ANORAGA JATAYU
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Model Spasial
Pertumbuhan Wilayah Cianjur Utara dalam Kawasan Jabodetabekpunjur dengan
Pendekatan Quantitative Zoning Method” adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Anoraga Jatayu
NIM A156180218
RINGKASAN
ANORAGA JATAYU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui oleh
Pembimbing 1:
__________________
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Pembimbing 2:
__________________
Dr. Agr. Didit Okta Pribadi, SP., M.Si.
Diketahui oleh
PRAKATA
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
tesis dengan judul “Model Spasial Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Cianjur dalam
Kawasan Jabodetabekpunjur dengan Pendekatan Quantitative Zoning Method”
dalam lingkup keilmuan Perencanaan pengembangan wilayah sebagai salah satu
proses menempuh pendidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini tidak lepas dari
dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
• Kedua orangtua penulis, yang selalu memberikan dukungan dalam masa
perkuliahan ini.
• Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. dan Dr. Agr. Didit Okta Pribadi, S.P.,
M.Si. sebagai komisi pembimbing yang telah membimbing penyusunan
tesis dan segala kegiatan ilmiah selama masa studi.
• Ibu Dr. Andrea Emma Pravitasari, S.P., M.Si. selaku penguji luar.
• Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. selaku ketua program studi Ilmu
Perencanaan Wilayah dan segenap dosen pengajar, asisten dan staff
pengelola pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah
Pascasarjana IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama
mengikuti studi.
• Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
yang membantu penulis dalam pendanaan kuliah dan biaya penelitian
melalui beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana
Unggul (PMDSU).
• Teman-teman Angkatan PWL 2018 yang telah banyak membantu dan
berbagi ilmu selama masa studi.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membutuhkan dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Anoraga Jatayu
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 6
Kerangka Pemikiran 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 8
Urban Form dan Perkembangan Struktur Ruang Wilayah 8
Perubahan Penggunaan Lahan 11
Dinamika Pertumbuhan Kawasan Jabodetabekpunjur 12
Quantitative Zoning Method dan Pemanfaatannya dalam Pewilayahan 14
3 METODE 16
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Bahan dan Alat Penelitian 17
Jenis dan Sumber Data 17
Tahapan dan Alur Kerja Penelitian 18
Metode Pengumpulan Data 18
Teknik Analisis Data 19
A. Identifikasi Tipologi Wilayah Menggunakan Rustiadi’s Quantitative
Zoning Method I 21
B. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Land
Change Modeler (LCM) 23
C. Analisis Urban Form Menggunakan Spatial Metric 27
4. GAMBARAN UMUM 33
Kondisi Umum Fisik Wilayah 33
Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah 36
Dinamika Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara 37
Pola Ruang dan Struktur Ruang Cianjur Utara 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43
Tipologi Wilayah Cianjur Utara 43
Prediksi Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara Menggunakan LCM 46
Karakteristik Urban Form dan Urban Expansion Wilayah Cianjur Utara 64
Implikasi dan Rekomendasi Terhadap Kebijakan Penataan Ruang
Kabupaten Cianjur 74
6 KESIMPULAN DAN SARAN 80
Kesimpulan 80
Saran 81
iii
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 90
RIWAYAT HIDUP 137
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai Distance Tiap Desa Dalam Analisis Spatial Clustering ...... 91
Lampiran 2 Nilai Spatial Metric Tiap Kelas Penggunaan Lahan................... 103
Lampiran 3 Titik Observasi/Survei Lapang ................................................... 110
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
(Milojevic, 2013). Urban form tidak hanya perlu untuk dipertimbangkan dalam
zonasi dan perencanaan kawasan perkotaan dan metropolitan, namun pertimbangan
terhadap bentuk perkotaan di wilayah hinterland juga harus diperhatikan untuk
menghindari terjadinya sprawl maupun perkembangan yang tidak terkendali
(Varkey dan Manasi, 2019). Dimensi urban form juga mampu untuk
mengidentifikasi pengaruh-pengaruh ekonomi maupun faktor-faktor
perkembangan wilayah lainnya sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
indikator keberlanjutan suatu wilayah (Milder, 2011).
Kawasan metropolitan dan kawasan hinterland di sekitarnya memiliki
dinamika pertumbuhan yang sangat tinggi sebagai akibat dari proses urbanisasi
tersebut. Dalam melakukan perencanaan pada kawasan-kawasan tersebut,
diperlukan pendekatan-pendekatan yang komprehensif sehingga mampu menjawab
berbagai tuntutan perkembangan dari suatu kawasan yang secara spatio-temporal
memiliki tingkat dinamika yang cukup tinggi. Selain itu, urbanisasi juga terjadi
sebagai respon atas kurangnya kontrol dan evaluasi dalam pelaksanaan penataan
ruang. Penataan ruang di Indonesia sebagian besar disusun berdasarkan pendekatan
top-down dan konsensus-kualitatif, sehingga perencanaan yang dihasilkan akan
bias akibat banyaknya subjektifitas dan seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan menjawab tantangan kewilayahan itu sendiri (Hudalah dan Woltjer,
2007; Rahmawati, 2015). Seringkali terdapat gap yang cukup lebar antara
pendekatan perencanaan “klasik” serta pendekatan berbasis scientific projection
yang memanfaatkan data-data multi-dimensi dalam melakukan perencanaan.
Pendekatan Quantitative zoning method sebagai salah satu metode scientific
projection dapat digunakan dalam perencanaan wilayah untuk menentukan zonasi
atau mengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristiknya (Rustiadi dan
Kobayashi, 2000; Sabatini et al, 2007). Quantitative zoning banyak dilakukan
dengan metode clustering untuk mendapatkan wilayah homogen, dimana dalam
suatu kelompok/zonasi memiliki kesamaan karakteristik, sedangkan antar
kelompok/zonasi memiliki keragaman karakteristik. Prinsip zonasi secara
kuantitatif ini adalah untuk mempermudah penerapan suatu kebijakan dan
mempermudah pengaturan dalam suatu zona akibat sifatnya yang sudah semakin
homogen (Silva dan Acheampong, 2015; Starikova, 2017). Hal ini berbeda dengan
zonasi konvensional yang banyak dilakukan secara konsensus-kualitatif, di mana
seringkali masih terdapat keragaman yang membuat kesulitan dan inefisensi dalam
implementasi kebijakan. Dalam konteks pembangunan wilayah dan perencanaan
spasial, kemampuan quantitative zoning ini mampu digunkan untuk mengatur pola
spasial penggunaan lahan dan menata ulang konfigurasi urban form suatu wilayah
untuk menjadi lebih berkelanjutan (Dempsey et al., 2010; Anthony et al., 2018;
Deng et al., 2018). Dalam penelitian ini, quantitative zoning yang digunakan adalah
Rustiadi’s quantitative zoning (Rustiadi dan Kobayashi, 2000) yang secara lebih
rinci mempertimbangkan kedekatan spasial antar unit spasial yang di analisis
sehingga membentuk zonasi yang lebih homogen dan terhubung. Melalui
pendekatan tersebut, suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi beberapa zona
yang homogen dan dapat menjadi suatu model spasial yang komprehensif dalam
perencanaan wilayah (Yin et al, 2018).
Indonesia memiliki beberapa Extended Metropolitan Regions (EMRs) atau
kawasan perkotaan yang mengalami urban expansion lebih jauh menuju wilayah di
sekitarnya. Jabodetabekpunjur merupakan wilayah metropolitan terbesar di
3
Perumusan Masalah
urban sprawl di wilayah tersebut (Cournane et al., 2016). Apabila ditinjau dari
lokasi dan arahan pengembangannya pada Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur dan RTRW Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Cianjur dapat
dikategorikan sebagai wilayah hinterland dari Jabodetabekpunjur. Namun
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur, wilayah
Cianjur Utara diarahkan sebagai kawasan perkotaan pendukung perkotaan PKWp
Cianjur. Hal ini membuktikan bahwa terdapat ketidaksinkronan kebijakan
perencanaan yang berlaku di wilayah Cianjur Utara sekaligus menunjukkan
kecenderungan pemusatan pembangunan pada wilayah Cianjur Utara.
Terdapat kecenderungan pemusatan pembangunan pada wilayah Cianjur
Utara yang termasuk dalam kawasan Jabodetabekpunjur dan merupakan jalur
penghubung menuju kawasan metropolitan Bandung. Selain itu, akibat terbaginya
wilayah Kabupaten Cianjur menjadi dua bagian yaitu wilayah Cianjur Utara dan
Cianjur Selatan dengan hirarki dan tingkat pertumbuhan yang sangat berbeda
menyebabkan tidak terdapatnya sinergi pengembangan antara kawasan utara dan
selatan Kabupaten Cianjur. Ketidakseimbangan yang digabungkan dengan
pemusatan pembangunan di wilayah Cianjur Utara menyebabkan terdapatnya
kecenderungan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun perkotaan.
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka disusun beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tipologi wilayah Cianjur Utara yang terbentuk dari karakteristik
fisik dan sosial ekonominya?
2. Bagaimana model penggunaan lahan (land use) wilayah Cianjur Utara
berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan dan rencana tata ruang yang
ada?
3. Bagaimanakah pola spasial penggunaan lahan dan urban form dari Cianjur
Utara berdasarkan struktur dan pola spasial wilayahnya?
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
kedua kawasan yang bertolak belakang tersebut. Diantara dua kawasan yang
bertolak belakang tersebut, terdapat struktur ruang baru yang memiliki dinamika
seperti kawasan perkotaan, di saat yang sama mampu mandiri dalam produksi dan
distribusi pangan maupun kebutuhan pokok lainnya. Struktur yang seperti ini dapat
disebut peri-urban atau “the-in between cities” (Young dan Keil, 2010), atau
“zwischenstadt” di Jerman (Sieverts, 2003). Kawasan ini memiliki berbagai
karakteristik perkotaan, namun tidak lebih fungsional dari kawasan metropolitan
(Kling et al., 1991). Tidak memiliki satu zona inti di mana segala aktivitas
terkonsentrasi di dalamnya, namun memiliki pola dengan beberapa pusat kegiatan
berkepadatan rendah, yang terfragmentasi namun memiliki spesialisasi tersendiri
dalam masing-masing bidang perekonomian, serta ter segregasi secara sosial
(Borsdorf, 2004).
2015). Kawasan Jabodetabek mencakup luas wilayah sebesar 5.797 km2. Kawasan
ini terdiri dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta atau dikelilingi oleh kawasan
kota satelit atau hinterland yang dikenal sebagai Bodetabek, akronim untuk Bogor
– Depok – Tangerang – Bekasi. Pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, wilayah Jabodetabek kemudian dijadikan sebagai KSN dengan luas
kawasan yang bertambah pada sebagian wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga
penamaan kawasan berubah menjadi Jabodetabekpunjur (Republik Indonesia,
2008b).
