Anda di halaman 1dari 13

(Tahlilan pada hari pertama, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 dengan berkumpul di rumah sang mayit)

➡ 1. Karena risalah Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
telah sempurna, dengan menjelaskan semua perintah dan larangan Allah subhanahu wata’ala,
terlebih yang bersifat ibadah/ritual, sehingga tidak perlu ditambah dengan syariat baru lagi.
Tidak ada perintah dari beliau untuk melaksanakan tahlilan setelah wafatnya ataupun setelah
kematian siapapun dari kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman:


Artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

➡ 6. Karena diantara sifat-sifat orang beriman ialah selalu mendoakan kaum muslimin yang
telah meninggal, tanpa mengkhususkan dan menghitung hari wafatnya.

Allah Ta’ala berfirman:


Segala puji bagi Allah, Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosa-dosa kaum
muslimin yang masih hidup maupun yang telah wafat. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Oleh: Iskandar Alukhal Lc.

Referensi:

1. Firman Allah ta’ala, Al Quran

2. Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, As Sunnah

➡“Selamatan Kematian” dalam pandangan Islam


Di antara sekian banyak tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita adalah “selamatan
kematian” yang diadakan setelah mayit dikuburkan. Upacara atau selamatan tersebut dilakukan
hingga beberapa hari setelah kematian. Dari mulai hari pertama (disebut juga “nyusur tanah”),
hari ketiga (disebut “niga hari”), hari ketujuh (disebut “nujuh hari”), hari keempat belas (disebut
“ngempat belas”), hari keempat puluh (disebut “ngempat puluh”), hari keseratus (disebut
“nyeratus”), setahun sesudah kematian (disebut “nemuin” atau “nemu taun”) dan pada setiap
tahun (yang disebut dengan “haul”). Lalu bagaimanakah upacara atau selamatan di atas
menurut pandangan Islam?

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa wanita yang
hendak memandikan puteri Beliau yang wafat yaitu Zainab radhiyallahu ‘anha:
Hukum melakukan empat hal di atas adalah fardhu kifayah, yakni apabila sudah ada yang
melakukannya, maka yang lain tidak berdosa.

Setelah itu, dianjurkan bagi kerabat maupun tetangganya berta’ziyah (menghibur) keluarga
mayit baik bentuknya moril maupun materil.

Yang bentuknya moril misalnya dengan menghiburnya, mengingatkan kepadanya pahala yang
dijanjikan Allah bagi orang yang bersabar dan kata-kata lain yang dapat mengurangi
kesedihannya dan membantunya untuk ridha dan bersabar. Misalnya mengatakan:
Al Hafizh Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan bahwa seorang manusia tidak
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (terj. An Najm: 39), berkata, “Yakni
sebagaimana dosa orang lain tidak dipikulkan kepadanya, maka ia pun tidak mendapatkan
pahala selain dari apa yang diusahakannya untuk dirinya. Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i
dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al Qur’an, pahalanya tidak dapat
dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah mati, karena hal itu bukan amal mereka dan usaha
mereka. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan kepada
umatnya, tidak mendorong mereka dan tidak pula mengajarkan mereka, baik dengan nash
maupun isyarat. Demikian juga tidak dinukilkan dari salah seorang sahabat. Kalau seandainya
hal itu baik, tentu mereka telah mendahului kita (dalam mengerjakannya).” (lihat Tafsir Ibnu
Katsir surat An Najm: 39)

Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, seperti mengirimkan surat
Al Fatihah atau surat Yasin kepada arwah atau ruh fulan, ruh fulan dsb. adalah perbuatan yang
keliru.

➡ Petunjuk singkat mengurus jenazah

➡ a. Memandikan jenazah

Yang wajib dalam memandikan mayyit adalah dengan meratakan air ke seluruh badan sekali
tentunya dengan disertai niat orang yang memandikannya (di hati), namun dianjurkan
memandikannya seperti pada mandi janabat dengan melakukan sunnah-sunnahnya. Cara lebih
rincinya adalah sbb:

➡ Langkah I

Siapkanlah 3 buah ember:

1. Ember untuk air biasa,

2. Ember untuk air yang dicampur dengan daun bidara atau sabun,

3. Ember untuk air yang dicampur kafur/kapur barus (untuk memandikannya pada basuhan
yang terakhir)

Syaikh Abu Syuja’ Al Ashfahani dalam Al Ghaayah wat Taqrib berkata, ”Mayit itu dimandikan
dalam jumlah ganjil, pada pemandian pertama kali menggunakan daun bidara (air yang
dicampur daun bidara), dan pada pemandian yang terakhir dicampur dengan sedikit kapur
barus.”

➡ Langkah II
Ditaruh mayit di tempat yang agak tinggi (hendaknya bagian kemaluannya ditutup dengan kain)
dan lakukanlah pemandian ini di tempat tertutup, lalu ditekan perutnya dengan pelan (kalau
pun tidak ditekan, juga tidak mengapa). Jika ada kotoran yang keluar, maka dibersihkan. Dan
hendaknya orang yang memandikan mayit memakai sarung tangan agar tidak menyentuh
langsung bagian auratnya.

