Anda di halaman 1dari 138

MODUL 0

PANDUAN UMUM KESELAMATAN DAN PENGGUNAAN

PERALATAN LABORATORIUM

0.1 Keselamatan

Pada prinsipnya, untuk mewujudkan praktikum yang aman diperlukan


partisipasi seluruh praktikan dan asisten pada praktikum yang bersangkutan.
Dengan demikian, kepatuhan setiap praktikan terhadap uraian panduan pada
bagian ini akan sangat membantu mewujudkan praktikum yang aman.

0.1.1 Bahaya Listrik

A. Perhatikan dan pelajari tempat-tempat sumber listrik (stop-kontak dan


circuit breaker) dan cara menyala-matikannya. Jika melihat ada kerusakan
yang berpotensi menimbulkan bahaya, laporkan pada asisten

B. Hindari daerah atau benda yang berpotensi menimbulkan bahaya listrik


(sengatan listrik/ strum) secara tidak disengaja, misalnya kabel jala-jala yang
terkelupas dll.

C. Tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya


listrik pada diri sendiri atau orang lain

D. Keringkan bagian tubuh yang basah karena, misalnya, keringat atau


sisa air wudhu

E. Selalu waspada terhadap bahaya listrik pada setiap aktivitas praktikum

Kecelakaan akibat bahaya listrik yang sering terjadi adalah tersengat arus
listrik. Berikut ini adalah hal-hal yang harus diikuti praktikan jika hal itu terjadi:

A. Jangan panik

B. Matikan semua peralatan elektronik dan sumber listrik di meja


masing-masing dan di meja praktikan yang tersengat arus listrik
C. Bantu praktikan yang tersengat arus listrik untuk melepaskan diri dari
sumber listrik

D. Beritahukan dan minta bantuan asisten, praktikan lain dan orang di sekitar
anda tentang terjadinya kecelakaan akibat bahaya listrik

0.1.2. Bahaya Listrik atau Panas yang Berlebih

A. Jangan membawa benda-benda mudah terbakar (korek api, gas dll.) ke


dalam ruang praktikum bila tidak disyaratkan dalam modul praktikum

B. Jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan api,


percikan api atau panas yang berlebihan

C. Jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya api atau


panas berlebih pada diri sendiri atau orang lain

D. Selalu waspada terhadap bahaya api atau panas berlebih pada setiap
aktivitas praktikum

Berikut ini adalah hal-hal yang harus diikuti praktikan jika menghadapi
bahaya api atau panas berlebih:

A. Jangan panik

B. Beritahukan dan minta bantuan asisten, praktikan lain dan


orang di sekitar anda tentang terjadinya bahaya api atau panas
berlebih

C. Matikan semua peralatan elektronik dan sumber listrik di meja


masing-masing

D. Menjauh dari ruang praktikum


0.1.3 Bahaya lain

A. Dilarang membawa benda tajam (pisau, gunting dan


sejenisnya) ke ruang praktikum bila tidak diperlukan untuk pelaksanaan
percobaan

B. Dilarang memakai perhiasan dari logam misalnya cincin, kalung, gelang

C. Hindari daerah, benda atau logam yang memiliki bagian tajam dan dapat
melukai

D. Tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan luka pada diri sendiri
atau orang lain

HAL LAIN

Dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam ruang praktikum

0. 2 Penggunaan Peralatan Pratikum

Berikut ini adalah panduan yang harus dipatuhi ketika menggunakan alat-alat
praktikum:

A. Sebelum menggunakan alat-alat praktikum, pahami petunjuk penggunaan alat


itu.

B. Perhatikan dan patuhi peringatan (warning) yang biasa tertera pada badan alat,
Pahami fungsi atau peruntukan alat-alat praktikum dan gunakanlah alat-alat
tersebut hanya untuk aktivitas yang sesuai fungsi atau peruntukannya.
Menggunakan alat praktikum di luar fungsi atau peruntukannya dapat
menimbulkan kerusakan pada alat tersebut dan bahaya keselamatan praktikan

C. Pahami rating dan jangkauan kerja alat-alat praktikum dan gunakanlah


alat-alat tersebut sesuai rating dan jangkauan kerjanya. Menggunakan alat
praktikum di luar rating dan jangkauan kerjanya dapat menimbulkan kerusakan
pada alat tersebut dan bahaya keselamatan praktikan
D. Pastikan seluruh peralatan praktikum yang digunakan aman dari benda/
logam tajam, api/ panas berlebih atau lainnya yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada alat tersebut

E. Tidak melakukan aktifitas yang dapat menyebabkan kotor, coretan, goresan


atau sejenisnya pada badan alat-alat praktikum yang digunakan

1.3 Sanksi

Pengabaian uraian panduan di atas dapat dikenakan sanksi tidak lulus mata
kuliah praktikum yang bersangkutan
MODUL 1
PENGENALAN MATLAB

I. Tujuan

1. Mempelajari bagaimana menulis fungsi dan m-file pada MATLAB


2. Memahami MATLAB secara mendalam
3. Mampu mengoperasikan dan memanfaatkannya sebagai perangkat
simulasi untuk pratikum sinyal dan sistem.

II. Dasar Teori

1. Pengertian MATLAB
MATLAB (Matrix Laboratory) adalah sebuah program untuk analisis dan
komputasi numerik. Pada awalnya, program ini merupakan interface
untuk koleksi rutin-rutin numerik dari proyek LINPACK dan
EISPACK, namun sekarang merupakan produk komersial dari
perusahaan Mathworks, Inc. MATLAB telah berkembang menjadi sebuah
environment pemrograman yang canggih yang berisi fungsi-fungsi built-in
untuk melakukan tugas pengolahan sinyal, aljabar linier, dan kalkulasi
matematis lainnya. MATLAB juga berisi toolbox yang berisi fungsi-fungsi
tambahan untuk aplikasi khusus .
MATLAB bersifat extensible, dalam arti bahwa seorang pengguna dapat
menulis fungsi baru untuk ditambahkan pada library, ketika fungsi-fungsi
built-in yang tersedia tidak dapat melakukan tugas tertentu. Kemampuan
pemrograman yang dibutuhkan tidak terlalu sulit bila Anda telah memiliki
pengalaman dalam pemrograman bahasa lain seperti CPASCAL.
MATLAB akan digunakan secara ekstensif pada praktikum ini.
Modul ini memberikan tinjauan singkat mengenai MATLAB dan
kapabilitasnya dengan penekanan pada isu pemrograman. Seluruh materi
pada modul ini merupakan terjemahan bebas dari buku “DSP First, A
Multimedia Approach” karangan James H. McClellan, Ronald W. Schafer,
dan Mark A. Yoder, terbitan Prentice-Hall (1998), khususnya Appendix B
dan C.

1|Modul 1
MATLAB ® merupakan bahasa pemrograman tingkat tinggi yang
dikembangkan oleh MathWorks dan dikhususkan untuk komputasi numerik,
visualisasi, dan pemrograman. Dengan memanfaatkan MATLAB, pengguna
dapat melakukan analisis data, mengembangkan algoritma, dan membuat
model maupun aplikasi. Bahasa, tools, dan fungsi-fungsi built-in akan
memudahkan pengguna untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan dan
memperoleh solusi lebih cepat dibandingkan menggunakan spreadsheets
atau bahasa pemrograman tradisional, seperti C/C++ atau Java™.
MATLAB menggunakan konsep array/matrik sebagai standar variabel
elemennya tanpa memerlukan pendeklarasian array seperti pada bahasa
lainnya. Selain itu juga dapat diintegrasikan dengan aplikasi dan bahasa
pemrograman eksternal seperti C, Java, .NET, dan Microsoft® Excel®.atau
FORTRAN.

2. Perangkat yang diperlukan


- PC yang dilengkapi dengan perangkat multimedia (soundcard,Microphone,
Speaker active, atau headset),
- Sistem operasi windows dan perangkat lunak matlab yang dilengkapi
dengan toolbox DSP.

3. Langkah Percobaan
a. Memulai Matlab
Perhatikan Dekstop pada layar monitor PC, anda mulai
MATLAB dengan melakukan:
- double-clicking pada shortcut icon MATLAB

Gambar 1.1. Icon MATLAB pada desktop PC

2|Modul 1
- Selanjutnya anda akan mendapatkan tampilan seperti pada Gambar
berikut ini.

Gambar 1.2. Tampilan awal Matlab

Sedangkan untuk mengakhiri sebuah sesi MATLAB, anda bisa melakukan


dengan dua cara, pertama pilih File -> Exit MATLAB dalam window utama
MATLAB yang sedang aktif, atau cara kedua lebih mudah yaitu cukup
ketikkan type quit dalam Command Window.

b. Menentukan Direktori Tempat Bekerja


Anda dapat bekerja dengan MATLAB secara default pada directory
Work ada di dalam Folder MATLAB. Tetapi akan lebih bagus dan rapi, jika
anda membuat satu directory khusus dengan nama yang sudah anda
kususkan, “dargombes” atau nama yang lain yang mudah untuk diingat.
Hal ini akan lebih baik bagi anda untuk membiasakan bekerja secara rapi
dan tidak mencampur program yang anda buat dengan program orang
lain. Untuk itu Arahkan pointer mouse anda pada kotak bertanda … yang
ada disebelah kanan tanda panah kebawah (yang menunjukkan folder yang

3|Modul 1
sedang aktif). Pilih new directory, selanjutnya ketikkan “dargombes”, dan
diikuti dengan click Ok.

Gambar 1.3. Membuat Folder baru tempat program

c. Memulai Perintah Sederhana

Langkah kita yang pertama adalah dengan menentukan variable


scalar dengan cara melakukan pengetikan seperti berikut:
» x = 2 (selanjutnya tekan “Enter”)
x=
»y=3
y=3
» z = x + yz = 5
Nah bagaimana dengan yang satu berikutnya ini? Disini kita mulai
dengan mendefinisikan dua buah vector, yaitu vector x dan vector y:

» x = [1 2 3]
x=1 2 3
» y = [4 5 6]
y=4 5 6

4|Modul 1
Selajutnya ketik:
» y (1)
ans = 4 dan ulangi untuk y (2) and y(3).

Apakah hasilnya seperti berikut ini?

Gambar 1.4. Contoh tampilan grafik dengan perintah stem

d. Menyusun Progam Sederhana


Anda dapat mengedit suatu file text yang tersusun dari beberapa
perintah Matlab. Ini dapat dilakukan dengan menekan double-click pada
icon "New M-File" icon in the Matlab toolbar.

Gambar 1.5. Langkah awal menyusun program sederhana

5|Modul 1
Selanjutnya anda akan mendapatkan sebuah tampilan Matlab
Editor yang masih kosong seperti ini.

Gambar 1.6. Tampilan Matlab Editor tempat membuat program.

Selanjutnya anda buat program seperti pada contoh sebelumnya

Gambar 1.7. Contoh penulisan program pada Matlab Editor

Gambar 1.8. Cara menyimpan dan mengeksekusi program anda

6|Modul 1
Lanjutkan dengan menekan toolbar Debug, dan jangan lupa anda
pilih Save anda Run. Disitu anda harus menuliskan nama program.
Anda tuliskan coba_1, secara otomatis akan menjadi file coba_1.m dan
akan anda lihat tampilan hasilnya. Seperti apa ya?

Program kedua anda


Satu contoh lain program untuk for adalah pembangkitan gambar seperti
berikut.

%File Name:coba_3.m n=201;

delx=10/(n-1);

for k=1:n

x(k)=(k-1)*delx;

y(k)=sin(x(k))*exp(-0.4*x(k)); end

%plot(x,y) plot(x,y,'linewidth',4) title ('Grafik yang pertama')

xlabel('x');ylabel('y');

Bagiamana hasilnya…?

Gambar 1.9. Tampilan program grafik ketiga

a. Fungsi dalam Matlab

Matlab juga mampu untuk menuliskan fungsi yang didefinisikan oleh


pemakainya. Buat sebuah fungsi dengan menuliskan program berikut ini:

7|Modul 1
function y = x2(t)
y = t^2;
Anda simpan dengan nama "x2.m" selanjutnya anda dapat
memanfaatkan fungsi tersebut melalui Matlab line command dengan cara
berikut:
>>t=0:1:10;
>> y_2=x2(t)
Hasilnya adalah seperti berikut:
y_2 = 0 1 4 9 16 25 36 49 64 81 100
Anda bisa juga memanggil fungsi tersebut melalui program pada
panggil_1.m file yang anda buat seperti berikut:
t=0:1:10;
y_2=x2(t)
Hasilnya adalah sama seperti menggunakan command line window.

8|Modul 1
MODUL 2
PEMBANGKIT SINYAL

I. Tujuan

Mahasiswa dapat membangkitkan beberapa jenis sinyal dasar yang banyak


digunakan dalam analisa sinyal dan sistem

II. Dasar Teori

Sinyal merupakan sesuatu yang secara kuantitatif bisa terdeteksi dan


digunakan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan fenomena
fisik. Contoh sinyal yang kita temui dalam kehidupan sehari hari, suara
manusia, cahaya, temperatur, kelembaban, gelombang radio, sinyal listrik,
dsb. Sinyal listrik secara khusus akan menjadi pembicaraan di dalam
praktikum ini, secara normal diskpresikan di dalam bentuk gelombang
tegangan atau arus. Dalam aplikasi bidang rekayasa, banyak sekali dijumpai
bentuk sinyal-sinyal lingkungan yang dikonversi ke sinyal listrik untuk tujuan
memudahkan dalam pengolahannya.

Secara matematik sinyal biasanya dimodelkan sebagai suatu fungsi yang


tersusun lebih dari satu variabel bebas. Contoh variabel bebas yang bisa
digunakan untuk merepresentasikan sinyal adalah waktu, frekuensi atau
koordinat spasial. Sebelum memperkenalkan notasi yang digunakan untuk
merepresentasikan sinyal, berikut ini kita mencoba untuk memberikan
gambaran sederhana berkaitan dengan pembangkitan sinyal dengan
menggunakan sebuah sistem.

Perhatikan Gambar 2.1, yang mengilustrasikan bagaimana sebuah sistem


di bidang rekayasa (engineering) dan bentuk sinyal yang dibangkitkannya.
Gambar 2.1a merupakan contoh sederhana sistem rangkaian elektronika yang
tersusun dari sebuah capasitor C, induktor L dan resistor R. Sebuah tegangan
v(t) diberikan sebagai input dan mengalis melalui rangkaian RLC, dan
memberikan bentuk output berupa sinyal sinusoida sebagai fungsi waktu
seperti pada Gambar 2.1b. Notasi v(t) dan y(t) merupakan variabel tak bebas,

9|Modul 2
sedangkan notasi t merupakan contoh variabel bebas. Pada Gambar 2.1c
merupakan sebuah ilustrasi proses perekaman menggunakan digital audio
recorder. Sedangkan Gambar 2.1d adalah contoh sinyal ouput hasil perekaman
yang disajikan di dalam bentuk grafik tegangan sebagai fungsi waktu.

Salah satu cara mengklasifikasi sinyal adalah dengan mendefinisikan nilai-


nilainya pada variabel bebas t (waktu). Jika sinyal memiliki nilai pada
keselutuhan waktu t maka didefinisikan sebagai sinyal waktu kontinyu atau
consinous-time (CT) signal. Disisi lain jika sinyal hanya memiliki nilai pada
waktu-waktu tertentu (diskrete), maka bisa didefinisikan sebagai sinyal waktu
diskrit atau discrete-time (DT) signal.

(a) Rangkaian RLC (b) Sinyal output


rangkaian RLC

(c) Perekaman suara (d) Sinyal output perekaman

Gambar 2.1. Contoh gambaran sistem dan sinyal ouput yang dihasilkan

2.2. Sinyal Waktu Kontinyu

Suatu sinyal x (t) dikatakan sebagai sinyal waktu-kontinyu atau sinyal


analog ketika dia memiliki nilai real pada keseluruhan rentang waktu t yang
ditempatinya. x(t) disebut sinyal waktu kontinyu, jika t merupakan variabel
kontinyu. Sinyal waktu kontinyu dapat didefinisikan dengan persamaan
matematis sebagai berikut:

10 | M o d u l 2
f (t) € (−∞, ∞) (2-1)

Dimana f(t) adalah variabel tidak bebas yang menyatakan fungsi sinyal
waktu kontinyu sebagai fungsi waktu. Sedangkan t merupakan variabel bebas,
yang bernilai antara – tak hingga (-∞) sampai + tak hingga (+∞).

Hampir semua sinyal di lingkungan kita ini mseupakan sinyal waktu


kontinyu. Berikut ini adalah yang sudah umum:

• Gelombang tegangan dan arus yang terdapat pada suatu rangkaian listrik
• Sinyal audio seperti sinyal wicara atau musik
• Sinyal bioelectric seperti electrocardiogram (ECG) atau electro
encephalogram (EEG)
• Gaya-gaya pada torsi dalam suatu sistem mekanik
• Laju aliran pada fluida atau gas dalam suatu proses kimia

Sinyal waktu kontinyu memiliki bentuk-bentuk dasar yang tersusun dari


fungsi dasar sinyal seperti fungsi step, fungsi ramp, sinyal periodik, sinyal
eksponensial dan sinyal impulse.

Fungsi Step

Dua contoh sederhana pada sinyal kontinyu yang memiliki fungsi step dapat
diberikan seperti pada Gambar 2.3a. Sebuah fungsi step dapat diwakili dengan
suatu bentuk matematis sebagai:

Dimana t merupakan variabel bebas bernilai dari -∞ sampai +∞, dan u(t)
merupakan variabel tak bebas yang memiliki nilai 1 untuk t > 0, dan bernilai 0
untuk t < 0. Pada contoh tersebut fungsi step memiliki nilai khusus, yaitu 1
sehingga bisa disebut sebagai unit step. Pada kondisi real, nilai output u(t) untuk t
> 0 tidak selalu sama dengan 1, sehingga bukan merupakan unit step.

Untuk suatu sinyal waktu-kontinyu x(t), hasil kali x(t)u(t) sebanding dengan
x(t) untuk t > 0 dan sebanding dengan nol untuk t < 0. Perkalian pada sinyal x(t)
dengan sinyal u(t) mengeliminasi suatu nilai non-zero(bukan nol) pada x(t) untuk
nilai t < 0.

11 | M o d u l 2
(a) . Fungsi step dengan u(t) = 1, untuk t > 0

(b) . Fungsi ramp, dengan r(t) = t, untuk t > 0

Gambar 2.2. Fungsi step dan fungsi ramp

Fungsi Ramp
Fungsi Ramp (tanjak) untuk sinyal waktu kontinyu didenifisika sebagai berikut :

Dimana nilai t bisa dan menentukan kemiringan atau slope pada r(t). untuk
contoh diatas nilai r adalah 1, sehingga pada kasus ini r(t) merupakan “unit
slope”, yang mana merupakan alasan bagi r(t) untuk dapat disebut sebagai unit-
ramp function. Jika ada variable K sedemikian diberikan pada gambar 2.2b

Sinyal Periodik

Ditetapkan T sebagai suatu nilai real positif. Suatu sinyal waktu kontinyu
x(t) dikatakan periodik terhadap waktu dengan periode T jika :

x(t + T) = x(t) untuk semua nilai t, − ∞ < t < ∞ (2-4)

12 | M o d u l 2
Dalam hal ini jika x(t) merupakan periodik pada periode T, ini juga periodik
dengan qT, dimana q merupakan nilai integer positif. Periode fundamental merupakan
nilai positif terkecil T untuk persamaan (2-3).

