PERALATAN LABORATORIUM
0.1 Keselamatan
Kecelakaan akibat bahaya listrik yang sering terjadi adalah tersengat arus
listrik. Berikut ini adalah hal-hal yang harus diikuti praktikan jika hal itu terjadi:
A. Jangan panik
D. Beritahukan dan minta bantuan asisten, praktikan lain dan orang di sekitar
anda tentang terjadinya kecelakaan akibat bahaya listrik
D. Selalu waspada terhadap bahaya api atau panas berlebih pada setiap
aktivitas praktikum
Berikut ini adalah hal-hal yang harus diikuti praktikan jika menghadapi
bahaya api atau panas berlebih:
A. Jangan panik
C. Hindari daerah, benda atau logam yang memiliki bagian tajam dan dapat
melukai
D. Tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan luka pada diri sendiri
atau orang lain
HAL LAIN
Berikut ini adalah panduan yang harus dipatuhi ketika menggunakan alat-alat
praktikum:
B. Perhatikan dan patuhi peringatan (warning) yang biasa tertera pada badan alat,
Pahami fungsi atau peruntukan alat-alat praktikum dan gunakanlah alat-alat
tersebut hanya untuk aktivitas yang sesuai fungsi atau peruntukannya.
Menggunakan alat praktikum di luar fungsi atau peruntukannya dapat
menimbulkan kerusakan pada alat tersebut dan bahaya keselamatan praktikan
1.3 Sanksi
Pengabaian uraian panduan di atas dapat dikenakan sanksi tidak lulus mata
kuliah praktikum yang bersangkutan
MODUL 1
PENGENALAN MATLAB
I. Tujuan
1. Pengertian MATLAB
MATLAB (Matrix Laboratory) adalah sebuah program untuk analisis dan
komputasi numerik. Pada awalnya, program ini merupakan interface
untuk koleksi rutin-rutin numerik dari proyek LINPACK dan
EISPACK, namun sekarang merupakan produk komersial dari
perusahaan Mathworks, Inc. MATLAB telah berkembang menjadi sebuah
environment pemrograman yang canggih yang berisi fungsi-fungsi built-in
untuk melakukan tugas pengolahan sinyal, aljabar linier, dan kalkulasi
matematis lainnya. MATLAB juga berisi toolbox yang berisi fungsi-fungsi
tambahan untuk aplikasi khusus .
MATLAB bersifat extensible, dalam arti bahwa seorang pengguna dapat
menulis fungsi baru untuk ditambahkan pada library, ketika fungsi-fungsi
built-in yang tersedia tidak dapat melakukan tugas tertentu. Kemampuan
pemrograman yang dibutuhkan tidak terlalu sulit bila Anda telah memiliki
pengalaman dalam pemrograman bahasa lain seperti CPASCAL.
MATLAB akan digunakan secara ekstensif pada praktikum ini.
Modul ini memberikan tinjauan singkat mengenai MATLAB dan
kapabilitasnya dengan penekanan pada isu pemrograman. Seluruh materi
pada modul ini merupakan terjemahan bebas dari buku “DSP First, A
Multimedia Approach” karangan James H. McClellan, Ronald W. Schafer,
dan Mark A. Yoder, terbitan Prentice-Hall (1998), khususnya Appendix B
dan C.
1|Modul 1
MATLAB ® merupakan bahasa pemrograman tingkat tinggi yang
dikembangkan oleh MathWorks dan dikhususkan untuk komputasi numerik,
visualisasi, dan pemrograman. Dengan memanfaatkan MATLAB, pengguna
dapat melakukan analisis data, mengembangkan algoritma, dan membuat
model maupun aplikasi. Bahasa, tools, dan fungsi-fungsi built-in akan
memudahkan pengguna untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan dan
memperoleh solusi lebih cepat dibandingkan menggunakan spreadsheets
atau bahasa pemrograman tradisional, seperti C/C++ atau Java™.
MATLAB menggunakan konsep array/matrik sebagai standar variabel
elemennya tanpa memerlukan pendeklarasian array seperti pada bahasa
lainnya. Selain itu juga dapat diintegrasikan dengan aplikasi dan bahasa
pemrograman eksternal seperti C, Java, .NET, dan Microsoft® Excel®.atau
FORTRAN.
3. Langkah Percobaan
a. Memulai Matlab
Perhatikan Dekstop pada layar monitor PC, anda mulai
MATLAB dengan melakukan:
- double-clicking pada shortcut icon MATLAB
2|Modul 1
- Selanjutnya anda akan mendapatkan tampilan seperti pada Gambar
berikut ini.
3|Modul 1
sedang aktif). Pilih new directory, selanjutnya ketikkan “dargombes”, dan
diikuti dengan click Ok.
» x = [1 2 3]
x=1 2 3
» y = [4 5 6]
y=4 5 6
4|Modul 1
Selajutnya ketik:
» y (1)
ans = 4 dan ulangi untuk y (2) and y(3).
5|Modul 1
Selanjutnya anda akan mendapatkan sebuah tampilan Matlab
Editor yang masih kosong seperti ini.
6|Modul 1
Lanjutkan dengan menekan toolbar Debug, dan jangan lupa anda
pilih Save anda Run. Disitu anda harus menuliskan nama program.
Anda tuliskan coba_1, secara otomatis akan menjadi file coba_1.m dan
akan anda lihat tampilan hasilnya. Seperti apa ya?
delx=10/(n-1);
for k=1:n
x(k)=(k-1)*delx;
y(k)=sin(x(k))*exp(-0.4*x(k)); end
xlabel('x');ylabel('y');
Bagiamana hasilnya…?
7|Modul 1
function y = x2(t)
y = t^2;
Anda simpan dengan nama "x2.m" selanjutnya anda dapat
memanfaatkan fungsi tersebut melalui Matlab line command dengan cara
berikut:
>>t=0:1:10;
>> y_2=x2(t)
Hasilnya adalah seperti berikut:
y_2 = 0 1 4 9 16 25 36 49 64 81 100
Anda bisa juga memanggil fungsi tersebut melalui program pada
panggil_1.m file yang anda buat seperti berikut:
t=0:1:10;
y_2=x2(t)
Hasilnya adalah sama seperti menggunakan command line window.
8|Modul 1
MODUL 2
PEMBANGKIT SINYAL
I. Tujuan
9|Modul 2
sedangkan notasi t merupakan contoh variabel bebas. Pada Gambar 2.1c
merupakan sebuah ilustrasi proses perekaman menggunakan digital audio
recorder. Sedangkan Gambar 2.1d adalah contoh sinyal ouput hasil perekaman
yang disajikan di dalam bentuk grafik tegangan sebagai fungsi waktu.
Gambar 2.1. Contoh gambaran sistem dan sinyal ouput yang dihasilkan
10 | M o d u l 2
f (t) € (−∞, ∞) (2-1)
Dimana f(t) adalah variabel tidak bebas yang menyatakan fungsi sinyal
waktu kontinyu sebagai fungsi waktu. Sedangkan t merupakan variabel bebas,
yang bernilai antara – tak hingga (-∞) sampai + tak hingga (+∞).
• Gelombang tegangan dan arus yang terdapat pada suatu rangkaian listrik
• Sinyal audio seperti sinyal wicara atau musik
• Sinyal bioelectric seperti electrocardiogram (ECG) atau electro
encephalogram (EEG)
• Gaya-gaya pada torsi dalam suatu sistem mekanik
• Laju aliran pada fluida atau gas dalam suatu proses kimia
Fungsi Step
Dua contoh sederhana pada sinyal kontinyu yang memiliki fungsi step dapat
diberikan seperti pada Gambar 2.3a. Sebuah fungsi step dapat diwakili dengan
suatu bentuk matematis sebagai:
Dimana t merupakan variabel bebas bernilai dari -∞ sampai +∞, dan u(t)
merupakan variabel tak bebas yang memiliki nilai 1 untuk t > 0, dan bernilai 0
untuk t < 0. Pada contoh tersebut fungsi step memiliki nilai khusus, yaitu 1
sehingga bisa disebut sebagai unit step. Pada kondisi real, nilai output u(t) untuk t
> 0 tidak selalu sama dengan 1, sehingga bukan merupakan unit step.
Untuk suatu sinyal waktu-kontinyu x(t), hasil kali x(t)u(t) sebanding dengan
x(t) untuk t > 0 dan sebanding dengan nol untuk t < 0. Perkalian pada sinyal x(t)
dengan sinyal u(t) mengeliminasi suatu nilai non-zero(bukan nol) pada x(t) untuk
nilai t < 0.
11 | M o d u l 2
(a) . Fungsi step dengan u(t) = 1, untuk t > 0
Fungsi Ramp
Fungsi Ramp (tanjak) untuk sinyal waktu kontinyu didenifisika sebagai berikut :
Dimana nilai t bisa dan menentukan kemiringan atau slope pada r(t). untuk
contoh diatas nilai r adalah 1, sehingga pada kasus ini r(t) merupakan “unit
slope”, yang mana merupakan alasan bagi r(t) untuk dapat disebut sebagai unit-
ramp function. Jika ada variable K sedemikian diberikan pada gambar 2.2b
Sinyal Periodik
Ditetapkan T sebagai suatu nilai real positif. Suatu sinyal waktu kontinyu
x(t) dikatakan periodik terhadap waktu dengan periode T jika :
12 | M o d u l 2
Dalam hal ini jika x(t) merupakan periodik pada periode T, ini juga periodik
dengan qT, dimana q merupakan nilai integer positif. Periode fundamental merupakan
nilai positif terkecil T untuk persamaan (2-3).
x(t)=Acos(ωt+θ) (2-5)
Sinyal periodik bisa berbentuk sinyal rectangular, sinyal gigi gergaji, sinyal
segituga, dsb. Bahkan pada suatu kondisi sinyal acak juga bisa dinyatakan sebagai
sinyal periodik, jika kita mengetahui bentuk perulangan dan periode terjadinya
perulangan pola acak tersebut. Sinyal acak semacam ini selanjutnya disebut
sebagai sinyal semi acak atau sinyal pseudo random.
