan napas, oksigen.
Pemberian Oksigen melalui ambu bag dengan tetap mengingat kerentanan
alami dari cabang traceobroncial dan alveoli bayi dan anak yang belum
matang untuk mencegah cedera.
Circulation
Penilaian:
Nilai nadi, warna kulit, apakah pucat, adakah ekstremitas dingin.
Manajemen:
Penanganan/evaluasi perdarahan, resusitasi cairan, penggantian darah,
pengontrolan produksi urin, dan panas.
Disability
Penilaian:
Status neurologis AVPU (Sadar, respon dengan rangsangan verbal, respon
dengan rangsang nyeri, tidak ada respon)  pada kasus ini kesadaran anak
baik.

d. Bagaimana melakukan survey sekunder pada anak?

17
S Sign and symptoms (Batuk dan kesulitan bernapas)
a. Sudah berapa lama
b. Pola: malam/dini hari?
c. Faktor pencetus
d. Paroksismal dengan whoops atau muntah atau sianosis sentral

A Allergies

{Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll} pada pasien atau keluarga

M Medications, obat-obat apa saja yang harus dinilai terlebih dahulu


sebelum memberikan obat ke pasien

P Past medical history, riwayat penyakit sebelumnya


a. Riwayat tersedak
b. Riwayat infeksi HIV
c. Riwayat imunisasi BCG, DPT, Campak, Hib
d. Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga
L Last meal, makanan terakhir yang dimakan anak

E Kejadian atau penyakit apa yang mendahului penyakit sekarang

a. Demam (sejak kapan dan berapa lama)?


b. Pilek
c. Wheezing

e. Bagaimana melakukan survey tersier pada anak?


Pemeriksaan penunjang sebagai survei tersier pada kasus ini seperti
pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu dilakukan karena
diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan laringoskopi / bronkoskopi biasanya tidak
diperlukan pada kasus dengan gejala yang khas, kecuali bila mengenai bayi
kurang dari 6 bulan. Bayi yang sangat muda bila menunjukkan gejala stridor
harus dicurigai adanya kelainan anatomis yang mendasari, misalnya
laringomalasia. Bila pada pemeriksaan darah perifer lengkap ditemukan
peningkatan leukosit lebih dari 20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. Pada pemeriksaan
radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan gambaran udara steeple sign
18
(seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis.
Gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus.

Gambar 1. Gambaran radiologis “steeple sign”pada anak dengan croup.

Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai


diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah)
saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut :

1) Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang


camping.
2) Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotis yang menebal.
3) Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.

Pemeriksaan CT-scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi


pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor
sejak usia di bawah enam bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu,
pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai
adanya massa.

4. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sunkup rebreathing, tetapi


anak menolak, menghindar serta berontak.
a. Bagaimana prinsip pemberian oksigen pada anak?
Indikasi

19
Jika tersedia, pemberian oksigen harus dipandu dengan pulse oxymetry.
Berikan oksigen pada anak dengan kadar SaO2 < 90%, dan naikkan pemberian
oksigen untuk mencapai SaO2 hingga > 90%. Jika pulse oxymetry tidak
tersedia, kebutuhan terapi oksigen harus dipandu dengan tanda klinis, yang
tidak begitu tepat.
Bila persediaan oksigen terbatas, prioritas harus diberikan untuk anak dengan
pneumonia sangat berat, bronkiolitis, atau serangan asma yang:

 mengalami sianosis sentral, atau


 tidak bisa minum (disebabkan oleh gangguan respiratorik).

Jika persediaan oksigen banyak, oksigen harus diberikan pada anak dengan


salah satu tanda berikut:

 tarikan dinding dada bagian bawah yang dalam


 frekuensi napas 70 kali/menit atau lebih
 merintih pada setiap kali bernapas (pada bayi muda)
 anggukan kepala (head nodding).

Sumber oksigen
Persediaan oksigen harus tersedia setiap waktu. Sumber oksigen untuk rumah
sakit rujukan tingkat pertama, umumnya adalah silinder/tabung oksigen dan
konsentrator oksigen. Alat-alat ini harus diperiksa kompatibilitasnya.
Silinder Oksigen dan Konsentrator Oksigen
Lihat daftar peralatan yang direkomendasikan yang dapat digunakan dengan
silinder oksigen atau konsentrator oksigen serta instruksi penggunaannya.
Metode Pemberian Oksigen
Terdapat tiga metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen yaitu
dengan menggunakan nasal prongs, kateter nasal dan kateter
nasofaring. Nasal prongs atau kateter nasal lebih sering dipakai dalam banyak
situasi. Nasal prongs merupakan metode terbaik dalam pemberian oksigen
pada bayi muda dan anak dengan croup yang berat atau pertusis.
Penggunaan kateter nasofaring membutuhkan pemantauan ketat dan reaksi
cepat apabila kateter masuk ke esofagus atau timbul komplikasi lainnya.
Penggunaan sungkup wajah atau headbox tidak direkomendasikan. 
20
Nasal prongs. Nasal prongs adalah pipa pendek yang dimasukkan ke dalam
cuping hidung. Letakkan nasal prongs tepat ke dalam cuping hidung dan
rekatkan dengan plester di kedua pipi dekat hidung (lihat gambar). Jaga agar
cuping
hidung anak bersih dari kotoran hidung/lendir, yang dapat menutup aliran
oksigen.

 Pasang aliran oksigen sebanyak 1–2 liter/menit (0.5 liter/menit pada bayi
muda) untuk memberikan kadar-oksigen-inspirasi 30–35%. Tidak perlu
pelembapan.

Kateter Nasal. Kateter berukuran 6 atau 8 FG yang dimasukkan ke dalam


lubang hidung hingga melewati
bagian belakang rongga hidung. Tempatkan kateter dengan jarak dari sisi
cuping hidung hingga ke bagian tepi dalam dari alis anak.