Kawasan Jabodetabekpunjur dibagi dalam 3 wilayah yaitu core untuk DKI
Jakarta, outer zone meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, dan kawasan Puncak Cianjur, dan inner zone mencakup Kota
Tangerang, Kota Bekasi, Kota Bogor dan Kota Depok (Gambar 5). Hirarki
perkotaan dalam kawasan Jabodetabekpunjur sesuai Perpres No. 60 Tahun 2020
tentang Penataan ruang Jabodetabekpunjur terdapat 1 (satu) PKN yaitu DKI
Jakarta, dikelilingi oleh 4 (empat) PKW yaitu Kota Tangerang, Kota Depok, Kota
Bogor dan Kota Bekasi.
terkonsentrasi pada wilayah DKI Jakarta sebagai pusat kawasan metropolitan, yang
kemudian pada tahun 1980-1990an pertumbuhan mulai meluas menuju kawasan
Bodetabek yang merupakan kota satelit atau sub-pusat dari Jabodetabek (Firman,
2009). Pada periode tersebut, Kawasan Jabodetabek mengalami transformasi dari
kota inti tunggal ke kota multi-inti. Pertumbuhan di Kawasan Jabodetabek memiliki
pola perluasan pada kawasan batas-batas pusat perkotaan menuju kawasan
pedesaan sehingga terbentuk wilayah-wilayah peri-urban yang merupakan wilayah
transisi perkotaan dan pedesaan (Hudalah dan Firman, 2012). Hal ini didukung
dengan adanya peningkatan infrastruktur transportasi, yaitu KRL dan jaringan tol
Jakarta-Tangerang, Jakarta-Cikampek, dan Jagorawi yang semakin meningkatkan
interaksi antara pusat-pusat perkotaan tersebut. Dengan ditetapkannya kawasan
Jabodetabekpunjur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), terdapat
percampuran antara aktivitas perkotaan dan pedesaan yang sulit dibedakan pada
wilayah Kabupaten Bogor dan Cianjur (Hudalah dan Firman, 2012). Hal ini
menandakan terbentuknya Extended Metropolitan Regions (EMRs) atau Mega-
Urban Regions (MUR) (Mc Gee, 1991; Douglass, 2000). Mega-Urban Regions
menunjukkan bahwa perkembangan kawasan metropolitan dengan multi-inti atau
beberapa pusat kegiatan bergantung pada kemampuan exopolis, atau kota-kota
satelit sebagai pendukung dari inti kawasan metropolitan (Soja, 2000).
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan kegiatan sosio-ekonomi
kawasan Jabodetabekpunjur mengakibatkan Pola perubahan penggunaan lahan dari
lahan pertanian menjadi lahan terbangun dengan pola semakin besar menuju
pinggiran kota. Presentase lahan terbangun menjadi semakin besar mengikuti
perkembangan sarana transportasi yang ada. Perkembangan transportasi kereta, tol,
serta jalan arteri menyebabkan munculnya pusat-pusat kegiatan baru seiring
semakin terhubungnya kawasan Jabodetabekpunjur. Pola perluasan lahan
terbangun tersebut semakin meluas menuju pada kawasan Punjur (Puncak-Cianjur)
yang pada Perpres nomor 60 Tahun 2020 direncanakan menjadi kawasan pertanian
dan kawasan lindung bagi kawasan Mega-Urban Jakarta. Akibat konversi lahan
yang tidak terkendali, timbul beberapa masalah yang berupa permasalahan
lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang memiliki dampak lebih besar pada
kawasan peri-urban maupun kawasan rural di sekitarnya (Pribadi, 2016).
3 METODE
Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data primer
didapatkan melalui survei dan observasi lapangan terkait data-data kondisi eksisting
wilayah penelitian. Data sekunder meliputi data kependudukan, data penggunaan
lahan time-series dan rencana, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cianjur dan Provinsi Jawa Barat, data kondisi sosial-ekonomi, dan data fasilitas.
Data-data tersebut bersumber dari instansi-instansi pemerintah di Kabupaten
Cianjur maupun Jawa Barat. Variabel dan sumber data pada penelitian ini disajikan
dalam Tabel 1.
Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi atas lima
tahapan yaitu tahapan studi literatur, pengumpulan data, pengolahan, tahapan
analisis dan pembahasan data, dan tahapan penulisan tesis.
1) Tahap Studi Literatur
Tahap studi literatur dilakukan pada awal penelitian untuk memperkaya
pemahaman terkait topik penelitian, memahami teori-teori yang relevan
dengan penelitian yang dilakukan, serta memahami penelitian-penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
2) Tahapan Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data melalui survei
sekunder dan primer.
3) Tahapan Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data merupakan tahap analisis data yang dilakukan
berdasarkan metode-metode analisis yang telah dipilih untuk menjawab
tujuan penelitian.
4) Tahap Pembahasan Hasil Olahan Data
Tahap ini merupakan tahap pembahasan, interpretasi, dan perumusan hasil
analisis untuk menjawab tujuan penelitian. Hasil analisis yang diperoleh
pada tahap pengolahan data diinterpretasikan serta dideskripsikan dengan
bantuan gambar, tabel, dan grafik.
5) Tahap Penulisan Tesis
Pada tahap ini dilakukan penyusunan tesis yang merupakan sintesa hasil dari
seluruh kegiatan penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan penyusunan
sintesa dari hasil-hasil pada tujuan penelitian dan dilakukan penyusunan
kesimpulan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari pengumpulan data
melalui survei primer dan survei sekunder. Survei sekunder merupakan metode
19
pengumpulan data dari instansi pemerintah maupun instansi terkait. Hasil yang
diharapkan dari survei sekunder ini adalah berupa data deskriptif, data numerik,
dokumen rencana, data citra satelit maupun peta mengenai kondisi wilayah
penelitian. Selain itu, survei sekunder juga bisa dilakukan dengan mensintesis atau
mempelajari hasil-hasil yang didapatkan pada penelitian sebelumnya. Survei primer
merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara langsung dengan
observasi di lapangan untuk melihat kondisi eksisiting wilayah penelitian. Survei
primer atau observasi lapang dilakukan pada beberapa titik sampel yang
ditunjukkan pada Lampiran 3.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui.
Proses dan alur analisis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 7. Metode analisis data dilakukan dengan variabel-variabel tertentu dan
menggunakan metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan penelitian. Jenis
data, variabel, sumber data, teknik analisa data dan keluaran yang diharapkan untuk
masing-masing tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
20
Data kependudukan
(jumlah, kepadatan, dan
pertumbuhan penduduk)
Penggunaan Penggunaan
lahan tahun lahan tahun
Data sosial ekonomi 2004 2009
(jumlah keluarga
pertanian dan non-
ertanian, tingkat Penggunaan Penggunaan
pendidikan penduduk, lahan tahun lahan tahun
jumlah fasilitas, tingkat 2014 2019
perkembangan desa,
penduduk miskin dan
sejahtera)
Skenario simulasi
penggunaan lahan
Spatial clustering
contiguous method
Model/prediksi penggunaan
lahan tahun 2031
Cluster perkotaan
Cluster perdesaan
Cluster peri-urban
(in-between)
Pola spasial penggunaan
lahan Cianjur Utara
Spatial metric
(indeks density, continuity,
fragmentation, dan shape)
Teknik
Tujuan Input Data Luaran/Output
Analisis
• Jarak terhadap jalan
arteri
• Jumlah fasilitas
pendidikan, kesehatan,
dan transportasi
• Jumlah rumah tangga
miskin
• Jumlah keluarga
sejahtera
• Tingkat perkembangan
desa
Merumuskan • Output tujuan 1 Land Change • Prediksi/simulasi
model • Penggunaan lahan Modeler penggunaan
penggunaan tahun 2004-2019 (LCM) lahan Kabupaten
lahan wilayah • Pola perubahan Cianjur
Cianjur Utara penggunaan lahan (berdasarkan
menggunakan tahun 2004-2019 scenario
Land Change • Rencana struktur ruang business as
Modeller Kabupaten Cianjur usual, arahan
(LCM). • Rencana pola ruang rencana tata
Kabupaten Cianjur ruang, urban
• Rencana jaringan jalan containment)
dan fasilitas
transportasi
Menganalisis • Output tujuan 1 Spatial • Pola spasial
pola spasial • Output tujuan 3 Metric penggunaan
penggunaan • Penggunaan lahan lahan Kabupaten
lahan dan urban tahun 2004-2019 Cianjur
form Cianjur • Rencana pola ruang (Kepadatan,
Utara Kabupaten Cianjur Fragmentasi,
berdasarkan Continuity,
struktur dan pola Bentuk)
spasial wilayah • Urban form
menggunakan Kabupaten
Spatial Metric. Cianjur
cluster, maka hasil analisis cluster akan semakin baik (Neethu dan Surendran,
2013). Analisis tipologi wilayah dalam penelitian ini memperhatikan karakteristik
dari tiap unit spasial untuk kemudian dikelompokkan melalui metode spatial
clustering. Unit spasial pada penelitian ini adalah kecamatan-kecamatan yang
terdapat pada Kabupaten Cianjur sejumlah 32 kecamatan, dengan variabel yang
digunakan sebagai penciri utama dalam mengelompokkan unit-unit spasial dalam
wilayah adalah: 1) kepadatan penduduk (jiwa/ha), 2) tingkat perkembangan desa
(swadaya, swakarya, dan swasembada), 3) presentase lahan terbangun (%), 4)
presentase lahan pertanian (%), 5) presentase keluarga petani (%), 6) presentase
keluarga non-petani (%), 7) jarak terhadap jaringan jalan arteri (km), 8) jumlah
fasilitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi (unit), 9) jumlah keluarga miskin,
10) jumlah keluarga sejahtera.
Tahapan dalam melakukan analisis spatial clustering terdiri dari beberapa
tahap, yaitu standarisasi data pada masing-masing variabel, penentuan jumlah
cluster yang dihasilkan, dan penghitungan Euclidean Distance sebagai penentu
kedekatan karakteristik antar unit spasial. Dalam proses analisis spatial clustering,
tingkat kedekatan atau kemiripan karakteristik antar unit spasial menjadi penentu
utama dalam membentuk cluster dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan standarisasi data untuk tiap variabel yang digunakan. Hal ini akan sangat
mempengaruhi hasil dari perhitungan euclidean distance untuk mengetahui tingkat
kedekatan dan kemiripan antar unit spasial. Standarisasi data dapat dilakukan
dengan formula sebagai berikut:
𝑥𝑖𝑗 − 𝑥̄ .𝑗
𝑧𝑖𝑗 =
𝑠𝑡𝑑𝑒𝑣 𝑥.𝑗
Di mana:
zij = standarisasi data untuk wilayah –i dan variabel –j
xij = nilai data wilayah –i dan variabel –j
x̄.j = nilai rata-rata wilayah –i dan variabel –j
stdev x.j = standar deviasi data pada wilayah –i dan variabel –j
Penentuan jumlah cluster dilakukan berdasarkan karakteristik data dari tiap
variabel yang digunakan. Cluster yang terbentuk pada penelitian ini digunakan
untuk menentukan kawasan perkotaan utama, kawasan perkotaan sekunder atau
kawasan transisi, dan kawasan pedesaan.
