Anda di halaman 1dari 155

MODEL SPASIAL PERTUMBUHAN WILAYAH CIANJUR

UTARA DALAM KAWASAN JABODETABEKPUNJUR


DENGAN PENDEKATAN QUANTITATIVE ZONING METHOD

ANORAGA JATAYU

ILMU PERENCANAAN WILAYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Model Spasial
Pertumbuhan Wilayah Cianjur Utara dalam Kawasan Jabodetabekpunjur dengan
Pendekatan Quantitative Zoning Method” adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2020

Anoraga Jatayu
NIM A156180218
RINGKASAN

ANORAGA JATAYU. Model Spasial Pertumbuhan Wilayah Cianjur Utara dalam


Kawasan Jabodetabekpunjur dengan Pendekatan Quantitative Zoning Method.
Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan DIDIT OKTA PRIBADI.

Pola pertumbuhan wilayah di kawasan Monsoon Asia memiliki pola yang


relatif sama, di mana perluasan kawasan perkotaan atau metropolitan cenderung
mengalami aglomerasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya dan berinteraksi
membentuk Mega-Urban Region (MUR). Proses transformasi ini terjadi sebagai
akibat dari pertumbuhan populasi, industrialisasi, dan perubahan orientasi aktivitas
perekonomian suatu wilayah, dengan laju pertumbuhan yang didorong oleh adanya
urbanisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses urbanisasi juga akan
berdampak pada konfigurasi spasial atau urban form dari wilayah itu sendiri.
Pertumbuhan wilayah yang tidak terkendali, terutama di wilayah hinterland dari
suatu metropolitan dan mega-urban akan mampu menimbulkan banyak
permasalahan seperti penyediaan infrastruktur perkotaan, konflik penggunaan
lahan, kerusakan lingkungan, dan permasalahan urban sprawl.
Kabupaten Cianjur, terutama wilayah Cianjur Utara dalam kawasan
Jabodetabekpunjur berperan sebagai wilayah hinterland untuk mendukung fungsi
lindung dan sebagai kawasan pertanian dari Jabodetabekpunjur. Namun terdapat
ketidak-sinkronan antar kebijakan perencanaan di wilayah Cianjur Utara, yang
berdampak pada terjadinya pertumbuhan kawasan perkotaan yang tidak terkendali
yang kemudian mengancam keberlanjutan wilayah. Pertumbuhan wilayah Cianjur
Utara memerlukan suatu manajemen pertumbuhan kota yang tepat untuk
mengakomodasi dan mengarahkan laju pertumbuhan wilayah. Tujuan penelitian ini
yaitu: 1) Menganalisis tipologi wilayah Cianjur Utara berdasarkan karakteristik
fisik dan sosial ekonomi wilayah menggunakan Rustiadi’s Quantitative Zoning
Method I; 2) Merumuskan model penggunaan lahan wilayah Cianjur Utara
menggunakan Land Change Modeler (LCM); dan 3) Menganalisis pola spasial
penggunaan lahan dan urban form Cianjur Utara berdasarkan struktur dan pola
spasial wilayah menggunakan Spatial Metric.
Rustiadi’s Quantitative Zoning Method (Spatial Clustering I) sebagai
metode quantitative zoning digunakan untuk membentuk tipologi wilayah
berdasarkan kemiripan karaktersitik dan kedekatan spasialnya. Land Change
Modeler (LCM) merupakan metode pemodelan penggunaan lahan berbasis CA-
Markov dan Artificial Neural Network (ANN), dan dalam penelitian ini digunakan
tiga skenario, yaitu: 1) Business as usual (BAU) yang merupakan skenario
berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan yang terjadi; 2) Rencana tata ruang
(RTR) yang merupakan skenario berdasarkan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Cianjur; 3) Urban containment (UCT) yang merupakan
skenario pembatasan pertumbuhan lahan terbangun pada zona-zona perkotaan. Pola
spasial dari trend dan model penggunaan lahan kemudian dianalisis menggunakan
spatial metric untuk mendeskripsikan dinamika urban form pada wilayah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi wilayah Cianjur Utara terbagi
menjadi tiga tipologi utama, yaitu: 1) Urban; 2) Peri-urban; 3) Rural dan
berdasarkan persebarannya dibagi menjadi empat zona, yaitu: 1) Zona perkotaan
Puncak-Cipanas (terletak di Kecamatan Pacet dan Cipanas); 2) Zona perkotaan
Cianjur (terletak di Kecamatan Cianjur); 3) Zona peri-urban (terleak di bagian
tengah dan selatan wilayah penelitian); dan 4) Zona perdesaan (terletak di bagian
utara wilayah penelitian). Pemodelan spasial penggunaan lahan menunjukkan
bahwa dalam model prediksi dengan skenario BAU terjadi peningkatan lahan
terbangun yang paling signifikan dengan persebaran acak di seluruh zona; model
prediksi dengan skenario RTR menunjukkan perubahan yang paling minimal
dengan pemusatan peningkatan lahan terbangun di zona perkotaan Cianjur; dan
model prediksi dengan skenario UCT menunjukkan kemampuan untuk membatasi
pertumbuhan lahan terbangun pada kedua zona perkotaan. Pola urban form di
Cianjur Utara mengindikasikan bahwa wilayah ini merupaka wilayah polycentric
dengan 2 pusat utama (perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur) dengan trend
perkembangan sprawl dan dispersed diluar zona perkotaannya, sedangkan pada
zona perkotaan menunjukkan pola yang semakin compact. Ditinjau dari dinamika
pola spasialnya, ekspansi perkotaan di Cianjur Utara dipengaruhi oleh tiga faktor
utama, yaitu: 1) ekspansi perluasan dari Jabodetabekpunjur; 2) ekspansi perluasan
dari Metropolitan Bandung; dan 3) ekspansi perluasan dari perkotaan Cianjur;
dengan pola ekspansi perluasan membentuk koridor konurbasi yang
menghubungkan Jabodetabekpunjur dan Metropolitan Bandung.
Rekomendasi yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah untuk
menetapkan hasil zonasi sebagai pertimbangan utama dalam menentukan arahan
penataan ruang selanjutnya. Model prediksi penggunaan lahan yang paling optimal
untuk diterapkan adalah model prediksi dengan skenario UCT. Hal ini disebabkan
karena karakteristik model tersebut yang mampu membatasi pertumbuhan
perkotaan hanya pada zona-zona perkotaan, dengan arahan pertumbuhannya
menjadi semakin compact dan terkoneksi didukung dengan peningkatan kualitas
infrastruktur perkotaannya. Arahan pada zona peri-urban diarahkan untuk
membatasi pertumbuhan perkotaan pada koridor penghubung antara dua zona
perkotaan diiringi dengan penerapan skema greenbelt dan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B). Arahan pada zona perdesaan adalah untuk mempertahankan
karakteristik perdesaan dan mempertahankan aktivitas utama pada sektor pertanian
dalam rangka untuk mendukung keberlanjutan wilayah serta mempertahankan
ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur maupun kawasan Jabodetabekpunjur.
Rekomendasi ini diharapkan mampu sebagai pertimbangan dalam kebijakan
perencanaan Kabupaten Cianjur saat ini untuk mampu lebih mengakomodasi
pertumbuhan wilayah Kabupaten Cianjur sebagai koridor konurbasi Jakarta-
Bandung Mega-Urban Region (JBMUR).

Kata Kunci: Spatial Metric, Spatial Clustering, Pertumbuhan Wilayah,


Perencanaan Wilayah Hinterland, Urban Form
SUMMARY
ANORAGA JATAYU. Spatial Model of North Cianjur Regional Growth amid
Jabodetabekpunjur Metropolitan Area using Quantitative Zoning Method.
Supervised by ERNAN RUSTIADI and DIDIT OKTA PRIBADI.

Regional growth pattern in Monsoon Asia has a relatively similar pattern,


where the expansion of urban or metropolitan areas tends to experience
agglomeration with surrounding areas and interact to form a Mega-Urban Region
(MUR). This transformation process happens as a result of population growth,
industrialization, and changes in the economic structure, where the growth rate is
driven by urbanization. The changes that occur due to this process will also have an
impact on the spatial configuration or urban form of the region itself. Uncontrolled
growth, especially in hinterland areas of a metropolitan and mega-urban region will
be able to cause many problems such as urban infrastructure provision, land use
conflicts, environmental damage, and urban sprawl.
Cianjur Regency, especially the North Cianjur amid Jabodetabekpunjur
area, is designated as the hinterland area to act as a protected and as an agricultural
area of Jabodetabekpunjur. However, there is an inconsistency between planning
policies in the North Cianjur, where there is an uncontrolled growth of urban areas
which then threatens its sustainability as the result of those inconsistency. The
growth of North Cianjur requires an appropriate urban growth management to
accommodate and direct its regional growth. The objectives of this study were: 1)
To analyze the typology of the North Cianjur based on its physical and socio-
economic characteristics using Rustiadi’s Quantitative Zoning Method I; 2)
Formulating a land use model for the North Cianjur using the Land Change Modeler
(LCM); and 3) To analyze the spatial patterns of land use and urban form in North
Cianjur based on the spatial structure and patterns of the region using Spatial
Metric.
Rustiadi’s Quantitative Zoning Method I as a quantitative zoning method is
used to form a regional typology based on similar characteristics and spatial
contiguity. Land Change Modeler (LCM) is a land use modeling method based on
CA-Markov and Artificial Neural Network (ANN), and in this study three scenarios
were used, which are: 1) Business as usual (BAU) which follows land-use change
trend; 2) Spatial planning (RTR) which follows the directive of Cianjur Regency
spatial planning; 3) Urban containment (UCT) which limits the growth of urban
land-uses in a designated urban zone. The spatial patterns of trends and land use
models are then analyzed using spatial metrics to describe the dynamics of the urban
form in the area.
The results showed that the typology of the North Cianjur was divided into
three main typologies, namely: 1) Urban; 2) Peri-urban; 3) Rural; and based on its
distribution and contiguity, it is divided into four zones, namely: 1) Puncak-Cipanas
urban center (located in Pacet and Cipanas Districts); 2) Cianjur urban center
(located in Cianjur District); 3) Peri-urban area (located at the central and southern
part of research area); and 4) Rural area (located in northern part of research area).
Spatial land use modeling shows that the most significant increase in built-up area
with a random distribution across all four zones happens in the BAU prediction
model; the RTR prediction model shows the least significant changes with the
concentration of increased built-up area in the Cianjur urban zone; and the UCT
prediction model demonstrates the ability to limit the growth of built-up area in
both urban centers. The urban form pattern in North Cianjur indicates a poly-centric
region with 2 centers (Puncak-Cipanas urban center and Cianjur urban center) with
sprawl and dispersed patterns outside the centers (urban zones) and more compact
pattern within the urban zones. Judging from the dynamics of its spatial pattern,
urban expansion in North Cianjur is influenced by three main factors, namely: 1)
expansion from Jabodetabekpunjur; 2) expansion from Bandung Metropolitan; and
3) expansion from Cianjur urban center; with an expansion pattern forming a
conurbation corridor connecting Jabodetabekpunjur and Metropolitan Bandung.
Recommendations given by this study is that to consider the zoning result
in determining further spatial planning directives. Based on the performance on
controlling urban growth, the most optimal land use prediction model to be applied
is the UCT model. This is due to this model characteristics that is able to limit urban
growth inside its urban centers, with the direction that the growth is becoming more
compact and connected, supported by improvements in the urban infrastructure
quality. The directive for the peri-urban zone is directed at limiting urban growth
in the urban corridor connecting the two urban centers accompanied by the
implementation of greenbelt and protected agricultural area. The directive for the
rural zone is to maintain its rural characteristics and maintain productivity in the
agricultural sektor in order to support regional sustainability and maintain food
security in Cianjur Regency and the Jabodetabekpunjur area. This recommendation
is expected to be one of the inputs and consideration for the current planning policy
of Cianjur Regency to be able to accommodate the growth of the Cianjur Regency
area as a Jakarta-Bandung conurbation corridor.

Keywords: Spatial Metric, Spatial Clustering, Regional Growth, Hinterland


Planning, Urban Form
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2020
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL SPASIAL PERTUMBUHAN WILAYAH CIANJUR
UTARA DALAM KAWASAN JABODETABEKPUNJUR
DENGAN PENDEKATAN QUANTITATIVE ZONING METHOD

ANORAGA JATAYU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ILMU PERENCANAAN WILAYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr. Andrea Emma Pravitasari, SP, M.Si.

Tim Penguji pada Ujian Tesis:


1 Dr. Andrea Emma Pravitasari, SP., M.Si.
Judul Tesis : Model Spasial Pertumbuhan Wilayah Cianjur Utara dalam
Kawasan Jabodetabekpunjur dengan Pendekatan Quantitative
Zoning Method
Nama : Anoraga Jatayu
NIM : A156180218

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
__________________
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Pembimbing 2:
__________________
Dr. Agr. Didit Okta Pribadi, SP., M.Si.

Diketahui oleh

Ketua Program Studi:


Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. __________________
NIP. 196205151990032001
Dekan Sekolah Pascasarjana:
Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng. __________________
NIP. 196004191985031002

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


26 Oktober 2020
i

PRAKATA

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
tesis dengan judul “Model Spasial Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Cianjur dalam
Kawasan Jabodetabekpunjur dengan Pendekatan Quantitative Zoning Method”
dalam lingkup keilmuan Perencanaan pengembangan wilayah sebagai salah satu
proses menempuh pendidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini tidak lepas dari
dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
• Kedua orangtua penulis, yang selalu memberikan dukungan dalam masa
perkuliahan ini.
• Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. dan Dr. Agr. Didit Okta Pribadi, S.P.,
M.Si. sebagai komisi pembimbing yang telah membimbing penyusunan
tesis dan segala kegiatan ilmiah selama masa studi.
• Ibu Dr. Andrea Emma Pravitasari, S.P., M.Si. selaku penguji luar.
• Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. selaku ketua program studi Ilmu
Perencanaan Wilayah dan segenap dosen pengajar, asisten dan staff
pengelola pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah
Pascasarjana IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama
mengikuti studi.
• Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
yang membantu penulis dalam pendanaan kuliah dan biaya penelitian
melalui beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana
Unggul (PMDSU).
• Teman-teman Angkatan PWL 2018 yang telah banyak membantu dan
berbagi ilmu selama masa studi.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membutuhkan dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Desember 2020

Anoraga Jatayu
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 6
Kerangka Pemikiran 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 8
Urban Form dan Perkembangan Struktur Ruang Wilayah 8
Perubahan Penggunaan Lahan 11
Dinamika Pertumbuhan Kawasan Jabodetabekpunjur 12
Quantitative Zoning Method dan Pemanfaatannya dalam Pewilayahan 14
3 METODE 16
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Bahan dan Alat Penelitian 17
Jenis dan Sumber Data 17
Tahapan dan Alur Kerja Penelitian 18
Metode Pengumpulan Data 18
Teknik Analisis Data 19
A. Identifikasi Tipologi Wilayah Menggunakan Rustiadi’s Quantitative
Zoning Method I 21
B. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Land
Change Modeler (LCM) 23
C. Analisis Urban Form Menggunakan Spatial Metric 27
4. GAMBARAN UMUM 33
Kondisi Umum Fisik Wilayah 33
Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah 36
Dinamika Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara 37
Pola Ruang dan Struktur Ruang Cianjur Utara 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43
Tipologi Wilayah Cianjur Utara 43
Prediksi Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara Menggunakan LCM 46
Karakteristik Urban Form dan Urban Expansion Wilayah Cianjur Utara 64
Implikasi dan Rekomendasi Terhadap Kebijakan Penataan Ruang
Kabupaten Cianjur 74
6 KESIMPULAN DAN SARAN 80
Kesimpulan 80
Saran 81
iii

DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 90
RIWAYAT HIDUP 137

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Variabel, Data dan Sumber Data Penelitian 17


Tabel 2 Matriks Rangkuman Tujuan, Input Data, Teknik Analisis Data,
dan Luaran/Output 20
Tabel 3 Skenario Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan 25
Tabel 4 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Cianjur Utara 37
Tabel 5 Luasan Rencana Pola Ruang Cianjur Utara 39
Tabel 6 Karakteristik Tiap Cluster 44
Tabel 7 Jumlah Anggota Tiap Cluster 45
Tabel 8 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031
Skenario Business as Usual 50
Tabel 9 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031
Skenario Rencana Tata Ruang Wilayah 53
Tabel 10 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031
Skenario Urban Containment 56
Tabel 11 Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Tahun 2049
Tiap Skenario 58
Tabel 12 Perkembangan Urban Form Cianjur Utara 67

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Alur Pikir Penelitian 7


Gambar 2 Elemen Urban Form 9
Gambar 3 Stuktur Ruang Dikotomi dan Kontinyu 10
Gambar 4 Stuktur Ruang Kawasan Perkotaan 10
Gambar 5 Peta Cakupan Wilayah Jabodetabekpunjur 13
Gambar 6 Konsep Wilayah 15
Gambar 7 Peta Wilayah Penelitian 16
Gambar 8 Bagan Alir Analisis Penelitian 20
Gambar 9 Unit Analisis Spatial Metric 28
Gambar 10 Ilustrasi metrik PLAND dalam landscape 28
Gambar 11 Ilustrasi metrik PD dalam landscape 29
Gambar 12 Ilustrasi metrik COHESION dalam landscape 30
Gambar 13 Ilustrasi metrik MESH dalam landscape 31
Gambar 14 Ilustrasi metrik SPLIT dalam landscape 31
Gambar 15 Ilustrasi metric SHAPE dalam landscape 32
Gambar 16 Peta Kemiringan Lereng Cianjur Utara 34
Gambar 17 Peta Jenis Tanah Cianjur Utara 35
iv

Gambar 18 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Cianjur Utara 2004-


2019 38
Gambar 19 Rencana Pola Ruang Cianjur Utara 40
Gambar 20 Peta Kawasan Strategis Wilayah Cianjur Utara 41
Gambar 21 Peta Rencana Struktur Ruang Cianjur Utara 42
Gambar 22 Plot of Means for Each Cluster 43
Gambar 23 Hasil Analisis Spatial Clustering 45
Gambar 24 Zonasi Wilayah Penelitian 46
Gambar 25 Ilustrasi Metode MLP 47
Gambar 26 Constraint dan Driving Factor 48
Gambar 27 Hasil Uji Akurasi Kappa 48
Gambar 28 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Business as Usual 49
Gambar 29 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan
Skenario Business as Usual 50
Gambar 30 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Business as Usual Tahun 2031 51
Gambar 31 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Rencana Tata Ruang Wilayah 52
Gambar 32 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan
Skenario Rencana Tata Ruang Wilayah 53
Gambar 33 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2031 54
Gambar 34 Perbandingan Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Dengan
RTRW Kabupaten Cianjur 55
Gambar 35 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Urban Containment 55
Gambar 36 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan
Skenario Urban Containment (i) Zona 1 (ii) Zona 2 (iii) Zona 3 (iv)
Zona 4 56
Gambar 37 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Urban
Containment Tahun 2031 57
Gambar 38 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan 58
Gambar 39 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona
1 59
Gambar 40 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 1 60
Gambar 41 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona
2 61
Gambar 42 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 2 61
Gambar 43 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona
3 62
Gambar 44 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 3 63
Gambar 45 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona
4 63
Gambar 46 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 4 64
Gambar 47 Dinamika Pola Spasial Penggunaan Lahan Cianjur Utara 67
Gambar 48 Urban Form Zona 1 68
Gambar 49 Urban Form Zona 2 69
v

Gambar 50 Urban Form Zona 3 70


Gambar 51 Urban Form Zona 4 70
Gambar 52 Jenis Urban Structure 71
Gambar 53 Perbandingan Urban Expansion Cianjur Utara 73
Gambar 54 Ilustrasi Pola Urban Expansion 74

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai Distance Tiap Desa Dalam Analisis Spatial Clustering ...... 91
Lampiran 2 Nilai Spatial Metric Tiap Kelas Penggunaan Lahan................... 103
Lampiran 3 Titik Observasi/Survei Lapang ................................................... 110
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan wilayah, terutama pada kawasan perkotaan di negara-negara


berkembang kawasan monsoon Asia memiliki pola yang relatif sama, yaitu ditandai
dengan perluasan kawasan perkotaan di wilayah-wilayah sekelilingnya sehingga
membentuk Extended Metropolitan Regions (McGee dan Greenberg, 1992).
Ekspansi lebih lanjut dari Extended Metropolitan Region (EMR) terkadang
bersinggungan dengan wilayah perkotaan atau EMR lain untuk membentuk
konurbasi perkotaan yang lebih besar yang disebut Mega Urban Region (Douglass,
2000), di mana Mega Urban Regions (MUR) mengacu kepada kawasan perkotaan
yang menghubungkan dua pusat metropolitan (Dorodjatoen, 2009). Pertumbuhan
wilayah tersebut juga ditandai dengan peningkatan aktivitas ekonomi di berbagai
sektor, konektivitas antar wilayah dalam Mega-Urban Regions, serta perubahan
penggunaan lahan yang signifikan (McGee, 1991).
Proses transformasi kota menjadi metropolitan ini umumnya diawali oleh
bergabungnya kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan
yang disebut dengan konurbasi (Angotti, 2005; Mc Gee, 2005). Beberapa penyebab
utama terjadinya perluasan kawasan perkotaan adalah pertumbuhan populasi,
industrialisasi, dan perubahan orientasi aktivitas perekonomian suatu wilayah
(Rustiadi, 1999; Cournane, 2016; Bharath, 2018), di mana laju pertumbuhan
tersebut didorong oleh adanya urbanisasi pada pusat-pusat kegiatan di suatu
wilayah atau negara (Gong et al., 2018). Urbanisasi merupakan perpindahan
populasi dari desa ke kota, peningkatan proporsi populasi perkotaan dan pedesaan,
serta pola hidup masyarakat di dalamnya (Ward, 2004). Dalam konteks spasial,
urbanisasi adalah proses di mana kota-kota terbentuk dan mengalami pertumbuhan
akibat terjadinya pemusatan populasi dan aktivitas di suatu satuan wilayah spasial
tertentu (Heberle dan Opp, 2008).
Proses urbanisasi ini mampu menciptakan daerah perkotaan raksasa, yang
menyebabkan masalah besar penyediaan infrastruktur perkotaan, konflik
penggunaan lahan, dan kerusakan lingkungan (McGee dan Greenberg, 1992).
Proses urbanisasi yang terus berlanjut akan mendorong terjadinya konversi lahan
pertanian di pedesaan dan membentuk pertumbuhan pusat-pusat permukiman yang
tersebar di daerah-daerah peri-urban yang disebut urban sprawl (Ramachandra et
al., 2013). Sprawl selalu dikaitkan dengan perluasan wilayah metropolitan seiring
dengan terjadinya pertambahan populasi dan pertumbuhan yang bersifat organik
dan tidak terencana (Fitriani, 2011). Pembentukan kawasan-kawasan sprawl yang
tidak terkendali menyebabkan sulitnya pemenuhan akses terhadap infrastruktur
dasar, seperti air bersih, listrik, sanitasi, dan mendorong terjadinya fragmentasi
kawasan perkotaan dan pedesaan (Batty et al., 1999; Marinescu, 2012).
Pola spasial penggunaan lahan yang terbentuk akibat proses urbanisasi
merupakan gambaran dari urban form dari suatu wilayah. Fenomena-fenomena
penggunaan lahan seperti sprawl, urban corridor, compact city, dan berbagai pola
lainnya merupakan implementasi konsep urban form dalam merencanakan suatu
wilayah yang juga memiliki pengaruh besar dalam perkembangan wilayah
2

(Milojevic, 2013). Urban form tidak hanya perlu untuk dipertimbangkan dalam
zonasi dan perencanaan kawasan perkotaan dan metropolitan, namun pertimbangan
terhadap bentuk perkotaan di wilayah hinterland juga harus diperhatikan untuk
menghindari terjadinya sprawl maupun perkembangan yang tidak terkendali
(Varkey dan Manasi, 2019). Dimensi urban form juga mampu untuk
mengidentifikasi pengaruh-pengaruh ekonomi maupun faktor-faktor
perkembangan wilayah lainnya sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
indikator keberlanjutan suatu wilayah (Milder, 2011).
Kawasan metropolitan dan kawasan hinterland di sekitarnya memiliki
dinamika pertumbuhan yang sangat tinggi sebagai akibat dari proses urbanisasi
tersebut. Dalam melakukan perencanaan pada kawasan-kawasan tersebut,
diperlukan pendekatan-pendekatan yang komprehensif sehingga mampu menjawab
berbagai tuntutan perkembangan dari suatu kawasan yang secara spatio-temporal
memiliki tingkat dinamika yang cukup tinggi. Selain itu, urbanisasi juga terjadi
sebagai respon atas kurangnya kontrol dan evaluasi dalam pelaksanaan penataan
ruang. Penataan ruang di Indonesia sebagian besar disusun berdasarkan pendekatan
top-down dan konsensus-kualitatif, sehingga perencanaan yang dihasilkan akan
bias akibat banyaknya subjektifitas dan seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan menjawab tantangan kewilayahan itu sendiri (Hudalah dan Woltjer,
2007; Rahmawati, 2015). Seringkali terdapat gap yang cukup lebar antara
pendekatan perencanaan “klasik” serta pendekatan berbasis scientific projection
yang memanfaatkan data-data multi-dimensi dalam melakukan perencanaan.
Pendekatan Quantitative zoning method sebagai salah satu metode scientific
projection dapat digunakan dalam perencanaan wilayah untuk menentukan zonasi
atau mengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristiknya (Rustiadi dan
Kobayashi, 2000; Sabatini et al, 2007). Quantitative zoning banyak dilakukan
dengan metode clustering untuk mendapatkan wilayah homogen, dimana dalam
suatu kelompok/zonasi memiliki kesamaan karakteristik, sedangkan antar
kelompok/zonasi memiliki keragaman karakteristik. Prinsip zonasi secara
kuantitatif ini adalah untuk mempermudah penerapan suatu kebijakan dan
mempermudah pengaturan dalam suatu zona akibat sifatnya yang sudah semakin
homogen (Silva dan Acheampong, 2015; Starikova, 2017). Hal ini berbeda dengan
zonasi konvensional yang banyak dilakukan secara konsensus-kualitatif, di mana
seringkali masih terdapat keragaman yang membuat kesulitan dan inefisensi dalam
implementasi kebijakan. Dalam konteks pembangunan wilayah dan perencanaan
spasial, kemampuan quantitative zoning ini mampu digunkan untuk mengatur pola
spasial penggunaan lahan dan menata ulang konfigurasi urban form suatu wilayah
untuk menjadi lebih berkelanjutan (Dempsey et al., 2010; Anthony et al., 2018;
Deng et al., 2018). Dalam penelitian ini, quantitative zoning yang digunakan adalah
Rustiadi’s quantitative zoning (Rustiadi dan Kobayashi, 2000) yang secara lebih
rinci mempertimbangkan kedekatan spasial antar unit spasial yang di analisis
sehingga membentuk zonasi yang lebih homogen dan terhubung. Melalui
pendekatan tersebut, suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi beberapa zona
yang homogen dan dapat menjadi suatu model spasial yang komprehensif dalam
perencanaan wilayah (Yin et al, 2018).
Indonesia memiliki beberapa Extended Metropolitan Regions (EMRs) atau
kawasan perkotaan yang mengalami urban expansion lebih jauh menuju wilayah di
sekitarnya. Jabodetabekpunjur merupakan wilayah metropolitan terbesar di
3

Indonesia maupun di Asia Tenggara, dan merupakan wilayah metropolitan terbesar


kedua di Asia (Dorodjatoen, 2009). Jabotadetabekpunjur adalah sebuah kawasan
metropolitan yang meliputi wilayah DKI Jakarta sebagai kota inti dan wilayah
sekitarnya sebagai kota pendukung yang mencakup dua wilayah provinsi, yaitu
Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten, Kabupaten dan Kota
Depok dan sebagian wilayah Kabupaten Cianjur di Provinsi Jawa Barat. Kawasan
Jabodetabekpunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN)
dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) dan pada Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2008 penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur dan Peraturan Presiden
No.60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur; Jabodetabekpunjur
mempunyai peran sebagai pusat pengembangan kegiatan perekonomian wilayah
dan nasional sekaligus sebagai kawasan konservasi air dan tanah serta
keanekaragaman hayati yang dapat menjamin tingkat kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakatnya.
Kawasan Jabodetabekpunjur mengalami kecenderungan arah ekspansi
perkotaan menuju wilayah-wilayah sekitarnya, di mana salah satu ekspansi yang
cukup signifikan adalah ekspansi ke-arah timur melalui dua koridor utama, yaitu
koridor Bekasi (ekspansi koridor utara) dan koridor Cianjur (ekspansi koridor
selatan). Ekspansi yang serupa juga terjadi pada metropolitan Bandung, sehingga
kedua metropolitan tersebut menunjukkan tren konurbasi dan diprediksi untuk
bergabung menjadi Jakarta-Bandung Mega Urban Region (JBMUR) (Dorodjatoen,
2009). Kabupaten Cianjur, terutama wilayah Cianjur Utara dalam posisinya
terhadap Jabodetabekpunjur berfungsi sebagai kawasan hinterland. Kabupaten
Cianjur juga terletak diantara kedua metropolitan yang mengalami konurbasi yaitu
Jabodetabekpunjur dan Bandung, sehingga wilayah ini memiliki dinamika yang
sangat tinggi. Posisi geografis Kabupaten Cianjur menyebabkan sebagian
wilayahnya, terutama wilayah Cianjur Utara mengalami urbanisasi dan mengarah
menuju sprawl, sebagaimana pada wilayah-wilayah serupa yang juga merupakan
hinterland dari suatu metropolitan (Nilsson et al., 2013). Wilayah hinterland tidak
hanya dilihat sebagai wilayah perbatasan antara perkotaan dan pedesaan maupun
zona transisi, melainkan wilayah hinterland merupakan suatu wilayah fungsional
yang memiliki kedua karakteristik perkotaan dan pedesaan.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat,
pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur terbagi kedalam dua wilayah
pengembangan (WP), yaitu WP Bodebekpunjur yang berkorelasi langsung dengan
KSN Jabodetabekpunjur, serta WP Sukabumi sebagai penjabaran dari Kawasan
Andalan Sukabumi. Wilayah Cianjur Utara termasuk kedalam WP
Bodetabekpunjur dengan arahan perkembangan sebagai kawasan penyangga,
kawasan permukiman kepadatan rendah, serta kawasan kawasan agropolitan untuk
Jabodetabekpunjur. Kabupaten Cianjur bagian selatan termasuk kedalam WP
Sukabumi, dengan arahan perkembangan sebagai kawasan pertanian, perkebunan,
serta perikanan tangkap. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Cianjur, terdapat 2 kawasan pusat kegiatan yang terdapat pada bagian utara dan
4

selatan Kabupaten Cianjur. Penetapan KSN Jabodetabekpunjur dan penetapan


Pusat Kegiatan Wilayah yang Dipromosikan (PKWp) perkotaan Cianjur
menyebabkan terdapatnya indikasi pemusatan pembangunan di wilayah utara
Kabupaten Cianjur. Kecenderungan pemusatan pembangunan pada wilayah Cianjur
Utara terjadi akibat ekspansi perkotaan dari Jabodetabekpunjur yang banyak
menuju ke arah wilayah Cianjur Utara.
Selain itu, juga terdapat ketidaksinkronan arah kebijakan perencanaan antara
RTRW Provinsi Jawa Barat, Jabodetabekpunjur, dan Kabupaten Cianjur. Pada
RTRW Kabupaten Cianjur, wilayah Cianjur Utara terutama di Pusat Kegiatan
Lokal yang Dipromosikan (PKLp) Cipanas diarahkan sebagai kawasan perkotaan
pendukung perkotaan utama PKWp Cianjur. Hal ini berlawanan dengan arahan
pada RTRW Jawa Barat dan Jabodetabekpunjur yang mengarahkan wilayah
Cianjur Utara sebagai kawasan penyangga dan pusat pertanian. Ketidaksinkronan
kebijakan perencanaan ini membuat pertumbuhan wilayah Cianjur menjadi tidak
terkendali, terdapat kecenderungan terbentuknya sprawl di sepanjang koridor
konurbasi selatan Jakarta-Bandung (Dorodjatoen, 2009). Pertumbuhan yang tidak
terkendali menunjukkan ketidakmampuan kebijakan perencanaan dalam
mengakomodasi dorongan ekspansi yang cukup signifikan di koridor Cianjur ini,
sehingga pola chaotic land-use juga akan mudah terbentuk pada wilayah ini
(Sorensen dan Okata, 2011). Urban expansion ini pada dasarnya bukan merupakan
suatu hal yang buruk atau perlu dihindari dalam pengembangan wilayah, namun
apabila dapat diakomodasi dengan baik hal ini dapat menjadi potensi untuk
mengembangkan wilayah Cianjur Utara menjadi koridor penghubung Jakarta-
Bandung. Oleh karena itu, wilayah ini perlu direncanakan secara berkelanjutan
dalam pendekatan spasial maupun sosial-ekonominya.
Pertumbuhan wilayah Cianjur Utara dengan segala dinamikanya memerlukan
suatu manajemen pertumbuhan kota (urban growth management) dengan strategi
penataan ruang yang tepat untuk mengakomodasi dan mengarahkan laju
pertumbuhan wilayah. Dalam penelitian ini, dilakukan pengamatan dan analisis
terhadap dinamika tipologi wilayah Cianjur Utara serta perkembangan pusat-pusat
kegiatan yang ada untuk kemudian dilakukan pemodelan spasial pertumbuhan
wilayah Cianjur Utara dan strategi penataan ruang yang diperlukan untuk mampu
mengakomodasi laju pertumbuhan wilayah sebagai implikasi dari ekspansi
perkotaan dari JBMUR.