➡ Langkah III

Gunakanlah air biasa untuk membersihkan farjinya dengan air. Setelah itu, wudhukanlah
seperti wudhu’ untuk shalat, kemudian mandikanlah seluruh badannya dari bagian atas kepala
sampai bawah kaki (dahulukan bagian kanan, kemudian yang kiri) dengan air yang dicampur
daun bidara atau sabun. Selanjutnya mandikanlah dengan air biasa (yang tidak dicampur apa-
apa) pada basuhan/pemandian yang kedua. Pada basuhan atau pemandian yang terakhir
dianjurkan memakai air yang dicampur sedikit kapur barus.

➡ Catatan:

– Orang yang memandikan mayit boleh melakukan pemandian mayit lebih dari tiga kali jika ia
pandang perlu, dan sebaiknya dalam jumlah ganjil serta menjadikan basuhan yang terakhir
dicampur dengan kapur barus.

– Jika mayitnya wanita maka jalinan rambutnya dilepas lalu dibasuh, setelah itu dijalin
kembali tiga jalinan

➡ Catatan:

– Hendaknya yang memandikan mayit adalah orang yang salehh lagi amanah dan mengerti
sunnah-sunnah dalam memandikan mayit, lebih baik lagi jika ia termasuk kerabat si mayyit.
Namun jika ada orang yang diwasiatkan untuk memandikan oleh si mayit, maka ia lebih
berhak.

– Jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dan jenazah perempuan dimandikan oleh
perempuan, kecuali suami-isteri, maka bagi suami boleh memandikan isterinya, demikian
sebaliknya.
Allaahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’
madkholahu, waghsilhu bilmaa-i wats-tsalji wal barod, wa naqqihi minal khothooyaa kamaa
naqqoitats-tsaubal abyadho minad-danas, wa abdilhu daaron khoiron min daarihi, wa ahlan
khoiron min ahlihi, wa zaujan khoiron min zaujihi, wa adkhilhul jannata, wa a’idzhu min
‘adzaabil qobri (wa ‘adzaabin-naar).

“Ya Allah, ampunilah dia, sayangilah dia, lindungilah dia, ma’afkanlah dia, muliakanlah tempat
persinggahannya, luaskanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air, air es dan air embun.
Bersihkan dia dari dosa-dosa sebagaimana dibersihkan kain yang putih dari noda, berikanlah
ganti tempat yang lebih baik, keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik, masukkanlah ke
surga dan lindungilah dia dari azab kubur atau azab neraka.”(HR. Muslim)

Pada takbir keempat kita membaca do’a juga, seperti membaca:

➡ d. Menguburkan jenazah

Dalam menguburkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Dilarang mengubur mayit pada tiga waktu, yaitu ketika matahari baru terbit hingga naik setinggi
satu tombak (jarak hingga setinggi satu tombak kira-kira ¼ jam), ketika matahari di tengah
langit hingga bergeser ke barat (kira-kira 5 menit) dan ketika matahari mau tenggelam hingga
tenggelam (kira-kira ¼ jam sebelum terbenam).

Yang menurunkan mayyit ke kubur adalah laki-laki, yang malamnya tidak menggauli isterinya
dan wali si mayit lebih berhak menurunkan daripada selainnya.

Bagi yang menaruhnya di lahad hendaknya membaca: “Bismillah wa ‘alaa sunnati rasuuulillah”
(artinya “Dengan nama Allah dan di atas Sunnah Rasulullah”).

Dianjurkan membuka tali kafannya, namun kalau pun tidak, juga tidak apa-apa.

Dianjurkan agar ditaruh di belakang si mayit sesuatu baik berupa batu ataupun tanah, agar si
mayit tidak telentang dan agar menghadap ke kiblat. Dianjurkan pipinya disentuhkan ke tanah.
Marwan bin Musa

Maraji’: Fiqhus Sunnah, Al Wajiz, Minhajul Muslim, Matan Ghayah wat taqrib, tafsir Ibnu Katsir
dll.

_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia,
mengharapkan manusia mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah
Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa
agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya*_

_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan. Jika benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
Kalau ada yang salah itu dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.*_

Hanya kepada Allah saya memohon agar Dia menjadikan tulisan ini murni mengharap Wajah-
Nya Yang Mulia, dan agar ia bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi tabungan bagi hari
akhir.

Sebarkan,Sampaikan,Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat kepada orang-orang terdekat


Anda/Grup Sosmed,dll, Semoga Menjadi Pahala, Kebaikan, Amal Shalih Pemberat Timbangan Di
Akhirat Kelak. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan Anda.

Wa akhiru da’wanā ‘anilhamdulillāhi rabbil ālamīn Wallāhu a’lam, Wabillāhittaufiq

_*“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan
pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala
mereka.”* (HR Muslim no. 2674)

Anda mungkin juga menyukai