Suatu contoh sinyal periodik memiliki persamaan seperti berikut

x(t)=Acos(ωt+θ) (2-5)

Dimana A adalah amplitudo, ω adalah frekuensi dalam radian per detik


(rad/detik), dan θ adalah fase dalam radian. Frekuensi f dalam hertz (Hz) atau siklus per
detik adalah sebesar f = ω/2π. Untuk melihat bahwa fungsi sinusoida yang diberikan
dalam persamaan (5) adalah fungsi periodik, untuk nilai pada variable waktu t, maka:

Sedemikian hingga fungsi sinusoida merupakan fungsi periodic dengan periode


2π/ω , nilai ini selanjutnya dikenal sebagai periode fundamentalnya. Sebuah sinyal
dengan fungsi sinusoida x(t) = A cos(wt+θ) diberikan pada Gambar 2.4 untuk nilai θ = 0,
dan f = 2 Hz.

Gambar 2.3 Sinyal periodik sinusoida

Sinyal periodik bisa berbentuk sinyal rectangular, sinyal gigi gergaji, sinyal
segituga, dsb. Bahkan pada suatu kondisi sinyal acak juga bisa dinyatakan sebagai
sinyal periodik, jika kita mengetahui bentuk perulangan dan periode terjadinya
perulangan pola acak tersebut. Sinyal acak semacam ini selanjutnya disebut
sebagai sinyal semi acak atau sinyal pseudo random.

13 | M o d u l 2
Sinyal Eksponensial

Sebuah sinyal waktu kontinyu yang tersusun dari sebuah fungsi


eksponensial dan tersusun dari frekuensi komplek s = σ + jωθ, bisa dinyatakan
sebagai berikut:

st (σ + jω0 )t σt

x(t ) = e = e =e (cosω0 t + j sin ω0 t ) (2-7)

Sehingga sinyal waktu kontinyu dengan fungsi eksponensial bisa dibedakan


dengan memlilah komponen real dan komponen iamjinernya seperti berikut:

• komponen real Re{e st } = eσt cosω0 t


• komponen imajiner Im{e st }= eσt sin ω0 t
Tergantung dari kemunculan komponen real atau imajiner, dalam hal ini ada
dua kondisi khusus yang banyak dijumpai pada sinyal eksponensial, yaitu

Kasus 1: Komponen imajiner adalah nol (ω0 = 0) Tanpa adanya komponen


imajiner, menyebabkan bentuk sinyal eksponensial menjadi seperti berikut

x(t) = eσt (2-8)

Dimana x(t) merepresentasikan sebuah nilai real pada fungsi eksponensial.


Gambar 2.5 memberi ilustrasi nilai real pada fungsi eksponensial pada suatu nilai
σ. Ketika nilai σ negatif (σ < 0), maka fungsi eksponensial menujukkan adanya
peluruhan nilai (decays) sesuai dengan kenaikan waktu t.

x(t) = eσt

Gambar 2.4 Fungsi eksponensial dengan komponen frekuensi imajiner nol

14 | M o d u l 2
Kasus 2: Komponen real adalah nol (σ = 0)

Ketika komponen real σ pada frekuensi komplek s adalah nol, fungsi


eksponensial bisa dinyatakan sebagai

x(t ) = e jω0t = cos ω t + j sin ω t (2-9)

Dengan kata lain bisa dinyatakan bahwa bagian real dan imajiner dari
eksponensial komplek adalah sinyal sinusoida murni. Contoh sinyal eksponensial
komplek dengan komponen frekuensi real nol bisa dilihat seperti pada Gambar 2.5
berikut in

(a) Nilai real sinyal eksponensial komplek

(b) Nilai imajiner sinyal eksponensial komplek

15 | M o d u l 2
Gambar 2.4. Komponen real dan imajiner sinyal komplek dengan frekuensi
real nol

Sinyal impuls

Sinyal impuls, dalam hal ini adalah fungsi unit impuls δ(t), yang juga
dikenal sebagai fungsi dirac atau secara lebih sederhana dinyatakan sebagai fungsi delta
function di dalam terminologi 2 sifat berikut.

Gambar 2.5 contoh sinyal impuls

III. Perangkat Yang Diperlukan


a. 1 (satu) buah PC lengkap sound card dan OS Windows dan perangkat lunak
Matlab
b. 1 (satu) flash disk dengan kapasitas yang cukup

16 | M o d u l 2
IV. Langkah Percobaan
4.1 Pembangkitan Sinyal Waktu Kontinyu Sinusoida

Disini kita mencoba membangkitkan sinyal sinusoida untuk itu coba anda buat
program seperti berikut:

Fs=100;

t=(1:100)/Fs;

s1=sin(2*pi*t*5);

plot(t,s1)

Sinyal yang terbangkit adalah sebuah sinus dengan amplitudo Amp = 1, frekuensi f
= 5Hz dan fase awal θ = 0. Diharapkan anda sudah memahami tiga parameter dasar pada
sinyal sinus ini. Untuk lebih memahami coba lanjutkan dengan langkah berikut :

1. Lakukan perubahan pada nilai s1:

s1=sin(2*pi*t*10);

Dan perhatikan apa yang terjadi, kemudian ulangi untuk mengganti angka 10 dengan
15, dan 20.

Perhatikan apa yang terjadi, plot hasil percobaan anda.

17 | M o d u l 2
2. Coba anda edit kembali program anda sehingga bentuknya persis seperti pada
langkah1, kemudian lanjutkan dengan melakukan perubahan pada nilai amplitudo,
sehingga bentuk perintah pada s1 menjadi:
s1=5*sin(2*pi*t*5);

Coba perhatikan apa yang terjadi? Lanjutkan dengan merubah nilai amplitudo
menjadi 10, 15 dan 20. Apa pengaruh perubahan amplitudo pada bentuk sinyal sinus?

3. Kembalikan program anda sehingga menjadi seperti pada langkah pertama. Sekarang
coba anda lakukan sedikit perubahan sehingga perintah pada s1 menjadi:

s1=2*sin(2*pi*t*5 + pi/2);

Coba anda perhatikan, apa yang terjadi? Apa yang baru saja anda lakukan adalah
merubah nilai fase awal sebuah sinyal dalam hal ini nilai θ = π/ 2 = 90o. Sekarang
lanjutkan langkah anda dengan merubah nilai fase awal menjadi 45o, 120o, 180o, dan
270o. Amati bentuk sinyal sinus terbangkit, dan catat hasilnya. Plot semua gambar dalam
satu figure dengan perintah subplot.

4.2 Pembangkitan Sinyal Waktu Kontinyu Persegi

Disini akan kita bangkitkan sebuah sinyal persegi dengan karakteristik frekuensi
dan amplitudo yang sama dengan sinyal sinus. Untuk melakukannya ikuti langkah berikut
ini :

1. Buat sebuah m file baru kemudian buat program


seperti berikut ini.
Fs=100;
t=(1:100)/Fs;

s1=SQUARE(2*pi*5*t);

plot(t,s1,'linewidth',2) axis([0 1 -1.2 1.2])

18 | M o d u l 2
Coba anda lakukan satu perubahan dalam hal ini nilai frekuensinya anda rubah
menjadi 10 Hz, 15 Hz, dan 20 Hz. Apa yang anda dapatkan? Plot semua gambar
dalam satu figure dengan perintah subplot.

3. Kembalikan bentuk program menjadi seperti pada langkah pertama, Sekarang coba
anda rubah nilai fase awal menjadi menjadi 45o, 120o, 180o, dan 225o. Amati dan
catat apa yang terjadi dengan sinyal persegi hasil pembangkitan. Plot semua gambar
dalam satu figure dengan perintah subplot.

4.3. Pembangkitan Sinyal Dengan memanfaatkan file *.wav

Kita mulai bermain dengan file *.wav. Dalam hal ini kita lakukan pemanggilan
sinyal audio yang ada dalam hardisk kita. Langkah yang kita lakukan adalah seperti
berikut :

1. Anda buat m file baru, kemudian buat program


seperti berikut : y1=wavread('namafile.wav');

Fs=10000;

wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal asli

2. Cobalah untuk menampilkan file audio yang telah anda panggil dalam bentuk grafik
sebagai fungsi waktu. Perhatikan bentuk tampilan yang anda lihat. Apa yang anda
catat dari hasil yang telah anda dapatkan tsb?

19 | M o d u l 2
4.4. Pembangkitan Sinyal Kontinyu Fungsi Ramp

Sebagai langkah awal kita mulai dengan membangkitkan sebuah fungsi ramp.
Sesuai dengan namanya, fungsi ramp berarti adalah tanjakan seperti yang telah ditulis
pada persamaan (3). Untuk itu anda ikuti langkah berikut ini. Buat program baru dan anda
ketikkan perintah seperti berikut :

%Pembangkitan Fungsi Ramp

y(1:40)=1;

x(1:50)=[1:0.1:5.9];

x(51:100)=5.9;

t1=[-39:1:0];

t=[0:1:99];

plot(t1,y,'b',t,x,'linewidt',4)

title('Fungsi Ramp')

xlabel('Waktu (s)')

ylabel('Amplitudo')

V. Tugas Selama Praktikum

1. Jawablah setiap pertanyaan yang ada pada setiap langkah percobaan tersebut diatas.
2. Buatlah program untuk menggambarkan “fungsi unit step” dalam m-file (beri nama
tugas_1.m).
3. Anda buat pembangkitan sinyal eksponensial dengan suatu kondisi frekuensi realnya
adalah nol, dan satu progam lain dimana frekuensi imajinernya nol.
4. Buat pembangkitan sinyal impuls dengan suatu kondisi sinyal terbangkit bukan pada
waktu t = 0. Dalam hal ini anda bisa membangkitkan pada waktu t =1 atau 2, atau
yang lainnya.

20 | M o d u l 2
MODUL 3
PEMBANGKITAN SINYAL DISKRIT

I. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah melakukan praktikum ini, diharapkan mahasiswa dapat
membangkitkan beberapa jenis sinyal diskrit yang banyak digunakan dalam
analisa Sinyal dan Sistem.

II. Teori Dasar Sinyal Diskrit

2.1. Konsep Sinyal


Waktu Diskrit
Sinyal waktu diskrit atau lebih kita kenal sebagai sinyal diskrit memiliki
nilai-nilai amplitudo kontinyu (pada suatu kondisi bisa juga amplitudonya
diskrit), dan muncul pada setiap durasi waktu tertentu sesuai periode sampling
yang ditetapkan. Pada teori system diskrit, lebih ditekankan pada pemrosesan
sinyal yang berderetan. Pada sejumlah nilai x, dimana nilai yang ke-n pada deret
x(n) akan dituliskan secara formal sebagai:

x = x(n); −∞ < n < ∞ (3-1)

Dalam hal ini x(n) menyatakan nilai yang ke-n dari suatu deret, persamaan
(3-1) biasanya tidak disarankan untuk dipakai dan selanjutnya sinyal diskrit
diberikan seperti Gambar 3.1. Meskipun absis digambar sebagai garis yang
kontinyu, sangat penting untuk menyatakan bahwa x(n) hanya merupakan nilai
dari n. Fungsi x(n) tidak bernilai nol untuk n yang bukan integer; x(n) secara
sederhana bukan merupakan bilangan selain integer dari n.

22 | M o d u l 3
Gambar 3.1. Penggambaran secara grafis dari sebuah sinyal waktu diskrit

Sebuah ilustrasi tentang sistem pengambilan data temperatur lingkungan


dengan sebuah termometer elektronik bisa dilihat seperti pada Gambar 3.2a.
Dalam hal ini rangkaian tersusun dari thermal thermistor yang memiliki
perubahan nilai resistansi seusai dengan perubahan temperatur lingkungan
sekitarnya. Fluktuasi resistansi digunakan untuk mengukur temperatur yang ada,
dan pengambilan data dilakukan setiap hari. Gambaran data temperatur harian ini
bisa diilustrasikan sebagai sebuah sekuen nilai-nilai sinyal waktu diskrit seperti
pada Gambar 3.2b

(a) Sensor monitoring temperatur lingkungan (b) Sinyal ouput


diskrit
Gambar 3.2. Sistem sensor temperatur harian dan sinyal outputnya

23 | M o d u l 3
2.2. Bentuk Dasar Sinyal Waktu Diskrit
Seperti halnya sinyal waktu kontinyu yang memiliki bentuk-bentuk sinyal
dasar, sinyal waktu diskrit juga tersusun dari fungsi dasar sinyal seperti sinyal
impulse diskrit, sekuen step, sekuen ramp, sekuen rectangular, sinusoida diskrit
dan exponensial diskrit.

Sekuen Impuls
Sinyal impuls waktu diskrit atau sinyal diskrit impulse juga dikenal sebagai
suatu Kronecker delta function atau disebut juga sebagai DT unit sample function,
didefinisikan dengan persamaan matematik seperti berikut.

1 k=0
δ [k ] = u[k ] − u[k − 1] = (2-2)

0
k≠0
Sedikit berbeda dengan fungsi impulse pada sinyal waktu kontinyu, fungsi
simpulse pada sinyal waktu diskrit tidak memiliki ambiguity pada
pendefinisiannya, karena dengan mengacu pada persamaan (2-2) cukup jelas
bahwa sinyal ini merupakan sinyal yang hanya sesaat muncul sesuai dengan time
sampling yang digunakan. Dan antar satu sampel ke sampel berikutnya ditentukan
oleh periode samplingnya. Bentuk fungsi impulse untuk sinyal waktu diskrit bisa
dilihat seperti pada Gambar 3.3

Gambar 3.3 Fungsi impulse sinyal waktu dikrit

Sekuen Step Waktu Diskrit


Sekuen step sinyal waktu diskrit bias direpresentasikan dalam persamaan
matematik sebagai berikut:

24 | M o d u l 3
1 k0
u[k ] = (3-3)

0
k0
Dimana nilai u[k] akan konstan (bias bernilai 1 atau yang lainnya) setelah
waktu k > 0. Perbedaan dengan fungsi step waktu kontinyu adalah bahwa dalam
sekuen step waktu diskrit, sinyal akan memiliki nilai pada setiap periode waktu
tertentu, sesuai dengan periode samping yang digunakan. Bentuk sekuen step
waktu diskrit bias dilihat seperti pada Gambar 3.4

Fungsi Ramp Diskrit


Seperti pada pembahasan sinyal waktu kontinyu, fungsi ramp untuk sinyal
waktu diskrit bias dinyatakan dalam persamaan matematik sebagai berikut:

Contoh sebuah sekuen fungsi ramp waktu diskrit dengan kemiringan


(slope) bernilai k > 0 bisa dilihat seperti pada Gambar 3.5.

25 | M o d u l 3
Gambar 3.5 sekuen ramp waktu diskrit

Sinusoida Diskrit
Sinusoida diskrit bisa direpresentasikan dalam persamaan matematik
sebagai berikut:

x[k] = sin(Ω0k+θ) = sin(2πf0k+θ) (3-5)


dimana Ω0 adalah frekuensi angular pada waktu diskrit. Sinusoida diskrit bias
dilihat seperti pada Gambar 2.xx. Di dalam pembahasan pada sinyal sinusoida
waktu kontinyu, dinyatakan bahwa sinyal sinusoida sinyal x(t) = sin(ω0t+θ) selalu
periodiks. Sementara di dalam sinyal waktu diskrit, sinyal sinusoida akan
memenuhi kondisi periodic jika dan hanya jika nilai Ω0/2π merupakan bilangan
bulat.

Gambar 3.6. Sinyal sinusoida waktu diskrit.

Fungsi Eksponensial Diskrit


Fungsi eksponensial waktu diskrit dengan sebuah frekueni sudut sebesar Ω0
didefinisikan sebagai berikut:

x[k ] = e(σ + jΩo )k = eσk (cosΩok + j sin Ωok ) (3-6)


Sebagai contoh fungsi sinyal eksponensial waktu diskrit, kita pertimbangkan
sebuah fungsi eksponensial x[k] =exp(j0.2π − 0.05k), yang secara grafis bisa

26 | M o d u l 3
disajikan seperti pada Gambar 3.xx, dimana bagian (a) menunjukkan komponen
real dan bagian (b) menunjukkan bagian imajiner pada sinyal komplek tersebut.

Gambar 3.7. ilustrasi sinyal eksponensial komplek waktu diskrit

III. Perangkat Yang Diperlukan


a. 1 (satu) buah PC lengkap sound card dan OS Windows dan Perangkat
Lunak Matlab
b. 1 (satu) flash disk dengan kapasitas minimal 1 Gb

IV. Langkah Percobaan


4.1 Pembangkitan Sinyal Waktu Diskrit, Sekuen Step
1. Disini akan kita lakukan pembangkitan sinyal waktu diskrit. Sebagai langkah
awal kita mulai dengan membangkitkan sebuah sekuen unit step. Sesuai
dengan namanya, unit Buat program baru dan anda ketikkan perintah seperti
berikut:
%File Name: sd_1.m %Pembangkitan Sekuen Step L=input('Panjang
Gelombang (=40) =' ) P=input('Panjang Sekuen (=5) =' )
for n=1:L if (n>=P)

27 | M o d u l 3
step(n)=1;
else
step(n)=0;
end
end
x=1:L;
stem(x,step)
Berikan penjelasan pada gambar yang dihasilkan.
2. Anda ulangi langkah pertama dengan cara me-run program anda dan masukan
nilai untuk panjang gelombang dan panjang sekuen yang berbeda-beda yaitu
L=40, P= 15 ; L=40, P=25 ; L=40, P=35. Plot hasil percobaan anda pada salah
satu figure, dan catat apa yang terjadi?

4.2 Pembangkitan Sinyal Waktu Diskrit, Sekuen Pulsa


Disini akan kita bangkitkan sebuah sinyal waktu diskrit berbentuk sekuen
pulsa, untuk itu ikuti langkah berikut ini

1. Buat program baru dengan perintah berikut ini. %File Name: Sd_2.m

%Pembangkitan Sekuen Pulsa L=input('Panjang Gelombang (=40) =' )


P=input('Posisi Pulsa (=5) =' )

for n=1:L
if (n=p) step(n)=1
else
step(n)=0
end
end
x=1:L;
stem(x,step)
axis([0L – 11.2])
berikan penjelasan pada gambar yang dihasilkan

28 | M o d u l 3
2. Jalankan program diatas berulang-ulang dengan catatan nilai L dan P dirubah-
ubah sebagai berikut L=40, P= 15 ; L=40, P=25 ; L=40, P=35, perhatikan apa
yang terjadi? Catat apa yang anda lihat.

4.3 Pembentukan Sinyal Sinus waktu Diskrit


Pada bagian ini kita akan dicoba untuk membuat sebuah sinyal sinus diskrit.
Secara umum sifat dasarnya memiliki kemiripan dengan sinus waktu kontinyu.
Untuk itu ikuti langkah berikut

1. Buat program baru dengan perintah


seperti berikut. %File Name:
Sd_4.m
Fs=20;%frekuensi sampling t=(0:Fs-1)/Fs;%proses normalisasi
s1=sin(2*pi*t*2);
stem(t,s1)
axis([0 1 -1.2 1.2])

2. Lakukan perubahan pada nilai Fs, sehingga bernilai 40, 60 dan 80. Plot hasil
percobaan anda pada satu figure, dan catat apa yang terjadi.

4.4 Pembangkitan Sinyal Waktu Diskrit, Sekuen konstan


Disini akan kita bangkitkan sebuah sinyal waktu diskrit berbentuk sekuen
pulsa, untuk itu ikuti langkah berikut ini

1. Buat program baru dengan perintah berikut ini. %File Name: Sd_4.m

%Pembangkitan Sekuen Konstan L=input('Panjang Gelombang (=20) =' )


sekuen(1:L)=1; % Besar Amlitudo stem(sekuen)

xlabel(‘Jumlah Sekuen (n)’) ylabel(‘Amplitudo sekuen’) title(‘Sinyal


Sekuen Konstan’)

Berikan penjelasan pada gambar yang dihasilkan.