Perumusan Masalah

Kawasan Jabodetabekpunjur merupakan wilayah Mega-Urban Regions


(MUR) terbesar di Indonesia. MUR adalah wilayah metropolitan yang meluas
menuju wilayah-wilayah di sekitarnya (McGee dan Greenberg, 1992) dan memiliki
interaksi yang unik antara kawasan inti dengan wilayah peri-urban di sekitarnya
(Douglass, 2000). Kawasan Jabodetabekpunjur mencakup sebagian wilayah
Kabupaten Cianjur bagian utara dan diarahkan untuk menjadi kawasan penyangga
dan kawasan pertanian dari metropolitan Jabodetabek.
Pertumbuhan kawasan Mega-Urban Regions memiliki kecenderungan untuk
mempengaruhi perubahan karakteristik wilayah-wilayah peri-urban di sekitarnya
dari kawasan pedesaan (rural) menjadi kawasan perkotaan (urban), sehingga
menyebabkan terjadinya fragmentasi kawasan pedesaan serta memicu tumbuhnya
5

urban sprawl di wilayah tersebut (Cournane et al., 2016). Apabila ditinjau dari
lokasi dan arahan pengembangannya pada Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur dan RTRW Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Cianjur dapat
dikategorikan sebagai wilayah hinterland dari Jabodetabekpunjur. Namun
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur, wilayah
Cianjur Utara diarahkan sebagai kawasan perkotaan pendukung perkotaan PKWp
Cianjur. Hal ini membuktikan bahwa terdapat ketidaksinkronan kebijakan
perencanaan yang berlaku di wilayah Cianjur Utara sekaligus menunjukkan
kecenderungan pemusatan pembangunan pada wilayah Cianjur Utara.
Terdapat kecenderungan pemusatan pembangunan pada wilayah Cianjur
Utara yang termasuk dalam kawasan Jabodetabekpunjur dan merupakan jalur
penghubung menuju kawasan metropolitan Bandung. Selain itu, akibat terbaginya
wilayah Kabupaten Cianjur menjadi dua bagian yaitu wilayah Cianjur Utara dan
Cianjur Selatan dengan hirarki dan tingkat pertumbuhan yang sangat berbeda
menyebabkan tidak terdapatnya sinergi pengembangan antara kawasan utara dan
selatan Kabupaten Cianjur. Ketidakseimbangan yang digabungkan dengan
pemusatan pembangunan di wilayah Cianjur Utara menyebabkan terdapatnya
kecenderungan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun perkotaan.
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka disusun beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tipologi wilayah Cianjur Utara yang terbentuk dari karakteristik
fisik dan sosial ekonominya?
2. Bagaimana model penggunaan lahan (land use) wilayah Cianjur Utara
berdasarkan trend perubahan penggunaan lahan dan rencana tata ruang yang
ada?
3. Bagaimanakah pola spasial penggunaan lahan dan urban form dari Cianjur
Utara berdasarkan struktur dan pola spasial wilayahnya?
Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian, dirumuskan


tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis tipologi wilayah Cianjur Utara berdasarkan karakteristik fisik
dan sosial ekonomi wilayah Kabupaten Cianjur menggunakan Rustiadi’s
Quantitative Zoning Method I.
2. Merumuskan model penggunaan lahan wilayah Cianjur Utara menggunakan
Land Change Modeller (LCM).
3. Menganalisis pola spasial penggunaan lahan dan urban form Cianjur Utara
berdasarkan struktur dan pola spasial wilayah menggunakan Spatial Metric.
Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai model spasial pertumbuhan wilayah Kabupaten Cianjur


ini dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain:
1. Menjadi salah satu bentuk evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur, Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur.
2. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam
menentukan arahan dan strategi pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur
6

dan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten


Cianjur.
3. Sebagai salah satu pertimbangan dalam perumusan strategi untuk
mengakomodasi pesatnya pertumbuhan wilayah Kabupaten Cianjur bagian
utara.
4. Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi batasan pembahasan dan wilayah


penelitian dan unit analisis yang dilakukan. Ruang lingkup pembahasan dalam
penelitian ini adalah dalam identifikasi tipologi wilayah serta perkembangan dan
perubahan penggunaan lahan di dalamnya dalam suatu kerangka teori urban form
dan quantitative zoning method dengan mempertimbangkan penggunaan lahannya.
Ruang lingkup wilayah studi pada penelitian ini adalah pada sebagian wilayah
Kabupaten Cianjur, yaitu bagian utara wilayah Kabupaten Cianjur yang banyak
mengalami perubahan penggunaan lahan dan urban expansion, dengan unit analisis
pada tingkat desa/kelurahan.

Kerangka Pemikiran

Jabodetabekpunjur sebagai Extended Metropolitan Regions terbentuk melalui


konurbasi antara wilayah metropolitan Jakarta dengan kawasan perkotaan di
sekitarnya yang berdekatan secara administratif dan memiliki interaksi dengan
wilayah-wilayah perkotaan maupun wilayah peri-urban yang berkembang lebih
jauh di sekitarnya. Wilayah metropolitan cenderung mengalami urbanisasi yang
menyebabkan perluasan kawasan perkotaan menuju wilayah peri-urban di
sekitarnya. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu wilayah peri-urban dari
Jabodetabekpunjur yang diarahkan untuk menjadi kawasan penyangga dan kawasan
pertanian. Dengan adanya perluasan kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur menuju
wilayah peri-urban di sekitarnya, wilayah Cianjur Utara mengalami kecenderungan
perubahan karakteristik penggunaan lahannya menjadi kawasan perkotaan. Selain
itu, pada RTRW Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Cianjur arahan pengembangan
wilayah Kabupaten Cianjur terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara (WP
Bodetabekpunjur dan PKWp Perkotaan Cianjur) dan bagian selatan (WP Sukabumi
dan PKL Perkotaan Sindangbarang).
Perbedaan hirarki wilayah dan karakteristik perkotaan wilayah menyebabkan
pemusatan pembangunan di Cianjur Utara, sehingga terjadi kesenjangan
pembangunan yang berpeluang menjadi urban sprawl. Oleh karena itu, diperlukan
adanya strategi penataan ruang untuk mengendalikan dan mengakomodasi laju
pertumbuhan Cianjur Utara sebagai implikasi terhadap perkembangan kawasan
metropolitan Jabodetabekpunjur. Strategi penataan ruang dihasilkan dengan
merumuskan pemodelan penggunaan lahan dan urban form pada pusat-pusat
kegiatan bagian utara dan selatan Kabupaten Cianjur. Kerangka berpikir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
7

Gambar 1 Kerangka Alur Pikir Penelitian


8

2 TINJAUAN PUSTAKA

Urban Form dan Perkembangan Struktur Ruang Wilayah

Urban form didefinisikan sebagai karakteristik fisik yang membentuk suatu


kawasan perkotaan dengan beberapa indikator seperti bentuk, ukuran, kerapatan,
dan konfigurasi dari berbagai penggunaan lahan di dalamnya (Rydin, 2011). Urban
form berkembang secara konstan sebagai respons terhadap perkembangan sosial,
lingkungan, ekonomi, dan teknologi dari suatu wilayah. Di mana perkembangan
tersebut diakomodasi melalui kebijakan perencanaan, perekonomian, serta
pembangunan wilayah yang secara langsung mempengaruhi konfigurasi urban
form dari suatu wilayah. Istilah urban form dalam skala regional atau kewilayahan,
memiliki cakupan yang lebih luas dari kawasan perkotaan dan konfigurasi mixed-
use dari lahan terbangun di kawasan perrkotaan (Forsyth, 2014). Fitur urban form
pada skala ini mencakup jenis-jenis permukiman, pusat-pusat kegiatan, serta
berbagai landscape yang ada dalam suatu wilayah (Dempsey et al., 2010).
Urban Form secara umum meliputi sejumlah karakteristik fisik dan non-
fisik dari suatu wilayah yang mampu mempengaruhi keberlanjutan dan tingkat
pertumbuhan suatu wilayah apabila diamati secara time-series (Gambar 2) Menurut
Dempsey et al. (2010), beberapa elemen yang membentuk urban form suatu
wilayah adalah:
• Kepadatan (Density)
Elemen Density (Kepadatan) dalam hal ini mengacu pada kepadatan
penduduk dalam suatu wilayah. Kepadatan dapat berupa suatu ukuran di
mana terdapat pemusatan populasi yang tinggal dan menetap dalam suatu
wilayah, namun juga dapat berupa aktivitas tertentu di suatu wilayah yang
memiliki tarikan tinggi sehingga menimbulkan crowding atau pemusatan
populasi dalam waktu yang singkat.
• Penggunaan Lahan (Land Use)
Secara umum, istilah Land Use atau penggunaan lahan digunakan untuk
menggambarkan berbagai jenis pemanfaatan lahan dan sumber daya alam
yang terdapat pada lahan tersebut. Dalam konteks wilayah, pola tata ruang
dalam pengaturan penggunaan lahan sangat penting untuk meningkatkan
efisiensi wilayah serta berperan dalam menentukan urban form
“berkelanjutan” yang potensial dalam meningkatkan efisiensi berbagai
aktivitas wilayah dan kualitas hidup masyarakatnya.
• Aksesibilitas dan Infrastruktur Transportasi
Infrastruktur transportasi memiliki kaitan erat dengan aksesibilitas,
dikarenakan infrastruktur transportasi menentukan kemudahan untuk
melakukan pergerakan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Infrastruktur
transportasi dapat menjadi batas fisik dari suatu kawasan serta mampu
menjadi faktor pendorong dalam menentukan pertumbuhan dan perubahan
penggunaan lahan suatu wilayah yang berkorelasi langsung dengan urban
form dari wilayah tersebut.
• Urban Layout
Urban Layout menggambarkan pola spasial dari susunan land use, ruang
terbuka, dan infrastruktur transportasi yang dapat merepresentasikan bentuk
9

dari suatu wilayah. Urban layout memiliki pengaruh penting terhadap


pergerakan, aksesibilitas, dan interaksi antar kawasan yang terhubung satu
sama lain. Urban layout dapat mempengaruhi beberapa elemen lain dari
urban form dan merupakan suatu elemen yang merupakan gabungan dari
beberapa elemen lain dari urban form, seperti penggunaan lahan, kepadatan,
dan aksesibilitas.
• Karakteristik Permukiman dan Kawasan Terbangun
Karakteristik kawasan permukiman dan kawasan terbangun lainnya akan
sangat berbeda dalam mendefinisikan urban form dari satu wilayah terhadap
wilayah lainnya. Karakteristik ini tidak hanya berupa jenis maupun tipe
kawasan terbangun (built-up area), namun juga pola persebarannya dalam
suatu wilayah. Pada wilayah metropolitan, kawasan permukiman dan
kawasan terbangun lainnya memiliki pola tertentu yang cenderung memusat
dan dikelilingi dengan infrastruktur transportasi sedangkan pada wilayah
pedesaan, pola persebaran permukiman dan kawasan terbangun lainnya
cenderung menyebar mengikuti perkembangan infrastruktur transportasi
yang ada.

Gambar 2 Elemen Urban Form


(Sumber: Dempsey et al., 2010)

Perkembangan urban form suatu wilayah yang diiringi dengan urban


expansion akan mampu mengubah struktur ruang suatu wilayah maupun pola
interaksi wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah di sekitarnya (Deng et al., 2018;
Jia et al., 2019). Sudut pandang konvensional menganggap bahwa kawasan
perkotaan dan pedesaan merupakan dua buah kawasan yang berbeda dan terpisah.
Namun, dengan keberadaan banyak model interaksi antar wilayah menjadi sebuah
kesatuan, seperti Extended Metropolitan Region (McGee dan Greenberg, 1992) dan
Mega-Urban Region (Douglass, 2000). Model-model tersebut telah menyebabkan
munculnya sudut pandang yang baru di mana struktur ruang merupakan kesatuan
antara kawasan perkotaan dan pedesaan, serta kawasan yang memiliki kedua ciri
tersebut yang membentuk suatu aglomerasi perkotaan dengan berbagai pola
interaksinya (Gambar 3).
10

Gambar 3 Stuktur Ruang Dikotomi dan Kontinyu


(Sumber: Rodrigue et al., 2013)

Struktur ruang suatu wilayah mempertimbangkan lokasi dari berbagai pusat


kegiatan beserta hubungan dan interaksi diantara pusat-pusat tersebut. Menurut
Rodrigue et al. (2013), dalam struktur ruang kawasan urban (perkotaan) terdapat
core activities yang memiliki hirarki tertinggi, di mana di dalamnya terdapat
kegiatan manajemen dan retail. Kemudian hirarki selanjutnya terdapat central
activities yang di dalamnya terdapat kegiatan produksi, manufaktur, dan distribusi.
Sedangkan untuk peripheral activities memiliki fokus kegiatan berupa permukiman
dan infrastruktur dengan skala pelayanan lokal. Central area merupakan aglomerasi
dari core activities dan central activities yang dapat berupa CBD (Central Business
District) maupun kawasan strategis untuk perekonomian skala regional maupun
nasional. Ilustrasi struktur ruang wilayah perkotaan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Stuktur Ruang Kawasan Perkotaan


(Sumber: Rodrigue et al., 2013)

Struktur ruang pada kawasan rural (pedesaan) relatif lebih sederhana


daripada struktur ruang kawasan urban (perkotaan). Struktur ruang kawasan rural
(pedesaan) menurut Igić et al. (2017), memiliki pusat-pusat permukiman yang juga
berperan sebagai pusat produksi dan distribusi komoditas-komoditas pertanian serta
dikelilingi oleh lahan pertanian, perkebunan, maupun kehutanan atau sektor-sektor
lain yang berbasis produksi bahan-bahan pokok. Untuk kawasan diantara urban dan
rural, terdapat kawasan diantaranya yang memiliki karakteristik gabungan dari
11

kedua kawasan yang bertolak belakang tersebut. Diantara dua kawasan yang
bertolak belakang tersebut, terdapat struktur ruang baru yang memiliki dinamika
seperti kawasan perkotaan, di saat yang sama mampu mandiri dalam produksi dan
distribusi pangan maupun kebutuhan pokok lainnya. Struktur yang seperti ini dapat
disebut peri-urban atau “the-in between cities” (Young dan Keil, 2010), atau
“zwischenstadt” di Jerman (Sieverts, 2003). Kawasan ini memiliki berbagai
karakteristik perkotaan, namun tidak lebih fungsional dari kawasan metropolitan
(Kling et al., 1991). Tidak memiliki satu zona inti di mana segala aktivitas
terkonsentrasi di dalamnya, namun memiliki pola dengan beberapa pusat kegiatan
berkepadatan rendah, yang terfragmentasi namun memiliki spesialisasi tersendiri
dalam masing-masing bidang perekonomian, serta ter segregasi secara sosial
(Borsdorf, 2004).

Perubahan Penggunaan Lahan

Seiring dengan bertambahnya populasi suatu wilayah, kebutuhan lahan akan


semakin meningkat untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat di
dalamnya, sehingga terjadi kecenderungan perubahan penggunaan lahan (Pickett et
al., 2011). Perubahan penggunaan lahan lahan merupakan suatu proses bergantinya
pemanfaatan ruang dari satu jenis pemanfaatan ke pemanfaatan lain untuk
memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk kawasan lindung maupun budidaya
(Lambin et al., 2001). Menurut Suwarli (2011), perubahan penggunaan lahan
umumnya digolongkan ke dalam kategori: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu
jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya, dan (b) modifikasi,
yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa mengubah secara
keseluruhan fungsi atau jenis lahan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa
terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu: intensifikasi,
ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian (Magidi dan Ahmed, 2018).
Dalam konteks penataan ruang, perubahan penggunaan lahan dapat
mengacu pada dua hal berbeda, yaitu penggunaan lahan antara kegiatan awal yang
direncanakan dengan yang berkembang saat ini, serta penggunaan lahan yang
mengacu pada rencana tata ruang. Alih fungsi lahan yang mendasari perubahan
penggunaan lahan seringkali memiliki permasalahan yang saling terkait satu sama
lain antar aspek perencanaan, sehingga tidak bersifat independen memerlukan
pendekatan-pendekatan yang integratif (Rustiadi et al., 2009). Perubahan
penggunaan lahan pada beberapa dekade ini memiliki kecenderungan untuk
mengubah karakteristik land use pada kawasan rural (pedesaan) menjadi urban
(perkotaan) sehingga banyak muncul tipologi kawasan baru dengan karakteristik
gabungan antara urban dan rural (Mc Gee, 1991; Sieverts, 2003; Young dan Keil,
2010). Perubahan penggunaan lahan dari karakteristik lahan pedesaan menjadi
perkotaan memiliki beberapa dampak yang saling terkait, diantaranya adalah
penurunan kawasan dan produksi pertanian, degradasi lingkungan, serta
terganggunya urban-rural linkage suatu wilayah (Curran-Cournane et al., 2016).
Lambin dan Geist (2007) mengungkapkan bahwa terdapat enam faktor yang
secara umum menjadi pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan. Faktor-
faktor tersebut adalah:
12

• Perubahan Kondisi Alamiah (Natural Variability)


Faktor kondisi alamiah merupakan perubahan alami dari suatu wilayah
tanpa adanya campur tangan manusia, perubahan yang terjadi berdasarkan
faktor ini biasanya terjadi secara perlahan secara alami maupun terjadi
secara cepat ketika terjadi bencana alam dengan skala yang cukup besar.
• Ekonomi dan Teknologi (Economic and Technological Factors)
Dorongan untuk pertumbuhan ekonomi yang didorong dengan
perkembangan teknologi yang cepat dapat mempengaruhi laju perubahan
penggunaan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan teori land-rent, perubahan
penggunaan lahan terjadi untuk memaksimalkan nilai land-rent suatu
wilayah (Rustiadi et al., 2009).
• Demografi (Demographic Factors)
Faktor demografi dalam hal ini mencakup pertumbuhan penduduk dalam
internal suatu wilayah maupun didorong dengan adanya perpindahan
populasi akibat urbanisasi. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah akan
menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan infrastruktur dan permukiman
sehingga mampu mempercepat laju perubahan penggunaan lahan
(Rushayati et al., 2016).
• Institusi (Institutional Factors)
Faktor institusi lebih mengarah kepada pemerintah maupun stakeholder-
stakeholder terkait lainnya yang mampu menentukan arah perkembangan
suatu wilayah melalui instrumen instrumen penataan ruang. Instrumen-
instrumen penataan ruang menjadi pedoman suatu wilayah dalam
melakukan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sehingga
mampu mengendalikan maupun mempercepat perubahan penggunaan lahan
suatu wilayah berdasarkan kepentingan maupun tujuan yang ingin dicapai.
• Budaya (Cultural Factors)
Faktor budaya mengacu kepada sistem nilai maupun norma masyarakat
suatu wilayah dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Faktor
budaya dalam suatu kelompok masyarakat memiliki perbedaan satu sama
lain yang terbentuk secara historis dalam wilayah tersebut.
• Globalisasi (Globalization)
Faktor globalisasi berkorelasi langsung dengan seluruh faktor lain sebagai
satu gambaran besar terhadap perubahan zaman di mana terjadi interaksi
antar individu, kelompok, dan bahkan wilayah dalam lingkup regional,
nasional, maupun internasional. Globalisasi melahirkan pola interaksi
spasial antar wilayah untuk memperkuat daya saing wilayah tersebut secara
internasional (Firman, 1998).

Dinamika Pertumbuhan Kawasan Jabodetabekpunjur

Konsep kawasan metropolitan Jakarta bermula dari tahun 1950 dengan


konsep awal bernama “Jakarta Raya” di mana perencanaan disusun menggunakan
konsep Garden City dengan Medan Merdeka sebagai pusatnya dan dikelilingi oleh
jaringan jalan sebagai batas dari kawasan perkotaan. Pertumbuhan kawasan
metropolitan Jakarta ini kemudian meluas meliputi wilayah-wilayah di sekitarnya
sehingga direncanakan konsep kota satelit untuk mengakomodasi kebutuhan
kawasan permukiman, sehingga terbentuklah kawasan Jabodetabek (Rustiadi et al.,
13

2015). Kawasan Jabodetabek mencakup luas wilayah sebesar 5.797 km2. Kawasan
ini terdiri dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta atau dikelilingi oleh kawasan
kota satelit atau hinterland yang dikenal sebagai Bodetabek, akronim untuk Bogor
– Depok – Tangerang – Bekasi. Pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, wilayah Jabodetabek kemudian dijadikan sebagai KSN dengan luas
kawasan yang bertambah pada sebagian wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga
penamaan kawasan berubah menjadi Jabodetabekpunjur (Republik Indonesia,
2008b).
Kawasan Jabodetabekpunjur dibagi dalam 3 wilayah yaitu core untuk DKI
Jakarta, outer zone meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, dan kawasan Puncak Cianjur, dan inner zone mencakup Kota
Tangerang, Kota Bekasi, Kota Bogor dan Kota Depok (Gambar 5). Hirarki
perkotaan dalam kawasan Jabodetabekpunjur sesuai Perpres No. 60 Tahun 2020
tentang Penataan ruang Jabodetabekpunjur terdapat 1 (satu) PKN yaitu DKI
Jakarta, dikelilingi oleh 4 (empat) PKW yaitu Kota Tangerang, Kota Depok, Kota
Bogor dan Kota Bekasi.

Gambar 5 Peta Cakupan Wilayah Jabodetabekpunjur


Perkembangan fisik Kawasan Jabodetabek ditandai dengan terbentuknya
aglomerasi perkotaan di kawasan inti-inti perkotaan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi. Perkembangan tersebut pada tahun 1960-1970an masih
14

terkonsentrasi pada wilayah DKI Jakarta sebagai pusat kawasan metropolitan, yang
kemudian pada tahun 1980-1990an pertumbuhan mulai meluas menuju kawasan
Bodetabek yang merupakan kota satelit atau sub-pusat dari Jabodetabek (Firman,
2009). Pada periode tersebut, Kawasan Jabodetabek mengalami transformasi dari
kota inti tunggal ke kota multi-inti. Pertumbuhan di Kawasan Jabodetabek memiliki
pola perluasan pada kawasan batas-batas pusat perkotaan menuju kawasan
pedesaan sehingga terbentuk wilayah-wilayah peri-urban yang merupakan wilayah
transisi perkotaan dan pedesaan (Hudalah dan Firman, 2012). Hal ini didukung
dengan adanya peningkatan infrastruktur transportasi, yaitu KRL dan jaringan tol
Jakarta-Tangerang, Jakarta-Cikampek, dan Jagorawi yang semakin meningkatkan
interaksi antara pusat-pusat perkotaan tersebut. Dengan ditetapkannya kawasan
Jabodetabekpunjur sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), terdapat
percampuran antara aktivitas perkotaan dan pedesaan yang sulit dibedakan pada
wilayah Kabupaten Bogor dan Cianjur (Hudalah dan Firman, 2012). Hal ini
menandakan terbentuknya Extended Metropolitan Regions (EMRs) atau Mega-
Urban Regions (MUR) (Mc Gee, 1991; Douglass, 2000). Mega-Urban Regions
menunjukkan bahwa perkembangan kawasan metropolitan dengan multi-inti atau
beberapa pusat kegiatan bergantung pada kemampuan exopolis, atau kota-kota
satelit sebagai pendukung dari inti kawasan metropolitan (Soja, 2000).
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan kegiatan sosio-ekonomi
kawasan Jabodetabekpunjur mengakibatkan Pola perubahan penggunaan lahan dari
lahan pertanian menjadi lahan terbangun dengan pola semakin besar menuju
pinggiran kota. Presentase lahan terbangun menjadi semakin besar mengikuti
perkembangan sarana transportasi yang ada. Perkembangan transportasi kereta, tol,
serta jalan arteri menyebabkan munculnya pusat-pusat kegiatan baru seiring
semakin terhubungnya kawasan Jabodetabekpunjur. Pola perluasan lahan
terbangun tersebut semakin meluas menuju pada kawasan Punjur (Puncak-Cianjur)
yang pada Perpres nomor 60 Tahun 2020 direncanakan menjadi kawasan pertanian
dan kawasan lindung bagi kawasan Mega-Urban Jakarta. Akibat konversi lahan
yang tidak terkendali, timbul beberapa masalah yang berupa permasalahan
lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang memiliki dampak lebih besar pada
kawasan peri-urban maupun kawasan rural di sekitarnya (Pribadi, 2016).

Quantitative Zoning Method dan Pemanfaatannya dalam Pewilayahan

Quantitative zoning method merupakan pendekatan klasifikasi spasial


berbasis konsep wilayah homogen yang menggunakan pendekatan kuantitatif untuk
mendeskripsikan karakteristik wilayah dengan variabel-variabel terukur (Yin et al.,
2018). Konsep wilayah homogen yang merupakan output dari proses quantitative
zoning ini ditujukan untuk mempermudah perencanaan dan pengembangan
wilayah. Wilayah yang homogen dapat diberikan arahan perencanaan dan
pengembangan yang lebih spesifik sehingga semakin mendorong fungsi dari
wilayah tersebut untuk berkembang lebih optimal (Rustiadi, 2009).
15

Gambar 6 Konsep Wilayah


Sumber: Rustiadi et al. (2009)

Penelitian oleh Rustiadi dan Kobayashi (2000) menghasilkan pengembangan


quantitative zoning method yang mampu digunakan sebagai dasar dalam
melakukan pengelompokan serta zonasi berdasarkan bobot atribut spasial serta nilai
agregasi spasial suatu wilayah. Oleh karena itu, zonasi yang dihasilkan dengan
pendekatan ini mampu menghasilkan zona wilayah-wilayah homogen yang
memiliki kedekatan spasial. Selain itu, zonasi juga dapat mempengaruhi arah
perkembangan wilayah berdasarkan kriteria utama yang digunakan dalam proses
zonasi (Yin et al., 2018). Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan zonasi kuantitatif
merupakan metode yang memiliki fleksibilitas tinggi untuk diterapkan pada
wilayah dengan karakteristik fisik, ekonomi, dan sosial yang beragam.
Zonasi yang pada dasarnya merupakan sebuah cluster atau kelompok wilayah
homogen dapat dibentuk dengan mempertimbangkan kedekatan dan interaksi
spasial antar satuan wilayah, sehingga pendekatan spatial clustering dalam
quantitative zoning menjadi pendekatan yang digunakan untuk menerjemahkan
proses pembentukan zonasi secara kuantitatif (Sabatini et al., 2007; Neethu dan
Surendran, 2013). Quantitative zoning dalam pewilayahan dapat diterapkan pada
skala makro/regional maupun mikro/lokal dengan melakukan pentipologian
berdasarkan kedekatan dan interaksi spasial dari tiap unit data (Rustiadi dan
Kobayashi, 2000; Pradhan, 2017). Sehingga, semakin kecil satuan wilayah yang
diamati, maka akan semakin tinggi interdependensi spasialnya, dan wilayah yang
memiliki interdependensi spasial tinggi akan lebih efektif apabila dikelompokkan
dalam satu tipologi untuk mendukung fungsi wilayah tersebut. Oleh karena itu,
quantitative zoning sebagai wilayah homogen juga mampu menjadi sistem wilayah
fungsional berdasarkan fungsi tertentu yang didukung oleh karakteristik
wilayahnya dan akan mampu meningkatkan efisiensi pengelolaan suatu wilayah
melalui suatu kebijakan dan arah pengembangan tertentu (Silva dan Acheampong,
2015; Starikova, 2017).
16

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah Cianjur Utara, Provinsi Jawa Barat.


Wilayah Cianjur Utara yang diamati merupakan kecamatan-kecamatan yang
termasuk dalam kawasan Jabodetabekpunjur, ibukota Kabupaten Cianjur serta
kecamatan-kecamatan sekitarnya yang memiliki karakteristik perkotaan dengan
jumlah keseluruhan 16 Kecamatan dari total 32 Kecamatan di seluruh Kabupaten
Cianjur. Pertimbangan pengambilan wilayah penelitian adalah berdasarkan
karakteristik penggunaan lahan perkotaan, infrastruktur transportasi, serta hirarki
struktur ruang wilayahnya. Ke-16 kecamatan yang diamati dalam penelitian ini
adalah: Kecamatan Bojongpicung, Cianjur, Cibeber, Cikalong Kulon, Cilaku,
Cipanas, Ciranjang, Cugenang, Gekbrong, Haurwangi, Karang Tengah, Mande,
Pacet, Sukaluyu, Sukaresmi, Warungkondang. Peta lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 6. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2019 sampai
dengan bulan Oktober tahun 2020.

Gambar 7 Peta Wilayah Penelitian


17

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1. Peralatan lapangan: GPS, Kompas, peta wilayah penelitian, dan alat
penunjang lainnya.
2. Citra satelit Landsat tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 Peta Rupa Bumi
Indonesia dari BIG.
3. Peralatan lainnya: perangkat keras computer/laptop, dengan perangkat
lunak GIS (ArcGIS), perangkat lunak pengolah citra (Erdas, dan Idrisi),
perangkat pengolah pemodelan spasial (Land Change Modeler), perangkat
pengolah statistik spasial (Fragstats dan Landscape Dynamic Tools).