13 | M o d u l 2
Sinyal Eksponensial
st (σ + jω0 )t σt
x(t) = eσt
14 | M o d u l 2
Kasus 2: Komponen real adalah nol (σ = 0)
Dengan kata lain bisa dinyatakan bahwa bagian real dan imajiner dari
eksponensial komplek adalah sinyal sinusoida murni. Contoh sinyal eksponensial
komplek dengan komponen frekuensi real nol bisa dilihat seperti pada Gambar 2.5
berikut in
15 | M o d u l 2
Gambar 2.4. Komponen real dan imajiner sinyal komplek dengan frekuensi
real nol
Sinyal impuls
Sinyal impuls, dalam hal ini adalah fungsi unit impuls δ(t), yang juga
dikenal sebagai fungsi dirac atau secara lebih sederhana dinyatakan sebagai fungsi delta
function di dalam terminologi 2 sifat berikut.
16 | M o d u l 2
IV. Langkah Percobaan
4.1 Pembangkitan Sinyal Waktu Kontinyu Sinusoida
Disini kita mencoba membangkitkan sinyal sinusoida untuk itu coba anda buat
program seperti berikut:
Fs=100;
t=(1:100)/Fs;
s1=sin(2*pi*t*5);
plot(t,s1)
Sinyal yang terbangkit adalah sebuah sinus dengan amplitudo Amp = 1, frekuensi f
= 5Hz dan fase awal θ = 0. Diharapkan anda sudah memahami tiga parameter dasar pada
sinyal sinus ini. Untuk lebih memahami coba lanjutkan dengan langkah berikut :
s1=sin(2*pi*t*10);
Dan perhatikan apa yang terjadi, kemudian ulangi untuk mengganti angka 10 dengan
15, dan 20.
17 | M o d u l 2
2. Coba anda edit kembali program anda sehingga bentuknya persis seperti pada
langkah1, kemudian lanjutkan dengan melakukan perubahan pada nilai amplitudo,
sehingga bentuk perintah pada s1 menjadi:
s1=5*sin(2*pi*t*5);
Coba perhatikan apa yang terjadi? Lanjutkan dengan merubah nilai amplitudo
menjadi 10, 15 dan 20. Apa pengaruh perubahan amplitudo pada bentuk sinyal sinus?
3. Kembalikan program anda sehingga menjadi seperti pada langkah pertama. Sekarang
coba anda lakukan sedikit perubahan sehingga perintah pada s1 menjadi:
s1=2*sin(2*pi*t*5 + pi/2);
Coba anda perhatikan, apa yang terjadi? Apa yang baru saja anda lakukan adalah
merubah nilai fase awal sebuah sinyal dalam hal ini nilai θ = π/ 2 = 90o. Sekarang
lanjutkan langkah anda dengan merubah nilai fase awal menjadi 45o, 120o, 180o, dan
270o. Amati bentuk sinyal sinus terbangkit, dan catat hasilnya. Plot semua gambar dalam
satu figure dengan perintah subplot.
Disini akan kita bangkitkan sebuah sinyal persegi dengan karakteristik frekuensi
dan amplitudo yang sama dengan sinyal sinus. Untuk melakukannya ikuti langkah berikut
ini :
s1=SQUARE(2*pi*5*t);
18 | M o d u l 2
Coba anda lakukan satu perubahan dalam hal ini nilai frekuensinya anda rubah
menjadi 10 Hz, 15 Hz, dan 20 Hz. Apa yang anda dapatkan? Plot semua gambar
dalam satu figure dengan perintah subplot.
3. Kembalikan bentuk program menjadi seperti pada langkah pertama, Sekarang coba
anda rubah nilai fase awal menjadi menjadi 45o, 120o, 180o, dan 225o. Amati dan
catat apa yang terjadi dengan sinyal persegi hasil pembangkitan. Plot semua gambar
dalam satu figure dengan perintah subplot.
Kita mulai bermain dengan file *.wav. Dalam hal ini kita lakukan pemanggilan
sinyal audio yang ada dalam hardisk kita. Langkah yang kita lakukan adalah seperti
berikut :
Fs=10000;
2. Cobalah untuk menampilkan file audio yang telah anda panggil dalam bentuk grafik
sebagai fungsi waktu. Perhatikan bentuk tampilan yang anda lihat. Apa yang anda
catat dari hasil yang telah anda dapatkan tsb?
19 | M o d u l 2
4.4. Pembangkitan Sinyal Kontinyu Fungsi Ramp
Sebagai langkah awal kita mulai dengan membangkitkan sebuah fungsi ramp.
Sesuai dengan namanya, fungsi ramp berarti adalah tanjakan seperti yang telah ditulis
pada persamaan (3). Untuk itu anda ikuti langkah berikut ini. Buat program baru dan anda
ketikkan perintah seperti berikut :
y(1:40)=1;
x(1:50)=[1:0.1:5.9];
x(51:100)=5.9;
t1=[-39:1:0];
t=[0:1:99];
plot(t1,y,'b',t,x,'linewidt',4)
title('Fungsi Ramp')
xlabel('Waktu (s)')
ylabel('Amplitudo')
1. Jawablah setiap pertanyaan yang ada pada setiap langkah percobaan tersebut diatas.
2. Buatlah program untuk menggambarkan “fungsi unit step” dalam m-file (beri nama
tugas_1.m).
3. Anda buat pembangkitan sinyal eksponensial dengan suatu kondisi frekuensi realnya
adalah nol, dan satu progam lain dimana frekuensi imajinernya nol.
4. Buat pembangkitan sinyal impuls dengan suatu kondisi sinyal terbangkit bukan pada
waktu t = 0. Dalam hal ini anda bisa membangkitkan pada waktu t =1 atau 2, atau
yang lainnya.
20 | M o d u l 2
MODUL 3
PEMBANGKITAN SINYAL DISKRIT
Dalam hal ini x(n) menyatakan nilai yang ke-n dari suatu deret, persamaan
(3-1) biasanya tidak disarankan untuk dipakai dan selanjutnya sinyal diskrit
diberikan seperti Gambar 3.1. Meskipun absis digambar sebagai garis yang
kontinyu, sangat penting untuk menyatakan bahwa x(n) hanya merupakan nilai
dari n. Fungsi x(n) tidak bernilai nol untuk n yang bukan integer; x(n) secara
sederhana bukan merupakan bilangan selain integer dari n.
22 | M o d u l 3
Gambar 3.1. Penggambaran secara grafis dari sebuah sinyal waktu diskrit
23 | M o d u l 3
2.2. Bentuk Dasar Sinyal Waktu Diskrit
Seperti halnya sinyal waktu kontinyu yang memiliki bentuk-bentuk sinyal
dasar, sinyal waktu diskrit juga tersusun dari fungsi dasar sinyal seperti sinyal
impulse diskrit, sekuen step, sekuen ramp, sekuen rectangular, sinusoida diskrit
dan exponensial diskrit.
Sekuen Impuls
Sinyal impuls waktu diskrit atau sinyal diskrit impulse juga dikenal sebagai
suatu Kronecker delta function atau disebut juga sebagai DT unit sample function,
didefinisikan dengan persamaan matematik seperti berikut.
1 k=0
δ [k ] = u[k ] − u[k − 1] = (2-2)
0
k≠0
Sedikit berbeda dengan fungsi impulse pada sinyal waktu kontinyu, fungsi
simpulse pada sinyal waktu diskrit tidak memiliki ambiguity pada
pendefinisiannya, karena dengan mengacu pada persamaan (2-2) cukup jelas
bahwa sinyal ini merupakan sinyal yang hanya sesaat muncul sesuai dengan time
sampling yang digunakan. Dan antar satu sampel ke sampel berikutnya ditentukan
oleh periode samplingnya. Bentuk fungsi impulse untuk sinyal waktu diskrit bisa
dilihat seperti pada Gambar 3.3
24 | M o d u l 3
1 k0
u[k ] = (3-3)
0
k0
Dimana nilai u[k] akan konstan (bias bernilai 1 atau yang lainnya) setelah
waktu k > 0. Perbedaan dengan fungsi step waktu kontinyu adalah bahwa dalam
sekuen step waktu diskrit, sinyal akan memiliki nilai pada setiap periode waktu
tertentu, sesuai dengan periode samping yang digunakan. Bentuk sekuen step
waktu diskrit bias dilihat seperti pada Gambar 3.4
25 | M o d u l 3
Gambar 3.5 sekuen ramp waktu diskrit
Sinusoida Diskrit
Sinusoida diskrit bisa direpresentasikan dalam persamaan matematik
sebagai berikut:
26 | M o d u l 3
disajikan seperti pada Gambar 3.xx, dimana bagian (a) menunjukkan komponen
real dan bagian (b) menunjukkan bagian imajiner pada sinyal komplek tersebut.
27 | M o d u l 3
step(n)=1;
else
step(n)=0;
end
end
x=1:L;
stem(x,step)
Berikan penjelasan pada gambar yang dihasilkan.
2. Anda ulangi langkah pertama dengan cara me-run program anda dan masukan
nilai untuk panjang gelombang dan panjang sekuen yang berbeda-beda yaitu
L=40, P= 15 ; L=40, P=25 ; L=40, P=35. Plot hasil percobaan anda pada salah
satu figure, dan catat apa yang terjadi?
1. Buat program baru dengan perintah berikut ini. %File Name: Sd_2.m
for n=1:L
if (n=p) step(n)=1
else
step(n)=0
end
end
x=1:L;
stem(x,step)
axis([0L – 11.2])
berikan penjelasan pada gambar yang dihasilkan
28 | M o d u l 3
2. Jalankan program diatas berulang-ulang dengan catatan nilai L dan P dirubah-
ubah sebagai berikut L=40, P= 15 ; L=40, P=25 ; L=40, P=35, perhatikan apa
yang terjadi? Catat apa yang anda lihat.
2. Lakukan perubahan pada nilai Fs, sehingga bernilai 40, 60 dan 80. Plot hasil
percobaan anda pada satu figure, dan catat apa yang terjadi.
