net/publication/323226367
CITATIONS READS
0 3,388
1 author:
Uba Umbara
STKIP Muhammadiyah Kuningan
21 PUBLICATIONS 40 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Uba Umbara on 16 February 2018.
Kumpulan Makalah
Seminar ACER-N
vi
Volume 1, Tahun 2015. ISSN 2407-8867
INTEGRASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA
MASYARAKAT DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA REALISTIK
Uba Umbara
STKIP Muhammadiyah Kuningan
uba1985bara@gmail.com
ABSTRACT
Education takes some strategic roles in actualizing the values of a nation cultures. Dynamically, the
process of it as proper as developing era where the freedom of information becomes crucial that has
to be faced to revitalize the local wisdoms in civilization. The learning of Matemathic Realistic could
be an answer to conservate and deliver the values that exist in society. Math is viewed as a science
that produced of a society culture where the implementation of it gives the opportunities for the
teachers to teach the students contextually. It is principally the same where the education of
mathematic realistic is reconstructed activities based on daily life.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses alami dan memegang peranan penting dalam setiap
kehidupan manusia. Pendidikan harus mampu mengakomodasi kebutuhan setiap insan
pembelajar agar mempunyai kesiapan dalam menghadapi era baru yang penuh tantangan
tidak pernah lepas dari tuntutan perubahan, sehingga pendidikan harus mampu
mengembangkan potensi pembelajar agar mampu menghadapi tuntutan dan perubahan
zaman yang dimaksudkan. Hal tersebut, sejalan dengan fungsi dari Pendidikan Nasional
yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan langkah awal untuk meningkatkan
kualitas SDM di era globalisasi dan ditengah kemajuan IPTEK, terlebih untuk tujuan jangka
pendek Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Namun fakta yang
terjadi, Indonesia sedang dihadapkan pada suatu krisis rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap dunia pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan harus dirancang dengan tujuan untuk
mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan
warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
Prinsip pengelolaan pendidikan harus tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan budaya. Dengan mencermati prinsip tersebut hendaknya harus
didukung sebagai suatu upaya dalam memperbaiki proses pendidikan melalui implementasi
kurikulum yang berkualitas. Kurikulum yang tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat dimaknai sebagai suatu respon pendidikan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di era globalisasi yang
begitu dinamis. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa agar mampu menghadapi tuntutan dan
perubahan zaman di era teknologi dan informasi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada era digital saat ini tidak
dapat dipungkiri telah memasuki fase yang kritis, yang ditandai dengan begitu banyak
menawarkan berbagai informasi tanpa adanya filter. Peran teknologi informasi dan
Proceedings Of ACER-N Meeting and Seminar 268
Fakultas Pascasarjana Universitas Pasundan
Volume 1, Tahun 2015. ISSN 2407-8867
komunikasi pada era digital saat ini tidak dapat dipungkiri telah menggeser peran orang tua
dalam mendidik putra-putrinya, khususnya dalam hal pembentukan karakter. Kondisi
tersebut patut diduga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap lunturnya standar moral
yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam kondisi demikian, kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan yang
memiliki kedudukan cukup sentral dalam perkembangan pendidikan harus mampu menjamin
pembentukan karakter anak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang mampu menjadi
filter bagi efek negatif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat.
Atas dasar hal tersebut, pendidikan nasional harus dirancang agar tanggap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang harus dibentengi oleh nilai-nilai
budaya bangsa.
Proses pendidikan pada dasarnya merupakan proses dari berkembangnya suatu
kebudayaan dalam masyarakat. Proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tradisi nilai-
nilai budaya masyarakat (Wibawanta, 2012).Dalam konteks inilah, makna pendidikan harus
menjunjung tinggi penanaman nilai-nilai budaya sebagai nilai yang patut dikembangkan dan
dipertahankan. Proses pendidikan yang dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran
diharapkan mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya bangsa. Hal tersebut berlaku untuk
semua mata pelajaran, karena nilai-nilai budaya bersifat holistik dan dapat diintegrasikan
kedalam semua mata pelajaran, termasuk dalam pembelajaran matematika.
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat memegang peranan penting,
baik dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dari aspek
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya matematika dapat dilihat dari tujuan
mata pelajaran matematika pada pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Kurikulum
2006, yaitu sebagai berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) Memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah (Diknas, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran matematika harus dirancang agar lebih
menekankan pada pembangunan dan pembentukan pengetahuan yang membutuhkan proses
kreatifitas guru dalam menciptakan pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan sehingga
siswa dapat berpartisipasi aktif dan memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Untuk itu,
matematika perlu diusahakan dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari dan bila mungkin harus real bagi siswa. Model pembelajaran yang
dapat digunakan agar usaha mendekatkan matematika dengan kehidupan sehari-hari adalah
model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME).