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data primer
didapatkan melalui survei dan observasi lapangan terkait data-data kondisi eksisting
wilayah penelitian. Data sekunder meliputi data kependudukan, data penggunaan
lahan time-series dan rencana, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cianjur dan Provinsi Jawa Barat, data kondisi sosial-ekonomi, dan data fasilitas.
Data-data tersebut bersumber dari instansi-instansi pemerintah di Kabupaten
Cianjur maupun Jawa Barat. Variabel dan sumber data pada penelitian ini disajikan
dalam Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, Data dan Sumber Data Penelitian


Variabel Jenis Data Sumber Data
Penggunaan lahan • Badan Perencanaan
time series tahun Pembangunan Daerah
2004-2019 Kabupaten Cianjur
Luas lahan • Badan Perencanaan
terbangun Pembangunan Provinsi
Penggunaan Lahan Luas lahan non- Jawa Barat
terbangun • Dinas Pekerjaan Umum
Luas lahan dan Penataan Ruang
pertanian pangan • Dinas Pertanian
berkelanjutan
(LP2B)
Rencana pola ruang • Pembangunan Daerah
Rencana struktur Kabupaten Cianjur
ruang • Badan Perencanaan
Rencana Tata Ruang Rencana jaringan Pembangunan Provinsi
jalan dan fasilitas Jawa Barat
transportasi • Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang
Jumlah keluarga • Dinas Pertanian
Sosial-ekonomi
non-pertanian • PODES
Jumlah keluarga
pertanian
18

Variabel Jenis Data Sumber Data


Jumlah penduduk • Badan Pusat Statistik
dengan tingkat Kabupaten Cianjur
pendidikan tinggi
Jarak terhadap jalan
arteri
Jumlah fasilitas
pendidikan,
kesehatan, dan
transportasi
Jumlah penduduk
miskin
Jumlah penduduk • Badan Pusat Statistik
Kepadatan Kabupaten Cianjur
Kependudukan penduduk
Laju pertumbuhan
penduduk

Tahapan dan Alur Kerja Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi atas lima
tahapan yaitu tahapan studi literatur, pengumpulan data, pengolahan, tahapan
analisis dan pembahasan data, dan tahapan penulisan tesis.
1) Tahap Studi Literatur
Tahap studi literatur dilakukan pada awal penelitian untuk memperkaya
pemahaman terkait topik penelitian, memahami teori-teori yang relevan
dengan penelitian yang dilakukan, serta memahami penelitian-penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
2) Tahapan Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data melalui survei
sekunder dan primer.
3) Tahapan Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data merupakan tahap analisis data yang dilakukan
berdasarkan metode-metode analisis yang telah dipilih untuk menjawab
tujuan penelitian.
4) Tahap Pembahasan Hasil Olahan Data
Tahap ini merupakan tahap pembahasan, interpretasi, dan perumusan hasil
analisis untuk menjawab tujuan penelitian. Hasil analisis yang diperoleh
pada tahap pengolahan data diinterpretasikan serta dideskripsikan dengan
bantuan gambar, tabel, dan grafik.
5) Tahap Penulisan Tesis
Pada tahap ini dilakukan penyusunan tesis yang merupakan sintesa hasil dari
seluruh kegiatan penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan penyusunan
sintesa dari hasil-hasil pada tujuan penelitian dan dilakukan penyusunan
kesimpulan.
Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari pengumpulan data
melalui survei primer dan survei sekunder. Survei sekunder merupakan metode
19

pengumpulan data dari instansi pemerintah maupun instansi terkait. Hasil yang
diharapkan dari survei sekunder ini adalah berupa data deskriptif, data numerik,
dokumen rencana, data citra satelit maupun peta mengenai kondisi wilayah
penelitian. Selain itu, survei sekunder juga bisa dilakukan dengan mensintesis atau
mempelajari hasil-hasil yang didapatkan pada penelitian sebelumnya. Survei primer
merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara langsung dengan
observasi di lapangan untuk melihat kondisi eksisiting wilayah penelitian. Survei
primer atau observasi lapang dilakukan pada beberapa titik sampel yang
ditunjukkan pada Lampiran 3.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui.
Proses dan alur analisis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 7. Metode analisis data dilakukan dengan variabel-variabel tertentu dan
menggunakan metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan penelitian. Jenis
data, variabel, sumber data, teknik analisa data dan keluaran yang diharapkan untuk
masing-masing tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
20

Data kependudukan
(jumlah, kepadatan, dan
pertumbuhan penduduk)
Penggunaan Penggunaan
lahan tahun lahan tahun
Data sosial ekonomi 2004 2009
(jumlah keluarga
pertanian dan non-
ertanian, tingkat Penggunaan Penggunaan
pendidikan penduduk, lahan tahun lahan tahun
jumlah fasilitas, tingkat 2014 2019
perkembangan desa,
penduduk miskin dan
sejahtera)

Tren perubahan Rencana Tata


Data fisik (luas lahan
penggunaan lahan Ruang Wilayah
terbangun dan pertanian,
luas kawasan lindung)

Skenario simulasi
penggunaan lahan
Spatial clustering
contiguous method

Model/prediksi penggunaan
lahan tahun 2031
Cluster perkotaan
Cluster perdesaan
Cluster peri-urban
(in-between)
Pola spasial penggunaan
lahan Cianjur Utara
Spatial metric
(indeks density, continuity,
fragmentation, dan shape)

Urban form Cianjur


Utara

Gambar 8 Bagan Alir Analisis Penelitian


Tabel 2 Matriks Rangkuman Tujuan, Input Data, Teknik Analisis Data, dan
Luaran/Output
Teknik
Tujuan Input Data Luaran/Output
Analisis
Mengidentifikasi • Presentase lahan Rustiadi’s Tipologi kawasan
tipologi wilayah terbangun Quantitative perkotaan,
Cianjur Utara • Presentase lahan Zoning perdesaan, dan
menggunakan pertanian Method I desakota atau
Rustiadi’s • Presentase keluarga (Contiguous peri-urban
Quantitative pertanian Spatial Kabupaten Cianjur
Zoning Method I • Presentase keluarga Clustering)
non-pertanian
• Kepadatan penduduk
21

Teknik
Tujuan Input Data Luaran/Output
Analisis
• Jarak terhadap jalan
arteri
• Jumlah fasilitas
pendidikan, kesehatan,
dan transportasi
• Jumlah rumah tangga
miskin
• Jumlah keluarga
sejahtera
• Tingkat perkembangan
desa
Merumuskan • Output tujuan 1 Land Change • Prediksi/simulasi
model • Penggunaan lahan Modeler penggunaan
penggunaan tahun 2004-2019 (LCM) lahan Kabupaten
lahan wilayah • Pola perubahan Cianjur
Cianjur Utara penggunaan lahan (berdasarkan
menggunakan tahun 2004-2019 scenario
Land Change • Rencana struktur ruang business as
Modeller Kabupaten Cianjur usual, arahan
(LCM). • Rencana pola ruang rencana tata
Kabupaten Cianjur ruang, urban
• Rencana jaringan jalan containment)
dan fasilitas
transportasi
Menganalisis • Output tujuan 1 Spatial • Pola spasial
pola spasial • Output tujuan 3 Metric penggunaan
penggunaan • Penggunaan lahan lahan Kabupaten
lahan dan urban tahun 2004-2019 Cianjur
form Cianjur • Rencana pola ruang (Kepadatan,
Utara Kabupaten Cianjur Fragmentasi,
berdasarkan Continuity,
struktur dan pola Bentuk)
spasial wilayah • Urban form
menggunakan Kabupaten
Spatial Metric. Cianjur

A. Identifikasi Tipologi Wilayah Menggunakan Rustiadi’s Quantitative


Zoning Method I

Analisis cluster bertujuan untuk mengelompokkan objek data berdasarkan


informasi yang ditemukan dalam data yang menggambarkan objek dan
hubungannya (Tan, et al., 2013). Output dari analisis ini adalah menghasilkan
kelompok/cluster yang memiliki kemiripan karakteristik dalam satu cluster yang
sama serta memiliki karakteristik yang berbeda dari cluster lain. Semakin besar
kesamaan atau homogenitas dalam suatu cluster dan semakin besar perbedaan antar
22

cluster, maka hasil analisis cluster akan semakin baik (Neethu dan Surendran,
2013). Analisis tipologi wilayah dalam penelitian ini memperhatikan karakteristik
dari tiap unit spasial untuk kemudian dikelompokkan melalui metode spatial
clustering. Unit spasial pada penelitian ini adalah kecamatan-kecamatan yang
terdapat pada Kabupaten Cianjur sejumlah 32 kecamatan, dengan variabel yang
digunakan sebagai penciri utama dalam mengelompokkan unit-unit spasial dalam
wilayah adalah: 1) kepadatan penduduk (jiwa/ha), 2) tingkat perkembangan desa
(swadaya, swakarya, dan swasembada), 3) presentase lahan terbangun (%), 4)
presentase lahan pertanian (%), 5) presentase keluarga petani (%), 6) presentase
keluarga non-petani (%), 7) jarak terhadap jaringan jalan arteri (km), 8) jumlah
fasilitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi (unit), 9) jumlah keluarga miskin,
10) jumlah keluarga sejahtera.
Tahapan dalam melakukan analisis spatial clustering terdiri dari beberapa
tahap, yaitu standarisasi data pada masing-masing variabel, penentuan jumlah
cluster yang dihasilkan, dan penghitungan Euclidean Distance sebagai penentu
kedekatan karakteristik antar unit spasial. Dalam proses analisis spatial clustering,
tingkat kedekatan atau kemiripan karakteristik antar unit spasial menjadi penentu
utama dalam membentuk cluster dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan standarisasi data untuk tiap variabel yang digunakan. Hal ini akan sangat
mempengaruhi hasil dari perhitungan euclidean distance untuk mengetahui tingkat
kedekatan dan kemiripan antar unit spasial. Standarisasi data dapat dilakukan
dengan formula sebagai berikut:
𝑥𝑖𝑗 − 𝑥̄ .𝑗
𝑧𝑖𝑗 =
𝑠𝑡𝑑𝑒𝑣 𝑥.𝑗
Di mana:
zij = standarisasi data untuk wilayah –i dan variabel –j
xij = nilai data wilayah –i dan variabel –j
x̄.j = nilai rata-rata wilayah –i dan variabel –j
stdev x.j = standar deviasi data pada wilayah –i dan variabel –j
Penentuan jumlah cluster dilakukan berdasarkan karakteristik data dari tiap
variabel yang digunakan. Cluster yang terbentuk pada penelitian ini digunakan
untuk menentukan kawasan perkotaan utama, kawasan perkotaan sekunder atau
kawasan transisi, dan kawasan pedesaan.
Metode spatial clustering pada penelitian ini menggunakan metode dari
Rustiadi dan Kobayashi (2000) di mana metode spatial clustering dibedakan
menjadi Non-Contiguous (NC) dan Contiguous dengan variabel geografis tiap unit
data (C).
• Metode Non-Contiguous (NC)
Pada metode non-contiguous, dilakukan penghitungan euclidean distance
untuk mengetahui jarak antar unit spasial berdasarkan variabel-variabel
pencirinya untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan kedekatan antar
unit spasial tersebut. Pada kasus univariate (single-attribute variable)
digunakan persamaan berikut:
𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧𝑖 ′ − 𝑧𝑗 ′)2
Dan untuk multivariate (multi-attribute variable) digunakan persamaan
berikut:
23

𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧1𝑖 ′ − 𝑧1𝑗 ′)2 + (𝑧2𝑖 ′ − 𝑧2𝑗 ′)2 + ⋯ + (𝑧𝑚𝑖 ′ − 𝑧𝑚𝑗 ′)2
Di mana:
Dij adalah nilai euclidean distance antara lokasi i dan j, z adalah nilai atribut
untuk lokasi i and j, m adalah jumlah variabel yang digunakan, dengan nilai
dari tiap unit data yang telah distandarisasi (Rustiadi dan Kobayashi, 2000).
• Metode Contiguous (C)
Pada metode contiguous terdapat beberapa perbedaan, diantaranya adalah
dengan diperhitungkannya variabel geografis yang berupa koordinat x dan
y dari tiap unit spasial serta diberlakukannya bobot kontiguitas untuk tiap
unit spasial. Penghitungan jarak dan kedekatan karakteristik antar unit
spasial dihitung menggunakan euclidean distance. Persamaan untuk kasus
univariate dan multivariate memiliki prinsip yang sama dengan metode
non-contiguous dengan modifikasi sebagai berikut (Rustiadi dan
Kobayashi, 2000):
2 2
𝐷𝑖𝑗 = √(𝑧𝑖 ′ − 𝑧𝑗 ′)2 + 𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
𝑑𝑎𝑛
′ ′ ) 2 ′ ′ ) 2 ′ ′ ) 2
(𝑧1𝑖 − 𝑧1𝑗 + (𝑧2𝑖 − 𝑧2𝑗 + ⋯ + (𝑧𝑚𝑖 − 𝑧𝑚𝑗 +
𝐷𝑖𝑗 = √ 2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
Di mana:
Dij adalah nilai euclidean distance antara lokasi i dan j, z adalah nilai atribut
untuk lokasi i and j, m adalah jumlah variabel yang digunakan, X dan Y
adalah koordinat dari tiap unit spasial, serta β adalah bobot kontiguitas.
Faktor kontiguitas akan semakin kuat apabila β memiliki nilai kurang dari
satu (β<1) dan akan menjadi lebih lemah apabila β memiliki nilai lebih dari
satu (β>1) (Rustiadi dan Kobayashi, 2000).
Apabila bobot spasial pada metode contiguous adalah:
2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) }
Jika, 𝑥𝑖 = √𝛽. 𝑋′𝑖 dan 𝑦𝑖 = √𝛽. 𝑌′𝑖 maka persamaan pada metode
contiguous dapat menjadi sebagai berikut
2 2 2 2
𝛽{(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + (𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′) } = 𝛽(𝑋𝑖 ′ − 𝑋𝑗 ′) + 𝛽(𝑌𝑖 ′ − 𝑌𝑗 ′)
= (𝛽𝑋𝑖 ′2 − 2𝛽𝑋𝑖 ′𝑋𝑗 ′ + 𝛽𝑋𝑗 ′2 ) + (𝛽𝑌𝑖 ′2 − 2𝛽𝑌𝑖 ′𝑌𝑗 ′ + 𝛽𝑌𝑗 ′2 )
2 2
= (√𝛽𝑋𝑖′ − √𝛽𝑋𝑗′ ) + (√𝛽𝑌𝑖′ − √𝛽𝑌𝑗′ )
2 2
= (𝑥𝑖 − 𝑥𝑗 ) + (𝑦𝑖 − 𝑦𝑗 )
Di mana (xi,yi) adalah koordinat peubah yang telah diberikan bobot β.
Dalam penelitian ini bobot β yang digunakan dan di uji coba adalah: (i) β =
0.5 ; (ii) β = 1 ; (iii) β = 2 ; (iv) β = 4.

B. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Land Change


Modeler (LCM)

Land Change Modeler (LCM) adalah software yang terintegrasi dengan


IDRISI Selva yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi Land Use Cover Change
24

(LUCC) dengan menggabungkan pendekatan CA-Markov dan Artificial Neural


Network. (Adhikari dan Southworth, 2012). LCM dapat menyediakan platform
untuk melakukan penilaian perubahan penggunaan lahan secara spatio-temporal
dan dinamis. Pemanfaatan tersebut juga dapat digunakan untuk pengalokasian lahan
dengan lebih baik dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan.
Pemanfaatan LCM juga dapat digunakan untuk mengantisipasi perubahan yang
akan terjadi dan melakukan prediksi penggunaan lahan pada berbagai skenario
(Mishra et al, 2014). Prediksi penggunaan lahan dalam penelitian ini memiliki tahun
akhir prediksi 2031. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan tahun akhir
dalam RTRW Kabupaten Cianjur, sehingga komparasi antar skenario (terutama
skenario rencana tata ruang) dapat dilakukan dengan lebih baik. Dalam melakukan
pemodelan perubahan penggunaan lahan menggunakan LCM, terdapat beberapa
tahapan sebagai berikut (Tajbakhsh et al, 2018):

Penyusunan Potensi Transisi


Potensi perubahan masing-masing kategori penggunaan lahan dilakukan
berdasarkan pendekatan MLP neural network, regresi logistik, dan simweight. Pada
tahap ini, transisi penggunaan lahan dipecah menjadi berbagai sub-model dan
dilakukan accuracy assessment pada tiap kategori transisi sehingga didapatkan
faktor pendorong dan potensi perubahan penggunaan lahannya (Eastman, 2009;
Mishra et al, 2014). Potensi transisi direpresentasikan dalam nilai kontinyu dalam
skala 0-1 yang menunjukkan kemungkinan suatu pixel penggunaan lahan untuk
bertransformasi menjadi kelas lainnya.

Menentukan kuantitas transisi spasial penggunaan lahan


Kuantitas transisi penggunaan lahan didapatkan dari nilai potensi transisi
pada tahap sebelumnya yang digabungkan dengan transition probability matrix dari
Markov Chain. Proses perhitungan (Eastman, 2009) dilakukan dengan menghitung
total perubahan dari dua tahun pengamatan melalui metode cross-tabulation. Pada
tahap ini, didapatkan informasi perubahan penggunaan lahan sebesar (X) dalam
bentuk matriks transisi. Kemudian untuk memproyeksikan kedepan dilakukan
multiplikasi berdasarkan perbedaan antar tahun pengamatan dengan tahun tujuan.

Menentukan Skenario Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan


Pada tahapan ini ditentukan 3 buah skenario, yaitu: business as usual, arahan
rencana tata ruang yang ada, serta skenario urban containment. Dalam
menerjemahkan skenario tersebut, diperlukan constraint yang berupa faktor
pembatas arah perkembangan penggunaan lahan serta factor yang berfungsi sebagai
aturan kesesuaian perubahan (Eastman, 2009). Skenario yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skenario: (i) business as usual, (ii) rencana tata ruang wilayah,
(iii) urban containment. Ketiga skenario ini merupakan hipotesis dasar terhadap
prediksi arah pertumbuhan Kabupaten Cianjur bagian utara sebagai koridor
konurbasi JBMUR. Dengan skenario pertama merupakan hipotesis di mana tidak
dilakukan upaya perencanaan apapun pada wilayah penelitian. Pada skenario
kedua, terdapat proses perencanaan dan pengendalian yang disesuaikan dengan
perencanaan tata ruang berlaku, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Cianjur. Pada skenario ketiga, pola perencanaan dan pengendalian yang
dilakukan adalah berdasarkan pendekatan quantitative zoning method yang telah
25

dilaksanakan pada analisis tipologi wilayah sehingga menghasilkan zona-zona


berdasarkan karakteristik dan kedekatan spasial wilayahnya. Ketiga scenario
tersebut kemudian dijabarkan atau memiliki rules masing-masing sebagaimana
dijelaskan pada Tabel 3.
Tabel 3 Skenario Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan

No. Skenario Rules

• Prediksi dilakukan secara keseluruhan sesuai


1. Business as Usual dengan trend perubahan penggunaan lahan
tahun 2004-2019
• Prediksi dilakukan berdasarkan arahan pola
ruang tiap kecamatan dan per-zona
• Arahan pengembangan wilayah
diterjemahkan kedalam tiap kelas penggunaan
lahan
• Arahan pengembangan wilayah pertanian =
kelas land use paddy
• Arahan pengembangan wilayah perkebunan
dan peternakan = kelas land use mixgarden
• Arahan pengembangan wilayah perkotaan
atau permukiman = kelas land use built up
• Arahan pengembangan kawasan lindung =
kelas land use forest
2.
Rencana Tata Ruang • Pada tiap kecamatan terdapat beberapa arahan
Wilayah pengembangan wilayah, sehingga prediksi
perubahan yang diperhitungkan hanya pada
kelas penggunaan yang diarahkan untuk
wilayah tersebut. (Misal: Kecamatan Cianjur
diarahkan menjadi pusat perkotaan,
pemerintahan, perdagangan dan jasa. Prediksi
perubahan penggunaan lahan pada Kecamatan
Cianjur hanya diperhitungkan pada perubahan
menuju kelas built up. Pada Kecamatan
Cikalong Kulon diarahkan menjadi kawasan
pertanian dan peternakan. Prediksi perubahan
penggunaan lahan pada Kecamatan Cikalong
Kulon hanya diperhitungkan pada kelas paddy
dan mixgarden.
• Prediksi dilakukan per-zona berdasarkan hasil
pentipologian dengan Rustiadi’s Quantitative
Zoning Method I
• Perkembangan lahan terbangun (urban) hanya
3. Urban Containment dapat terjadi di zona-zona perkotaan
• Pada zona peri-urban, prediksi perubahan
penggunaan lahan mengikuti arahan-arahan
pada rencana tata ruang dengan meminimalisir
perubahan menuju lahan terbangun
26

No. Skenario Rules

• Pada zona perdesaan, prediksi perubahan


penggunaan lahan mengikuti trend perubahan
dengan meniadakan perubahan menuju lahan
terbangun

Dalam skenario ini, prediksi perubahan tidak dilakukan berdasarkan WP


(Wilayah Pengembangan) pada RTRW karena RTRW Kabupaten Cianjur hanya
terdiri dari 3 WP, yaitu WP Cianjur Utara, WP Cianjur Tengah, dan WP Cianjur
Selatan; sementara penelitian ini hanya mengambil wilayah WP Cianjur Utara saja.
Sedangkan pada skenario urban containment, prediksi dilakukan pada keempat
zona hasil spatial clustering dengan rules yang berbeda-beda pada tiap zona. Pada
zona-zona perkotaan, perubahan yang diperhitungkan hanya perubahan menuju
kelas built up, pada zona peri-urban, prediksi perubahan dilakukan berdasarkan
arahan rencana tata ruang (dengan meminimalkan perubahan menuju kelas built
up), sedangkan pada zona perdesaan, prediksi perubahan mengikuti trend
perubahan penggunaan lahan dengan meniadakan perubahan menuju kelas built up.
Teknis pelaksanaan skenario-skenario tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu:
• Penyeleksian pada tahap transition sub-model
Pada tahap penyusunan transition sub-model, model yang akan dijalankan
terlebih dahulu dapat diseleksi sesuai dengan skenario yang dijalankan
(misal: untuk skenario urban containment pada zona perkotaan, transisi
selain menuju built-up bisa diabaikan atau tidak diperhitungkan dalam
penyusunan sub-model).
• Melalui editing transition probability matrix
Dalam melakukan prediksi perubahan penggunaan lahan, LCM
menggabungkan dua pendekatan MLP neural network dan CA-Markov.
Sehingga dalam proses penyusunan modelnya, terdapat transition
probability matrix yang menganalisis kemungkinan terjadinya transisi dari
satu kelas land-use menjadi kelas land-use lainnya dalam bentuk matrix.
Untuk menjalankan suatu skenario model, dapat dilakukan editing pada
transition probability matrix berdasarkan asumsi yang digunakan pada
skenario tersebut (misal: untuk skenario urban containment pada zona
perkotaan, transition probability pada masing-masing kelas penggunaan
lahan selain jenis transisi menuju built-up dapat diedit nilai transition
probability-nya menjadi 0.00).
• Melalui model eksternal yang telah disusun sebelumnya atau model
eksternal dari sumber lain
Selain melalui proses editing dari transition probability matrix seperti telah
dijelaskan sebelumnya, untuk menerapkan suatu skenario juga dapat
menggunakan model eksternal yang didapatkan berdasarkan studi pustaka
lain, maupun dari sumber-sumber lainnya.
Dalam penelitian ini, proses penerapan suatu skenario dilakukan melalui metode
penyeleksian pada tahap penyusunan transition sub-model dan dengan melakukan
editing pada transition probability matrix.
27

Alokasi Spasial
Dari serangkaian peta sub-model potensi transisi dan besar transisi untuk tiap
kelas penggunaan lahan, alokasi spasial ditentukan berdasarkan wilayah/koordinat
dengan nilai potensi transisi terbesar untuk kelas tertentu (nilai potensi tertinggi
pada kelas i maka wilayah/koordinat tersebut akan menjadi kelas i, begitu pula
untuk kelas lainnya (Eastman, 2009). Apabila du akelas atau lebih memiliki nilai
potensi transisi yang sama, maka wilayah/koordinat tersebut akan ditempati oleh
kelas dengan nilai potensi transisi marginal tertinggi.
Apabila terdapat skenario dalam simulasi, proses pengalokasian akan
ditentukan berdasarkan interaksi antar kelas penggunaan lahan yang berlawanan,
dan ditentukan kedekatan/jarak minimum dari kedua jenis penggunaan tersebut.
Misalkan, pada scenario yang memprioritaskan perlindungan lahan hutan, dengan
kelas pengkonversinya berupa permukiman dan pertanian. Maka akan ditentukan
kedekatan minimum dari kelas hutan dengan permukiman dan permukiman,
sehingga apabila pertumbuhan kedua kelas pengkonversi tersebut telah
mencapai/melebihi jarak minimum yang ditentukan, pertumbuhannya akan
dihentikan.

Prediksi Penggunaan Lahan


Pada tahap akhir pemodelan perubahan lahan, LCM dapat memproyeksikan
penggunaan lahan pada tahun yang telah ditentukan melalui tren dan potensi
perubahan penggunaan lahan, potensi transisi, dan skenario (Eastman, 2009).
C. Analisis Urban Form Menggunakan Spatial Metric

Spatial metric adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk merumuskan
pola spasial morfologi wilayah berbasis metric (O'Neill et al., 1988; McGarigal,
1995; Gustafson, 1998; Hargis et al., 1998). Selain untuk mengukur bentuk dan
pola vegetasi, Spatial Metric juga banyak digunakan untuk mengukur perubahan
penggunaan lahan, urban sprawl, serta morfologi atau bentuk wilayah. Metrik pada
spatial metric dihitung menggunakan software FRAGSTATS, di mana unit
analisisnya terdiri dari patch, class, dan landscape. Patch merupakan unit polygon
atau satu feature penggunaan lahan yang continuous, Class merupakan satu kelas
penggunaan lahan, dan Landscape merupakan unit analisis terbesar yaitu mencakup
satu landscape wilayah yang diteliti (gambar 9). Pada penelitian ini, spatial Metric
digunakan untuk mengukur indeks-indeks yang merepresentasikan urban form
berdasarkan hasil model penggunaan lahan Kabupaten Cianjur. Pengukuran indeks-
indeks urban form dilakukan pada data penggunaan lahan eksisting dan hasil model
penggunaan lahan. Pada penelitian ini dipilih beberapa indeks-indeks yang
merepresentasikan urban form, yaitu density, continuity, clustering, dan shape.
28

Gambar 9 Unit Analisis Spatial Metric


(Sumber: McGarigal, 1995)
1. Density
• PLAND (Percent of Landscape)
Metrik PLAND merepresentasikan total luas area dalam suatu class
tertentu dibandingkan dengan luas keseluruhan wilayah/landscape yang
dianalisis, kemudian direpresentasikan dalam bentuk presentase (Brody
et al., 2013). Metrik PLAND dapat merepresentasikan perbandingan
wilayah terbangun/wilayah terbuka dibandingkan dengan keseluruhan
wilayah landscape yang diamati. Nilai metrik PLAND berkisar antara 0
– 100, sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai PLAND adalah berupa
presentase. PLAND mendekati 0 ketika kelas penggunaan lahan tertentu
memiliki luasan yang sangat kecil dan jarang terdapat dalam landscape
yang diamati. Dalam software “Fragstats” PLAND dihitung dengan
menggunakan formula sebagai berikut:
∑𝑛𝑗=1 𝑎𝑖𝑗
𝑃𝐿𝐴𝑁𝐷 = (100)
𝐴
Di mana P𝑖 merupakan proporsi sebagian landscape yang memiliki satu
jenis class tertentu; 𝑎𝑖𝑗 (m2) adalah luas area class ij; dan A adalah total
luas landscape yang diamati (m2). Ilustrasi nilai metrik PLAND dalam
suatu landscape digambarkan dalam Gambar 9.

Gambar 10 Ilustrasi metrik PLAND dalam landscape


(Sumber: Kim, 2013)
29

• PD (Patch Density)
PD Menunjukkan kerapatan persebaran patch dalam satu landscape.
Nilai metric PD berupa kepadatan patch kelas i per hektar. Dalam
software “Fragstats” nilai metrik PD dikalkulasikan berdasarkan
formula sebagai berikut:
𝑛𝑖
𝑃𝐷 = (10000)
𝐴
Di mana ni adalah jumlah patch kelas i dalam landscape dan A adalah
total luas landscape dalam meter persegi untuk kemudian dikalikan
10.000 menjadi satuan hektar. Ilustrasi nilai metrik PD dalam suatu
landscape digambarkan dalam Gambar 10.

Gambar 11 Ilustrasi metrik PD dalam landscape


(Sumber: Kim, 2013)

2. Continuity
• COHESION
Metrik COHESION mengukur keterhubungan fisik pada suatu class yang
dianalisis. Nilai COHESION semakin meningkat seiring dengan semakin
mengelompoknya persebaran patch-patch dalam satu jenis class yang
sama. Dalam kata lain, semakin tingginya nilai COHESION semakin
menunjukkan bahwa antar patch dalam satu jenis class tersebut semakin
terhubung secara fisik. Nilai COHESION memiliki rentang antara 0 dan
100 karena direpresentasikan dalam bentuk presentase, sehingga mudah
untuk diinterpretasikan dalam melihat perkembangan bentuk suatu
wilayah. Dalam software “Fragstats” metrik COHESION dikalkulasikan
dengan formula sebagai berikut:
∑𝑛𝑗=1 𝑝𝑖𝑗 1 −1
𝐶𝑂𝐻𝐸𝑆𝐼𝑂𝑁 = [1 − 𝑛 ] [1 − ] (100)
∑𝑗=1 𝑝𝑖𝑗 √𝑎𝑖𝑗 √𝑧
Di mana pij adalah perimeter patch ij yang merepresentasikan jumlah cell
pada tepi patch yang terkoneksi secara fisik; aij adalah jumlah area patch
ij yang direpresentasikan dalam jumlah cell; dan Z adalah jumlah cell
pada satu landscape yang diamati. Nilai COHESION yang mendekati 0
menunjukkan bahwa dalam satu class terdapat banyak patch yang tidak
terkoneksi atau terpisah-pisah. Sedangkan semakin tinggi nilai
COHESION menunjukkan bahwa dalam patch-patch dalam satu class
tersebut saling terhubung satu sama lain. Ilustrasi nilai metrik
COHESION dalam suatu landscape digambarkan dalam Gambar 11.
30

Gambar 12 Ilustrasi metrik COHESION dalam landscape


(Sumber: Kim, 2013)

• CONTIG (Contiguity Index)


Indeks kedekatan menilai keterkaitan spasial, atau kedekatan, dari sel-sel
dalam patch sel-grid untuk memberikan indeks kedekatan (LaGro, 1991).
Metrik ini menilai nilai kedekatan spasial tiap patch dari berbagai kelas
tutupan lahan yang diberikan. Contiguity Index memiliki nilai berkisar
antara 0-1 di mana nilai 0 menunjukkan bahwa masing-masing kelas
penggunaan lahan terdiri dari patch-patch yang tidak berdekatan atau
tersebar dalam satu landscape. Di sisi lain, nilai 1 menunjukkan bahwa
semua patch yang diklasifikasikan sebagai suatu kelas penggunaan lahan
tertentu saling berdekatan satu sama lain. Dalam software “Fragstats”
metric CONTIG dikalkulasikan berdasarkan formula sebagai berikut:
∑𝑛
𝑟=1 𝑐𝑖𝑗𝑟
[ ]−1
𝑎𝑖𝑗
𝐶𝑂𝑁𝑇𝐼𝐺 = (100)
𝑣−1
Di mana cijr adalah nilai ketetanggaan pixel r dalam patch ij (ketetanggaan
dilihat berdasarkan kelas yang sama). v adalah jumlah nilai pixel tetangga
dalam template 3X3. aij adalah jumlah pixel dalam patch ij.
3. Clustering/Fragmentation
• MESH
Metrik MESH menunjukkan indeks fragmentasi class, di mana semakin
tinggi nilai MESH maka suatu class tersebut akan semakin
terkumpul/tidak terfragmentasi. Nilai MESH selalu bernilai positif dari
nilai 1 sampai dengan nilai terbesarnya. Di mana nilai 1
merepresentasikan suatu class yang sangat terfragmentasi sedangkan
nilai yang semakin besar merepresentasikan class yang tidak
terfragmentasi. Dalam software “Fragstats” MESH dihitung dengan
menggunakan formula sebagai berikut:
∑𝑛𝑗=1 𝑎𝑖𝑗 2
(100)
𝐴
Di mana Σaij2adalah adalah total luas class-i sedangkan A2 adalah nilai
kuadrat dari luas suatu landscape yang diamati. Ilustrasi nilai metrik
MESH dalam suatu landscape digambarkan dalam gambar 12.
31

A=1 B =10 C=100


Gambar 13 Ilustrasi metrik MESH dalam landscape
(Sumber: Kim, 2013)

• SPLIT (Splitting Index)


Metrik SPLIT menunjukkan indeks fragmentasi class, di mana semakin
tinggi nilai SPLIT maka suatu class tersebut akan semakin terfragmentasi
menjadi patch-patch yang berukuran kecil. Nilai SPLIT selalu bernilai
positif dari nilai 1 sampai dengan nilai terbesarnya. Di mana nilai 1
merepresentasikan tidak terfragmentasi sedangkan nilai yang semakin
besar merepresentasikan class yang sangat terfragmentasi dan tersebar
menjadi patch-patch yang berukuran kecil. Dalam software “Fragstats”
SPLIT dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
𝐴2
∑𝑛𝑗=1 𝑎𝑖𝑗 2
Di mana A2 adalah nilai kuadrat dari luas suatu landscape yang diamati
sedangkan Σaij2 adalah total luas class-i. Ilustrasi nilai metrik SPLIT
dalam suatu landscape digambarkan dalam gambar 13. Metrik SPLIT dan
MESH memiliki keterkaitan yang tinggi di mana nilainya saling
berlawanan, di mana nilai MESH = 1/SPLIT.

A=1 B =10 C=100


Gambar 14 Ilustrasi metrik SPLIT dalam landscape
(Sumber: Kim, 2013)
4. Shape
• SHAPE (Shape Index)
Metrik SHAPE merupakan metrik yang mengukur kompleksitas bentuk
suatu yang dapat diukur dalam lingkup patch, class, maupun landscape.
Patton (1975) mengemukakan sebuah konsep indeks keragaman
berdasarkan kompleksitas bentuk suatu wilayah dibandingkan dengan
bentuk yang standar. Pada data vector bentuk standar data merupakan
bentuk circular atau lingkaran, sedangkan pada data raster bentuk standar
data merupakan bentuk square atau persegi. Nilai metrik SHAPE berkisar
antara 1 – tidak terbatas. Nilai SHAPE = 1 menunjukkan bahwa bentuk suatu
patch, class, maupun landscape adalah kotak atau compact secara maksimal,
sedangkan semakin tinggi nilai SHAPE menunjukkan bahwa bentuk patch,
class, maupun landscape tersebut semakin kompleks dan ireguler. Dalam
32

software “Fragstat” SHAPE dihitung dengan menggunakan formula sebagai


berikut:
𝑃𝑖𝑗
𝑆𝐻𝐴𝑃𝐸 =
𝑚𝑖𝑛 𝑃𝑖𝑗
Di mana pij adalah perimeter/batas patch ij dan min pij adalah perimeter atau
batas minimum dari patch ij berdasarkan pendekatan largest integer square.
Ilustrasi nilai metrik SHAPE dalam suatu landscape digambarkan dalam
gambar 14.