 Pasang aliran oksigen 1–2 liter/menit. Tidak perlu pelembapan.

21
Kateter Nasofaring.  Kateter dengan ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan ke dalam
faring tepat di bawah uvula. Letakkan kateter pada jarak dari sisi cuping
hidung hingga ke arah telinga (lihat gambar B). Jika alat ini diletakkan terlalu
ke bawah, anak dapat tersedak, muntah dan kadang-kadang dapat timbul
distensi lambung.

 Beri aliran sebanyak 1–2 liter/menit, yang memberikan kadar-oksigen


inspirasi 45-60%. Perlu diperhatikan kecepatan aliran tidak berlebih
karena dapat menimbulkan risiko distensi lambung. Perlu dilakukan
pelembapan.

Pemantauan
Latih perawat untuk memasang dan mengeratkan nasal prongs atau kateter
dengan tepat. Periksa secara teratur bahwa semua alat berfungsi dengan
semestinya dan lepaskan serta bersihkan prongs atau kateter sedikitnya dua
kali sehari.
Pantau anak sedikitnya setiap 3 jam untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
masalah yang terjadi, meliputi:

 Nilai SaO2 menggunakan pulse oxymetry


 Kateter nasal atau prongs yang bergeser
 Kebocoran sistem aliran oksigen
 Kecepatan aliran oksigen tidak tepat
 Jalan napas anak tersumbat oleh lendir/kotoran hidung (bersihkan hidung
dengan ujung kain yang lembap atau sedot perlahan).
 Distensi lambung (periksa posisi kateter dan perbaiki, jika diperlukan).
22
Pulse oxymetry
Merupakan suatu alat untuk mengukur saturasi oksigen dalam darah secara
non-invasif. Alat ini memancarkan cahaya ke jaringan seperti jari, jempol kaki,
atau pada anak kecil, seluruh bagian tangan atau kaki. Saturasi oksigen diukur
pada pembuluh arteri kecil, oleh sebab itu disebut arterial oxygen
saturation (SaO2). Ada yang dapat digunakan berulang kali hingga beberapa
bulan, adapula yang hanya sekali pakai.
Nilai saturasi oksigen yang normal pada permukaan laut pada anak adalah 95–
100%; pada anak dengan pneumonia berat, yang ambilan oksigennya
terhambat, nilai ini menurun. Oksigen biasanya diberikan dengan saturasi <
90% (diukur dalam udara ruangan). Batas yang berbeda dapat digunakan pada
ketinggian permukaan laut yang berbeda, atau jika oksigen menipis. Reaksi
yang timbul dari pemberian oksigen dapat diukur dengan menggunakan pulse
oxymeter, karena SaO2 akan meningkat jika anak menderita penyakit paru
(pada PJB sianotik nilai SaO2 tidak berubah walau oksigen diberikan). Aliran
oksigen dapat diatur dengan pulse oxymetry untuk mendapatkan nilai SaO2 >
90% yang stabil, tanpa banyak membuang oksigen.
Lama pemberian oksigen
Lanjutkan pemberian oksigen hingga anak mampu menjaga nilai SaO2 >90%
pada suhu ruangan. Bila anak sudah stabil dan membaik, lepaskan oksigen
selama beberapa menit. Jika nilai SaO2 tetap berada di atas 90%, hentikan
pemberian oksigen, namun periksa kembali setengah jam kemudian dan setiap
3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen, untuk
memastikan anak benar-benar stabil. Bila pulse oxymetry tidak tersedia, lama
waktu pemberian oksigen dapat dipandu melalui tanda klinis yang timbul pada
anak (lihat atas), walaupun hal ini tidak begitu dapat diandalkan.

5. Aspek Klinis
a. Diagnosis Banding
Gejala dan tanda Croup Epiglotitis Bronkiolitis Aspirasi Asma
benda asing eksaserbasi
akut
Kesulitan + + + + +

23
bernapas
Riwayat panas + +/- + (demam - -
tidak tinggi, (demam seharusnya
batuk, pilek 2 hari seharusny tinggi)
sebelum a tinggi)
Gelisah (agitasi) + + + + +
Bibir sianosis + + + + -
Takipnea + + + + (parsial) +
Stridor + - - + (parsial) -
Nasal flaring + + - - -
Retraksi + + + + -
suprasternal,
intercostal
Ronkhi negatif + + - - -

b. Algoritma penegakkan diagnosis

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada


pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan

24
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya adalah
Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang
digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk
lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi.
Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan
skor akhir berkisar dari 0 sampai 17. Evaluasi status hidrasi. Evaluasi pasien
dengan menggunakan Croup Score setiap 30-90 menit berdasarkan tingkat
keparahan pasien.

c. Diagnosis Kerja
Distres pernapasan et causa croup

d. Etiologi
Penyakit ini biasanya menyebar melalui pernafasan dari percikan yang
mengandung virus di udara atau berhubungan langsung dengan penderita yang
terjangkit melalui percikan dahak.
25
a) Virus
Parainfluenza virus tipe I,II,III (50-75% kasus), Virus influenza tipe A dan B,
Adenovirus, Enterovirus, Respiratory syncytial virus (RSV), Measles,
Coxsackievirus, Rhinovirus, Echovirus, Reovirus, Metapneumovirus.
b) Bakteri (jika terjadi infeksi sekunder)
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae,, Moraxella catarrhalis, Mycoplasma pneumoniae. 