Metode spatial clustering pada penelitian ini menggunakan metode dari
Rustiadi dan Kobayashi (2000) di mana metode spatial clustering dibedakan
menjadi Non-Contiguous (NC) dan Contiguous dengan variabel geografis tiap unit
data (C).
• Metode Non-Contiguous (NC)
Pada metode non-contiguous, dilakukan penghitungan euclidean distance
untuk mengetahui jarak antar unit spasial berdasarkan variabel-variabel
pencirinya untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan kedekatan antar
unit spasial tersebut. Pada kasus univariate (single-attribute variable)
digunakan persamaan berikut:
𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧𝑖 ′ − 𝑧𝑗 ′)2
Dan untuk multivariate (multi-attribute variable) digunakan persamaan
berikut:
23
𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧1𝑖 ′ − 𝑧1𝑗 ′)2 + (𝑧2𝑖 ′ − 𝑧2𝑗 ′)2 + ⋯ + (𝑧𝑚𝑖 ′ − 𝑧𝑚𝑗 ′)2
Di mana:
Dij adalah nilai euclidean distance antara lokasi i dan j, z adalah nilai atribut
untuk lokasi i and j, m adalah jumlah variabel yang digunakan, dengan nilai
dari tiap unit data yang telah distandarisasi (Rustiadi dan Kobayashi, 2000).
• Metode Contiguous (C)
Pada metode contiguous terdapat beberapa perbedaan, diantaranya adalah
dengan diperhitungkannya variabel geografis yang berupa koordinat x dan
y dari tiap unit spasial serta diberlakukannya bobot kontiguitas untuk tiap
unit spasial. Penghitungan jarak dan kedekatan karakteristik antar unit
spasial dihitung menggunakan euclidean distance. Persamaan untuk kasus
univariate dan multivariate memiliki prinsip yang sama dengan metode
non-contiguous dengan modifikasi sebagai berikut (Rustiadi dan
Kobayashi, 2000):
2 2
𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧𝑖 ′ − 𝑧𝑗 ′)2 + 𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
𝑑𝑎𝑛
′ ′ ) 2 ′ ′ ) 2 ′ ′ ) 2
(𝑧1𝑖 − 𝑧1𝑗 + (𝑧2𝑖 − 𝑧2𝑗 + ⋯ + (𝑧𝑚𝑖 − 𝑧𝑚𝑗 +
𝐷𝑖𝑗 = √ 2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
Di mana:
Dij adalah nilai euclidean distance antara lokasi i dan j, z adalah nilai atribut
untuk lokasi i and j, m adalah jumlah variabel yang digunakan, X dan Y
adalah koordinat dari tiap unit spasial, serta β adalah bobot kontiguitas.
Faktor kontiguitas akan semakin kuat apabila β memiliki nilai kurang dari
satu (β<1) dan akan menjadi lebih lemah apabila β memiliki nilai lebih dari
satu (β>1) (Rustiadi dan Kobayashi, 2000).
Apabila bobot spasial pada metode contiguous adalah:
2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
Jika, 𝑥𝑖 = √𝛽. 𝑋′𝑖 dan 𝑦𝑖 = √𝛽. 𝑌′𝑖 maka persamaan pada metode
contiguous dapat menjadi sebagai berikut
2 2 2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) } = 𝛽(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + 𝛽(𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′)
= (𝛽𝑋𝑖 ′2 − 2𝛽𝑋𝑖 ′𝑋𝑗 ′ + 𝛽𝑋𝑗 ′2 ) + (𝛽𝑌𝑖 ′2 − 2𝛽𝑌𝑖 ′𝑌𝑗 ′ + 𝛽𝑌𝑗 ′2 )
2 2
= (√𝛽𝑋𝑖′ − √𝛽𝑋𝑗′ ) + (√𝛽𝑌𝑖′ − √𝛽𝑌𝑗′ )
2 2
= (𝑥𝑖 − 𝑥𝑗 ) + (𝑦𝑖 − 𝑦𝑗 )
Di mana (xi,yi) adalah koordinat peubah yang telah diberikan bobot β.
Dalam penelitian ini bobot β yang digunakan dan di uji coba adalah: (i) β =
0.5 ; (ii) β = 1 ; (iii) β = 2 ; (iv) β = 4.
Alokasi Spasial
Dari serangkaian peta sub-model potensi transisi dan besar transisi untuk tiap
kelas penggunaan lahan, alokasi spasial ditentukan berdasarkan wilayah/koordinat
dengan nilai potensi transisi terbesar untuk kelas tertentu (nilai potensi tertinggi
pada kelas i maka wilayah/koordinat tersebut akan menjadi kelas i, begitu pula
untuk kelas lainnya (Eastman, 2009). Apabila du akelas atau lebih memiliki nilai
potensi transisi yang sama, maka wilayah/koordinat tersebut akan ditempati oleh
kelas dengan nilai potensi transisi marginal tertinggi.
Apabila terdapat skenario dalam simulasi, proses pengalokasian akan
ditentukan berdasarkan interaksi antar kelas penggunaan lahan yang berlawanan,
dan ditentukan kedekatan/jarak minimum dari kedua jenis penggunaan tersebut.
Misalkan, pada scenario yang memprioritaskan perlindungan lahan hutan, dengan
kelas pengkonversinya berupa permukiman dan pertanian. Maka akan ditentukan
kedekatan minimum dari kelas hutan dengan permukiman dan permukiman,
sehingga apabila pertumbuhan kedua kelas pengkonversi tersebut telah
mencapai/melebihi jarak minimum yang ditentukan, pertumbuhannya akan
dihentikan.
Spatial metric adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk merumuskan
pola spasial morfologi wilayah berbasis metric (O'Neill et al., 1988; McGarigal,
1995; Gustafson, 1998; Hargis et al., 1998). Selain untuk mengukur bentuk dan
pola vegetasi, Spatial Metric juga banyak digunakan untuk mengukur perubahan
penggunaan lahan, urban sprawl, serta morfologi atau bentuk wilayah. Metrik pada
spatial metric dihitung menggunakan software FRAGSTATS, di mana unit
analisisnya terdiri dari patch, class, dan landscape. Patch merupakan unit polygon
atau satu feature penggunaan lahan yang continuous, Class merupakan satu kelas
penggunaan lahan, dan Landscape merupakan unit analisis terbesar yaitu mencakup
satu landscape wilayah yang diteliti (gambar 9). Pada penelitian ini, spatial Metric
digunakan untuk mengukur indeks-indeks yang merepresentasikan urban form
berdasarkan hasil model penggunaan lahan Kabupaten Cianjur. Pengukuran indeks-
indeks urban form dilakukan pada data penggunaan lahan eksisting dan hasil model
penggunaan lahan. Pada penelitian ini dipilih beberapa indeks-indeks yang
merepresentasikan urban form, yaitu density, continuity, clustering, dan shape.
28
• PD (Patch Density)
PD Menunjukkan kerapatan persebaran patch dalam satu landscape.
Nilai metric PD berupa kepadatan patch kelas i per hektar. Dalam
software “Fragstats” nilai metrik PD dikalkulasikan berdasarkan
formula sebagai berikut:
𝑛𝑖
𝑃𝐷 = (10000)
𝐴
Di mana ni adalah jumlah patch kelas i dalam landscape dan A adalah
total luas landscape dalam meter persegi untuk kemudian dikalikan
10.000 menjadi satuan hektar. Ilustrasi nilai metrik PD dalam suatu
landscape digambarkan dalam Gambar 10.
2. Continuity
• COHESION
Metrik COHESION mengukur keterhubungan fisik pada suatu class yang
dianalisis. Nilai COHESION semakin meningkat seiring dengan semakin
mengelompoknya persebaran patch-patch dalam satu jenis class yang
sama. Dalam kata lain, semakin tingginya nilai COHESION semakin
menunjukkan bahwa antar patch dalam satu jenis class tersebut semakin
terhubung secara fisik. Nilai COHESION memiliki rentang antara 0 dan
100 karena direpresentasikan dalam bentuk presentase, sehingga mudah
untuk diinterpretasikan dalam melihat perkembangan bentuk suatu
wilayah. Dalam software “Fragstats” metrik COHESION dikalkulasikan
dengan formula sebagai berikut:
∑𝑛𝑗=1 𝑝𝑖𝑗 1 −1
𝐶𝑂𝐻𝐸𝑆𝐼𝑂𝑁 = [1 − 𝑛 ] [1 − ] (100)
∑𝑗=1 𝑝𝑖𝑗 √𝑎𝑖𝑗 √𝑧
Di mana pij adalah perimeter patch ij yang merepresentasikan jumlah cell
pada tepi patch yang terkoneksi secara fisik; aij adalah jumlah area patch
ij yang direpresentasikan dalam jumlah cell; dan Z adalah jumlah cell
pada satu landscape yang diamati. Nilai COHESION yang mendekati 0
menunjukkan bahwa dalam satu class terdapat banyak patch yang tidak
terkoneksi atau terpisah-pisah. Sedangkan semakin tinggi nilai
COHESION menunjukkan bahwa dalam patch-patch dalam satu class
tersebut saling terhubung satu sama lain. Ilustrasi nilai metrik
COHESION dalam suatu landscape digambarkan dalam Gambar 11.
30
4. GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Fisik Wilayah
Kondisi Iklim
Berdasarkan kondisi iklim secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis
lembab dengan suhu udara minimum 18 derajat yang biasanya terjadi pada bulan
Maret – April, sedangkan suhu maksimal adalah 24 derajat yang biasanya terjadi
pada bulan Oktober – November dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80-90%.
Pada bulan November – Maret angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya
berkaitan dengan musim kemarau. Adapun puncak musim kemarau terjadi pada
bulan Agustus sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember-
Januari, sedangkan kondisi curah hujan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi.
Curah hujan ratarata di wilayah pesisir berkisar antara 1.120,4 mm/tahun sampai
dengan 3.543 mm/tahun. Namun demikian, beberapa wilayah di sebelah barat
Kecamatan Sindangbarang memiliki curah hujan lebih tinggi, yakni berkisar antara
3.000 mm/tahun sampai 4.000 mm/tahun.
tidak bersekolah atau tidak tamat SD sebnayak 60.715 jiwa, sedangkan lulusan
Diploma I/II/III/Akademi/Universitas hanya sebanyak 59.966 jiwa.