Gambar 15 Ilustrasi metric SHAPE dalam landscape


(Sumber: Kim, 2013)
33

4. GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Fisik Wilayah

Kondisi Geografis Wilayah


Kabupaten Cianjur merupakan salah satu Kabupaten yang berada di
Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Cianjur berada
diantara 6°21’-7°25’ Lintang Selatan dan 106°42’-107°25’ Bujur Timur, dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Purwakarta;
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Garut;
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia;
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.
Secara administrasi Kabupaten Cianjur memiliki 32 kecamatan, 354 desa, dan
6 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 361.434 ha. Kabupaten
Cianjur terbagi dalam tiga wilayah yaitu Cianjur Utara, Cianjur Tengah, dan Cianjur
Selatan. Wilayah Cianjur bagian utara terdiri dari 16 kecamatan yaitu Kecamatan
Bojongpicung, Cianjur, Cibeber, Cikalong kulon, Cilaku, Cipanas, Ciranjang,
Cugenang, Gekbrong, Haurwangi, Karangtengah, Mande, Pacet, Sukaluyu,
Sukaresmi, dan Warungkondang dengan keseluruhan luas wilayah sebesar
108213,75 Ha.

Kondisi Morfologi Wilayah dan Lereng


Bentuk relief wilayah Cianjur bagian utara bervariasi dari datar hingga sangat
curam dengan kemiringan lereng 0% sampai lebih dari 40%. Namun pada
umumnya Wilayah Cianjur Utara merupakan daerah dataran tinggi dengan
ketinggian mencapai 2.962 mdpl terletak di kaki Gunung Gede, dengan ketinggian
tertinggi terdapat di wilayah Cianjur bagian utara tepatnya di Kecamatan Cipanas
dan Pacet yaitu 1.080-2.962 mdpl. Gambar 15 menunjukkan kondisi dan sebaran
kemiringan lereng di setiap kecamatan di wilayah Cianjur bagian utara.
Berdasarkan karakteristik topografi yang dimilikinya, umumnya wilayah
Kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Dataran
Daerah dengan kemiringan lereng antara 0 – 8%, dataran ini berada di
daerah pantai, alluvial sungai dan dataran lahar. Daerah dataran jarang
terjadi erosi (tingkat erosinya rendah). Di wilayah Cianjur bagian utara
daerah dataran terdapat di wilayah Kecamatan Sukaresmi, Cikalongkulon,
Cianjur, Ciranjang, Bojongpicung dan sebelah utara Cibeber, selain itu
terdapat juga di wilayah Cianjur lainnya diantaranya yaitu Pagelaran,
Tanggeung, Kadupandak dan sepanjang pantai selatan mulai dari Agrabinta
sampai Cidaun
2. Perbukitan Ber-relief Halus
Mempunyai bentuk permukaan yang bergelombang halus dengan
kemiringan lereng 8 – 15%. Wilayah perbukitan berelief halus banyak
dijumpai di sebelah utara Kecamatan Pacet dan di wilayah Kecamatan
Warungkondang untuk kawasan Cianjur bagian utara, serta terdapat juga di
34

sebelah barat Kecamatan Takokak, sebelah timur Kecamatan


Sindangbarang dan Cidaun.
3. Perbukitan Ber-relief Sedang
Memiliki kemiringan lereng antara 15 – 25% dengan permukaan permukaan
yang bergelombang sedang. Bentuk permukaan ini tersebar di daerah utara
Kecamatan Mande, sebelah selatan Kecamatan Kadupandak dan Cibeber.
4. Perbukitan Ber-relief Agak Kasar
Permukaan bergelombang agak kasar dengan kemiringan lereng 24 – 40%,
bentuk permukaan ini terdapat di Kecamatan Takokak, bagian selatan dan
utara dari Kecamatan Kadupandak, bagian utara Kecamatan Sukanagara,
Agrabinta, sebelah utara Kecamatan Cidaun, sebelah selatan Kecamatan
Pagelaran dan sebelah barat Tanggeung.
5. Perbukitan Ber-relief Kasar
Mempunyai permukaan yang bergelombang kasar sampai dengan sangat
kasar, kemiringan lerengnya lebih dari 40%. Bentuk permukaan ini tersebar
di 36 daerah selatan Kecamatan Sukaresmi, sebelah selatan Kecamatan
Bojongpicung, Sukanagara, daerah Gunung Buleud, sebelah timur
Kecamatan Takokak dan Gunung Sambul, sebelah Kecamatan Pagelaran,
sebelah selatan dan utara Kecamatan Kadupandak serta Karangtengah yang
membentuk gawir gerakan tanah yang tegak lurus, daerah Gunung
Pangrango, Pasir Beser, Pasir Taman sampai Pasir Gambir, Pasir Negrog,
Gunung Pondokcabang, Gunung Berenuk dan Pasir Gook (RPJMD Kab.
Cianjur 2016).

Gambar 16 Peta Kemiringan Lereng Cianjur Utara


35

Kondisi Jenis Tanah


Jenis tanah di Kabupaten Cianjur bagian utara cukup beragam, terdapat enam
jenis tanah diantaranya adalah aluvial, latosol, andosol, grumusol, podsol merah
kuning dan regosol yang sebarannya seperti yang tertera pada Gambar 16.
Berdasarkan peta tanah Kabupaten Cianjur bagian utara (Gambar 16), jenis tanah
yang paling dominan di wilayah Cianjur bagian utara adalah latosol dengan
persebaran yang sangat luas yaitu sebesar 70422,46 Ha. Selain itu tanah alluvial
pun tersebar luas di bagian utara Kabupaten Cianjur dengan luasan sebesar
10683,91 Ha. Penyebaran jenis tanah tersebut adalah Tanah Aluvial, tersebar di
Kecamatan Cilaku, Cibeber, Warungkondang, Gekbrong, Ciranjang, Sukaluyu,
Bojongpicung, Karangtengah, Mande dan Cikalongkulon. Tanah Regosol tersebar
di Kecamatan Ciranjang, Pacet, Cipanas, Cugenang, Cikalongkulon,
Sukanagara. Tanah Andosol terdapat di Kecamatan Pacet, Cipanas, Cugenang.
Tanah Grumusol terdapat di Kecamatan Ciranjang, Sukaluyu, Bojongpicung,
Cikalongkulon. Tanah Mediteran terdapat Kecamatan Ciranjang,
Cikalongkulon. Tanah Latosol terdapat di Kecamatan Cianjur, Cilaku, Cibeber,
Warungkondang, Gekbrong, Sukaluyu, Bojongpicung, Karangtengah, Mande,
Pacet, Cipanas, Sukaresmi, Cugenang, Cikalongkulon. Tanah Podsolik terdapat di
Kecamatan Cibeber, Ciranjang, Sukaluyu, Bojongpicung. Tanah di Kabupaten
Cianjur terutama bagian utara sangat dipengaruhi oleh bahan vulkan, wilayah
Cianjur bagian utara banyak mengandung batuan vulkanik karena wilayahnya yang
lebih tinggi dan dipengaruhi oleh hasil letusan gunung.

Gambar 17 Peta Jenis Tanah Cianjur Utara


36

Kondisi Iklim
Berdasarkan kondisi iklim secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis
lembab dengan suhu udara minimum 18 derajat yang biasanya terjadi pada bulan
Maret – April, sedangkan suhu maksimal adalah 24 derajat yang biasanya terjadi
pada bulan Oktober – November dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80-90%.
Pada bulan November – Maret angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya
berkaitan dengan musim kemarau. Adapun puncak musim kemarau terjadi pada
bulan Agustus sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember-
Januari, sedangkan kondisi curah hujan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi.
Curah hujan ratarata di wilayah pesisir berkisar antara 1.120,4 mm/tahun sampai
dengan 3.543 mm/tahun. Namun demikian, beberapa wilayah di sebelah barat
Kecamatan Sindangbarang memiliki curah hujan lebih tinggi, yakni berkisar antara
3.000 mm/tahun sampai 4.000 mm/tahun.

Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah

Kondisi perekonomian suatu daerah dapat dilihat atau dianalisis


berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat dengan menganalisis data produk domestik regional bruto
(PDRB) suatu daerah pada satu titik waktu tertentu. Berdasarkan data BPS
Kabupaten Cianjur tahun 2018 perekonomian di Kabupaten Cianjur mengalami
penurunan dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan
PDRB Kabupaten Cianjur tahun 2017 mencapai 5,72% sedangkan tahun 2016
sebesar 6,43%. Sebagai wilayah yang memiliki potensi pertanian yang tinggi,
perekonomian Kabupaten Cianjur didominasi oleh sektor pertanian dengan tingkat
distribusi sebesar 32,20% pada tahun 2017, angka tersebut mengalami penurunan
tiap tahunnya di mana pada tahun 2015 dan 2016 tingkat distribusinya sebesar
34,11% dan 33,77%, hal tersebut pun dapat dilihat dari laju pertumbuhannya yang
menurun yaitu menjadi 0,91% pada tahun 2017 dari 4,60% pada tahun 2016. Urutan
kedua adalah perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor
dengan distribusi sebesar 17,75% di mana angka distribusi sektor ini pun
mengalami penurunan tiap tahunnya. Urutan selanjutnya adalah sektor transportasi
dan pergudangan, dan konstruksi dengan distribusi masing-masing sebesar 9,46%
dan 8,29% pada tahun 2017, angka distribusi kedua sektor ini mengalami
peningkatan dalam kurun waktu 2015-2017.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Cianjur tahun 2018 jumlah penduduk
Kabupaten Cianjur adalah sebesar 2.256.589 jiwa yang terdiri atas 1.160.520 jiwa
laki-laki dan 1.096.069 jiwa perempuan. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada
Kecamatan Cianjur dengan jumlah penduduk sebanyak 164.511 jiwa, diikuti oleh
Kecamatan Karang Tengah 137.788 jiwa dan Kecamatan Cibeber 118.439 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk paling sedikit yaitu Kecamatan Campakamulya
22.956 jiwa dan Kecamatan Leles 30.653 jiwa. Tingkat pengangguran di Kabupaten
Cianjur sebesar 10,10% dengan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 95.100
jiwa dann jumlah Angkatan kerja yang aktif sebanyak 846.258 jiwa. Berdasarkan
tingkat pendidikannya mayoritas penduduk di Kabupaten Cianjur merupakan
lulusan sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 461.097 jiwa yang didominasi oleh laki-
laki, diikuti dengan lulusan SLTA sebanyak 191.584, SLTP sebanyak 167.996 dan
37

tidak bersekolah atau tidak tamat SD sebnayak 60.715 jiwa, sedangkan lulusan
Diploma I/II/III/Akademi/Universitas hanya sebanyak 59.966 jiwa.
Berdasarkan lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur
dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelompok utama yaitu pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan, industry pengolahan, perdagangan besar eceran, rumah
makan, dan hotel, jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan, dan kelompok
lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air, bangunan, angkutan,
pergudangan, dan komunikasi keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan,
tanah, dan jasa perusahaan). Sebagian besar penduduk di Kabupaten Cianjur
bekerja pada sektor atau lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah makan
dan hotel dengan jumlah pekerja sebanyak 239.07, sektor kedua yang memiliki
jumlah pekerja tertinggi yaitu sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan
perikanan.

Dinamika Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara

Wilayah Kabupaten Cianjur mempunyai banyak potensi yang bisa


dikembangkan diantaranya daerah potensi pertanian tanaman pangan, daerah
perdagangan, hotel dan restoran karena Kabupaten Cianjur banyak memiliki
Kawasan objek wisata, yang sebagian besar berada di wilayah utara yaitu Puncak
dan Cipanas. Kabupaten Cianjur didominasi oleh sektor pertanian, terutama di
wilayah Cianjur Utara, di mana wilayah tersebut didominasi oleh lahan sawah dan
kebun campuran (Tabel 5), yang mana saat ini mengalami pergeseran penggunaan
lahan dari lahan sawah ke lahan bukan sawah seiring dengan pembangunan daerah.

Tabel 4 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Cianjur Utara


Luas (Ha)
Kelas Land-Use
Tahun 2004 Tahun 2009 Tahun 2014 Tahun 2019
Lahan Terbangun 6109.21 7274.66 9775.89 14114.10
Sawah 40803.08 40171.09 38684.08 35309.25
Kebun Campuran 46559.59 46272.78 45617.08 45594.80
Lahan Terbuka 6759.59 6672.78 6533.24 6150.15
Hutan 6095.79 5935.95 5716.97 5158.96
Badan Air 1886.49 1886.49 1886.49 1886.49
Total 108213.8 108213.8 108213.8 108213.8

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2004 (Gambar 17) sudah mulai
terlihat adanya lahan terbangun diantara lahan sawah dan kebun campuran. Pada
tahun 2009, 2014, dan 2019 telah terjadi peningkatan perubahan penggunaan lahan
dari Kawasan pertanian menjadi kawasan lahan terbangun, perubahan tersebut
dapat terlihat pada peta penggunaan lahan dari tahun 2004-2019 (Gambar 17).
Berdasarkan peta-peta penggunaan lahan tersebut terlihat bahwa penyebaran dan
pertumbuhan Kawasan lahan terbangun menjadi semakin masif pada tahun 2019
terutama di bagian pusat dan barat, dan lahan yang paling banyak terkonversi
merupakan lahan sawah, sehingga jumlah lahan sawah di Kabupaten Cianjur bagian
utara ini mengalami penurunan dalam kurun waktu 2004-2019, begitu juga dengan
Kawasan pertanian lainnya termasuk kawasan hutan. Pertumbuhan Kawasan lahan
terbangun yang sangat masif tersebut terlihat dari semakin merahnya beberapa
38

Kawasan di Kabupaten Cianjur bagian utara. Hal tersebut juga dapat terlihat pada
Tabel 5, di mana lahan sawah dan kebun campuran mengalami penurunan dalam
kurun waktu 1999-2019 dan dalam kurun waktu 2009-2019 lahan sawah mengalami
penurunan yang cukup tajam, yang mana penurunan tersebut beriringan dengan
meningkatnya lahan terbangun.

Gambar 18 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Cianjur Utara 2004-2019


Pola Ruang dan Struktur Ruang Cianjur Utara

RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031 diatur dalam Peraturan Daerah


Kabupaten Cianjur Nomor 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Cianjur. Dalam penyusunan RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-
2031, setidaknya terdapat enam jenis Kawasan yang termasuk kedalam ruang
Kawasan lindung, yaitu Kawasan hutan lindung, Kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap Kawasan bawahnya, Kawasan perlindungan setempat,
39

Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, Kawasan rawan rawan
bencana alam, dan Kawasan lindung geologi. Pada Kawasan suaka alam,
pelestarian alam dan cagar budaya terdapat program perlindungan Kawasan suaka
alam yang salah satunya terdapat di cagar alam Talaga Warna, Kecamatan Cipanas,
perlindungan Kawasan pelestarian alam di Taman Nasional Gede-Pangrango yang
meliputi Kecamatan Cipanas, dan perlindungan cagar budaya yang berada di Iatana
Cipanas diantaranya Situs Megalitik Bukit Kasur di Kecamatan Cipanas, Situs
Megalitik Pasir Pogor di Kecamatan Mande, Situs Megalitik Gunung Putri di
Kecamatan Sukaresmi dan Situs Megalitik Bukit Tongtu di Kecamatan Cikalong
Kulon. Rencana pola ruang untuk Kawasan hutan lindung sendiri telah ditetapkan
sebesar 6074,04 Ha atau 5,64% dari keseluruhan rencana pola ruang wilayah
Cianjur bagian utara (Tabel 6).
Tabel 5 Luasan Rencana Pola Ruang Cianjur Utara
Pola Ruang Luas (Ha) Persentase (%)
Hutan Lindung 6074,04 5,64
Hutan Produksi 14621,43 13,58
Kawasan Industri 59,89 0,06
Perkebunan/Tanaman Tahunan 25864,92 24,02
Pertanian 38935,28 36,16
Permukiman 16850,28 15,65
Rawan Bencana 0,05 0,00
Badan Air 5264,66 4,89
Total 107670,56 100

Selanjutnya dalam rencana pola ruang wilayah terdapat Kawasan budi daya
yang terdiri atas Kawasan peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian,
perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, dan lainnya. Kawasan
hutan produksi terdiri atas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap dengan
luas keseluruhan sebesar 14621,43 Ha atau 13,58% dari luas keseluruhan rencana
pola ruang (Tabel 6). Hutan produksi terbatas tersebar di Kecamatan Cipanas,
Sukaresmi, Cibeber, Cikalongkulon, Bojongpicung, dan Ciranjang, dan Kawasan
hutan produksi tetap tersebar di Kecamatan Cipanas, Cugenang, Pacet, Sukaresmi,
Mande, Cikalongkulon, Bojongpicung, Haurwangi, Ciranjang, Gekbrong,
Warungkundang, dan Campaka. Kawasan pertanian merupakan Kawasan dengan
luasan yang paling besar dalam rencana pola ruang Cianjur bagian utara yaitu
sebesar 38935,28 Ha atau sebsar 36,16% dari total luasan rencana pola ruang (Tabel
6), rencana pola ruang terbesar kedua adalah untuk perkebunan/tanaman tahunan
sebesar 25864,92 Ha atau sebesar 24,02%, dan terbesar ketiga yaitu permukiman
yaitu sebesar 16850,28 Ha atau sebesar 15,65% dari total luasan rencana pola ruang.
Kawasan industry berada di Kecamatan Sukaluyu, Ciranjang, Karangtengah,
Haurwangi, Mande, Cikalongkulon, dan Gekbrong dengan luasan sebesar 59,89 Ha
atau sebesar 0,06% dari luas rencana pola ruang Kawasan Cianjur bagian utara
(Tabel 6).
Selanjutnya dalam rencana pola ruang wilayah terdapat Kawasan budi daya
yang terdiri atas Kawasan peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian,
perikanan, pertambangan, industry, pariwisata, permukiman, dan lainnya. Kawasan
hutan produksi terdiri atas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap dengan
40

luas keseluruhan sebesar 14621,43 Ha atau 13,58% dari luas keseluruhan rencana
pola ruang (Tabel 6). Hutan produksi terbatas tersebar di Kecamatan Cipanas,
Sukaresmi, Cibeber, Cikalongkulon, Bojongpicung, dan Ciranjang, dan Kawasan
hutan produksi tetap tersebar di Kecamatan Cipanas, Cugenang, Pacet, Sukaresmi,
Mande, Cikalongkulon, Bojongpicung, Haurwangi, Ciranjang, Gekbrong,
Warungkundang, dan Campaka. Kawasan pertanian merupakan Kawasan dengan
luasan yang paling besar dalam rencana pola ruang Cianjur bagian utara yaitu
sebesar 38935,28 Ha atau sebsar 36,16% dari total luasan rencana pola ruang (Tabel
6), rencana pola ruang terbesar kedua adalah untuk perkebunan/tanaman tahunan
sebesar 25864,92 Ha atau sebesar 24,02%, dan terbesar ketiga yaitu permukiman
yaitu sebesar 16850,28 Ha atau sebesar 15,65% dari total luasan rencana pola ruang.
Kawasan industry berada di Kecamatan Sukaluyu, Ciranjang, Karangtengah,
Haurwangi, Mande, Cikalongkulon, dan Gekbrong dengan luasan sebesar 59,89 Ha
atau sebesar 0,06% dari luas rencana pola ruang Kawasan Cianjur bagian utara
(Tabel 6).

Gambar 19 Rencana Pola Ruang Cianjur Utara


Berdasarkan kepentingannya Kawasan strategis Kabupaten Cianjur terdiri
dari empat Kawasan strategis diantaranya adalah Kawasan strategis dari sudut
kepentingan ekonomi, Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya,
Kawasan strategis dari kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, dan
Kawasan strategis dari sudut kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan sudut kepentingan ekonomi terdapat beberapa perwujudan Kawasan
strategis di wilayah Cianjur utara diantaranya adalah pengembangan Kawasan
lahan pertanian tanaman padi Pandanwangi yang ada di Kecamatan Cianjur, Cilaku,
dan Cibeber, pengembangan Kawasan agropolitan di kecamatan Cipanas dan Pacet,
dan penataan Kawasan koridor jalur jalan Cianjur-Sindangbarang di Kecamatan
41

Cilaku dan Cibeber. Dari sudut kepentingan sosial dan budaya yaitu kegiatan
penataan Kawasan penyangga Istana Cipanas di Kecamatan Cipanas (Gambar 19).

Gambar 20 Peta Kawasan Strategis Wilayah Cianjur Utara


Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031 penetapan sistem
perkotaan dalam sistem pusat kegiatan di Cianjur terdiri atas PKW promosi, PKL,
PKL promosi, dan PPK yang sebarannya dapat dilihat dalam Gambar 20. PKW
promosi berupa PKW promosi Perkotaan Cianjur yang memiliki fungsi utama
sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pusat koleksi dan distribusi, pusat
Pendidikan pusat perdagangan, pusat jasa dan pelayanan masyarakat. PKL
perkotaan Cianjur memiliki fungsi utama sebagai pusat koleksi dan distribusi, pusat
Pendidikan, pusat perdagangan, pusat jasa dan pelayanan masyarakat. PKL promosi
perkotaan Cipanas, memiliki fungsi utama sebagai pusat pengolahan hasil
pertanian, peternakan, pusat jasa pariwisata, perdagangan dan jasa, dan pusat
industry kecil menengah. Pada wilayah Cianjur bagian utara terdapat PPK Pacet,
PPK Ciranjang, dan PPK Warungkondang yang memiliki fungsi sebagai pusat
produksi dan industry perkebunan dan pertanian dengan skala pelayanan beberapa
kecamatan serta menunjang wilayah kota.
42

Gambar 21 Peta Rencana Struktur Ruang Cianjur Utara


Dalam RTRW Kabupaten Cianjur terdapat tiga wilayah pengembangan (WP)
diantaranya adalah WP Utara, WP Tengah dan WP Selatan, wilayah Cianjur utara
termasuk kedalam WP Utara. Strategi pengaturan dan pengendalian pusat kegiatan
di wilayah Cianjur bagian utara yaitu mengendalikan perkembangan pusat kegiatan
di WP Utara dengan membatasi kegiatan perkotaan yang berpotensi menyebabkan
alih fungsi Kawasan lindung dan Kawasan budi daya pertanian, serta menerapkan
kebijakan pengendalian secara ketat bagi perkembangan kegiatan perkotaan yang
berada di Kawasan Puncak Cianjur.
43

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipologi Wilayah Cianjur Utara

Pentipologian wilayah dalam penelitian ini dilakukan dengan prinsip


pengelompokan unit geografis atau unit analisis tertentu berdasarkan kedekatan,
kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara satu unit dengan unit
geografis lainnya. Dalam perencanaan wilayah, prinsip pentipologian wilayah juga
digunakan dalam praktek zonasi wilayah untuk mempermudah dan meningkatkan
efisiensi pengelolaan suatu wilayah maupun untuk menerapkan suatu kebijakan dan
arah pengembangan tertentu (Silva dan Acheampong, 2015; Starikova, 2017).
Dalam penelitian ini proses pentipologian tersebut dilakukan menggunakan metode
contiguous spatial clustering oleh Rustiadi dan Kobayashi (2000). Variabel yang
digunakan meliputi variabel-variabel fisik, sosial, dan ekonomi, dengan pembagian
kelompok/cluster wilayah secara hipotesis menjadi 3 cluster, yaitu: urban
(perkotaan), peri-urban (desakota), dan rural (desa). Pada contiguous spatial
clustering, pentipologian dapat dilakukan berdasarkan beberapa bobot contiguity
atau kedekatan spasial. Di mana pada penelitian ini, dilakukan spatial clustering
pada empat bobot (β) yang berbeda, yaitu: (i) β=0,5 (ii) β=1 (iii) β=2 (iv) β=4.

β=0,5 β=1

β=2 β=4
Gambar 22 Plot of Means for Each Cluster
Gambar 21 menunjukkan plot of means for each cluster dari tiap bobot
contiguity pada seluruh bobot contiguity, karakteristik yang dihasilkan untuk tiap
cluster memiliki pola yang relatif sama, dengan variabel yang menjadi penentu atau
44

key variabel dalam spatial clustering ini adalah variabel z1, z3, z6, z8, z9, z10
(ditunjukkan oleh jarak mean tiap variabel yang terbesar) sebagaimana karakteristik
tiap cluster dapat dilihat pada Tabel 7 Pengaruh dari bobot contiguity pada analisis
ini terlihat pada variabel X dan Y yang merupakan variabel koordinat spasial dari
masing-masing unit geografis yang dianalisis. Semakin besar bobot contiguity yang
diterapkan maka akan cluster yang dihasilkan juga akan semakin mengelompok
berdasarkan kedekatan spasialnya dan cenderung mengabaikan variabel lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kebiasan dari bobot spasial tersebut, untuk
memilih hasil terbaik atau bobot contiguity terbaik dilakukan penghitungan CV
(Coefficient of Variation).
CV adalah suatu ukuran tingkat keragaman dalam suatu data set, di mana
dalam hal ini CV merupakan ukuran keragaman dalam suatu cluster. CV bersifat
dimensionless dan hanya dapat dilakukan pada data rasio. Nilai CV
direpresentasikan dalam presentase (%), di mana nilai CV diatas 30% dapat
mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam data set tersebut (dalam hal ini
cluster) (Khrisnamoorthy dan Lee, 2014). CV dihitung menggunakan formula
berikut:
𝜎
𝐶𝑉 (%) =
𝜇
Di mana σ adalah standar deviasi dalam cluster, dan μ adalah rata-rata dalam
cluster. Nilai CV yang terbaik dalam analisis spatial clustering adalah bobot yang
memiliki nilai CV rendah (mengindikasikan bahwa terdapat sedikit variasi dalam
cluster sehingga tiap anggota cluster semakin seragam).

Tabel 6 Karakteristik Tiap Cluster


Peri-
Variabel Pengertian Urban Rural
Urban
z1 Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Tinggi Sedang Rendah
Tingkat Perkembangan Desa
z2 (1=swadaya 5=swakarya Tinggi Rendah Sedang
10=swasembada)
z3 Presentase Lahan Terbangun (%) Tinggi Sedang Rendah
z4 Presentase Lahan Pertanian (%) Rendah Tinggi Sedang
z5 Presentase Keluarga Petani (%) Sedang Tinggi Rendah
Presentase Keluarga Non-Petani
z6 Tinggi Sedang Rendah
(%)
z7 Jarak Terhadap Jalan Arteri (km) Rendah Sedang Tinggi
Jumlah Fasilitas Pendidikan,
z8 Tinggi Sedang Rendah
Kesehatan, Transportasi (unit)
z9 Jumlah Rumah Tangga Miskin Tinggi Sedang Rendah
z10 Jumlah Rumah Tangga Sejahtera Tinggi Sedang Rendah

Hasil analisis spatial clustering pada masing-masing bobot menghasilkan


persebaran kawasan urban, peri-urban, dan rural yang berbeda-beda sesuai dengan
besaran bobot yang diberikan. Jumlah anggota tiap cluster pada masing-masing
bobot juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di mana tetap terdapat
beberapa unit geografis (desa) dengan tipologi yang tidak berubah pada seluruh
bobot contiguity, diantaranya adalah kawasan perkotaan Cianjur dan kawasan
45

perkotaan Puncak-Cipanas sebagaimana telah disebutkan dalam Lampiran 1 yang


memuat nilai jarak dan anggota tiap cluster. Untuk jumlah anggota tiap cluster pada
masing-masing bobot dapat dilihat pada Tabel 8 peta hasil analisis spatial clustering
dapat dilihat pada Gambar 22.
Tabel 7 Jumlah Anggota Tiap Cluster
Jumlah Anggota Cluster
Bobot (β)
Urban Peri-Urban Rural
0.5 28 124 30
1 22 104 56
2 21 115 46
4 38 105 39

Gambar 23 Hasil Analisis Spatial Clustering


Berdasarkan hasil analisis spatial clustering tersebut dapat disimpulkan
bahwa wilayah Cianjur Utara didominasi oleh tipologi peri-urban yang tersebar di
Kecamatan Cugenang, Warungkondang, Gekbrong, Cibeber, Cilaku,
Bojongpicung, Haurwangi, Sukaluyu, Ciranjang, dan Karang Tengah (Kecamatan
46

tersebut tersebar di bagian tengah sampai dengan selatan wilayah penelitian).


Kawasan rural tersebar di bagian utara wilayah penelitian, yaitu pada Kecamatan
Sukaresmi, Cikalong Kulon, dan Mande. Sedangkan untuk kawasan urban, terletak
pada 2 pusat perkotaan utama, yaitu pada perkotaan Cianjur (Kecamatan Cianjur),
dan perkotaan Puncak-Cipanas (Kecamatan Cipanas dan Pacet).
Untuk menentukan bobot terbaik untuk dijadikan sebagai dasar analisis-
analisis lain pada penelitian ini, dipilih bobot dengan nilai CV terendah (nilai CV
rata-rata pada seluruh cluster). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka bobot 0.5
dipilih sebagai bobot yang terbaik. Hasil dari spatial clustering ini kemudian
digunakan sebagai zonasi dalam melakukan pemodelan atau prediksi penggunaan
lahan menggunakan LCM.

Prediksi Penggunaan Lahan Wilayah Cianjur Utara Menggunakan LCM

Prediksi penggunaan lahan pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui


kecenderungan perubahan lahan yang terbentuk pada akhir tahun prediksi di
Kabupaten Cianjur bagian utara. Prediksi ini juga dapat digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan wilayah Cianjur Utara, mengingat posisi geografisnya
sebagai koridor konurbasi JBMUR. Dari hasil analisis tipologi wilayah, didapatkan
tipologi wilayah berupa tipologi urban, peri-urban, dan rural. dari tipologi wilayah
tersebut terbentuk 4 zona utama yang membentuk wilayah Kabupaten Cianjur yaitu:
(i) zona perkotaan Puncak-Cipanas, (ii) zona perkotaan Cianjur, (iii) zona peri-
urban (desakota), (iv) zona perdesaan, seperti terlihat pada Gambar 23. Hasil
tipologi wilayah pada tujuan satu kemudian dilakukan generalisasi berdasarkan
tipologi mayoritas tipologi tetangga dan wilayah-wilayah di sekitarnya.

Gambar 24 Zonasi Wilayah Penelitian


47

Penyusunan Transition Sub-Model (Constraint dan Driving Factor)


Transition sub-model merupakan susunan beberapa proses transisi serta
susunan beberapa constraint dan driving factor dalam melakukan pemodelan
penggunaan lahan menggunakan LCM (Eastman, 2009; Mishra et al., 2014). Pada
pemodelan menggunakan LCM, penyusunan transition sub-model ini dilakukan
menggunakan metode MLP (Multilayer Perceptron) neural network. Di mana
metode tersebut mampu menyusun interaksi berbagai input dan faktor menjadi
suatu output transition potential terhadap satu kelas perubahan penggunaan lahan.

Gambar 25 Ilustrasi Metode MLP


Sumber: Hastie et al., 2009

Pada Gambar 24 dapat digambarkan bahwa input #1 sampai dengan input #4


merupakan constraint dan driving factor, di mana pada penelitian ini digunakan
beberapa faktor, yaitu: (i) jarak terhadap jaringan jalan utama (jalan arteri dan
kolektor), (ii) jarak terhadap pusat perkotaan (perkotaan Puncak-Cipanas, dan
perkotaan Cianjur), (iii) Topografi/ketinggian wilayah, dan (iv) Slope/lereng.
Hidden layer berdasarkan metode ini merupakan tiap jenis transisi penggunaan
lahan (misal: transisi sawah menuju lahan terbangun, kebun campuran ke lahan
terbangun, dan seterusnya). Variabel input dan hidden layer jenis transisi
penggunaan lahan akan berinteraksi dengan aturan di mana yang terjadi semakin
tinggi value dari variabel tersebut maka akan semakin rendah pula peluang transisi
untuk terjadi di area tersebut.

(i) (ii)
48

(iii) (iv)
Gambar 26 Constraint dan Driving Factor
(i) jarak terhadap jaringan jalan utama (jalan arteri dan kolektor), (ii) jarak
terhadap pusat perkotaan (perkotaan Puncak-Cipanas, dan perkotaan Cianjur), (iii)
Topografi/ketinggian wilayah, dan (iv) Kemiringan Lereng

Uji Akurasi Model


Pada penelitian ini, tahun prediksi perubahan penggunaan lahan adalah pada
tahun 2031 sesuai dengan tahun rencana pada RTRW Kabupaten Cianjur. Namun,
sebelum melakukan prediksi menuju tahun-tahun tersebut, perlu dilakukan uji
akurasi model menggunakan metode koefisien Kappa (Hagen, 2002). Pada
prinsipnya, uji akurasi menggunakan koefisien Kappa ini membandingkan antara
penggunaan lahan hasil observasi dengan hasil model. Di mana pada penelitian ini,
data penggunaan lahan tahun 2019 (hasil observasi) dibandingkan dengan
penggunaan lahan tahun 2019 hasil prediksi (berdasarkan trend perubahan tahun
2009-2014) sebagaimana terlihat pada Gambar 26.