e. Epidemiologi
Virus parainfluenza menyebabkan sekitar 75% kasus; adenovirus, virus sinsisial
respiratorik, influenza, dan campak menyebabkan kasus virus sisanya. Pada
sebuah penelitian Mycoplasma pneumonia ditemukan dari 3,6% penderita yang
menderita obstruksi saluran pernapasan akut. Walaupun Haemophilus influenzae
tipe b merupakan penyebab biasa epiglotitis akut. Kebanyakan penderita yang
menderita croup virus berumur antara 3 bulan dan 5 tahun, tetapi penyakit yang
disebabkan H. Influenzae dan Corynebacterium diphterae lebih lazim ditemukan
pada penderita yang berumur 3-7 tahun. Insidens croup lebih tinggi pada laki-laki,
dan penyakit ini paling lazim selama musim dingin setiap tahunnya. Sekitar 15%
penderita mempunyai riwayat keluarga croup yang kuat dan laringitis cenderung
kambuh pada anak yang sama.
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan remaja
usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa.1 Penyakit ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio
3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi
penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari
seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan
sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan
struktur anatomi saluran respiratorik atas. Hampir 15%pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif
di Belgia mendapatkanbahwa 16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami
minimal satu kali episode croup, sedangkan 5% mengalami croup berulang
(sedikitnya 3 episode).

26
f. Faktor risiko
 Berat badan lahir rendah (BBLR)
 Faktor usia: anak berumur kurang dari 2 tahun lebih mudah terserang croup
dikarenakan imunisasi yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relative sempit.
 Anak dengan defisiensi vitamin A yang dapat menghambat pertumbuhan
balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan.
 Faktor gizi: malnutrisi
 Faktor pendidikan ibu rendah
 Polusi udara

g. Patofisiologi
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human
Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus Influenza A dan B,
Adenovirus, Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Seperti infeksi
respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari
nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus,
eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya
mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan
suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran
respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti
dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan
abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami
hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan
henti napas.

h. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis croup berdasarkan derajat kegawatan, dibagi menjadi empat
kategori:

1. Ringan  ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-


kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/ tidak
beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada.
27
2. Sedang  ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor
yang mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidakberaktivitas, retraksi
dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory
distress).
3. Berat  ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor
inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang–kadang
disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas.
4. Gagal napas mengancam  batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor
(kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran,
dan letargi.

i. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan, diagnosis


sebenarnya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan
radiologis.
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan gambaran
udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan
kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai
pada 50% kasus saja.
Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas adalah
1 cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar.
28
Mukosa pada tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan
oleh adanya edema pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan
hilangnya memikul normal (Convexities lateral) dari kolom udara
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:
 Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
 Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
 Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

j. Tatalaksana
a) Terapi suportif
Gejala croup sering timbul pada malam hari sehingga banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit
gawat darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang
penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
- Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
- Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya
sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan
turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan.
b) Farmakoterapi

29
- Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau
antipiretik pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini
karena membuat anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.
- Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam
menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak
dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya,
dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup.
- Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak
dengan croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus,
sehingga secara empiris terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi
super infeksi –paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan
kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik
untuk profilaksis juga tidak rasional.
- Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup
berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat
mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam
waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat
dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam
setelah terapi.
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup;
epinephrin 1:1.000 memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan
bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml
epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan berat
badan.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan
dibeberapa unit perawatan intensif anak.
- Glucocorticoids

30
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian
intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka
kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala
pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat.
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral.
Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya
digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat
beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg
BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol,
yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis
yang baik pada sebagian besar pasien.
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan
dexamethasone oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal
sehingga tidak secara rutin digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas
yang berat, pemberian budesonide dan epinephrine secara bersamaan adalah
logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian epinephrine saja.Pada pasien
dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk memberikan
inhalasi steroid.

31
32
33
k. Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi. Kurang dari 5% anak yang didiagnosis croup
memerlukan perawatan di rumah sakit, dan kurang dari 2%-nya memerlukan
intubasi. Kematian terjadi pada 0,5% anak yang diintubasi. Superinfeksi bakteri
dapat menyebabkan pneumonia atau bacterial tracheitis. Infeksi yang mengancam
jiwa yang dapat timbul setelah infeksi saluran pernapasan akut akibat virus.

34
l. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad Sanationam : bonam

m. SKDI
3B: Acute Respiratory Disstress
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

35
IV. Learning Issue
1. Respiratory Distress pada Anak
a. Definisi
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan
diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk
melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory distress
digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory
failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi
dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.
b. Etiologi
Perubahan Fisiologis Volume Frekuensi Temuan Lain
Tidal Pernapasan
Hipoksemia, asidemia, ↑ Sedikit ↑ -
demam, peningkatan
metabolism
Penyakit restriktif ↓ ↑ Mendengkur, pernapasan paksa pada
inspirasi
Penyakit obstruktif jalan Normal ↓ Inspirasimemanjang, pernapasan paksa
nafas atas pada inspirasi
Penyakit obstruktif jalan Normal Bervariasi Ekspirasi memanjang, pernapasan
nafas bawah atau ↓ paksa pada ekspirasi dan sering pada
inspirasi
Penyakit neuromuscular ↓ ↑ Mungkin ada tanda kelemahan otot
lain
Gangguan pengendalian Normal ↓ Tanpa tanda distress
atau ↓

c. Diagnosis

No Penilaian Distress Nafas Gagal Nafas Henti Nafas


1 Status Sadar, agitasi, melawan Agitasi hebat atau Tidak responsif
mental kurang responsive
36
2 Tonus Normal, posisi tripod Normal atau Atonia
otot/ hipotonia
posisi
tubuh
3 Gerakan Ada Ada Tidak ada
dada
4 Upaya Meningkat Sangat meningkat Tidak ada
napas diselingi periode
apnea
5 Warna Kemerahan atau pucat Pucat, berbercak Sianosis
kulit (mottled) atau
sianosis
6 Tindakan Pendekatan segera, bekerja Gerak cepat, buka Segera buka saluran
dengan tingkat sedang, bantu saluran nafas, hisap nafas, hisap lendir,
anak dalam posisi nyaman, lendir, berikan O2, berikan O2, segera
beri O2 tanpa segera berikan berikan bantuan ventilasi
menyebabkanagitasi, bantuan ventilasi tekanan positif, nilai
pengobatan berdasarkan tekanan positif bila ulang ada/kembalinya
evaluasi selanjutnya. pasien tidak nafas spontan,
membaik, pengobatan berdasarkan
pengobatan evaluasi selanjutnya
berdasarkan evaluasi
selanjutnya