1. Buat program baru dengan perintah berikut ini. %File Name: Sd_4.m
29 | M o d u l 3
V. DATA DAN ANALISA
Anda telah melakukan berbagai langkah untuk percobaan pembangkitan
sinyal diskrit. Langkah selanjutnya yang harus anda lakukan adalah:
1. Jawab setiap pertanyaan yang ada pada setiap langkah percobaan diatas.
2. Coba anda buat program pada m-file untuk membangkitkan sebuah sinyal
sekuen rectanguler (persegi) yang berada pada posisi 1-4 , 2-6, 4-8 dan 6-10
dengan amplitudo sebesar 5. Plot hasil perconaan dalam 1 figure. Beri komentar
bagaimana pengaruh perubahan posisi sinyal rectanguler yang telah anda coba?
30 | M o d u l 3
MODUL 4
OPERASI DASAR SINYAL 1
(OPERASI DENGAN VARIABEL TAK BEBAS)
Penguatan Sinyal
Peristiwa penguatan sinyal seringkali diumpai pada perangkat audio
seperti radio, tape, bahkan pada transmisi gelombang radio yang berkaitan
dengan multipath, dimana masing-masing sinyal datang dari Tx ke Rx akan
saling menguatkan apabila fase sinyal sama. Fenomena ini dapat juga
direpresentasikan secara sederhana sebagai sebuah operasi matematika
sebagai berikut:
31 | M o d u l 4
dimana:
y(t) = sinyal output
amp = konstanta penguatan sinyal
x(t) = sinyal input
Bentuk diagram blok dari sebuah operasi pernguatan sinyal dapat diberikan
pada gambar berikut ini Besarnya nilai konstanta sinyal amp >1, dan
penguatan sinyal seringkali dinyatalan dalam besaran deci Bell, yang
didefinisikan sebagai:
Dalam domain waktu, bentuk sinyal asli dan setelah mengalami penguatan
adalah seperti gambar berikut.
32 | M o d u l 4
Pelemahan Sinyal
Apabila sebuah sinyal dilewatkan suatu medium seringkali mengalami
berbagai perlakuan dari medium (kanal) yang dilaluinya. Ada satu mekanisme
dimana sinyal yang melewati suatu medium mengalami pelemahan energi yang
selanjutnya dikenal sebagai atenuasi (pelemahan atau redaman) sinyal.
Bentuk diagram blok dari sebuah operasi pernguatan sinyal dapat
diberikan pada gambar berikut ini.
Sinyal Media Transmisi Sinyal
Masuk (Kanal) Keluar
33 | M o d u l 4
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses penguatan dan pelemahan
sinyal merupakan dua hal yang hampir sama. Dalam pengatan sinyal amplitudo
sinyal output lebih tinggi dibanding sinyal input, sementara pada pelemahan
sinyal amplitudo sinyal output lebih rendah disbanding sinyal input. Tetapi pada
kedua proses operasi ini bentuk dasar sinyal tidak mengalami perubahan.
2. Addition
Proses penjumlahan sinyal seringkali terjadi pada peristiwa transmisi sinyal
melalui suatu medium. Sinyal yang dikirimkan oleh pemancar setelah melewati
medium tertentu misalnya udara akan mendapat pengaruh kanal, pengaruh
tersebut tentunya akan ditambahkan pada sinyal aslinya. Misal Sinyal informasi
yang terpengaruh oleh noise atau sinyal lain dari kanal, maka secara matematis
pada sinyal tersebut pasti terjadi proses penjumlahan. Sehingga pada bagian
penerima akan mendapatkan sinyal sebagai hasil jumlahan sinyal asli dari
pemancar dengan sinyal yang terdapat pada kanal tersebut.
Sinyal Hasil
Sinyal 1
Jumlahan
Sinyal 2
Gambar 4.5. Diagram blok operasi penjumlahan dua sinyal.
34 | M o d u l 4
Gambar 4.6. Contoh operasi penjumlahan dua sinyal
3. Multiplication
Perkalian merupakan bentuk operasi yang sering anda jumpai dalam
kondisi real. Pada rangkaian mixer, rangkaian product modulator frequency
multiplier, proses windowing pada speech processing, sehingga operasi
perkalian sinyal merupakan bentuk standar yang seringkali dijumpai.
Bentuk diagram blok operasi perkalian dua buah sinyal dapat diberikan
seperti pada Gambar 4.7
Contoh perkalian dua sinyal beda frekuensi, bisa dilihat pada Gambar 4.8.
35 | M o d u l 4
III. Perangkat Yang Diperlukan
36 | M o d u l 4
Masukan nilai ‘a’ berturut-turut : 1.5 ; 4; 5.5 dan 8. Apa yang anda
dapatkan? (beri penjelasan secara lengkap). Plot setiap hasil running
pada satu figure. Nilai penguatan sinyal juga seringkali dituliskan dalam
desi-Bell (dB), untuk penguatan 1.5 kali berapa nilainya dalam dB?
37 | M o d u l 4
e. Tambahkan noise pada sinyal audio dengan perintah sebagai berikut :
var = 0.1;
noise_1=var*randn(N,1);%membangkitkan noise Gaussian
y_1n=y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(311)
plot(y_1n)
f. Lakukan penguatan 5 kali pada sinyal y_1n, tetapi pada sinyal aslinya
saja, dengan perintah: y_1n_kuat_sinyal=5*y1 +
noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(312) plot(y_1n_kuat_sinyal)
3. Pelemahan Sinyal
a. Bangkitkan gelombang pertama dengan langkah berikut: T=100;
t=0:1/T:2;
f1=1;
y1=sin(2*pi*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,y1)
38 | M o d u l 4
plot(t,y1_kuat)
Masukan nilai ‘a’ berturut-turut : 0.2 ; 0.5 ; 0.7 dan 0.9. Apa yang anda
dapatkan? (berikan penjelasan secara lengkap)
a. Anda buat file lemah_1.m seperti berikut %Description: how to read and
play a wav file y1=wavread('audio1.wav');
Fs=8192;
wavplay(y1,Fs,'async') % Memainkan audio sinyal asli subplot(211)
plot(y1)
c. Apakah anda mengamati sesuatu yang baru pada sinyal audio anda?
Cobalah anda rubah nilai amp senilai 0.2, 0.4, 0.6 dan 0.8.
d. Plot file audio yang telah anda panggil dalam bentuk grafik sebagai
fungsi waktu, baik untuk sinyal asli maupun setelah pelemahan
dalam satu figure.
39 | M o d u l 4
N=length(y1) ;
noise_1=var*randn(N,1);%membangkitkan noise Gaussian
y_1n=y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(311)
plot(y_1n)
f. Lakukan pelemahan 0.5 kali pada sinyal y_1n, tetapi pada sinyal aslinya
saja, dengan perintah:
y_1n_lemah_sinyal=0.5*y1 + noise_1;%menambahkan noise ke file
subplot(312)
plot(y_1n_kuat_sinyal)
g. Kemudian lemahkan sinyal yang sudah diberi noise tersebut sebesar
0.5 kali, dengan perintah: y_1n_lemah_semua=0.5*(y1 +
noise_1);%menambahkan noise ke file
subplot(313)
plot(y_1n_lemah_semua)
h. Bandingkan gambar 1, 2 dan 3, kemudian berikanlah analisa sesuai
teori sinyal yang telah anda pelajari.
40 | M o d u l 4
c. Lakukan proses perkalian pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.
Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:
y3=y1*y2 ; subplot(3,1,3) plot(t,y3)
Buat program perkalian sinyal (1s/d3) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalahhasil perkalian dua buah sinyal dengan frekuensi dan
beda fase sama tetapi amplitudonya berbeda. Plot hasil Running program
tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan tersebut,
jelaskan sebagai bahan analisa.
Buat program perkalian sinyal (4s/d6) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalah hasil perkalian dua buah sinyal dengan amplitudo
dan beda fase sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil Running
41 | M o d u l 4
program tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan
tersebut, jelaskan sebagai bahan analisa.
y3=y1*y2 ;
subplot(3,1,3)
plot(t,y3)
Buat program perkalian sinyal (7s/d9) tersebut diatas dalam satu m-file,
program diatas adalah hasil perkalian dua buah sinyal dengan amplitudo dan
beda fase sama tetapi frekuensinya berbeda. Plot hasil Running program
tersebut, kesimpulan apa yang dapat diambil dari hasil percobaan tersebut,
jelaskan sebagai bahan analisa.
42 | M o d u l 4
a. Bangkitkan gelombang pertama
dengan langkah berikut:
T=100;%banyak sampel
t=0:1/T:2;%time f=1; %frekuensi
a1=4 ; %amplitudo sinyal pha=pi/2; y1=a1*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,1) plot(t,y1)
b. Bangkitkan gelombang kedua dengan
langkah tambahan berikut ini: a2=4 ;
y2=a2*sin(2*pi*f*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)
c. Lakukan proses penjumlahan pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas. Bentuk
program selengkapnya adalah seperti berikut:
y3=y1+y2 ; subplot(3,1,3)
plot(t,y3)
43 | M o d u l 4
y2=a*sin(2*pi*f2*t+pha);
subplot(3,1,2)
plot(t,y2)
c. Lakukan proses penjumlahan pada kedua sinyal y1 dan y2 diatas.
Selengkapnya bentuk programnya adalah seperti berikut:
y3=y1+y2 ; subplot(3,1,3) plot(t,y3)
44 | M o d u l 4
plot(t,y3)
a. Untuk contoh kasus ini ikuti langkah pertama dengan membuat file
coba_audio_1.m seperti berikut.
%File Name:coba_audio_1.m y1=wavread('audio3.wav'); Fs=8192;
Fs1 = Fs;
wavplay(y1,Fs1,'sync') % Sinyal asli dimainkan
c. Apakah anda melihat ada sesuatu yang baru dengan langkah anda?
Coba anda lakukan sekali lagi langkah 2 dengan nilai var 0.2, 0.4,
06, dst. Coba amati apa yang terjadi?
45 | M o d u l 4
d. Cobalah untuk menampilkan file audio yang telah anda panggil dalam
bentuk grafik sebagai fungsi waktu, baik untuk sinyal asli atau setelah
penambahan noise dalam satu figure.