Gambar 27 Hasil Uji Akurasi Kappa


49

Gambar 26 menunjukkan hasil uji akurasi pada model yang disusun, di mana
hasilnya menunjukkan nilai akurasi yang cukup tinggi (dapat dilihat pada nilai
Kstandart), yaitu sebesar 89.97%. Dengan nilai akurasi yang cukup tinggi (diatas
85%), maka dapat disimpulkan bahwa proses perubahan yang terjadi pada data
penggunaan lahan yang diamati (tahun 2009-2014-2019) telah dapat memiliki
akurasi yang tinggi dan dapat digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan
pada tahun-tahun yang akan datang berdasarkan skenario-skenario yang dijalankan.

Hasil Prediksi: Skenario Business as Usual


Hasil prediksi perubahan penggunaan lahan pada tahun 2031 berdasarkan
skenario business as usual menunjukkan tren serupa terhadap perubahan
penggunaan lahan periode pengamatan (2009-2014-2019), dengan perubahan
terbesar terjadi pada kelas penggunaan lahan kebun campuran, sawah, dan lahan
terbangun. Kelas penggunaan yang mengalami pertumbuhan adalah kelas lahan
terbangun dan lahan terbuka sedangkan kelas yang mengalami
penurunan/dikonversi adalah kelas kebun campuran dan sawah sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 27.

Gambar 28 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Business as


Usual
Melalui skenario ini, peluang spasial perubahan penggunaan lahan
(ditunjukkan dalam Gambar 28) menunjukkan bahwa terdapat beberapa spot yang
memiliki peluang perubahan tinggi, yaitu pada wilayah perkotaan Puncak-Cipanas
dan bagian timur pada Kecamatan Haurwangi yang berbatasan dengan Kabupaten
Bandung Barat. Hal ini menunjukkan bahwa trend perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Cianjur bagian utara sebagai koridor JBMUR dipengaruhi oleh proses
ekspansi dari Jakarta (bagian barat) dan Bandung (bagian timur) dengan trend
tersebut mendominasi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur. Dapat
dilihat juga pada kawasan hutan pada bagian tengah wilayah penelitian memiliki
peluang perubahan rendah, serta kawasan perkotaan eksisting juga memiliki
peluang perubahan yang rendah. Sedangkan area-area yang memiliki peluang
perubahan sedang sampai dengan tinggi didominasi oleh kawasan pertanian dan
kebun campuran.
50

Gambar 29 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan Skenario


Business as Usual
Tabel 8 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031 Skenario
Business as Usual
Luas (Ha)
Kelas Land-Use
Tahun 2019 Tahun 2031
Lahan Terbangun 11114.1 14871.6
Sawah 35309.25 31701.15
Kebun Campuran 46594.8 45956.88
Lahan Terbuka 6150.15 6644.88
Hutan 7158.96 7152.93
Badan Air 1886.49 1886.31
Total 108213.8 108213.8

Berdasarkan hasil prediksi penggunaan lahan berdasarkan skenario business


as usual, didapatkan bahwa pertumbuhan lahan terbangun mencapai lebih dari10%
dari tahun 2019 menuju tahun 2031 (10.27% menjadi 14.75%) sebesar 3.757 Ha.
Persebaran pertumbuhan lahan terbangun tersebut terdapat pada 3 lokasi utama,
yaitu pada bagian barat (zona perkotaan Puncak-Cipanas), pada bagian tengah (zona
perkotaan Cianjur), dan bagian selatan (Kecamatan Cibeber). Apabila dilihat dari
posisi geografisnya, ekspansi perkotaan yang dialami oleh Kabupaten Cianjur ini
terdiri dari 2 faktor utama, yaitu: ekspansi dari Jabodetabekpunjur serta ekspansi
dari wilayah perkotaan inti Cianjur itu sendiri. Proses ekspansi yang berasal dari
metropolitan Bandung Raya belum terlalu berdampak besar pada Kabupaten
Cianjur, di mana dapat dilihat pada bagian timur wilayah penelitian (Kecamatan
Haurwangi), perubahan yang terjadi adalah didominasi oleh lahan terbuka dan
sebagian lahan terbangun. Namun berdasarkan tren ini, pertumbuhan pada wilayah
tersebut masih memasuki tahap awal dan berpotensi memiliki dampak yang lebih
besar.
51

Pertumbuhan yang pesat pada lahan terbangun diiringi dengan konversi yang
cukup masif pada penggunaan lahan sawah dan kebun campuran. Konversi lahan
sawah yang paling signifikan terjadi pada kawasan perkotaan Cianjur serta pada
Kecamatan Cibeber, sedangkan untuk konversi lahan kebun campuran yang paling
signifikan terdapat pada kawasan Puncak-Cipanas di mana kawasan kebun
campuran juga dimaksudkan sebagai komoditas pendukung kegiatan pariwisata
agropolitan di wilayah tersebut. Hasil prediksi penggunaan lahan berdasarkan
skenario business as usual dapat dilihat lebih detail pada Gambar 29.

Gambar 30 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Business as


Usual Tahun 2031
Hasil Prediksi: Skenario Rencana Tata Ruang Wilayah
Hasil prediksi pada skenario rencana tata ruang wilayah menunjukkan bahwa
tingkat perubahan yang terjadi jauh lebih rendah daripada pada business as usual.
Namun, karakteristik perubahan tersebut masih memiliki pola yang sama, di mana
pertumbuhan terbesar ada pada kelas penggunaan lahan terbangun, sedangkan lahan
yang terkonversi sebagian besar berasal dari kelas penggunaan sawah sebagaimana
terlihat pada Gambar 30.
52

Gambar 31 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Rencana


Tata Ruang Wilayah
Dalam skenario ini, peluang spasial perubahan yang terjadi dianalisis
berdasarkan 4 zona yang terbentuk dengan rules yang berbeda pada tiap zona
menyesuaikan arahan rencana tata ruangnya. Pada zona 1 (perkotaan Puncak-
Cipanas), mayoritas kawasan tidak memiliki kecenderungan untuk berubah
terutama pada kawasan hutan dan kebun campuran, perubahan yang terjadi pada
zona ini juga tidak terlalu signifikan. Pada zona 2 (perkotaan Cianjur)
kecenderungan untuk berubah sangat sedikit, di mana dominasi perubahan tersebut
adalah proses ekspansi dari perkotaan Cianjur itu sendiri. Pada zona 3 dan zona 4
kecenderungan perubahan juga relatif kecil apabila dibandingkan dengan skenario
lainnya disebabkan karena dominasi penggunaan lahan pada dua zona tersebut
adalah pada kelas sawah dan kebun campuran, sehingga telah dirasa sesuai dengan
arahan yang terdapat pada RTRW Kabupaten Cianjur dan tidak banyak terdapat
perubahan.

(i) Zona 1 (ii) Zona 2


53

(i) Zona 3 (ii) Zona 4


Gambar 32 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Rencana Tata Ruang Wilayah
Tabel 9 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031 Skenario
Rencana Tata Ruang Wilayah
Luas (Ha)
Kelas Land-Use
Tahun 2019 Tahun 2031
Lahan Terbangun 11114.1 11833.19
Sawah 35309.25 34938.9
Kebun Campuran 46594.8 46310.23
Lahan Terbuka 6150.15 6143.04
Hutan 7158.96 7129.44
Badan Air 1886.49 1858.95
Total 108213.8 108213.8

Hasil prediksi berdasarkan skenario rencana tata ruang menunjukkan bahwa


tidak terdapat perubahan yang signifikan secara keseluruhan pada wilayah
Kabupaten Cianjur bagian utara. Pertumbuhan yang terjadi juga dapat ditahan
dengan baik pada zona-zona yang telah diarahkan di dalamnya, yaitu pada zona
perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur. Namun, pada zona Puncak-Cipanas sendiri
pertumbuhan lahan terbangun yang terjadi tidak se-masif pada business as usual.
Hal ini disebabkan oleh batasan-batasan lain yang dihasilkan oleh rules pada zona
tersebut, yaitu batasan untuk mempertahankan lahan pertanian, kebun campuran,
dan hutan. Oleh karena itu, satu-satunya zona dengan pertumbuhan yang cukup
signifikan adalah pada perkotaan Cianjur, di mana pertumbuhan lahan terbangun
dipusatkan dan lebih leluasa pada zona tersebut.
54

Gambar 33 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Rencana Tata


Ruang Wilayah Tahun 2031
Apabila dibandingkan dengan rencana pola ruang Kabupaten Cianjur,
terdapat beberapa kesamaan dalam pola rencananya, terutama pada kawasan sawah
dan kebun campuran. Namun, dapat dilihat perbedaan yang cukup signifikan pada
rencana kawasan lindung di bagian selatan yang tidak teridentifikasi pada hasil
prediksi. Di mana pada rencana pola ruang wilayah tersebut direncanakan sebagai
kawasan lindung geologi. Selain itu, rencana pola ruang juga memprediksikan
kawasan perkotaan Cianjur lebih besar dan luas daripada kondisi eksistingnya.
Rencana pola ruang juga ternyata gagal dalam memprediksi atau mengendalikan
kecepatan pertumbuhan kawasan perkotaan pada zona perkotaan Puncak-Cipanas
sehingga pada rencana pola ruang belum digambarkan sebagai kawasan perkotaan.
55

Gambar 34 Perbandingan Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Dengan RTRW


Kabupaten Cianjur
Hasil Prediksi: Skenario Urban Containment
Hasil prediksi pada skenario urban containment menunjukkan pola yang
mirip dengan pada skenario business as usual, di mana pertumbuhan terbesar ada
pada kelas penggunaan lahan terbangun dengan konversi utama pada lahan sawah
dan kebun campuran. Namun, pada skenario urban containment terdapat beberapa
perbedaan yang cukup menonjol yaitu pada pertumbuhan kelas lahan terbuka yang
lebih besar dan terdapat pertumbuhan yang cukup signifikan pada kelas hutan.
Selain itu, kelas kebun campuran walaupun banyak mengalami loss namun juga
banyak mengalami gain dengan total net change yang lebih condong pada
terdapatnya pertumbuhan kelas kebun campuran.

Gambar 35 Gains and Losses Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Urban


Containment
56

Dalam skenario ini, zona-zona perkotaan (Puncak-Cipanas dan Cianjur)


memiliki peluang perubahan yang cukup tinggi untuk pertumbuhan kawasan
perkotaan. Terutama pada zona perkotaan Cianjur di mana seluruh wilayahnya
memiliki peluang yang tinggi untuk menjadi kawasan perkotaan. Selain itu,
dorongan pertumbuhan kawasan perkotaan juga masih terlihat pada bagian barat
dari zona 3 yang merupakan zona peri-urban. Sedangkan pada zona 4 (zona
perdesaan), tidak terdapat perubahan yang cukup signifikan dikarenakan memang
arah pertumbuhan kawasan perkotaan yang lebih mengarah menuju selatan dan
timur dari dua zona perkotaan utama.

(i) Zona 1 (ii) Zona 2

(i) Zona 3 (ii) Zona 4


Gambar 36 Soft Prediction (Probabilitas) Perubahan Penggunaan Lahan Skenario
Urban Containment (i) Zona 1 (ii) Zona 2 (iii) Zona 3 (iv) Zona 4
Tabel 10 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Tahun 2019 dan 2031 Skenario
Urban Containment
Kelas Land-Use Luas (Ha)
(Keseluruhan) Tahun 2019 Tahun 2031
Lahan Terbangun 11114.1 12518.91
Sawah 35309.25 32108.85
Kebun Campuran 46594.8 47080.35
Lahan Terbuka 6150.15 7085.16
Hutan 7158.96 7534.71
Badan Air 1886.49 1885.77
Total 108213.8 108213.8
57

Hasil prediksi secara keseluruhan pada skenario urban containment ini


menunjukkan pertumbuhan yang signifikan terutama pada kelas lahan terbangun
seperti pada business as usual. Perbedaan dari business as usual terletak pada
persebaran dan besaran perubahannya (dalam konteks lahan terbangun). Di mana
besaran pertumbuhan lahan terbangun pada skenario ini terpaut sebesar ±1.400
hektar. Sedangkan untuk persebaran lahan terbangun pada skenario ini lebih
terpusat pada dua zona perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur. Namun, konversi
penggunaan lahan juga banyak terjadi pada lahan pertanian dengan loss sebesar
±3.200 hektar. Tingkat konversi ini serupa dengan konversi pada skenario business
as usual dengan perbedaan terletak pada jenis perubahan yang dihasilkan, di mana
pada skenario ini lahan pertanian juga berubah menjadi lahan terbuka, kebun
campuran, dan hutan. Perbedaan yang cukup mencolok pada skenario ini adalah
terdapatnya pertumbuhan pada kelas lahan hutan, di mana terjadi peningkatan luas
sebesar ±400 hektar. Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya kecenderungan kecil
konversi dari lahan perkebunan menjadi hutan. Di mana pada kedua skenario
sebelumnya, kecenderungan perubahan ini tertekan oleh rules lain sehingga tidak
memperlihatkan hasil yang signifikan.

Gambar 37 Hasil Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Skenario Urban


Containment Tahun 2031
58

Sintesa dan Perbandingan Antar Skenario


Berdasarkan prediksi yang dilakukan pada masing-masing skenario,
didapatkan bahwa masing-masing skenario tersebut memiliki karakteristiknya
masing-masing dalam mengolah prediksi penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur
bagian utara dengan constraint dan driving factor yang sama dan rules yang
berbeda-beda. Skenario business as usual pada dasarnya memiliki pertumbuhan
lahan terbangun yang terbesar dengan sebaran pertumbuhan yang menyebar pada
bagian barat, tengah, selatan, dan timur dari Kabupaten Cianjur bagian utara.
Skenario rencana tata ruang menghasilkan prediksi penggunaan lahan dengan total
perubahan yang terkecil, dengan karakteristik yang tetap sama yaitu perubahan
terbesar terletak pada pertumbuhan lahan terbangun dengan skala dan sebaran yang
lebih terpusat pada zona-zona perkotaan. Pada skenario urban containment terdapat
pola yang berbeda, di mana hutan dan lahan terbuka juga mengalami peningkatan
luasan bersama dengan lahan terbangun.
Tabel 11 Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Tahun 2049 Tiap
Skenario
Kelas Land-Use Luas (Ha)
(Keseluruhan) BAU RTR UCT
Lahan Terbangun 14871.6 11833.19 12518.91
Sawah 31701.15 34938.9 32108.85
Kebun Campuran 45956.88 46310.23 47080.35
Lahan Terbuka 6644.88 6143.04 7085.16
Hutan 7152.93 7129.44 7534.71
Badan Air 1886.31 1858.95 1885.77
Total 108213.8 108213.8 108213.8

2019 BAU RTR UCT

50.00
45.00
40.00
35.00
PRESENTASE

30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Lahan Sawah Lahan Terbuka Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun
KELAS PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 38 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan

• Perbandingan Hasil Prediksi Zona 1 (Perkotaan Puncak Cipanas)


Perkotaan Puncak Cipanas merupakan zona yang memiliki trend perubahan
penggunaan lahan terbesar dibandingkan dengan zona-zona lainnya. Hal ini
59

disebabkan oleh tekanan ekspansi dari metropolitan Jabodetabekpunjur yang


berbatasan langsung dengan kawasan perkotaan ini serta arahan pada rencana
tata ruang wilayah yang memang diarahkan untuk menjadi kawasan
perkotaan dengan fungsi sebagai pusat pariwisata.
Skenario business as usual dalam prediksi ini mengkonversi habis lahan
sawah menjadi lahan terbangun, sedangkan kedua skenario lainnya masih
mampu mempertahankan keberadaan lahan sawah. Hal ini juga yang
membuat zona 1 menjadi zona dengan kepadatan lahan terbangun tertinggi
pada skenario business as usual. Pada skenario urban containment,
probabilitas konversi lahan sawah menuju lahan terbangun lebih rendah
sehingga konversi pada skenario ini terjadi pada lahan perkebunan dan sawah.
Sedangkan pada skenario rencana tata ruang, dengan adanya penetapan LP2B
(Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), konversi lahan sawah menjadi lebih
ditekan sehingga pertumbuhan lahan terbangun pada skenario ini jauh lebih
sedikit.
BAU RTR UCT

7000

6000

5000
LUAS (HA)

4000

3000

2000

1000

0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 39 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona 1


60

Gambar 40 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 1

• Perbandingan Hasil Prediksi Zona 2 (Perkotaan Cianjur)


Perkotaan Cianjur merupakan pusat pemerintahan, pelayanan publik, dan
pusat perkotaan di Kabupaten Cianjur di mana dalam RTRW Kabupaten
Cianjur wilayah ini ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah yang
dipromosikan (PKWp). Oleh karena itu, zona ini memiliki kapabilitas untuk
menjadi pusat pelayanan di Kabupaten Cianjur serta wilayah sekitarnya.
Mayoritas penggunaan lahan pada wilayah ini adalah penggunaan lahan
terbangun, di mana ketiga skenario prediksi juga memiliki kecenderungan
yang sama pada zona ini, yaitu konversi menuju lahan terbangun. Perbedaan
pada masing-masing skenario terletak pada besaran lahan terbangun yang
dihasilkan, di mana skenario rencana tata ruang menghasilkan luasan lahan
terbangun yang terbesar diikuti dengan skenario business as usual, dan
terakhir skenario urban containment. Perbedaan pada skenario tersebut
terletak pada sebarannya, di mana pada skenario RTR sebaran lahan
terbangun ke arah barat dan utara; skenario BAU ke arah barat dan selatan;
sedangkan UCT ke arah utara dan timur.
61

BAU RTR UCT

2500

2000
LUAS (HA)
1500

1000

500

0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 41 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona 2

Gambar 42 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 2

• Perbandingan Hasil Prediksi Zona 3 (Peri-Urban)


Zona peri-urban merupakan zona yang cukup luas mencakup wilayah tengah
dan selatan wilayah penelitian serta terdiri dari beberapa Kecamatan.
Arahan/rules pada skenario RTR dan UCT pada zona ini adalah sebagai
wilayah pertanian, kebun campuran, dan lahan terbangun dengan kepadatan
rendah; di mana arahan/rules tersebut menjadi dasar pola konversi dan
prediksi pada kedua skenario tersebut. Sedangkan, trend perubahan pada zona
ini mengikuti trend pada zona 1 yaitu dorongan ekspansi dari metropolitan
62

Jakarta masih berdampak pada bagian barat zona 3 dan menuju ke arah
selatan.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa skenario BAU sesuai dengan
hipotesisnya, memiliki luasan lahan terbangun terbesar dengan penurunan
cukup signifikan pada lahan sawah dan kebun campuran. Pola yang sama juga
diikuti pada skenario UCT, dengan skala konversi menuju lahan terbangun
lebih kecil dan terdapat pula kecenderungan konversi lahan sawah menjadi
kebun campuran pada wilayah dengan morfologi dataran tinggi di bagian
barat dan utara. Sedangkan skenario RTR menunjukkan tren pertumbuhan
lahan terbangun yang kecil dengan tetap mempertahankan sawah sebagai
bagian dari arahan LP2B.
BAU RTR UCT

35000

30000

25000
LUAS (HA)

20000

15000

10000

5000

0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 43 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona 3


63

Gambar 44 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 3


• Perbandingan Hasil Prediksi Zona 4 (Perdesaan)
Zona perdesaan menempati bagian utara wilayah penelitian dengan
karakteristik wilayahnya relatif bergelombang dan dataran tinggi. Selain itu,
tidak terlalu banyak terdapat pertumbuhan atau perubahan penggunaan lahan.
Ketiga skenario prediksi penggunaan lahan yang diterapkan juga tidak
menunjukkan adanya perubahan signifikan pada lahan terbangun. Namun
pertumbuhan yang cukup signifikan terjadi pada lahan kebun campuran
dengan mengkonversi lahan sawah, dikarenakan karakteristik wilayah yang
memang sesuai untuk pengembangan komoditas perkebunan.
BAU RTR UCT

18000
16000
14000
12000
LUAS (HA)

10000
8000
6000
4000
2000
0
Lahan Sawah Lahan Badan Air Perkebunan Hutan
Terbangun Terbuka
KELAS PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 45 Grafik Perbandingan Hasil Prediksi Penggunaan Lahan Zona 4


64

Gambar 46 Peta Perbandingan Prediksi Penggunaan Lahan Zona 4

Tiap skenario memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri dalam


konteks penerapannya secara nyata pada kebijakan rencana tata ruang wilayah.
Pembentukan zonasi dalam penelitian ini juga mampu memberikan opsi dan sudut
pandang yang berbeda dalam memberlakukan pendekatan perencanaan penggunaan
lahan, di mana masing-masing zona berdasarkan karakteristiknya memerlukan
pendekatan yang berbeda-beda untuk mampu berfungsi secara optimal dan
berkembang sesuai dengan potensinya.
Skenario business as usual akan mengakibatkan pola pertumbuhan wilayah
yang banyak dipengaruhi oleh mekanisme pasar (Ustaoglu et al., 2017). Di mana
skenario ini akan lebih tepat diterapkan pada wilayah yang memiliki lokasi strategis
dengan aksesibilitas yang memadai dan tidak memiliki dampak terhadap
lingkungan yang tinggi. Skenario rencana tata ruang pada dasarnya memiliki
fleksibilitas yang tinggi sehingga efektifitas dan bentuknya lebih ditentukan kepada
sistem governance yang berlaku pada wilayah tersebut (Hersperger et al., 2018).
Sedangkan untuk skenario urban containment akan menjadi suatu media untuk
menahan ekspansi, mencegah sprawl, serta memfokuskan pertumbuhan kawasan
perkotaan menjadi lebih compact (Shahumyan et al., 2014; Woo dan Guldmann,
2014).

Karakteristik Urban Form dan Urban Expansion Wilayah Cianjur Utara

Urban Form Cianjur Utara


Apabila dilihat berdasarkan trend yang terjadi, pola spasial penggunaan lahan
Cianjur Utara pada lahan terbangun mengalami peningkatan pada variabel density,
continuity, dan shape; sedangkan penurunan terjadi pada variabel fragmentation
sebagaimana terlihat pada Gambar 46 dan Lampiran 2. Variabel density yang
65

ditunjukkan oleh metrik PD dan PLAND menunjukkan peningkatan, di mana


metrik PD menunjukkan peningkatan kepadatan patch di seluruh landscape yang
diamati (persebaran lahan terbangun semakin menyeluruh) dan metrik PLAND
menunjukkan peningkatan total luas lahan terbangun. Pada variabel continuity,
metrik COHESION mengalami peningkatan seiring dengan kawasan lahan
terbangun semakin terhubung secara fisik dalam koridor zona perkotaan.
Sedangkan metrik CONTIG mengalami sedikit penurunan akibat semakin
tersebarnya lahan terbangun sehingga rata-rata jarak antar cluster lahan terbangun
tersebut semakin besar. Pada variabel shape, metrik SHAPE mengalami
peningkatan seiring tumbuhnya kawasan terbangun memiliki bentuk yang ireguler
akibat pertumbuhannya yang bersifat organik. Sementara itu, variabel yang
mengalami penurunan adalah fragmentation, di mana peningkatan nilai MESH dan
penurunan nilai SPLIT menjadi trend akibat pertumbuhan lahan terbangun yang
semula berbentuk dispersed menjadi semakin massif dan membentuk cluster.
Pada penggunaan lahan non-terbangun, trend yang terjadi berkebalikan
dengan trend pada kawasan terbangun mengingat lahan non-terbangun (sawah dan
perkebunan) merupakan penggunaan lahan terkonversi berdasarkan trend yang
terjadi di Cianjur Utara. Namun, lahan hutan dan badan air relatif tidak mengalami
perubahan akibat minimnya konversi dan perubahan yang terjadi pada kelas
penggunaan lahan tersebut.
Dari model-model yang telah disusun, terlihat bahwa model BAU mengikuti
trend yang dibawa pada tahun-tahun sebelumnya dengan perubahan yang paling
signifikan apabila dibandingkan dengan kedua model lainnya. Pada variabel density
secara keseluruhan seluruh model mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun dasarnya (tahun 2019), di mana model UCT memiliki tingkat kepadatan
tertinggi mengingat pemusatan lahan terbangun yang menjadi rules dasar
penyusunan model ini. Pada variabel continuity model BAU memiliki peningkatan
tertinggi secara keseluruhan wilayah, dikarenakan lahan terbangun yang dihasilkan
lebih meluas jangkauannya dan semakin terhubung sehingga nilai metrik
COHESION dan CONTIG memiliki nilai yang tertinggi. Pada variabel shape,
model BAU mengalami peningkatan; model RTR tidak mengalami perubahan;
sedangkan model UCT mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik
pertumbuhan lahan terbangunnya, di mana model UCT memiliki pertumbuhan
lahan terbangun yang terpusat sehingga keseluruhan bentuk lahannya lebih
compact. Pada variabel fragmentation ketiga model mengalami penurunan
fragmentasi dengan fragmentasi terendah pada model BAU, diikuti UCT, dan RTR.
Secara keseluruhan, ketiga model tersebut memiliki karakteristik yang relatif
sama apabila pola spasial penggunaan lahan yang dihasilkan diamati secara
keseluruhan, dengan perbedaan hanya terletak pada besaran nilai tiap variabel.
Perbedaan ketiga model ini tampak lebih dominan ketika perbandingan dilakukan
pada masing-masing zona dengan peruntukannya masing-masing. Perbandingan
tiap variabel secara lebih detail pada tiap zona dapat dilihat pada Tabel 14.
Pola spasial penggunaan lahan apabila disintesakan tiap metrik dan
variabelnya mampu digunakan untuk menjelaskan urban form pada wilayah yang
diamati. Urban form merupakan sekumpulan karakteristik fisik dari penggunaan
lahan perkotaan atau lahan terbangun yang dapat diobservasi pada berbagai skala;
baik itu regional, perkotaan, lokal, maupun skala blok (Schneider dan Woodcock,
2008; Abdullahi et al., 2017).
66
67

(i) Eksisting (ii) Model


Gambar 47 Dinamika Pola Spasial Penggunaan Lahan Cianjur Utara
Tabel 12 Perkembangan Urban Form Cianjur Utara
Indikator Model BAU Model RTR Model UCT
Urban Form LS Z1 Z2 Z3 Z4 LS Z1 Z2 Z3 Z4 LS Z1 Z2 Z3 Z4
Density ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑↑ - - ↑ ↑ ↑ ↓ ↓
Continuity ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑↑ - ↑ ↑ - ↑ ↑ ↑ - -
Shape ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ - - ↑ - ↑ ↓ ↑ ↓ - -
Fragmentation ↓↓ ↓↓ ↓ ↑ ↑↑ ↓ ↓ ↓ ↓ ↑ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ -
*keterangan: ↑: peningkatan; ↓: penurunan; -: tetap
LS: seluruh landscape/wilayah; Z1: Perkotaan Puncak-Cipanas
Z2: Perkotaan Cianjur; Z3: Peri-Urban; Z4: Perdesaan
Secara umum, urban form diklasifikasikan kedalam dua bentuk utama, yaitu
compact atau sprawl, dengan detail form lain merupakan penjelasan yang
bercabang dari dua klasifikasi utama tersebut (Clarke dan Gaydos, 1998; Bhatta,
2010). Terlebih lagi, konsep pengembangan suatu kota (Garden City, Compact
68

City, Transport Oriented Development, Low Carbon City, dan lain-lain) juga
merupakan konsep yang bertumpu pada urban form dan pengaturan kawasan-
kawasan tertentu dalam membentuk suatu konfigurasi spasial untuk menjawab
tujuan-tujuan perencanaan tersebut (Dempsey et al., 2010; Anthony et al., 2018).
Urban Form pada wilayah Cianjur Utara menurut trend-nya berbentuk
wilayah poly-centric dengan 2 pusat (perkotaan Puncak-Cipanas dan perkotaan
Cianjur) dengan bentuk sprawl dan dispersed. Perkembangan kawasan terbangun
tersebut memiliki 2 pola utama, yaitu pola ribbon dan leapfrog. Pola ribbon terdapat
pada sepanjang jalur utama koridor Bogor-Bandung sedangkan pola leapfrog
terjadi diluar zona perkotaan di bagian utara dan selatan wilayah Cianjur Utara, di
mana dua pola perkembangan tersebut terjadi secara organic tanpa disertai dengan
perencanaan yang memadai. Melalui pemodelan yang dilakukan, trend tersebut
dapat berubah berdasarkan skenario yang diterapkan sehingga urban form pada
wilayah Cianjur Utara juga akan mengalami perubahan. Berdasarkan model-model
yang terbentuk, sebagai suatu upaya perencanaan penggunaan lahan, juga telah
mempengaruhi urban form di wilayah Cianjur Utara, di mana apabila dilihat
berdasarkan zonasi-nya akan terlihat sebagai berikut:
• Zona 1 (Perkotaan Puncak-Cipanas)
Perkotaan Puncak-Cipanas memiliki karakteristik urban form yang relatif
berbentuk sprawling pada awal tahun data, namun pada tahun-tahun
berikutnya memiliki trend semakin compact seiring dengan pertumbuhan
kawasan urban pada wilayah tersebut. Zona ini hanya memiliki satu pusat
di Kecamatan Cipanas yang dikelilingi oleh kawasan hutan (kawasan
Gunung Gede Pangrango) dan pertanian perkebunan. Pola perkembangan
pada zona ini berkembang secara organic (tidak direncanakan dalam
rencana tata ruang) mengikuti jaringan transportasi jalan arteri penghubung
Bogor-Bandung.
Model-model yang dihasilkan untuk zona ini keseluruhannya menunjukkan
peningkatan kepadatan dan keterhubungan, serta menurunnya fragmentasi
atau sprawling seiring meningkatnya dominasi kawasan urban. Struktur
kawasan urban pada zona ini memiliki perubahan semakin irregular,
kecuali pada model RTR. Di mana pada model BAU dan UCT struktur
kawasan urban menjadi semakin radial, dengan ekspansi ke arah timur dan
barat pada BAU dan ke arah timur pada UCT. Sedangkan untuk model RTR,
struktur kawasan urban tetap berbentuk linear.

Gambar 48 Urban Form Zona 1


69

• Zona 2 (Perkotaan Cianjur)


Perkotaan Cianjur memiliki karakteristik urban form yang compact dari
tahun awal data (2004) sampai dengan tahun akhir data (2019). Hal ini
disebabkan karena perkotaan Cianjur merupakan kawasan perkotaan yang
ter-rencana atau planned. Kawasan ini merupakan simpul jaringan
transportasi, di mana terdapat jaringan transportasi ke arah Utara, Selatan,
Timur, dan Barat sehingga pola pertumbuhan pada kawasan ini terjadi pada
seluruh arah dengan pola continous.
Model-model yang dihasilkan pada zona ini keseluruhannya mengarah pada
terbentuknya kawasan perkotaan yang semakin compact dengan faktor
pembeda terletak pada arah ekspansinya. Pada model BAU, arah ekspansi
menunjukkan pada arah barat dan selatan; pada model RTR menunjukkan
arah ekspansi menuju utara dan timur; sedangkan pada model UCT arah
ekspansi menuju timur dan selatan.

Gambar 49 Urban Form Zona 2

• Zona 3 (Peri-Urban)
Zona peri-urban ini pada dasarnya merupakan zona tujuan atau hasil
ekspansi dari kedua zona perkotaan, serta secara tidak langsung mampu
menunjukkan faktor-faktor penyebab terjadinya ekspansi pada wilayah
Cianjur Utara. Secara umum, trend urban form pada zona ini memiliki
karakteristik sprawling dispersed dengan pola ekspansi organic dan
leapfrog karena tidak terjadi mengikuti jaringan transportasi, melainkan
terjadi lebih secara acak.
Model-model yang dihasilkan pada zona ini menunjukkan karakteristik
yang berbeda, seiring dengan pola perkembangan kedua zona perkotaannya.
Pada model UCT, karakteristik urban form menunjukkan adanya
kecenderungan terbentuknya urban form yang lebih continuous dengan
peningkatan kepadatan, keterhubungan, dan menurunnya fragmentasi.
Model RTR menunjukkan pola yang sama dengan BAU dengan nilai yang
lebih kecil dan tidak terlalu signifikan. Sedangkan model UCT
menunjukkan adanya trend pertumbuhan yang lebih membentuk sprawl
pada zona ini. Struktur kawasan urban pada model UCT dan RTR
menunjukkan pola fringe dan corridor (dengan pusat pada perkotaan
cianjur) sedangkan pada model BAU menunjukkan pola struktur dispersed.
70

Selain itu, pola ekspansi dari kedua zona perkotaan juga lebih terlihat
dampaknya pada zona ini. Di mana secara keseluruhan, pola ekspansi
menunjukkan akan terhubungnya perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur,
serta menunjukkan adanya kecenderungan ekspansi ke arah timur dari
perkotaan Cianjur. Hal ini menunjukkan pengaruh konurbasi JBMUR pada
koridor Cianjur ini, di mana dari barat terdapat dorongan ekspansi dari
Metropolitan Jakarta dan dari timur terdapat dorongan ekspansi dari
Metropolitan Bandung.