37
2. Respiratory Failure pada Anak
a. Definisi
Gagal nafas adalah keadaan dimana sistim pernafasan tidak mampu memenuhi
fungsinya memenuhi kebutuhan metabolisme sehingga terjadi hipoksia dan hiperkarbia.
Gagal nafas akut masih merupakan masalah utama dalam kegawatan pediatric. Lebih
kurang 8% dari penderita-penderita yang masuk ke ruang perawatan intensif adalah
penderita dengan gagal nafas akut dengan angka kematian 40-75%. Di RS dr. Soetomo,
kematian karena gagal nafas akut sama dengan data-data yang dilaporkan di center-center
lain yaitu 52%.
Dua pertiga dari kasus kasus gagal nafas terjadi pada anak usia < 1 tahun yang
setengahnya terjadi pada masa neonatus. Hal ini disebabkan karena belum matangnya
organ-organ pernafasan selain banyaknya kelainan kongenital pada usia ini yang dapat
menyebabkan gagal nafas. Faktor-faktor predisposisi terjadinya gagal nafas pada anak
terutama pada usia dibawah 5 tahun adalah :
1. Saluran nafas anak lebih sempit dibanding dewasa, sehinggga bila terjadinya sedikit
penebalan saja sudah dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang berat. Pada bayi
penebalan saluran nafas 1 mm saja sudah dapat mengurangi 75% diameter saluran
nafas, sedang pada dewasa penebalan yang sama hanya menyebabkan pengurangan
20% dari diameter saluran nafas. Selain dari itu saluran nafas bayi masih dikelilingi
oleh tulang rawan yang lunak sehingga akan kollap pada inspirasi yang kuat.
Epiglottis relatif lebih besar dari dewasa dan letaknya lebih horizontal dengan posisi
laring yang lebih cephalad ( sekitar C3 - C4 dibanding pada dewasa yang terletak
sekitar C6-C7 ), ditambah dengan area subglottis yang lebih sempit akan menyulitkan
dalam pemasangan pipa endotracheal.
2. Dinding thorak
Tulang dada dan tulang iga masih sangat lunak dengan posisi tulang iga yang lebih
datar sehingga bentuk rongga dada lebih bulat dan lebih elastis. Otot otot pernafasan
masih belum tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga gerakan dinding thorak
jadi lebih terbatas. Bayi terutama bernafas dengan otot diafragma (pernafasan

38
abdominal) sehingga penyakit-penyakit atau proses yang mengenai diafragma dapat
menyebabkan gangguan pernafasan.
3. Ventilasi kollateral pada bayi dan anak belum terbentuk seluruhnya
Pori pori dari Kohn ( antar alveolus) dan kanal bronkoalveolar dari Lambert masih
sedikit sehingga mudah terjadi atelektasis. Pada bayi clossing volume yaitu volume
paru dimana pada volume tersebut saluran nafas terminal sudah mulai kollap lebih
besar sehingga ruang mati ( dead space ) menjadi lebih besar. Selain dari itu jumlah
alveoli bayi dan anak lebih sedikit dari dewasa yaitu + 20 juta dengan luas alveoli
yang lebih kecil dan baru mencapai jumlah dan luas seperti dewasa + 300 juta pada
usia 8 tahun.
4. Sistem saraf pusat dan perifer masih belum matang
Pusat pernafasan pada bayi dan anak masih belum matang sehingga sering terjadi
apnea dan pernafasan yang tidak teratur. Selain dari itu bayi yang tipe tidurnya lebih
dominan dengan REM sleep sering terjadi gangguan pernafasan karena pada keadaan
REM sleep ini sering terjadi gangguan koordinasi otot-otot pernafasan. Pada keadaan
REM sleep ini pernafasan melalui diafragma meningkat, tapi hal ini tidak
bermanfaat karena gerakan ini tidak sesuai dengan gerakan dinding thorak. Padahal
tidur bayi lebih dominan dengan REM sleep sehingga kelompok usia ini lebih mudah
mengalami gagal nafas terutama. dalam keadaan stress.
5. Pada bayi angka kejadian gagal nafas juga lebih tinggi karena kelainan kelainan
kongenital yang dapat menyebabkan gagal nafas seperti hipoplasia paru, kelainan
jantung kongenital, atresia esofagus dengan fistula tracheoesofageal, hernia
diafragma serta trauma kelahiran.