46 | M o d u l 4
MODUL 5
PROSES SAMPLING
47 | M o d u l 5
Gambar 5.2 Sistem Pengolahan Sinyal Digital
2.2. Proses Sampling
Frekuensi dalam sinyal waktu diskrit memiliki satuan radian per indek
sample, dan memiliki ekuivalensi dengan 2πf.
48 | M o d u l 5
Gambar 5.3. Sinyal sinus diskrit
Sinyal sinus pada Gambar 3 tersusun dari 61 sampel, sinyal ini memiliki
frekuensi f = 50 dan disampel dengan Fs = 1000. Sehingga untuk satu siklus
sinyal sinus memiliki sample sebanyak Fs/f = 1000/50 = 20 sampel. Berbeda
dengan sinyal waktu kontinyu (C-T), sifat frekuensi pada sinyal waktu diskrit (D-
T) adalah:
1. Sinyal hanya periodik jika f rasional. Sinyal periodic dengan periode N
apabila berlaku untuk untuk semua n bahwa x(n+N) = x(n). Periode
fundamental NF adalah nilai N yang terkecil. Sebagai contoh:
agar suatu sinyal periodic maka cos(2π(N+n) + θ) = cos(2πn + θ) = cos(2πn +
θ +2πk)
2. Sinyal dengan fekuensi beda sejauh k2π (dengan k bernilai integer) adalah
identik. Jadi berbeda dengan kasus pada C-T, pada kasus D-T ini sinyal yang
memiliki suatu frekuensi unik tidak berarti sinyal nya bersifat unik.
Sebagai contoh :
cos[(ωο + 2π)n + θ] = cos (ωο + 2π)
karena cos(ωο + 2π) = cos(ωο). Jadi bila xk(n) = cos(ωοn+ 2π) , k = 0,1,….
Dimana ωk = ωοn+ 2kπ, maka xk(n) tidak bisa dibedakan satu sama lain.
Artinya x1(n) = x2(n) = x3(n)….= xk(n). Sehingga suatu sinyal dengan
frekuensi berbeda akan berbeda jika frekuensinya dibatasi pada daerah −π < ω
< π atau –1/2 < f <1/2.
49 | M o d u l 5
2.3. Proses Aliasing
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa proses aliasing akan terjadi jika
frekuensi sampling tidak sesuai dengan aturan Nyquist. Gambar 6.4
memperlihatkan proses sampling jika dilihat dari kawasan frekuensi. Karena
transformasi Fourier dari deretan impuls adalah juga suatu deretan impuls,
maka konvolusi antara spektrum sinyal S(Ω) dengan impuls δ(Ω - kΩT)
menghasilkan pergeseran spektrum sejauh kΩT. Sebagai akibatnya akan
terjadi pengulangan (tiling) spektrum di seluruh rentang frekuensi pada
posisi kelipatan dari frekuensi pencuplikan. Gambar 6.4 bagian kiri bawah
menunjukkan spektrum dari sinyal yang lebar pitanya Ωm yang kemudian
mengalami proses pengulangan akibat proses sampling.
Jika jarak antar pengulangan atau grid pengulangan cukup lebar, seperti
diperlihatkan pada Gambar 6.5 bagian atas, yang juga berarti bahwa frekuensi
samplingnya cukup besar, maka tidak akan terjadi tumpang tindih antar spektrum
yang bertetangga. Kondisi ini disebut sebagai non-aliasing. Selanjutnya sifat
keunikan dari transformasi Fourier akan menjamin bahwa sinyal asal dapat
diperoleh secara sempurna. Sebaliknya, jika ΩT kurang besar, maka akan terjadi
tumpang tindih antar spektrum yang mengakibatkan hilangnya sebagian dari
50 | M o d u l 5
informasi. Peristiwa ini disebut aliasing, seperti diperlihatkan pada Gambar 6.5
bagian bawah.
Pada kondisi ini, sinyal tidak dapat lagi direkonstruksi secara eksak. Dengan
memahami peristiwa aliasing dalam kawasan frekuensi, maka batas minimum laju
pencuplikan atau batas Nyquist
dapat diperoleh, yaitu sebesar ΩNyquist = Ωm. Hasil ini dirumuskan sebagai
teorema Shannon untuk pencuplikan sebagai berikut:
51 | M o d u l 5
a. PC yang dilengkapi dengan perangkat multimedia (sound card,
Microphone, Speaker active, atau headset)
b. Sistem Operasi Windows dan Perangkat Lunak Matlab yang dilengkapi
dengan tool box DSP.
52 | M o d u l 5
Gambar 5.6 pengaruh jumlah sample berbeda terhadap satu periode
sinyal terbangkit
Lakukan perubahan pada nilai Fs, pada sinyal s1 sehingga bernilai 10, 12,
14, 16, 20, dan 30. Catat apa yang terjadi ? Apa pengaruh fs terhadap jumlah
sample ? Apa pengaruh jumlah sample berbeda untuk satu periode sinyal
terbangkit.
4.2 Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling pada Efek
Audio
Disini kita akan mendengarkan bagaimana pengaruh frekuensi sampling
melalui sinyal audio. Untuk itu anda harus mempersiapkan PC anda dengan
speaker aktif yang sudah terkonek dengan sound card. Selanjutnya anda ikuti
langkah berikut :
clear all;
53 | M o d u l 5
Fs=1000;
t=0:1/Fs:0.25;
f=100;
x=sin(2*pi*f*t);
%sound(x,Fs)
plot(x)
Fs=16000;
t=0:1/Fs:0.25;
c=sin(2*pi*262*t);
d=sin(2*pi*294*t);
e=sin(2*pi*330*t);
f=sin(2*pi*249*t);
g=sin(2*pi*392*t);
a=sin(2*pi*440*t);
b=sin(2*pi*494*t);
54 | M o d u l 5
nada1 = [c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol,nol];
nada2 = [c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol];
nada3 = [c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol];
nada4 = [c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)
subplot (211) plot (lagu) subplot(212) stem (lagu)
3. Coba anda minimize Matlab anda, cobalah gunakan Windows Explorer untuk
melihat dimana file gundul.wav berada. Kalau sudah terlihat coba click kanan
pada gundul.wav dan bunyikan.
4. Coba anda edit program anda diatas, dan anda lakukan perubahan pada nilai
frekuensi sampling Fs=14000, menjadi Fs =10000, 2000 dan 800. Plot
perubahan frekuensi tersebut. Apa yang anda dapatkan?
55 | M o d u l 5
Gambar 5.8 pengaruh pemilihan Fs pada sinyal lagu
V. Analisa Data
Catat semua peristiwa yang terjadi dari hasil percobaan anda, buat laporan
dan analisa mengapa muncul fenomena seperti diatas? Fenomena itu lebih dikenal
dengan nama apa…?
Apa yang menyebabkannya ..?
56 | M o d u l 5
MODUL 6
OPERASI KONVOLUSI SINYAL WAKTU KONTINYU
Keluaran sebuah sistem disebut juga respon. Jika sinyal berupa unit
impulse masuk ke dalam sistem, maka sistem akan memberi respon yang
disebut respon impuls (impulse response). Respon impuls biasa diberi
simbol h. Jika sistemnya diskret, respon impulsnya diberi simbol h[n] dan
jika sistemnya kontinyu, respon impulsnya diberi simbol h(t).
58 | M o d u l 6
Jika h[n] adalah respon impuls sistem linier diskrit, dan x[n] adalah
sinyal masukan maka sinyal keluaran adalah
yn = xn* hn
∞ (6-3)
= ∑ x[k ]hn − k
k =−∞
Jika sinyal input dalam hal ini adalah x(t), maka sinyal outputnya bisa
dinyatakan dalam persamaan berikut ini.
59 | M o d u l 6
y(t) = x(t) * h(t ) = h(t) * x(t )
∞
y(t) = ∫ x(τ )h(t − τ )dτ (8-5)
−∞
∞
y(t) = ∫ h(τ )x(t − τ )dτ
−∞
Kita mulai dengan melakukan refleksi sinyal input x(t) terhadap sumbu
y(x=0), sehingga diperoleh hasil secara grafik seperti pada Gambar 6.3a.
x(-t)
1
-2.5 -1.5 t
Gambar 6.3a. Proses refleksi sinyal input, atau proses flip x(t)
x(p-t)
1
p- t
2.5 p-1.5
Gambar 6.3b. Proses pergeseran sinyal input, atau x(p - t)
60 | M o d u l 6
Dilanjutkan dengan proses integrasi kedua fungsi untuk mendapatkan nilai
pada posisi tersebut, dalam hal ini bisa dinyatakan dalam persamaan
berikut
∞
y( p) = ∫ h(t)x( p − t)dt (8-5)
Agar lebih mudah kita evaluasi pada beberapa nilai berikut ini.
x(p-t) 1 h(t)
t
p-2.5 p-1.5
y( p) = 0
x(p-t) 1 h(t)
t
p-2.5p-1.5
∞
y( p) = ∫ h(t )x( p − t)dt, y( p) ≠ 0 untuk 0 < t < p −1.5
−∞
p −1.5
y( p) = ∫ h(t )x( p − t)dt
0
p −1.5
y( p) = ∫1.1dt
0
p −1.5
y( p) = t 0 = p −1.5
61 | M o d u l 6
3. Untuk p-1.5 > 1 dan p-2.5<1, atau 2.5 < p <3.5
h(t
) x(p-t)
t
p-2.5 p-1.5
∞
y( p) = ∫ h(t)x( p − t)dt, y( p) ≠ 0 untuk p − 2.5 < t < 1
−∞
1
y( p) = ∫ h(t )x( p − t )dt
p − 2.5
1
y( p) = ∫1.1dt
p − 2.5
y( p) = t 1p− 2.5 = 1− ( p − 2.5) = 3.5 − p
h(t) x(p-t)
1
p-2.5 p-1.5 t
y(p)
y(t)
1
1
p-1.5
3.5-p t -1.5 3.5- t
62 | M o d u l 6
3.5
1.5 2.5 3.5 p 1.5 2.5 t
T = 1:L;
t =2*t/L;
63 | M o d u l 6
y1=A1*sin (2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1) %Sinus kedua t=1:L; t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi); subplot(3,1,2)
stem(y2)
64 | M o d u l 6
anda dapatkan? Apakah anda mendapatkan hasil yang berbeda dari
program sebelumnya? Mengapa ?
n=-7.9:.5:8.1; y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)
65 | M o d u l 6
Gambar 6.6. Sinyal Sinus Asli
3. Lakukan konvolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine, perhatikan apa
yang terjadi?