Berdasarkan lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur
dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelompok utama yaitu pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan, industry pengolahan, perdagangan besar eceran, rumah
makan, dan hotel, jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan, dan kelompok
lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air, bangunan, angkutan,
pergudangan, dan komunikasi keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan,
tanah, dan jasa perusahaan). Sebagian besar penduduk di Kabupaten Cianjur
bekerja pada sektor atau lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah makan
dan hotel dengan jumlah pekerja sebanyak 239.07, sektor kedua yang memiliki
jumlah pekerja tertinggi yaitu sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan
perikanan.
Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2004 (Gambar 17) sudah mulai
terlihat adanya lahan terbangun diantara lahan sawah dan kebun campuran. Pada
tahun 2009, 2014, dan 2019 telah terjadi peningkatan perubahan penggunaan lahan
dari Kawasan pertanian menjadi kawasan lahan terbangun, perubahan tersebut
dapat terlihat pada peta penggunaan lahan dari tahun 2004-2019 (Gambar 17).
Berdasarkan peta-peta penggunaan lahan tersebut terlihat bahwa penyebaran dan
pertumbuhan Kawasan lahan terbangun menjadi semakin masif pada tahun 2019
terutama di bagian pusat dan barat, dan lahan yang paling banyak terkonversi
merupakan lahan sawah, sehingga jumlah lahan sawah di Kabupaten Cianjur bagian
utara ini mengalami penurunan dalam kurun waktu 2004-2019, begitu juga dengan
Kawasan pertanian lainnya termasuk kawasan hutan. Pertumbuhan Kawasan lahan
terbangun yang sangat masif tersebut terlihat dari semakin merahnya beberapa
38
Kawasan di Kabupaten Cianjur bagian utara. Hal tersebut juga dapat terlihat pada
Tabel 5, di mana lahan sawah dan kebun campuran mengalami penurunan dalam
kurun waktu 1999-2019 dan dalam kurun waktu 2009-2019 lahan sawah mengalami
penurunan yang cukup tajam, yang mana penurunan tersebut beriringan dengan
meningkatnya lahan terbangun.
Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, Kawasan rawan rawan
bencana alam, dan Kawasan lindung geologi. Pada Kawasan suaka alam,
pelestarian alam dan cagar budaya terdapat program perlindungan Kawasan suaka
alam yang salah satunya terdapat di cagar alam Talaga Warna, Kecamatan Cipanas,
perlindungan Kawasan pelestarian alam di Taman Nasional Gede-Pangrango yang
meliputi Kecamatan Cipanas, dan perlindungan cagar budaya yang berada di Iatana
Cipanas diantaranya Situs Megalitik Bukit Kasur di Kecamatan Cipanas, Situs
Megalitik Pasir Pogor di Kecamatan Mande, Situs Megalitik Gunung Putri di
Kecamatan Sukaresmi dan Situs Megalitik Bukit Tongtu di Kecamatan Cikalong
Kulon. Rencana pola ruang untuk Kawasan hutan lindung sendiri telah ditetapkan
sebesar 6074,04 Ha atau 5,64% dari keseluruhan rencana pola ruang wilayah
Cianjur bagian utara (Tabel 6).
Tabel 5 Luasan Rencana Pola Ruang Cianjur Utara
Pola Ruang Luas (Ha) Persentase (%)
Hutan Lindung 6074,04 5,64
Hutan Produksi 14621,43 13,58
Kawasan Industri 59,89 0,06
Perkebunan/Tanaman Tahunan 25864,92 24,02
Pertanian 38935,28 36,16
Permukiman 16850,28 15,65
Rawan Bencana 0,05 0,00
Badan Air 5264,66 4,89
Total 107670,56 100
Selanjutnya dalam rencana pola ruang wilayah terdapat Kawasan budi daya
yang terdiri atas Kawasan peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian,
perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, dan lainnya. Kawasan
hutan produksi terdiri atas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap dengan
luas keseluruhan sebesar 14621,43 Ha atau 13,58% dari luas keseluruhan rencana
pola ruang (Tabel 6). Hutan produksi terbatas tersebar di Kecamatan Cipanas,
Sukaresmi, Cibeber, Cikalongkulon, Bojongpicung, dan Ciranjang, dan Kawasan
hutan produksi tetap tersebar di Kecamatan Cipanas, Cugenang, Pacet, Sukaresmi,
Mande, Cikalongkulon, Bojongpicung, Haurwangi, Ciranjang, Gekbrong,
Warungkundang, dan Campaka. Kawasan pertanian merupakan Kawasan dengan
luasan yang paling besar dalam rencana pola ruang Cianjur bagian utara yaitu
sebesar 38935,28 Ha atau sebsar 36,16% dari total luasan rencana pola ruang (Tabel
6), rencana pola ruang terbesar kedua adalah untuk perkebunan/tanaman tahunan
sebesar 25864,92 Ha atau sebesar 24,02%, dan terbesar ketiga yaitu permukiman
yaitu sebesar 16850,28 Ha atau sebesar 15,65% dari total luasan rencana pola ruang.
Kawasan industry berada di Kecamatan Sukaluyu, Ciranjang, Karangtengah,
Haurwangi, Mande, Cikalongkulon, dan Gekbrong dengan luasan sebesar 59,89 Ha
atau sebesar 0,06% dari luas rencana pola ruang Kawasan Cianjur bagian utara
(Tabel 6).
Selanjutnya dalam rencana pola ruang wilayah terdapat Kawasan budi daya
yang terdiri atas Kawasan peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian,
perikanan, pertambangan, industry, pariwisata, permukiman, dan lainnya. Kawasan
hutan produksi terdiri atas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap dengan
40
luas keseluruhan sebesar 14621,43 Ha atau 13,58% dari luas keseluruhan rencana
pola ruang (Tabel 6). Hutan produksi terbatas tersebar di Kecamatan Cipanas,
Sukaresmi, Cibeber, Cikalongkulon, Bojongpicung, dan Ciranjang, dan Kawasan
hutan produksi tetap tersebar di Kecamatan Cipanas, Cugenang, Pacet, Sukaresmi,
Mande, Cikalongkulon, Bojongpicung, Haurwangi, Ciranjang, Gekbrong,
Warungkundang, dan Campaka. Kawasan pertanian merupakan Kawasan dengan
luasan yang paling besar dalam rencana pola ruang Cianjur bagian utara yaitu
sebesar 38935,28 Ha atau sebsar 36,16% dari total luasan rencana pola ruang (Tabel
6), rencana pola ruang terbesar kedua adalah untuk perkebunan/tanaman tahunan
sebesar 25864,92 Ha atau sebesar 24,02%, dan terbesar ketiga yaitu permukiman
yaitu sebesar 16850,28 Ha atau sebesar 15,65% dari total luasan rencana pola ruang.
Kawasan industry berada di Kecamatan Sukaluyu, Ciranjang, Karangtengah,
Haurwangi, Mande, Cikalongkulon, dan Gekbrong dengan luasan sebesar 59,89 Ha
atau sebesar 0,06% dari luas rencana pola ruang Kawasan Cianjur bagian utara
(Tabel 6).
Cilaku dan Cibeber. Dari sudut kepentingan sosial dan budaya yaitu kegiatan
penataan Kawasan penyangga Istana Cipanas di Kecamatan Cipanas (Gambar 19).
β=0,5 β=1
β=2 β=4
Gambar 22 Plot of Means for Each Cluster
Gambar 21 menunjukkan plot of means for each cluster dari tiap bobot
contiguity pada seluruh bobot contiguity, karakteristik yang dihasilkan untuk tiap
cluster memiliki pola yang relatif sama, dengan variabel yang menjadi penentu atau
44
key variabel dalam spatial clustering ini adalah variabel z1, z3, z6, z8, z9, z10
(ditunjukkan oleh jarak mean tiap variabel yang terbesar) sebagaimana karakteristik
tiap cluster dapat dilihat pada Tabel 7 Pengaruh dari bobot contiguity pada analisis
ini terlihat pada variabel X dan Y yang merupakan variabel koordinat spasial dari
masing-masing unit geografis yang dianalisis. Semakin besar bobot contiguity yang
diterapkan maka akan cluster yang dihasilkan juga akan semakin mengelompok
berdasarkan kedekatan spasialnya dan cenderung mengabaikan variabel lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kebiasan dari bobot spasial tersebut, untuk
memilih hasil terbaik atau bobot contiguity terbaik dilakukan penghitungan CV
(Coefficient of Variation).
CV adalah suatu ukuran tingkat keragaman dalam suatu data set, di mana
dalam hal ini CV merupakan ukuran keragaman dalam suatu cluster. CV bersifat
dimensionless dan hanya dapat dilakukan pada data rasio. Nilai CV
direpresentasikan dalam presentase (%), di mana nilai CV diatas 30% dapat
mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam data set tersebut (dalam hal ini
cluster) (Khrisnamoorthy dan Lee, 2014). CV dihitung menggunakan formula
berikut:
𝜎
𝐶𝑉 (%) =
𝜇
Di mana σ adalah standar deviasi dalam cluster, dan μ adalah rata-rata dalam
cluster. Nilai CV yang terbaik dalam analisis spatial clustering adalah bobot yang
memiliki nilai CV rendah (mengindikasikan bahwa terdapat sedikit variasi dalam
cluster sehingga tiap anggota cluster semakin seragam).
(i) (ii)
48
(iii) (iv)
Gambar 26 Constraint dan Driving Factor
(i) jarak terhadap jaringan jalan utama (jalan arteri dan kolektor), (ii) jarak
terhadap pusat perkotaan (perkotaan Puncak-Cipanas, dan perkotaan Cianjur), (iii)
Topografi/ketinggian wilayah, dan (iv) Kemiringan Lereng
Gambar 26 menunjukkan hasil uji akurasi pada model yang disusun, di mana
hasilnya menunjukkan nilai akurasi yang cukup tinggi (dapat dilihat pada nilai
Kstandart), yaitu sebesar 89.97%. Dengan nilai akurasi yang cukup tinggi (diatas
85%), maka dapat disimpulkan bahwa proses perubahan yang terjadi pada data
penggunaan lahan yang diamati (tahun 2009-2014-2019) telah dapat memiliki
akurasi yang tinggi dan dapat digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan
pada tahun-tahun yang akan datang berdasarkan skenario-skenario yang dijalankan.
Pertumbuhan yang pesat pada lahan terbangun diiringi dengan konversi yang
cukup masif pada penggunaan lahan sawah dan kebun campuran. Konversi lahan
sawah yang paling signifikan terjadi pada kawasan perkotaan Cianjur serta pada
Kecamatan Cibeber, sedangkan untuk konversi lahan kebun campuran yang paling
signifikan terdapat pada kawasan Puncak-Cipanas di mana kawasan kebun
campuran juga dimaksudkan sebagai komoditas pendukung kegiatan pariwisata
agropolitan di wilayah tersebut. Hasil prediksi penggunaan lahan berdasarkan
skenario business as usual dapat dilihat lebih detail pada Gambar 29.
