Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes melitus1,3,4

3.1.1 Definisi & Faktor Resiko5,6

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya.

Expert committee on diagnosis and clasification of diabetes melitus

mengenali beberapa kelompok intermediet yang kadar glukosa tidak menemui

kriteria untuk diabetes namun tetap terbilang tinggi dari pada orang normal.

Kelompok tersebut ialah orang dengan glukosa darah puasa terganggu (GDP

plasma 100 – 125 mg/dL) atau tolerasi glukosa terganggu (TGG) (OGTT 140 –

199 mg/dL) (ADA, 2014).

Orang dengan keadaan diatas dikatakan dalam keadaan prediabetes

dimana menunjukan adanya risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi

diabetes. Orang dengan glukosa darah puasa terganggu atau tolerasi glukosa

terganggu tidak dapat dilihat sebagai sebuah tanda klinis namun lebih merupakan

faktor risiko untuk diabetes sama juga dengan penyakit kardiovaskular. Orang

dengan glukosa darah puasa terganggu atau tolerasi glukosa terganggu

berhubungan dengan obesitas (terutama orang obesitas abdomen atau viseral),

dislipidemia dengan kadar trigliserid tinggi dan/atau kadar HDL yang rendah, dan

hipertensi (ADA, 2014).

16
HbA1C juga secara umum digunakan untuk mendiagnosis diabetes pada

individu dengan faktor risiko, HbA1C juga dapay mengidentifikasi mereka yang

termasuk kedalam golongan risiko tinggi untuk berkembang menjadi penyakit

diabetes dikemudian hari. Expert committee on diagnosis and clasification of

diabetes melitus juga menyadari bahwa orang dengan kadar HbA1C diatas normal

namun dibawah cut point diagnosis dari diabetes (6.0 – 6,5%) merupakan

kelompok orang yang memiliki risiko untuk mengembangan penyakit diabetes

(ADA, 2014).

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain (Pekoni, 2011):

- Ras dan etnik

- Riwayat keluarga dengan diabetes

- Umur. Risiko meningkat seiring dengan meningkatnya usia

- Riwayat melahirkan bayi dengan BB bayi lahir >4000 gram atau riwayat

menderita DMG

- Riwayat lahir dengan berat badan redah, kurang dari 2,5 kg.

Faktor risiko yang dapat dimodifikas (Pekoni, 2011):

- Berat badan lebih (IMT >23 kg/m2)

- Kurangnya aktivitas fisik

- Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)

- Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau Tg > 250 mg/dL)

- Diet tak sehat. Diet tinggi gula dan rendah serat meningkatkan risiko.

Faktor risiko yang terkait dengan risiko DM (Perkeni, 2011):

- PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome)

17
- Penderita Sindroma Metabolik yang memiliki riwayat Toleransi Glukosa

Terganggu atau Gula darah Puasa Terganggu. Memiiki riwayat

kardiovaskular seperti stroke, PJK, atau PAD.

3.1.2 Klasifikasi & Patogenesis4,7,8,9

Diabetes melitus diklasifikasikan sebagai berikut:

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut:
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
Tipe lain - Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Karena obat atau zat kimia
- Infeksi
- Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
Diabetes melitus
gestasional

Pathogenesis

a. DM tipe 1

Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas

terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi

18
insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi

hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif

menghancurkan sel-sel β.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain

defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon

yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia

akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita

DMtipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan

hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi

dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis

diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin.

b. DM tipe 2

Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak

mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun

sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin

pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.

19
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,

merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian

besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan

kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar

dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu

defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap

glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua

kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang

mengurangi hiperglikemia tersebut.

3.1.3 Diagnosis1,5,6,7

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (pemberian glukosa yang setara dengan 75

gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air) > 200 mg/dl (11,1

mmol/L)

Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Gejala lain dapat berupa: lemah

badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus

vulvae pada wanita.

20
3.1.4 Penatalaksanaan1,6,7,10

Penatalaksanaan diabetes melitus meliputi 5 pilar, yaitu:

1. Gaya hidup sehat

Yang dimaksud dengan gaya hidup sehat adalah mengubah kebiasaan

hidup sehari-hari menjadi lebih sehat, misalnya dengan mengurangi kebiasaan

yang menjadi faktor risiko terjadinya diabetes melitus, seperti merokok,

menjaga emosi tetap stabil, termasuk pula perbaikan dalam kehidupan sosial,

seperti meluangkan waktu dengan keluarga dan teman, serta rekreasi.

2. Perencanaan makan

21
Pada pasien dengan diabetes melitus, dianjurkan untuk membatasi

konsumsi karbohidrat hingga 45-65% total asupan energi, tetapi tidak boleh

kurang dari 130 gram/hari. Dianjurkan pula untuk makan makanan yang

berserat tinggi. Konsumsi lemak dan protein juga perlu dibatasi. Dapat

diberikan pemanis alternatif, seperti aspartam dan sakarin yang tidak berkalori,

namun pemberiannya tidak boleh melebihi batas aman.

