1
Porgram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, IPB
2
Porgram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, IPB
3
Porgram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, IPB
Sylvia_zahara@apps.ipb.ac.id
2 Zahara, Darmawan, Tjahjono
Pendahuluan
Permukiman pada wilayah-wilayah tertentu menempati areal paling luas dari
pemanfaatan lahan pada wilayah tersebut. Perkembangan permukiman dari setiap bagian kota
atau wilayah tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik kehidupan masyarakat, potensi
sumber daya (kesempatan kerja) yang tersedia, kondisi fisik alami serta fasilitas kota atau
wilayah tersebut (Bintarto, 1983). Permukiman merupakan suatu kesatuan wilayah dimana
suatu perumahan berada, sehingga lokasi dan lingkungan perumahan tersebut sebenarnya tidak
akan lepas dari permasalahan dan lingkup keberadaan suatu permukiman. Pengembangan
perumahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang semestinya akan menghambat arah dan
laju pengembangan permukiman.
Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya aktivitas pembangunan
di berbagai bidang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik berupa pembangunan sarana
permukiman, jaringan infrastruktur, fasilitas ekonomi ataupun fasilitas sosial. Peningkatan
aktivitas pembangunan tersebut sudah tentu akan dibarengi oleh bertambahnya kebutuhan lahan
yang mewadahi aktivitas pembangunan tersebut. Kota Banda Aceh merupakan Ibu Kota
Provinsi Aceh dimana populasi penduduknya paling padat dibandingkan kota-kota lainnya di
Aceh. Data BPS menunjukkan kepadatan Banda Aceh pada tahun 2018 sebesar 4.734 jiwa/km2
sedangkan Kota Lhokseumawe 1.329 jiwa/km2 dan Kota Langsa sebesar 859 jiwa/km2.
Meskipun berpenduduk paling padat, luas wilayah Banda Aceh merupakan yang paling kecil
dibandingkan kota-kota lainnya. Hal ini melatarbelakangi perlu diperhatikan kualitas lahannya
tidak hanya untuk saat ini melainkan juga untuk beberapa waktu ke depan.
Kebutuhan akan ruang terus meningkat secara alamiah seiring kompleksitasnya
kebutuhan hidup bermasyarakat, seperti kebutuhan untuk aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, dan
aktivitas pelayanan umum. Menurut Lane (2009) dunia berkembang dengan pesat, sebagaimana
pembangunan berlangsung dengan lebih cepat. Dampak dari basis populasi yang terus
meningkat ini dikombinasikan dengan alam yang sangat terkuras sumber daya menyoroti
kebutuhan mendesak untuk perubahan gaya hidup manusia dan pola penggunaan lahan. Namun,
menjadi penting untuk mengetahui batas-batas pengembangan yang layak. (Ewing et al. 2008).
Daya dukung lahan dapat didekati dengan pendekatan fisik lahan (ekologi) melalui
keselarasan antara kemampuan lahan pada penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang
(Fahimuddin et al. 2016). Menurut Kivell (1993) kualitas lahan merupakan kendala fisik yang
menjadi hambatan besar dan membatasi aktivitas pembangunan. Keterbatasan kemampuan
lahan menunjukkan bahwa tidak semua upaya pemanfaatan lahan dapat didukung oleh lahan
tersebut. Kemampuan lahan akan sangat tergantung dari faktor-faktor fisik dasar yang terdapat
pada lahan tersebut, baik berupa lingkungan hidrologi, geomorfologi, geologi dan atmosfir
(Catanese dan Snyder, 1992).
Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan optimasi pemanfaatan lahan dengan
mempertimbangkan perencanaan pemanfaatan lahan secara seksama sehingga dapat mengambil
keputusan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan (Sitorus, 1995). Prinsip penentuan
kesesuaian lahan untuk suatu pemanfaatan, pada dasarnya dilakukan dengan pertimbangan
berbagai aspek diantaranya aspek fisik, untuk menghindari munculnya dampak negatif dari
pemanfaatan yang tidak optimal. Dampak negatif yang muncul dari pemanfaatan lahan yang
melebihi kemampuannnya berupa penurunan kualitas lingkungan seperti terjadi bencana banjir,
tanah longsor dan penurunan muka air tanah. Dalam penelitian ini diuraikan bagaiamana
kemampuan lahan berperan dalam pengembangan kota agar tidak melampaui kondisi fisik
ligkungan yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh.