29 | M o d u l 3
V. DATA DAN ANALISA
Anda telah melakukan berbagai langkah untuk percobaan pembangkitan
sinyal diskrit. Langkah selanjutnya yang harus anda lakukan adalah:

1. Jawab setiap pertanyaan yang ada pada setiap langkah percobaan diatas.

2. Coba anda buat program pada m-file untuk membangkitkan sebuah sinyal
sekuen rectanguler (persegi) yang berada pada posisi 1-4 , 2-6, 4-8 dan 6-10
dengan amplitudo sebesar 5. Plot hasil perconaan dalam 1 figure. Beri komentar
bagaimana pengaruh perubahan posisi sinyal rectanguler yang telah anda coba?

30 | M o d u l 3
MODUL 4
OPERASI DASAR SINYAL 1
(OPERASI DENGAN VARIABEL TAK BEBAS)

I. Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa dapat memperlihatkan proses-proses aritmatika sinyal seperti
penguatan,pelemahan perkalian, penjumlahan dan pengurangan serta dapat
menerapkan sebagai proses dasar dari pengolah sinyal.

II. Operasi Dasar Pada Sinyal dengan Variabel Tak Bebas


Masalah mendasar pada proses pembelajaran pengolahan sinyal adalah
bagaimana menggunakan sistem untuk melakukan pengolahan atau
melakukan manipulasi terhadap sinyal. Pembicaraan ini biasanya melibatkan
kombinasi pada beberapa operasi dasar. Ada dua kelas di dalam operasi dasar
sinyal. Yang pertama adalah operasi yang dibentuk oleh variabel tidak bebas
yang meliputi amplitude scaling (penguatan / pelemahan), addition,
mutiplication. Yang kedua adalah operasi yang dibentuk dengan variabel
bebas, meliputi time scaling, reflection, dan time shifting .
1. Amplitude Scaling
Apmlitude Scaling bisa berupa penguatan jika faktor pengali lebih besar
dari 1, atau menjadi pelemahan jika faktor pengali kurang dari 1.

Penguatan Sinyal
Peristiwa penguatan sinyal seringkali diumpai pada perangkat audio
seperti radio, tape, bahkan pada transmisi gelombang radio yang berkaitan
dengan multipath, dimana masing-masing sinyal datang dari Tx ke Rx akan
saling menguatkan apabila fase sinyal sama. Fenomena ini dapat juga
direpresentasikan secara sederhana sebagai sebuah operasi matematika
sebagai berikut:

y(t) = amp x(t) (4-1)

31 | M o d u l 4
dimana:
y(t) = sinyal output
amp = konstanta penguatan sinyal
x(t) = sinyal input

Bentuk diagram blok dari sebuah operasi pernguatan sinyal dapat diberikan
pada gambar berikut ini Besarnya nilai konstanta sinyal amp >1, dan
penguatan sinyal seringkali dinyatalan dalam besaran deci Bell, yang
didefinisikan sebagai:

amp_dB = 10 log(output/input) (4-2)

Sinyal Operation Sinyal


Masuk Amplifier Keluar

Gambar 4.1. Diagram blok penguatan suatu sinyal

Dalam domain waktu, bentuk sinyal asli dan setelah mengalami penguatan
adalah seperti gambar berikut.

Gambar 4.2. Penguatan Sinyal

32 | M o d u l 4
Pelemahan Sinyal
Apabila sebuah sinyal dilewatkan suatu medium seringkali mengalami
berbagai perlakuan dari medium (kanal) yang dilaluinya. Ada satu mekanisme
dimana sinyal yang melewati suatu medium mengalami pelemahan energi yang
selanjutnya dikenal sebagai atenuasi (pelemahan atau redaman) sinyal.
Bentuk diagram blok dari sebuah operasi pernguatan sinyal dapat
diberikan pada gambar berikut ini.
Sinyal Media Transmisi Sinyal
Masuk (Kanal) Keluar

Gambar 4.3 Operasi Pelemahan suatu sinyal


Dalam bentuk operasi matematik sebagai pendekatannya, peristiwa ini dapat
diberikan sebagai berikut:
y(t) = att x(t) (4-3)
Dalam hal ini nilai att < 1, yang merupakan konstanta pelemahan yang terjadi.
Kejadian ini sering muncul pada sistem transmisi, dan munculnya konstanta
pelemahan ini dihasilkan oleh berbagai proses yang cukup komplek dalam suatu
media transmisi.

Gambar 4.4. Pelemahan Sinyal

33 | M o d u l 4
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses penguatan dan pelemahan
sinyal merupakan dua hal yang hampir sama. Dalam pengatan sinyal amplitudo
sinyal output lebih tinggi dibanding sinyal input, sementara pada pelemahan
sinyal amplitudo sinyal output lebih rendah disbanding sinyal input. Tetapi pada
kedua proses operasi ini bentuk dasar sinyal tidak mengalami perubahan.

2. Addition
Proses penjumlahan sinyal seringkali terjadi pada peristiwa transmisi sinyal
melalui suatu medium. Sinyal yang dikirimkan oleh pemancar setelah melewati
medium tertentu misalnya udara akan mendapat pengaruh kanal, pengaruh
tersebut tentunya akan ditambahkan pada sinyal aslinya. Misal Sinyal informasi
yang terpengaruh oleh noise atau sinyal lain dari kanal, maka secara matematis
pada sinyal tersebut pasti terjadi proses penjumlahan. Sehingga pada bagian
penerima akan mendapatkan sinyal sebagai hasil jumlahan sinyal asli dari
pemancar dengan sinyal yang terdapat pada kanal tersebut.

Sinyal Hasil

Sinyal 1
Jumlahan

Sinyal 2
Gambar 4.5. Diagram blok operasi penjumlahan dua sinyal.

Contoh penjumlahan dari 2 buah sinyal dengan amplitudo sama tetapi


frekuensi berbeda bisa dilihat pada Gambar 4.6.

34 | M o d u l 4
Gambar 4.6. Contoh operasi penjumlahan dua sinyal

3. Multiplication
Perkalian merupakan bentuk operasi yang sering anda jumpai dalam
kondisi real. Pada rangkaian mixer, rangkaian product modulator frequency
multiplier, proses windowing pada speech processing, sehingga operasi
perkalian sinyal merupakan bentuk standar yang seringkali dijumpai.
Bentuk diagram blok operasi perkalian dua buah sinyal dapat diberikan
seperti pada Gambar 4.7

Gambar 4.7. Diagram blok operasi perkalian dua sinyal.

Contoh perkalian dua sinyal beda frekuensi, bisa dilihat pada Gambar 4.8.

35 | M o d u l 4
III. Perangkat Yang Diperlukan

a. 1 (satu) buah PC lengkap sound card dan OS Windows dan perangkat


lunak Matlab
b. 1 (satu) flash disk dengan kapasitas 1 G atau lebih.

IV. Langkah Percobaan


1. Penguatan Sinyal
a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut:
T=100;
t=0:1/T:2;
f1=1;
y1=sin(2*pi*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,y1)
b. Lanjutkan dengan langkah berikut ini
a=input('nilai pengali yang anda gunakan (>1): ');
y1_kuat=a*sin(2*pi*t);
subplot(2,1,2)
plot(t,y1_kuat)

36 | M o d u l 4
Masukan nilai ‘a’ berturut-turut : 1.5 ; 4; 5.5 dan 8. Apa yang anda
dapatkan? (beri penjelasan secara lengkap). Plot setiap hasil running
pada satu figure. Nilai penguatan sinyal juga seringkali dituliskan dalam
desi-Bell (dB), untuk penguatan 1.5 kali berapa nilainya dalam dB?

c. Ulangi langkah 1 dan 2, tetapi dengan nilai y1 dany1_kuat dalam


besaran dB. Dan plot gambar (dalam dB) dan buatlah analisa dari apa
yang anda amati dari gambar tersebut? Jangan lupa dalam setiap
penggambaran anda cantumkan nilai dB setiap percobaan.

2. Proses Penguatan pada Sinyal Audio


Sekarang dilanjutkan dengan file *.wav. Dalam hal ini akan dilakukan
penguatan sinyal audio yang telah dipanggil. Langkah yang akan
dilakukan adalah seperti berikut :

a. Anda buat file kuat_1.m seperti berikut %File Name: audio_1.m


%Description: how to read and play a wav file
y1=wavread('audio1.wav');
Fs=8192;wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal asli
subplot(211)
plot(y1)
b. Lakukan penambahan perintah seperti dibawah ini amp =1.5;
y2=amp*y1;
wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal setelah penguatan
subplot(212)
plot(y2)
c. Apakah anda mengamati sesuatu yang baru pada sinyal audio anda?
Cobalah anda rubah nilai amp sebesar 2, 4, 8 dan 10.
d. Plot file audio yang telah anda panggil dalam bentuk grafik sebagai
fungsi waktu, baik untuk sinyal asli maupun setelah penguatan dalam
satu figure.

37 | M o d u l 4
e. Tambahkan noise pada sinyal audio dengan perintah sebagai berikut :
var = 0.1;
noise_1=var*randn(N,1);%membangkitkan noise Gaussian
y_1n=y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(311)
plot(y_1n)
f. Lakukan penguatan 5 kali pada sinyal y_1n, tetapi pada sinyal aslinya
saja, dengan perintah: y_1n_kuat_sinyal=5*y1 +
noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(312) plot(y_1n_kuat_sinyal)

g. Kemudian kuatkan sinyal yang sudah diberi noise tersebut sebesar 5


kali, dengan perintah: y_1n_kuat_semua=5*(y1 +
noise_1);%menambahkan noise ke file
subplot(313)
plot(y_1n_kuat_semua)

Bandingkan gambar 1, 2 dan 3, kemudian berikanlah analisa sesuai


teori sinyal yang telah anda pelajari.

3. Pelemahan Sinyal
a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut: T=100;
t=0:1/T:2;
f1=1;
y1=sin(2*pi*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,y1)

b. Lanjutkan dengan langkah berikut ini


a=input('nilai pengali yang anda gunakan (<1): ');
y1_lemah=a*sin(2*pi*t);
subplot(2,1,2)

38 | M o d u l 4
plot(t,y1_kuat)

Masukan nilai ‘a’ berturut-turut : 0.2 ; 0.5 ; 0.7 dan 0.9. Apa yang anda
dapatkan? (berikan penjelasan secara lengkap)

4. Proses Pelemahan pada Sinyal Audio


Sekarang dilanjutkan dengan file *.wav. Dalam hal ini akan dilakukan
pelemahan sinyal audio yang telah dipanggil. Langkah yang akan dilakukan
adalah seperti berikut:

a. Anda buat file lemah_1.m seperti berikut %Description: how to read and
play a wav file y1=wavread('audio1.wav');
Fs=8192;
wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal asli subplot(211)
plot(y1)

b. Lakukan penambahan perintah seperti dibawah ini


amp =0.5;
y2=amp*y1;
wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal setelah pelemahan
subplot(212)
plot(y2)

c. Apakah anda mengamati sesuatu yang baru pada sinyal audio anda?
Cobalah anda rubah nilai amp senilai 0.2, 0.4, 0.6 dan 0.8.

d. Plot file audio yang telah anda panggil dalam bentuk grafik sebagai
fungsi waktu, baik untuk sinyal asli maupun setelah pelemahan
dalam satu figure.

e. Tambahkan noise pada sinyal audio dengan perintah sebagai berikut:


var = 0.1;

39 | M o d u l 4
N=length(y1) ;
noise_1=var*randn(N,1);%membangkitkan noise Gaussian
y_1n=y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(311)
plot(y_1n)
f. Lakukan pelemahan 0.5 kali pada sinyal y_1n, tetapi pada sinyal aslinya
saja, dengan perintah:
y_1n_lemah_sinyal=0.5*y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(312)
plot(y_1n_kuat_sinyal)
g. Kemudian lemahkan sinyal yang sudah diberi noise tersebut sebesar
0.5 kali, dengan perintah: y_1n_lemah_semua=0.5*(y1 +
noise_1);%menambahkan noise ke file
subplot(313)
plot(y_1n_lemah_semua)
h. Bandingkan gambar 1, 2 dan 3, kemudian berikanlah analisa sesuai
teori sinyal yang telah anda pelajari.

5. Perkalian Dua Sinyal


Operasi perkalian duabuah sinyal dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah berikut:
a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut: T=100;%
banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f=1; %frekuensi
a1=4 ; %amplitudo sinyal pha=pi/2; y1=a1*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)
b. Bangkitkan gelombang kedua dengan langkah tambahan berikut ini:
a2=4 ;
y2=a2*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)

40 | M o d u l 4
c. Lakukan proses perkalian pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.
Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:
y3=y1*y2 ; subplot(3,1,3) plot(t,y3)

Buat program perkalian sinyal (1s/d3) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalahhasil perkalian dua buah sinyal dengan frekuensi dan
beda fase sama tetapi amplitudonya berbeda. Plot hasil Running program
tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan tersebut,
jelaskan sebagai bahan analisa.

Selanjutnya buat program dalam m-file yang berbeda sebagai berikut:

a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut:


T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f1=1; %frekuensi
a=4 ; %amplitudo sinyal pha=pi/2; y1=a*sin(2*pi*f1*t+pha);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)

b. Bangkitkan gelombang kedua dengan langkah tambahan berikut ini:


f2=2 ;
y2=a*sin(2*pi*f2*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)

c. Lakukan proses perkalian pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.


Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:
y3=y1*y2 ; subplot(3,1,3)
plot(t,y3)

Buat program perkalian sinyal (4s/d6) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalah hasil perkalian dua buah sinyal dengan amplitudo
dan beda fase sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil Running

41 | M o d u l 4
program tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan
tersebut, jelaskan sebagai bahan analisa.

Selanjutnya buat program dalam m-file yang berbeda sebagai berikut :

a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut:


T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f=1; %frekuensi
a=4 ; %amplitudo sinyal pha1=pi/2; y1=a*sin(2*pi*f*t+pha1);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)

b. Bangkitkan gelombang kedua dengan langkah tambahan berikut ini:


Pha2=2pi/3;
y2=a*sin(2*pi*f*t+pha2);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)

c. Lakukan proses perkalian pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.


Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:

y3=y1*y2 ;
subplot(3,1,3)
plot(t,y3)
Buat program perkalian sinyal (7s/d9) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalah hasil perkalian dua buah sinyal dengan amplitudo dan
beda fase sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil Running program
tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan tersebut,
jelaskan sebagai bahan analisa.

6. Penjumlahan Dua Sinyal


Operasi penjumlahan duabuah sinyal dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah berikut:

42 | M o d u l 4
a. Bangkitkan gelombang pertama
dengan langkah berikut:
T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f=1; %frekuensi
a1=4 ; %amplitudo sinyal pha=pi/2; y1=a1*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)
b. Bangkitkan gelombang kedua dengan
langkah tambahan berikut ini: a2=4 ;
y2=a2*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)
c. Lakukan proses penjumlahan pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas. Bentuk
program selengkapnya adalah seperti berikut:
y3=y1+y2 ; subplot(3,1,3)
plot(t,y3)

Buat program penjumlahan sinyal (1s/d3) tersebut diatas dalam satu m-


file, program diatas adalah hasil penjumlahan dua buah sinyal dengan
frekuensi dan beda fase sama tetapi amplitudonya berbeda. Plot hasil
Running program tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil
percobaan tersebut, jelaskan sebagai bahan analisa.

Selanjutnya buat program dalam m-file yang berbeda sebagai berikut:

a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut:


T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f1=1;
%frekuensi
a=4 ; %amplitudo sinyal pha=pi/2; y1=a*sin(2*pi*f1*t+pha);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)
b. Bangkitkan gelombang kedua dengan langkah tambahan berikut ini:
f2=2 ;

43 | M o d u l 4
y2=a*sin(2*pi*f2*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)
c. Lakukan proses penjumlahan pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.
Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:
y3=y1+y2 ; subplot(3,1,3) plot(t,y3)

Buat program penjumlahan sinyal (4s/d6) tersebut diatas dalam satu m-


file, program diatas
adalah hasil penjumlahan dua buah sinyal dengan amplitudo dan beda fase
sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil Running program tersebut,
kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan tersebut, jelaskan
sebagai bahan analisa.

Selanjutnya buat program dalam m-file yang berbeda sebagai berikut:


a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut:
T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f=1; %frekuensi
a=4 ; %amplitudo sinyal pha1=pi/2; y1=a*sin(2*pi*f*t+pha1);
subplot(3,1,1)
plot(t,y1)

b. Bangkitkan gelombang kedua dengan langkah tambahan berikut ini:


Pha2=2pi/3;
y2=a*sin(2*pi*f*t+pha2);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)

c. Lakukan proses penjumlahan pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas. Bentuk


program selengkapnya adalah seperti berikut:
y3=y1+y2 ;
subplot(3,1,3)

44 | M o d u l 4
plot(t,y3)

Buat program penjumlahan sinyal (7s/d9) tersebut diatas dalam satu m-


file, program diatas adalah hasil penjumlahan dua buah sinyal dengan
amplitudo dan beda fase sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil
Running program tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil
percobaan tersebut, jelaskan sebagai bahan analisa.

7. Penambahan Noise Gaussian pada Sinyal Audio


Untuk melakukan proses penambahan pada file.wave, file wave tersebut
harus berada dalam satu folder dengan m-file yang akan digunakan untuk
memprosesnya. Untuk itu coba anda cari file *.wav apa saja yang ada di PC
anda, copykan ke folder dimana Matlab anda bekerja.

a. Untuk contoh kasus ini ikuti langkah pertama dengan membuat file
coba_audio_1.m seperti berikut.
%File Name:coba_audio_1.m y1=wavread('audio3.wav'); Fs=8192;
Fs1 = Fs;
wavplay(y1,Fs1,'sync') % Sinyal asli dimainkan

b. Tambahkan perintah berikut ini setelah langkah satu diatas.


N=length(y1);%menghitung dimensi file wav
var = 0.1;
noise_1=var*randn(N,1);%membangkitkan noise Gaussian y_1n=y1 +
noise_1;%menambahkan noise ke file wavplay(y_1n,Fs1,'sync') %
Sinyal bernoise dimainkan

c. Apakah anda melihat ada sesuatu yang baru dengan langkah anda?
Coba anda lakukan sekali lagi langkah 2 dengan nilai var 0.2, 0.4,
06, dst. Coba amati apa yang terjadi?

45 | M o d u l 4
d. Cobalah untuk menampilkan file audio yang telah anda panggil dalam
bentuk grafik sebagai fungsi waktu, baik untuk sinyal asli atau setelah
penambahan noise dalam satu figure.

V. Tugas Selama Praktikum


1. Penguatan dan Pelemahan Sinyal
Anda telah melakukan berbagai langkah untuk percobaan operasi dasar
sinyal. Yang harus anda lakukan adalah menjawab setiap pertanyaan yang ada
pada langkah percobaan. Tulis semua komentar dan analisa sebagai penjelasan
dari hasil percobaan anda.
a. Apa arti penguatan dan pelemahan sinyal dalam simulasi tersebut diatas
? jelaskan berdasarkan amplitudonya.
b. Jelaskan pengaruh penguatan dan pelemahan sinyal pada sinyal yang
ditambah dengan noise ?