Gambar 50 Urban Form Zona 3


• Zona 4 (Perdesaan)
Zona 4 pada dasarnya bukanlah merupakan suatu kawasan perkotaan, dan
memiliki karakteristik rural. Namun, yang dimaksud dengan urban pada
zona ini adalah pusat-pusat permukiman di kawasan perdesaan ini, sehingga
urban form lebih dimaksudkan untuk menjelaskan bentuk dari pusat-pusat
permukiman tersebut. Trend urban form pada zona ini tidak menunjukkan
banyak perubahan di mana pusat-pusat permukiman tersebut memiliiki pola
sprawl dan dispersed di mana tidak terdapat cukup banyak ekspansi yang
terjadi.
Model-model yang dihasilkan pada zona ini juga tidak menunjukkan banyak
perubahan kecuali pada model BAU, di mana terdapat kecenderungan
perubahan yang semakin menuju sprawl dan dispersed dengan pola
ekspansi acak. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan variabel fragmentasi
secara signifikan. Model RTR juga menunjukkan adanya pola sprawling
yang sama dengan BAU namun dengan tingkatan yang lebih rendah.

Gambar 51 Urban Form Zona 4


71

Dalam konteks urban form, keempat zona di wilayah Cianjur Utara memiliki
karakteristiknya masing-masing sehingga memberikan insight yang lebih detail
daripada ketika analisis dilakukan pada wilayah Cianjur Utara secara keseluruhan.
Trend dan model perubahan penggunaan mempengaruhi karakteristik urban form
wilayah Cianjur Utara dengan cukup beragam:
• Model BAU (Business as Usual) mengarahkan wilayah Cianjur Utara untuk
menjadi suatu wilayah yang lebih contiguous dengan struktur linear melalui
kecenderungan penyatuan dua kawasan urban utamanya. Namun pola ini
hanya berlaku untuk bagian tengah dan barat dari wilayah Cianjur Utara,
sedangkan pada bagian utara, timur, dan selatan terbentuk pola sprawl
dispersed akibat tidak dibatasinya pertumbuhan kawasan urban.
• Model RTR (Rencana Tata Ruang) memberikan pola yang serupa dengan
model BAU, dengan tingkat pertumbuhan kawasan urban yang lebih
terkendali sehingga konversi kawasan non-urban juga dapat dibatasi. Pola
perkembangan kawasan urban utama pada model RTR terletak pada kawasan
perkotaan Cianjur dan kawasan sekitarnya yang membentuk compact urban
dengan struktur fringe pada kawasan peri-urban di sekitarnya. Selain itu,
bentuk struktur linear juga lebih dipertahankan pada kawasan perkotaan
Puncak-Cipanas dengan kecenderungan menyatu dengan perkotaan Cianjur
secara continuous mengikuti jaringan transportasi.
• Model UCT (Urban Containment) mengarahkan tekanan pertumbuhan
kawasan urban kepada dua zona perkotaan utama, sehingga terbentuk form
yang compact dan clustered dengan dua pusat tersebut. Pertumbuhan diluar
dua zona perkotaan utama pada model UCT dapat terbatasi dengan baik,
dengan kecenderungan pertumbuhan di cluster barat serupa dengan kedua
model lainnya.

(i) corridor urban (ii) compact urban (iii) linear urban

(iv) dispersed urban (v) fringe urban


Gambar 52 Jenis Urban Structure
sumber: Pradhan, 2017

Peran model dan skenario penggunaan lahan dalam urban form adalah
sebagai suatu metode intervensi dan perencanaan terhadap trend urban growth di
wilayah tersebut, di mana perencanaan sangat menentukan urban growth dan form
di masa depan (Rydin, 2011; Deng et al., 2018) serta menentukan kemampuan kita
dalam merencanakan strategi atau skenario dalam memanfaatkan growth tersebut,
72

maupun untuk mencegahnya terjadi (Herold et al., 2003). Model BAU dalam case
ini akan menuntut tingginya respons dan kapasitas pemerintah dalam
mengakomodasi pertumbuhan kawasan urban yang terjadi, mulai dari kebutuhan
infrastruktur dasar, jaringan transportasi, serta strategi perencanaan yang diperlukan
mengingat elemen business as usual di wilayah Cianjur Utara memiliki dinamika
yang sangat tinggi, serta diperlukan pemahaman terkait threshold atau daya dukung
wilayah dalam memfasilitasi pertumbuhan tersebut. Model RTR pada wilayah
Cianjur Utara tercermin dalam perencanaan yang berlaku di wilayah ini, yaitu
RTRW Kabupaten Cianjur. Beberapa adjustment yang perlu dilakukan dalam
rencana ini adalah perlunya perhatian lebih dalam merencanakan pemanfaatan
lahan pada zona perkotaan Puncak-Cipanas dan koridornya menuju perkotaan
Cianjur. Model UCT akan mendorong perlunya pengaturan zonasi yang lebih
matang pada kedua zona perkotaan untuk mempertahankan ke-compact-an kedua
zona perkotaan tersebut. Selain itu, untuk mendukung pembatasan wilayah
perkotaan pada kedua zona tersebut diperlukan suatu kawasan lindung atau green
belt di sekeliling kawasan perkotaan tersebut. Di mana green belt dapat berupa
lahan pertanian berkelanjutan untuk meminimalisir terjadinya konversi lahan
pertanian di wilayah Cianjur Utara.

Ekspansi Perkotaan Cianjur Utara


Ekspansi perkotaan merupakan salah satu konsekuensi dari perkembangan
wilayah, di mana ekspansi tersebut dapat terjadi melalui berbagai pola dan
diakibatkan oleh faktor pendorong yang berbeda-beda. Wilayah Cianjur Utara
berdasarkan posisi geografisnya berperan sebagai salah satu koridor konurbasi
JBMUR (Jakarta-Bandung Mega Urban Region), di mana trend ekspansi
perkotaannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan dinamika pada kedua
wilayah metropolitan tersebut. Selain itu, Cianjur juga memiliki faktor pendorong
ekspansi dari dalam wilayah itu sendiri. Sehingga apabila digabungkan, terdapat
tiga faktor utama penyebab ekspansi perkotaan yang terjadi di wilayah Cianjur
Utara, yaitu:
• Ekspansi oleh metropolitan Jabodetabekpunjur
Ekspansi oleh metropolitan Jabodetabekpunjur merupakan faktor pendorong
ekspansi perkotaan terbesar yang terdapat di wilayah Cianjur Utara. Ekspansi
inilah yang mendorong terbentuknya perkotaan Puncak-Cipanas, di mana
pada rencana tata ruang sebelumnya, perkotaan Puncak-Cipanas masih
direncanakan sebagai kawasan lindung dan pertanian bukan sebagai kawasan
perkotaan. Setelah terbentuk perkotaan Puncak-Cipanas, faktor ekspansi ini
mendorong terjadinya ekspansi perkotaan lebih jauh ke timur menuju
perkotaan Cianjur dalam suatu pola continuous edge expansion yang
mengarah kepada terhubungnya perkotaan Puncak-Cipanas dan Cianjur.
• Ekspansi oleh metropolitan Bandung
Metropolitan Bandung mempengaruhi terjadinya ekspansi perkotaan di
wilayah Cianjur Utara pada bagian timur. Namun, dorongan ekspansi ini tidak
sebesar ekspansi oleh Jabodetabekpunjur dengan pola yang sama, yaitu
continuous edge expansion.
• Ekspansi oleh perkotaan Cianjur
Seiring perkembangan wilayahnya, perkotaan Cianjur telah menjadi faktor
pendorong tersendiri dengan arah ekspansi menuju ke arah selatan. Ekspansi
73

ini terjadi tidak hanya berdasarkan faktor pendorongnya, tetapi juga didukung
oleh instrumen perencanaan yang ada sehingga menyebabkannya menjadi
suatu planned expansion untuk mendorong konektivitas dan aksesibilitas
yang lebih baik pada wilayah Cianjur Selatan.
Model-model yang telah disusun sebelumnya juga mempengaruhi bagaimana
ekspansi yang terjadi apabila model tersebut menjadi acuan untuk mengembangkan
wilayah Cianjur Utara. Model RTR dan UCT menunjukkan pola ekspansi yang
berupa edge expansion dan infilling pada kawasan urban yang telah ada. Sedangkan
pada model BAU, ekspansi yang terjadi adalah pola edge expansion, infilling, dan
outlying di mana terbentuk kawasan-kawasan urban baru membentuk sprawl.

Gambar 53 Perbandingan Urban Expansion Cianjur Utara


Dalam merencanakan atau mengarahkan dorongan pertumbuhan kawasan
urban, dapat dilakukan melalui beberapa pola, yaitu: Compaction, Dispersal, dan
Planned Expansion. Compaction merupakan bentuk pengembangan dengan
melakukan pemusatan intensitas kegiatan di downtown urban dan suburban,
peningkatan aksesibilitas melalui transportasi publik. Pola ini pada akhirnya akan
mampu mengurangi biaya transportasi dan emisi karbon, meningkatkan
aksesibilitas, social diversity, dan urban vitality. Pola Dispersal merupakan
kebalikan dari pola compaction, di mana intensitas dan kepadatan kegiatan pada
kawasan perkotaan berkurang, tidak terdapat keterbatasan pada sumberdaya lahan,
dan manajemen lahan dilakukan oleh pasar. Pola ini diharapkan mampu
mengurangi biaya hidup, tenaga kerja, dan produksi, serta mampu menghasilkan
wilayah polycentric yang lebih beragam. Pola terakhir adalah planned expansion
74

yang merupakan gabungan dari kedua pola diatas, di mana ekspansi yang terjadi
dikendalikan oleh pembuat kebijakan. Pola ini pada akhirnya akan mampu
mengoptimalkan kedua keuntungan pada kedua pola pengembangan diatas.

Gambar 54 Ilustrasi Pola Urban Expansion


sumber: Forman, 1995; Echenique et al., 2012

Implikasi dan Rekomendasi Terhadap Kebijakan Penataan Ruang


Kabupaten Cianjur

Implikasi Urban Form dan Ekspansi Perkotaan terhadap Kebijakan Penataan


Ruang
Pola urban form dan ekspansi yang terjadi pada wilayah Cianjur Utara
menunjukkan pola yang cenderung semakin compact pada dua zona perkotaan
utama. Ekspansi pada zona perkotaan berlanjut pada zona peri-urban, terutama
pada area yang berbatasan dengan zona perkotaan membentuk struktur fringe.
Namun diluar zona perkotaan terdapat pola yang berbeda di mana secara trend
terjadi kecenderungan sprawling dan dispersed dengan pola perkembangan
kawasan urban terjadi secara leapfrog. Sehingga zona peri-urban dan perdesaan
mengalami pertumbuhan kawasan urban atau kawasan terbangun yang berpotensi
membentuk urban sprawl apabila trend tersebut tidak dikendalikan.
Trend seperti ini menunjukkan ketidak-efektifan kebijakan penataan ruang
dalam mengendalikan pemanfaatan ruang di wilayah Cianjur Utara, yang
merupakan hinterland dari metropolitan Jabodetabekpunjur. Karakteristik
landscape pada wilayah Cianjur Utara menunjukkan adanya fenomena chaotic land
use, yaitu terdapatnya mix-use antara penggunaan lahan urban dan rural yang dapat
mengakibatkan sulitnya penyediaan dan pelayanan infrastruktur serta aktifitas
pertanian yang tidak efisien (Yokohari et al., 2000; Sorensen dan Okata, 2011).
Kebijakan penataan ruang Kabupaten Cianjur terlihat tidak mampu menjadi
instrumen pengendalian ekspansi perkotaan, di mana pada RTRW Kabupaten
Cianjur tahun 2005-2015 perkotaan Puncak-Cipanas belum direncanakan sebagai
75

kawasan perkotaan sedangkan pada RTRW tahun 2011-2031 telah direncanakan


perkotaan Cipanas sebagai salah satu PKL (Pusat Kegiatan Lokal). Hal serupa juga
tercermin dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur di mana struktur
ruang terlihat tidak terintegrasi dengan pola ruangnya (dalam kasus wilayah
Kabupaten Cianjur). Pada rencana struktur ruang tersebut Kawasan Puncak-
Cipanas direncanakan bukan sebagai kawasan perkotaan, namun sebagai kawasan
penyangga dengan fungsi kawasan lindung dan pertanian-perkebunan. Sementara
dalam rencana pola ruang, sebagian besar peruntukan pada kawasan tersebut adalah
untuk lahan permukiman kepadatan tinggi dan sedang. Pada RTRW Kabupaten
Cianjur tahun 2011-2031, terjadi hal yang berkebalikan di mana dalam rencana
struktur ruang disebutkan bahwa kawasan Cipanas direncanakan sebagai perkotaan
dengan fungsi utama mendukung aktifitas pariwisata. Sedangkan pada rencana pola
ruang tidak terdapat peruntukan kawasan urban.
Ketidak-sinkronan kebijakan penataan ruang, baik dalam skala yang berbeda
maupun pada skala perencanaan yang sama, yang menyebabkan ketidakmampuan
kebijakan penataan ruang ini dalam mengendalikan atau merencanakan berbagai
faktor pendorong perubahan urban form dan ekspansi di wilayah Cianjur Utara.
Apabila kebijakan perencanaan tidak mampu mengakomodasi perubahan yang
terjadi, maka perkembangan urban form dan terjadinya ekspansi akan membawa
berbagai permasalahan baru yang menyangkut sektor pertanian (Yokohari et al.,
2000; Forsyth, 2014; Xu et al., 2019), perubahan struktur perekonomian (Aguilar
dan Ward, 2003; Liu et al., 2014), akulturasi dan perubahan sistem sosial (Jones,
2005; Trân et al., 2012) , serta keberlanjutan wilayah (Wheeler, 2010; Sorensen dan
Okata, 2011; Kawakami et al., 2013)

Rekomendasi Terhadap Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten Cianjur


dalam Mengarahkan Growth dan Expansion Wilayah Cianjur Utara
Perkembangan wilayah Cianjur Utara menghadapi berbagai tantangan yang
disebabkan oleh urban growth dan ekspansi yang terjadi, serta akibat
ketidakmampuan instrumen perencanaan dalam mengakomodasi maupun
memprediksi laju pertumbuhan wilayah fringe atau hinterland dari metropolitan
Jabodetabekpunjur. Terlebih lagi, dengan adanya fenomena konurbasi dengan
metropolitan Bandung membentuk JBMUR juga membuat wilayah Cianjur Utara
sebagai salah satu koridor utama mengalami pertumbuhan yang lebih besar. Trend
perkembangan urban form di wilayah Cianjur utara menunjukkan adanya
kecenderungan form yang lebih compact dan contiguous atau terkoneksi. Namun,
trend tersebut apabila dilihat dalam perspektif yang lebih detail menunjukkan
bahwa terdapat beberapa titik yang mengalami sprawl yang tidak terkendali,
terutama pada zona peri-urban dan perdesaan. Trend tersebut menyebabkan
terdapatnya ancaman terhadap lahan non-urban (terutama lahan pertanian) yang
semakin terfragmentasi dan mampu menurunkan efisiensi aktifitas pertanian
(Yokohari et al., 2000). Selain itu, pertumbuhan yang tidak terkendali dan
menyebabkan terjadinya chaotic land use juga menimbulkan tekanan terhadap
penyediaan infrastruktur dan keberlanjutan wilayah (Sorensen dan Okata, 2011)
juga dapat menjadi tantangan tersendiri dalam merencanakan wilayah ini
kedepannya.
Upaya perencanaan spasial yang telah dilakukan pada wilayah ini utamanya
dilakukan dalam 2 teknis utama, yaitu melalui zoning dan perencanaan struktur
76

ruang. Zoning yang direpresentasikan oleh rencana pola ruang bertujuan untuk
memberikan pengaturan secara spasial yang lebih jelas dalam perkembangan
kawasan urban sehingga mampu mensegregasikan kawasan urban dan rural
(Yokohari et al., 2000). Dalam skala yang lebih luas, zoning yang diterapkan untuk
Kabupaten Cianjur dalam metropolitan Jabodetabekpunjur adalah untuk menjadi
kawasan penyangga dan greenbelt dari urban core Jakarta dan beberapa outer zone
lainnya (Bogor dan Bekasi). Sedangkan pada rencana struktur ruang, Kabupaten
Cianjur direncanakan menjadi 3 wilayah pengembangan (WP), yaitu: WP Utara,
WP Tengah, dan WP Selatan. WP Utara ditetapkan sebagai pusat kegiatan wilayah
dan sebagai kawasan perkotaan dengan Kecamatan Cianjur dan Cipanas sebagai
pusatnya.
Kegagalan perencanaan pada wilayah Cianjur Utara terletak pada ketidak-
sinkronan dua antara zoning dan struktur ruangnya. Di mana perkotaan Cipanas
tidak dialokasikan dalam zoning sedangkan arahan pada struktur ruang adalah untuk
mengembangkan perkotaan Cipanas dan kecamatan di sekitarnya sebagai
pendukung. Selain itu, kemungkinan penggabungan dua zona perkotaan juga tidak
diperhitungkan dalam perencanaan Kabupaten Cianjur. Sehingga penyediaan
infrastruktur, perlindungan kawasan pertanian, dan upaya-upaya pembatasan atau
containment terhadap pertumbuhan urban tersebut tidak terakomodasi sehingga
terbentuklah chaotic land use sebagai dampaknya.
Berbagai wilayah Mega-Urban dan Metropolitan di negara-negara lain
melakukan upaya perencanaan yang berbeda-beda berdasarkan pola pertumbuhan,
batasan, dan tantangan yang dihadapinya. Perbedaan yang mendasar dengan
perencanaan di wilayah Mega-Urban di Indonesia terletak pada pertimbangan
terhadap urban form, meliputi kepadatan, urban structure, karakteristik/cluster
wilayah, serta pola ekspansi yang direncanakan. Berikut perbandingan kebijakan
perencanaan Mega-Urban dan wilayah sekelilingnya pada beberapa negara:
• Tokyo, Jepang (Okazawa dan Murakami, 2017; Perez et al., 2019)
Dalam merencanakan perkembangan kawasan perkotaan, terutama pada
Metropolitan dan Mega-Urban Region, Jepang melakukan pengelompokan
atau clustering berdasarkan kondisi sosial-ekonominya tanpa memperhatikan
batasan administratif. Selain itu, perkembangan kawasan perkotaan dilakukan
secara compact dengan intensitas pembangunan difokuskan pada kawasan
perkotaan yang telah ditentukan. Pembatasan ekspansi perkotaan dilakukan
tidak melalui skenario greenbelt, namun pembatasan dilakukan berdasarkan
prinsip transit-oriented development (TOD) di mana infrstruktur transportasi
dan zonasi di wilayah sekitarnyalah yang menjadi buffer area atau pembatas
ekspansi perkotaan. Pada sisi governance, untuk menghindari terjadinya
konflik kepentingan maka pengelolaan cluster urban dibedakan dengan
wilayah rural maupun peri-urban-nya, dengan agenda dan batasan yang jelas
diantara kedua sistem governance tersebut.
• Seoul, Korea (Kim dan Choe, 2011)
Perencanaan wilayah Mega-Urban Seoul memberikan fokus terhadap urban
structure-nya. Seoul menganut struktur urban corridor dengan pola grid,
dengan greenbelt untuk membatasi wilayah urban-nya. Seiring dengan
tumbuhnya tekanan urban growth yang melebihi batas greenbelt dan
peningkatan kepadatan yang terlalu tinggi. Seoul ber-aglomerasi dengan
wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga membentuk kota polycentric dengan
77

10 sub-pusat yang masing-masing dibatasi oleh greenbelt dan terhubung oleh


sistem transportasi yang terintegrasi. Strategi tersebut ditujukan untuk
mengurangi kepadatan pada urban core serta untuk pemerataan pertumbuhan
di wilayah sekitarnya. Kawasan hinterland di sekitar pusat-pusat perkotaan
tersebut diarahkan sebagai wilayah pendukung kegiatan masing-masing
pusatnya, dengan pola ekspansi yang bersifat linear dan continuous.
• Toronto dan Portland, Kanada (Wheeler, 2010)
Perencanaan pada wilayah Greater Toronto memiliki karakteristik struktur
nodes-and-corridor, di mana struktur tersebut mengakomodasi kultur
automobile suburb. Sehingga perkembangan wilayah tersebut membentuk
sprawl dan dispersed yang direncanakan dengan satu pusat utama dan
pertumbuhan yang diarahkan secara linear dan corridor searah dengan
jaringan transportasi yang tersedia. Yang dimaksud dengan planned sprawl
dalam konsep ini adalah dengan tetap memberikan batasan atau limit of urban
growth, sehingga kawasan pertanian, hutan, dan lahan non-urban lainnya
direncanakan diluar limit tersebut dan terhindar dari konversi yang tidak
terkendali.
• Ho Chi Minh, Vietnam (Tran et al., 2012)
Untuk mempermudah perencanaan dan pengaturan wilayah perkotaan dan
hinterland-nya, dilakukan zonasi dengan 3 kategori utama yaitu:
Inner-City: Merupakan urban core yang telah sepenuhnya didominasi oleh
penggunaan lahan urban dan menjadi pusat-pusat pelayanan wilayah.
Pengembangan pada zona ini lebih difokuskan pada peningkatan pelayanan
infrastruktur, transportasi, dan penyediaan green open space yang tersebar di
zona tersebut.
Urbanized (peri-urban) Area: Memiliki karakteristik desakota atau half-
urban half-rural. Zona ini mengakomodasi seluruh ekspansi yang terjadi
dengan form yang compact dan pola planned expansion berbentuk edge
expansion. Zona ini dapat dikategorikan sebagai zona control, di mana
peraturan zonasi dan pengawasan pemanfaatan ruang dikendalikan dengan
lebih ketat.
Suburb dan Rural: Zona ini memiliki karakteristik dominasi rural dan
aktifitas utama pada sektor pertanian. Zona ini menjadi limit of growth dari
Mega-Urban Ho Chi Minh di mana prioritas pengembangan lebih difokuskan
untuk mempertahankan kawasan pertanian.
Untuk menyusun rekomendasi terhadap kebijakan penataan ruang, diperlukan
pemahaman terkait limit atau daya dukung wilayah, serta memahami bahwa
pertumbuhan terjadi sangat cepat dan tidak mampu diakomodasi dengan baik oleh
kebijakan penataan ruang dan pola pengelolaan saat ini. Perencanaan merupakan
instrumen keberlanjutan dan tata kelola wilayah, terutama pada wilayah hinterland
seperti pada Cianjur Utara. Sehingga, konversi lahan rural-urban yang
diprediksikan terjadi harus diiringi dengan pertimbangan ekonomi, sosial, dan
lingkungannya. Perencanaan yang disusun juga harus realistis, dalam artian
mempertimbangkan trend yang terjadi sehingga mampu membatasi perkembangan
yang bersifat organic dan tidak teratur. Kebijakan perencanaan Indonesia terutama
pada wilayah Cianjur Utara belum mampu mempertimbangkan perubahan form dan
pola-pola ekspansi yang mungkin terjadi, sehingga kebijakan zoning yang
dilakukan hanya berdasarkan alokasi lahannya. Oleh karena itu, suatu insight baru
78

diluar konteks zonasi diperlukan untuk mampu mengendalikan pola pertumbuhan


dan urban form-nya menjadi lebih sustainable.
Arahan atau rekomendasi untuk wilayah Cianjur Utara sebagai suatu wilayah
pengembangan (WP) dapat dimulai dengan melakukan zonasi lebih lanjut sebagai
penjabaran dari rencana struktur ruang. Rencana struktur ruang selama ini hanya
menyebutkan simpul pusatnya yang berbasis kecamatan, sementara tidak terdapat
jangkauan atau zonasi wilayah yang pasti dalam arahan pengembangannya.
Sementara dalam praktek zonasi pola ruangnya, rekomendasi terhadap kebijakan
terletak pada pembatasan atau pengaturan pola perkembangan urban dalam konteks
urban form yang meliputi berbagai indikator urban form (density, continuity,
fragmentation, shape/irregularity). Secara umum, model perubahan penggunaan
lahan yang akan lebih optimal apabila diterapkan sebagai suatu instrumen
pengendalian pertumbuhan perkotaan wilayah Cianjur Utara adalah model Urban
Containment (UCT). Hal ini disebabkan karena model tersebut mampu
mengakomodasi berbagai force of urban expansion dari wilayah Cianjur Utara
dengan tetap mempertahankan sejauh apa pertumbuhan lahan terbangun terjadi.
Rekomendasi tersebut dapat dicapai secara optimal ketika di-detailkan
berdasarkan zonasi yang telah dihasilkan sebagai berikut:
• Zona Perkotaan 1 (Puncak-Cipanas)
Perkotaan Puncak-Cipanas sebagai zona perkotaan baru masih memiliki
penggunaan lahan yang bersifat mixed, di mana masih cukup banyak terdapat
penggunaan lahan non-urban dan kawasan hutan lindung di dalamnya.
Arahan pengembangan terhadap zona ini adalah untuk pengendalian
pertumbuhan kawasan urban menjadi lebih berstruktur linear dan continuous
corridor urban dan tidak ekspansif ke arah radial dikarenakan terdapat
kawasan hutan lindung di sekitarnya. Untuk mendukung arahan ini, model
penggunaan lahan UCT menjadi opsi yang lebih optimal dan perlu didukung
dengan pengembangan infrastruktur transportasi untuk mengakomodasi
pertumbuhan yang terjadi.
• Zona Perkotaan 2 (Perkotaan Cianjur)
Perkotaan Cianjur yang merupakan urban core dari Kabupaten Cianjur juga
berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan wilayah. Arahan
pengembangan terhadap zona ini adalah untuk menjadi pusat perkotaan yang
lebih compact dan connected dengan pemusatan intensitas ekspansi pada zona
ini. Arahan compact pada zona ini perlu didukung pula dengan peningkatan
kualitas infrastruktur dan jaringan transportasi untuk meningkatkan
konektivitas antar wilayah serta meminimalisir cost dari transportasi. Untuk
mendukung arahan ini pada sisi pola ruang dan alokasi ruang, model UCT
akan menjadi opsi yang lebih baik mengingat pertumbuhan dari arah barat
dan timur akan membentuk koridor konurbasi Jakarta-Bandung yang juga
perlu didukung oleh pengendalian-pengendalian yang lebih memadai,
sehingga arah ekspansi dapat diarahkan pada koridor tersebut.
• Zona Peri-urban
Zona peri-urban memiliki karakteristik penggunaan lahan yang bersifat
mixed dengan dominasi lahan pertanian-perkebunan serta trend pertumbuhan
urban yang bersifat sprawling. Arahan untuk zona ini adalah untuk
memusatkan dan membatasi ekspansi perkotaan yang terjadi pada zona ini ke
arah barat menuju koridor perkotaan Cipanas-Cianjur, sehingga secara
79

keseluruhan urban form pada zona ini memenuhi kriteria contiguous


(berkembang dari perkotaan pusat), connected (terhubung dengan kedua
perkotaan melalui koridor planned expansion didukung dengan infrastruktur
transportasi), dan diverse (mixed land-use). Untuk mencapai arahan tersebut,
model UCT lebih tepat untuk diterapkan dengan pembatasan ekspansi dapat
dilakukan melalui skenario greenbelt di mana lahan pertanian berkelanjutan
berperan sebagai greenbeltnya.
• Zona Perdesaan
Zona perdesaan didominasi oleh kawasan pertanian-perkebunan dengan lahan
terbangun di dalamnya merupakan pusat permukiman perdesaan dengan
kepadatan rendah. Oleh karena itu, arahan pada zona ini ditujukan untuk
memenuhi kriteria ecological dalam kerangka sustainable urban form.
Skenario greenbelt serupa dengan pada zona peri-urban dapat diterapkan
pada kawasan pertanian yang berbatasan dengan zona perkotaan melalui
kebijakan LP2B. Pada zona ini, model yang lebih tepat untuk diterapkan
dalam konteks alokasi dan pola ruang adalah model UCT, di mana pusat-pusat
permukiman perdesaan dipertahankan dengan membatasi pertumbuhan yang
terjadi, serta lahan pertanian-perkebunan dipertahankan dan difungsikan
sebagai greenbelt.
80

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kabupaten Cianjur, terutama wilayah Cianjur Utara merupakan koridor


konurbasi JBMUR, di mana pada bagian barat berbatasan dengan metropolitan
Jabodetabekpunjur dan pada bagian timur berbatasan dengan metropolitan
Bandung. Posisi ini menjadikan wilayah Cianjur Utara sebagai wilayah hinterland
dari Mega-Urban dengan dinamika yang sangat tinggi. Namun, dinamika ini tidak
mampu diakomodasi dengan baik oleh kebijakan perencanaan yang terdapat di
dalamnya di mana kurangnya sinkronisasi dan integrasi antar tingkatan
perencanaan (Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur dan RTRW Kabupaten
Cianjur) dan kurangnya integrasi antar teknis perencanaan (pola ruang dan struktur
ruangnya). Ketidakmampuan kebijakan perencanaan tersebut menyebabkan
semakin terdapatnya ketimpangan pembangunan wilayah di bagian utara
Kabupaten Cianjur yang diiringi dengan pertumbuhan kawasan urban yang tidak
terkendali.
Berdasarkan karakteristik fisik, sosial-ekonomi, dan demografi wilayahnya,
wilayah Cianjur Utara dapat ditipologikan menjadi 4 zona melalui pendekatan
quantitative zoning method. Zona 1 (Perkotaan Puncak-Cipanas) merupakan zona
perkotaan baru dengan karakteristik yang masih cukup mixed dan merupakan suatu
dampak dari tekanan urban expansion Jabodetabekpunjur. Zona 2 (Perkotaan
Cianjur) merupakan zona perkotaan utama di Kabupaten Cianjur yang berperan
sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan wilayah. Zona 3 (Peri-urban)
merupakan zona antara dengan karakteristik half-urban half-rural dan memiliki
tingkat konversi penggunaan lahan yang tinggi akibat berlanjutnya ekspansi dari
Jabodetabekpunjur, ekspansi dari metropolitan Bandung, serta ekspansi dari
perkotaan Cianjur sendiri. Zona 4 (Perdesaan) terletak di bagian utara wilayah
penelitian yang merupakan zona dengan karakteristik rural, didominasi oleh sektor
pertanian dan tidak terdapat perubahan penggunaan lahan yang signifikan.
Trend perubahan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Cianjur terutama
disebabkan oleh ekspansi dari Jabodetabekpunjur, metropolitan Bandung, dan
perkotaan Cianjur itu sendiri; dengan arah ekspansi pada barat, timur, dan selatan
wilayah penelitian. Trend tersebut menyebabkan pola perkembangan wilayah yang
bersifat sprawling pada zona peri-urban dan perdesaan, sedangkan pada zona
perkotaan menunjukkan trend semakin compact dan terjadi continuous expansion
membentuk radial urban structure. Trend perubahan penggunaan lahan yang
terjadi pada wilayah ini menunjukkan terjadinya konversi yang cukup signifikan
pada lahan pertanian-perkebunan untuk menjadi lahan terbangun, di mana
fragmentasi lahan pertanian dapat menurunkan efektifitasnya secara signifikan.
Berdasarkan trend tersebut, disusun beberapa model dengan skenario atau
rules yang berbeda untuk dapat diadopsi dalam rekomendasi kebijakan perencanaan
Kabupaten Cianjur. Model BAU (Business as Usual) mempertegas dorongan
ekspansi dari ketiga sumber ekspansi perkotaan di Cianjur Utara. Pertumbuhan
lahan terbangun terlihat paling massif pada model ini, dengan pola perkembangan
urban form yang dibawanya menuju pola compact pada zona 2, radial dan irregular
pada zona 1 dan membentuk pola sprawling dan dispersed yang semakin tegas pada
81

zona-zona non-perkotaan. Model UCT (Urban Containment) menunjukkan adanya


rules pembatasan pertumbuhan kawasan urban pada zona-zona non perkotaan, di
mana keseluruhan dorongan ekspansi dipusatkan pada kedua zona perkotaan. Pola
perkembangan urban form yang ditunjukkan oleh model ini adalah semakin
compact pada zona-zona perkotaan, perkembangan linear continuous dengan pola
fringe dan corridor pada zona peri-urban, serta kondisi yang relatif stagnan pada
zona perdesaan. Model RTR (Rencana Tata Ruang) memiliki rules sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku di mana model yang dihasilkan menunjukkan pola
yang relatif serupa dengan model BAU dengan intensitas yang lebih rendah.
Perkembangan urban form yang ditunjukkan pada model ini pada zona 1
menunjukkan perkembangan linear dan comact, pada zona 2 menunjukkan
perkembangan continuous, pada zona peri-urban menunjukkan perkembangan
fringe dan continuous, serta pada zona perdesaan menunjukkan pola sprawling
serupa dengan model BAU.
Rekomendasi terhadap kebijakan perencanaan Kabupaten Cianjur terletak
pada instrumen teknis perencanaannya, yaitu rencana struktur ruang dan pola ruang.
Rekomendasi untuk struktur ruang wilayah Cianjur Utara adalah dengan
menerapkan 4 zonasi berdasarkan karakteristik wilayah, dengan tujuan untuk
memberikan batasan yang lebih definitif terhadap arahan yang diberlakukan.
Sementara rekomendasi untuk alokasi dan pola ruang dilakukan berdasarkan
kerangka sustainable urban form, model yang paling optimal untuk dinamika
spasial wilayah Cianjur Utara adalah model urban containment (UCT). Melalui
model ini, pengendalian dan pembatasan pertumbuhan kawasan urban akan
dilakukan dengan lebih definitif pada zona-zona perkotaannya. Rekomendasi lebih
detail selanjutnya diberlakukan arahan kepada tiap zona. Untuk zona 1 diarahkan
form yang linear dan continuous/connected dengan tetap mempertahankan
karakteristik pertanian dan kawasan lindung. Zona 2 diarahkan untuk menjadi lebih
compact dan connected dengan zona-zona lainnya (membentuk urban corridor
dengan pengendalian ekspansi yang lebih baik). Zona 3 diarahkan untuk menjadi
zona perantara melalui planned expansion dan continuous/contiguous expansion, di
mana lahan pertanian berkelanjutan di sekitarnya berperan sebagai pembatas
pertumbuhan urban. Zona 4 diarahkan sebagai fungsi ecological dari sustainable
urban form sehingga zona ini menjadi zona pembatas pertumbuhan urban dengan
penetapan lahan pertanian berkelanjutan. Rekomendasi ini diharapkan mampu
sebagai pertimbangan dalam kebijakan perencanaan Kabupaten Cianjur saat ini
untuk mampu lebih mengakomodasi pertumbuhan wilayah Kabupaten Cianjur
sebagai koridor konurbasi JBMUR.

