Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Ilham Firdaus

NIM : K1B020030

Prodi : Matematika

Belajar dari Jenderal Soedirman

Siapa yang tidak mengenal sosok Jenderal Soedirman? Nama yang kerap kali kita jumpai
sebagai nama jalan protokol disetiap kota di tanah air, nama sebuah gedung, nama Universitas,
hingga wajahnya yang menghiasi mata uang Rupiah. Soedirman lahir di Bodas, Karangjati,
Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Soedirman bergabung dalam kemiliteran 3 tahun
sebelum diangkat menjadi panglima tepatnya pada tahun 1942. Setelah Indonesia merdeka,
Soedirman bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat dan menjadi Komandan BKR di wilayah
Banyumas.

Pada 12 November 1965 diusia nya yang masih 29 tahun, beliau diangkat menjadi
Panglima Angkatan Perang. Ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada Desember 1948,
Jenderal Soedirman mengajak Soekarno-Hatta untuk turut serta dalam perang gerilya, namun
permintaan tersebut ditolak oleh Soekarno. Akhirnya Soedirman memimpin perang tersebut
dalam kondisi yang sedang menderita tuberculosis. Walaupun dalam keadaan sakit, semangat
dan pantang mundur dari sosok Soedirman tidak pernah luntur, beliau melewati jalan yang liku
dan sulit dilalui. Pada tanggal 10 Juli 1949, setelah beliau memimpin gerilya selama kurang lebih
7 bulan, Panglima Besar Angkatan Perang, Jenderal Soedirman, kembali ke Yogyakarta. Sang
Jenderal wafat pada 29 Januari 1950 karena penyakit tuberkulosisnya.

Dimata keluarga, Beliau adalah sosok yang biasa, tetapi ia bangga akan kebiasaannya itu,
beliau merasa bukan siapa-siapa jika tidak ada dukungan dari rakyat. Beliau merupakan sosok
sederhana dan tidak gila akan kehormatan. Beliau tidak ingin dihormati siapapun dan beliau
sangat ingin menghormati rakyatnya, beliau selalu mengatakan “Sekali kita mengkhianati
amanah rakyat, kita kualat dengan rakyat ini”.
Beliau juga adalah seorang pemimpin yang dilahirkan sebagai pemimpin tetapi tidak
diciptakan sebagai pemimpin. Beliau tidak memiliki jimat seperti yang banyak dikatakan orang-
orang, beliau adalah sosok yang agamis dengan latar belakang seorang tenaga pengajar di HIS
Muhammadiyah. Bahkan pada peperangan pun, beliau senantiasa menjaga Wudhu nya, hal
tersebut dibuktikan dari adanya benda semacam gentong air pada setiap titik beliau bergerilya.

Beliau bukanlah sosok orator seperti halnya Bung Karno, Jenderal Soedirman berbicara
sebagai seorang komandan, lugas, tegas, pendek. Ketika sedang berpidato, seakan-akan
semangat perjuangan terpancar dari roman wajahnya. Beliau mengatakan bahwa para tentara
bukanlah tentara bayaran, para tentara adalah tentara perjuangan yang harus berjuang, tentara
adalah tentara rakyat, tentara adalah tentara nasional.

Jenderal Soedirman memiliki daya semangat juang yang tinggi, terbukti dari ketika beliau
menjadi seorang panglima besar, beliau tetap memimpin perang gerilya yang pada saat itu dalam
kondisi yang memprihatinkan, dimana beliau memipin dalam keadaan sakit dan bertahan hanya
dengan satu paru-paru saja, bahkan dalam keadaan ditandu-pun beliau masih bisa memimpin
jalannya pertempuran karena beliau tidak ingin sedikitpun tunduk kepada Belanda. Satu hal yang
harus tetap dipegang/diingat oleh tentara, rakyat sipil dari sosok Soedirman adalah bahwa
senjata, fisik dan kondisi ekonomi, namun yang lebih utama adalah semangat perjuangan, jika
kita sudah yakin bahwa itu benar, maka perjuangkanlah.

Pemimpin seperti Jenderal Soedirman tak akan meninggalkan barisan. Ia bersedia


menderita karena rakyat juga merasakan nestapa. Dari pada menyerah dan diasingkan, ia lebih
memilih bergerilya di dusun dan pegunungan. Tidur di gubuk yang sama dengan pasukannya,
makan dengan menu serupa dengan rakyatnya. Jenderal Soedirman manunggal dengan rakyat
dan tak berjarak dengan yang melarat karena memimpin juga menderita bukan bermewah-
mewah dengan harta. Dengan itulah ia memperjuangkan kemerdekaan dengan mempertaruhkan
semua kemungkinan, sebab kemerdekaan tanpa perjuangan tak akan pernah dimenangkan.
Generasi selanjutnya yang harus melanjutkan agar pengorbanan generasi Soedirman tidak sia-
sia. Karena kemerdekaan yang gagal diisi hanya akan menjadi narasi yang penuh basa-basi.

Anda mungkin juga menyukai