RME ini pertama kali dikembangkan di Belanda sekitar 33 tahun yang lalu,
berdasarkan pada konsep Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia. Namun demikian, implementasi RME dalam pembelajaran di Indonesia
tidak bisa diadopsi langsung dari RME yang dikembangkan di negara lain, akan tetapi RME
yang sesuai dengan keadaan Indonesia. Atas dasar hal tersebut, RME perlu dikolaborasi
dengan budaya sebagai identitas pembelajaran realistik yang akan lebih mudah dipahami
oleh siswa sekaligus sebagai usaha untuk melestarikan budaya. Untuk itu, perlu
dikembangkan model pembelajaran RME berbasis kearifan lokal budaya masyarakat
Indonesia.
KAJIAN TEORITIS
Pembelajaran Realistic Mathematics Education
Realistic Mathematics Education (RME) awalnya dikembangkan di negeri
Belanda.RME tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada
tahun 1971 berada di bawah Utrecht University, Belanda. RMEmulai berkembang karena
adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan
kurang bermakna bagi siswa. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre
(1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya pengembangannya sampai sekarang sebagian
besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Realistic berasal dari
bahasa Belanda “Zichrealiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi
membayangkan, kegiatan membayangkan dipandang akan lebih mudah dilakukan apabila
bertolak dari dunia nyata. Kegiatan“membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah
dilakukan apabila bertolak daridunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu
(Van den Heuvel-Panhuizen, 2003).
Secara harfiah, RME dalam bahasa Indonesia adalah pendidikan matematika
realistik (RME). Ide utama dari RME adalah siswa harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang
dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan
“realistik” yakni yang berkaitan dengan realitas atau situasi yang dapat dibayangkan siswa.
Kata realistic sering disalah artikan sebagai dunia nyata, sehingga banyak yang mengartikan
matematika realistik sebagai pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu
menggunakan masalah sehari-hari.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (Wijaya, 2012) penggunaan kata realistic
tersebut tidak sekadar menunjukan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real word)
Atas dasar pendapat tersebut, kita dapat memaknai bahwa ide utama dari pendekatan
matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali
(reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan dunia nyata. Proses pengembangan konsep dan ide-ide
matematika yang dimulai dari dunia nyata oleh De Lange (1996) disebut matematisasi
konsep dan memiliki model skematis proses belajar seperti pada Gambar 2.1 berikut:
Dunia Nyata
Abstarksi dan
formulasi
Gambar 1
Matematisasi Konseptual (De Lange, 1996)
“It was Freudenthal’s belief that Mathematicsal structures are not a fixed datum, but that
they emerge from reality and expand continuously in individual and collective learning
processes. In other words, in RME students are seen as as active participants in the
teaching-learning process that takes place within the sosial context of the classroom”.
Perbedaan RME dengan pembelajaran matematika bisa terletak pada langkah guru
menyampaikan materi. Pembelajaran dengan pendekatan RME dalam pemahaman lebih
kompleks dan kontekstual sesuai dengan prinsip-prinsip RME. Reewijk (Marpaung, 2007)
merumuskan prinsip RME itu dengan singkat dalam 5 pokok, (a) Dunia ‘nyata’; (b) Produksi
bebas dan konstruksi; (c) Matematisasi; (d) Interaksi dan (e) Aspek pembelajaran secara
terintegrasi. Sementara itu, menurut Gravemeijer (1994) ada tiga prinsip kunci dalam
mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu: (a) guided reinvention and progressive
mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models.
Dari prinsip utama RME ini, muncullah lima karakteristik RME, yaitu: (1)
Menggunakan masalah kontekstual (2) Menggunakan model, situasi, skema dan simbol-
simbol (3) Menggunakan kontribusi siswa (sumbangan pemikiran dari siswa) (4)
Menggunakan metode interaktif dalam belajar matematika (5) Mengaitkan sesama topik
dalam matematika (NCTM, 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika dengan RME merupakan pembelajaran yang memanfatkan masalah kontekstual
yang mudah difahami siswa kemudian siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sesuai dengan pengetahuan awal yang
Proceedings Of ACER-N Meeting and Seminar 272
Fakultas Pascasarjana Universitas Pasundan
Volume 1, Tahun 2015. ISSN 2407-8867
dimilikinya. Kegiatan ini mengandung arti bahwa siswa diberi kesempatan untuk
mendeskripsikan, menginterpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Dalam hal ini keaktifan
siswa lebih diutamakan, guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Esensi kearifan lokal pada umumnya, pada masyarakat yang bersosialisasi dalam
kehidupan sehari-hari bahwa dasar-dasar pengetahuan, sikap, sifat dan ide, berasal dari
KESIMPULAN
Dapat dipahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh
para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu
sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan dari generasi ke generasi
melalui pola pendidikan dan pembelajaran yang khas. Beberapa bentuk pengetahuan
tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, tarian, ritual-
ritual dan juga aturan-aturan hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan
bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau
menerima dan mengklaim hal sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,
kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa budaya lokal.