66 | M o d u l 6
xy=conv(x_n,y);
figure(4);
plot(xy,'linewidth',2)
1. Apa arti konvolusi 2 buah sinyal kontinyu dalam simulasi tersebut diatas?
bagaimana jika amplitudo masing-masing sinyal diubah? Beri penjelasan.
2. Jelaskan pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli……?
67 | M o d u l 6
MODUL 7
TRANSFORMASI FOURIER DISKRIT
I. TUJUAN
mahasiswa mampu memahami konsep dasar transformasi sinyal
waktu diskrit dan mampu menyusun program simulasinya.
68 | M o d u l 7
untuk proses pengolahan sinyal digital, kita DFT mutlak diperlukan
karena kita akan berhubungan dengan sinyal waktu diskrit, yang
merupakan bentuk tersampel dari sinyal waktu kontinyu. Dan dalam
praktikum ini kita akan memanfaatkan bentuk dasar library fft yang
merupakan pengembangan dari algorithma dasar DFT. Mengapa kita
menggunakan fft? Hal ini bisa dijawab dengan anda masuk ke Matlab
command like dan ketikkan help fft Akan muncul keterangan:
Cukup jelas bagi kita mengapa kita bisa memanfaatkan library fft
dalam praktikum kali ini.
III. PERALATAN
a. PC multimedia yang sudah dilengkapi dengan OS Windows
b. Perangkat Lunak Matlab yang dilengkapi dengan Tool Box DSP
69 | M o d u l 7
1. Dasar Pembentukan DFT
Disni kita mulai dengan mencoba melihat bentuk transformasi
Fourier dari sinyal cosinus yang memiliki periode eksak didalam
window yang terdapat pada sampel. Langkahnya adalah sebagai
berikut:
n=0
70 | M o d u l 7
%File Name: dft_2.m
clear all;
N=200;
nn=N-1;
for k=1:200;
x_n=0.0;
for n=1:nn
x_n = (3*cos(0.02*pi*n)).*(exp(-j*k*2*pi*n/200)) + x_n;
end
yR(k)=real(x_n);
yI(k)=imag(x_n);
magni_k(k)=sqrt(real(x_n).*real(x_n) +imag(x_n).*imag(x_n));
end
figure(1)
stem(yR)
axis([0 200 0 800])
xlabel('indek fekuensi')
title('Bagian Real')
grid;
figure(2)
stem(yI)
axis([0 200 0 800])
xlabel('indek frekuensi')
title('Bagian Imajiner')
grid;
71 | M o d u l 7
Gambar 7.1. Bagian real pada domain frekuensi
72 | M o d u l 7
Gambar 7.2. Bagian imajiner pada domain frekuensi
4. Coba ulangi langkah 1-3 dengan merubah dari sinyal cosinus menjadi
sinyal sinus. Untuk langkah k-1 anda rubah
x_t=3*cos(2*pi*n*T); Æ menjadi Æ x_t=3*sin(2*pi*n*T); Demikian
juga pada untuk langkah ke-3 bentuk x_n =
(3*cos(0.02*pi*n)).*(exp(-j*k*2*pi*n/200)) + x_n; menjadi
Æ x_n = (3*sin(0.02*pi*n)).*(exp(j*k*2*pi*n/200)) +
x_n; Apa yang anda dapatkan?
5. Ulangi langkah 1-3 dengan merubah nilai sample N=200,
menjadi N=1000.
Apa yang anda dapatkan?
2. Zero Padding
Kita mulai dengan sebuah sinyal waktu diskrit berupa sekuen unit
step.
73 | M o d u l 7
Gambar 7.3. Sekuen unit step
74 | M o d u l 7
1. Buat program baru untuk pembangkitan sekuen unit step dan
gunakan juga fft untuk memperoleh nilai DFT.
2. Modifikasi program anda dengan menambahkan nilai
nol sebanyak 4 angka di belakang sekuen bernilai satu
tersebut.
3. Modifikasi program anda sehingga nilai nol dibelakang sekuen
unit step menjadi 12, catat apa yang terjadi.
4. Lanjutkan perubahan nilai nol mejadi 16, dan catat apa yang
terjadi.
75 | M o d u l 7
ditransformasikan menghasilkan bentuk dalam tampilan indek
frekuensi. Dengan mengkobinasikan percobaan ke-1 dan percobaan
ke-2 kita akan mampu menyusun sebuah program DFT yang mampu
digunakan untuk pengamatan sinyal waktu diskrit dan melihat
tampilannya dalam domain frekuensi. Untuk itu ikuti langkah berikut.
%prak_SS_7_2.m
% zero-padded data:
clear all
T = 128; % sampling rate
zpf = 2; % zero-padding factor
n = 0:1/T:(T-1)/T; % discrete time axis
fi = 5; % frequency
xw = [sin(2*pi*n*fi),zeros(1,(zpf-1)*T)];
nn=length(xw);
k=0:nn-1;
% Plot time data: subplot(2,1,1); plot(zpf*k/nn,xw);%normalisasi
absis domain waktu axis([0 zpf -1.1 1.1])
xlabel('domain waktu (detik)')
% Smoothed, interpolated spectrum:
X = fft(xw);
spec = abs(X);
f_X=length(X)
f=0:f_X-1;
% Plot spectral magnitude: subplot(2,1,2); plot(f/T,spec);
axis([0 T/T 0 100])
76 | M o d u l 7
Gambar 7.6. Sinyal sinus dalam domain waktu dan hasil DFT
2. Lakukan beberapa modifikasi, sehingga tampilannya nilai frekuensi
dalam Hz.
77 | M o d u l 7
Amati dan catat hasilnya
78 | M o d u l 7
MODUL 8
ANALISA SINYAL DALAM DOMAIN FREKUENSI
I. TUJUAN
Mahasiswa dapat Mengamati sinyal dalam domain waktu dan domain
frekuensi dengan menggunakan library FFT
Gambar 8.1. Sinyal sinus dalam domain waktu dan domain frekuensi
2.2 Analisa Spektrum
79 | M o d u l 8
Untuk menghitung frekuensi dari suatu sinyal, sebuah implementasi
diskrit dari analisa Fourier dapat digunakan, yang kemudian lebih
disempurnakan dengan suatu algoritma yang kita kenal sebagai Fast Fourier
transform (FFT). Secara umum teknik ini merupakan pendekatanyang terbaik
untuk transformasi. Dalam hal ini input sinyal ke window ditetapkan memiliki
m panjang 2. Anda dapat memilih analisis window yang akan digunakan.
Output dari syntax FFT(x,n) merupakan sebuah vector komplek, dengan n
amplitudo komplek dari 0 Hz sampai dengan sampling frekuensi yang
digunakan.
III. PERALATAN
PC multimedia yang sudah dilengkapi dengan OS Windows -Perangkat Lunak
Matlab yang dilengkapi dengan Tool Box DSP
80 | M o d u l 8
B. Jalankan lagi program anda, dengan cara memberi jumlah masukan
sinyal yang berbeda, misalnya 3, 5, 7 dan 100. Apa yang anda
dapatkan?
C. Dari langkah percobaan anda ini, fenomena apa yang didapatkan
tentang sinyal persegi? Apa kaitannya dengan sinyal sinus?
81 | M o d u l 8
Anda telah mengetahui cara mengamati sinyal dalam doain waktu dan
frekuensi. Pada percobaan berikut ini anda coba bangkitkan 2 sinyal sinus
dengan frekuensi f1 dan f2. Sementara nilai amplitudo dapat anda lihat pada
listing program berikut ini.
f1=1;
s1=(2/pi)*sin(2*pi*f1*t);
f2=3;
s2=(2/3/pi)*sin(2*pi*f2*t);
s=s1+s2;
subplot(2,1,1)
plot(t,s) xlabel('time') S=fft(s,512); w=(0:255)/256*(Fs/2);
subplot(2,1,2) plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency')
B. Rubah nilai f2 =10, 25, 20 dst. Apa yang anda dapatkan dari langkah
ini?
C. Coba rubah nilai amplitudo pada sinyal kedua menjadi 1 , 5 atau 10.
Apa yang anda dapatkan dari langkah ini?
f1=1;
82 | M o d u l 8
s1=(2/pi)*sin(2*pi*f1*t);
f2=3;
s2=(2/3/pi)*sin(2*pi*f2*t);
f3=5;
s3=(2/5/pi)*sin(2*pi*f3*t);
f4=7;
s4=(2/7/pi)*sin(2*pi*f4*t);
s=s1+s2+s3+s4;
subplot(2,1,1)
plot(t,s)
xlabel('time') S=fft(s,512); w=(0:255)/256*(Fs/2); subplot(2,1,2)
plot(w,abs(S(1:256))) xlabel('frequency')
83 | M o d u l 8
5. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 6 Sinyal
Pada percobaan berikut ini anda coba bangkitkan 4 sinyal sinus dengan
frekuensi f1, f2, f3, f4, f5, dan f6. Sementara nilai amplitudo dapat anda lihat
pada listing program berikut ini.
