Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KLINIK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES PMC

NAMA MAHASISWA : DWI MARZA

NIM : 18010010

TANGGAL : 26 JULI 2021

RUANG PRAKTIK : IGD

A. DIAGNOSA MEDIK

LUPUS

B. PENGERTIAN

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi


multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandaiadanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh.Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun sehinggamengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suaru penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan
kompleks imun yang ditujukan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
(Leveno, Kenneth J. ; 2009)

C. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan
(genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat
menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin
dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam
rokok, mercuri dan silica.
Hormon estrogen dapat meningkatkan ekspresi system imun, sedangkan
androgen menekan ekspresi system imun. Hal ini menjelaskan mengapa SLE
cenderung lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. virus (Epstain Barr), obat
obatan, dan bahan kimia dapat menyebabkan produksi antinuclear antibody (ANA)
yang menjadi salah satu autoantibodi. Bagaimana sinar matahari dapat menyebabkan
SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA
yang tekena sinar UV secara normal akan bersifat antigenic, dan hal ini akan
menimbulkan serangan setelah terkena paparan sinar.
Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena produksi antibody dan
pembentukan kompleks imun yang abnormal, sehingga dapat terbentuk antibody
terhadap multiple nuclear, sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari berbagai
tipe sel di berbagai system organ, dengan bantuan suatu penanda Ig G dan factor
koagulan. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai
system organ.
Pembentukan antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel limfosit B yang
hiperaktif. Hal-hal yang dapat menyebabkan hiperaktifnya sel limfosit B diantaranya
adalah hilanya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau cemaran dari lingkungan
yang bersifat antigenic, adanya antigen terhadap sel B dari sel B lainnya atau dari
antigen pesaing cells (APCs), perubahan sel Th1 menjadi sel Th2 yang kemudian
memicu produksi antibody sel B, dan supresi sel B yang tidak sempurna.
Autoantibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian penyusun
nucleus dalam sel yang sering disebut antinuclear antibody (ANA). Pada pasien SLE
dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat menyerang berbagai system
organ. Antibody yang terbentuk juga dapat menyerang bagian fosfolipid dari activator
kompleks protrombin (antikoagulan lupus) dan kardiolipin (antikardiolipin).
Antikoagulan lupus dan antikardiolipin merupakan dua antibody yang termasuk
kedalam golongan antibody antifosfolipid. Beberapa antibody tersebut dapat muncul
bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa
antibody yang muncul dalam hitungan bulan sebelumnya.
Serangkaian reaksi akibat kerusakan regulasi system imun yang kemudian
memacu sel B untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun yang
diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada
berbagai jaringan serta organ.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi
di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1. Sistem Muskuloskeletal
a) Artralgia

b) artritis (sinovitis)

c) pembengkakan sendi,

d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan

e) rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem Integument (Kulit)

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi, dan

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem kardiak

a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4. Sistem pernafasan

a) Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem vaskuler

a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,

b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan

a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem saraf

a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. PATOFISIOLOGI
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Prosesnya diawali dengan
faktor pencetus genetik, serta faktor yang berasal dari lingkunagan seperti kuman dan
virus, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan
abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:

1. Sel T dan B menjadi otoreaktif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain

A. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun


sitokin di dalam tubuh

B. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

C. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen


karena adanya mimikri molekul

Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks
imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Antibodi2 yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain Antinuclear
antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La),
antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70

Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga berperan
pada timbulnya gejala klinis pada SLE

G. Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum


b. Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum,
ekspresi wajah pasien selama dilakukan amnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.

Head to toe

a. Kepala (wajah):

1. Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah-merahan

2. Terdapat lesi pada kulit kepala

3. Rambut rontok/tidak

4. Terdapat butterfly rash àbersisik pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung, telinga,
dagu, daerah V pada leher.

5. Hidung mimisan / tidak.

6. Kulit gatal/tidak.

b. Mata: Anemis/an anemis, gangguan penglihatan.

c. Mulut/bibir: terdapat sariawan, nyeri pada mukosa, gangguan, menelan.

d. Punggung: terdapat butterfly rash (bersisik) pada punggung atas.

e. Ekstremitas: kulit seperti terbakar, pembengkakan pada tangan, kaki , bahu, pinggang, Kulit
berwarna kemerah-merahan, Kulit teraba dingin, Pada sendi terdapat Arthtitis+/- (bengkak pada
sendi).

f. Dada: bila bernapas nyeri/tidak.

g. Jantung: Perikarditis, endokarditis, miokarditis.

h. Abdomen: lymfadenopati, splenomegali, hepatomegali.

2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

System otot dan tulang

Sakit pada sendi pada kedua sisi (kiri ataupun kanan) tanpa merusak sendi tersebut gejal ini
sering menyerang bagian tangan , lutut dan pegelangan tangan .

Kulit dan rambut

Serangan pada kulit dan rambut 90% terjadi pada odapus , pada serangan ini ditemukan
seperti kemerahan pada wajah (butterfly rash) yang dicetuskan karena sinar matahari, selain
itu juga terdapat serang discoid pada kulit ,rambut menjadi rontok dengan pengobatan yang
baik insya allah serangan pada kulit dan rambut dapat dihilangkan/disembuhkan

Darah
Setengah penderita lupus mengidap anemia selain itu juga terdapat jumlah trombosit dan
lekosit yang rendah dari pada orang sehat , hal ini menyebabkan pendarahan dan mudah
terinfeksi.