2. Pernjumlahan dan Perkalian Sinyal


a. Buat program perkalian 2 buah sinyal dengan berbagai perubahan
(besar perubahan terserah anda masing-masing) dengan ketentuan :
➢ Amplitudo berbeda, frekuensi dan beda fase tetap.
➢ Frekuensi berbeda, amplitudo dan beda fase tetap
➢ Beda fase berbeda, amplitudo dan frekuensi tetap.
Jalankan program dan plot masing-masing m-file, serta jelaskan
sebagai analisa tentang hasil proses perkalian dua sinyal.
b. Ulangi tugas 1 untuk proses penjumlahan dan pengurangan.

46 | M o d u l 4
MODUL 5
PROSES SAMPLING

I. Tujuan Instruksional Khusus:


Siswa memahami pengaruh pemilihan jumlah sample dan pengaruhnya pada
proses recovery sinyal

II. Teori Sampling


2.1. Analog to Digital Conversion
Dalam proses pengolahan sinyal analog, sinyal input masuk ke Analog
Signal Processing (ASP), diberi berbagai perlakukan (misalnya pemfilteran,
penguatan, dsb.) dan outputnya berupa sinyal analog.

Gambar 5.1 sistem pengolahan sinyal analog


Proses pengolahan sinyal secara digital memiliki bentuk sedikit berbeda.
Komponen utama system ini berupa sebuah processor digital yang mampu
bekerja apabila inputnya berupa sinyal digital. Untuk sebuah input berupa
sinyal analog perlu proses awal yang bernama digitalisasi melalui perangkat
yang bernama analog-to-digital conversion (ADC), dimana sinyal analog
harus melalui proses sampling, quantizing dan coding. Demikian juga
output dari processor digital harus melalui perangkat digital-to-analog
conversion (DAC) agar outputnya kembali menjadi bentuk analog. Ini bisa
kita amati pada perangkat seperti PC, digital sound system, dsb. Secara
sederhana bentuk diagram bloknya adalah seperti Gambar 5.2.

47 | M o d u l 5
Gambar 5.2 Sistem Pengolahan Sinyal Digital
2.2. Proses Sampling

Berdasarkan pada penjelasan diatas kita tahu betapa pentingnya satu


proses yang bernama sampling. Setelah sinyal waktu kontinyu atau yang
juga popoler kita kenal sebagai sinyal analog disampel, akan didapatkan
bentuk sinyal waktu diskrit. Untuk mendapatkan sinyal waktu diskrit yang
mampu mewakili sifat sinyal aslinya, proses sampling harus memenuhi
syarat Nyquist.
fs > 2 fi (6-1)
dimana:
fs = frekuensi sinyal sampling
fi = frekuensi sinyal informasi yanga kan disampel
Fenomena aliasing proses sampling akan muncul pada sinyal hasil
sampling apabila proses frekuensi sinyal sampling tidak memenuhi criteria
diatas. Perhatikan sebuah sinyal sinusoida waktu diskrit yang memiliki
bentuk persamaan matematika seperti berikut:

x(n) = A sin(ωn +θ) (6-2)


dimana:
A = amplitudo sinyal
ω= frekuensi sudut
θ = fase awal sinyal

Frekuensi dalam sinyal waktu diskrit memiliki satuan radian per indek
sample, dan memiliki ekuivalensi dengan 2πf.

48 | M o d u l 5
Gambar 5.3. Sinyal sinus diskrit

Sinyal sinus pada Gambar 3 tersusun dari 61 sampel, sinyal ini memiliki
frekuensi f = 50 dan disampel dengan Fs = 1000. Sehingga untuk satu siklus
sinyal sinus memiliki sample sebanyak Fs/f = 1000/50 = 20 sampel. Berbeda
dengan sinyal waktu kontinyu (C-T), sifat frekuensi pada sinyal waktu diskrit (D-
T) adalah:
1. Sinyal hanya periodik jika f rasional. Sinyal periodic dengan periode N
apabila berlaku untuk untuk semua n bahwa x(n+N) = x(n). Periode
fundamental NF adalah nilai N yang terkecil. Sebagai contoh:
agar suatu sinyal periodic maka cos(2π(N+n) + θ) = cos(2πn + θ) = cos(2πn +
θ +2πk)

2. Sinyal dengan fekuensi beda sejauh k2π (dengan k bernilai integer) adalah
identik. Jadi berbeda dengan kasus pada C-T, pada kasus D-T ini sinyal yang
memiliki suatu frekuensi unik tidak berarti sinyal nya bersifat unik.
Sebagai contoh :
cos[(ωο + 2π)n + θ] = cos (ωο + 2π)
karena cos(ωο + 2π) = cos(ωο). Jadi bila xk(n) = cos(ωοn+ 2π) , k = 0,1,….
Dimana ωk = ωοn+ 2kπ, maka xk(n) tidak bisa dibedakan satu sama lain.
Artinya x1(n) = x2(n) = x3(n)….= xk(n). Sehingga suatu sinyal dengan
frekuensi berbeda akan berbeda jika frekuensinya dibatasi pada daerah −π < ω
< π atau –1/2 < f <1/2.

49 | M o d u l 5
2.3. Proses Aliasing
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa proses aliasing akan terjadi jika
frekuensi sampling tidak sesuai dengan aturan Nyquist. Gambar 6.4
memperlihatkan proses sampling jika dilihat dari kawasan frekuensi. Karena
transformasi Fourier dari deretan impuls adalah juga suatu deretan impuls,
maka konvolusi antara spektrum sinyal S(Ω) dengan impuls δ(Ω - kΩT)
menghasilkan pergeseran spektrum sejauh kΩT. Sebagai akibatnya akan
terjadi pengulangan (tiling) spektrum di seluruh rentang frekuensi pada
posisi kelipatan dari frekuensi pencuplikan. Gambar 6.4 bagian kiri bawah
menunjukkan spektrum dari sinyal yang lebar pitanya Ωm yang kemudian
mengalami proses pengulangan akibat proses sampling.

Gambar 5.4. Pencuplikan dilihat dari kawasan frekuensi

Jika jarak antar pengulangan atau grid pengulangan cukup lebar, seperti
diperlihatkan pada Gambar 6.5 bagian atas, yang juga berarti bahwa frekuensi
samplingnya cukup besar, maka tidak akan terjadi tumpang tindih antar spektrum
yang bertetangga. Kondisi ini disebut sebagai non-aliasing. Selanjutnya sifat
keunikan dari transformasi Fourier akan menjamin bahwa sinyal asal dapat
diperoleh secara sempurna. Sebaliknya, jika ΩT kurang besar, maka akan terjadi
tumpang tindih antar spektrum yang mengakibatkan hilangnya sebagian dari

50 | M o d u l 5
informasi. Peristiwa ini disebut aliasing, seperti diperlihatkan pada Gambar 6.5
bagian bawah.

Gambar 5.5. Kondisi non-aliasing dan aliasing pada proses pencuplikan

Pada kondisi ini, sinyal tidak dapat lagi direkonstruksi secara eksak. Dengan
memahami peristiwa aliasing dalam kawasan frekuensi, maka batas minimum laju
pencuplikan atau batas Nyquist
dapat diperoleh, yaitu sebesar ΩNyquist = Ωm. Hasil ini dirumuskan sebagai
teorema Shannon untuk pencuplikan sebagai berikut:

Teorema Pencuplikan Shannon. Suatu sinyal pita-terbatas dengan lebar


Ωm dapat direkonstruksi secara eksak dari cuplikannya jika laju
pencuplikan minimum dua kali dari lebar pita tersebut, atau ΩT > 2Ωm

Sebagai contoh, manusia dapat mendengar suara dari frekuensi 20 Hz


sampai dengan sekitar 20kHz, artinya lebar pita dari suara yang mampu didengar
manusia adalah sekitar 20 kHz. Dengan demikian, pengubahan suara menjadi
data dijital memerlukan laju pencuplikan sedikitnya 2×20kHz = 40 kHz atau
40.000 cuplikan/detik supaya sinyal suara dapat direkonstruksi secara sempurna,
yang berarti juga kualitas dari suara hasil perekaman dijital dapat dimainkan
tanpa distorsi.

III. Perangkat Yang Diperlukan

51 | M o d u l 5
a. PC yang dilengkapi dengan perangkat multimedia (sound card,
Microphone, Speaker active, atau headset)
b. Sistem Operasi Windows dan Perangkat Lunak Matlab yang dilengkapi
dengan tool box DSP.

IV. Langkah Percobaan


4.1 Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling Secara
Visual
Prosedur yang akan anda lakukan mirip dengan yang ada di percobaan 2,
tetapi disini lebih ditekankan pad akonsep pemahaman fenomena sampling. Untuk
itu anda mulai dengan membuat program baru dengan perintah seperti berikut :

%sampling_1.m Fs=8;%frekuensi sampling t=(0:Fs-1)/Fs;%proses


normalisasi s1=sin(2*pi*t*2);
subplot(211) stem(t,s1)
axis([0 1 -1.2 1.2])
Fs=16;%frekuensi samplingt=(0:Fs-1)/Fs;%proses normalisasi
s2=sin(2*pi*t*2);
subplot(212)
stem(t,s2)
axis([0 1 -1.2 1.2])

52 | M o d u l 5
Gambar 5.6 pengaruh jumlah sample berbeda terhadap satu periode
sinyal terbangkit

Lakukan perubahan pada nilai Fs, pada sinyal s1 sehingga bernilai 10, 12,
14, 16, 20, dan 30. Catat apa yang terjadi ? Apa pengaruh fs terhadap jumlah
sample ? Apa pengaruh jumlah sample berbeda untuk satu periode sinyal
terbangkit.
4.2 Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling pada Efek
Audio
Disini kita akan mendengarkan bagaimana pengaruh frekuensi sampling
melalui sinyal audio. Untuk itu anda harus mempersiapkan PC anda dengan
speaker aktif yang sudah terkonek dengan sound card. Selanjutnya anda ikuti
langkah berikut :

1. Buat program bari sampling_2.m dengan perintah seperti berikut ini.


%sampling_2.m

clear all;

53 | M o d u l 5
Fs=1000;
t=0:1/Fs:0.25;
f=100;
x=sin(2*pi*f*t);
%sound(x,Fs)
plot(x)

2. Setelah anda menjalankan program tersebut, apa yang anda dapatkan?


Selanjutnya coba anda rubah nilai f = 200, 250,300, 350, 400 dan 850. Plot
hasil running program dari masing-masing nilai f (dengan subplot). Apa yang
anda dapatkan? Beri penjelasan tentang kejadian tersebut.

4.3 Pengamatan Efek Aliasing pada Audio


Tentunya anda bosan dengan sesuatu yang selalu serius, marilah kita sedikit
bernafas melepaskan ketegangan tanpa harus meninggalkan laboratorium tempak
praktikum. Caranya?

1. Anda susun sebuah lagu sederhana dengan cara membuat


program baru berikut ini. clc ; clf ;

Fs=16000;

t=0:1/Fs:0.25;

c=sin(2*pi*262*t);

d=sin(2*pi*294*t);

e=sin(2*pi*330*t);

f=sin(2*pi*249*t);

g=sin(2*pi*392*t);

a=sin(2*pi*440*t);

b=sin(2*pi*494*t);

c1=sin(2*pi*523*t); nol = [zeros(size(t))];

54 | M o d u l 5
nada1 = [c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol,nol];
nada2 = [c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol];
nada3 = [c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol];
nada4 = [c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)
subplot (211) plot (lagu) subplot(212) stem (lagu)

2. Pada bagian akhir program anda tambahkan perintah berikut


wavwrite(lagu,‘gundul.wav’)

3. Coba anda minimize Matlab anda, cobalah gunakan Windows Explorer untuk
melihat dimana file gundul.wav berada. Kalau sudah terlihat coba click kanan
pada gundul.wav dan bunyikan.

4. Coba anda edit program anda diatas, dan anda lakukan perubahan pada nilai
frekuensi sampling Fs=14000, menjadi Fs =10000, 2000 dan 800. Plot
perubahan frekuensi tersebut. Apa yang anda dapatkan?

Gambar 5.7 penggambaran sinyal lagu

55 | M o d u l 5
Gambar 5.8 pengaruh pemilihan Fs pada sinyal lagu

V. Analisa Data

Catat semua peristiwa yang terjadi dari hasil percobaan anda, buat laporan
dan analisa mengapa muncul fenomena seperti diatas? Fenomena itu lebih dikenal
dengan nama apa…?
Apa yang menyebabkannya ..?

56 | M o d u l 5
MODUL 6
OPERASI KONVOLUSI SINYAL WAKTU KONTINYU

I. Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa dapat memahami proses operasi konvolusi pada dua sinyal
kontinyu dan pengaruhnya terhadap hasil konvolusi.

II. Teori Konvolusi Sinyal Waktu Kontinyu

2.1 Konvolusi Sinyal Kontinyu


Representasi sinyal dalam impuls artinya adalah menyatakan sinyal
sebagai fungsi dari impuls, atau menyatakan sinyal sebagai kumpulan dari
impuls-impuls. Sembarang sinyal diskret dapat dinyatakan sebagai
penjumlahan dari impuls-impuls diskret dan sembarang sinyal kontinyu
dapat dinyatakan sebagai integral impuls.

Secara umum, sebuah sinyal diskret sembarang x[n] dapat dinyatakan


sebagai penjumlahan impuls-impuls:

x[n] = ∑ x[k ]δ n − k  (6-1)
k = −∞

Seperti pada sistem diskret, sebuah sinyal kontinyu sembarang dapat


dinyatakan sebagai integral dari impuls-impuls:

x(t) = ∞∫ x(τ )δ (t − τ )dτ (6-2)


−∞

Keluaran sebuah sistem disebut juga respon. Jika sinyal berupa unit
impulse masuk ke dalam sistem, maka sistem akan memberi respon yang
disebut respon impuls (impulse response). Respon impuls biasa diberi
simbol h. Jika sistemnya diskret, respon impulsnya diberi simbol h[n] dan
jika sistemnya kontinyu, respon impulsnya diberi simbol h(t).

58 | M o d u l 6
Jika h[n] adalah respon impuls sistem linier diskrit, dan x[n] adalah
sinyal masukan maka sinyal keluaran adalah
yn = xn* hn
∞ (6-3)
= ∑ x[k ]hn − k 
k =−∞

Rumusan di atas disebut penjumlahan konvolusi. Jika h(t) adalah respon


impuls sistem linier kontinyu, dan x(t) adalah sinyal masukan maka sinyal
keluaran adalah
y(t ) = x(t )* h(t )
∞ (6-4)
= ∫ x(τ )h(t − τ )dτ

Rumusan di atas disebut integral konvolusi.

Operasi konvolusi mempunyai beberapa sifat operasional:


1. Komutatif : x(t)*h(t) = h(t)* x(t)
2. Asosiatif : x(t)*(y(t)*z(t)) = (x(t)*y(t))*z(t)
3. Distributif : x(t)*(y(t) + z(t)) = (x(t)*y(t)) + (x(t)*z(t))

2.2. Mekanisme Konvolusi Sinyal Kontinyu


Misalnya kita memiliki sebuah sistem linear time invariant (LTI)
dengan tanggapan impuls h(t) yang bisa disederhanakan seperti pada
diagarm blok berikut ini.

Gambar 6.1. Sistem linear time invariant

Jika sinyal input dalam hal ini adalah x(t), maka sinyal outputnya bisa
dinyatakan dalam persamaan berikut ini.

59 | M o d u l 6
y(t) = x(t) * h(t ) = h(t) * x(t )

y(t) = ∫ x(τ )h(t − τ )dτ (8-5)
−∞

y(t) = ∫ h(τ )x(t − τ )dτ
−∞

Untuk lebih mudahnya di dalam pemahaman, bisa dilakukan dengan


pendekatan grafik. Misalnya kita memiliki x(t) dan h(t) dengan bentuk
seperti pada Gambar 6.2 dibawah.

(b) Respon Impulse


sistem LTI
(a) Input sistem LTI

Gambar 6.2. Sinyal input dan respon impulse

Kita mulai dengan melakukan refleksi sinyal input x(t) terhadap sumbu
y(x=0), sehingga diperoleh hasil secara grafik seperti pada Gambar 6.3a.
x(-t)
1

-2.5 -1.5 t

Gambar 6.3a. Proses refleksi sinyal input, atau proses flip x(t)

x(p-t)
1

p- t
2.5 p-1.5
Gambar 6.3b. Proses pergeseran sinyal input, atau x(p - t)

60 | M o d u l 6
Dilanjutkan dengan proses integrasi kedua fungsi untuk mendapatkan nilai
pada posisi tersebut, dalam hal ini bisa dinyatakan dalam persamaan
berikut

y( p) = ∫ h(t)x( p − t)dt (8-5)

Agar lebih mudah kita evaluasi pada beberapa nilai berikut ini.

1. Untuk p-1.5< 0 atau p<1.5

x(p-t) 1 h(t)

t
p-2.5 p-1.5
y( p) = 0

Gambar 6.4a. Proses konvolusi posisi 1

2. Untuk p-1.5 > 0 dan p-2.5 < 0, atau 1.5< p <2.5

x(p-t) 1 h(t)

t
p-2.5p-1.5

Gambar 6.4b. Proses konvolusi posisi 2


y( p) = ∫ h(t )x( p − t)dt, y( p) ≠ 0 untuk 0 < t < p −1.5
−∞
p −1.5
y( p) = ∫ h(t )x( p − t)dt
0
p −1.5
y( p) = ∫1.1dt
0
 p −1.5
y( p) = t 0 = p −1.5

61 | M o d u l 6
3. Untuk p-1.5 > 1 dan p-2.5<1, atau 2.5 < p <3.5

h(t
) x(p-t)

t
p-2.5 p-1.5

Gambar 6.4c. Proses konvolusi posisi 3


y( p) = ∫ h(t)x( p − t)dt, y( p) ≠ 0 untuk p − 2.5 < t < 1
−∞
1
y( p) = ∫ h(t )x( p − t )dt
p − 2.5
1
y( p) = ∫1.1dt
p − 2.5
y( p) = t 1p− 2.5 = 1− ( p − 2.5) = 3.5 − p

4. Untuk p - 2.5 > 1, p > 3.5

h(t) x(p-t)
1

p-2.5 p-1.5 t

Gambar 6.4d. Proses konvolusi posisi 4


y( p) = 0

Sehigga pada akhirnya dengan menganalogikan nilai y(t) = y(p) menjadi


sepeti pada gambar berikut

y(p)
y(t)
1
1
p-1.5
3.5-p t -1.5 3.5- t

62 | M o d u l 6
3.5
1.5 2.5 3.5 p 1.5 2.5 t

Gambar 6.4e. Hasil proses konvolusi

III. Perangkat Yang Diperlukan


1. PC yang dilengkapi dengan perangkat multimedia (sound card,
Microphone, Speaker active, atau headset)
2. Sistem Operasi Windows dan Perangkat Lunak Matlab yang dilengkapi
dengan tool box DSP

IV. Langkah Percobaan

4.1 Konvolusi Dua Sinyal Sinus


Disini kita mencoba untuk membangkitkan dua sinyal sinus dan melakukan
operasi konvolusi untuk keduanya. Langkah yang harus anda lakukan adalah
sebagai berikut:

1. Buat program untuk membangkitkan dua gelombang sinus seperti


berikut:

L = input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');

f1 = input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');

f2 = input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');

teta1 = input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant): ');

teta2 = input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant): ');

A1 = input('Besarnya amplitudo gel 1: ');

A2 = input('Besarnya amplitudo gel 2: '); %Sinus pertama

T = 1:L;

t =2*t/L;

63 | M o d u l 6
y1=A1*sin (2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1) %Sinus kedua t=1:L; t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi); subplot(3,1,2)
stem(y2)

2. Coba jalankan program anda dan isikan seperti berikut ini:

Banyaknya titik sampel(>=20): 20

Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: 1

Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: 0.5

Besarnya fase gel 1(dalam radiant): 0

Besarnya fase gel 2(dalam radiant): 0.5

Besarnya amplitudo gel 1: 1

Besarnya amplitudo gel 2: 1

Perhatikan tampilan yang dihasilkan. Apakah ada kesalahan pada


program anda?