Hal yang perlu diperhatikan mengingat riwayat kejadian bencana tsunami terbesar
sepanjang sejarah yang menelan hingga ratusan ribu korban jiwa, maka pengembangan kota
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
Pengembangan Perkotaan Banda Aceh berdasarkan Kemampuan Lahan 3
haruslah memperhatikan kondisi fisik Banda Aceh yang rawan bencana sebagai upaya preventif
terhadap bencana yang mungkin akan terjadi berikutnya.
Metode
Analisis Satuan Kemampuan Lahan dilakukan dengan mengoverlay berbagai data yang
dibutuhkan beserta pembobotannya hingga diperoleh 9 SKL yang dibutuhkan dalam
pengembangan permukiman. Kesembilan SKL tersebut meliputi: SKL Morfologi; SKL
Kestabilan Lereng; SKL Kestabilan Pondasi; SKL Ketersediaan Air; SKL Kerentanan Bencana;
SKL Drainase; SKL Pembuangan Limbah; SKL Terhadap Erosi; SKL Kemudahan dikerjakan.
Kebutuhan data dalam penentuan SKL diuraikan pada Tabel berikut.
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
4 Zahara, Darmawan, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
Pengembangan Perkotaan Banda Aceh berdasarkan Kemampuan Lahan 5
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
6 Zahara, Darmawan, Tjahjono
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
Pengembangan Perkotaan Banda Aceh berdasarkan Kemampuan Lahan 7
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
8 Zahara, Darmawan, Tjahjono
akhir sampah terletak di Desa Gampong Jawa yang berjarak 3 km dari pusat kota. Di dalam
RTRW disebutkan landfill Gampong Jawa telah memiliki lahan seluas 21 Ha.
Gambar 3. Satuan Kemampuan Lahan terhadap Bencana Alam Kota Banda Aceh
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
Pengembangan Perkotaan Banda Aceh berdasarkan Kemampuan Lahan 9
Berdasarkan hasil analisis, seluas 4.394,01 Ha atau 74,44% wilayah Kota Banda Aceh
merupakan Kelas D atau wilayah dengan kemampuan pengembangan agak tinggi. Sisanya,
seluas 1.508,99 Ha atau 25,56% merupakan Kelas C atau wilayah dengan kemampuan
pengembangan sedang. Kondisi fisik Kota Banda Aceh yang cenderung homogen dengan
kemampuan pengembangan sedang dan kemampuan pengembangan agak tinggi berpotensi
untuk dikembangkan dengan berbagai peruntukan lahan, selama tetap mempertimbangkan
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
10 Zahara, Darmawan, Tjahjono
kondisi lahannya. Ridha et al. (2016) mengungkapkan aspek fisik khususnya kondisi topografi
wilayah dapat menjadi faktor yanag dominan dalam menyebabkan terjadinya perbedaan pola
pengembangan di wilayah tertentu.
Berdasarkan arahan rekomendasi Pola Ruang, kemampuan pengembangan Kota Banda
Aceh umumnya tepat digunakan sebagai Kawasan terbangun dengan kegiatan-kegiatan tertentu.
Bila interval nilai di bawah 89, arahan pengembangan yang dapat diperuntukkan lebih terbatas.
Kawasan pengembangan rendah dan Kawasan pengembangan sangat rendah hanya dapat
diperuntukkan sebagai kawasan lindung dengan fungsi resapan air dan/atau Kawasan hutan
hijau sehingga tidak diperbolehkan ada kegiatan yang mengganggu atau merusak. Kemampuan
pengembangan agak tinggi di sebagian besar wilayah Kota Banda Aceh memungkinkan
pembangunan secara masif seiring kebutuhan atas desakan pertumbuhan penduduk.
Kota Banda Aceh masih dapat dilakukan pengembangan bila dihitung dari luas lahan
yang masih tersedia (belum terbangun). Analisis dilakukan mengikuti arahan rasio tutupan
lahan yang ditetapkan dalam Permen PU No.20/2007, di mana proporsi antara lahan terbangun
dan lahan tidak terbangun adalah 50% : 50% untuk kelas kemampuan pengembangan sedang
dan 75% : 25% untuk lahan dengan kemampuan pengembangan agak tinggi. Lahan tersedia
mempertimbangkan bahwa hutan bakau dan ruang terbuka hijau sudah tidak dapat dilakukan
pembangunan karena merupakan kawasan lindung, sehingga tidak dihitung. Dari hasil
perhitungan, diperoleh bahwa untuk wilayah dengan pengembangan agak tinggi sudah tidak
terdapat lahan tersedia. Arahan rasio yang dianjurkan adalah pembangunan hingga 75%
sedangkan Kota Banda Aceh telah terbangun seluas 75,67% yang menunjukkan lahan telah
defisit atau melebihi arahan rasio tutupan lahan.