50.00
45.00
40.00
35.00
PRESENTASE
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Lahan Sawah Lahan Terbuka Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun
KELAS PENGGUNAAN LAHAN
7000
6000
5000
LUAS (HA)
4000
3000
2000
1000
0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN
2500
2000
LUAS (HA)
1500
1000
500
0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN
Jakarta masih berdampak pada bagian barat zona 3 dan menuju ke arah
selatan.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa skenario BAU sesuai dengan
hipotesisnya, memiliki luasan lahan terbangun terbesar dengan penurunan
cukup signifikan pada lahan sawah dan kebun campuran. Pola yang sama juga
diikuti pada skenario UCT, dengan skala konversi menuju lahan terbangun
lebih kecil dan terdapat pula kecenderungan konversi lahan sawah menjadi
kebun campuran pada wilayah dengan morfologi dataran tinggi di bagian
barat dan utara. Sedangkan skenario RTR menunjukkan tren pertumbuhan
lahan terbangun yang kecil dengan tetap mempertahankan sawah sebagai
bagian dari arahan LP2B.
BAU RTR UCT
35000
30000
25000
LUAS (HA)
20000
15000
10000
5000
0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN
18000
16000
14000
12000
LUAS (HA)
10000
8000
6000
4000
2000
0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN
City, Transport Oriented Development, Low Carbon City, dan lain-lain) juga
merupakan konsep yang bertumpu pada urban form dan pengaturan kawasan-
kawasan tertentu dalam membentuk suatu konfigurasi spasial untuk menjawab
tujuan-tujuan perencanaan tersebut (Dempsey et al., 2010; Anthony et al., 2018).
Urban Form pada wilayah Cianjur Utara menurut trend-nya berbentuk
wilayah poly-centric dengan 2 pusat (perkotaan Puncak-Cipanas dan perkotaan
Cianjur) dengan bentuk sprawl dan dispersed. Perkembangan kawasan terbangun
tersebut memiliki 2 pola utama, yaitu pola ribbon dan leapfrog. Pola ribbon terdapat
pada sepanjang jalur utama koridor Bogor-Bandung sedangkan pola leapfrog
terjadi diluar zona perkotaan di bagian utara dan selatan wilayah Cianjur Utara, di
mana dua pola perkembangan tersebut terjadi secara organic tanpa disertai dengan
perencanaan yang memadai. Melalui pemodelan yang dilakukan, trend tersebut
dapat berubah berdasarkan skenario yang diterapkan sehingga urban form pada
wilayah Cianjur Utara juga akan mengalami perubahan. Berdasarkan model-model
yang terbentuk, sebagai suatu upaya perencanaan penggunaan lahan, juga telah
mempengaruhi urban form di wilayah Cianjur Utara, di mana apabila dilihat
berdasarkan zonasi-nya akan terlihat sebagai berikut:
• Zona 1 (Perkotaan Puncak-Cipanas)
Perkotaan Puncak-Cipanas memiliki karakteristik urban form yang relatif
berbentuk sprawling pada awal tahun data, namun pada tahun-tahun
berikutnya memiliki trend semakin compact seiring dengan pertumbuhan
kawasan urban pada wilayah tersebut. Zona ini hanya memiliki satu pusat
di Kecamatan Cipanas yang dikelilingi oleh kawasan hutan (kawasan
Gunung Gede Pangrango) dan pertanian perkebunan. Pola perkembangan
pada zona ini berkembang secara organic (tidak direncanakan dalam
rencana tata ruang) mengikuti jaringan transportasi jalan arteri penghubung
Bogor-Bandung.
Model-model yang dihasilkan untuk zona ini keseluruhannya menunjukkan
peningkatan kepadatan dan keterhubungan, serta menurunnya fragmentasi
atau sprawling seiring meningkatnya dominasi kawasan urban. Struktur
kawasan urban pada zona ini memiliki perubahan semakin irregular,
kecuali pada model RTR. Di mana pada model BAU dan UCT struktur
kawasan urban menjadi semakin radial, dengan ekspansi ke arah timur dan
barat pada BAU dan ke arah timur pada UCT. Sedangkan untuk model RTR,
struktur kawasan urban tetap berbentuk linear.
• Zona 3 (Peri-Urban)
Zona peri-urban ini pada dasarnya merupakan zona tujuan atau hasil
ekspansi dari kedua zona perkotaan, serta secara tidak langsung mampu
menunjukkan faktor-faktor penyebab terjadinya ekspansi pada wilayah
Cianjur Utara. Secara umum, trend urban form pada zona ini memiliki
karakteristik sprawling dispersed dengan pola ekspansi organic dan
leapfrog karena tidak terjadi mengikuti jaringan transportasi, melainkan
terjadi lebih secara acak.
Model-model yang dihasilkan pada zona ini menunjukkan karakteristik
yang berbeda, seiring dengan pola perkembangan kedua zona perkotaannya.
Pada model UCT, karakteristik urban form menunjukkan adanya
kecenderungan terbentuknya urban form yang lebih continuous dengan
peningkatan kepadatan, keterhubungan, dan menurunnya fragmentasi.
Model RTR menunjukkan pola yang sama dengan BAU dengan nilai yang
lebih kecil dan tidak terlalu signifikan. Sedangkan model UCT
menunjukkan adanya trend pertumbuhan yang lebih membentuk sprawl
pada zona ini. Struktur kawasan urban pada model UCT dan RTR
menunjukkan pola fringe dan corridor (dengan pusat pada perkotaan
cianjur) sedangkan pada model BAU menunjukkan pola struktur dispersed.
70
Selain itu, pola ekspansi dari kedua zona perkotaan juga lebih terlihat
dampaknya pada zona ini. Di mana secara keseluruhan, pola ekspansi
menunjukkan akan terhubungnya perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur,
serta menunjukkan adanya kecenderungan ekspansi ke arah timur dari
perkotaan Cianjur. Hal ini menunjukkan pengaruh konurbasi JBMUR pada
koridor Cianjur ini, di mana dari barat terdapat dorongan ekspansi dari
Metropolitan Jakarta dan dari timur terdapat dorongan ekspansi dari
Metropolitan Bandung.
Dalam konteks urban form, keempat zona di wilayah Cianjur Utara memiliki
karakteristiknya masing-masing sehingga memberikan insight yang lebih detail
daripada ketika analisis dilakukan pada wilayah Cianjur Utara secara keseluruhan.
Trend dan model perubahan penggunaan mempengaruhi karakteristik urban form
wilayah Cianjur Utara dengan cukup beragam:
• Model BAU (Business as Usual) mengarahkan wilayah Cianjur Utara untuk
menjadi suatu wilayah yang lebih contiguous dengan struktur linear melalui
kecenderungan penyatuan dua kawasan urban utamanya. Namun pola ini
hanya berlaku untuk bagian tengah dan barat dari wilayah Cianjur Utara,
sedangkan pada bagian utara, timur, dan selatan terbentuk pola sprawl
dispersed akibat tidak dibatasinya pertumbuhan kawasan urban.
• Model RTR (Rencana Tata Ruang) memberikan pola yang serupa dengan
model BAU, dengan tingkat pertumbuhan kawasan urban yang lebih
terkendali sehingga konversi kawasan non-urban juga dapat dibatasi. Pola
perkembangan kawasan urban utama pada model RTR terletak pada kawasan
perkotaan Cianjur dan kawasan sekitarnya yang membentuk compact urban
dengan struktur fringe pada kawasan peri-urban di sekitarnya. Selain itu,
bentuk struktur linear juga lebih dipertahankan pada kawasan perkotaan
Puncak-Cipanas dengan kecenderungan menyatu dengan perkotaan Cianjur
secara continuous mengikuti jaringan transportasi.
• Model UCT (Urban Containment) mengarahkan tekanan pertumbuhan
kawasan urban kepada dua zona perkotaan utama, sehingga terbentuk form
yang compact dan clustered dengan dua pusat tersebut. Pertumbuhan diluar
dua zona perkotaan utama pada model UCT dapat terbatasi dengan baik,
dengan kecenderungan pertumbuhan di cluster barat serupa dengan kedua
model lainnya.
Peran model dan skenario penggunaan lahan dalam urban form adalah
sebagai suatu metode intervensi dan perencanaan terhadap trend urban growth di
wilayah tersebut, di mana perencanaan sangat menentukan urban growth dan form
di masa depan (Rydin, 2011; Deng et al., 2018) serta menentukan kemampuan kita
dalam merencanakan strategi atau skenario dalam memanfaatkan growth tersebut,
72
maupun untuk mencegahnya terjadi (Herold et al., 2003). Model BAU dalam case
ini akan menuntut tingginya respons dan kapasitas pemerintah dalam
mengakomodasi pertumbuhan kawasan urban yang terjadi, mulai dari kebutuhan
infrastruktur dasar, jaringan transportasi, serta strategi perencanaan yang diperlukan
mengingat elemen business as usual di wilayah Cianjur Utara memiliki dinamika
yang sangat tinggi, serta diperlukan pemahaman terkait threshold atau daya dukung
wilayah dalam memfasilitasi pertumbuhan tersebut. Model RTR pada wilayah
Cianjur Utara tercermin dalam perencanaan yang berlaku di wilayah ini, yaitu
RTRW Kabupaten Cianjur. Beberapa adjustment yang perlu dilakukan dalam
rencana ini adalah perlunya perhatian lebih dalam merencanakan pemanfaatan
lahan pada zona perkotaan Puncak-Cipanas dan koridornya menuju perkotaan
Cianjur. Model UCT akan mendorong perlunya pengaturan zonasi yang lebih
matang pada kedua zona perkotaan untuk mempertahankan ke-compact-an kedua
zona perkotaan tersebut. Selain itu, untuk mendukung pembatasan wilayah
perkotaan pada kedua zona tersebut diperlukan suatu kawasan lindung atau green
belt di sekeliling kawasan perkotaan tersebut. Di mana green belt dapat berupa
lahan pertanian berkelanjutan untuk meminimalisir terjadinya konversi lahan
pertanian di wilayah Cianjur Utara.
ini terjadi tidak hanya berdasarkan faktor pendorongnya, tetapi juga didukung
oleh instrumen perencanaan yang ada sehingga menyebabkannya menjadi
suatu planned expansion untuk mendorong konektivitas dan aksesibilitas
yang lebih baik pada wilayah Cianjur Selatan.
