Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Syok Septik


Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan
pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran
darah.
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti
klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC) ; takikardi; asidosis
metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu;
dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan
oleh infeksi virus atau jamur. (Guntur,2008).
Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood
poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas
pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ. Sepsis
yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status
mental.
Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40
mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1
jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial
rata-rata ≥70 mmHg. (Fauci AS, 2009) (Caterino JM,2012).

2.2 Etiologi Syok Septik


Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme
kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,
Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme
penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Masuknya mikroba ke aliran darah bukan merupakan sesuatu yang mendasar
terhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal dengan penyebab bakteri yang
menghasilkan produk patogen seperti eksotoksin, dapat juga memicu respon inflamasi
sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ di tempat lain dan hipotensi. Kultur
darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari
kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang
ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya
ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum,
urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi
dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama,
terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis
(misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari
lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

2.3 Manifestasi klinis Syok Septik


Tanda dan gejala syok septik dibagi menjadi dua fase, yaitu fase hiperdinamik dan
hipodinamik.
a. Fase hiperdinamik
1) suhu tubuh meningkat
2) kulit kemerahan dan timbul petechiae (Bintik-bintik bulat kecil berwarna ungu
kecokelatan akibat adanya pendarahan di bawah kulit, mungkin muncul pada
area kecil karena trauma ringan, atau di area yang lebih luas karena gangguan
pembekuan darah.)
3) Takikardi takipnea
4) peningkatan CO secara signifikan
5) tahanan vaskular sistemik turun sehubungan dengan vasodialitasi
6) tekanan darah sistolik hampir mendekati normal, tetapi diastol rendah
7) perubahan mental seperti cemas, rasa tidak enak di badan, atau agitasi
b. Fase hipodinamik
1) suhu tubuh mendekati subnormal
2) pernapasan cepat dan dalam
3) penurunan cardiac output
4) hipotensi dan Takikardi
5) peningkatan tahanan vaskular sistem sehubungan dengan vasokontriksi
6) perfusi jaringan tidak adekuat sehingga menyebabkan penderita dingin dan
pucat
7) hipoperfusi renal sehingga menurunkan output urin (< 30 ml / jam)
8) peningkatan serum laktat sebagai akibat dari metabolisme anaerob dan asidosis
metabolic
9) perubahan status mental : letargi dan koma