Caranya adalah dengan mengetik program berikut ini:
subplot(2,1,1)
84 | M o d u l 8
MODUL 9
FILTER DIGITAL
• Kompleksitas komputasi
a. Aritmetic operations per sample
b. Memory access per sample
• Kebutuhan memori : jumlah lokasi memori yang dibutuhkan untuk menyimpan
parameter sistem
• Efek finite-word-length : berkaitan dengan efek kuantisasi dalam implementasi
sistem digital
86 | M o d u l 9
Fungsi karakteristik sistem IIR dapat dilihat sebagai dua sistem secara kaskade, yaitu:
H(z) = H1(z) H2(z)
dimana H1(z) terdiri atas zero dari H(z) dan H2(z) terdiri atas pole dari H(z),
M
k =0
k =1
Persamaan di atas dapat diwujudkan dalam struktur IIR Direct Form I sebagai berikut:
87 | M o d u l 9
y(n) = −åak y(n − k ) + v(n)
k =1
Jika semua filter all-pole H2(z) diletakkan sebelum filter all-zero H1(z) diperoleh
struktur yang lebih compact yang dinamakan struktur Direct Form II seperti pada
gambar berikut :
Persamaan di atas hanya mengandung delay pada deretan {w(n)} sehingga hanya
sebuah jalur delay tunggal atau satu set lokasi memori tunggal yang diperlukan untuk
menyimpan nilai {w(n)}sebelumnya.
Kedua struktur di atas dikatakan direct form sebab diperoleh secara langsung dari
fungsi sistem H(z) tanpa penyusunan kembali H(z) tersebut. Namun, keduanya sangat
sensitif terhadap parameter kuantisasi dan oleh karenanya tidak direkomendasikan
dalam aplikasi prakteknya.
88 | M o d u l 9
1.2 Flow Graph
Tujuan Belajar 3
Peserta memahami peran Flow Graph dan graph theory dalam mengubah
struktur filter.
Sinyal Flow Graph menyediakan alternatif representasi grafis dari struktur diagram
blok yang digunakan untuk mengilustrasikan realisasi dari sistem. Elemen utama dari
flow graph adalah branch dan node.
Sinyal flow graph merupakan set dari branch terarah yang terhubung di node.
Secara definisi, sinyal keluar dari sebuah branch sama dengan gain branch (fungsi
sistem) dikalikan sinyal yang masuk ke branch. Sedangkan sinyal pada suatu node sama
dengan jumlah sinyal dari semua branch yang terhubung ke node tersebut.
Berikut ilustrasi dari filter IIR dua-pole dan dua-zero (orde dua) dalam bentuk diagram
blok dan sinyal flow graphnya :
Sinyal flow graph di atas mempunyai lima node mulai dari 1 sampai 5. Dua dari node
tersebut (1,3) merupakan node penjumlahan (yaitu berisi adder), sedangkan lainnya
Struktur filter direct form II di atas dapat dinyatakan dalam persamaan perbedaan
sebagai berikut :
89 | M o d u l 9
y(n) = b0 w(n) + b1 w(n −1) + b2 w(n − 2)
" If we reverse the directions of all branch transmittance and interchange the
input and output in the flow graph, the system function remain unchanged"
Contoh transposisi dari sinyal flow graph di atas dan realisasinya dalam diagram blok
adalah sebagai berikut :
Struktur realisasi hasil transposisi filter direct form II tersebut dapat dinyatakan dalam
persamaan perbedaan sebagai berikut :
y(n) = w1 (n −1) + b0 x(n)
Secara umum, untuk hasil transposisi dari filter orde-N (asumsi N=M) IIR direct form II
dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
y(n) = w1 (n −1) + b0 x(n)
90 | M o d u l 9
Untuk sistem FIR, struktur direct form hasil transposisi dapat diperoleh dengan
mensetting nilai ak=0 dengan k=1,2,…,N. Struktur FIR hasil transposisi dapat
digambarkan sebagai berikut :
wM (n) = bM x(n)
Secara keseluruhan, fungsi sistem IIR orde-2 (dua pole dan dua zero) untuk struktur
direct form I, direct form II, maupun hasil transposisi direct form II mempunyai bentuk:
H (z) = b0 + b1 z −1 + b2 z −2
1 + a1 z −1 + a2 z −2
91 | M o d u l 9
Dari ketiga struktur tersebut di atas, struktur direct form 2 lebih disukai dikarenakan
jumlah lokasi memori yang diperlukan untuk implementasi lebih kecil.
å bk z −k
H (z) = k =0
N
1 + åak z −k
k =1
Sistem tersebut dapat difaktorkan ke dalam kaskade sub sistem orde-2, sehingga H(z)
dapat dinyatakan sebagai :
K
b k 0 + b z −1 + b k 2 z −2
H k (z) = k1
1 + ak1 z −1 + ak 2 z −2
Untuk sistem FIR, nilai parameter b0 untuk K sub-sistem filter bernilai b0 =
b10b20…bK0. Jika N = M, beberapa sub-sistem orde-2 mempunyai koefisien pembilang
yang bernilai nol, yaitu baik bk2 = 0 atau bk1 = 0 atau bk2 = bk1 = 0 untuk beberapa
nilai k. Jika N ganjil dan N = M , maka salah satu dari sub-sistem, Hk(z), harus
mempunyai ak2 = 0, sehingga sub-sistem tersebut merupakan orde-1.
92 | M o d u l 9
Jika kita menggunakan struktur direct form II untuk masing-masing subsistem,
algoritma komputasi untuk merealisasikan sistem IIR dengan fungsi sistem H(z) dapat
dijelaskan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
y0 (n) = x(n)
y(n) = yK (n)
wk (n) = −ak1 wk (n −1) − ak 2 wk (n − 2) + yk −1 (n) k = 1,2,..., K
Contoh :
Solusi :
(1 − 1
2
z −1 ) 1+ 2
3 z −1 − z −2
H1 (z) = 3
dan H 2 (z) = 1
1− 7
z −1 + z −2 1 − z −1 + z −2
8 32 2
93 | M o d u l 9
1.4 Struktur Paralel
Tujuan Belajar 5
Struktur paralel dari sistem IIR dapat diperoleh dengan ekspansi partial-fraction dari
H(z). Dengan asumsi bahwa N = M dan pole-polenya berbeda, kita melakukan ekspansi
partial-fraction H(z) untuk memperoleh :
N
Ak
H (z) = C + å −1
k =1 1 − pk z
dimana {pk} adalah pole-pole, {Ak} koefisien (residu) dalam ekspansi partial-fraction
b a
dan konstanta C didefinisikan C = N . Sistem H(z) di atas diimplikasikan dalam N
struktur yang terdiri atas bank paralel dari filter pole-tunggal.seperti pada diagram
sebagai berikut :
b + b k1 z −1
k0
Jika N ganjil, satu dari Hk(z) merupakan sistem pole tunggal ( bk1 = ak2 = 0 ).
Implementasi H(z) dapat diwujudkan dengan struktur direct form II sebagai berikut :
94 | M o d u l 9
Persamaan realisasi bentuk paralel dari sistem FIR dengan struktur direct form II:
(1 − )(
z −1 1 − 8 z −1 1 − ( 2 + j)( 2 )z 1 )(1 − ( 2 − j 2 )z 1 )
3 1 1 1 1 1
− −
H (z) = 4
Solusi:
H (z) = + +
(1 − ) (1 − ) (1 − (
+ j 2 )z ) + (1 − ( )z −1 )
3 1 1 1 1 1
−
4 z −1 8z 1
−
2 1 2 −j 2
95 | M o d u l 9
1.5 Struktur Frequency Sampling
Tujuan Belajar 6
H () = åh(n)e− j n
n =0
Spesifikasikan H() pada wk :
æ 2 ö
H (k + ) = H ç (k + )÷
èM ø
M −1
= åh(n)e− j 2 (k + )n / m k = 0, 1, …M-1
n =0
h(n) =
1
åH (k + )e j 2 (k + )n / M n = 0,...M -1
M k =0
Jika = 0, persamaan menjadi IDFT (Inverse Discrete Fourier Transform)
96 | M o d u l 9
Kemudian dicari Z-transform dari h(n):
M −1 é1 M −1 ù
H (z) = åê åH (k + )e j 2 (k + )n / M úz −n
M
n =0 ë k =0 û
M −1 é M −1 nù
= åH (k + )ê 1 å(e j 2 (k + )n / M z −1 ) ú
M
k =0 ê n =0 ú
ë û
1 - z −M e j 2 M −1 H (k +)
= å j 2 (k + )n / M −1
M k =0 1- e z
1 1
Fungsi sistem all-pole: H (z) = N =
1 + åaN (k )z −k AN (z)
k =1
97 | M o d u l 9
Persamaan perbedaan sistem:
N
Dengan mengubah aturan input dan output (mengubah x(n) dengan y(n)) diperoleh:
N
Persamaan sistemnya :
98 | M o d u l 9
y(n) = f 0 (n) = g 0 (n)
F (z)
H a (z) = Y (z) = 0 =
1
X (z) Fm (z) Am (z)
Fungsi sistem FIR all-zero adalah:
G (z) G (z)
H b (z) = m = m = Bm (z)
Y (z) G0 (z)
Contoh:
ì1 £c
H ( ) = í
î 0 c <£
99 | M o d u l 9
ì C n =0
ï
ï
h(n) = í
sin n
ï C C n ¹0
ï n
î C
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
-0.05
-0.1
-20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20
LPF ideal tersebut non-kausal sehingga tidak dapat direalisasikan dalam praktek
Teorema Paley-Wiener memberikan solusi tentang kondisi perlu dan cukup dari respon
frekuensi H() agar filter yang dihasilkan kausal.
Teorema Paley-Wiener:
Maka, ò ln H () d
−
100 | M o d u l 9
Maka, respon fasa Q(w) dapat diasosiasikan dengan H ( ) , sehingga filter yang
dimana
bila h(n) causal, maka h(n) bisa diperoleh kembali dari he(n) untuk 0 £ n £ ¥ atau ho(n)
untuk 1 £ n £ ¥
dapat dilihat bahwa:
Catatan :
Jika ho(n) = 0 untuk n = 0 ® h(0)tidak dapat diperoleh dari ho(n) dan harus diperoleh
secara eksplisit. Untuk n ³ 1, ho(n) = he(n) ® erat hubungan antar keduanya.
101 | M o d u l 9
Contoh mencari H(w) dari HR(w) berikut:
1 − a cos
H R () = ,a 1
1 − 2a cos + a 2
Solusi :
Cari he(n):
1 + (z + z −1 )2 z - a(z 2 +1) / 2
HR (z) = HR (z) ÞHR
j (z) = =
−1
z=e 1 - a(z + z ) + a2 (z - a)(1 - az)
1
ROC ada di antara p 1 = a dan p2= 1/a, dan termasuk unit circle, sehingga a < z <
a
dan he(n) merupakan two-sided sequence, dengan pole z = a untuk kausal dan p2= 1/a
untuk antikausal.