Model-model yang telah disusun sebelumnya juga mempengaruhi bagaimana
ekspansi yang terjadi apabila model tersebut menjadi acuan untuk mengembangkan
wilayah Cianjur Utara. Model RTR dan UCT menunjukkan pola ekspansi yang
berupa edge expansion dan infilling pada kawasan urban yang telah ada. Sedangkan
pada model BAU, ekspansi yang terjadi adalah pola edge expansion, infilling, dan
outlying di mana terbentuk kawasan-kawasan urban baru membentuk sprawl.
yang merupakan gabungan dari kedua pola diatas, di mana ekspansi yang terjadi
dikendalikan oleh pembuat kebijakan. Pola ini pada akhirnya akan mampu
mengoptimalkan kedua keuntungan pada kedua pola pengembangan diatas.
ruang. Zoning yang direpresentasikan oleh rencana pola ruang bertujuan untuk
memberikan pengaturan secara spasial yang lebih jelas dalam perkembangan
kawasan urban sehingga mampu mensegregasikan kawasan urban dan rural
(Yokohari et al., 2000). Dalam skala yang lebih luas, zoning yang diterapkan untuk
Kabupaten Cianjur dalam metropolitan Jabodetabekpunjur adalah untuk menjadi
kawasan penyangga dan greenbelt dari urban core Jakarta dan beberapa outer zone
lainnya (Bogor dan Bekasi). Sedangkan pada rencana struktur ruang, Kabupaten
Cianjur direncanakan menjadi 3 wilayah pengembangan (WP), yaitu: WP Utara,
WP Tengah, dan WP Selatan. WP Utara ditetapkan sebagai pusat kegiatan wilayah
dan sebagai kawasan perkotaan dengan Kecamatan Cianjur dan Cipanas sebagai
pusatnya.
Kegagalan perencanaan pada wilayah Cianjur Utara terletak pada ketidak-
sinkronan dua antara zoning dan struktur ruangnya. Di mana perkotaan Cipanas
tidak dialokasikan dalam zoning sedangkan arahan pada struktur ruang adalah untuk
mengembangkan perkotaan Cipanas dan kecamatan di sekitarnya sebagai
pendukung. Selain itu, kemungkinan penggabungan dua zona perkotaan juga tidak
diperhitungkan dalam perencanaan Kabupaten Cianjur. Sehingga penyediaan
infrastruktur, perlindungan kawasan pertanian, dan upaya-upaya pembatasan atau
containment terhadap pertumbuhan urban tersebut tidak terakomodasi sehingga
terbentuklah chaotic land use sebagai dampaknya.
Berbagai wilayah Mega-Urban dan Metropolitan di negara-negara lain
melakukan upaya perencanaan yang berbeda-beda berdasarkan pola pertumbuhan,
batasan, dan tantangan yang dihadapinya. Perbedaan yang mendasar dengan
perencanaan di wilayah Mega-Urban di Indonesia terletak pada pertimbangan
terhadap urban form, meliputi kepadatan, urban structure, karakteristik/cluster
wilayah, serta pola ekspansi yang direncanakan. Berikut perbandingan kebijakan
perencanaan Mega-Urban dan wilayah sekelilingnya pada beberapa negara:
• Tokyo, Jepang (Okazawa dan Murakami, 2017; Perez et al., 2019)
Dalam merencanakan perkembangan kawasan perkotaan, terutama pada
Metropolitan dan Mega-Urban Region, Jepang melakukan pengelompokan
atau clustering berdasarkan kondisi sosial-ekonominya tanpa memperhatikan
batasan administratif. Selain itu, perkembangan kawasan perkotaan dilakukan
secara compact dengan intensitas pembangunan difokuskan pada kawasan
perkotaan yang telah ditentukan. Pembatasan ekspansi perkotaan dilakukan
tidak melalui skenario greenbelt, namun pembatasan dilakukan berdasarkan
prinsip transit-oriented development (TOD) di mana infrstruktur transportasi
dan zonasi di wilayah sekitarnyalah yang menjadi buffer area atau pembatas
ekspansi perkotaan. Pada sisi governance, untuk menghindari terjadinya
konflik kepentingan maka pengelolaan cluster urban dibedakan dengan
wilayah rural maupun peri-urban-nya, dengan agenda dan batasan yang jelas
diantara kedua sistem governance tersebut.
• Seoul, Korea (Kim dan Choe, 2011)
Perencanaan wilayah Mega-Urban Seoul memberikan fokus terhadap urban
structure-nya. Seoul menganut struktur urban corridor dengan pola grid,
dengan greenbelt untuk membatasi wilayah urban-nya. Seiring dengan
tumbuhnya tekanan urban growth yang melebihi batas greenbelt dan
peningkatan kepadatan yang terlalu tinggi. Seoul ber-aglomerasi dengan
wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga membentuk kota polycentric dengan
77
Kesimpulan
Saran
Penelitian ini diharpakan mampu menjadi salah satu pertimbangan dan insight
baru dalam perencanaan wilayah Cianjur Utara sebagai hinterland dan koridor
konurbasi dari JBMUR. Beberapa saran terhadap kekurangan penelitian ini untuk
dijadikan acuan dan perbaikan dalam melakukan penelitian selanjutnya antara lain:
• Analisis spatial clustering perlu mempertimbangkan variabel-variabel lain
yang mendukung pentipologian wilayah, seperti: pendapatan dan pengeluaran
masyarakat, kelembagaan desa, jenis hunian/permukiman, dan sebagainya
82
• Terdapat metode lain dalam melakukan spatial clustering oleh Rustiadi dan
Kobayashi (2000) melalui pendekatan neighborhood yang dapat dicoba dan
dibandingkan untuk menghasilkan tipologi wilayah yang lebih baik.
• Prediksi penggunaan lahan hanya mempertimbangkan faktor fisik. Untuk
penelitian kedepan dapat menggunakan variabel-variabel tambahan, terutama
pada aspek sosial-ekonomi. Di mana faktor pertumbuhan penduduk, demand
terhadap lahan, serta pertumbuhan perekonomian wilayah juga ikut
dipertimbangkan.
• Skenario rencana tata ruang tidak mampu mengalokasikan perubahan secara
spesifik sesuai dengan rencana pola ruang yang ada. Skenario pada LCM
hanya mampu menerjemahkan pada jenis arahan yang ditujukan pada tiap
unit analisis sedangkan alokasi spasialnya diatur oleh variabel-variabel
lainnya. Pada penelitian selanjutnya, ada baiknya apabila digunakan metode
lain untuk mampu menginterpretasikan arahan rencana tata ruang dengan
lebih baik dengan akurasi yang cukup besar dengan rencana pola ruangnya.
• Spatial metric dalam analisis ini hanya menyajikan hasil berupa statistik tanpa
interpretasi spasial dalam output analisisnya. Selain itu, metode ini hanya
mempertimbangkan pola penggunaan lahan dalam inputnya. Sementara untuk
mengidentifikasi urban form dengan lebih tepat perlu beberapa variabel lain,
seperti: jaringan transportasi, layout atau jenis landscape dan hubungan
dengan wilayah di sekitarnya, serta karakteristik lahan permukiman.
• Rekomendasi terhadap kebijakan perencanaan dalam kerangka sustainable
urban form dapat dievaluasi lebih lanjut efektifitasnya dengan mengukur tiap
indikator sustainable urban form tersebut untuk dapat diketahui model
penggunaan lahan yang lebih sesuai untuk diterapkan pada wilayah Cianjur
Utara.
83
DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono PD. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.
Bandung (ID): Alfabeta.
Sumathi N, Geetha R, Bama SS. 2008. Spatial Data Mining - Techniques Trends
and its Applications. Journal of Computer Application. 1(4):28-36.
Suwarli. 2011. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Dan Strategi
Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah
Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi) [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tajbakhsh SM, Memarian H, Moradi K, Afshar AHA. 2018. Performance
Comparison of Land Change Modeling Techniques for Land Use Projection
of Arid Watersheds. Global Journal of Environmental Science and
Management. 4(3):263-280.
Tan PN, Steinbach M, Karpatne A, Kumar V. 2013. Introduction to Data Mining.
Michigan (US): Pearson.
Tran TNQ, Fanny Q, Claude M, Vinh NQ, Nam LV, Truong TH. 2012. Trends of
urbanization and suburbanization in Southeast Asia. Ho Chi Minh City (VI):
Ho Chi Minh City General Publishing House.
UN Habitat. 2016. World Cities Report 2016: Urbanization and Development:
Emerging Futures. Nairobi (KE): United Nations Human Settlements
Programme.
Ustaoglu E, Williams B, Petrov LO, Shahumyan H, Van Delden H. 2017.
Developing and Assessing Alternative Land-Use Scenarios from the
MOLAND Model: A Scenario-Based Impact Analysis Approach for the
Evaluation of Rapid Rail Provisions and Urban Development in the Greater
Dublin Region. Sustainability. 10(61):1-34.
Varghese BM, Unnikrishnan A, Poulose JK. 2013. Spatial Clustering Algorithms –
An Overview. Asian Journal of Computer Science and Information
Technology. 3(1):1-8.
Varkey AM, Manasi S. 2019. A Review of Peri-Urban Definitions, Land Use
Changes and Challenges to Development. Urban India. 39(1):96-111.
Vioya A. 2010. Tahapan Perkembangan Kawasan Metropolitan Jakarta. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. 21:215 – 226
Ward S. 2004. Planning and Urban Changes - Second Edition. London (GB): Sage
Publications.
Wheeler SM. 2010. The Evolution of Urban Form in Portland and Toronto:
Implications for sustainability planning. Local Environment: The
International Journal of Justice and Sustainability. 8(3): 317-336.
Woo M, Guldmann JM. 2014. Urban containment policies and urban growth.
International Journal of Urban Sciences. 18(3):309-326.
Xu G, Dong T, Cobbinah PB, Jiao L, Sumari NS, Chai B, Liu Y. 2019. Urban
Expansion and Form Changes Across African Cities with a Global Outlook:
Spatiotemporal Analysis of Urban Land Densities. Journal of Cleaner
Production. 19:1-20.
Yichun X, Batty M, Zhao K. 2008. Simulating Emergent Urban Form Using Agent-
Based Modelling: Desakota in the Suzhou-Wuxian Region in China. Annals
of the Association of American Geographer. 97(4):94-112.