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Syok Septik


Sepsis timbul akibat respon pejamu terhadap infeksi, yang diarahkan untuk
mengeliminasi patogen. Patogen memiliki mekanisme atau faktor virulensi yang
bervariasi sehingga memungkinkan patogen untuk bertahan dalam tubuh pejamu dan
menyebabkan penyakit. Faktor virulensi menyebabkan patogen mampu menghambat
fagositosis, memfasilitasi adhesi ke sel atau jaringan pejamu, meningkatkan survival
intrasel setelah difagosit, dan merusak jaringan melalui produksi toksin dan enzim
ekstrasel.
Kapsul menghambat fagositosis terutama dengan cara menutupi struktur
permukaan sel sehingga tidak dikenali oleh reseptor sel fagosit. Bakteri berkapsul
seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza dihubungkan dengan
infeksi yang sangat invasif dan lebih virulen dibanding bakteri tidak berkapsul. Struktur
lain berupa protein A, seperti pada dinding sel Staphylococcus aureus, menghambat
ikatan antibodi pejamu terhadap permukaan patogen (sebagai antigen). Antibodi
mengikat antigen melalui bagian Fab, protein A mengikat bagian Fc antibodi sehingga
menghambat opsonisasi dan fagositosis. Beberapa patogen menghindari fagositosis
dengan cara melepaskan produk poten di jaringan yang dapat membunuh sel fagosit.
Streptococci memroduksi hemolisin yang melisiskan eritrosit dan merangsang efek
toksik pada leukosit dan makrofag. Staphylococcus melepaskan leukocidin yang
menyebabkan pelepasan lisosom ke dalam sitoplasma.
Kebanyakan patogen harus menempel pada sel pejamu sebelum terjadi infeksi.
Struktur permukaan sel patogen yang memediasi penempelan disebut adhesin,
contohnya fimbriae (pili) dan lipoteichoic acid (LTA) pada bakteri. Fimbriae membuat
bakteri melekat pada permukaan sel pejamu, sehingga meningkatkan kemampuan
patogen untuk kolonisasi. Fimbriae digunakan oleh Neisseria gonorrhoeae untuk
melekat pada sel epitel traktus genitourinarius. Strain Escherichia coli juga
menggunakan fimbriae untuk melekat pada sel usus halus, sehingga nantinya
mengeluarkan toksin yang menyebabkan gejala diare. Streptococcus pyogenes memiliki
LTA yang terintegrasi pada peptidoglikan tebal untuk melekat pada sel epitel faring.
Beberapa patogen berkemampuan untuk bertahan dan memperbanyak diri dalam
sel fagosit setelah difagosit, dengan cara mencegah fusi fagosom dan lisosom
(fagolisosom), bertahan terhadap efek dari isi lisosom, atau keluar dari fagosom ke
dalam sitoplasma. Sebagai contoh, Mycobacterium tuberculosis dan Legionella
pneumophila mencegah pembentukan fagolisosom, Mycobacterium leprae
menginaktivasi reactive oxygen species (ROS) dan nitrogen species, dan Listeria
monocytogenes merusak membran fagosom dan keluar ke sitoplasma.
Kemampuan patogen untuk menghasilkan toksin (eksotoksin atau endotoksin)
merupakan faktor utama lain yang berperan terhadap virulensi dan invasi patogen.
Eksotoksin diproduksi terutama oleh bakteri Gram positif, dan disekresi ke lingkungan
ekstrasel bakteri sehingga daat berinteraksi dengan sel pejamu dan mengganggu
metabolisme normalnya. Sebagai contoh, Corynebacterium diphtheriae mengeluarkan
toksin difteri yang bekerja menghambat sintesis protein, sehingga terjadi nekrosis sel-
sel jantung, saraf, dan hati. Streptococcus pyogenes memroduksi streptolysin O yang
merusak membran sel, menyebabkan faringitis. Toksin Vibrio cholerae menyebabkan
peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada sel epitel usus, sehingga
terjadi diare karena hipersekresi klorida dan air. Di satu sisi, endotoksin diproduksi oleh
bakteri Gram positif dan negatif. Bakteri Gram negatif memroduksi lipopolisakarida
(LPS) yang menyusun membran luar bakteri dan terdiri atas 3 regio, yaitu polisakarida
spesifik-O, polisakarida inti, dan lipid A. Aktivitas toksin dari endotoksin terdapat pada
lipid A. Paparan terhadap endotoksin dapat menyebabkan efek yang sistemik, seperti
perubahan tekanan darah dan suhu tubuh, abnormalitas koagulasi, penurunan jumlah sel
leukosit dan trombosit yang bersirkulasi, perdarahan, gangguan sistem imun, dan
akhirnya kematian.
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari
respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh
darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen
yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien dengan
syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok
merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi
tanda awal syok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi
plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi
sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien,
kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor,
dan eikosanoid. Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β,
dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.
Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses
trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut
memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang
paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular,
trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia
jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ
dan hipoksia jaringan global.

