Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang menular yang disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheriae. Kuman Corynebacterium diphtheriae dapat
menginfeksi berbagai organ pada tubuh. Infeksi yang ditimbulkan terutama
saluran pernapasan atas atau nasofaring dapat menyebabkan selaput yang tampak
berwarna keabuan dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan
ngorok (stridor) dan penyumbatan saluran pernapasan. Toksin pada difteri dapat
menyebabkan paralisis otot dan miokarditis, sehingga angka kematian pada difteri
tinggi.1
Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan salah satu dari banyak daftar
penyakit yang menyebabkan kematian. Di banyak negara, difteri dapat
dikendalikan penyebarannya dengan vaksinasi yang efektif. Pernah terjadi wabah
difteri di Amerika Serikat dan juga Eropa. 2 Difteri masih sering terjadi di
Karibian, Amerika Latin dan juga di Indian.2 Setelah ditingkatkannya penggunaan
vaksinasi pada tahun 1977, angka kejadian difteri di dunia menurun secara
signifikan.3 Negara-negara di Asia Tenggara merupakan negara dengan angka
kejadian tertinggi difteri di dunia, sedangkan di benua Eropa dan Afrika, kasus
difteri sudah mulai menurun. India mempunyai angka kejadian terbesar, dengan
Indonesia dan Nepal menyusul India untuk kasus difteri terbanyak sejak tahun
2000.3 Sejak Januari sampai November 2017, terjadi 591 kasus difteri, 32 di
antaranya menyebabkan kematian.4
Wabah difteri mendemonstrasikan bahwa komunitas yang tidak
divaksinasi, ataupun cakupan vaksinasi pada anak-anak kurang memadai, dapat
menimbulkan wabah difteri kembali. Walaupun di dunia sudah mulai berkurang
angka kejadian difteri, pencegahan pada difteri penting sehingga angka kejadian
di Indonesia dapat dikurangi. Apabila difteri tidak terdiagnosis pada anak, dapat
membahayakan pasien dan berakibat kematian.

1
BAB 2
ISI

2.1 Definisi
Difteri adalah infeksi menular akut yang disebabkan oleh bakteri gram-
positif spesies Corynebacterium yang bersifat toksigenik. Secara tipikal, infeksi
ini disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.5

2.2 Epidemiologi
Tahun 1920an, lebih dari 125.000 kasus difteri dengan 10.000 angka
kematian dilaporkan terjadi di Amerika Serikat dengan tingkat keparahan tertinggi
terjadi pada bayi dan lansia.5 Angka kejadian secara berangsur mulai menurun
dengan penggunaan toksoid difteri di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.
Penurunan angka kejadian juga terjadi di negara-negara Eropa. Difteri tetap
endemis di beberapa negara dengan tingkat imunisasi yang rendah terhadap
difteri. Tahun 1980an, terjadi 27 kasus infeksi difteri pada saluran pernapasan
secara sporadis pada orang-orang berusia 25 tahun lebih. Angka kejadian difteri di
Latvia tahun 2015 kurang dari 10 kasus yang dilaporkan.3 Di Filipina angka
kejadian dari tahun 2013 sampai 2015 dilaporkan kurang dari 50 per tahunnya. 3
Sejak Januari sampai November 2017, terjadi 591 kasus difteri, 32 di antaranya
menyebabkan kematian.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
kasus difteri adalah tingginya angka orang dewasa yang tidak diimunisasi, adanya
migrasi populasi, serta kepadatan penduduk.

2.3 Etiologi
Infeksi bakteri Corynebacterium sp. menyebabkan difteri, secara spesifik
bakteri yang menyebabkan infeksi ini adalah Corynebacterium diphtheriae.
Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri berbentuk batang ramping
berukuran 1,5-5 μm x 0,5-1 μm, tidak berspora dan tidak bergerak. Bakteri ini