89
LAMPIRAN
91
β=0.5
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Kemang 0.705 Cibarengkok 0.487 Bojongherang 0.581
Sukarama 0.639 Cikondang 0.536 Muka 1.237
Cibadak 0.740 Jati 0.901 Pamoyanan 1.312
Girimulya 0.980 Jatisari 0.520 Sawahgede 0.545
Karangnunggal 0.709 Sukajaya 0.564 Sayang 2.504
Cigunungherang 1.599 Bojongpicung 0.586 Solokpandan 1.446
Cijagang 0.505 Hegarmanah 0.832 Sirnagalih 1.276
Cinangsi 0.575 Neglasari 0.774 Batulawang 0.952
Gudang 0.566 Sukaratu 0.634 Ciloto 1.366
Kamurang 0.719 Babakankaret 0.383 Cimacan 0.984
Lembarsari 0.492 Limbangansari 0.894 Cipanas 0.631
Majalaya 0.751 Mekarsari 0.587 Palasari 0.748
Mekargalih 0.594 Nagrak 1.398 Sindangjaya 0.958
Mekarjaya 0.568 Sukamaju 0.468 Sindanglaya 0.782
Mekarmulya 0.694 Cibaregbeg 0.651 Ciranjang 0.973
Mekarsari 0.659 Cibokor 1.212 Bojong 0.802
Mentengsari 0.610 Cihaur 0.663 Sukagalih 1.171
Neglasari 0.552 Cikondang 0.677 Ciherang 0.830
Padajaya 0.820 Cimanggu 0.663 Cipendawa 1.122
Sukagalih 0.922 Cipetir 0.554 Ciputri 1.047
Sukamulya 0.542 Cisalak 0.519 Gadog 0.723
Warudoyong 0.513 Kanoman 0.894
Ciramagirang 0.556 Mayak 0.429
Galudra 0.854 Peuteuycondong 0.804
Sukamulya 0.837 Salamnunggal 0.568
Ciandam 0.482 Selagedang 1.066
Kutawaringin 0.665 Sukamaju 0.523
Leuwikoja 0.806 Sukamanah 0.709
Mande 0.557 Sukaraharja 0.755
Murnisari 0.452 Cibinong Hilir 0.308
Cibanteng 0.745 Ciharashas 0.363
Cikancana 0.529 Mulyasari 0.733
Cikanyere 0.647 Munjul 0.277
Kubang 0.765 Rahong 0.744
Rawabelut 0.598 Rancagoong 0.644
Sukamahi 0.849 Sindangsari 0.602
Sukaresmi 0.552 Sukakerta 0.625
Sukasari 1.133
Nanggalamekar 0.994
Cibiuk 0.774
92
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sindangasih 0.359
Sindanglaka 0.459
Sukajadi 0.503
Sukamanah 0.288
Sukamantri 0.558
Sukamulya 0.568
Sukasarana 0.693
Sukasari 0.338
Sukataris 0.601
Bobojong 0.836
Cikidangbayabang 0.572
Jamali 0.860
Kademangan 0.312
Mekarjaya 0.828
Mulyasari 0.627
Sukamanah 0.588
Cibodas 1.254
Sukatani 0.948
Babakansari 0.226
Hegarmanah 0.422
Mekarjaya 0.447
Panyusuhan 0.474
Selajambe 0.427
Sindangraja 0.720
Sukaluyu 0.623
Sukamulya 0.747
Sukasirna 0.729
Tanjungsari 0.595
Cibadak 0.727
Ciwalen 0.791
Kawung Luwuk 0.706
Pakuon 0.753
Bunikasih 0.535
Bunisari 0.539
Cieundeur 0.620
Cisarandi 0.395
Ciwalen 0.960
Jambudipa 0.599
Mekarwangi 0.589
Sukamulya 0.537
Cikaroya 0.453
Sukawangi 0.442
Tegallega 0.639
Karangwangi 0.779
Kertajaya 0.724
Sindangjaya 0.623
Mekargalih 0.634
Gunungsari 0.640
Sindangsari 0.638
Benjot 0.707
Cibeureum 0.749
Cibulakan 0.594
Cijedil 0.752
93
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Cirumput 0.594
Gasol 0.519
Mangunkerta 0.644
Nyalindung 0.867
Padaluyu 0.831
Sarampad 0.562
Sukajaya 0.613
Sukamanah 0.686
Talaga 0.696
Wangunjaya 0.665
Bangbayang 0.472
Cikahuripan 0.572
Cikancana 0.442
Cintaasih 0.661
Gekbrong 0.838
Kebonpeuteuy 0.600
Songgom 0.489
Sukaratu 0.550
Ramasari 0.476
Kertasari 0.557
Sukatani 0.442
Cipeuyem 0.564
Kertamukti 0.514
Cihea 0.757
Haurwangi 0.770
Mekarwangi 0.534
Babakancaringin 0.402
Ciherang 0.428
Hegarmanah 0.452
Langensari 0.383
Meleber 0.679
Sabandar 0.802
94
β=1
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.766 Cibarengkok 0.486 Bojongherang 0.608
Cijagang 0.621 Cikondang 0.511 Muka 1.253
Cinangsi 0.530 Jati 0.900 Pamoyanan 1.326
Gudang 0.711 Jatisari 0.488 Sawahgede 0.582
Kamurang 0.963 Kemang 0.892 Sayang 2.515
Lembarsari 0.672 Sukajaya 0.547 Solokpandan 1.462
Majalaya 0.889 Sukarama 0.815 Sirnagalih 1.304
Mekargalih 0.816 Bojongpicung 0.638 Batulawang 0.995
Mekarjaya 0.828 Hegarmanah 0.814 Ciloto 1.390
Mekarmulya 1.009 Neglasari 0.812 Cimacan 1.011
Mekarsari 0.953 Sukaratu 0.626 Cipanas 0.648
Mentengsari 0.696 Babakankaret 0.440 Palasari 0.776
Neglasari 0.757 Limbangansari 0.926 Sindangjaya 0.980
Padajaya 0.967 Mekarsari 0.626 Sindanglaya 0.800
Sukagalih 1.034 Nagrak 1.366 Ciranjang 1.070
Sukamulya 0.809 Sukamaju 0.452 Bojong 0.836
Warudoyong 0.731 Cibadak 0.864 Sukagalih 1.189
Ciramagirang 0.847 Cibaregbeg 0.611 Ciherang 0.840
Sindangsari 0.673 Cibokor 1.243 Cipendawa 1.131
Benjot 0.646 Cihaur 0.697 Ciputri 1.052
Cibeureum 0.823 Cikondang 0.734 Gadog 0.736
Cibulakan 0.670 Cimanggu 0.687
Cijedil 0.805 Cipetir 0.622
Cirumput 0.579 Cisalak 0.533
Galudra 0.728 Girimulya 1.179
Mangunkerta 0.732 Kanoman 0.910
Nyalindung 0.731 Karangnunggal 0.845
Padaluyu 0.772 Mayak 0.468
Sarampad 0.682 Peuteuycondong 0.773
Sukajaya 0.651 Salamnunggal 0.536
Sukamulya 0.711 Selagedang 1.048
Talaga 0.587 Sukamaju 0.489
Wangunjaya 0.442 Sukamanah 0.762
Ciandam 0.440 Sukaraharja 0.691
Cikidangbayabang 0.636 Cibinong Hilir 0.329
Kutawaringin 0.587 Ciharashas 0.326
Leuwikoja 0.725 Mulyasari 0.655
Mande 0.678 Munjul 0.208
Mekarjaya 0.775 Rahong 0.693
Mulyasari 0.638 Rancagoong 0.694
Murnisari 0.530 Sindangsari 0.538
95
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Kademangan 0.402
Cibodas 1.348
Babakansari 0.230
Hegarmanah 0.482
Mekarjaya 0.424
Panyusuhan 0.413
Selajambe 0.449
Sindangraja 0.724
Sukaluyu 0.560
Sukamulya 0.712
Sukasirna 0.732
Tanjungsari 0.562
Bunikasih 0.686
Bunisari 0.597
Cieundeur 0.668
Cisarandi 0.485
Ciwalen 0.949
Jambudipa 0.660
Mekarwangi 0.729
Sukamulya 0.604
Cikaroya 0.497
Sukawangi 0.483
Bobojong 0.879
Jamali 0.884
97
β=2
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.750 Cibarengkok 0.609 Bojongherang 0.705
Cijagang 0.560 Cikondang 0.576 Muka 1.315
Cinangsi 0.560 Jati 0.960 Pamoyanan 1.381
Gudang 0.695 Jatisari 0.597 Sawahgede 0.709
Kamurang 0.953 Kemang 0.992 Sayang 2.556
Lembarsari 0.633 Sukajaya 0.621 Solokpandan 1.522
Majalaya 0.824 Sukarama 0.894 Sirnagalih 1.410
Mekargalih 0.753 Bojongpicung 0.724 Batulawang 1.153
Mekarjaya 0.724 Hegarmanah 0.941 Ciloto 1.484
Mekarmulya 0.939 Neglasari 0.913 Cimacan 1.113
Mekarsari 0.861 Sukaratu 0.787 Cipanas 0.715
Mentengsari 0.687 Babakankaret 0.488 Palasari 0.882
Neglasari 0.698 Limbangansari 0.941 Sindangjaya 1.063
Padajaya 0.902 Mekarsari 0.664 Sindanglaya 0.865
Sukagalih 0.993 Nagrak 1.411 Ciranjang 1.392
Sukamulya 0.709 Sukamaju 0.473 Bojong 0.961
Warudoyong 0.699 Cibadak 0.954 Sukagalih 1.260
Ciramagirang 0.806 Cibaregbeg 0.684 Ciherang 0.879
Galudra 0.985 Cibokor 1.363 Cipendawa 1.168
Nyalindung 0.973 Cihaur 0.790 Ciputri 1.074
Sukamulya 0.990 Cikondang 0.836 Gadog 0.785
Wangunjaya 0.659 Cimanggu 0.766
Ciandam 0.451 Cipetir 0.720
Cikidangbayabang 0.760 Cisalak 0.635
Kutawaringin 0.632 Girimulya 1.250
Leuwikoja 0.794 Kanoman 1.024
Mande 0.724 Karangnunggal 0.923
Mekarjaya 0.873 Mayak 0.562
Mulyasari 0.708 Peuteuycondong 0.843
Murnisari 0.586 Salamnunggal 0.605
Sukamanah 0.618 Selagedang 1.190
Sukatani 1.175 Sukamaju 0.583
Cibadak 0.945 Sukamanah 0.890
Cibanteng 0.797 Sukaraharja 0.783
Cikancana 0.474 Cibinong Hilir 0.324
Cikanyere 0.565 Ciharashas 0.352
Ciwalen 0.993 Mulyasari 0.716
Kawung Luwuk 0.809 Munjul 0.244
Kubang 0.753 Rahong 0.729
Pakuon 0.740 Rancagoong 0.704
Rawabelut 0.688 Sindangsari 0.607
98
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sindangasih 0.372
Sindanglaka 0.573
Sukajadi 0.696
Sukamanah 0.316
Sukamantri 0.646
Sukamulya 0.642
Sukasarana 0.778
Sukasari 0.354
Sukataris 0.672
Bobojong 1.013
Jamali 0.983
Kademangan 0.510
Cibodas 1.471
Babakansari 0.298
Hegarmanah 0.593
Mekarjaya 0.439
Panyusuhan 0.474
Selajambe 0.531
Sindangraja 0.853
Sukaluyu 0.628
Sukamulya 0.785
Sukasirna 0.822
Tanjungsari 0.631
Bunikasih 0.805
Bunisari 0.659
Cieundeur 0.677
Cisarandi 0.550
Ciwalen 1.003
Jambudipa 0.718
Mekarwangi 0.819
Sukamulya 0.641
Cikaroya 0.545
Sukawangi 0.548
Tegallega 0.899
Langensari 0.371
Meleber 0.711
Sabandar 0.840
100
β=4
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.759 Cibarengkok 0.721 Bojongherang 0.921
Cijagang 0.628 Cikondang 0.607 Limbangansari 0.826
Cinangsi 0.510 Jati 1.016 Muka 1.620
Gudang 0.643 Jatisari 0.672 Pamoyanan 1.593
Kamurang 0.961 Kemang 1.129 Sawahgede 1.044
Lembarsari 0.640 Sukajaya 0.666 Sayang 3.007
Majalaya 0.795 Sukarama 0.977 Solokpandan 1.592
Mekargalih 0.761 Bojongpicung 0.851 Sirnagalih 1.683
Mekarjaya 0.788 Hegarmanah 1.058 Batulawang 1.150
Mekarmulya 0.948 Neglasari 1.054 Ciloto 1.343
Mekarsari 0.881 Sukaratu 0.939 Cimacan 1.431
Mentengsari 0.668 Babakankaret 0.660 Cipanas 0.878
Neglasari 0.673 Mekarsari 0.783 Palasari 1.171
Padajaya 0.810 Nagrak 1.446 Sindangjaya 1.137
Sukagalih 0.931 Sukamaju 0.505 Sindanglaya 1.129