2.5 Penatalaksanaan Syok Septik


Karena kerusakan endotel pembuluh darah pada sepsis merupakan proses
inflamasi imunologi, maka penatalaksanaan sepsis adalah dengan pengobatan dasar
(basic support), pemberian antibiotika, serta terapi suportif lainnya (misalkan :
mempertahankan sirkulasi dan hemodinamik/perfusi jaringan agar didapatkan
oksigenasi jaringan yang cukup) (Guntur, 2006). Dalam penanganan kasus sepsis,
perawatan dapat dilakukan di ruang perawatan umum; namun untuk syok septik,
direkomendasikan untuk dirawat di ruang perawatan intesif (Suharto, 2000).
Penatalaksanaan pasien sepsis terbagi menjadi dua, yaitu manajemen awal untuk
stabilisasi hemodinamik dan manajemen lanjutan untuk memperbaiki kondisi klinis dan
meningkatkan angka kesembuhan.
1. Manajemen Awal
Tujuan awal pengobatan adalah untuk mempertahankan jalan napas dan
memberikan resusitasi cairan yang adekuat. Pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau pernapasan, bantuan pernapasan seperti oksigen supplemental
(jika diperlukan dapat dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis)
merupakan prioritas utama. Setelah melakukan stabilisasi pernapasan, berikan
resusitasi cairan, terapi vasopressor, identifikasi dan kontrol infeksi, pemberian
antibiotik, serta drainase sumber infeksi. Konsultasi tindakan pembedahan
diperlukan pada kecurigaan kasus abdomen akut dan infeksi necrotizing.
Pada awal penatalaksanaan setelah stabilisasi pernapasan, sebaiknya dilakukan
pemasangan kateter vena sentral dan arterial untuk menjaga tekanan vena antara 8-
12 mmHg, tekanan darah rerata minimal 65 mmHg, dan output urine yang adekuat.
a. Resusitasi Cairan Awal
Adanya hipovolemia, depresi miokard, dan hipoperfusi pada sepsis dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi yang akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien sepsis. Resusitasi cairan segera dilakukan ketika pasien
dicurigai mengalami sepsis. Kristaloid isotonik merupakan cairan yang paling
sering digunakan.
Dapat digunakan pengukuran tekanan vena sentral untuk melihat respon
terapi inisial. Pada pasien sebaiknya dilakukan fluid challenge 20 mL/kg
selama maksimal 30 menit. Apabila terdapat perbaikan, dilanjutkan dengan
resusitasi cairan sebanyak 500 mL. Rerata volume resusitasi cairan pada
percobaan sepsis adalah 5 L dalam 6 jam. Respon terhadap resusitasi cairan
biasanya dapat dilihat dalam 12 jam pertama yang diukur dari tekanan darah,
perfusi jaringan, dan urine output.
b. Terapi Vasopresor
Bantuan vasopressor direkomendasikan apabila resusitasi cairan gagal
untuk mengembalikan perfusi organ. Tekanan arteri rerata yang harus dicapai
adalah >65 mmHg. Dopamine dan norepinephrine merupakan agen
vasopressor utama yang direkomendasikan dalam tata laksana syok sepsis.
Namun, epinefrin juga dapat digunakan untuk menangani hipotensi pada syok
sepsis.
c. Terapi Antibiotik
Pemberian terapi antibiotik sejak awal dapat mempercepat perbaikan
klinis. Guidelines merekomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam
setelah sepsis dicurigai. Adanya keterlambatan pemberian antibiotik dapat
menurunkan angka survival sebesar 8% setiap jamnya. Pemberian terapi
empiris diberikan berdasarkan kemungkinan sumber patogen, konteks klinis
(community vs hospital acquired) dan pola resistensi bakteri.
2. Manajemen Lanjutan
Terdapat beberapa manajemen pada pasien sepsis untuk membantu
memperbaiki gejala klinis dan meningkatkan angka kesembuhan, yaitu :
a. Terapi Produk Darah
Pemberian packed red blood cells (PRC) direkomendasikan untuk
mendapatkan hematokrit >30% ketika saturasi oksigen vena sentral <70%
setelah tekanan arteri rerata sudah stabil. Transfusi trombosit juga dapat
diberikan jika jumlah trombosit <5000/uL atau jika ada risiko perdarahan.
b. Kortikosteroid
Studi mengenai penggunaan kortikosteroid pada sepsis belum ada yang
dilakukan di Indonesia. Studi yang ada menganjurkan pemberian
kortikosteroid pada pasien dengan syok sepsis yang tidak berespon terhadap
terapi vasopressor dan resusitasi cairan.
c. Profilaksis Thrombosis Vena Dalam
Penggunaan heparin unfractionated dosis rendah atau low molecular
weight heparin bisa dipertimbangkan apabila tidak terdapat kontraindikasi.
d. Kontrol Gula Darah
Penggunaan insulin intravena apabila didapatkan adanya hiperglikemia
reaktif.
e. Profilaksis Stress Ulcer
Diberikan terutama pada pasien dengan gagal multi organ atau yang
menerima ventilasi mekanik.

DAFTAR PUSTAKA

S. Purwanto, Diana; 2018; Mekanisme kompleks sepsis dan syok septik; E jurnal biomedik
Universitas Sam Ratulangi, Manado

kartikawati, Dewi; 2015; Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Syok dengan Pendekatan Proses


Keperawatan; Malang; UB Press

http://eprints.undip.ac.id/44902/3/Yessica_Putri_H_22010110120030_Bab2KTI.pdf

https://www.alomedika.com/penyakit/icu/sepsis/penatalaksanaan

Anda mungkin juga menyukai