KESIMPULAN
Satuan kemampuan lahan Kota Banda Aceh umumnya berada pada kelas 3, kelas 4 dan
kelas 5 yang berarti kondisi fisiknya baik untuk dilakukan pengembangan. Namun, pada Satuan
Kemampuan Lahan Drainase kondisi fisik tidak cukup baik atau dapat dikategorikan buruk di
mana 4.623,94 Ha (78,33%) berada pada Kelas 2 dengan drainase yang kurang baik atau
terhambat, dan sisanya seluas 1.279,06 Ha (21,67%) berada pada Kelas 1 yang berarti
kemampuan drainasenya lebih buruk dari Kelas 2. Kota Banda Aceh merupakan wilayah rawan
bencana, ditunjukkan dari SKL Bencana Alam berada pada Zona II (Rawan) dan Zona III (Agak
Rawan). Analisis kemampuan lahan menghasilkan 2 kelas pengembangan, sebagian besarnya
(74,44%) atau seluas 4.394 Ha merupakan wilayah dengan kemampuan pengembangan agak
tinggi dan sisanya 25,56% atau seluas 1.508 Ha merupakan wilayah dengan kemampuan
pengembangan sedang. Arahan pengembangan untuk kawasan pengembangan sedang dapat
digunakan sebagai kawasan terbangun dengan kegiatan-kegiatan tertentu, dengan proporsi lahan
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266
Pengembangan Perkotaan Banda Aceh berdasarkan Kemampuan Lahan 11
terbangun dan lahan tidak terbangun 50% : 50%. Arahan pengembangan kawasan
pengembangan agak tinggi dapat digunakan dengan berbagai kegiatan dengan proporsi lahan
terbangun dengan lahan tidak terbangun adalah 75% : 25%. Dengan arahan ini, Kota Banda
Aceh masih dapat diperuntukkan sebagai permukiman sekitar 29,67% atau seluas 216,93 Ha
untuk kawasan pengembangan sedang dan untuk wilayah pengembangan agak tinggi Kota
Banda Aceh telah terbangun seluas 75,67% yang menunjukkan lahan telah defisit atau melebihi
arahan rasio tutupan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Bintarto R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta (ID): Ghalia
Indonesia.
Catanese AJ, Snyder JC. (1992). Perencanaan Kota. Jakarta (ID): Erlangga.
Ewing B, Goldfinger S, Wackernagel M, Stechbart M, Rizk S, Reed A, Kitzes J. 2008. Ecological
Footprint Atlas. Global Footprint Network. Pp:1-87.
Fahimuddin MM, Barus B, Mulatsih S. 2016. Analisis Daya Dukung Lahan di Kota Baubau,
Sulawesi Tenggara. Jurnal Tataloka. 18(3): 183-196.
Kivell P. 1993. Land and The City: Patterns and Processes of Urban Change. London (GB):
Routledge.
Lane M. 2009. The Carrying Capacity Imperative: Assessing Regional Carrying Capacity
Methodologies for Sustainable Land-Use Planning. Proceedings of the 53th Annual
Meeting of the International Society for the Systems Sciences. Pp:1-20.
Pemerintah Kota Banda Aceh. 2017. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kota Banda Aceh 2017-2022. Banda Aceh (ID).
Ridha R, Vipriyanti NU, Wiswasta IGN. 2016. Analisis Daya Dukung Lahan sebagai
Pengembangan Fasilitas Perkotaan Kecamatan Mpunda Kota Bima Tahun 2015-2035.
Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 4(1): 65-80.
Sitorus SRP. 1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung (ID): Tarsito.
Walikota Banda Aceh. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh
Tahun 2009-2029. Banda Aceh (ID).
TATA LOKA - VOLUME XX NUMBER Y – MONTH YEAR - P ISSN 0852-7458 - E ISSN 2356-0266