3. Lanjutkan dengan menambahkan program berikut ini pada bagian


bawah program yang anda buat tadi.
subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2))

4. Jalankan program anda, dan kembali lakukan pengisian seperti


pada langkah ke 3. Lihat hasilnya apakah anda melihat tampilan
seperti berikut?

5. Ulangi langkah ke 4, dengan menetapkan nilai sebagai berikut:


L=50. w1=w2=2, teta1=1.5, teta2=0.5, dan A1=A2=1. Apa yang

64 | M o d u l 6
anda dapatkan? Apakah anda mendapatkan hasil yang berbeda dari
program sebelumnya? Mengapa ?

4.2 Konvolusi Sinyal Bernoise dengan Raise Cosine


Sekarang kita mulai mencoba utnuk lebih jauh melihat implementasi dari
sebuah operasi konvolusi. Untuk itu ikuti langkah-langkah berikut.
1. Bangkitkan sinyal raise cosine dan sinyal sinus dengan program berikut.
%File Name: Noisin.m

%convolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine;

n=-7.9:.5:8.1; y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);

figure(1);

plot(y,'linewidth',2)

t=0.1:.1:8;

x=sin(2*pi*t/4);

figure(2);

plot(x,'linewidth',2)

Gambar 6.5. Sinyal raise cosine

65 | M o d u l 6
Gambar 6.6. Sinyal Sinus Asli

2. Tambahkan noise pada sinyal sinus


. t=0.1:.1:8;
noise=0.5*randn*sin(2*pi*10*t/4)
; x_n=sin(2*pi*t/4)+noise
; figure(3); plot(x_n,'linewidth',2)

Gambar 6.7. Sinyal sinus bernoise

3. Lakukan konvolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine, perhatikan apa
yang terjadi?

66 | M o d u l 6
xy=conv(x_n,y);

figure(4);

plot(xy,'linewidth',2)

Gambar 6.8. Sinyal Hasil konvolusi


V. Data dan Analisa
Anda telah melakukan berbagai langkah untuk percobaan operasi konvolusi
sinyal kontinyu. Yang harus anda lakukan adalah menjawab setiap pertanyaan
yang ada pada langkah percobaan. Tulis semua komentar dan analisa sebagai
penjelasan dari hasil percobaan anda.

1. Apa arti konvolusi 2 buah sinyal kontinyu dalam simulasi tersebut diatas?
bagaimana jika amplitudo masing-masing sinyal diubah? Beri penjelasan.
2. Jelaskan pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli……?

67 | M o d u l 6
MODUL 7
TRANSFORMASI FOURIER DISKRIT

I. TUJUAN
mahasiswa mampu memahami konsep dasar transformasi sinyal
waktu diskrit dan mampu menyusun program simulasinya.

II. TEORI DASAR


Sebelum kita berbicara tentang transformasi Foureir Diskrit atau
dalam bahasa aslinya disebut sebagai discrete Fourier transform (DFT),
marilah kita kembali sejenak tentang sesuatu yangsudah popular di
telinga kita yaitu Fourier transform (FT). Transformasi Fourier untuk
sebuah sinyal waktu kontinyu x(t) secara matematis dituliskan sebagai

X (ω ) = ∫ x(t )e− jωt dt dimana ω ∈ (− ∞, ∞) (1)
−∞
Sementara DFT dibentuk dengan menggantikan integral berhingga
dengan sederetan jumlahan pada suatu nilai berhingga:
N −1
− jωk tn
X (ωk )∆∑ x(tn )e k = 0,1, 2,....., N −1 (2)
n=0

Simbol ∆ memiliki arti equal by definition atau dalam bahasa yang m


udah bagi kita adalah bahwa sisi kiri secara definisi akan senilai dengan
sisi kanan. Dengan melihat persamaan (2) jelas bagi kita bahwa DFT
memiliki basis sinyal sinusoda dan merupakan bentuk komplek.
Sehingga representasi domain frekuensi yang dihasilkan juga akan
memiliki bentuk komplek. Dengan demikian anda akan melihat adanya
bagian real dan imajiner, dan bisa juga hasil transformasi
direpresentasikan dalam bentuk nilai absolute yang juga dikenal sebagai
magnitudo respon frekuensinya dan magnitudo respon fase. Selanjutnya

68 | M o d u l 7
untuk proses pengolahan sinyal digital, kita DFT mutlak diperlukan
karena kita akan berhubungan dengan sinyal waktu diskrit, yang
merupakan bentuk tersampel dari sinyal waktu kontinyu. Dan dalam
praktikum ini kita akan memanfaatkan bentuk dasar library fft yang
merupakan pengembangan dari algorithma dasar DFT. Mengapa kita
menggunakan fft? Hal ini bisa dijawab dengan anda masuk ke Matlab
command like dan ketikkan help fft Akan muncul keterangan:

FFT Discrete Fourier transform.


FFT(X) is the discrete Fourier transform (DFT) of vector X. For
matrices, the FFT operation is applied to each column. For N-D
arrays, the FFT operation operates on the first non-singleton
dimension.
FFT(X,N) is the N-point FFT, padded with zeros if X has less than N
points and truncated if it has more.

Cukup jelas bagi kita mengapa kita bisa memanfaatkan library fft
dalam praktikum kali ini.

III. PERALATAN
a. PC multimedia yang sudah dilengkapi dengan OS Windows
b. Perangkat Lunak Matlab yang dilengkapi dengan Tool Box DSP

IV. LANGKAH PERCOBAAN


Sebelum memasuki bentuk DFT yang benar-benar representatif
dalam pengolahan ke domain frekuensi yang sebenarnya, kita akan
memulai dengan langkah yang paling dasar dengan tujuan anda akan
merasa lebih mudah memahaminya bagaimana sebenarnya konsep DFT
bekeja.

69 | M o d u l 7
1. Dasar Pembentukan DFT
Disni kita mulai dengan mencoba melihat bentuk transformasi
Fourier dari sinyal cosinus yang memiliki periode eksak didalam
window yang terdapat pada sampel. Langkahnya adalah sebagai
berikut:

a. Bangkitkan sinyal sinus x(t) = 3cos(2πt), pada t = nT. Untuk


suatu n = 0~ 99, dan T=0,01. %File Name: dft_1.m n=0:199;
T=0.01; x_t=3*cos(2*pi*n*T); plot(n,x_t) grid;
b. Untuk sementara anda jangan memperhatikan apakah sinyal
yang muncul sesuai dengan nilai sebenarnya. Biarkan axis dan
ordinatnya masih dalam angka seadanya. Anda ganti bagian
perintah plot(n,x_t) dengan stem(n,x_t). Coba perhatikan apa
yang anda dapatkan.
c. Untuk memulai langkah program DFT, kita mulai dengan
membuat program baru, yang mengacu pada bentuk persamaan
berikut ini :
N-1
− jkω0n
X (k) = ∑ x(n)e 0 ≤ k ≤ N −1
n=0
Atau dalam bentuk real dan imaginer:
N −1
X (k) = ∑(3 cos(0,02πn))(cos(kω0n) − j sin(kω0n))

n=0

70 | M o d u l 7
%File Name: dft_2.m
clear all;
N=200;
nn=N-1;
for k=1:200;
x_n=0.0;
for n=1:nn
x_n = (3*cos(0.02*pi*n)).*(exp(-j*k*2*pi*n/200)) + x_n;
end
yR(k)=real(x_n);
yI(k)=imag(x_n);
magni_k(k)=sqrt(real(x_n).*real(x_n) +imag(x_n).*imag(x_n));
end
figure(1)
stem(yR)
axis([0 200 0 800])
xlabel('indek fekuensi')
title('Bagian Real')
grid;
figure(2)
stem(yI)
axis([0 200 0 800])
xlabel('indek frekuensi')
title('Bagian Imajiner')
grid;

71 | M o d u l 7
Gambar 7.1. Bagian real pada domain frekuensi

Anda perhatikan ada dua nilai non-zero dalam domain frekuensi


indek, tepatnya pada n=2 dan n=N-2 atau 198, masing-masing bernilai
300. Nilai ini merepresentasikan AN/2, dimana A=3 yang merupakan
amplitudo sinyal cosinus dan N = 200 merupakan jumlah sample yang
digunakan. Sementara bagian imajiner bernilai nol semua, mengapa.?

72 | M o d u l 7
Gambar 7.2. Bagian imajiner pada domain frekuensi

4. Coba ulangi langkah 1-3 dengan merubah dari sinyal cosinus menjadi
sinyal sinus. Untuk langkah k-1 anda rubah
x_t=3*cos(2*pi*n*T); Æ menjadi Æ x_t=3*sin(2*pi*n*T); Demikian
juga pada untuk langkah ke-3 bentuk x_n =
(3*cos(0.02*pi*n)).*(exp(-j*k*2*pi*n/200)) + x_n; menjadi
Æ x_n = (3*sin(0.02*pi*n)).*(exp(j*k*2*pi*n/200)) +
x_n; Apa yang anda dapatkan?
5. Ulangi langkah 1-3 dengan merubah nilai sample N=200,
menjadi N=1000.
Apa yang anda dapatkan?

2. Zero Padding
Kita mulai dengan sebuah sinyal waktu diskrit berupa sekuen unit
step.

73 | M o d u l 7
Gambar 7.3. Sekuen unit step

Apabila kita menggunakan transformasi Fourier pada sinyal ini,


akan diperoleh bentuk seperti berikut:

Gambar 7.4. Transformasi fourier sekuen unit

Untuk memahami konsep zero padding pada DFT, anda ikuti


langkah-langkah percobaan berikut ini.

74 | M o d u l 7
1. Buat program baru untuk pembangkitan sekuen unit step dan
gunakan juga fft untuk memperoleh nilai DFT.
2. Modifikasi program anda dengan menambahkan nilai
nol sebanyak 4 angka di belakang sekuen bernilai satu
tersebut.
3. Modifikasi program anda sehingga nilai nol dibelakang sekuen
unit step menjadi 12, catat apa yang terjadi.
4. Lanjutkan perubahan nilai nol mejadi 16, dan catat apa yang
terjadi.

Gambar 7.5 Sekuen unit step dan hasil DFT

Jelaskan konsep zero padding yang telah anda buat simulasinya…..!

3. Representasi Dalam Domain Frekuensi


Cara yang paling mudah dalam menguji program transformasi ke
domain frekuensi adalah dengan menggunakan sinyal bernada
tunggal, yaitu sinyal dengan fungsi dasar sinusoida. Untuk itu coba
anda perhatikan dengan yang telah anda lakukan pada percobaan ke-
1, yaitu pada pemahaman dasar DFT. Disitu sinyal cosinus yang

75 | M o d u l 7
ditransformasikan menghasilkan bentuk dalam tampilan indek
frekuensi. Dengan mengkobinasikan percobaan ke-1 dan percobaan
ke-2 kita akan mampu menyusun sebuah program DFT yang mampu
digunakan untuk pengamatan sinyal waktu diskrit dan melihat
tampilannya dalam domain frekuensi. Untuk itu ikuti langkah berikut.

1. Susun sebuah program baru dengan algorithma yang merupakan


kombinasi dari percobaan ke-1 dan percobaan ke-2.

%prak_SS_7_2.m
% zero-padded data:
clear all
T = 128; % sampling rate
zpf = 2; % zero-padding factor
n = 0:1/T:(T-1)/T; % discrete time axis
fi = 5; % frequency
xw = [sin(2*pi*n*fi),zeros(1,(zpf-1)*T)];
nn=length(xw);
k=0:nn-1;
% Plot time data: subplot(2,1,1); plot(zpf*k/nn,xw);%normalisasi
absis domain waktu axis([0 zpf -1.1 1.1])
xlabel('domain waktu (detik)')
% Smoothed, interpolated spectrum:
X = fft(xw);
spec = abs(X);
f_X=length(X)
f=0:f_X-1;
% Plot spectral magnitude: subplot(2,1,2); plot(f/T,spec);
axis([0 T/T 0 100])

xlabel('domain frekuensi (x pi), ternormalisasi terhadap frekuensi sampling

76 | M o d u l 7
Gambar 7.6. Sinyal sinus dalam domain waktu dan hasil DFT
2. Lakukan beberapa modifikasi, sehingga tampilannya nilai frekuensi
dalam Hz.

% Plot spectral magnitude:


subplot(2,1,2);
plot(f/2,spec);
axis([0 T/2 0 100])
xlabel('domain frekuensi')
Amati dan catat hasilnya.

3. Lakukan modifikasi kembali untuk mendapatkan nilai magnitudo


dalam besaran dB.

% Plot spectral magnitude:


subplot(2,1,2);
plot(f/2,spec);
axis([0 T/2 0 40])
xlabel('domain frekuensi dalam dB')
grid

77 | M o d u l 7
Amati dan catat hasilnya

4. Sekarang coba bangkitkan sebuah sinyal sinus dan dapatkan nilai


frekuensinya dengan memanfaatkan DFT. Dimana sinyal sinus ini
memiliki bentuk dasar sebagai berikut.
x(n) = (1/64)*(sin(2*π*n/64)+ (1/3)*sin(2*π∗15*n/64))

V. ANALISA DATA DAN TUGAS


Dari apa yang telah anda lakukan anda catat hasilnya, dan jawab
beberapa pertanyaan berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan zero padding ..?
2. Apa pengaruh perbedaan nilai zero padding pada tampilan sinyal
dalam domain frekuensi ..?
3. Berapa sample yang dipersyratkan dalam operasi DFT..?
4. Apa perbedaan nilai tampilan nilai frekuensi dalam radiant dan
tampilan frekuensi dalam Hz..?
5. Apa yang dimaksud tampilan nilai perubahan magnitudo dalam
dB..?

78 | M o d u l 7
MODUL 8
ANALISA SINYAL DALAM DOMAIN FREKUENSI

I. TUJUAN
Mahasiswa dapat Mengamati sinyal dalam domain waktu dan domain
frekuensi dengan menggunakan library FFT

II. DASAR TEORI


2.1 Transformasi Fourier
Satu bentuk transformasi yang umum digunakan untuk merubah sinyal
dari domain waktu ke domain frekuensi adalah dengan transformasi Fourier:

Persamaan ini merupakan bentuk transformasi Fourier yang siap


dikomputasi secara langsung dari bentuk sinyal x(t).
Sebagai contoh, anda memiliki sinyal sinus dengan frekuensi 5 Hz dan
amplitudo 1 Volt. Dalam domain waktu anda akan melihat seperti pada
Gambar 1 bagian atas. Sementara dalam domain frekuensi akan anda
dapatkan seperti pada bagian bawah. Untuk memperoleh hasil seperti gambar
tersebut anda dapat memanfaatkan library fft yang tersedia pada Matlab.

Gambar 8.1. Sinyal sinus dalam domain waktu dan domain frekuensi
2.2 Analisa Spektrum

79 | M o d u l 8
Untuk menghitung frekuensi dari suatu sinyal, sebuah implementasi
diskrit dari analisa Fourier dapat digunakan, yang kemudian lebih
disempurnakan dengan suatu algoritma yang kita kenal sebagai Fast Fourier
transform (FFT). Secara umum teknik ini merupakan pendekatanyang terbaik
untuk transformasi. Dalam hal ini input sinyal ke window ditetapkan memiliki
m panjang 2. Anda dapat memilih analisis window yang akan digunakan.
Output dari syntax FFT(x,n) merupakan sebuah vector komplek, dengan n
amplitudo komplek dari 0 Hz sampai dengan sampling frekuensi yang
digunakan.

III. PERALATAN
PC multimedia yang sudah dilengkapi dengan OS Windows -Perangkat Lunak
Matlab yang dilengkapi dengan Tool Box DSP

IV. LANGKAH PERCOBAAN


1. Fenomena Gibb
Kita mulai dengan mencoba memahami suatu masalah yang popular
dalam pengolahan sinyal, yaitu fenomena Gibb. Untuk memahami bagaimana
penjelasan fenomena tersebut, anda ikuti langkah berikut.
A. Bangkitkan sebuah sinyal sinus dengan cara seperti berikut
clc; t= 3:6/1000:3;
N=2;%input('Jumlah sinyal: '); c0=0.5;
w0=pi;
xN=c0*on
es(1,length
(t)); for
n=1:2:N
theta=((-1)^((n-1)/2)-1)*pi/2;
xN = xN + 2/n/pi*cos(n*w0*t +theta);
end
plot(t,xN)
xlabel('waktu')ylabel('x(t)')

80 | M o d u l 8
B. Jalankan lagi program anda, dengan cara memberi jumlah masukan
sinyal yang berbeda, misalnya 3, 5, 7 dan 100. Apa yang anda
dapatkan?
C. Dari langkah percobaan anda ini, fenomena apa yang didapatkan
tentang sinyal persegi? Apa kaitannya dengan sinyal sinus?

2. Pengamatan Frekuensi Pada Sinyal Tunggal


Disini anda akan mengamati bentuk sinyal dalam domain waktu dan
domain frekuensi dengan memanfaatkan library fft yang ada dalam DSP
Toolbox Matlab. Apabila ada yang kurang jelas dengan perintah yang
diberikan dalam petunjuk, jangan pernah sungkan menanyakan kepada dosen
pengajar. Selanjutnya ikuti langkah berikut.

A. Bangkitkan sinyal sinus yang memiliki frekuensi f = 5 Hz, dan


amplitudo 1 Volt.
Fs=100;
t=(1:100)/Fs;
f=5;
s=sin(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,s) xlabel('time')
B. Lanjutkan langkah ini dengan memanfaatkan fungsi fft untuk
mentranformasi sinyal ke dalam domain frekuensi
S=fft(s,512);
w=(0:255)/256*(Fs/2);
subplot(2,1,2)
plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency')
C. Cobalah anda merubah nilai f1=5, 10, 20, dst Apa yang anda lihat
pada gambar sinyal anda?
D. Cobalah merubah nilai amplitudo dari 1 volt menjadi 2, 4 atau 5.
Apa yang terjadi pada sinyal anda?
3. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 2 Sinyal

81 | M o d u l 8
Anda telah mengetahui cara mengamati sinyal dalam doain waktu dan
frekuensi. Pada percobaan berikut ini anda coba bangkitkan 2 sinyal sinus
dengan frekuensi f1 dan f2. Sementara nilai amplitudo dapat anda lihat pada
listing program berikut ini.

A. Caranya adalah dengan mengetik program berikut ini


Fs=100;
t=(1:400)/Fs;

f1=1;
s1=(2/pi)*sin(2*pi*f1*t);
f2=3;

s2=(2/3/pi)*sin(2*pi*f2*t);
s=s1+s2;
subplot(2,1,1)
plot(t,s) xlabel('time') S=fft(s,512); w=(0:255)/256*(Fs/2);
subplot(2,1,2) plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency')
B. Rubah nilai f2 =10, 25, 20 dst. Apa yang anda dapatkan dari langkah
ini?
C. Coba rubah nilai amplitudo pada sinyal kedua menjadi 1 , 5 atau 10.
Apa yang anda dapatkan dari langkah ini?

4. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 4 Sinyal


Pada percobaan berikut ini anda coba bangkitkan 4 sinyal sinus dengan
frekuensi f1, f2, f3, dan f4. Sementara nilai amplitudo dapat anda lihat pada
listing program berikut ini.
A. Caranya adalah dengan mengetik program berikut ini:
Fs=100;
t=(1:400)/Fs;

f1=1;

82 | M o d u l 8
s1=(2/pi)*sin(2*pi*f1*t);
f2=3;

s2=(2/3/pi)*sin(2*pi*f2*t);
f3=5;

s3=(2/5/pi)*sin(2*pi*f3*t);
f4=7;
s4=(2/7/pi)*sin(2*pi*f4*t);

s=s1+s2+s3+s4;
subplot(2,1,1)
plot(t,s)
xlabel('time') S=fft(s,512); w=(0:255)/256*(Fs/2); subplot(2,1,2)
plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency')

B. Perhaitkan bentuk sinyal yang dihasilkan dari langkah anda tersebut.


C. Rubah nilai f2 =10, f3 = 20 dan f4 =30. Apa yang anda dapatkan dari
langkah ini?

Gambar 8.2. Gabungan beberapa sinyal dalam domain waktu


dan domain frekuensi

83 | M o d u l 8
5. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 6 Sinyal
Pada percobaan berikut ini anda coba bangkitkan 4 sinyal sinus dengan
frekuensi f1, f2, f3, f4, f5, dan f6. Sementara nilai amplitudo dapat anda lihat
pada listing program berikut ini.
Caranya adalah dengan mengetik program berikut ini:

Fs=100; t=(1:200)/Fs; f1=1;s1=(2/pi)*sin(2*pi*f1*t);


f2=3;s2=(2/3/pi)*sin(2*pi*f2*t);
f3=5; s3=(2/5/pi)*sin(2*pi*f3*t);
f4=7;s4=(2/7/pi)*sin(2*pi*f4*t);
f5=9; s5=(2/9/pi)*sin(2*pi*f5*t);
f6=11; s6=(2/11/pi)*sin(2*pi*f6*t); s=s1+s2+s3+s4+s5+s6;

subplot(2,1,1)

plot(t,s) xlabel('time') S=fft(s,512); w=(0:255)/256*(Fs/2); subplot(2,1,2)


plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency'

84 | M o d u l 8
MODUL 9
FILTER DIGITAL

1 Struktur Filter Digital


Tujuan

• Peserta mengerti issue yang terkait dengan struktur implementasi dari


sistem LCCDE.
Karakteristik sistem LCCDE dinyatakan dalam persamaan perbedaan:
N M
y(n) = −åak y(n − k ) +åbk x(n − k )
k =1 k =0

Dengan transformasi-z, fungsi sistem LCCDE dinyatakan:


M
åbk z −k
k =0
H (z) = N
1 + åak z −k
k =1
Dari persamaan di atas, diperoleh zero dan pole, yang tergantung dari
pemilihan parameter sistem {bk} dan {ak}dan menentukan respon frekuensi dari
sistem. Struktur yang terbentuk dari persamaan sistem LCCDE mengandung
hubungan antara elemen delay , multiplier, dan adder.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan struktur realisasi sistem filter:

• Kompleksitas komputasi
a. Aritmetic operations per sample
b. Memory access per sample
• Kebutuhan memori : jumlah lokasi memori yang dibutuhkan untuk menyimpan
parameter sistem
• Efek finite-word-length : berkaitan dengan efek kuantisasi dalam implementasi
sistem digital

1.1 Direct Form Tipe 1 dan 2


Tujuan Belajar 2

Peserta mengerti struktur IIR berbentuk Direct Forms 1 dan 2.

86 | M o d u l 9
Fungsi karakteristik sistem IIR dapat dilihat sebagai dua sistem secara kaskade, yaitu:
H(z) = H1(z) H2(z)

dimana H1(z) terdiri atas zero dari H(z) dan H2(z) terdiri atas pole dari H(z),
M

H1 (z) = åbk z −k danH ( z) = N


1
1 + å ak z −k
2

k =0
k =1

Persamaan di atas dapat diwujudkan dalam struktur IIR Direct Form I sebagai berikut:

Realisasi filter IIR ini memerlukan M + N + 1 perkalian, M + N penjumlahan dan


menggunakan delay (memori) terpisah pada cuplikan sinyal input dan outputnya. Lokasi
memori yang dibutuhkan sebanyak M + N + 1 lokasi.
Struktur di atas dapat dinyatakan dalam persamaan perbedaan sebagai berikut :
N M

y(n)= −åak y(n − k ) + åbk x(n − k )


k =1 k =0

yang merupakan kascade dari sistem non-rekursif :


M

v(n) = åbk x(n − k)


k =0

dan sistem rekursif :


N

87 | M o d u l 9
y(n) = −åak y(n − k ) + v(n)
k =1

Jika semua filter all-pole H2(z) diletakkan sebelum filter all-zero H1(z) diperoleh
struktur yang lebih compact yang dinamakan struktur Direct Form II seperti pada
gambar berikut :

Struktur di atas dapat dinyatakan dalam persamaan perbedaan sebagai berikut:


▪ untuk filter all-pole:
N

w(n)= −åak w(n − k ) + x(n)


k =1

▪ untuk sistem all-zero dimana w(n) sebagai inputnya:


M

y(n) = åbk w(n − k)


k =0

Persamaan di atas hanya mengandung delay pada deretan {w(n)} sehingga hanya
sebuah jalur delay tunggal atau satu set lokasi memori tunggal yang diperlukan untuk
menyimpan nilai {w(n)}sebelumnya.

Jadi, struktur IIR Direct Form 2 tersebut hanya membutuhkan M + N + 1 perkalian,


M+N penjumlahan dan nilai maksimum {M,N}lokasi memori. Karena realisasi direct
form 2 meminimasi jumlah lokasi memori, maka struktur tersebut dikatakan bersifat
canonic

Kedua struktur di atas dikatakan direct form sebab diperoleh secara langsung dari
fungsi sistem H(z) tanpa penyusunan kembali H(z) tersebut. Namun, keduanya sangat
sensitif terhadap parameter kuantisasi dan oleh karenanya tidak direkomendasikan
dalam aplikasi prakteknya.

88 | M o d u l 9
1.2 Flow Graph
Tujuan Belajar 3

Peserta memahami peran Flow Graph dan graph theory dalam mengubah
struktur filter.

Sinyal Flow Graph menyediakan alternatif representasi grafis dari struktur diagram
blok yang digunakan untuk mengilustrasikan realisasi dari sistem. Elemen utama dari
flow graph adalah branch dan node.

Branch gain Nodes

Sinyal flow graph merupakan set dari branch terarah yang terhubung di node.
Secara definisi, sinyal keluar dari sebuah branch sama dengan gain branch (fungsi
sistem) dikalikan sinyal yang masuk ke branch. Sedangkan sinyal pada suatu node sama
dengan jumlah sinyal dari semua branch yang terhubung ke node tersebut.

Berikut ilustrasi dari filter IIR dua-pole dan dua-zero (orde dua) dalam bentuk diagram
blok dan sinyal flow graphnya :

Sinyal flow graph di atas mempunyai lima node mulai dari 1 sampai 5. Dua dari node
tersebut (1,3) merupakan node penjumlahan (yaitu berisi adder), sedangkan lainnya

merepresentasikan titik percabangan (branching point). Branch transmittance ditujukan


untuk branch dalam flow graph.

Struktur filter direct form II di atas dapat dinyatakan dalam persamaan perbedaan
sebagai berikut :

89 | M o d u l 9
y(n) = b0 w(n) + b1 w(n −1) + b2 w(n − 2)

w(n) = −a1 w(n −1) − a2 w(n − 2) + x(n)


Dengan flow graph sinyal linear, kita dapat mentransformasikan satu flow graph ke
dalam flow graph lainnya tanpa mengubah hubungan input-output dasarnya untuk
mendapatkan struktur sistem baru untuk sistem FIR dan IIR yaitu dengan transposition
atau flow-graph reversal theorem yang menyatakan :

" If we reverse the directions of all branch transmittance and interchange the
input and output in the flow graph, the system function remain unchanged"

Struktur yang dihasilkan disebut transposed structure atau transposed form.

Contoh transposisi dari sinyal flow graph di atas dan realisasinya dalam diagram blok
adalah sebagai berikut :

Struktur realisasi hasil transposisi filter direct form II tersebut dapat dinyatakan dalam
persamaan perbedaan sebagai berikut :
y(n) = w1 (n −1) + b0 x(n)

w1 (n) = w2 (n −1) − a1 y(n) + b1 x(n)


w2 (n) = −a2 y(n) + b2 x(n)

Secara umum, untuk hasil transposisi dari filter orde-N (asumsi N=M) IIR direct form II
dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
y(n) = w1 (n −1) + b0 x(n)

wk (n) = wk +1 (n −1) − ak y(n) + bk x(n) k = 1,2,..., N −1

wN (n) = −aN y(n) + bN x(n)


Persamaan di atas dapat diwujudkan dengan struktur filter sebagai berikut :

90 | M o d u l 9
Untuk sistem FIR, struktur direct form hasil transposisi dapat diperoleh dengan
mensetting nilai ak=0 dengan k=1,2,…,N. Struktur FIR hasil transposisi dapat
digambarkan sebagai berikut :

Struktur di atas dapat dinyatakan dalam persamaan perbedaan sebagai berikut :

y(n) = w1 (n −1) + b0 x(n)

wk (n) = wk +1 (n −1) + bk x(n) k = 1,2,..., M −1

wM (n) = bM x(n)

Secara keseluruhan, fungsi sistem IIR orde-2 (dua pole dan dua zero) untuk struktur
direct form I, direct form II, maupun hasil transposisi direct form II mempunyai bentuk:

H (z) = b0 + b1 z −1 + b2 z −2
1 + a1 z −1 + a2 z −2
91 | M o d u l 9
Dari ketiga struktur tersebut di atas, struktur direct form 2 lebih disukai dikarenakan
jumlah lokasi memori yang diperlukan untuk implementasi lebih kecil.

1.3 Struktur Kaskade orde 2


Tujuan Belajar 4

Peserta memahami dan dapat menciptakan struktur kaskade orde 2.

Persamaan fungsi sistem IIR orde-tinggi :


M

å bk z −k
H (z) = k =0
N

1 + åak z −k
k =1

Sistem tersebut dapat difaktorkan ke dalam kaskade sub sistem orde-2, sehingga H(z)
dapat dinyatakan sebagai :
K

H (z) = H k (z) dengan K bagian integer dari N +1


k =1 2
Fungsi sub-sistem orde-2 tersebut secara umum dinyatakan sebagai:

b k 0 + b z −1 + b k 2 z −2
H k (z) = k1

1 + ak1 z −1 + ak 2 z −2
Untuk sistem FIR, nilai parameter b0 untuk K sub-sistem filter bernilai b0 =
b10b20…bK0. Jika N = M, beberapa sub-sistem orde-2 mempunyai koefisien pembilang
yang bernilai nol, yaitu baik bk2 = 0 atau bk1 = 0 atau bk2 = bk1 = 0 untuk beberapa
nilai k. Jika N ganjil dan N = M , maka salah satu dari sub-sistem, Hk(z), harus
mempunyai ak2 = 0, sehingga sub-sistem tersebut merupakan orde-1.

Bentuk umum dari struktur kaskade adalah sebagai berikut

92 | M o d u l 9
Jika kita menggunakan struktur direct form II untuk masing-masing subsistem,
algoritma komputasi untuk merealisasikan sistem IIR dengan fungsi sistem H(z) dapat
dijelaskan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

y0 (n) = x(n)

yk (n) = xk +1 (n) k = 1,2,..., K −1

y(n) = yK (n)
wk (n) = −ak1 wk (n −1) − ak 2 wk (n − 2) + yk −1 (n) k = 1,2,..., K

yk (n) = bk 0 wk (n) + bk1 wk (n −1) + bk 2 wk (n − 2) k = 1,2,..., K

Contoh :

Tentukan realisasi kaskade dari sistem fungsi :


(
10 1 − 1 z −1 )(1 − 2 z −1 )(1 + 2z −1 )
H (z) =
( )( 2
)( (3 ) )( ( ) )
−1 −1 −1
1− 3
4 z 1− 1
8 z 1− 1
2 +j 1
2 z 1 − 12 − j 12 z −1

Solusi :

Pasangan pole dan zero yang mungkin adalah :

(1 − 1
2
z −1 ) 1+ 2
3 z −1 − z −2
H1 (z) = 3
dan H 2 (z) = 1
1− 7
z −1 + z −2 1 − z −1 + z −2
8 32 2

sehingga diagram blok realisasinya:

93 | M o d u l 9
1.4 Struktur Paralel
Tujuan Belajar 5

Peserta memahami dan dapat menciptakan struktur paralel.

Struktur paralel dari sistem IIR dapat diperoleh dengan ekspansi partial-fraction dari
H(z). Dengan asumsi bahwa N = M dan pole-polenya berbeda, kita melakukan ekspansi
partial-fraction H(z) untuk memperoleh :
N
Ak
H (z) = C + å −1
k =1 1 − pk z

dimana {pk} adalah pole-pole, {Ak} koefisien (residu) dalam ekspansi partial-fraction
b a
dan konstanta C didefinisikan C = N . Sistem H(z) di atas diimplikasikan dalam N

struktur yang terdiri atas bank paralel dari filter pole-tunggal.seperti pada diagram
sebagai berikut :

Untuk menghindari perkalian oleh bilangan komplek, kita dapat


mengkombinasikan pasangan pole komplek-konjugat untuk membentuk sub-sistem dua
pole. Kita pun dapat mengkombinasikan pasangan pole bernilai real untuk membentuk
sub-sistem dua-pole. Tiap sub-sistem ini mempunyai bentuk persamaan:

b + b k1 z −1
k0

H k (z) = 1 + ak1 z −1 + ak 2 z −2 dengan {bki} dan {aki} bernilai real

Keseluruhan sistemnya dapat diekspresikan sebagai berikut :


K

H (z) = C + åH k (z) dengan K : bagian integer dari (N+1)/2


k =1

Jika N ganjil, satu dari Hk(z) merupakan sistem pole tunggal ( bk1 = ak2 = 0 ).

Implementasi H(z) dapat diwujudkan dengan struktur direct form II sebagai berikut :

94 | M o d u l 9
Persamaan realisasi bentuk paralel dari sistem FIR dengan struktur direct form II:

wk (n) = −ak1 wk (n −1) − ak 2 wk (n − 2) + x(n) k = 1,2,..., K


yk (n) = bk 0 wk (n) + bk1 wk (n −1) k = 1,2,..., K
K

y(n) = Cx(n) + å yk (n)


k =1
Contoh:

Tentukan realisasi paralel dari sistem fungsi :


( )( )
10 1 − 12 z −1 1 − 23 z −1 (1 + 2z −1 )

(1 − )(
z −1 1 − 8 z −1 1 − ( 2 + j)( 2 )z 1 )(1 − ( 2 − j 2 )z 1 )
3 1 1 1 1 1
− −
H (z) = 4

Solusi:

H(z) harus dipecah secara parsial :


A 1
A 2
A 3
A* 3

H (z) = + +
(1 − ) (1 − ) (1 − (
+ j 2 )z ) + (1 − ( )z −1 )
3 1 1 1 1 1

4 z −1 8z 1

2 1 2 −j 2

Nilai A1, A2, A3 dan A3* yang akan ditentukan.

Dengan perhitungan diperoleh :


A1 = 2,93 ; A2 = -17,68 ; A3 = 12,25 – j14,57 ; A3* = 12,25 + j14,57
Dengan mengkombinasikan kembali pasangan pole, diperoleh:

-14,75 -12,90z −1 24,50 + 26,82z −1


H (z) = +
1 - 7 z −1 + 3 z −2 1 - z −1 + 1 z −2
8 32 2

Sehingga diagram blok realisasi pararelnya:

95 | M o d u l 9
1.5 Struktur Frequency Sampling
Tujuan Belajar 6

Peserta mengerti struktur Frequency Sampling untuk implementasi filter

H() didefinisikan pada :


k = 2 (k +  ) k = 0, 1, …, M-1/2 M odd
M
k = 0, 1, …, (M/2)-1 M even
a = 0 or ½
k merupakan titik sample.
M −1

H () = åh(n)e− j n
n =0
Spesifikasikan H() pada wk :
æ 2 ö
H (k +  ) = H ç (k +  )÷
èM ø
M −1
= åh(n)e− j 2 (k + )n / m k = 0, 1, …M-1
n =0

Jika a = 0, persamaan menjadi DFT (Discrete Fourier Transform).

Persamaan di atas dapat diuraikan menjadi:


M −1

h(n) =
1
åH (k + )e j 2 (k + )n / M n = 0,...M -1
M k =0
Jika  = 0, persamaan menjadi IDFT (Inverse Discrete Fourier Transform)

96 | M o d u l 9
Kemudian dicari Z-transform dari h(n):

M −1 é1 M −1 ù
H (z) = åê åH (k + )e j 2 (k + )n / M úz −n
M
n =0 ë k =0 û
M −1 é M −1 nù

= åH (k + )ê 1 å(e j 2 (k + )n / M z −1 ) ú
M
k =0 ê n =0 ú
ë û
1 - z −M e j 2 M −1 H (k +)
= å j 2 (k + )n / M −1
M k =0 1- e z

Realisasi dengan memecah H(z) menjadi

H(z) = H1(z) H2(z)

Untuk All zeros ( Filter Comb).

H1(z) dan H2(z) ditentukan :

H1 (z) = 1 (1 − z −M e j 2 ) menghasilkan zk =e j2(k+)/ M , k = 0, 1, …,M-1


M
M −1
H (k + )
H 2 (z) = å j 2 (k + ) / m −1
−e
k =0
1
z
Bank paralel dari filter single-pole menghasilkan frekuensi resonan.
pk = e j 2 (k + ) / M k = 0, 1, …, M-1
Terlihat, bahwa zero dan pole terjadi pada lokasi yang sama.

1.6 Struktur Lattice


Tujuan Belajar 7

Peserta mengetahui ada struktur Lattice.

1 1
Fungsi sistem all-pole: H (z) = N =
1 + åaN (k )z −k AN (z)
k =1

Realisasi dengan struktur direct form:

97 | M o d u l 9
Persamaan perbedaan sistem:
N

y(n)= −åa N (k ) y(n − k ) + x(n)


k =1

Dengan mengubah aturan input dan output (mengubah x(n) dengan y(n)) diperoleh:
N

x(n) = −åa N (k )x(n − k ) + y(n)


k =1

Definisikan input: x(n) = f N (n)

output: y(n)= f0 (n)

Kuantitas {fm(n)} dihitung secara mundur : fN(n), fN-1(n),…

Persamaan filter lattice :

f m−1 (n) = f m (n) − K m g m−1 (n −1) m = N , N −1,...,1

g m (n)= K m f m−1 (n −1) + gm−1 (n −1) m = N , N −1,...,1


y(n) = f 0 (n) = g 0 (n)

Struktur dari persamaan di atas adalah:

Contoh: untuk N=2 → sistem 2-pole

Persamaan sistemnya :

f 2 (n) = x(n) , f1 (n) = f 2 (n) − K 2 g1 (n −1) , f0 (n)= f1 (n) − K1 g0 (n −1)

g 2 (n) = K 2 f1 (n −1) + g1 (n −1) , g1 (n)= K1 f0 (n −1) + g0 (n −1)

98 | M o d u l 9
y(n) = f 0 (n) = g 0 (n)

y(n) = x(n) − K1 (1 + K 2 ) y(n −1) − K 2 y(n − 2) → IIR dua-pole

g 2 (n) = K 2 y(n) + K1 (1 + K 2 ) y(n −1) + y(n − 2) → FIR dua-zero

Strukturnya adalah sebagai berikut:

Fungsi sistem IIR all-pole adalah:

F (z)
H a (z) = Y (z) = 0 =
1
X (z) Fm (z) Am (z)
Fungsi sistem FIR all-zero adalah:
G (z) G (z)
H b (z) = m = m = Bm (z)
Y (z) G0 (z)

2 Masalah Desain Filter

2.1 Konsiderasi Umum


Tujuan Belajar 8

Peserta mengetahui konsiderasi umum dari desain filter, seperti


pertentangan antara kausalitas dan reliabilitas, dan teorema Paley-Wiene

Filter non-kausal → filter tidak dapat direalisasikan

Contoh:

Filter low pass ideal dengan karakteristik respons frekuensi:

ì1  £c
H ( ) = í
î 0 c <£

Respons impuls dari filter ini adalah:

99 | M o d u l 9
ì C n =0

ï
ï
h(n) =  í
sin  n
ï C C n ¹0
ï   n
î C

Plot dari h(n) untuk C = /4 :

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

-0.05

-0.1
-20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20

>> n=-20:20; w=pi/4;


>> y=w/pi*sinc(w/pi*n);
>> stem(n,y)

LPF ideal tersebut non-kausal sehingga tidak dapat direalisasikan dalam praktek

Solusi yang mungkin :

▪ delay no pada h(n)


▪ mengeset h(n) = 0 untuk n < no. Deret Fourier H() menimbulkan fenomena Gibbs,
yaitu osilasi pada band edge dari respons filter.
Sistem yang dihasilkan tidak mempunyai karakteristik respons frekuensi ideal lagi.