b. Patofisiologi
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan/ aliran oksigen di udara luar sampai ke
dalam sel dan pengeluaran CO2 dari dalam tubuh. Proses pernafasan dibagi dalam 4
tahap :
1. Ventilasi paru-paru yaitu proses pertukaran udara antara udara luar dan alveolus.
2. Diffusi O2 dan CO2 melalui membran respirasi.
3. Transpot O2 dan CO2 dari dan kedalam sel.
39
4. Pengaturan ventilasi oleh susunan saraf pusat.
Proses pernafasan dimulai dari rangsangan reseptor-reseptor pernafasan baik mekanis
atau kimiawi yang diteruskan ke pusat pernafasan yang terletak di medulla oblongata dan
dari sini impuls efferens dikirim ke otot-otot pernafasan sehingga terjadi kontraksi otot-otot
pernafasan.
Akibat dari kontraksi otot pernafasan ini tulang dada dan tulang iga terangkat keatas
dan diafragma tertarik kebawah sehingga terjadi pengembangan rongga dada dan terjadi
tekanan yang lebih negatif dalam rongga dada, akibatnya udara dari luar masuk kedalam
alveoli. Proses pernafasan akan terus berlanjut melalui proses diffusi melalui membran
alveolocapiler atau membran respirasi. Proses diffusi ini terjadi karena perbedaan tekanan
antara rongga alveoli dan kapiler pembuluh darah. Darah dari jantung kanan dengan
kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi akan masuk kedalam sirkulasi paru dan
terjadi pertukaran gas di alveoli, CO2 masuk alveoli sedang O2 dari alveoli masuk
kedalam kapiler paru. Proses difiusi ini berlangsung cepat sehingga darah sudah tersaturasi
penuh dengan oksigen pada sepertiga awal sebelum mencapai ujung kapiler darah alveoli.
O2 di dalam darah akan diikat oleh Hb dalam bentuk oksihemoglobin dan dibawa ke
seluruh tubuh, di kapiler jaringan oksigen akan dilepas melalui suatu proses diffusi karena
kadar oksigen jaringan rendah sedang hasil metabolisme yang berupa CO2 akan masuk ke
dalam kapiler untuk dibawa kembali ke dalam paru-paru.
Pada pernafasan dengan udara biasa kadar oksigen yang masuk ke jantung kiri tidak
pernah mencapai 100 mm Hg sebab masih terdapat aliran darah yang tidak ikut dalam
pertukaran gas di alveoli tapi dari jantung kanan langsung ke jantung kiri, aliran darah ini
merupakan 2 ½ % dari seluruh aliran darah yang ke paru-paru dan disebut Venous
Admixture.

40
Gamba1 1. Fisiologi Pernapasan
2
Membran respirasi ini sangat luas + 70 m dan berhubungan sangat dekat dengan
dinding eritrosit karena kapiler dalam alveolus ini sangat kecil sehingga hanya dapat dilalui
oleh satu sel eritrosit. Kondisi seperti ini akan sangat membantu proses diffusi udara
pernafasan, sehingga pertukaran gas dapat terjadi dengan cepat. Penyakit-penyakit tertentu
yang menambah tebalnya membran respirasi seperti udema paru, pneumonia, fibrosis dan
sebagainya akan memperlambat proses diffusi. Setiap gangguan dari tiap tahap proses
pernafasan dapat menyebabkan ketidakmampuan paru-paru melaksanakan fungsinya
dalam pertukaran gas pernafasan sehingga terjadi gagal nafas.

c. Etiologi
Penyebab gagal nafas sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari suatu
penyakit. Karande et al, dan Randolph et al mendapatkan penyebab tersering dari gagal
41
nafas akut adalah penyakit paru-paru ( > 63% ) terutama bronkopneumonia dan
bronkiolitis, kemudian gangguan neurologis ( 12 - 14% ) dan penyakit – penyakit jantung
dan neuromuskuler. Telah banyak dilakukan pengelompokan penyebab gagal nafas akut
berdasar lokalisasi kelainan, fisiologi atau akibat yang terjadi.. Akibat yang terjadi dari
gagal nafas adalah terjadinya hipoksia dan hiperkarbia dengan berbagai akibatnya.
Hipoksia dan asidosis metabolik yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya penurunan
berbagai fungsi organ. Selain dari hipoksia, retensi CO2 dapat menyebabkan depresi
fungsi susunan saraf pusat, kesadaran penderita menurun sampai koma dan bahkan bisa
terjadi kejang. Otot-otot menjadi lemah, terjadi hipotoni, demikian pula gerakan peristaltik
usus menurun sehingga dapat terjadi ileus paralitik.
Tabel 3. Penyebab gagal nafas akut

I. Produksi C02 yang meningkat : Panas, menggigil (shivering),exercise ( kejang, gelisah )


sepsis, trauma, luka bakar

II. Ventilasi alveolar menurun A. Kontrol/kendali ventilasi menurun :


Paru-paru normal Sedativa (narkotika, tranquilizer)
Trauma kepala
Penyakit-penyakit infeksi CNS
Alkalosis
B. Penyakit-penyakit Neuromuskular :
1. Medulla spinalis : Tetanus, Trauma
2. Cornu Anterior : Poliomielitis
Penyakit Werdnig Hoffinan
3. Saraf perifer : Polineuropati akut
Polineuritis (difteria, sindroma Guillian
Barre) junction : Myasthenia
4. Neuromuscular
gravis, Botulism,
Keracunan organofosfat
5. Kelainan Otot : Polimiositis, hipokalemia,
Duchene muscular
C. Sumbatan saluran nafas atas : Sekresi/lendir, posisi kepala,
Hipotoni pharing
Masa ,udema subglottik, stenosis subglottic
Infeksi / Croup
Tracheomalacia, laryngomalacia