Kebutuhan kalori pada pasien diabetes dapat diperhitungkan melalui

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau

dikurangi beberapa faktor: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan

lainnya.

Perhitungan berat badan ideal dapat dihitung dengan rumus Brocca yang

dimodifikasi atau menggunakan rumus Indeks Massa Tubuh:

Brocca yang dimodifikasi:

- Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg

- Untuk pria dengan tinggi badan kurang dari 160 cm dan wanita kurang

dari 150 cm, dimodifikasi menjadi:

Berat badan ideal = (TB dalam cm – 100) x 1 kg

BB normal : BB ideal + 10%

Kurus : < BB ideal – 10%

Gemuk : > BB ideal + 10%

Indeks Massa Tubuh:

IMT = BB (kg)/ TB (m2)

BB kurang : <18,5

22
BB normal : 18,5 - 22,9

BB lebih : >23,0

3. Olahraga

Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama

kurang lebih 30 menit. Selain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga dapat

memperbaiki kendali glukosa darah. Kegiatan jasmani yang dianjurkan berupa

latihan yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-

malasan.

4. Farmakologis12,13

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan:

I. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):

- Sulfonilurea

Efek utamanya adalah meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan

normal dan kurang, namun untuk menghindari hipoglikemia sebaiknya

tidak diberikan pada orang tua, pasien dengan gangguan faal ginjal dan

hati, kurang nutrisi, serta penyakit kardiovaskular.

- Glinid

23
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea. Golongan ini terdiri

dari 2 macam obat, yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini diabsorpsi

dengan cepat dan diekskresi secara cepat melalui hati sehingga dapat

digunakan untuk mengatasi hiperglikemia post pandrial.

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin:

Obat yang bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas

terhadap insulin adalah golongan Tiazolidindion yang akan berikatan

dengan Peroxisome Proliferator Activator Receptor Gamma (PPAR-g),

suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut

glukosa sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Tiazolidindion

dikontraindikasikan bagi pasien dengan gagal jantung karena dapat

memperberat edema/ retensi cairan, juga mengganggu faal hati.

c. Penghambat glukoneogenesis

Metformin memiliki efek utama mengurangi produksi glukosa

hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa

perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang gemuk.

Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dl) dan hati, serta pasien dengan

kecenderungan hipoksemia. Efek samping metformin adalah mual,

sehingga sebaiknya diberikan saat atau sesudah makan.

24
d. Penghambat absorpsi glukosa

Acarbose mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Tidak

menimbulkan efek samping hipoglikemia, efek sampingnya yang paling

sering adalah kembung dan flatulens.

e. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan hormon yang

dihasilkan sel L di mukosa usus bila ada makanan masuk saluran

pencernaan, fungsinya sebagai perangsang kuat penglepasan insulin

sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun, GLP-1 secara

cepat diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi

metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun

pada diabetes melitus tipe 2, peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat

ditingkatkan dengan memberikan obat yang menghambat kinerja enzim

DPP-4.

II. Suntikan

a. Insulin

Indikasi pemberian insulin:

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

- Ketoasidosis diabetik

- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat

25
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

- Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi:

- Insulin kerja cepat (rapid acting)

- Insulin kerja pendek (short acting)

- Insulin kerja menengah (intermediate acting)

- Insulin kerja panjang (long acting)

- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed)

Efek samping terapi insulin:

- Hipoglikemia

- Reaksi imunologi

b. Agonis GLP-1

Suntikan agonis GLP-1 merangsang penglepasan insulin tanpa

menimbulkan hipoglikemia maupun peningkatan berat badan, bahkan

mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah

menghambat penglepasan glukagon yang berperan dalam

gukoneogenesis dan memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek

samping yang timbul adalah rasa sebah dan muntah.

26
5. Cangkok pankreas

27
3.1.5 Kriteria Pengendalian DM

Untuk pasien berusia lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran

kendali glukosa darah dapat lebih tinggi (puasa 100-125 mg/dl dan sesudah

makan 145-180 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain.

Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk

mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.

3.1.6 Komplikas 5,13

Komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi komplikasi akut dan kronik,

sebagai berikut:

1. Komplikasi akut

a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ditandai dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600

mg/dl) disertai adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.

28
Osmolaritas plasma meningkat (300-720 mOs/ml) dan terjadi peningkatan

anion gap.

b. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi

(600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma

sangat meningkat (300-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal

atau sedikit meningkat.

c. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dl. Gejala

hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak

keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing,

gelisah, kesadaran menurun hingga koma).