2
merupakan bakteri gram positif dan tidak tahan terhadap asam. Dalam preparat
sering tampak membentuk susunan huruf-huruf V, L, Y, tulisan Cina atau
anyaman pagar (palisade). Biasanya salah satu ujungnya menggembung sehingga
berbentuk gada. Meskipun C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, pertumbuhan
optimal diperoleh dalam suasana aerob.6 Dibandingkan dengan kuman-kuman lain
yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya,
pengeringan dan pembekuan. Dalam pseudomembran kering, kuman tahan selama
14 hari, tetapi dalam air mendidih hanya tahan selama 1 menit, dan pada 58 oC
tahan selama 10 menit. Kuman ini mudah dimatikan dengan desinfektan.6

Gambar 2.1 Corynebacterium diphtheriae.7

2.4 Patogenesis
Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7
hari. Toksin yang dibuat pada lesi lokal diabsorpsi dan masuk ke darah lalu
tersebar ke bagian tubuh yang lain. Efek toksin yang utama ialah meliputi jantung
dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C.diphtheriae adalah

3
saluran napas bagian atas, di mana organisme berkembang biak pada lapisan
superfisial pada selaput lendir. Pada daerah itu, eksotoksinnya diuraikan sehingga
menghambat sintesis protein serta menyebabkan nekrosis pada jaringan
sekitarnya. Respon dari peradangan membentuk suatu pseudomembran berwarna
abu-abu kecoklatan seperti selaput. Pseudomembran tersebut terdiri dari bakteri,
sel-sel epitel yang mengalami nekrotik, sel-sel fagosit, fibrin, dan eritrosit. Mula-
mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada bagian posterior faring dan
bisa menyebar ke atas menuju palatum, lalu ke nasofaring atau ke bagian bawah
menuju laring dan trakea. Pelepasan dari pseudomembran sulit, sehingga ketika
dipaksa akan tampak perdarahan. Paralisis dari palatum dan hipofaring merupakan
akibat dari eksotoksin. Ketika toksin diabsorpsi, dapat menimbulkan manifestasi
sistemik seperti nekrosis tubulus renal, trombositopenia, kardiomiopati, serta
demielinisasi dari saraf.5,6

2.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis infeksi C.diphtheriae bergantung dari lokasi anatomi
tempat dari infeksi tersebut, imunitas tubuh serta produksi dan distribusi sistemik
dari toksin bakteri.
Difteri pada saluran pernapasan.
Fokus primer infeksi ada pada tonsil atau faring. Hidung dan laring
merupakan dua tempat berikutnya yang tersering. Setelah masa inkubasi, tanda
dan gejala inflamasi lokal muncul. Demam biasanya tidak terlalu tinggi. Infeksi
pada nares anterior sering pada infantil dan menyebabkan sekret hidung
serosanguinus, purulen, serta dengan karakteristik lecet pada nares dan bibir
atas.2,5,10
Pada difteri tonsil dan faring biasanya gejala yang sering timbul adalah
sakit tenggorokan. Adapun gejala lain berupa demam ringan, sakit kepala,
anoreksia, malaise, suara serak, serta nyeri menelan.5,10 Lama kelamaan timbul
selaput pada faring, tonsil, uvula, serta dapat terjadi paralisis palatum molle
unilateral ataupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan regurgitasi. Adanya
edema jaringan lunak disertai dengan pembesaran kelenjar limfe, dapat

4
menimbulkan gambaran bullneck appearance.2,5,10 Hal ini dapat menyebabkan
obstruksi saluran pernapasan sehingga berakibat kematian.

Gambar 2.2 Pseudomembran (kiri) dan bullneck appearance (kanan).5

Difteri laring,
Difteri laring biasanya merupakan perluasan dari difteri tonsil dan faring,
tetapi dapat juga merupakan lokasi infeksi primer. Gejala dapat berupa suara
serak, stridor, sesak, dan batuk seperti croup. Pasien dengan difteri laring
ditakutkan akan mengalami obstruksi saluran napas akibat pseudomembran yang
menutupi jalan napas, sehingga perlu jalan napas buatan dan reseksi dari
pseudomembran untuk menyelamatkan nyawa. Pada obstruksi laring berat dapat
terjadi retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Apabila difteri laring
terjadi sebagai perluasan dari difteri faring, gejala yang ditimbulkan merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.10
Difteri kutaneus
Difteri kutaneus merupakan difteri yang jarang atau tidak lazim. Indolen,
infeksi yang tidak progresif, ditandai dengan ulkus superfisial yang tidak sembuh,
menyerupai ektima dengan adanya membran abu-abu kecoklatan. Pada banyak
kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka
bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher
atau kepala.