Mata

Kerusakan pada mata jarang didapati pada odapus kerusakan retina dapat terjadi karena
akibat pengobatan lupus dengan menggunakan antimalaria (chloroquine) jika menggunakan
obat yang demikian hendaklah teratur periksa ke dokter mata juga.

Ginjal

Kerusakan ginjal didapati pada hampir separuh odapus jika kerusakan pada ginjal ini berat
biasanya odapus memeriksakan urinnya secara berkala karena stadium awal dari kerusakan
ginjal ditandai adanya protein dalam urin . pengobatan yang diperlukan pengobatan
imunosupresif

Jantung dan pembuluh darah

Kerusakan jantung dan pembuluh darah yang diderita odapus berupa cairan pada selaput
jantung,vegetasi pada katup jantung ,perkapuran (atelrosklerosis)pada pembuluh darah dan
nyeri pada ujung-ujung jari dan perubahan warna dari putih menjadi kebiruan jika terkena
udara dingin dan emosi yang meningkat disebut dengan fenomena reynaud

Susunan saraf

15 % Gangguan otak,saraf dan kejiwaan didapati pada odapus, kelainana dapat berupa
kejang-kejang ,kelemahan otot ,depresi,gelisah dan stroke.

Paru-paru
Sesak nafas yang dirasakan pada odapus dapat disebabkan karena adanya cairan pada selaput
parunya dan juga karena akibat infeksi paru(pneumonia)

H. PEMERKSAAN PENUNJANG DAN LABOR

1. Pemeriksaan Laboratorium

a) Tes Anti ds-DNA

ü Batas normal : 70 – 200 IU/mL

ü Negatif : < 70 IU/mL

ü Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-
DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang
lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).

b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)

ü Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes
positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La)
(Pagana and Pagana, 2002).

2. Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

3. Pemeriksaan penunjang

a) Ruam kulit atau lesi yang khas.

b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan

I. KOMPLIKASI

Komplikasi lupus eritematosus sistemik

1. Serangan pada Ginjal

a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada Jantung dan Paru

a) Pleuritis

b) Pericarditis
c) Efusi pleura

d) Efusi pericard

e) Radang otot jantung atau Miocarditis

f) Gagal jantung

g) Perdarahan paru (batuk darah).

3. Serangan Sistem Saraf

a) Sistem saraf pusat

· Cognitive dysfunction

· Sakit kepala pada lupus

· Sindrom anti-phospholipid

· Sindrom otak

· Fibromyalgia.

b) Sistem saraf tepi

· Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c) Sistem saraf otonom

· Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke).
Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada Kulit

· Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut
lesi diskoid

· Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :

a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap


sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh

c) Lesi non spesifik

- Rambut rontok (alopecia)

- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.
Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).

- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai
pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otot

- Radang sendi pada lupus

- Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Darah

· Anemia

· Trombositopenia

· Gangguan pembekuan

· Limfositopenia

8. Serangan pada Hati

J. PENATALAKSANAAN

Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :

1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati
karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan
jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus.
Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun
kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu
lama. Steroid dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek
buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat
penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal
dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait
terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, pengaturan dosis
yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).

3. Antimalaria

Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena


risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk
mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).

4. Immunosupresan

a. Azathioprine

Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis


purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan
tubuh

b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi
limfosit dan respon sel T antibodi.

c. Methotrexate

Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen


sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan
tubuh termasuk modulasi produksi sitokin

d. Cyclosporin

Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi


efektor limfosit T.

e. Cyclophosphamide

Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ
internal dalam empat dekade terakhir. Obat ini juga banyak digunakan untuk
pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat.

f. Rituximab

Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan
methotrexate.

K. DIAGNOSA

a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.

c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

L. INTERVENSI DAN RASIONAL


1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Gangguan nyeri dapat teratasi

2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

b) Kriteria Hasil :

1) Skala Nyeri : 1-10

c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)

ü Mandiri :

1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas


(skala nyeri 1-10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan


jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan
debridemen.

2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode


pemajanan pada udara terbuka.

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.

3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup


tubuh hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat


dan/atau pada hidroterapi.

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan


penggantian balutan dan debridemen.

5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.


R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.

6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif,


napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan


rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.

R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan


kembali perhatian.

ü Kolaborasi

8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

b) Kriteria Hasil :

1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

c) Rencana Tindakan dan Rasional

ü Mandiri

1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.

R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan
lotion atau krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

3) I : Gunting kuku secara teratur.

R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif,
mis, duoderm, sesuai petunjuk.

R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

ü Kombinasi :

5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga
klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

b) Kriteria Hasil :

1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi


yang diberikan

c) Rencana Tindakan dan Rasional

1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan


informasi.

2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.


R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan
bagi pasien/orang lain.

3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi

R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan


perubahan/individu.

5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat


perawatan tempat tinggal.

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan


dan kemandirian.

M. DAFTAR PUSTAKA

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,

Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku PatofisiologiCorwin. Jakarta: Aditya Media

Kenneth J. Leveno et.,al. 2009. Obstetric Williams, Panduan Ringkas, Edisi 21. Jakarta: EGC
Price A. Sylvia, 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6, Penerbit buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Wallace DJ. 2007. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya.
Yogyakarta: B – First

https://gustinerz.files.wordpress.com/2012/04/askep-lupus.pdf

http://www.academia.edu/7114932/Makalah_penyakit_lupus

http://www.scribd.com/doc/62400839/askep-kita-SLE

Anda mungkin juga menyukai