Hubungan antara HR(w) dan HI(w) dari FT h(n) yang absolutely summable, kausal dan
real dapat dijelaskan sebagai berikut:
1
H ( ) = H R ( )+ jH I ( ) = ò H R ()U ( - )d
−
102 | M o d u l 9
2. |H)| tidak bisa konstan pada sebuah interval, dan tidak bisa bertransisi yang tajam
dari passband ke stopband (konsekuensi fenomena Gibbs agar h(n) kausal )
3. HI() dan HR() terhubung oleh discrete Hilbert Transform, |H)| dan () tidak
bisa dipilih secara acak
Persamaan sistem dibatasi menjadi :
N M
åbk e − jk
dengan H() : H (w) = k =0
N
1 + åak e− jk
k =1
Problem desain filter digital : mencari {ak} dan {bk} agar H() mendekati ideal
103 | M o d u l 9
Parameter {ak} dan {bk} ditentukan berdasarkan spesifikasi di atas.
Orde filter berdasarkan kriteria untuk memilih parameter {ak} dan {bk} dan koefisien
(M,N).
3 Desain FIR
Tujuan Belajar 10
Fungsi sistem filter : H (z) = åh(k )z −k → polinomial dari z-1 orde M-1
k =0
104 | M o d u l 9
Jika h(n) = h(M-1-n), maka H () = H r ()e- j ( M -1) / 2
æ M -1ö ( M -3) / 2 æ M -1 ö
dimana , H r () = hç ÷+ 2 å h(n) cosç - n÷
è 2 ø n=0 è 2 ø
(M )-1 æ M -1 ö
2
Respons fasanya :
ì æ M -1 ö
ï - ç ÷ H r () > 0
ï 2 è 2 ø
ï3
() = í
æ M -1ö
ï 2 -ç 2 ÷ H r () < 0
î è ø
105 | M o d u l 9
Catatan :
▪ Untuk h(n) simetrik, jumlah koefisien filter adalah (M+1)/2 untuk M ganjil dan M/2
untuk M genap
▪ Untuk h(n) antisimetrik, h((M-1)/2) = 0, mempunyai jumlah koefisien filter (M -1) /
2 untuk M ganjil dan M/2 untuk M genap
▪ Jika h(n) = -h(M-1-n) dan M ganjil → Hr(0) = 0 dan Hr() = 0. Sistem tersebut
tidak cocok untuk LPF atau HPF
▪ Untuk sistem dengan respon antisimetrik dan M genap → Hr(0) = 0, sehingga tidak
cocok untuk desain LPF
Problem desain filter FIR : menentukan koefisien M untuk h(n) dari spesifikasi Hd()
filter, respons frekuensi yang diinginkan.
Potong hd(n) pada n = M-1 untuk menghasilkan filter FIR dengan panjang M, yang
ekivalen mengalikan hd(n) dengan window rectangular :
ì1 n = 0,..., M -1
(n) = í
0
î otherwise
Respons sistemnya : h(n) = hd(n) w(n)
ìh (n) n = 0,..., M -1
=í d
î 0 otherwise
106 | M o d u l 9
Respons frekuensi dari filter FIR:
M −1
1
W () = å(n)e− jn dan H () = 2 ò H d (v)W ( - v)dv = H d () *W ()
n=0 −
è2 ø
æ M ö ì æ M -1ö æ M ö
sinç ÷ ï - ç ÷ , sinç ÷ ³0
è2 ø ï è 2 ø è 2 ø
W () = æ ö dan () = í æ M -1ö æ M ö
sinç ÷ ï
- ç ÷ + , sinç ÷ <0
è2ø ï
î è 2 ø è 2ø
Untuk window Bartlett (triangular):
2 n - M -1
(n) = 1 - 2 untuk 0 £ n£ M -1
M -1
40
Hanning
Hamming
20
-20
Magnitude (dB)
-40
-60
-80
-100
-120
107 | M o d u l 9
>> b1=hanning(61); b2=hamming(61);
>> [H1,f]=freqz(b1,1,251,'whole',2);
>> H2=freqz(b2,1,251,'whole',2);
>> H=[H1 H2];
>> s.yunits ='dB'; s.xunits =' x pi rad';
>> freqzplot(H,f,s)
ì1e- j ( M -1) / 2 0 £ £ c
H d () = í
î 0
Respons unitnya :
æ M -1ö
c æ M -1 ö sin c çn - ÷
h (n) = 1 e
j ç n-
è 2 ø
÷
d = è 2 ø n ¹ (M-1)/2
d 2 ò æ
çn -
M -1ö ÷
-c
è 2 ø
Jelas, bahwa hd(n) non-kausal dan infinite.
Jika menggunakan window rectangular diperoleh:
æ M -1 ö
sin c çn - ÷
h(n) = è 2 ø 0£ n £ M-1 , n ¹ (M-1)/2
æ M -1ö
çn - ÷
è 2 ø
æ M -1ö
Jika M dipilih ganjil, maka nilai h(n) pada n= (M-1)/2 adalah h ç ÷= Cè
2 ø
Respons frekuensi dari filter tersebut dengan wc = 0,4p untuk M=61 dan M=101
digambarkan:
1.4
M=61
1.2
M=101
0.8
Magnitude
0.6
0.4
0.2
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 Normalized Frequency VII-23 ( rad/sample)
108 | M o d u l 9
>> b1=0.4*sinc(0.4*(0:60)-0.4*30); % M =61
>> b2=0.4*sinc(0.4*(0:100)-0.4*50); % M=101
>> [H1,w]=freqz(b1,1,512,2); [H2,w]=freqz(b2,1,512,2);
>> H=[H1 H2];
>> s.xunits ='rad/sample'; s.yunits ='linear'; s.plot ='mag';
>> freqzplot(H,w,s)
= 0 atau 1/2
kemudian cari h(n) dengan inversi. Untuk mengurangi sidelobe, diharapkan untuk
mengoptimasi spesifikasi pada transisi band dari filter.
Contoh:
109 | M o d u l 9
Jika a = 0, persamaan menjadi DFT (Discrete Fourier Transform) Dari persamaan di atas
menjadi:
Persamaan di atas memungkinkan untuk menghitung nilai dari respon h(n) dari
spesifikasi sample frekuensi H(k+), k=0,1, …, M-1.
Catatan :
/ 2 + / 2
H () = H r ()e j - ( M -1)
Jika disample pada frekuensi k = 2(k+)/M, k=0,1,…,M-1 didapat:
é ( M -1) ù
æ 2 ö j ê -2 (k + ) ú
H (k + ) = H r ç (k + )÷e ë 2 2M û
èM ø
110 | M o d u l 9
Sekarang, kondisi simetri untuk H(k+a) ditranslasikan ke dalam kondisi simetri
G(k+a) untuk menyederhanakan {h(n)} untuk empat kasus b = 0, 1 dan a = 0, ½ seperti
pada tabel berikut :
Contoh :
Cari koefisien FIR fasa linear dengan M = 15 dengan respon impuls simetrik dan
respons frekuensi memenuhi :
ì1 k = 0,1,2,3
æ 2 k ö ï
Hrç ÷ = í0.4 k=4
è 15 ø ï
î 0 k = 5,6,7
Solusi :
k æ 2 k ö
dari tabel : G(k ) = (-1) Hrç ÷ k = 0, 1, …7
è 15 ø
Dari hasil perhitungan h(n) didapat:
111 | M o d u l 9
3.3 Teknik Optimal Equiripple
Tujuan Belajar 13
Teknik window dan frequency sampling mudah dimengerti tetapi punya beberapa
kelemahan :
· wp dan ws tidak dapat ditentukan pradesign
d1 dan d2 kurang bisa ditentukan secara simultan
Error Aproksimasi tidak terdistribusi dengan baik pada interval-interval band (besar di dekat
daerah transisi) Metoda alternatif dengan minimisasi dari maximum aproksimasi error
(minimax) ® Chebyshev error
3.3.1 Overview
1. Define a minimax problem
2. Discuss the number of maxima & minima (= extrema)
3. Design algorithm, polynomial interpolation
4. Parks-McClellan algorithm
5. Remez exchange routine, as a part of P-
McCalg Development of the Minimax Problem
Diketahui :
M −1
j j − j 2
H (e ) = e e H r ()
¯"Amplitudo Response" bilangan real
Beberapa kasus dalam desain filter FIR :
112 | M o d u l 9
dengan nilai a(n), b(n), c(n) dan d(n) ditentukan sebagai berikut:
ì æ M -1 ö
ïhç ÷ k=0
ï è 2 ø
a(k ) = í
ï æ M -1 ö M -1
2hç - k ÷ k = 1,2,...,
ï
î è 2 ø 2
æM ö
b(n)= d (n) = 2hç - k ÷ , k = 1,2,..., M / 2
è 2 ø
æ M -1 ö
c(n) = 2hç - k ÷ , k = 1,2,..., (M -1) / 2
è 2 ø
Persamaan Hr(w) bisa dinyatakan dalam Hr(w) = Q(w) P(w)
L
di mana : P() = å(n) cosn
n =0
2 åa(n)cosn
n =0
II Cos(w/2) M L ~
2 −1 åb (n)cosn
n =0
II Sin M−3 L ~
2 åc (n)cosn
n =0
IV Sin(w/2) M L ~
2 −1 åd (n)cosn
n =0
113 | M o d u l 9
H dr ( )- H r ( ) menentukan kesalahan sistem:
ì d2
, in Passband
ï
bila W ( ) = í d1
ï
î1,in Stopband
Jadi apabila kita berhasil meminimasi dengan max weighted error ke d2, maka kita juga
dapat memenuhi spesifikasi di passband pada d1.