5
Infeksi difteri di tempat lain.
Difteri dapat juga menyebabkan infeksi di tempat lain seperti
menginfeksi mukokutaneus, telinga dan mata(otitis eksterna, konjungtivitis),
traktus genitalis (vulvovaginitis). Biasanya ditandai dengan terbentuknya
membran.2,5

Gambar 2.3 Difteri kutaneus.2

2.6 Diagnosis
Diagnosis difteri dapat ditegakan secara klinis, namun dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lebih mendukung diagnosis
difteri. Dari anamnesis dapat ditemukan adanya kontak dengan penderita difteri
lain, imunisasi difteri tidak ada atau belum lengkap, suara serak atau parau, napas
berbunyi (stridor), sulit dan nyeri menelan, adanya selaput di rongga mulut, leher
membengkak, serta adanya demam yang tidak tinggi.8,10
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda rinitis seperti adanya
sekret serosanguinus sampai purulen, tanda-tanda tonsilitis serta faringitis seperti
tonsil dan faring hiperemis serta ditemukan adanya pseudomembran di mana
ketika membran diangkat akan tampak perdarahan. Dapat ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening servikal disertai dengan edema jaringan lunak (bullneck
appearance). Pemeriksaan laring dengan laringoskopi untuk menemukan
pseudomembran. Terdapat tanda-tanda obstruksi jalan napas seperti stridor, napas

6
cuping hidung, serta retraksi. Bila sudah terjadi neuritis, dapat ditemukan
regurgitasi, diplopia, strabismus, paralisis interkostalis, diafragma ataupun
paralisis total.8,10
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti difteri dengan melakukan
swab tenggorok lalu dibiak. Pada miokarditis dapat ditemukan perubahan segmen
ST, disritmia serta gambaran gagal jantung. Dapat juga dilakukan uji toksigenik
dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).10

2.7 Diagnosis banding


Difteri Saluran Pernafasan, penyakit yang menyerupai difteri hidung
ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung.
Sementara difteri faing harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang
disebabkan bakteri, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika
primer, atau pasca tonsilektomi.10
Difteri laring, biasanya menyerupai laringitis atau dapat menyerupai
infectious croups lainnya seperti spasmodic croup atau benda asing dalam
laring.10
Difteri kulit, harus dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.10

2.8 Penatalaksanaan
Pasien harus diistirahatkan, tidak diperkenankan beraktivitas keluar dari
kamar isolasi sampai sekret tidak ada kuman lagi. Antitoksin yang harus diberikan
40.000 unit anti difteri serum (ADS) IM ataupun IV sesegera mungkin, karena
keterlambatan dapat meningkatkan mortalitas.1 Ada juga yang mengatakan
memberikan ADS 20.000 sampai 100.000 unit tergantung derajat keparahan,
lokasi, luas membran dan durasi sakit.5
Terapi menggunakan antibiotik dapat diberikan eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari terbagi tiap 6 jam melalui oral atau IV, maksimal 2 g/hari. Penisilin
G 100.000-150.000 unit/kgBB/hari terbagi tiap 6 jam IV ataupun IM.5 Penisilin
prokain 300.000 unit/hari IM untuk BB kurang dari 10 kg dan 600.000 unit/hari
1,5
IM untuk BB lebih dari 10 kg selama 7-14 hari. Sebelum memberikan anti

7
difteri serum dan penisilin, dilakukan pemeriksaan tes kulit (skin test) untuk
mendeteksi reaksi hipersensitivitas karena berisiko alergi.
Semua kasus suspek difteri harus dilaporkan ke departemen kesehatan.
Profilaksis pada orang-orang yang kontak dengan pasien difteri dengan injeksi
tunggal benzatin penisilin G 600.000 unit IM untuk anak kurang dari 6 tahun dan
1.200.000 unit untuk yang berusia lebih dari 6 tahun. Bisa menggunakan
eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis selama 10 hari, dosis maksimal 2
g/hari.