42
d. Diagnosis
Seperti pada penyakit-penyakit lain untuk membuat diagnosis yang baik diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gagal nafas akut yang didahului gejala-
gejala panas, batuk dan pilek yang disertai sesak biasanya disebabkan oleh penyakit-
penyakit infeksi saluran nafas akut. Adanya riwayat sesak berulang dan sesak yang sama
dalam anggota keluarga mengarahkan kita pada kemungkinan asma sebagai penyebab
gagal nafas.
Penderita yang sering sesak nafas sejak kecil terutama bila minum, atau saat bermain
kemungkinan penyebabnya adalah penyakit jantung. Riwayat kecelakaan atau adanya
riwayat kebakaran akan mengarahkan diagnosis kita terhadap trauma atau keracunan
carbon monoksida sebagai penyebab. Sangat sulit membuat diagnosis gagal nafas hanya
berdasar pada pemeriksaan fisik saja, diagnosis klinis biasanya dibuat berdasar hasil
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan gas darah. Periksaan fisik sangat bervariasi
tergantung dari penyakit primer gagal nafas. Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda
klinis dari penakit primer penyebab gagal nafas seperti adanya penarikan-penarikan,
ronki basah halus atau wheezing pada penyakit-penyakit bronchopneumonia atau asma
bronchiale. Suara nafas yang menurun dan adanya keredupan pada perkusi menunjukkan
adanya efusi pleura atau adanya suatu massa di rongga dada, tetapi penurunan suara nafas
tanpa keredupan bisa juga terjadi pada stadium lanjut penyakit paru-paru dimana sudah
terjadi kelelahan dari otot pernafasan.
Pemeriksaan foto dada anterioposterior atau lateral sangat penting dilakukan untuk
mencari kelainan-kelainan penyebab gagal nafas. Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang
lain yang perlu dilakukan tergantung pada dugaan kita terhadap kemungkinan penyebab
gagal nafas seperti ECG, Echocardiografi, kultur darah, darah lengkap, USG, CT scan,
pemeriksaan neurologis dan sebagainya. Pemeriksaan gas darah sangat penting untuk
menentukan diagnosis klinis gagal nafas akut. Kriteria dari gagal nafas akut adalah
PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 50 mmHg, saturasi oksigen < 90% atau PaO 2/FiO2 < 300.
Indikator lain adalah penentuan perbedaan tekanan oksigen alveolar ( PAO2 ) dan arterial
( PaO2 ).

AaDO2 = PAO2 – PaO2

43
PAO2 = ( Pb- PH2O ) – PaCO2/R
AaDO2 = Alveolar – arterial oksigen difference PAO2 = Tekanan O2 alveolus
PaO2 = Tekanan O2 arteri
Pb = Tekanan O2 yang dihirup
PH2O = Tekanan H2O di udara pernafasan (47 cm)
R = Ratio antara ventilasi dan perfusi (0,8)
Normal perbedaan tekanan O2 alveolar dan arterial adalah < 15 mm Hg.

Pada penderita yang mendapat oksigen tekanan O 2 alveolar dapat dihitung secara
kasar dengan mengalikan FiO2 dengan 6. Penderita yang mendapat O2 100% maka
PAO2 = 6 x 100 = 600, bila mendapat O2 60% maka PAO2 6 x 60 = 360.
Parameter lain dari hipoksia adalah perbandingan PaO2 / FiO2, ratio < 200 mm Hg

menunjukkan adanya hipoksia berat dengan pirau intra pulmonal > 20 %, normal
PaO2/FiO2 500-600. Diagnosis differensial yang harus dipikirkan pada gagal nafas
adalah penyakit- penyakit dengan gambaran klinis yang mirip yang disertai hipoksia dan
hiperkarbia yaitu penyakit jantung dengan pirau dari kanan ke kiri (R-L shunting) dan
malformasi vena paru (Pulmonary Venous Malformation). Berdasarkan hasil
pemeriksaan analisa gas darah gagal nafas dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1. Acute hypoxemic respiratory failure ( Gagal nafas akut tipe 1 )
Pada gagal nafas jenis ini terjadi hipoksemia dengan kadar PaCO 2 yang normal atau
rendah. Dikatakan gagal nafas tipe hipoksemia bila kadar PaO 2 darah < 50 mmHg
dengan catatan tidak ada pirau kanan ke kiri di dalam jantung ( intracardiac R L
shunting ). Gagal nafas tipe ini disebabkan oleh penyakit-penyakit yang merusak
jaringan paru.
Hipoksemia terjadi karena :
a. Meningkatnya R L shunt : terjadi karena kollap dari alveolus atau adanya cairan
di dalam alveolus.

44
b. V/Q mismatch : ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi alveolus.
Keadaan ini terjadi pada kerusakan parenchym paru hingga terjadi gangguan
ventilasi atau perfusi.
c. Lebih sering kedua hal tersebut terjadi bersama.
Tipe 1 ini terjadi karena mekanisme kompensasi tubuh yang masih mampu
mengatasi akibat-akibat dari gangguan ventilasi sehingga pada saat ini PaCO2 masih
normal atau bahkan menurun, tapi bila proses ini berlanjut tubuh tidak mampu lagi
melakukan kompensasi maka PaCO2 akan meningkat.
2. Ventilatory respiratory failure ( Gagal nafas akut tipe 2 )
Pada tipe ini terjadi hiperkarbia karena terjadi gangguan ventilasi hingga tubuh tidak
bisa mengeluarkan CO2. Kegagalan ventilasi ini terjadi karena :
a. Menurunnya usaha-usaha pernafasan.
b. Meningkatnya tahanan pernafasan.
c. Dead Space yang meningkat.
d. Meningkatnya produksi CO2.
e. Gabungan faktor-faktor di atas.
3. Mixed Respiratory Failure ( Gagal nafas akut tipe 3 )
Pada fase awal penyakit parenkim paru akut biasanya menyebabkan gagal nafas tipe 1
tapi bila tidak mendapatkan penanganan yang baik akhirnya akan terjadi kelelahan otot-
otot pernafasan sehingga tubuh tidak mampu mengeluarkan CO2.
Tabel 4. Kriteria Gagal Nafas
Tanda-tanda klinis Tanda-tanda laboratois

Umm 1. Hipoksemia ( PaO2 < 50 mm Hg )


1. Kelelahan 2. Hiperkarbia ( PaCO2 > 50 mmHg )
2. Berkeringat

45
Sistim Pernafasan 1. Asidosis
1. Wheezing 2. Kapasitas vital < 30% dari normal
2. Merintih ( Expiratory grunting ) 3. Kapasitas vital < 3 x volume tidal
3. Suara nafas menurun atau negatif 4. Tek. Inspirasi maksimum > 20 cm
4. Pernafasan cuping hidung H2O
5. Retraksi
6. Takipnea, bradipnea, apnea