2. Komplikasi Kronik

a. Makroangiopati

- Stroke

- Penyakit jantung iskemik

- Penyakit arteri perifer

b. Mikroangiopati

- Retinopati diabetik

- Nefropati diabetik

c. Neuropati

29
3.2 Kaki diabetik

3.2.1 Diagnosis

Diagnosis kaki diabetik ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala klasik diabetes melitus

dan didapatkan riwayat luka bernanah dan berbau pada kaki serta tanda-tanda

inflamasi.

3.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan Konsensus Internasional Kaki Diabetik 2003, klasifikasi kaki

diabetik yang dianjurkan adalah:9,10

• P : Perfusi ( grade 1, 2 , 3)

• E : Ekstensi

• D : Depth/dalam (grade 1,2, 3)

• I : Infeksi (grade 1,2, 3, 4)

• S : sensasi (grade 1,2)

a. Perfusi

Grade Uraian
I Pulsasi a. dorsalis pedis & a. tibialis
Gejala dan tanda PAD (-) posterior teraba. ABI normal
II
Gejala dan tanda PAD (+), Claudicatio (+)
iskemia (-) ABI < 0,9
III
PAD dan iskemia (+) ABI < 0,9
Sistolik ankle < 50 mmHg
Sistolik Toe < 30 mmHg

b. Ekstensi/Ukuran, dinilai dengan mengukur luka dalam sentimeter.

30
c. Depth/Tissue loss

Grade Uraian
I Ulkus superfisial, tidak merusak dermis
II Ulkus dalam menembus fascia sampai tendon atau otot
II Ulkus dalam sampai menembus tulang

d. Infeksi

Grade Uraian
I Gejala dan tanda infeksi (-)
II Infeksi superfisial dan subkutan
Edema, eritema < 2 cm
III Infeksi lebih dalam, edema dan eritema > 2 cm, infeksi sistemik (-)
IV Infeksi lebih dalam, edema dan eritema > 2 cm, infeksi sistemik
(+), SIRS (+)

e. Sensation

Grade Uraian
I Sensasi masih baik
II Test Monofilament 10 gr (-)
Test Garpu tala (-)

31
Berikut klasifikasi Wagner yang juga sering digunakan untuk klasifikasi ulkus

diabetik:

Grade Lesi
1 Ulkus diabetik superfisial
2 Perluasan ulkus yang melibatkan ligamen, tendon, kapsul sendi atau
fascia dengan atau tanpa abses atau osteomielitis
3 Ulkus dalam dengan abses dan osteomielitis
4 Gangren di bagian depan kaki
5 Perluasan gangren pada kaki

3.2.2 Komplikasi1,8

Pada pasien dengan infeksi kaki diabetik harus diwaspadai terhadap tanda-

tanda osteomyelitis. Faktor risiko terjadinya osteomyelitis pada pasien dengan

infeksi kaki diabetik adalah :9

a. Luka yang tidak sembuh setelah perawatan 6 minggu

b. Deformitas pada kaki berupa pembengkakan (swollen) dan kemerahan

c. Tampak tulang atau pada palpasi teraba tulang

d. Luka dengan luas > 2 cm2 atau dengan kedalaman > 3 mm

e. Laju endap darah > 70 mm/jam

f. Gambaran radiologis menunjukkan osteomyelitis

3.2.3 Penatalaksanaan1,8

Alur penatalaksanaan pasien dengan infeksi kaki diabetik adalah sebagai

berikut :

32
Manajemen yang efektif untuk infeksi kaki diabetik adalah dengan

pemberian antibiotik empiris, bedah debridement reseksi jaringan mati, perawatan

luka, dan mengkoreksi abnormalitas metabolik.

Berikut adalah daftar terapi antibiotik berdasarkan derajat infeksi:

Infection Probable pathogen(s) Alternative

Mild Staphylococcus aureus Oral Dicloxacillin


(MSSA); Streptococcus spp Oral Clindamycin
Oral Cephalexin
Oral Levofloxacin
Oral Amoxicillin-calvulanate
Oral Doxycicline

33
MRSA Oral
Trimethoprim/Sulfamethoxazole

Moderate (oral MSSA; Streptococcus spp; Levofloxacin


or parenteral) Enterobacteriaceae; Cefoxitin
or Severe obligate anaerob Ceftriaxone
(parenteral) Ampicillin-Sulbactam
Moxifloxacin
Ertapenem
Tigecycline
Levofloxacin or ciprofloxacin
with clindamycin
Imipenem-cilastatin
Vancomycin, ceftazidime,
cefepime, peperacillin,
tazobactam, aztreonam,
carbapenem
MRSA Linezolid
Daptomycin
Vancomycin
Pseudomonas aeruginosa Piperacillin-tazobactam

Edukasi yang diberikan pada pasien adalah menjaga luka agar tetap kering,

tidak terkena air, dan menghindari terjadinya luka yang baru. Selain itu pasien

juga diminta untuk teratur mengontrol gula darah karena gula darah yang baik

akan mempercepat penyembuhan luka dan dapat mengeradikasi infeksi.

34

Anda mungkin juga menyukai