Saran

Penelitian ini diharpakan mampu menjadi salah satu pertimbangan dan insight
baru dalam perencanaan wilayah Cianjur Utara sebagai hinterland dan koridor
konurbasi dari JBMUR. Beberapa saran terhadap kekurangan penelitian ini untuk
dijadikan acuan dan perbaikan dalam melakukan penelitian selanjutnya antara lain:
• Analisis spatial clustering perlu mempertimbangkan variabel-variabel lain
yang mendukung pentipologian wilayah, seperti: pendapatan dan pengeluaran
masyarakat, kelembagaan desa, jenis hunian/permukiman, dan sebagainya
82

• Terdapat metode lain dalam melakukan spatial clustering oleh Rustiadi dan
Kobayashi (2000) melalui pendekatan neighborhood yang dapat dicoba dan
dibandingkan untuk menghasilkan tipologi wilayah yang lebih baik.
• Prediksi penggunaan lahan hanya mempertimbangkan faktor fisik. Untuk
penelitian kedepan dapat menggunakan variabel-variabel tambahan, terutama
pada aspek sosial-ekonomi. Di mana faktor pertumbuhan penduduk, demand
terhadap lahan, serta pertumbuhan perekonomian wilayah juga ikut
dipertimbangkan.
• Skenario rencana tata ruang tidak mampu mengalokasikan perubahan secara
spesifik sesuai dengan rencana pola ruang yang ada. Skenario pada LCM
hanya mampu menerjemahkan pada jenis arahan yang ditujukan pada tiap
unit analisis sedangkan alokasi spasialnya diatur oleh variabel-variabel
lainnya. Pada penelitian selanjutnya, ada baiknya apabila digunakan metode
lain untuk mampu menginterpretasikan arahan rencana tata ruang dengan
lebih baik dengan akurasi yang cukup besar dengan rencana pola ruangnya.
• Spatial metric dalam analisis ini hanya menyajikan hasil berupa statistik tanpa
interpretasi spasial dalam output analisisnya. Selain itu, metode ini hanya
mempertimbangkan pola penggunaan lahan dalam inputnya. Sementara untuk
mengidentifikasi urban form dengan lebih tepat perlu beberapa variabel lain,
seperti: jaringan transportasi, layout atau jenis landscape dan hubungan
dengan wilayah di sekitarnya, serta karakteristik lahan permukiman.
• Rekomendasi terhadap kebijakan perencanaan dalam kerangka sustainable
urban form dapat dievaluasi lebih lanjut efektifitasnya dengan mengukur tiap
indikator sustainable urban form tersebut untuk dapat diketahui model
penggunaan lahan yang lebih sesuai untuk diterapkan pada wilayah Cianjur
Utara.
83

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi S, Pradhan B, Al-Sharif AAA. 2017. Introduction to Urban Growth and


Expansion Dalam Pradhan B. 2017. Spatial Modeling and Assessment of
Urban Form. Cham (SW): Springer.
Adhikari S, Southworth J. 2012. Simulating Forest Cover Changes of Bannerghatta
National Park Based on a CA-Markov Model: A Remote Sensing Approach.
Remote Sensing. 4(10):3215-3243.
Angotti T. 2005. New Anti-Urban Theories of the Metropolitan Region: "Planet of
Slums" and Apocalyptic Regionalism. Kansas (US): Collegiate School of
Planners Press.
Anthony AF, Offia IE, Abidemi BR, Kamoru OKG. 2018. Urban Sustainability
Concepts and Their Implications on Urban Form. Urban and Regional
Planning. 3(1):27-33.
Arifasihati Y, Kaswanto. 2016. Analysis of Land Use and Cover Changes in
Ciliwung and Cisadane Watershed in Three Decades. Procedia
Environmental Sciences. 33(16):465 – 469.
Batty M, Xie Y, Sun Z. 1999. Modelling Urban Dynamics through GIS-Based
Cellular Automata. Computer, Environment, and Urban System. 23:205-233.
Bharath H, Chandan M, Vinay S, Ramachandra T. 2018. Modelling Urban
Dynamics in Rapidly Urbanising Indian Cities. The Egyptian Journal of
Remote Sensing and Space Sciences. 21:201-210.
Bhatta B. 2010. Analysis of urban growth and sprawl from remote sensing data.
Berlin (DE): Springer Science & Business Media.
Borsdorf A. 2004. European Cities Structure: Insights on Outskirts. Paris (FR):
Metl/Puca.
Brody SD, Kim H, Gunn J. 2013. The Effect of Urban Form on Flood Damage
along the Gulf of Mexico Coast. Journal of American Planning Association.
5:289-306.
Clarke KC, Gaydos LJ. 1998. Loose-coupling a cellular automaton model and GIS:
Long-term urban growth prediction for San Francisco and
Washington/Baltimore. International Journal of Geographical Information
Science. 12(7):699–714.
Curran-Cournane F, Vaughan M, Memon A, Fredrickson C. 2014. Trade-offs
Between High Class Land and Development: Recent and Future Pressures
Onauckland’s Valuable Soil Resources. Land Use Policy 39:146–154.
Curran-Cournane F, Cain T, Greenhalgh S. 2016. Attitudes of a Farming
Community towards Urban Growth and Rural Fragmentation - An Auckland
Case Study. Land Use Policy. 58:241-250.
Debbage NA. 2012. Quantifying Urban Form Via Spatial Metrics and Its Climatic
Implication. Athens (US): The University of Georgia.
Dempsey N, Brown C, Raman S, Porta S, Jenks M, Jones C, Bramley G. 2010.
Elements of Urban Forms. dalam Jenks M, Jones C. Dimensions of the
Sustainable Cities. Pp:21-51 London (GB): Springer.
Deng Y, Fu B, Sun C. 2018. Effects of Urban Planning in Guiding Urban Growth:
Evidence from Shenzhen, China. Cities. 83:118-128.
84

Dorodjatoen AM. 2009. The Emergence of Jakarta-Bandung Mega-Urban Region


and Its Future Challenges. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 20(3):15-
33.
Douglass M. 2000. Mega-Urban Regions and World City Formation: Globalisation,
the Economic Crisis and Urban Policy Issues in Pacific Asia. Urban Studies.
37:231-245.
Eastman JR. 2009. Idrisi Taiga Manual. Worcester (UK): Clark University.
Echenique MH, Hargreaves AJ, Mitchell G, Namdeo A. 2012. Growing Cities
Sustainably. Journal of the American Planning Association. 78:2:121-137.
Fahmi FZ, Hudalah D, Rahayu P, Woltjer J. 2014. Extended Urbanization in Small
and Medium-Sized Cities: The Case of Cirebon, Indonesia. Habitat
International. 42:1-10.
Firman T. 1998. The Restructuring of Jakarta Metropolitan Area: A “global city”
in Asia. Cities 15: 299-243.
Firman T. 2009. The continuity and change in mega-urbanization in Indonesia: A
Survey of Jakarta–Bandung Region (JBR) development. Habitat
International. 33:327-339.
Fitriani R. 2011. The Extent of Sparwl in the Fringe of Jakarta Metropolitan Area
from the Perspective of Externalities. 55th Annlual Australian Agricultural
and Resource Economics Society Conference. Melbourne (AU): University
of Sydney.
Forman RT. 1995. Land Mosaics: The Ecology of Landscapes and Regions.
Cambridge (UK): Cambridge University Press.
Forsyth A. 2014. Global Suburbia and the Transition Century: Physical Suburbs in
the Long-Term. Urban Design International. 19:259-273.
Gong J, Hu Z, Chen W, Liu Y, Wang J. 2018. Urban Expansion Dynamics and
Modes in Metropolitan Guangzhou, China. Land Use Policy. 72(2):100-109.
Gustafson EJ. 1998. Quantifying Landscape Spatial Pattern: What Is the State of
the Art. US Forest Service, 4(3):1-15.
Hagen A. 2002. Multi-Method Assessment of Map Similarity. Proceedings of the
5th AGILE Conference on Geographic Information Science:171-182.
Han J, Kamber M, Tang AKH. 2001. Geographic Datamining and Knowledge
Discovery. London (GB): Taylor and Francis.
Hargis CD, Bissonette JA, David JL. 1998. The behavior of Landscape Metrics
Commonly Used in the Study of Habitat Fragmentation. Landscape Ecology.
13(3):15-23.
Hastie T, Tibshirani R. Friedman J. 2009. The Elements of Statistical Learning:
Data Mining, Inference, and Prediction. New York (US): Springer.
Heberle LC, Opp SM. 2008. Local Sustainable Urban Development in a Globalized
World. Winchester (GB): Ashgate Publishing Ltd.
Herold M, Goldstein NC, Clarke KC. 2003. The Spatiotemporal Form of Urban
Growth: Measurement, Analysis, and Modelling. Remote Sensing of
Environment. 86:286-302.
Hersperger AM, Oliveira E, Pagliarin S, Palka G, Verburg P, Bolliger J, Grădinaru
S. 2018. Urban land-use change: The role of strategic spatial planning. Global
Environmental Change. 51:32-42.
Hudalah D, Firman T. 2012. Beyond Property: Industrial Estates and Post-Suburban
Transformation in Jakarta Metropolitan Region. Cities. 29:40-48.
85

Hudalah D, Woltjer J. 2007. Spatial Planning System in Transitional Indonesia.


international Planning Studies. 12(3):291-303.
Igić M, Mitković P, Dinić-Branković M, Đekić J, Mitković M. 2017. Spatial and
Functional Structure of Rural Settlements in Municipalities of Niš. Facta
Universitatis - Series: Architecture and Civil Engineering. 15(1):85-101.
Jia Y, Tang L, Xu M, Yang X. 2019. Landscape Pattern Indices for Evaluating
Urban Spatial Morphology – A Case Study of Chinese Cities. Ecological
Indicators. 99:27-37.
Kawakami M, Shen Z, Pai JT, Gao XS, Zhang M. 2013. Spatial Planning and
Sustainable Development: Approaches for Achieving Sustainable Urban
Form in Asian Cities. New York (US): Springer.
Kim H. 2013. Examining the Impact of Spatial Development Patterns on Regional
Heat Island Effect In Metropolitan Regions of The United States. Texas (US):
Texas A&M University.
Kim KJ, Choe SC. 2011. In Search of Sustainable Urban Form for Seoul. Dalam
Sorensen A, Okata J. 2011. Megacities: Urban Form, Governance, and
Sustainability. Tokyo (JP): Springer.
Kling R, Olin S, Poster M. 1991. Postsuburban California: The Transformation of
Orange County since World War II. Berkeley (US): University of California
Press.
LaGro J. 1991. Assessing Patch Shape in Landscape Mosaics. Photogrammetric
Engineering and Remote Sensing. 57(3):285-293.
Lambin FE, Turner BL, Geist HJ, Agbola SB, Angelsen A, Bruce JW, Coomes OT,
Dirzo R, Fischer G, Folke C et al. 2001. The causes of Land-Use and Land-
Cover Change: Moving Beyond the Myths. Global Environmental Change.
11:261-269.
Lambin EF, Geist HJ. 2006. Land-Use and Land-Cover Change. Local processes
and Global Impacts. Berlin (DE): Springer-Verlag.
Magidi J, Ahmed F. 2018. Assessing Urban Sprawl Using Remote Sensing and
Landscape Metrics: A Case Study of City of Tshwane, South Africa. The
Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences. 21(3):241-253.
Marinescu IE, Ayram S. 2012. Evaluation of Urban Fragmentation in Craiova City,
Romania. Landscape, Environment, European Identity. 14(5):207-215.
McGarigal K, Marks BJ. 1995. FRAGSTATS: Spatial Pattern Analysis Program for
Quantifying Landscape Structure. Corvallis (US): United States Department
of Agriculture.
McGee T. 1991. The Emergence of Desakota Regions in Asia: Expanding a
Hypothesis. The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. 12(7):3-
25.
McGee T. 2005. Distinctive Urbanization in the Peri-Urban Regions of East and
Southeast Asia: Renewing the Debate. Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota. 16(1):39-55.
McGee T, Greenberg C. 1992. The Emergence of Extended Metropolitan Regions
in ASEAN. ASEAN Economic Bulletin. 9(1):10-34.
Milder J. 2011. Sustainable Urban Form. Dalam van Bueren E, van Bohemen H,
Itard L, Visscher H. (eds). Sustainable Urban Environments. Dordrecht (ND):
Springer.
86

Milojević B. 2013. Urban Development and Influential Factors on Urban Form of


Towns in Bosnia And Herzegovina n the Period of Socialism and Transition
(Case Study of Banjaluka and Trebinje). Facta Universitas – Architecture and
Civil Engineering. 11(3):237-249.
Mishra VN, Rai PK, Mohan K. 2014. Prediction of Land Use Changes Based on
Land Change Modeler (LCM) Using Remote Sensing: A Case Study of
Muzaffarpur (Bihar), India. Journal of the Geographical Institute “Jovvan
Cvijic”. 64(1):111-127.
Neethu CV, Surendran S. 2013. Review of Spatial Clustering Method. International
Journal of Information Technology Infrastructure. 2(3):15-24.
Nilsson K, Pauleit S, Bell S, Aalbers C, Nielsen S. 2013. Peri-Urban Futures:
Scenarios and Models for Land Use Changes in Europe. Berlin (DE):
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
O’Neill RV, Krummel JR, Gardner RH, Sugihara G, Jackson B, Deangelis DL,
Milne BT, Turner MG, Zygmunt B, Christensen SW et al. 1988. Indices of
landscape pattern. Landscape Ecology 1:153–162.
Okazawa Y, Murakami N. 2017. Case Study on Managing Urban Expansion In
Tokyo. Tokyo (JP): World Bank Group.
Pemerintah Kabupaten Cianjur. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cianjur Tahun 2011-2031. Cianjur (ID): Sekretariat Daerah Kabupaten
Cianjur.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009-2029. Bandung (ID): Sekretariat Daerah Provinsi Jawa
Barat.
Perez J, Araldi A, Fusco G, Fuse T. 2019. The Character of Urban Japan: Overview
of Osaka-Kobe’s Cityscapes. Urban Science. 3:1-21.
Pickett STA, Cadenasso ML, Grove JM, Boone CG, Groffman PM, Irwin E,
Kaushal SS, Marshall V, Mcgrath BP, Nilon CH et al. 2011. Urban Ecological
Systems: Scientific Foundations and a Decade of Progress. Journal of
Environmental Management. 92:331–362.
Pradhan B. 2017. Spatial Modeling and Assessment of Urban Form. Cham (SW):
Springer.
Pribadi DO, Pauleit S. 2016. Peri-Urban Agriculture in Jabodetabek Metropolitan
Area and Its Relationship with the Urban Socioeconomic System. Land Use
Policy. 55: 265–274.
Rahmawati YD. 2015. Self-Organization, Urban Transformation, and Spatial
Planning in Greater Jakarta, Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota. 26(3):147-165.
Ramachandra T, Bharath H, Vinay S, Joshi N, Kumar N, Venugopal R. 2013.
Modelling Urban Revolution in Greater Bangalore, India. 30th Annual In-
House Symposium on Space Science and Technology. Bangalore (IN): Space
Technology Cell, Indian Institute of Science.
Republik Indonesia. 2008a. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
87

Republik Indonesia. 2008b. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang


Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Rodrigue J, Comtois C, Slack B. 2013. The Geography of Transport Systems –
Third Edition. London (GB): Routledge.
Rushayati SB, Prasetyo LB, Puspaningsih N, Rachmawati E. 2016. Adaptation
Strategy toward Urban Heat Island at Tropical Urban Area. Procedia
Environmental Sciences. 33:310 – 319.
Rustiadi E, Mizuno K, Kobayashi S. 1999. Measuring Spatial Pattern of the
Suburbanization Process. A Study Case of Bekasi District, Indonesia. Journal
of Rural Planning Association. 18(1): 31-42.
Rustiadi E, Kobayashi S. 2000. Contiguous Spatial Classification: A New
Approach on Quantitative Zoning Method. Journal of Geography Education.
43:122-136.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Rustiadi E, Pribadi DO, Pravitasari AE, Indraprahasta GS, Iman LO. 2015.
Jabodetabek Megacity: From City Development towards Urban Complex
Management System. dalam Singh RB. (eds). Urban Development
Challenges, Risks and Resilience in Asia Mega Cities. Pp:422-445. Tokyo
(JP): Springer Japan.
Rydin Y. 2011. The Purpose of Planning: Creating Sustainable Towns and Cities.
Bristol (GB): Policy Press.
Sabatini MC, Verdiel A, Rodriguez RM, Vidal IM. 2007. A Quantitative Method
for Zoning of Protected Areas and its Spatial Ecological Implications. Journal
of Environmental Management. 83:198–206.
Schneider A, Woodcock CE. 2008. Compact, Dispersed, Fragmented, Extensive?
A Comparison of Urban Growth in Twenty-five Global Cities Using
Remotely Sensed Data, Pattern Metrics and Census Information. Urban
Studies. 45:659-692.
Shahumyan H, Williams B, Petrov LO, Foley W. 2014. Regional Development
Scenario Evaluation through Land Use Modelling and Opportunity Mapping.
Land. 3:1180-1214.
Sieverts T. 2003. Cities without cities: An Interpretation of the Zwischenstadt.
London (GB): Routledge.
Silva EA, Acheampong RA. 2015. Developing an Inventory and Typology of Land-
Use Planning Systems and Policy Instruments in OECD Countries. OECD
Environment Working Papers. 94:1-52.
Soja E. 2000. Postmetropolis: Critical Studies of Cities and Regions. Oxford (GB):
Blackwell Publishers Ltd.
Sorensen A, Okata J. 2011. Megacities: Urban Form, Governance, and
Sustainability. Tokyo (JP): Springer.
Starikova TV. 2017. The regional typology development in the system of strategic
planning. Journal of Industrial Economics, MISiS. 10(2):172-180.
88

Sugiyono PD. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.
Bandung (ID): Alfabeta.
Sumathi N, Geetha R, Bama SS. 2008. Spatial Data Mining - Techniques Trends
and its Applications. Journal of Computer Application. 1(4):28-36.
Suwarli. 2011. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Dan Strategi
Pengalokasian Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Penganggaran Daerah
Berbasis Lingkungan (Studi Kasus Kota Bekasi) [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tajbakhsh SM, Memarian H, Moradi K, Afshar AHA. 2018. Performance
Comparison of Land Change Modeling Techniques for Land Use Projection
of Arid Watersheds. Global Journal of Environmental Science and
Management. 4(3):263-280.
Tan PN, Steinbach M, Karpatne A, Kumar V. 2013. Introduction to Data Mining.
Michigan (US): Pearson.
Tran TNQ, Fanny Q, Claude M, Vinh NQ, Nam LV, Truong TH. 2012. Trends of
urbanization and suburbanization in Southeast Asia. Ho Chi Minh City (VI):
Ho Chi Minh City General Publishing House.
UN Habitat. 2016. World Cities Report 2016: Urbanization and Development:
Emerging Futures. Nairobi (KE): United Nations Human Settlements
Programme.
Ustaoglu E, Williams B, Petrov LO, Shahumyan H, Van Delden H. 2017.
Developing and Assessing Alternative Land-Use Scenarios from the
MOLAND Model: A Scenario-Based Impact Analysis Approach for the
Evaluation of Rapid Rail Provisions and Urban Development in the Greater
Dublin Region. Sustainability. 10(61):1-34.
Varghese BM, Unnikrishnan A, Poulose JK. 2013. Spatial Clustering Algorithms –
An Overview. Asian Journal of Computer Science and Information
Technology. 3(1):1-8.
Varkey AM, Manasi S. 2019. A Review of Peri-Urban Definitions, Land Use
Changes and Challenges to Development. Urban India. 39(1):96-111.
Vioya A. 2010. Tahapan Perkembangan Kawasan Metropolitan Jakarta. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. 21:215 – 226
Ward S. 2004. Planning and Urban Changes - Second Edition. London (GB): Sage
Publications.
Wheeler SM. 2010. The Evolution of Urban Form in Portland and Toronto:
Implications for sustainability planning. Local Environment: The
International Journal of Justice and Sustainability. 8(3): 317-336.
Woo M, Guldmann JM. 2014. Urban containment policies and urban growth.
International Journal of Urban Sciences. 18(3):309-326.
Xu G, Dong T, Cobbinah PB, Jiao L, Sumari NS, Chai B, Liu Y. 2019. Urban
Expansion and Form Changes Across African Cities with a Global Outlook:
Spatiotemporal Analysis of Urban Land Densities. Journal of Cleaner
Production. 19:1-20.
Yichun X, Batty M, Zhao K. 2008. Simulating Emergent Urban Form Using Agent-
Based Modelling: Desakota in the Suzhou-Wuxian Region in China. Annals
of the Association of American Geographer. 97(4):94-112.
89

Yin H, Kong F, Yang X, James P, Dronova I. 2018. Exploring Zoning Scenario


Impacts upon Urban Growth Simulations Using A Dynamic Spatial Model.
Cities. 81:214-229.
Yokohari M, Takeuchi K, Watanabe T, Yokota S. 2000. Beyond greenbelts and
zoning: A new planning concept for the environment of Asian mega-cities.
Landscape and Urban Planning. 47:159-171.
Young D, Keil R. 2010. Reconnecting the Disconnected: The Politics of
Infrastructure in the In-Between City. Cities. 27:87–95.
90

LAMPIRAN
91

Lampiran 1 Nilai Distance Tiap Desa Dalam Analisis Spatial Clustering

β=0.5
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Kemang 0.705 Cibarengkok 0.487 Bojongherang 0.581
Sukarama 0.639 Cikondang 0.536 Muka 1.237
Cibadak 0.740 Jati 0.901 Pamoyanan 1.312
Girimulya 0.980 Jatisari 0.520 Sawahgede 0.545
Karangnunggal 0.709 Sukajaya 0.564 Sayang 2.504
Cigunungherang 1.599 Bojongpicung 0.586 Solokpandan 1.446
Cijagang 0.505 Hegarmanah 0.832 Sirnagalih 1.276
Cinangsi 0.575 Neglasari 0.774 Batulawang 0.952
Gudang 0.566 Sukaratu 0.634 Ciloto 1.366
Kamurang 0.719 Babakankaret 0.383 Cimacan 0.984
Lembarsari 0.492 Limbangansari 0.894 Cipanas 0.631
Majalaya 0.751 Mekarsari 0.587 Palasari 0.748
Mekargalih 0.594 Nagrak 1.398 Sindangjaya 0.958
Mekarjaya 0.568 Sukamaju 0.468 Sindanglaya 0.782
Mekarmulya 0.694 Cibaregbeg 0.651 Ciranjang 0.973
Mekarsari 0.659 Cibokor 1.212 Bojong 0.802
Mentengsari 0.610 Cihaur 0.663 Sukagalih 1.171
Neglasari 0.552 Cikondang 0.677 Ciherang 0.830
Padajaya 0.820 Cimanggu 0.663 Cipendawa 1.122
Sukagalih 0.922 Cipetir 0.554 Ciputri 1.047
Sukamulya 0.542 Cisalak 0.519 Gadog 0.723
Warudoyong 0.513 Kanoman 0.894
Ciramagirang 0.556 Mayak 0.429
Galudra 0.854 Peuteuycondong 0.804
Sukamulya 0.837 Salamnunggal 0.568
Ciandam 0.482 Selagedang 1.066
Kutawaringin 0.665 Sukamaju 0.523
Leuwikoja 0.806 Sukamanah 0.709
Mande 0.557 Sukaraharja 0.755
Murnisari 0.452 Cibinong Hilir 0.308
Cibanteng 0.745 Ciharashas 0.363
Cikancana 0.529 Mulyasari 0.733
Cikanyere 0.647 Munjul 0.277
Kubang 0.765 Rahong 0.744
Rawabelut 0.598 Rancagoong 0.644
Sukamahi 0.849 Sindangsari 0.602
Sukaresmi 0.552 Sukakerta 0.625
Sukasari 1.133
Nanggalamekar 0.994
Cibiuk 0.774
92

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sindangasih 0.359
Sindanglaka 0.459
Sukajadi 0.503
Sukamanah 0.288
Sukamantri 0.558
Sukamulya 0.568
Sukasarana 0.693
Sukasari 0.338
Sukataris 0.601
Bobojong 0.836
Cikidangbayabang 0.572
Jamali 0.860
Kademangan 0.312
Mekarjaya 0.828
Mulyasari 0.627
Sukamanah 0.588
Cibodas 1.254
Sukatani 0.948
Babakansari 0.226
Hegarmanah 0.422
Mekarjaya 0.447
Panyusuhan 0.474
Selajambe 0.427
Sindangraja 0.720
Sukaluyu 0.623
Sukamulya 0.747
Sukasirna 0.729
Tanjungsari 0.595
Cibadak 0.727
Ciwalen 0.791
Kawung Luwuk 0.706
Pakuon 0.753
Bunikasih 0.535
Bunisari 0.539
Cieundeur 0.620
Cisarandi 0.395
Ciwalen 0.960
Jambudipa 0.599
Mekarwangi 0.589
Sukamulya 0.537
Cikaroya 0.453
Sukawangi 0.442
Tegallega 0.639
Karangwangi 0.779
Kertajaya 0.724
Sindangjaya 0.623
Mekargalih 0.634
Gunungsari 0.640
Sindangsari 0.638
Benjot 0.707
Cibeureum 0.749
Cibulakan 0.594
Cijedil 0.752
93

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Cirumput 0.594
Gasol 0.519
Mangunkerta 0.644
Nyalindung 0.867
Padaluyu 0.831
Sarampad 0.562
Sukajaya 0.613
Sukamanah 0.686
Talaga 0.696
Wangunjaya 0.665
Bangbayang 0.472
Cikahuripan 0.572
Cikancana 0.442
Cintaasih 0.661
Gekbrong 0.838
Kebonpeuteuy 0.600
Songgom 0.489
Sukaratu 0.550
Ramasari 0.476
Kertasari 0.557
Sukatani 0.442
Cipeuyem 0.564
Kertamukti 0.514
Cihea 0.757
Haurwangi 0.770
Mekarwangi 0.534
Babakancaringin 0.402
Ciherang 0.428
Hegarmanah 0.452
Langensari 0.383
Meleber 0.679
Sabandar 0.802
94

β=1
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.766 Cibarengkok 0.486 Bojongherang 0.608
Cijagang 0.621 Cikondang 0.511 Muka 1.253
Cinangsi 0.530 Jati 0.900 Pamoyanan 1.326
Gudang 0.711 Jatisari 0.488 Sawahgede 0.582
Kamurang 0.963 Kemang 0.892 Sayang 2.515
Lembarsari 0.672 Sukajaya 0.547 Solokpandan 1.462
Majalaya 0.889 Sukarama 0.815 Sirnagalih 1.304
Mekargalih 0.816 Bojongpicung 0.638 Batulawang 0.995
Mekarjaya 0.828 Hegarmanah 0.814 Ciloto 1.390
Mekarmulya 1.009 Neglasari 0.812 Cimacan 1.011
Mekarsari 0.953 Sukaratu 0.626 Cipanas 0.648
Mentengsari 0.696 Babakankaret 0.440 Palasari 0.776
Neglasari 0.757 Limbangansari 0.926 Sindangjaya 0.980
Padajaya 0.967 Mekarsari 0.626 Sindanglaya 0.800
Sukagalih 1.034 Nagrak 1.366 Ciranjang 1.070
Sukamulya 0.809 Sukamaju 0.452 Bojong 0.836
Warudoyong 0.731 Cibadak 0.864 Sukagalih 1.189
Ciramagirang 0.847 Cibaregbeg 0.611 Ciherang 0.840
Sindangsari 0.673 Cibokor 1.243 Cipendawa 1.131
Benjot 0.646 Cihaur 0.697 Ciputri 1.052
Cibeureum 0.823 Cikondang 0.734 Gadog 0.736
Cibulakan 0.670 Cimanggu 0.687
Cijedil 0.805 Cipetir 0.622
Cirumput 0.579 Cisalak 0.533
Galudra 0.728 Girimulya 1.179
Mangunkerta 0.732 Kanoman 0.910
Nyalindung 0.731 Karangnunggal 0.845
Padaluyu 0.772 Mayak 0.468
Sarampad 0.682 Peuteuycondong 0.773
Sukajaya 0.651 Salamnunggal 0.536
Sukamulya 0.711 Selagedang 1.048
Talaga 0.587 Sukamaju 0.489
Wangunjaya 0.442 Sukamanah 0.762
Ciandam 0.440 Sukaraharja 0.691
Cikidangbayabang 0.636 Cibinong Hilir 0.329
Kutawaringin 0.587 Ciharashas 0.326
Leuwikoja 0.725 Mulyasari 0.655
Mande 0.678 Munjul 0.208
Mekarjaya 0.775 Rahong 0.693
Mulyasari 0.638 Rancagoong 0.694
Murnisari 0.530 Sindangsari 0.538
95

Cluster Rural Cluster Peri-Urban


Desa Distance Desa Distance
Sukamanah 0.544 Sukakerta 0.583
Sukatani 0.988 Sukasari 1.153
Cibadak 0.784 Nanggalamekar 0.994
Cibanteng 0.731 Cibiuk 0.829
Cikancana 0.478 Karangwangi 0.857
Cikanyere 0.422 Kertajaya 0.809
Ciwalen 0.888 Sindangjaya 0.733
Kawung Luwuk 0.653 Mekargalih 0.718
Kubang 0.707 Gunungsari 0.753
Pakuon 0.559 Gasol 0.651
Rawabelut 0.535 Sukamanah 0.778
Sukamahi 0.854 Bangbayang 0.544
Sukaresmi 0.429 Cikahuripan 0.720
Tegallega 0.770 Cikancana 0.540
Cintaasih 0.755
Gekbrong 0.980
Kebonpeuteuy 0.756
Songgom 0.582
Sukaratu 0.662
Ramasari 0.539
Kertasari 0.633
Sukatani 0.518
Cipeuyem 0.661
Kertamukti 0.622
Cihea 0.838
Haurwangi 0.869
Mekarwangi 0.613
Babakancaringin 0.399
Ciherang 0.472
Hegarmanah 0.458
Langensari 0.338
Meleber 0.698
Sabandar 0.833
Sindangasih 0.381
Sindanglaka 0.527
Sukajadi 0.584
Sukamanah 0.316
Sukamantri 0.608
Sukamulya 0.619
Sukasarana 0.741
Sukasari 0.309
Sukataris 0.649
96

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Kademangan 0.402
Cibodas 1.348
Babakansari 0.230
Hegarmanah 0.482
Mekarjaya 0.424
Panyusuhan 0.413
Selajambe 0.449
Sindangraja 0.724
Sukaluyu 0.560
Sukamulya 0.712
Sukasirna 0.732
Tanjungsari 0.562
Bunikasih 0.686
Bunisari 0.597
Cieundeur 0.668
Cisarandi 0.485
Ciwalen 0.949
Jambudipa 0.660
Mekarwangi 0.729
Sukamulya 0.604
Cikaroya 0.497
Sukawangi 0.483
Bobojong 0.879
Jamali 0.884
97