Sistim kardiovaskular
1. Bradikardia atau takikardia
2. Hipotensi atau hipertensi
3. Pulsus paradoksus > 12 mm Hg
4. Cardiac Arrest

Susunan Saraf Pusat


1. Gelisah
2. Sakit kepala
3. Perubahan mental
4. Kejang
5. Koma

46
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hendaknya segera dilakukan terhadap :
1. Perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen
2. Penyakit primer penyebab gagal nafas
3. Komplikasi yang terjadi
4. Terapi supportif : perbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi
Penatalaksanaan secara khusus bervariasi tergantung pada penyebab dari gagal nafas,
tapi secara umum terdapat kesamaan prinsip.

Bebaskan jalan nafas


Bebaskan jalan nafas baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing position),
pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau dengan alat seperti pemasangan
pipa endotracheal atau tracheostomi.

Pemberian O2
Semua penderita dengan gagal nafas mengalami hipoksia maka pemberian oksigen
adalah suatu keharusan. Oksigen yang diberikan harus dilembabkan dan hangat, sebab
pemberian oksigen yang kering dan dingin akan menyebabkan gangguan gerakan
mukosilier saluran nafas dan pengentalan mukus sehingga akan memperbesar tahanan
saluran nafas dan memperburuk keadaan. Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa
terjadi pada pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian
oksigen sebaiknya diberikan dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan
oksigenasi jaringan yang cukup yaitu saturasi O 2 > 90% ( keadaan ini sudah dapat

dicapai pada PaO2 60 mm Hg) . Oksigen dapat diberikan melalui :


- Masker 6 - 10 l/menit.
- Kanula hidung dapat memberikan O2 24 – 45% tergantung dari flow dan frequensi
nafas penderita. Kanula hidung biasanya diberikan dengan flow 2 – 41/menit,sebab
flow yang lebih tinggi akan menyebabkan rasa yang tidak enak, pusing,
kekeringan dan luka pada selaput lendir hidung.
- Inkubator : oksigen dimasukkan ke dalam inkubator, tapi cara ini sangat boros.

47
- Head box : bisa memberikan O2 sampai 90% tergantung ada/tidaknya kebocoran
headbox
- Tenda oksigen
Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis yaitu sianosis
berkurang atau hilang, frekuensi pernafasan dan retraksi berkurang.

Pengobatan terhadap penyebab gagal nafas


- Antibiotika
- Pemberian bronkodilator
- Aminofilin untuk apnea of prematurity
- Naloxon pada keracunan narkotika
- Physostignin pada blokade neuromuskular karena pemberian muscle
relaxant.

Bantuan Pernafasan
Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi penderita:
1. CPAP ( Continous Positive Airway Pressure )
Diberikan pada anak yang masih bisa bernafas spontan dengan diberikan tekanan
positif ( Positive End Expiratory Pressure = PEEP ). Dengan member tekanan positif
pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap terbuka sehingga pertukaran gas tetap
berjalan dengan baik. CPAP dapat diberikan dengan kanula nasal, masker sederhana
atau dengan pipa endotracheal.
- Non invasive Positive Pressure Ventilation ( NPPV )
- Ventilasi mekanik konvensional
- Nonconventionan mechanical ventilation
 Inverse ratio ventilation : waktu inspirasi lebih panjang dari waktu ekspirasi atau
dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi pernafasan dimana expirasi
selalu lebih lama dari inspirasi,oleh karena itu perlu sedasi dan paralisis otot-otot
pernafasan. Cara ini dapat meningkatkan mean airway pressure dan
memperbaiki oksigenasi
 Airway Pressure Release Ventilation ( ARPV )
48
 High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory Ventilation
Disini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang lebih kecil dari dead space
tapi frequency pernafasan lebih tinggi yaitu 150 – 900/m ( 2 – 15 Hz ),sehingga
memperkecil resiko kerusakan paru yang bisa terjadi ( Ventilator induce lung
injury ).
 Liquid ventilation

49
50
3. Initial Assessment pada Anak
Penilaian gawat nafas pada anak

Gambar 8. Pediatric assessment triangle

1. Appearance
Hal ini dapat menggambarkan status ventilasi ke sistem susunan saraf pusat.
Element Yang dinilai
Tonus Otot Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
lemah atau tidak
Interaktivitas Alertness: apakah anak waspada dan penuh perhatian
untuk sekitarnya? Apakah apatis?apakah anak
51
berespon terhadap orang, objek atau suara?
Consolability Gelisah/agitasi. Apakah hal-hal yang menghibur anak
dapat mengurangi kegelisahan dan menangis?
Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,
atau apakah tatapan matanya kosong

2. Work of breathing
Hal ini untuk mengkonfrmasi apakah anak bernafas dan apakah ada usaha berlebih untuk
bernafas.
Element Yang dinilai
Frekuens nafas Tachypnea atau bradypnea
Suara jalan napas abnormal Altered speech, stridor, wheezing atau grunting
Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
intercostals atau substernal
Flaring Nasal flaring (nafas cuping hidung)

3. Circulation
Hal ini dilakukan dengan melihat warna kulit, bibir, lidah, telapak tangan dan kaki
Element Yang dinilai
Pallor White skin coloration from lack of peripheral blood
Mottling Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,
due to vascular instability
Cyanosis Bluish discoloration of skin and mucus

52
Gambar 9. Primary assessment

Interpretasi dari hasil general impression:

General Impression Appearance Work of Circulation to the


Breathing skin
Stable Normal Normal Normal
Respiratory Distress Normal Abnormal Normal
Nasal flaring
Grunting
Stridor
Wheezing
Retractions
Respiratory Failure abnormal Abnormal Normal/ abnormal