2.9 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi.10 Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang
kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 minggu. Sementara untuk imunitas aktif dapat diberikan
imunisasi DPT.10 Imunisasi DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar
antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan. Imunitas terhadap difteria dapat
diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.11,12
Schick test dilakukan untuk menentukan kerentanan terhadap difteri. Tes
ini dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan.
Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga
test positif. Sedangkan Moloney test dilakukan untuk menentukan sensitivitas
terhadap produk kuman difteri. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan
fluid diphtheri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa pasien pernah terpapar pada basil
difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.11

8
Gambar 2.4 Jadwal imunisasi.9

2.10 Komplikasi
Obstruksi saluran napas oleh pseudomembran memerlukan bronkoskopi
atau intubasi dan ventilasi mekanik. Dua jaringan yang dapat terkena dampak dari
toksin difteri, jantung dan sistem saraf.5
Toksik kardiomiopati muncul pada 10-25% pasien dengan difteri saluran
napas, dan 50-60% menyebabkan kematian.Toksisitas jantung dapat ditemukan
pada minggu ke 2 atau 3 seiring dengan difteri faring. Pada EKG dapat ditemukan
PR interval memanjang dan adanya perubahan gelombang ST-T. Dapat muncul
disritmia.
Toksik neuropati, dapat muncul 2-3 minggu setelah onset inflamasi
orofaring. Umumnya timbul hipestesi dan paralisis lokal dari palatum molle.
Kelemahan pada faring posterior, laring, dan nervus fasialis menyebabkan adanya
perubahan suara, kesulitan menelan dan berisiko terjadi aspirasi. Neuropati
kranialis biasanya muncul pada minggu ke lima, di mana dapat terjadi strabismus,
diplopia ataupun gangguan akomodasi.5 Polineuropati simetris muncul 10 hari
hingga 3 bulan setelah infeksi orofaring, ditandai dengan defisit motorik dengan

9
hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan mulai dari distal dan progresif ke
proksimal.5

2.11 Prognosis
Prognosis bergantung dari virulensi bakteri, usia pasien, status imunisasi,
lokasi infeksi dan tenggang waktu masuknya anti toksin. Obstruksi jalan napas,
adanya miokarditis dan gagal jantung berkaitan dengan tingginya angka
kematian.2,5 Di Indonesia sendiri terutama pada daerah yang belum menerima
imunisasi masih dijumpai kasus difteri berat dengan prognosis buruk. 10 Ketika
masa penyembuhan, toksoid difteri perlu untuk melengkapi imunisasi atau booster
imunisasi, karena tidak semua pasien setelah terkena infeksi akan memproduksi
antibodi.5

10
BAB 3
KESIMPULAN

Difteri adalah infeksi menular akut yang disebabkan oleh kuman


Corynebacterium diphtheriae. Jalan masuk yang paling sering adalah saluran
napas atas, di mana akan terbentuk pseudomembran yang bila dilepaskan akan
tampak perdarahan. Infeksi dapat terjadi di hidung, tonsil, faring, laring, atau di
mukokutan seperti telinga, mata, atau di genitalia.
Gejala dapat tidak khas pada awalnya berupa demam yang tidak tinggi,
malaise, anoreksia, gejala rinitis dan faringitis atau laringitis. Namun dengan
pemeriksaan ditemukan pseudomembran yang ketika dilepaskan timbul
perdarahan, dapat menegakan diagnosis difteri secara klinis. Diagnosis pasti
difteri adalah dengan menemukan kuman melalui biakan kuman.
Komplikasi dapat berupa obstruksi jalan napas, miokarditis dan
neuropati. Angka kematian yang ditimbulkan difteri dapat semakin tinggi bila
telah terjadi obstruksi jalan napas sampai dengan miokarditis.
Penatalaksanaan menggunakan anti difteri serum, serta pemberian
antibiotik. Pencegahan dengan imunisasi serta profilaksis menggunakan antibiotik
bila sudah terpajan dengan pasien difteri. Prognosis semakin buruk bila sudah
terjadi obstruksi saluran napas dan miokarditis.

11

Anda mungkin juga menyukai