ëû
ˆ ˆ H dr ()
bila W () @ W ()Q() dan H DR () º Q()
ˆ ˆ
® E() = W () H dr () - P() , w Î s® untuk semua kasus
114 | M o d u l 9
Problem statement
Cari an (atau bn atau cn atau d n) untuk minimisasi dari maximum absolute
Di P() = å (n) cosn ® ada L-1 at most local extreme (0 < w < p)
n =0
Contoh:
h(n) = 1 1,2,3,4,3,2,1 ® M = 7 or L = 3
15
Let S be any closed subset of the closed interval [0,]. Kondisi perlu dan cukup agar
L
P() = å(k ) cosk
k =0
menjadi unique, minimax app. to HDR(w)on S, adalah bahwa E(w) ³ L+2 "altenations"
atau extremes di S, yaitu setidaknya terdapat L + 2 frekuensi {i} di S sehingga
Algoritma Parks-McClellan
115 | M o d u l 9
→ Kaiser approximates M as
− 20 log1 2 −13 s − p
M= +1 f =
10
14.6f 2
The Parks-McClellan
→ Estimasi d di wi in
→ Fit P(w) di wi in
Sampai d = d2
ˆ n
W (n) Hdr (n ) − P(n ) = (−1)
(-1)n ˆ
P(n ) + ˆ = H dr (n )
W ( n )
L (-1)n ˆ
Þ å (k ) cosn k + ˆ = H dr (n )
k =0 W ( n )
ˆ ˆ ˆ
®= o H dr (o ) + 1H dr (1 ) + ... + L +1H dr (L +1 )
o + (-1) 1 + ... + (-1)
L +1
L +1
ˆ ˆ ˆ
116 | M o d u l 9
® interpolasi Lagrange
(-1)n
n = 0,..., L +1
ˆ Wˆ (n )
di mana P(n ) = H DR (n ) -
L
= 1
k Õ
x - xn
n=0 k
n¹k
ˆ ˆ
E() = W () H dr () − P() ® w fine grids
bila |E(w)| ³ d untuk beberapa wj, pilih L+2 largest peaks sebagai wi baru, dan ulangi
lagi.
4 Desain IIR
k =0
Filter analog dapat pula dinyatakan dalam persamaan differensial kengan koefisien
konstan:
N d k y(t) N d k x(t)
åk k
=
å k k
k =0 dt k =0 dt
117 | M o d u l 9
Filter analog LTI dengan fungsi sistem H(s) akan stabil jika semua polenya terletak di
sebelah kiri bidang-s. Oleh karena itu teknik konversi harus memenuhi sifat-sifat:
1. sumbu j pada bidang-s dipetakan ke unit lingkaran bidang-z
2. LHP (Left-half plane) bidang-s dimapping ke dalam lingkaran bidang-z. Filter
analog stabil dikonversikan ke filter digital stabil
(
H (z)= z − N H z −1 )
Filter akan mempunyai pole mirror-image di luar unit lingkaran untuk setiap pole di
dalam lingkaran → filter tidak stabil.
118 | M o d u l 9
Fungsi transfer filter analog linear:
H (s) = b *)
s+a
dalam persamaan differensial:
dy(t) + ay(t) = bx(t)
dt
Pada t = nT; to = nT – T :
y(nT ) =
T
y1 (nT ) + y1 (nT − T )+ y(nT − T )
2
119 | M o d u l 9
120 | M o d u l 9
121 | M o d u l 9
122 | M o d u l 9
123 | M o d u l 9
124 | M o d u l 9
125 | M o d u l 9
126 | M o d u l 9
Pemetaan ke z digambarkan sebagai berikut:
Contoh :
s + 0.1
Konversikan H a (s) = dengan transformasi bilinear:
(s + 0.1) 2 + 6
Filter digital mempunyai frekuensi resonansi di r=/2.
Jawab:
s 4
æ1 - z −1 ö
Mapping yang dikehendaki = ç ÷
ç −1 ÷
è1 + z ø
Jadi, kita dapat membuat filter dua-pole dengan resonansi dekat w = p/2
Kadang-kadang T dipilih satu apabila tidak ada permintaan khusus, atau H(s) dicari
setelah HDF(z) ditentukan.
127 | M o d u l 9
Contoh :
Desain LPF digital satu-pole dengan 3-dB bandwidth di 0.2, dengan transformasi
bilinear untuk filter analog
c
H (s) =
s + c
− 3 dB BW dari AF
Solusi :
H (s) = 0.65 / T
s + 0.65 / T
Gunakan transformasi bilinear:
0.245(1 + z −1 )
H (z) = (T diabaikan)
1 − 0.509z −1
Frekuensi respon dari filter digital:
H () = 0.245(1 + e− j )
1 - 0.509e− j
pada w = 0 Þ H(0) = 1 dan pada w = 0.2p ® |H(0.2p)| = 0.707, yang merupakan respons
yang diinginkan.
k =1 k =1
H (s) = Þ H (z) =
(1 - e p T z −1 )
N N
(s - pk ) k
k =1 k =1
128 | M o d u l 9
Masing-masing faktor (s-a) pada H(s) dipetakan ke faktor (1 − eaT z −1 )
Untuk menjaga karakteristik respon filter analog, T harus dipilih untuk menghasilkan
lokasi pole dan zero yang sama dalam bidang-z.
Butterworth
2 1 1
H (W) = 2N = 2 2N
1 + (W / Wc ) 1+ Î (W / W p )
dengan N ® orde filter
Pada s = jW maka
= 1
H (s)H (-s) s= j H (W) 2 =
æ 2 ön
1 + ç- s ÷
ç 2÷
è Wc ø
pole-pole dari persamaan di atas terletak pada unit circle.
-s2
2
= (-1)1/ N = e j (2k +1) / N k=0,1,…,N-1
Wc
129 | M o d u l 9
Contoh untuk N = 4 dan N = 5
H () 2 monotonic di passband & stopband maka analisis relatif lebih mudah →
130 | M o d u l 9
pada W = Ws,
1
= 2
2
2 2n
1+ Î (W / W p )
(
Þ N = log 1/ 2
2
-1 ) = log( / )
2 log(Ws / Wc ) log(Ws / W p )
dengan 2 = 1/ 1 + 2
Jadi, filter Butterworth dikarakteristik oleh parameter N, 2, dan rasio s / p.
Contoh :
Tentukan orde dan poles dari sebuah lowpass Butterworth filter, -3dB pada BW 500Hz,
att 40 dB at 1000Hz
Solusi : Wc = 500.2p
s = 1000.2
At 40 dB Þ d2 = 0.01
Pole position :
é (2k +1) ù
jê + ú
Sk = 1000e ë 2 14
û
k = 0,1,...6
Chebyshev
- equiripple in passband
- monotonic in stopband
- monotonic in passband
- equiripple in stopband
131 | M o d u l 9
Type I (all-pole):
2 1
H (W) =
1+ Î2 TN 2 (W / W p )
ì cos(N cos−1 x) | x |£ 1
TN (x) = í
cosh(N cosh −1 x) | x |> 1
î
TN +1 (x) = 2xTN (x) - TN −1 (x) N = 1, 2, …
Karakteristik :
1 1
Þ = 1- 1 Î2 = -1
1+ Î2 (1 - 1 )2
Poles dari Type I Chebyshev filter terletak pada ellipse in the s-plane with :
132 | M o d u l 9
2 2
major axis : r = W +1 dan minor axis : r = W -1
1 p
2 2 p
2
1
2 ù
é 1+ Î +1 N
Ripple pada stopband Þ = ê ú
ê Î ú
ë û
Penentuan lokasi pole dari filter Chebyshev:
yk = r1 sin k k = 0, …, N-1
= 1
H (W) 2
2 ù
éT (W / W )
1+ Î2 ê N s p ú
ê T 2 (W / W) ú
ë N s û
T(x) ® N-th order Chebyshev
Ws ® Stopband
133 | M o d u l 9
Respon frekuensi filter tipe II:
Ws
zeros : sk = j (sumbu imajiner)
sin k
Ws xk
poles : (vk,wk) vk = k = 0,1, …N-1
xk 2 + y k 2
Ws y k
wk = k = 0, 1, …N-1
xk 2 + y k 2
Jadi ,karakteristik Chebyshev filter ditentukan oleh N, e, d2, Ws/Wp untuk menentukan:
+ 1 - 2 2 (1+ Î2 ) ù
2
é 1- 2
logê ú
ê Î2 ú −1
N= ë û = cosh ( / Î)
logê (Ws / W p )+ (Ws / W p ) -1
é 2 −1
ú
ù cos (Ws / W p )
ë û
1
2 º
1 + 2
134 | M o d u l 9
Contoh :
Cari N dan poles of a type I lowpass Chebyshevfilter that has a 1-dB ripple in the
passband cutoff frequency p = 1000, a stopband frequency of 2000, att. 40dB or
more for W ³ Ws
Solusi:
log10 196.54
N= ( )= 4.0 ® 4 poles
log10 2 + 3
k = + (2k +1) k = 0, …, 3
2 8
x1 + jy1 = −0.1397 p j0.979 p
Elliptic
2 1
H () = 2
1+ Î U N (W / W p )
135 | M o d u l 9
The most effecient designs occur when we spread the appr. Error equally over the
passband and the stopband
N = K (W p / W s ) K (1 - (Î 2
)
/2 )
1 - ( W p / Ws ) ÷
æ 2 ö
K (Î / ) K ç
è Ø
/2
K (x) = ò 2 2 complete elliptic integral of the first kind
0 1 - x sin
1
=
2
1+2
Bessel : All-Pole
1
H (s) =
BN (s)
N
(2N - k )!
ak = k = 0, 1, …, N
2N −k k!(N - k )!
136 | M o d u l 9
4.4 Transformasi Filter Low Pass
Tujuan Belajar 17
Proses desain DF dapat diubah menjadi problem desain AF dengan spesifikasi khusus
yang diturunkan dari Bilinear Transform
LPF dapat ditransformasikan ke LPF, BPF, HPF dan BSF. Jadi diskusi dapat
difokuskan ke LPF
Ada AF yang bisa digunakan Butterworth Filter, Chebyshev Filter, Elliptic Filter,
Bessel Filter.
137 | M o d u l 9