β=2
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.750 Cibarengkok 0.609 Bojongherang 0.705
Cijagang 0.560 Cikondang 0.576 Muka 1.315
Cinangsi 0.560 Jati 0.960 Pamoyanan 1.381
Gudang 0.695 Jatisari 0.597 Sawahgede 0.709
Kamurang 0.953 Kemang 0.992 Sayang 2.556
Lembarsari 0.633 Sukajaya 0.621 Solokpandan 1.522
Majalaya 0.824 Sukarama 0.894 Sirnagalih 1.410
Mekargalih 0.753 Bojongpicung 0.724 Batulawang 1.153
Mekarjaya 0.724 Hegarmanah 0.941 Ciloto 1.484
Mekarmulya 0.939 Neglasari 0.913 Cimacan 1.113
Mekarsari 0.861 Sukaratu 0.787 Cipanas 0.715
Mentengsari 0.687 Babakankaret 0.488 Palasari 0.882
Neglasari 0.698 Limbangansari 0.941 Sindangjaya 1.063
Padajaya 0.902 Mekarsari 0.664 Sindanglaya 0.865
Sukagalih 0.993 Nagrak 1.411 Ciranjang 1.392
Sukamulya 0.709 Sukamaju 0.473 Bojong 0.961
Warudoyong 0.699 Cibadak 0.954 Sukagalih 1.260
Ciramagirang 0.806 Cibaregbeg 0.684 Ciherang 0.879
Galudra 0.985 Cibokor 1.363 Cipendawa 1.168
Nyalindung 0.973 Cihaur 0.790 Ciputri 1.074
Sukamulya 0.990 Cikondang 0.836 Gadog 0.785
Wangunjaya 0.659 Cimanggu 0.766
Ciandam 0.451 Cipetir 0.720
Cikidangbayabang 0.760 Cisalak 0.635
Kutawaringin 0.632 Girimulya 1.250
Leuwikoja 0.794 Kanoman 1.024
Mande 0.724 Karangnunggal 0.923
Mekarjaya 0.873 Mayak 0.562
Mulyasari 0.708 Peuteuycondong 0.843
Murnisari 0.586 Salamnunggal 0.605
Sukamanah 0.618 Selagedang 1.190
Sukatani 1.175 Sukamaju 0.583
Cibadak 0.945 Sukamanah 0.890
Cibanteng 0.797 Sukaraharja 0.783
Cikancana 0.474 Cibinong Hilir 0.324
Cikanyere 0.565 Ciharashas 0.352
Ciwalen 0.993 Mulyasari 0.716
Kawung Luwuk 0.809 Munjul 0.244
Kubang 0.753 Rahong 0.729
Pakuon 0.740 Rancagoong 0.704
Rawabelut 0.688 Sindangsari 0.607
98

Cluster Rural Cluster Peri-Urban


Desa Distance Desa Distance
Sukamahi 0.855 Sukakerta 0.636
Sukaresmi 0.477 Sukasari 1.169
Nanggalamekar 1.047
Cibiuk 0.913
Karangwangi 0.943
Kertajaya 0.936
Sindangjaya 0.847
Mekargalih 0.777
Gunungsari 0.885
Sindangsari 0.826
Benjot 0.823
Cibeureum 0.966
Cibulakan 0.702
Cijedil 0.915
Cirumput 0.791
Gasol 0.659
Mangunkerta 0.846
Padaluyu 1.040
Sarampad 0.798
Sukajaya 0.737
Sukamanah 0.785
Talaga 0.857
Bangbayang 0.638
Cikahuripan 0.836
Cikancana 0.612
Cintaasih 0.834
Gekbrong 1.086
Kebonpeuteuy 0.885
Songgom 0.684
Sukaratu 0.761
Ramasari 0.739
Kertasari 0.850
Sukatani 0.737
Cipeuyem 0.817
Kertamukti 0.829
Cihea 1.018
Haurwangi 1.021
Mekarwangi 0.771
Babakancaringin 0.463
Ciherang 0.554
Hegarmanah 0.510
99

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sindangasih 0.372
Sindanglaka 0.573
Sukajadi 0.696
Sukamanah 0.316
Sukamantri 0.646
Sukamulya 0.642
Sukasarana 0.778
Sukasari 0.354
Sukataris 0.672
Bobojong 1.013
Jamali 0.983
Kademangan 0.510
Cibodas 1.471
Babakansari 0.298
Hegarmanah 0.593
Mekarjaya 0.439
Panyusuhan 0.474
Selajambe 0.531
Sindangraja 0.853
Sukaluyu 0.628
Sukamulya 0.785
Sukasirna 0.822
Tanjungsari 0.631
Bunikasih 0.805
Bunisari 0.659
Cieundeur 0.677
Cisarandi 0.550
Ciwalen 1.003
Jambudipa 0.718
Mekarwangi 0.819
Sukamulya 0.641
Cikaroya 0.545
Sukawangi 0.548
Tegallega 0.899
Langensari 0.371
Meleber 0.711
Sabandar 0.840
100

β=4
Cluster Rural Cluster Peri-Urban Cluster Urban
Desa Distance Desa Distance Desa Distance
Cigunungherang 1.759 Cibarengkok 0.721 Bojongherang 0.921
Cijagang 0.628 Cikondang 0.607 Limbangansari 0.826
Cinangsi 0.510 Jati 1.016 Muka 1.620
Gudang 0.643 Jatisari 0.672 Pamoyanan 1.593
Kamurang 0.961 Kemang 1.129 Sawahgede 1.044
Lembarsari 0.640 Sukajaya 0.666 Sayang 3.007
Majalaya 0.795 Sukarama 0.977 Solokpandan 1.592
Mekargalih 0.761 Bojongpicung 0.851 Sirnagalih 1.683
Mekarjaya 0.788 Hegarmanah 1.058 Batulawang 1.150
Mekarmulya 0.948 Neglasari 1.054 Ciloto 1.343
Mekarsari 0.881 Sukaratu 0.939 Cimacan 1.431
Mentengsari 0.668 Babakankaret 0.660 Cipanas 0.878
Neglasari 0.673 Mekarsari 0.783 Palasari 1.171
Padajaya 0.810 Nagrak 1.446 Sindangjaya 1.137
Sukagalih 0.931 Sukamaju 0.505 Sindanglaya 1.129
Sukamulya 0.683 Cibadak 1.072 Ciranjang 1.640
Warudoyong 0.668 Cibaregbeg 0.720 Cibeureum 0.828
Ciramagirang 0.818 Cibokor 1.541 Cijedil 0.784
Sindangjaya 1.034 Cihaur 0.908 Galudra 1.320
Sindangsari 0.944 Cikondang 0.991 Nyalindung 1.186
Wangunjaya 0.954 Cimanggu 0.861 Padaluyu 0.974
Sukajadi 0.717 Cipetir 0.879 Sarampad 1.003
Sukasarana 0.883 Cisalak 0.735 Sukamulya 1.201
Bobojong 1.175 Girimulya 1.317 Gekbrong 1.121
Ciandam 0.454 Kanoman 1.183 Kebonpeuteuy 1.137
Cikidangbayabang 0.808 Karangnunggal 0.999 Bojong 1.236
Jamali 0.967 Mayak 0.689 Sabandar 0.846
Kutawaringin 0.806 Peuteuycondong 0.878 Sukagalih 1.442
Leuwikoja 0.921 Salamnunggal 0.630 Cibodas 1.542
Mande 0.747 Selagedang 1.326 Ciherang 0.625
Mekarjaya 1.053 Sukamaju 0.639 Cipendawa 1.263
Mulyasari 0.725 Sukamanah 1.064 Ciputri 0.942
Murnisari 0.569 Sukaraharja 0.817 Gadog 0.775
Sukamanah 0.695 Cibinong Hilir 0.372 Sukatani 0.950
Cibanteng 1.042 Ciharashas 0.358 Cibadak 0.842
Cikancana 0.623 Mulyasari 0.700 Ciwalen 1.029
Cikanyere 0.868 Munjul 0.228 Kawungluwuk 0.927
Kubang 0.930 Rahong 0.708 Pakuon 0.972
Rawabelut 1.089 Rancagoong 0.790
Sukamahi 0.950 Sindangsari 0.609
Sukaresmi 0.671 Sukakerta 0.660
101

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Sukasari 1.209
Nanggalamekar 1.105
Cibiuk 1.067
Karangwangi 1.118
Kertajaya 1.163
Mekargalih 0.917
Gunungsari 1.131
Benjot 0.978
Cibulakan 0.842
Cirumput 1.021
Gasol 0.833
Mangunkerta 1.080
Sukajaya 0.893
Sukamanah 0.915
Talaga 1.058
Bangbayang 0.815
Cikahuripan 1.106
Cikancana 0.783
Cintaasih 1.028
Songgom 0.888
Sukaratu 0.983
Ramasari 0.967
Kertasari 1.119
Sukatani 0.986
Cipeuyem 1.056
Kertamukti 1.115
Cihea 1.268
Haurwangi 1.265
Mekarwangi 0.989
Babakancaringin 0.552
Ciherang 0.720
Hegarmanah 0.607
Langensari 0.376
Meleber 0.762
Sindangasih 0.412
Sindanglaka 0.733
Sukamanah 0.390
Sukamantri 0.772
Sukamulya 0.763
Sukasari 0.403
Sukataris 0.788
Kademangan 0.728
Babakansari 0.384
Hegarmanah 0.768
Mekarjaya 0.424
Panyusuhan 0.471
Selajambe 0.660
Sindangraja 1.020
Sukaluyu 0.630
Sukamulya 0.838
Sukasirna 0.950
Tanjungsari 0.680
Bunikasih 1.098
102

Cluster Peri-Urban
Desa Distance
Bunisari 0.795
Cieundeur 0.749
Cisarandi 0.704
Ciwalen 1.063
Jambudipa 0.853
Mekarwangi 1.071
Sukamulya 0.756
Cikaroya 0.648
Sukawangi 0.684
Tegallega 1.190
103

Lampiran 2 Nilai Spatial Metric Tiap Kelas Penggunaan Lahan

Hasil Spatial Metric (Landscape: Wilayah Penelitian)

Patch Density (PD)


LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 7.537 7.884 9.146 8.643 9.621 8.740 10.098
Paddy 8.388 7.998 5.597 2.381 3.171 2.444 2.661
Dryland 10.699 12.139 8.299 7.893 7.976 7.876 8.954
Water 1.838 0.105 0.043 0.070 0.069 0.107 0.069
Mixgarden 6.428 6.752 3.469 2.436 3.186 2.393 2.735
Forest 0.133 0.151 0.017 0.011 0.010 0.010 0.023
Precentage of Landscape (PLAND)
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 6.792 7.092 9.034 10.271 13.717 10.663 11.427
Paddy 38.408 38.211 34.824 32.629 29.294 32.172 29.672
Dryland 3.794 4.707 5.221 5.683 6.140 5.674 6.547
Water 2.162 1.669 1.713 1.743 1.743 1.968 1.743
Mixgarden 43.210 42.761 43.001 43.058 42.467 42.660 43.509
Forest 5.626 5.552 6.199 6.615 6.610 6.590 6.959
COHESION
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 92.132 92.652 93.739 94.712 98.173 94.943 95.968
Paddy 99.789 99.792 99.686 99.721 99.702 99.719 99.710
Dryland 70.384 71.178 80.521 82.813 85.337 82.801 85.083
Water 97.764 99.228 99.245 99.226 99.227 98.907 99.227
Mixgarden 99.509 99.545 99.547 99.508 99.542 99.512 99.596
Forest 98.853 98.836 99.178 99.158 99.158 99.164 99.178
Contiguity Index (CONTIG)
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 0.213 0.208 0.201 0.204 0.195 0.201 0.189
Paddy 0.136 0.137 0.156 0.228 0.205 0.224 0.202
Dryland 0.131 0.140 0.178 0.179 0.180 0.179 0.176
Water 0.097 0.196 0.228 0.225 0.226 0.230 0.225
Mixgarden 0.178 0.167 0.224 0.257 0.239 0.258 0.236
Forest 0.213 0.202 0.603 0.853 0.931 0.930 0.508
MESH
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 10.1 11.9 17.7 25.1 214.0 29.9 48.4
Paddy 9827.0 9766.6 5264.9 4839.8 4425.9 4702.6 4428.8
Dryland 0.1 0.2 0.4 0.6 1.4 0.6 1.0
Water 31.9 27.4 29.9 30.8 30.8 25.4 30.8
Mixgarden 2805.9 3011.6 2912.0 2820.3 3125.7 2802.8 3345.4
Forest 55.5 54.5 80.8 85.3 85.2 84.8 91.4
104

SPLIT
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 10717.2 9117.8 6102.6 4305.5 505.7 3619.8 10717.2
Paddy 11.0 11.1 20.6 22.4 24.5 23.0 11.0
Dryland 850094 681959 293107 171963 79928 172406 850094
Water 3395.0 3953.3 3616.2 3511.4 3511.7 4267.5 3395.0
Mixgarden 38.6 35.9 37.2 38.4 34.6 38.6 38.6
Forest 1948.4 1985.0 1340.1 1268.1 1269.8 1277.4 1948.4
SHAPE
LU Class 2004 2009 2014 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.206 1.205 1.226 1.213 1.216 1.215 1.205
Paddy 1.214 1.217 1.257 1.323 1.323 1.317 1.310
Dryland 1.169 1.190 1.271 1.252 1.256 1.253 1.247
Water 1.101 1.406 1.467 1.416 1.422 1.405 1.421
Mixgarden 1.242 1.226 1.266 1.252 1.273 1.253 1.281
Forest 1.489 1.446 1.917 2.231 2.709 2.759 1.945

Hasil Spatial Metric (Landscape: Zona 1 – Perkotaan Puncak-Cipanas)

Patch Density (PD)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 7.440 2.918 7.427 7.446
Paddy 5.102 1.290 5.083 6.166
Dryland 10.099 10.101 10.092 11.937
Water 0.019 0.019 0.019 0.019
Mixgarden 4.753 13.622 4.801 5.206
Forest 0.057 0.066 0.066 0.066
Precentage of Landscape (PLAND)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 20.782 54.359 20.801 34.856
Paddy 23.309 0.221 23.329 19.861
Dryland 5.742 5.740 5.740 7.446
Water 0.005 0.005 0.005 0.005
Mixgarden 26.391 15.972 26.240 14.129
Forest 23.771 23.649 23.480 23.649
COHESION
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 98.459 99.842 98.459 99.452
Paddy 98.231 36.415 98.300 97.868
Dryland 81.398 81.389 81.396 84.430
Water 47.028 47.028 47.028 47.028
Mixgarden 97.497 96.278 97.521 96.530
Forest 99.367 99.356 99.355 99.356
105

Contiguity Index (CONTIG)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 0.172 0.166 0.172 0.154
Paddy 0.183 0.105 0.184 0.187
Dryland 0.152 0.152 0.152 0.152
Water 0.217 0.217 0.217 0.217
Mixgarden 0.227 0.159 0.228 0.175
Forest 0.615 0.544 0.544 0.544
MESH
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 136.376 2918.721 136.845 795.510
Paddy 86.482 0.001 89.951 65.202
Dryland 0.431 0.430 0.430 0.843
Water 0.000 0.000 0.000 0.000
Mixgarden 125.957 90.693 124.304 53.235
Forest 305.773 302.781 298.960 302.781
SPLIT
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 77.762 3.640 77.626 13.353
Paddy 122.625 14086265.886 118.095 162.920
Dryland 24614.397 24690.891 24691.592 12602.908
Water 535819.115 535819.115 535819.115 535819.115
Mixgarden 84.194 117.129 85.458 199.545
Forest 34.682 35.084 35.532 35.084
SHAPE
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.265 1.295 1.268 1.278
Paddy 1.004 1.061 1.328 1.637
Dryland 1.243 1.242 1.243 1.238
Water 1.000 1.000 1.000 1.000
Mixgarden 1.278 1.209 1.277 1.221
Forest 2.398 2.275 2.359 2.275

Hasil Spatial Metric (Landscape: Zona 2 – Perkotaan Cianjur)

Patch Density (PD)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 11.524 11.485 7.798 8.482
Paddy 2.452 9.009 3.978 4.636
Dryland 13.976 14.199 14.014 13.935
Water
Mixgarden 2.057 2.687 1.791 2.371
Forest 0.106 0.132 0.079 0.263
106

Precentage of Landscape (PLAND)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 33.779 50.136 52.593 46.407
Paddy 46.910 29.742 34.349 33.621
Dryland 5.461 5.481 5.460 5.448
Water
Mixgarden 13.836 14.571 3.921 13.805
Forest 0.014 0.021 0.017 0.031
COHESION
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 98.175 99.326 99.289 99.212
Paddy 98.641 96.941 98.018 98.488
Dryland 77.734 77.611 77.706 77.744
Water
Mixgarden 97.670 97.690 94.806 97.679
Forest 21.745 31.545 38.075 15.426
Contiguity Index (CONTIG)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 0.227 0.197 0.222 0.229
Paddy 0.269 0.212 0.216 0.195
Dryland 0.130 0.128 0.130 0.131
Water
Mixgarden 0.248 0.213 0.196 0.218
Forest 0.042 0.067 0.111 0.039
MESH
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 195.941 676.691 767.958 584.029
Paddy 177.556 48.956 96.813 144.046
Dryland 0.373 0.374 0.373 0.373
Water
Mixgarden 32.004 35.845 3.357 32.861
Forest 0.000 0.000 0.000 0.000
SPLIT
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 19.354 5.610 4.943 6.500
Paddy 21.358 77.541 39.211 26.354
Dryland 10161.935 10163.780 10182.453 10186.476
Water
Mixgarden 118.491 105.903 1130.747 115.520
Forest 177544.600 84717.762 93635.053 84717.762
SHAPE
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.251 1.270 1.272 1.240
Paddy 1.579 1.425 1.401 1.337
107

Dryland 1.161 1.159 1.160 1.160


Water
Mixgarden 1.309 1.277 1.207 1.261
Forest 1.167 1.100 1.167 1.000

Hasil Spatial Metric (Landscape: Zona 3 – Peri-Urban)

Patch Density (PD)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 10.332 11.392 10.519 14.124
Paddy 2.045 3.873 2.126 3.619
Dryland 7.965 7.986 7.956 7.902
Water 0.089 0.096 0.092 0.096
Mixgarden 2.681 4.719 2.667 4.853
Forest 0.011 0.014 0.014 0.014
Precentage of Landscape (PLAND)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 8.940 18.687 9.784 11.708
Paddy 38.568 30.162 37.305 29.148
Dryland 5.646 6.267 5.639 7.894
Water 0.850 0.860 0.757 0.860
Mixgarden 42.000 40.020 42.424 46.386
Forest 3.997 3.985 3.978 3.985
COHESION
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 85.708 97.118 87.644 89.136
Paddy 99.808 99.667 99.807 99.458
Dryland 81.682 85.339 81.687 93.762
Water 98.206 98.225 97.248 98.225
Mixgarden 99.366 99.302 99.368 99.639
Forest 98.915 98.912 98.905 98.912
Contiguity Index (CONTIG)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 0.205 0.192 0.201 0.179
Paddy 0.244 0.172 0.235 0.197
Dryland 0.185 0.187 0.185 0.183
Water 0.246 0.223 0.254 0.223
Mixgarden 0.282 0.239 0.279 0.193
Forest 0.865 0.654 0.654 0.654
MESH
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.454 112.445 2.103 3.743
Paddy 6601.182 2526.230 6261.182 1256.690
108

Dryland 0.512 1.479 0.511 10.571


Water 4.080 4.165 1.749 4.165
Mixgarden 2399.057 2099.280 2476.699 4556.242
Forest 32.921 32.772 32.698 32.772
SPLIT
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 45737.148 591.572 31635.003 17771.444
Paddy 10.076 26.331 10.624 52.932
Dryland 130008.672 44982.950 130096.403 6292.713
Water 16301.634 15971.062 38029.934 15971.062
Mixgarden 27.725 31.687 26.858 14.600
Forest 2020.407 2029.784 2034.351 2029.784
SHAPE
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.211 1.237 1.217 1.213
Paddy 1.339 1.303 1.342 1.295
Dryland 1.270 1.276 1.270 1.277
Water 1.449 1.398 1.447 1.398
Mixgarden 1.255 1.271 1.253 1.276
Forest 2.033 1.804 1.867 1.804

Hasil Spatial Metric (Landscape: Zona 4 – Rural)

Patch Density (PD)


LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 5.012 5.976 5.039 5.017
Paddy 2.506 3.695 2.553 3.056
Dryland 6.173 6.431 6.189 10.913
Water 0.066 0.066 0.158 0.066
Mixgarden 1.323 1.914 1.286 1.925
Forest 0.033 0.040 0.040 0.276
Precentage of Landscape (PLAND)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 6.128 8.072 6.461 6.123
Paddy 19.772 12.031 19.735 11.155
Dryland 5.783 6.082 5.779 9.997
Water 4.807 4.828 4.482 4.828
Mixgarden 56.255 61.706 56.082 56.260
Forest 7.255 7.258 7.246 11.613
COHESION
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 87.456 90.585 88.465 87.446
Paddy 98.752 97.727 98.751 97.562
109

Dryland 86.318 87.636 86.541 89.434


Water 99.272 90.585 99.093 99.271
Mixgarden 99.733 99.793 99.735 99.894
Forest 99.138 99.132 99.139 99.294
Contiguity Index (CONTIG)
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 0.216 0.215 0.215 0.215
Paddy 0.246 0.211 0.242 0.216
Dryland 0.191 0.192 0.190 0.185
Water 0.245 0.257 0.219 0.257
Mixgarden 0.211 0.185 0.215 0.166
Forest 0.460 0.400 0.399 0.251
MESH
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.063 2.848 1.234 1.062
Paddy 285.929 74.461 285.785 59.759
Dryland 0.969 1.537 1.020 3.203
Water 61.210 61.688 51.020 61.688
Mixgarden 3632.905 4812.357 3613.554 7817.213
Forest 77.566 77.529 77.217 171.858
SPLIT
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 25594.843 9558.817 22062.572 25633.926
Paddy 95.177 365.635 95.267 455.592
Dryland 28081.923 17712.635 26704.820 8501.365
Water 444.594 441.346 533.626 441.346
Mixgarden 7.491 5.658 7.534 3.483
Forest 350.845 351.167 352.586 158.420
SHAPE
LU Class 2019 BAU SPP UCS
Built-up 1.182 1.199 1.191 1.182
Paddy 1.327 1.306 1.321 1.300
Dryland 1.227 1.227 1.226 1.231
Water 1.580 1.597 1.441 1.597
Mixgarden 1.305 1.291 1.316 1.243
Forest 1.891 1.780 1.795 1.378
110

Lampiran 3 Titik Observasi/Survei Lapang


111

Penggunaan
Penggunaan
Titik Koordinat Koordinat Lahan Hasil
No Kecamatan Lahan Dokumentasi
Survei (X) (Y) Interpretasi
Eksisting
Citra

1 FR-1 107.012144 -6.672979 Cipanas Hutan Hutan

2 FR-2 107.021864 -6.684335 Cipanas Hutan Hutan

3 FR-3 106.997531 -6.71464 Cipanas Hutan Hutan


112

4 FR-4 107.006398 -6.737902 Cipanas Hutan Hutan

5 FR-5 107.012 -6.739782 Cipanas Hutan Hutan

6 FR-6 107.056314 -6.718296 Pacet Hutan Hutan

7 FR-7 107.063162 -6.722248 Pacet Hutan Hutan


113

8 FR-10 107.111295 -6.753659 Mande Hutan Hutan

9 FR-12 107.089545 -6.749129 Sukaresmi Hutan Hutan

10 FR-13 107.075565 -6.776525 Cugenang Hutan Hutan


114

11 FR-16 107.015384 -6.824604 Warungkondang Hutan Hutan

Lahan
12 BU-16 107.04138 -6.732008 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
13 BU-17 107.021412 -6.712619 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
14 BU-18 107.028727 -6.684696 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun
115

Lahan
15 BU-19 107.078946 -6.733064 Sukaresmi Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
16 BU-20 107.043329 -6.780115 Cugenang Lahan Terbangun
Terbangun

17 PD-1 107.055426 -6.698269 Cipanas Sawah Sawah

18 PD-11 107.079821 -6.834831 Cugenang Sawah Sawah


116

19 PD-12 107.025897 -6.739115 Pacet Sawah Sawah

20 PD-13 107.046377 -6.672779 Cipanas Sawah Sawah

21 PD-17 107.111351 -6.701595 Sukaresmi Sawah Sawah

22 DL-1 107.024838 -6.707884 Cipanas Lahan Terbuka Lahan Terbuka


117

23 DL-2 107.039303 -6.747888 Pacet Lahan Terbuka Lahan Terbuka

24 DL-3 107.024747 -6.719116 Cipanas Lahan Terbuka Lahan Terbuka

25 DL-4 107.050418 -6.706143 Cipanas Lahan Terbuka Lahan Terbuka

26 DL-5 107.098777 -6.732951 Sukaresmi Lahan Terbuka Lahan Terbuka


118

27 DL-15 107.061582 -6.811762 Cugenang Lahan Terbuka Lahan Terbuka

28 DL-16 107.058115 -6.835976 Cugenang Lahan Terbuka Lahan Terbuka

Kebun
29 MG-1 107.099135 -6.746067 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran

Kebun
30 MG-2 107.003637 -6.711005 Cipanas Kebun Campuran
Campuran
119

Kebun
31 MG-14 107.113464 -6.724975 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran

Kebun
32 MG-15 107.032339 -6.690569 Cipanas Kebun Campuran
Campuran

Kebun
33 MG-16 107.079767 -6.697254 Sukaresmi Kebun Campuran
Campuran

Kebun
34 MG-17 107.059963 -6.818496 Cugenang Kebun Campuran
Campuran
120

Lahan
35 BU-23 107.053202 -6.761756 Pacet Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
36 BU-25 107.031597 -6.716211 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
37 BU-7 107.129915 -6.813438 Cianjur Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
38 BU-8 107.134402 -6.831916 Cianjur Lahan Terbangun
Terbangun
121

39 PD-14 107.108963 -6.820859 Cugenang Sawah Sawah

Lahan
40 BU-24 107.038903 -6.728329 Cipanas Lahan Terbangun
Terbangun

41 FR-11 107.156192 -6.76032 Mande Hutan Hutan

42 FR-14 107.151618 -6.787681 Mande Hutan Hutan


122

Lahan
43 BU-1 107.25321 -6.814717 Ciranjang Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
44 BU-2 107.308636 -6.847434 Haurwangi Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
45 BU-3 107.309807 -6.828009 Haurwangi Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
46 BU-13 107.231935 -6.764681 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
123

Lahan
47 BU-14 107.214908 -6.713526 Cikalong Kulon Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
48 BU-15 107.149533 -6.683542 Cikalong Kulon Lahan Terbangun
Terbangun

49 PD-2 107.141043 -6.692277 Sukaresmi Sawah Sawah

50 PD-4 107.22036 -6.706508 Cikalong Kulon Sawah Sawah


124

51 PD-5 107.183452 -6.76748 Cikalong Kulon Sawah Sawah

52 PD-6 107.230123 -6.787668 Sukaluyu Sawah Sawah

53 PD-7 107.297483 -6.837272 Haurwangi Sawah Sawah

54 PD-16 107.196496 -6.825259 Karang Tengah Sawah Sawah


125

55 PD-20 107.307236 -6.874131 Haurwangi Sawah Sawah

56 DL-7 107.258511 -6.799836 Ciranjang Lahan Terbuka Lahan Terbuka

57 DL-8 107.236332 -6.765646 Karang Tengah Lahan Terbuka Lahan Terbuka

58 DL-9 107.186282 -6.748519 Mande Lahan Terbuka Lahan Terbuka


126

59 DL-12 107.250099 -6.785406 Sukaluyu Lahan Terbuka Lahan Terbuka

Kebun
60 DL-13 107.192295 -6.763747 Mande Lahan Terbuka
Campuran

Kebun
61 MG-9 107.243395 -6.817095 Ciranjang Kebun Campuran
Campuran

Kebun
62 MG-10 107.142792 -6.795514 Cianjur Kebun Campuran
Campuran
127

Kebun
63 MG-11 107.194422 -6.743878 Mande Kebun Campuran
Campuran

Kebun
64 MG-12 107.226171 -6.75085 Mande Kebun Campuran
Campuran

Kebun
65 MG-13 107.190722 -6.708617 Cikalong Kulon Kebun Campuran
Campuran

66 WT-1 107.261707 -6.742335 Mande Badan Air Badan Air


128

67 WT-2 107.259784 -6.768689 Mande Badan Air Badan Air

68 WT-3 107.275396 -6.756905 Mande Badan Air Badan Air

69 WT-4 107.254601 -6.723104 Mande Badan Air Badan Air

70 WT-5 107.283211 -6.77778 Ciranjang Badan Air Badan Air


129

71 FR-8 107.239268 -6.634289 Cikalong Kulon Hutan Hutan

Kebun
72 FR-9 107.252898 -6.636227 Cikalong Kulon Hutan
Campuran

73 FR-15 107.046884 -6.888694 Gekbrong Hutan Lahan Terbuka

Lahan
74 BU-4 107.169598 -6.805121 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun
130

Lahan
75 BU-5 107.17401 -6.821003 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
76 BU-6 107.148465 -6.821193 Karang Tengah Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
77 BU-9 107.12946 -6.871412 Cilaku Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
78 BU-10 107.097049 -6.870783 Warungkondang Lahan Terbangun
Terbangun
131

Lahan
79 BU-11 107.123906 -6.937486 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
80 BU-12 107.132162 -6.939822 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
81 PD-3 107.23993 -6.64647 Cikalong Kulon Sawah
Terbangun

82 PD-8 107.219186 -6.887057 Bojongpicung Sawah Lahan Terbuka


132

Lahan
83 PD-9 107.128574 -6.906988 Cibeber Sawah
Terbangun

Lahan
84 PD-10 107.046738 -6.862976 Gekbrong Sawah
Terbangun

85 PD-15 107.182587 -6.876616 Ciranjang Sawah Sawah

86 PD-18 107.0961 -6.88941 Warungkondang Sawah Sawah


133

87 PD-19 107.135568 -6.986807 Cibeber Sawah Sawah

88 DL-6 107.133187 -6.850911 Cilaku Lahan Terbuka Lahan Terbuka

89 DL-10 107.144457 -6.933195 Cibeber Lahan Terbuka Lahan Terbuka

90 DL-11 107.15239 -6.907429 Cibeber Lahan Terbuka Lahan Terbuka


134

91 DL-14 107.154652 -6.803457 Karang Tengah Lahan Terbuka Lahan Terbuka

Kebun
92 MG-3 107.144511 -6.942637 Cibeber Kebun Campuran
Campuran

Kebun
93 MG-4 107.169782 -6.92901 Cibeber Kebun Campuran
Campuran

Kebun
94 MG-5 107.113845 -6.933216 Cibeber Kebun Campuran
Campuran
135

Kebun
95 MG-6 107.08987 -6.900848 Gekbrong Kebun Campuran
Campuran

Kebun
96 MG-7 107.138555 -6.960241 Cibeber Kebun Campuran
Campuran

Kebun
97 MG-8 107.199399 -6.897837 Cibeber Kebun Campuran
Campuran

Kebun
98 MG-18 107.035812 -6.861661 Gekbrong Kebun Campuran
Campuran
136

Lahan
99 BU-21 107.134675 -6.857815 Cilaku Lahan Terbangun
Terbangun

Lahan
100 BU-22 107.122992 -6.917256 Cibeber Lahan Terbangun
Terbangun
137

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Madiun pada tanggal 09 April 1995 sebagai anak
ke 2 dari pasangan bapak Muntoro Widji Atmadja dan ibu Endang Sri Hastuti
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, dan lulus pada tahun 2017 Pada tahun 2018, penulis diterima sebagai
mahasiswa program magister (S-2) di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan
pascasarjana yang diperoleh dari program beasiswa Pendidikan Magister Menuju
Doktor Untuk Sarjana Unggul (PMDSU) oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi dan menamatkannya pada tahun 2021 (untuk mahasiswa S-2).
Karya ilmiah berjudul “A Quantitative Approach to Characterizing the
Changes and Managing Urban Form for Sustaining the Suburb of a Mega-Urban
Region: The Case of North Cianjur” telah disajikan pada seminar internasional “The
Third International Conference of the International Geographical Union (IGU)
Commission on Agricultural Geography and Land Engineering” dan dipublikasi di
jurnal Sustainability. Penulis juga melaksanakan program pertukaran pelajar Spring
Semester Kyoto University pada Laboratory of Regional Planning. Karya ilmiah
dan kegiatan tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.

Anda mungkin juga menyukai