Nilai-nilai kearifan lokal secara ekslusif harus dijaga dan dilestarikan dengan
memegang erat tradisi yang diturunkan secara turun temurun tersebut. Salah satu yang
langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga eksistensi dan ekslusifitas nilai-nilai kearifan
lokal adalah melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Menanamkan
kearifan lokal melalui pembelajaran merupakan bagian dari upaya membangun identitas
bangsa dan dapat dijadikan sebagai sarana dalam menyeleksi pengaruh budaya yang datang
dari luar. Dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai positif yang dikembangkan untuk
membentuk karakter dan identitas bangsa.
Peran sekolah dalam hal ini adalah menumbuhkan persepsi kearifan lokal yang
menjadi pegangan dan dilaksanakan sehari-hari oleh siswa. Secara tidak langsung hal ini
dapat mempengaruhi masyarkat disekitarnya, seperti kita ketahui bahwa rentannya konflik,
kriminalitas dan perpecahan pada masyarakat karena kurangnya pemahaman dan nilai-nilai
agama yang diterapkan pada kegiatan sehari-hari. Kehadiran kearifan lokal dapat
membentengi siswa terhadap pengaruh dari lingkungan di luar, terkadang perilaku siswa
yang masih mencari jati diri dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia tinggal, kegiatan
yang bersifat negatif seperti tawuran, penggunaan obat-obatan terlarang, membolos hingga
berbuat kriminal dan perilaku negative lainnya yang tidak sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia yang santun.
Dengan demikian guru melalui pendidikan formal seharusnya mampu membantu
siswa untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu
untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban
demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat. Pengetahuan yang
diberikan kepada siswa harus mampu membuat siswa itu pada akhimya mampu memilih
nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat siswa berkomunikasi
dengan sesamanya di dalam masyarakat, sehingga apa yang akan dijalani oleh para siswa
akan membawa kehendak masyarakat. Guru sebagai ujung tombak dari proses pendidikan
formal di sekolah harus mampu memainkan perannya dengan tepat.
Diakhir pembahasan, penerapan model pembelajaran RME berbasis kearifan lokal
budaya diharapkandapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif
DAFTAR PUSTAKA
Bishop. (1999). Mathematics Teaching and Values Educations: anintersection in
needofresearch. Zentralblatt fuer Didaktik der Mathematik, 31(1), 1-4.
De Lange. (2000). Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th International
Congress on Mathematics Education (ICME9) in Japan, July 2000.
De Lange. (1996). Assessment: No Change Without Problems. The Netherlands: Freudenthal
Institute.
Fauzan, A. Slettenhaar, D. & Plomp, T. (2002). Traditional Mathematics Education vs.
Realistic Mathematics Education: Hoping for Changes. Proceedings of 3rd
International Mathematics Education and Society Conference. Copenhagen:
Centre for Research in Learning Mathematics, pp. 1-4.
Gagne. (1983). Some Issue in Psychology of Mathematics Instruction. Journal for Research
in Mathematics Education. 14(1).
Gravemeijer (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD
Beta Press.
Irianto. (2009). Model-model Pembelajaran Inovatif Beorientasi Kontruktivisme. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Knijnik. (1994). Ethno-Mathematical Approach in Mathematical Education: a Matter of
Political Power. For the Learning Mathematics. Vol 14 No.1.
Mahyudin dan Latif. (2012). Peran Guru Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik
Melalui Kearifan Lokal Dan Olahraga. Prosising Temu Ilmiah nasional guru IV.
FKIP UT.
Marpaung, J. (2007). Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal Pendidikan
Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.
National Council of Teachers of Mathematics [NCTM]. (2000). Principles and
Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat,
37(2), 111-120.
Sembiring, (2008). Apa dan Mengapa PMRI ?. Majalah PMRI Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia. Vol VI No.4.
Streefland, L. (1991). Realistic mathemathics education in primary school. Utrecht:
Freudenthal Institute.
Tilaar. (2013). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.
Van den Heuvel-Panhuizen (2003) The didactical use of models in realistic Mathematics
education: an example from a Longitudinal trajectory on percentage. Freudenthal
Institute, Utrecht University, Aïdadreef 12, 3561 GE Utrecht, The Netherlands.
Van den Heuvel-Panhuizen, M. (2000). Mathematics education in theNetherlands: A guided
tour. Freudenthal Institute Cd-rom for ICME9. Utrecht: Utrecht University.
Wibawanta. (2012). Peran Guru : Antara Transformasi Pendidikan Dan Kearifan Budaya
Lokal. Prosising Temu Ilmiah nasional guru IV. FKIP UT
Wijaya (2012). Pendidikan Matematika Realistik (Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran matematika). Yogyakarta : Graha Ilmu.