Sukamulya 0.683 Cibadak 1.072 Ciranjang 1.640
Warudoyong 0.668 Cibaregbeg 0.720 Cibeureum 0.828
Ciramagirang 0.818 Cibokor 1.541 Cijedil 0.784
Sindangjaya 1.034 Cihaur 0.908 Galudra 1.320
Sindangsari 0.944 Cikondang 0.991 Nyalindung 1.186
Wangunjaya 0.954 Cimanggu 0.861 Padaluyu 0.974
Sukajadi 0.717 Cipetir 0.879 Sarampad 1.003
Sukasarana 0.883 Cisalak 0.735 Sukamulya 1.201
Bobojong 1.175 Girimulya 1.317 Gekbrong 1.121
Ciandam 0.454 Kanoman 1.183 Kebonpeuteuy 1.137
Cikidangbayabang 0.808 Karangnunggal 0.999 Bojong 1.236
Jamali 0.967 Mayak 0.689 Sabandar 0.846
Kutawaringin 0.806 Peuteuycondong 0.878 Sukagalih 1.442
Leuwikoja 0.921 Salamnunggal 0.630 Cibodas 1.542
Mande 0.747 Selagedang 1.326 Ciherang 0.625
Mekarjaya 1.053 Sukamaju 0.639 Cipendawa 1.263
Mulyasari 0.725 Sukamanah 1.064 Ciputri 0.942
Murnisari 0.569 Sukaraharja 0.817 Gadog 0.775
Sukamanah 0.695 Cibinong Hilir 0.372 Sukatani 0.950
Cibanteng 1.042 Ciharashas 0.358 Cibadak 0.842
Cikancana 0.623 Mulyasari 0.700 Ciwalen 1.029
Cikanyere 0.868 Munjul 0.228 Kawungluwuk 0.927
Kubang 0.930 Rahong 0.708 Pakuon 0.972
Rawabelut 1.089 Rancagoong 0.790
Sukamahi 0.950 Sindangsari 0.609
Sukaresmi 0.671 Sukakerta 0.660
101
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sukasari 1.209
Nanggalamekar 1.105
Cibiuk 1.067
Karangwangi 1.118
Kertajaya 1.163
Mekargalih 0.917
Gunungsari 1.131
Benjot 0.978
Cibulakan 0.842
Cirumput 1.021
Gasol 0.833
Mangunkerta 1.080
Sukajaya 0.893
Sukamanah 0.915
Talaga 1.058
Bangbayang 0.815
Cikahuripan 1.106
Cikancana 0.783
Cintaasih 1.028
Songgom 0.888
Sukaratu 0.983
Ramasari 0.967
Kertasari 1.119
Sukatani 0.986
Cipeuyem 1.056
Kertamukti 1.115
Cihea 1.268
Haurwangi 1.265
Mekarwangi 0.989
Babakancaringin 0.552
Ciherang 0.720
Hegarmanah 0.607
Langensari 0.376
Meleber 0.762
Sindangasih 0.412
Sindanglaka 0.733
Sukamanah 0.390
Sukamantri 0.772
Sukamulya 0.763
Sukasari 0.403
Sukataris 0.788
Kademangan 0.728
Babakansari 0.384
Hegarmanah 0.768
Mekarjaya 0.424
Panyusuhan 0.471
Selajambe 0.660
Sindangraja 1.020
Sukaluyu 0.630
Sukamulya 0.838
Sukasirna 0.950
Tanjungsari 0.680
Bunikasih 1.098
102
Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Bunisari 0.795
Cieundeur 0.749
Cisarandi 0.704
Ciwalen 1.063
Jambudipa 0.853
Mekarwangi 1.071
Sukamulya 0.756
Cikaroya 0.648
Sukawangi 0.684
Tegallega 1.190
103
SPLIT
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 10717.2 9117.8 6102.6 4305.5 505.7 3619.8 10717.2
Paddy 11.0 11.1 20.6 22.4 24.5 23.0 11.0
Dryland 850094 681959 293107 171963 79928 172406 850094
Water 3395.0 3953.3 3616.2 3511.4 3511.7 4267.5 3395.0
Mixgarden 38.6 35.9 37.2 38.4 34.6 38.6 38.6
Forest 1948.4 1985.0 1340.1 1268.1 1269.8 1277.4 1948.4
SHAPE
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.206 1.205 1.226 1.213 1.216 1.215 1.205
Paddy 1.214 1.217 1.257 1.323 1.323 1.317 1.310
Dryland 1.169 1.190 1.271 1.252 1.256 1.253 1.247
Water 1.101 1.406 1.467 1.416 1.422 1.405 1.421
Mixgarden 1.242 1.226 1.266 1.252 1.273 1.253 1.281
Forest 1.489 1.446 1.917 2.231 2.709 2.759 1.945
Penggunaan
Penggunaan
Titik Koordinat Koordinat Lahan Hasil
No Kecamatan Lahan Dokumentasi
Survei (X) (Y) Interpretasi
Eksisting
Citra
Lahan
12 BU-16 107.04138 -6.732008 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
13 BU-17 107.021412 -6.712619 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
14 BU-18 107.028727 -6.684696 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
115
Lahan
15 BU-19 107.078946 -6.733064 Sukaresmi Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
16 BU-20 107.043329 -6.780115 Cugenang Lahan Terbangun
Terbangun
Kebun
29 MG-1 107.099135 -6.746067 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran
Kebun
30 MG-2 107.003637 -6.711005 Cipanas Kebun Campuran
Campuran
119
Kebun
31 MG-14 107.113464 -6.724975 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran
Kebun
32 MG-15 107.032339 -6.690569 Cipanas Kebun Campuran
Campuran
Kebun
33 MG-16 107.079767 -6.697254 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran
Kebun
34 MG-17 107.059963 -6.818496 Cugenang Kebun Campuran
Campuran
120
Lahan
35 BU-23 107.053202 -6.761756 Pacet Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
36 BU-25 107.031597 -6.716211 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
37 BU-7 107.129915 -6.813438 Cianjur Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
38 BU-8 107.134402 -6.831916 Cianjur Lahan Terbangun
Terbangun
121
Lahan
40 BU-24 107.038903 -6.728329 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
43 BU-1 107.25321 -6.814717 Ciranjang Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
44 BU-2 107.308636 -6.847434 Haurwangi Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
45 BU-3 107.309807 -6.828009 Haurwangi Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
46 BU-13 107.231935 -6.764681 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
123
Lahan
47 BU-14 107.214908 -6.713526 Cikalong Kulon Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
48 BU-15 107.149533 -6.683542 Cikalong Kulon Lahan Terbangun
Terbangun
Kebun
60 DL-13 107.192295 -6.763747 Mande Lahan Terbuka
Campuran
Kebun
61 MG-9 107.243395 -6.817095 Ciranjang Kebun Campuran
Campuran
Kebun
62 MG-10 107.142792 -6.795514 Cianjur Kebun Campuran
Campuran
127
Kebun
63 MG-11 107.194422 -6.743878 Mande Kebun Campuran
Campuran
Kebun
64 MG-12 107.226171 -6.75085 Mande Kebun Campuran
Campuran
Kebun
65 MG-13 107.190722 -6.708617 Cikalong Kulon Kebun Campuran
Campuran
Kebun
72 FR-9 107.252898 -6.636227 Cikalong Kulon Hutan
Campuran
Lahan
74 BU-4 107.169598 -6.805121 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
130
Lahan
75 BU-5 107.17401 -6.821003 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
76 BU-6 107.148465 -6.821193 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
77 BU-9 107.12946 -6.871412 Cilaku Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
78 BU-10 107.097049 -6.870783 Warungkondang Lahan Terbangun
Terbangun
131
Lahan
79 BU-11 107.123906 -6.937486 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
80 BU-12 107.132162 -6.939822 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
81 PD-3 107.23993 -6.64647 Cikalong Kulon Sawah
Terbangun
Lahan
83 PD-9 107.128574 -6.906988 Cibeber Sawah
Terbangun
Lahan
84 PD-10 107.046738 -6.862976 Gekbrong Sawah
Terbangun
Kebun
92 MG-3 107.144511 -6.942637 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
Kebun
93 MG-4 107.169782 -6.92901 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
Kebun
94 MG-5 107.113845 -6.933216 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
135
Kebun
95 MG-6 107.08987 -6.900848 Gekbrong Kebun Campuran
Campuran
Kebun
96 MG-7 107.138555 -6.960241 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
Kebun
97 MG-8 107.199399 -6.897837 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
Kebun
98 MG-18 107.035812 -6.861661 Gekbrong Kebun Campuran
Campuran
136
Lahan
99 BU-21 107.134675 -6.857815 Cilaku Lahan Terbangun
Terbangun
Lahan
100 BU-22 107.122992 -6.917256 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun
137
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Madiun pada tanggal 09 April 1995 sebagai anak
ke 2 dari pasangan bapak Muntoro Widji Atmadja dan ibu Endang Sri Hastuti
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, dan lulus pada tahun 2017 Pada tahun 2018, penulis diterima sebagai
mahasiswa program magister (S-2) di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan
pascasarjana yang diperoleh dari program beasiswa Pendidikan Magister Menuju
Doktor Untuk Sarjana Unggul (PMDSU) oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi dan menamatkannya pada tahun 2021 (untuk mahasiswa S-2).
Karya ilmiah berjudul “A Quantitative Approach to Characterizing the
Changes and Managing Urban Form for Sustaining the Suburb of a Mega-Urban
Region: The Case of North Cianjur” telah disajikan pada seminar internasional “The
Third International Conference of the International Geographical Union (IGU)
Commission on Agricultural Geography and Land Engineering” dan dipublikasi di
jurnal Sustainability. Penulis juga melaksanakan program pertukaran pelajar Spring
Semester Kyoto University pada Laboratory of Regional Planning. Karya ilmiah
dan kegiatan tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.