Teorema Paley-Wiener memberikan solusi tentang kondisi perlu dan cukup dari respon
frekuensi H() agar filter yang dihasilkan kausal.

Teorema Paley-Wiener:

Jika h(n) mempunyai energi terbatas dan h(n) = 0 untuk n < 0


Maka, ò ln H () d  
−

Jika H ( ) square integrable dan jika integral di atas terbatas,

100 | M o d u l 9
Maka, respon fasa Q(w) dapat diasosiasikan dengan H ( ) , sehingga filter yang

dihasilkan dengan respon frekuensi H()= H()e j() akan kausal.


Catatan :
H ( ) tidak boleh bernilai nol pada suatu band frekuensi tertentu supaya

òlnH()  Semua filter ideal adalah non-kausal


Kausalitas menunjukkan hubungan antara komponen real HR(w) dan komponen imajiner
HI(w) dari respons H(w). Hubungan ini ditunjukkan dalam persamaan berikut:

h(n) = he(n) + ho(n)

dimana

he(n) = 1/2 [h(n) + h(-n)] dan ho(n) = 1/2 [h(n) - h(-n)]

bila h(n) causal, maka h(n) bisa diperoleh kembali dari he(n) untuk 0 £ n £ ¥ atau ho(n)

untuk 1 £ n £ ¥
dapat dilihat bahwa:

h(n) = 2he(n)u(n) - he(0)d(n) n ³ 0 dan

h(n) = 2ho(n)u(n) + h(0)d(n) n ³ 1

Catatan :

Jika ho(n) = 0 untuk n = 0 ® h(0)tidak dapat diperoleh dari ho(n) dan harus diperoleh
secara eksplisit. Untuk n ³ 1, ho(n) = he(n) ® erat hubungan antar keduanya.

Jika h(n) absolutely summable (yaitu BIBO stabil) → H(w) exist,


dan H(w) = HR(w) + jHI(w)
Dan jika h(n) bernilai real dan kausal, maka
F F

he (n) « H R ( ) dan ho (n) « H I ( )

atau : - HR(w) dan HI(w) saling bergantung


- |Hw)| dan q(w) saling bergantung

Prosedur menentukan H(w):


▪ mencari he(n) dari HR(w) atau
▪ menentukan HI(w) dan h(0)

101 | M o d u l 9
Contoh mencari H(w) dari HR(w) berikut:

1 − a cos
H R () = ,a 1
1 − 2a cos + a 2

Solusi :

Cari he(n):

1 + (z + z −1 )2 z - a(z 2 +1) / 2
HR (z) = HR (z) ÞHR
j (z) = =
−1
z=e 1 - a(z + z ) + a2 (z - a)(1 - az)

1
ROC ada di antara p 1 = a dan p2= 1/a, dan termasuk unit circle, sehingga a < z <
a

dan he(n) merupakan two-sided sequence, dengan pole z = a untuk kausal dan p2= 1/a
untuk antikausal.

diperoleh : h (n) = 1 a n + 1  (n)


e 2 2
h(n) diperoleh dari nilai he(n) : h(n) = anu(n)
1
Transformasi Fourier dari h(n): H () =
1 − ae− j

Hubungan antara HR(w) dan HI(w) dari FT h(n) yang absolutely summable, kausal dan
real dapat dijelaskan sebagai berikut:

1
H ( ) = H R ( )+ jH I ( ) =  ò H R ()U ( - )d

dengan U() merupakan respons frekuensi dari unit step u(n)


1
U ( ) =  () +
1 − e − j
=  () + 1 − j 1 cot  , -     
2 2 2
diperoleh hubungan : H I ( )= - 1  H R ()cot  -  d Hubungan di atas disebut
2 ò 2
−

discrete Hilbert Transform.


Latihan : cari bentuk transformasi Hilbert dari hubungan HR() dengan HI()
Kesimpulan implikasi kausalitas :

1. H(w) tidak boleh 0 kecuali pada point frekuensi terbatas

102 | M o d u l 9
2. |H)| tidak bisa konstan pada sebuah interval, dan tidak bisa bertransisi yang tajam
dari passband ke stopband (konsekuensi fenomena Gibbs agar h(n) kausal )

3. HI() dan HR() terhubung oleh discrete Hilbert Transform, |H)| dan () tidak
bisa dipilih secara acak
Persamaan sistem dibatasi menjadi :
N M

y(n) = −åak y(n − k )+ åbk x(n − k ) , yang causal dan realizable


k =1 k =0
M

åbk e − jk
dengan H() : H (w) = k =0
N

1 + åak e− jk
k =1

2.2 Problem Desain


Tujuan Belajar 9

Peserta dapat membuat problem desain: spesifikasi untuk filter LCCDE.

Problem desain filter digital : mencari {ak} dan {bk} agar H() mendekati ideal

Berikut adalah karakteristik magnitude dari realizable filter :

Dalam problem desain filter kita dapat menspesifikasikan :


▪ ripple passband, 20log101, maksimum yang dapat ditoleransi
▪ ripple stopband, 20log102, maksimum yang dapat ditoleransi
▪ frekuensi sisi (edge) passband p
▪ frekuensi sisi (edge) stopband S

103 | M o d u l 9
Parameter {ak} dan {bk} ditentukan berdasarkan spesifikasi di atas.

Orde filter berdasarkan kriteria untuk memilih parameter {ak} dan {bk} dan koefisien
(M,N).

3 Desain FIR
Tujuan Belajar 10

Peserta mengerti prinsip desain FIR symetric dan asymetric.

Persamaan keluaran filter FIR dengan panjang M :

y(n) = box(n) + b1x(n-1) + … + bM-1x(n-M+1)


M −1

y(n) = åbk x(n − k ) dengan {bk}merupakan koefisien filter


k =0

Dalam bentuk konvolusi


M −1

y(n) = åh(k )x(n − k ) sehingga bk = h(k), k = 0, …, M-1


k =0
M −1

Fungsi sistem filter : H (z) = åh(k )z −k → polinomial dari z-1 orde M-1
k =0

Syarat filter FIR fasa-linear :

h(n) = ±h(M - 1- n) n = 0, …, M-1

Jika kondisi simetri dan antisimetri pada h(n):

H(z) = h(0) + h(1)z-1 + h(2)z-2 + …+h(M-2)z-(M-2) + h(M-1)z-1(M-1)


−( M −1) / 2 ì æ M -1 ö ( M −3) / 2 ( M −1−2k ) / 2 −( M −1−2k ) / 2 ü
=z íhç ÷ + åh(n)z ±z ý → M ganjil
îè 2 ø n=0 þ
( M )−1
2

= z −( M −1) / 2 åh(n)z ( M −1−2k ) / 2 ± z −( M −1−2 k ) / 2  → M genap


n=0

Ternyata, z−(M−1) H(z−1) = H(z)


Sehingga, akar H(z) = akar H(z-1) → H(z) harus mempunyai pasangan akar resiprokal.
▪ Jika z1 real → akar-akar H(z) : z1 dan 1/z1
▪ Jika h(n) real dan z1 kompleks → akar-akar H(z) : z1 , 1/z1, z1* dan 1/ z1*
Berikut kesimetrian lokasi zero / akar dari filter FIR fasa-linear :

104 | M o d u l 9
Jika h(n) = h(M-1-n), maka H () = H r ()e- j ( M -1) / 2
æ M -1ö ( M -3) / 2 æ M -1 ö
dimana , H r () = hç ÷+ 2 å h(n) cosç - n÷
è 2 ø n=0 è 2 ø
(M )-1 æ M -1 ö
2

H r () = 2 å h(n) cosç - n÷


n=0 è 2 ø
Karakteristik fasa filter :
ì æ M -1ö ,M ganjil
ï - ç ÷ H r () > 0
ï è 2 ø
 ( ) = í
ï æ M -1 ö ,M genap
ï - ç 2 ÷ +  H r () < 
î è ø
Jika h(n) = -h(M-1-n) → respons sistem antisimetrik.

Untuk M ganjil, centre point h(n) adalah n = (M-1)/2 → h((M-1)/2) = 0


é  ( M -1) ù
j ê- + ú
Respons sistem antisimetrik: H () = H r ()e ë 2 2 û
( M -3) / 2 æ M -1 ö
dimana : H r () = 2 å h(n) sin ç -n÷ , M ganjil
n=0 è 2 ø
M
2
-1 æ M -1 ö
H r () = 2åh(n) sin ç -n÷ , M genap
n=0 è 2 ø

Respons fasanya :

ì æ M -1 ö
ï - ç ÷ H r () > 0
ï 2 è 2 ø
ï3 
 () = í
æ M -1ö
ï 2 -ç 2 ÷ H r () < 0
î è ø

105 | M o d u l 9
Catatan :
▪ Untuk h(n) simetrik, jumlah koefisien filter adalah (M+1)/2 untuk M ganjil dan M/2
untuk M genap
▪ Untuk h(n) antisimetrik, h((M-1)/2) = 0, mempunyai jumlah koefisien filter (M -1) /
2 untuk M ganjil dan M/2 untuk M genap

Contoh pemilihan desain filter simetrik / antisimetrik tergantung aplikasinya :

▪ Jika h(n) = -h(M-1-n) dan M ganjil → Hr(0) = 0 dan Hr() = 0. Sistem tersebut
tidak cocok untuk LPF atau HPF

▪ Untuk sistem dengan respon antisimetrik dan M genap → Hr(0) = 0, sehingga tidak
cocok untuk desain LPF

▪ Jika h(n) = h(M-1-n) → filter mempunyai respons tidak-nol pada w = 0 , LPF

Problem desain filter FIR : menentukan koefisien M untuk h(n) dari spesifikasi Hd()
filter, respons frekuensi yang diinginkan.

3.1 Teknik Windows


Tujuan Belajar 11

Peserta dapat mendesain FIR dengan teknik windows. Termasuk di


dalamnya, peserta mengenal window rectangular, Barlett, Hanning,
Hamming, dan Blackman. Peserta mengetahui bahwa window Hanning
ekivalen dengan pembobotan di domain frekuensi.

Menentukan hd(n) dari Hd() , respons filter yang diinginkan :



− jn F 1 jn
H d () = åhd (n)e ¬¾® hd (n) = 2 ò H d ()e d
n=0 −

Potong hd(n) pada n = M-1 untuk menghasilkan filter FIR dengan panjang M, yang
ekivalen mengalikan hd(n) dengan window rectangular :
ì1 n = 0,..., M -1
(n) = í
0
î otherwise
Respons sistemnya : h(n) = hd(n) w(n)
ìh (n) n = 0,..., M -1
=í d
î 0 otherwise

106 | M o d u l 9
Respons frekuensi dari filter FIR:
M −1 
1
W () = å(n)e− jn dan H () = 2 ò H d (v)W ( - v)dv = H d () *W ()
n=0 −

Untuk window rectangular :


æ M ö
sinç ÷
M −1 − jn 1 - e− jn − j ( M −1) / 2 è 2 ø
W () = åe = − j =e
n=0 1-e æ ö
sinç ÷

è2 ø
æ M ö ì æ M -1ö æ M ö
sinç ÷ ï - ç ÷ , sinç ÷ ³0
è2 ø ï è 2 ø è 2 ø
W () = æ ö dan  () = í æ M -1ö æ M ö
sinç ÷ ï
- ç ÷ + , sinç ÷ <0
è2ø ï
î è 2 ø è 2ø
Untuk window Bartlett (triangular):
2 n - M -1
(n) = 1 - 2 untuk 0 £ n£ M -1
M -1

Untuk window Hanning:


1æ 2 n ö
(n) = ç1 - cos ÷ untuk 0 £ n £ M -1
2è M -1 ø
Untuk window Hamming:
(n) = 0,54 - 0,46 cos 2n untuk 0 £ n £ M -1
M -1
Grafik respons frekuensi window Hanning dan Hamming:

40
Hanning
Hamming
20

-20
Magnitude (dB)

-40

-60

-80

-100

-120

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2


x pi rad

107 | M o d u l 9
>> b1=hanning(61); b2=hamming(61);
>> [H1,f]=freqz(b1,1,251,'whole',2);
>> H2=freqz(b2,1,251,'whole',2);
>> H=[H1 H2];
>> s.yunits ='dB'; s.xunits =' x pi rad';
>> freqzplot(H,f,s)

Untuk window Blackman:


(n) = 0,42 - 0,5 cos 2n + 0,08 cos 4n untuk 0 £ n £ M -1
M -1 M -1
Contoh : desain filter FIR LP simetrik yang mempunyai respons frekuensi

ì1e- j ( M -1) / 2 0 £  £ c
H d () = í
î 0
Respons unitnya :
æ M -1ö
c æ M -1 ö sin c çn - ÷
h (n) = 1 e
j ç n-

è 2 ø
÷

d = è 2 ø n ¹ (M-1)/2
d 2 ò æ
 çn -
M -1ö ÷
-c
è 2 ø
Jelas, bahwa hd(n) non-kausal dan infinite.
Jika menggunakan window rectangular diperoleh:
æ M -1 ö
sin c çn - ÷
h(n) = è 2 ø 0£ n £ M-1 , n ¹ (M-1)/2
æ M -1ö
 çn - ÷
è 2 ø
æ M -1ö 
Jika M dipilih ganjil, maka nilai h(n) pada n= (M-1)/2 adalah h ç ÷= Cè
2 ø 
Respons frekuensi dari filter tersebut dengan wc = 0,4p untuk M=61 dan M=101
digambarkan:
1.4

M=61
1.2
M=101

0.8
Magnitude

0.6

0.4

0.2

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 Normalized Frequency VII-23 ( rad/sample)

108 | M o d u l 9
>> b1=0.4*sinc(0.4*(0:60)-0.4*30); % M =61
>> b2=0.4*sinc(0.4*(0:100)-0.4*50); % M=101
>> [H1,w]=freqz(b1,1,512,2); [H2,w]=freqz(b2,1,512,2);
>> H=[H1 H2];
>> s.xunits ='rad/sample'; s.yunits ='linear'; s.plot ='mag';
>> freqzplot(H,w,s)

Karakteristik domain-frekuensi untuk beberapa fungsi window :

Window Main Lobe Peak Sidelobe


Rectangular 4/M -13 dB
Bartlett 8p/M -27 dB
Hanning 8/M -32 dB
Hamming 8/M -43 dB
Blackman 12/M -58 dB

3.2 Teknik Frequency Sampling


Tujuan Belajar 12

Peserta dapat mendesain FIR dengan teknik Frequency Sampling.

Hd() didefinisikan pada


2
k = (k +  ) k = 0, 1, …(M-1)/2, M ganjil
M
k = 0, 1, …(M/2)-1, M genap

 = 0 atau 1/2

kemudian cari h(n) dengan inversi. Untuk mengurangi sidelobe, diharapkan untuk
mengoptimasi spesifikasi pada transisi band dari filter.

Contoh:

Respons frekuensi dari filter FIR yang diinginkan :


M −1

H D () = H () = åh(n)e− jn


n=0

Spesifikasikan H() pada k:


æ 2 ö
H (k +  ) º H ç (k + )÷
èM ø
M −1

º åh(n)e −2 (k + ) n / M k = 0, 1, …, M-1


n=0

109 | M o d u l 9
Jika a = 0, persamaan menjadi DFT (Discrete Fourier Transform) Dari persamaan di atas
menjadi:

M−1 j2k m M−1M−1− j2 nm − j2 m


åH(k +)e M =ååh(n)e M
 Mh(n)e M
k=0 k=0 n=0

Menghasilkan nilai h(n):


M -1
h(n) = 1 å H (k + )e j 2 (k + )n / M
M
k =0

Jika  = 0, persamaan menjadi IDFT (Inverse Discrete Fourier Transform)

Persamaan di atas memungkinkan untuk menghitung nilai dari respon h(n) dari
spesifikasi sample frekuensi H(k+), k=0,1, …, M-1.

Catatan :

Jika {h(n)} real → H(k+) = H*(M - k -a) (kondisi simetri)


dapat digunakan untuk mengurangi spesifikasi frekuensi dari M titik menjadi
(M+1)/2 titik untuk M ganjil dan M/2 titik M genap. Jadi, persamaan linear untuk
menentukan {h(n)} dari {h(k+a)}dapat disederhanakan.

Contoh filter dengan respons asimetrik

 / 2 + / 2 
H () = H r ()e j - ( M -1)
Jika disample pada frekuensi k = 2(k+)/M, k=0,1,…,M-1 didapat:
é  ( M -1) ù
æ 2 ö j ê -2 (k + ) ú
H (k +  ) = H r ç (k +  )÷e ë 2 2M û
èM ø

di mana  = 0 bila {h(n)} symetric

b = 1 bila {h(n)} antisymetric

Dapat disederhanakan dengan mendefinisikan set sample frekuensi real {G(k+m)}:


k æ 2 ö
G(k +  ) = (-1) Hrç (k +  )÷
èM ø
É M -1ù

ê -2 (k + ) ú
jk ë
Eliminasi Hr(k): H (k +  ) = G(k +  )e e 2 2M û

110 | M o d u l 9
Sekarang, kondisi simetri untuk H(k+a) ditranslasikan ke dalam kondisi simetri
G(k+a) untuk menyederhanakan {h(n)} untuk empat kasus b = 0, 1 dan a = 0, ½ seperti
pada tabel berikut :

Contoh :

Cari koefisien FIR fasa linear dengan M = 15 dengan respon impuls simetrik dan
respons frekuensi memenuhi :

ì1 k = 0,1,2,3
æ 2 k ö ï
Hrç ÷ = í0.4 k=4
è 15 ø ï
î 0 k = 5,6,7
Solusi :

Untuk h(n) simetrik dan a = 0

k æ 2 k ö
dari tabel : G(k ) = (-1) Hrç ÷ k = 0, 1, …7
è 15 ø
Dari hasil perhitungan h(n) didapat:

h(0) = h(14) = -0.014112893


h(1) = h(13) = -0.001945309
h(2) = h(12) = 0.04000004
h(3) = h(11) = 0.01223454
h(4) = h(10) = -0.09138802
h(5) = h(9) = -0.01808986
h(6) = h(8) = 0.3133176
h(7) = 0.52
Dari {h(n)} maka didapat respons H(w) dengan grafik:

111 | M o d u l 9
3.3 Teknik Optimal Equiripple
Tujuan Belajar 13

Peserta dapat mendesain FIR dengan teknik Optimal Equiripple.