53
V. Kerangka Konsep

54
55
VI. Sintesis
Yudi, 2 tahun, BB 12kg, TB 87cm, mengalami distres pernapasan akibat
adanya obstruksi di saluran napas atas. Distres pernapasan pada awalnya ditandai dengan
gejala berupa takikardia dan takipnea sebagai upaya untuk memperbaiki ventilasi
semenit dan curah jantung serta mempertahankan hantaran oksigen ke jaringan.
Perjalanan penyakit selanjutnya dapat menyebabkan dyspnea, napas cuping hidung,
penggunaan otot bantu napas (retraksi supra sternal dan sela iga). Yudi sudah mengalami
gejala-gejala ini pada saat dilakukan penilaian umum dan survey primer. Tanda kasip
hantaran oksigen tidak memadai dapat beruba sianosis dan perubahan status mental.
Tanda kasep ini belum ditemukan pada Yudi.

Penyebab timbulnya distress pernapasan yang dialami Yudi adalah adanya


obstruksi pada saluran napas atas. Obtsruksi ini terjadi akibat croup
(laringotrakeobronkitis). Croup adalah sindroma klinis akibat obstruksi saluran napas
atas berupa stridor inspirasi, batuk menyalak, suara parau, sampai gejala distres
pernapasan. Gejala prodormal seperti demam disertai batuk pilek yang pada kasus ini
dialami tiga hari yang lalu dapat terjadi. Patogen yang sering menyebabkan croup adalah
virus parainfluenza (tipe 1, 2, 3) dan virus RSV (Respiratory Syncytial Virus). Croup
memang paling sering dialami anak seusia Yudi (6 bulan- 3 tahun).

Infeksi pada laring dan trakea dapat menimbulkan inflamasi, eritema, dan
edema pada struktur-struktur tersebut sehingga mengganggu gerakan plica vocalis.
Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah
laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi

56
saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran
udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds,
akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor
bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi
semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan
terdengar juga saat ekspirasi. Pada kasus ini, ditemukan stridor inspirasi pada penilaian
umum. Batuk yang timbul menjadi lebih khas (batuk seperti anjing menyalak) juga
terjadi dengan mekanisme yang serupa. Suara parau yang juga diemukan pada penilaian
umum terjadi akibat edema pada plica vocalis. Inflamasi pada saluran napas atas ini juga
dapat menimbulkan nyeri tenggorokan sehingga bisa membuat anak rewel dan terus
menangis seperti yang dialami Yudi.
Penegakan diagnosis croup dapat dilakukan dengan melihat manifestasi klinis
ataupun radiologi. Croup juga dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinisnya.
Pada kasus Yudi, croup yang terjadi adalah croup sedang dengan gejala berupa takipnea,
stridor inspirasi, batuk menyalak, suara parau, retraksisupra sternal dan sela iga, napas
cuping hidung, tanpa adanya sianosis ataupun penurunan kesadaran. Pemeriksaan
penunjang seperti rontgen AP leher dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding dengan menemukan stepple sign akibat adanya
penyepitan subglotis.

57
Terapi yang bisa diberikan pada Yudi adalah kortikosteroid oral atau IM
berupa deksametason IM (0,6-1mg/kgBB)10mg atau deksametason oral (0,6-
1mg/kgBB)10mg. Sebagai alternatif dapat diberikan prednisolone oral
(1mg/kgBB)14mg. Setelah empat jam, dilakukan observasi kembali. Jika tidak ada
perbaikan, diberikan nebulisasi adrenalin 5mls 1:1000 dan pemberian kortikosteroid
kembali. Jika hana terdapat perbaikan parsial, diberikan kortikosteroid kembali setelah
12 jam.
Prognosis croup pada kasus Yudi adalah bonam. Penyakit ini biasanya hanya
berlangsung sekitar 5 hari. Komplikasi seperti pneumonia hanya terjadi pada pasien
imunokompromis.

58
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Yudi, anak laki-laki 2 tahun, mengalami distres pernapasan karena obstruksi jalan napas
atas.

59
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, A.B, 2008, Croup (Laringotrakeobronkitis), 185, Cermin Dunia

Kedokteran vol.35, Jakarta

Godden, et.al., 1997, Double blind placebo controlled trial of nebulized

budesonide for croup, 157, Arch Dis Child

Greenwood et.al, 2007, Antimicrobial Chemotherapy, 5th Edition, 269, Oxford

University Press

Guyton, Arthur C dkk. 2013. Textbook of Medical Physiology. EGC, Jakarta,

Indonesia.

Harjono, Rima M, dkk. 2008. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

IDAI. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis akut): Buku Ajar Respirologi Anak.

Edisi Pertama. Jakarta: IDAI.

IDAI. 2009. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:

IDAI.

IDAI. 2013. Kurva Pertumbuhan WHO (http://www.idai.or.id/professional-


resources/growth-chart/kurva-pertumbuhan-who, diakses pada 26 September
2017)

Knutson. D, Aring. A, 2004, Viral Croup. Am Fam Physician, 535-541

Krilov L.R, 2001, Viral Croup. 5-12. Pediatric Rev

Neto, et.al., 2002, A Randomized controlled trial of mist in the acute treatment of

moderate croup. 873, Acad Emerg Med

Rosekrans, J.A., 1998,  Viral Croup: Current Diagnosis and Treatment, 1102-1107,

Mayo Clinic.

60
Sherwood L. 2013. Fisiologi Manusia dari Selke Sistem. Edisi ke-6. EGC, Jakarta,

Indonesia

World Health Organization. 2005. Pocket Book of Hospital Care for Children,

Guidelines for the Management of Common Illnesses with Limited

Resources.

61

Anda mungkin juga menyukai