Teknik window dan frequency sampling mudah dimengerti tetapi punya beberapa
kelemahan :
· wp dan ws tidak dapat ditentukan pradesign
d1 dan d2 kurang bisa ditentukan secara simultan

Error Aproksimasi tidak terdistribusi dengan baik pada interval-interval band (besar di dekat
daerah transisi) Metoda alternatif dengan minimisasi dari maximum aproksimasi error
(minimax) ® Chebyshev error

3.3.1 Overview
1. Define a minimax problem
2. Discuss the number of maxima & minima (= extrema)
3. Design algorithm, polynomial interpolation
4. Parks-McClellan algorithm
5. Remez exchange routine, as a part of P-
McCalg Development of the Minimax Problem

Diketahui :

M −1
j j − j 2
H (e ) = e e H r ()
¯"Amplitudo Response" bilangan real
Beberapa kasus dalam desain filter FIR :

Type Kondisi b Hr(ej)


I M ganjil, h(n) 0 (M −1)/ 2
simetrik åa(n)cosn
n =0
II M genap, h(n) 0 M/2
simetrik åb(n)cos(n -1/ 2)
n =1
III M ganjil, h(n) p/2 (M −1)/ 2
antisimetrik åc(n)sin n
n =0
IV M genap, h(n) p/2 M/2
antisimetrik åd (n)sin (n −1/ 2)
n =1

112 | M o d u l 9
dengan nilai a(n), b(n), c(n) dan d(n) ditentukan sebagai berikut:

ì æ M -1 ö
ïhç ÷ k=0
ï è 2 ø
a(k ) = í
ï æ M -1 ö M -1
2hç - k ÷ k = 1,2,...,
ï
î è 2 ø 2
æM ö
b(n)= d (n) = 2hç - k ÷ , k = 1,2,..., M / 2
è 2 ø

æ M -1 ö
c(n) = 2hç - k ÷ , k = 1,2,..., (M -1) / 2
è 2 ø
Persamaan Hr(w) bisa dinyatakan dalam Hr(w) = Q(w) P(w)
L
di mana : P() = å(n) cosn
n =0

Type Q(w) L P(w)


I 1 M −1 L

2 åa(n)cosn
n =0
II Cos(w/2) M L ~
2 −1 åb (n)cosn
n =0
II Sin M−3 L ~
2 åc (n)cosn
n =0
IV Sin(w/2) M L ~
2 −1 åd (n)cosn
n =0

Identitas trigonometri : sin(+) = sincos + cossin dst.

Þ gunanya adalah untuk mendapatkan common form ® agar lebih mudah


Sekarang Weighted Error :

E()  W ()H dr () − H r (),  s  0, p U s ,   


¯ ¯
desired response actual response

Grafik respons yang diinginkan dan sebenarnya:

113 | M o d u l 9
H dr ( )- H r ( ) menentukan kesalahan sistem:

ì d2
, in Passband
ï
bila W (  ) = í d1
ï
î1,in Stopband
Jadi apabila kita berhasil meminimasi dengan max weighted error ke d2, maka kita juga
dapat memenuhi spesifikasi di passband pada d1.

E() = W ()H dr () - Q()P()


é H () ù
=W ()Q() ú
dr - P()
ê
Q( )

ëû

ˆ ˆ H dr ()
bila W () @ W ()Q() dan H DR () º Q()

ˆ ˆ
 
® E() = W () H dr () - P() , w Î s® untuk semua kasus

114 | M o d u l 9
Problem statement

Cari an (atau bn atau cn atau d n) untuk minimisasi dari maximum absolute

value dari E(w) over the passband dan stopband


é ù
minêmax E() ú
ë sû

Batasan jumlah extrema:

Diketahui M-point filter, berapa extrema (lokal) ada di E(w)?

Di P() = å  (n) cosn  ® ada L-1 at most local extreme (0 < w < p)
n =0

→ +2 untuk di boundary 0 dan p di E(w) (wp & ws)

total at most L+3 extrema in E(w)

Contoh:

h(n) = 1 1,2,3,4,3,2,1 ® M = 7 or L = 3
15

Teori Aproksimasi : Alternation Theory

Let S be any closed subset of the closed interval [0,]. Kondisi perlu dan cukup agar

L
P() = å(k ) cosk
k =0

menjadi unique, minimax app. to HDR(w)on S, adalah bahwa E(w) ³ L+2 "altenations"
atau extremes di S, yaitu setidaknya terdapat L + 2 frekuensi {i} di S sehingga

1< 2 < 3 <…<L+2, E(i) = - E(i+1) dan |E(i)| = max |E()|

Algoritma Parks-McClellan

Untuk mencari P(w) secara iterative

Asumsi: M atau L diketahui, 2/1 diketahui

® M - d¯ ® untuk sebuah M ada d

untuk  = 2 → solusi diperoleh

115 | M o d u l 9
→ Kaiser approximates M as

− 20 log1 2 −13 s −  p
M= +1 f =
10

14.6f 2

The Parks-McClellan

→ Mulai dengan menebak L+2 extremes {wi}

→ Estimasi d di wi in

→ Fit P(w) di wi in

E(w) dihitung pada finite grid

Perbaiki i di ulang (2)

Sampai d = d2

→ hitung (n) → a(n) → h(n)


di matlab →
remez

[h] = remez(N, f, m, weights, ftype)

ˆ n


W (n) Hdr (n ) − P(n ) = (−1)  
(-1)n  ˆ
P(n ) + ˆ = H dr (n )

W ( n )
L (-1)n  ˆ
Þ å (k ) cosn k + ˆ = H dr (n )

k =0 W ( n )
ˆ ˆ ˆ
®=  o H dr (o ) +  1H dr (1 ) + ... +  L +1H dr (L +1 )
 o + (-1) 1 + ... + (-1)
L +1
 L +1
ˆ ˆ ˆ

W (o ) W (1 ) W (L +1 )


L +1
1
®k =Õ
n =0 cosk - cos n
n ¹k

å P(k )k /(x - xk )


P() = k =0
L
å k /(x - xk )
k =0

116 | M o d u l 9
® interpolasi Lagrange
(-1)n 
n = 0,..., L +1
ˆ Wˆ (n )
di mana P(n ) = H DR (n ) -
L
 = 1
k Õ
x - xn
n=0 k
n¹k

ˆ ˆ

E() = W () H dr () − P() ® w fine grids 
bila |E(w)| ³ d untuk beberapa wj, pilih L+2 largest peaks sebagai wi baru, dan ulangi
lagi.

4 Desain IIR

Desain LP Transfer ke Convert ke


Analog Filter Digital

Desain LP Convert ke Transfer ke


Analog Digital Desired Filter

Desain dari filter analog dengan fungsi sistem:


M
åk sk
H (s)= B(s) =kå=0 A( s ) k sk
a N

k =0

k  dan k → filter coefficient


Impulse response h(t )→ H a (s)= òh(t )e−st dt


−

Filter analog dapat pula dinyatakan dalam persamaan differensial kengan koefisien
konstan:

N d k y(t) N d k x(t)
åk k
= 
å k k
k =0 dt k =0 dt

117 | M o d u l 9
Filter analog LTI dengan fungsi sistem H(s) akan stabil jika semua polenya terletak di
sebelah kiri bidang-s. Oleh karena itu teknik konversi harus memenuhi sifat-sifat:
1. sumbu j pada bidang-s dipetakan ke unit lingkaran bidang-z
2. LHP (Left-half plane) bidang-s dimapping ke dalam lingkaran bidang-z. Filter
analog stabil dikonversikan ke filter digital stabil

Kondisi agar filter mempunyai fasa linear :

(
H (z)= z − N H z −1 )
Filter akan mempunyai pole mirror-image di luar unit lingkaran untuk setiap pole di
dalam lingkaran → filter tidak stabil.

Filter IIR kausal dan stabil tidak mempunyai fasa linear.

4.1 Teknik Transformasi Bilinier


Tujuan Belajar 14

Peserta dapat mendesain IIR dengan teknik Tranformasi Bilinier dari


filter analog. Termasuk di dalamnya, peserta mengetahui efek warping
frekuensi.

Melakukan transformasi dengan conformal mapping :


j axis → unit circle once
LHP → inside unit circle
RHP → outside unit circle
Penjelasan lewat Trapesoidal Formula for untuk integrasi numerik:

118 | M o d u l 9
Fungsi transfer filter analog linear:

H (s) = b *)
s+a
dalam persamaan differensial:
dy(t) + ay(t) = bx(t)
dt

Dekati dengan formula Trapesoid:

y(t) = ò y1 ( )d + y(to ) y1 : turunan pertama dari y(t)


t
o

Pada t = nT; to = nT – T :

y(nT ) =
T
y1 (nT ) + y1 (nT − T )+ y(nT − T )
2

sedangkan dari *) → y1 (nT ) = −ay(nT ) + bx(nT )

Dengan y(n)  y(nT) dan x(n)  x(nT), diperoleh hasil:

119 | M o d u l 9
120 | M o d u l 9
121 | M o d u l 9
122 | M o d u l 9
123 | M o d u l 9
124 | M o d u l 9
125 | M o d u l 9
126 | M o d u l 9
Pemetaan  ke z digambarkan sebagai berikut:

Contoh :

s + 0.1
Konversikan H a (s) = dengan transformasi bilinear:
(s + 0.1) 2 + 6
Filter digital mempunyai frekuensi resonansi di r=/2.

Jawab:

Analog filter punya resonansi r = 4

jika frekuensi ini dipetakan ke wr = p/2 → T = 1/2

s 4
æ1 - z −1 ö
Mapping yang dikehendaki = ç ÷
ç −1 ÷

è1 + z ø

0.128 + 0.006z −1 − 0.122z −1


H (z) = ; komponen z-1 di
penyebut diabaikan 1 + 0.0006z −1 + 0.975z −2

H (z) = 0.128 + 0.006z −1 - 0.122z −1


1 + 0.975z −2

Filter ini mempunyai pole :p = 0.987e j / 2


1,2

dan zero : z1,2 = -1.095

Jadi, kita dapat membuat filter dua-pole dengan resonansi dekat w = p/2

Kadang-kadang T dipilih satu apabila tidak ada permintaan khusus, atau H(s) dicari
setelah HDF(z) ditentukan.

127 | M o d u l 9
Contoh :
Desain LPF digital satu-pole dengan 3-dB bandwidth di 0.2, dengan transformasi
bilinear untuk filter analog
c
H (s) =
s + c
− 3 dB BW dari AF
Solusi :

Cari c ekivalen dari c:


2
 c = 0.2 Þ Wc = tan 0.1
T
= 0.65
T

H (s) = 0.65 / T
s + 0.65 / T
Gunakan transformasi bilinear:

0.245(1 + z −1 )
H (z) = (T diabaikan)
1 − 0.509z −1
Frekuensi respon dari filter digital:

H () = 0.245(1 + e− j )
1 - 0.509e− j
pada w = 0 Þ H(0) = 1 dan pada w = 0.2p ® |H(0.2p)| = 0.707, yang merupakan respons
yang diinginkan.

4.2 Teknik Matched z Transform


Tujuan Belajar 15

Peserta dapat mendesain IIR dengan metoda Matched z Transform.

Merupakan mapping poles/zeros H(s) ® poles/zero Z-plane.

Fungsi sistem filter analog yang sudah difaktorkan:


M M
(s - zk ) (1 - e z T z −1 )
k

k =1 k =1
H (s) = Þ H (z) =
 (1 - e p T z −1 )
N N

(s - pk ) k

k =1 k =1

zk merupakan zero dan pk pole , T : sampling interval.

128 | M o d u l 9
Masing-masing faktor (s-a) pada H(s) dipetakan ke faktor (1 − eaT z −1 )

Untuk menjaga karakteristik respon filter analog, T harus dipilih untuk menghasilkan
lokasi pole dan zero yang sama dalam bidang-z.

Untuk menghindari aliasing → T harus cukup kecil.

4.3 Desain Filter Analog Low Pass


Tujuan Belajar 16

Peserta mengerti karakteristik dan dapat mendesain filter analog low-


pass jenis Butterworth, Chebyshev, Elliptic, dan Bessel.

Butterworth

All-pole filter LPF dikarekteristik dengan kuadrat magnitude respon:

2 1 1
H (W) = 2N = 2 2N

1 + (W / Wc ) 1+ Î (W / W p )
dengan N ® orde filter

c → -3dB frequency (cut-off frequency)

wp ® frekuensi passband edge


1
→ nilai band-edge dari |H(W)|2
1+ 2

Pada s = jW maka

= 1
H (s)H (-s) s= j H (W) 2 =
æ 2 ön
1 + ç- s ÷
ç 2÷

è Wc ø
pole-pole dari persamaan di atas terletak pada unit circle.

-s2
2
= (-1)1/ N = e j (2k +1) / N k=0,1,…,N-1
Wc

sehingga, sk = Wc e j / 2 e j (2k +1) / N k=0,1,…,N-1

129 | M o d u l 9
Contoh untuk N = 4 dan N = 5

H () 2 monotonic di passband & stopband maka analisis relatif lebih mudah →

spesifikasi dipenuhi oleh mencari N yang tepat.

Response filter Butterworth:

130 | M o d u l 9
pada W = Ws,

1
= 2
2
2 2n
1+ Î (W / W p )

(
Þ N = log 1/ 2
2
-1 ) = log( /  )
2 log(Ws / Wc ) log(Ws / W p )

dengan  2 = 1/ 1 +  2

Jadi, filter Butterworth dikarakteristik oleh parameter N, 2,  dan rasio s / p.

Contoh :

Tentukan orde dan poles dari sebuah lowpass Butterworth filter, -3dB pada BW 500Hz,
att 40 dB at 1000Hz

Solusi : Wc = 500.2p

s = 1000.2

At 40 dB Þ d2 = 0.01

log (104 −1)


N=
10
= 6.64 ® pilih N = 7
2 log10 2

Pole position :

é (2k +1) ù
jê + ú

Sk = 1000e ë 2 14
û
k = 0,1,...6
Chebyshev

Type I : all pole

- equiripple in passband

- monotonic in stopband

Type II : poles + zeros

- monotonic in passband

- equiripple in stopband

131 | M o d u l 9
Type I (all-pole):

2 1
H (W) =
1+ Î2 TN 2 (W / W p )

e ® related ripple in passband

TN(x) ® N the order Chebyshev polynomial

ì cos(N cos−1 x) | x |£ 1
TN (x) = í
cosh(N cosh −1 x) | x |> 1
î
TN +1 (x) = 2xTN (x) - TN −1 (x) N = 1, 2, …

To(x) = 1, T1(x) = x, T2(x) = 2x2-1

T3(x) = 4x3 - 3x, …

Karakteristik :

|TN(x)| £ 1 untuk semua |x| £ 1

TN(1) = 1 untuk semua N

Semua akar TN(x) ada di -1 £ x £ 1

Karakteristik filter Chebyshev tipe I

Pada band edge W = Wp ® TN(1) = 1

1 1
Þ = 1- 1 Î2 = -1
1+ Î2 (1 - 1 )2

Poles dari Type I Chebyshev filter terletak pada ellipse in the s-plane with :

132 | M o d u l 9
2 2
major axis : r = W  +1 dan minor axis : r = W  -1
1 p
2 2 p
2
1
2 ù
é 1+ Î +1 N
Ripple pada stopband Þ  = ê ú
ê Î ú
ë û
Penentuan lokasi pole dari filter Chebyshev:

Posisi angular dari pole filter:

k = + (2k +1) k = 0, 1, …, N-1


2 2N
(xk , yk )® xk = r cosk k = 0, …, N-1

yk = r1 sin k k = 0, …, N-1

Type II (zeros + poles):

Magnitudo respon filter:

= 1
H (W) 2
2 ù
éT (W / W )
1+ Î2 ê N s p ú
ê T 2 (W / W) ú
ë N s û
T(x) ® N-th order Chebyshev

Ws ® Stopband

133 | M o d u l 9
Respon frekuensi filter tipe II:

Ws
zeros : sk = j (sumbu imajiner)
sin k

Ws xk
poles : (vk,wk) vk = k = 0,1, …N-1
xk 2 + y k 2

Ws y k
wk = k = 0, 1, …N-1
xk 2 + y k 2

di mana xk dan yk koordinat pole.


1
é 2 ùN
Ripple stop-band →  = ê 1 + 1 -  2 ú
ê 2 ú
ë û

Jadi ,karakteristik Chebyshev filter ditentukan oleh N, e, d2, Ws/Wp untuk menentukan:

+ 1 -  2 2 (1+ Î2 ) ù
2
é 1- 2
logê ú
ê Î2 ú −1
N= ë û = cosh ( / Î)
logê (Ws / W p )+ (Ws / W p ) -1
é 2 −1
ú
ù cos (Ws / W p )
ë û
1
2 º
1 + 2

134 | M o d u l 9
Contoh :

Cari N dan poles of a type I lowpass Chebyshevfilter that has a 1-dB ripple in the
passband cutoff frequency p = 1000, a stopband frequency of 2000, att. 40dB or
more for W ³ Ws

Solusi:

Cari N : 10 log (1+ Î2 ) = 1 ® e = 0.5088


10

20 log10 2 = -40 ® d2 = 0.01

log10 196.54
N= ( )= 4.0 ® 4 poles
log10 2 + 3

Poles : b = 1.429 r1= 1.06Wp r2 = 0.365Wp

k = + (2k +1) k = 0, …, 3
2 8
x1 + jy1 = −0.1397 p  j0.979 p

x2 + jy2 = −0.337 p  j0.4056 p

Elliptic

Equiripple in both passband/stopband

2 1
H () = 2
1+ Î U N (W / W p )

UN(x) Jacobianelliptic function of order N

135 | M o d u l 9
The most effecient designs occur when we spread the appr. Error equally over the
passband and the stopband

Þ Elliptic filters can do this

N = K (W p / W s ) K (1 - (Î 2
)
/2 )
1 - ( W p / Ws ) ÷
æ 2 ö
K (Î /  ) K ç
è Ø
/2

K (x) = ò 2 2 complete elliptic integral of the first kind
0 1 - x sin 

1
=
 2
1+2

Passband ripple = 10log10(1+e) Þ use computer

Bessel : All-Pole

Fungsi sistem filter:

1
H (s) =
BN (s)
N

BN (s) = åak s k Nth order Bessel polynomial


k =0

(2N - k )!
ak = k = 0, 1, …, N
2N −k k!(N - k )!

Polinomial bessel dibangkitkan:

Þ BN (s) = (2N -1)BN −1 (s) + s2 BN −2 (s)

Bo (s) = 1 dan B1 (s) = s +1 sebagai kondisi initial

Þ Bessel Filter ® linear phase over the passband

Sayangnya sifat ini tidak berguna di saat terjadi BT

136 | M o d u l 9
4.4 Transformasi Filter Low Pass
Tujuan Belajar 17

Peserta dapat mendesain IIR dengan teknik Tranformasi Bilinier untuk


membuat filter LP, HP, BP, BS dengan bantuan transformasi jenis filter,
baik di domain analog maupun di domain digital.

Proses desain DF dapat diubah menjadi problem desain AF dengan spesifikasi khusus
yang diturunkan dari Bilinear Transform

LPF dapat ditransformasikan ke LPF, BPF, HPF dan BSF. Jadi diskusi dapat
difokuskan ke LPF

Ada AF yang bisa digunakan Butterworth Filter, Chebyshev Filter, Elliptic Filter,
Bessel Filter.

137 | M o d u l 9

Anda mungkin juga menyukai