Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Bounding Attachment
1. Pengertian Bounding Attachment
Bounding adalah ikatan antara ibu dan bayi dalam masa awal neonatus,
sedangkan attachment adalah sentuhan. Bounding attachment adalah istilah
dalam psikologi yang artinya ikatan antara ibu dan bayi dalam bentuk kasih
sayang dan belaian. Bounding attachment adalah sentuhan awal atau kontak kulit
antara ibu dan bayi pada menit-menit pertama sampai beberapa jam setelah
kelahiran bayi. Konsep ikatan perlahan berkembang mulai dari awal kehamilan
dan berlanjut selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan mungkin seumur hidup
setelah melahirkan. Bounding bukan sebuah proses magical atau seketika, juga
bukan dirangsang menurut permintaan atau pesanan. Perasan kehangatan yang
dimulai kadang sudah dirasakan, bakan sebelum konsepsi dan tentu selama
kehamilan dan akan terus berkembang selama beberapa minggu, bulan dan tahun
setelah kelahiran. (Elisabeth, Endang 2015).
Bounding attachment adalah sebuah peningkatan hubungan kasih sayang
dengan ketertarikan batin antara orang tua dan bayi. Hal ini merupakan proses
dimana sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua
yang bersifat saling mencintai memberikan keduanya pemenuhan emosional dan
saling membutuhkan.
2. Faktor-Faktor Bounding Attachment
Menurut Elisabeth dan Endang (2015) faktor-faktor yang mempengaruhi
bounding attachment antara lain:
a. Kesehatan emosional orang tua
Orang tua yang mengharapkan kehadiran si anak dalam kehidupannya tentu
akan memberikan respon emosi yang berbeda dengan orang tua yang tidak
menginginkan kelahiran bayi tersebut. Respon emosi yang positif ini dapat
membantu tercapainya proses bounding attachment ini.

7
8

b. Tingkat kemampuan, komunikasi dan keterampilan untuk merawat anak


Dalam berkomunikasi dan keterampilan dalam merawat anak, orang tua satu
dengan yang lain tentu tidak sama tergantung pada kemampuan yang dimiliki
masing-masing. Semakin cakap orang tua dalam merawat bayinya maka akan
semakin mudah pula bounding attachment terwujud.
c. Dukungan sosial
Dukungan dari keluarga, teman, terutama pasangan merupakan faktor yang
juga penting untuk diperhatikan karena dengan adanya dukungan dari orang-
orang terdekat akan memberikan suatu semangat atau dorongan positif yang
kuat bagi ibu untuk memberikan kasih sayang yang penuh kepada bayinya.
d. Kedekatan orang tua dan anak
Dengan metode rooming in kedekatan antara orang tua dan anak dapat terjalin
secara langsung dan menjadikan cepatnya ikatan batin terwujud diantara
keduanya.
e. Kesesuaian antara orang tua dan anak (keadaan anak, jenis kelamin)
Anak akan lebih mudah diterima oleh anggota keluarga yang lain ketika
keadaan anak sehat/normal dan jenis kelamin sesuai dengan yang diharapkan.
Pada awal kehidupan, hubungan ibu dan bayi lebih dekat dibanding dengan
anggota keluarga yang lain karena setelah melewati sembilan bulan bersama
dan melewati saat-saat kritis dalam proses persalinan membuat keduanya
memiliki hubungan yang unik.
3. Tahapan Bounding Attachment
Tahap-tahap bounding attachment menurut Elisabeth dan Endang (2015)
yaitu:
i. Perkenalan (acquaintance) dengan melakukan kontak mata, menyentuh,
berbicara, dan mengeksplorasi segera setelah mengenal bayinya.
ii. Bounding (keterikatan). Sejak bayi masih dalam kandungan sebenarnya
ikatan batin ini sudah terbentuk. Ikatan ini terjadi apabila ada ketertarikan,
respon dan kepuasan serta dapat dikembalikan dengan interaksi yang terus
menerus setelah bayi dilahirkan.
9

iii. Attachment, kasih sayang merupakan hasil dari interaksi saat ibu hamil dan
terus menerus konsisten antara orang tua dan bayi serta makin menguat pada
periode awal pascapartum.
Adapun interaksi yang menyenangkan, misalnya:
a. Sentuhan pada tungkai dan muka bayi secara halus dengan tangan ibu
b. Sentuhan pada pipi dapat menstimulasi respon yang menyebabkan terjadinya
gerakan muka bayi ke arah muka ibu atau payudara sehingga bayi akan
mengusap-usap menggunakan hidung serta menjilat putingnya dan terjadilah
rangsangan untuk sekresi prolaktin.
c. Ketika mata bayi dan ibu saling tatap pandang menimbulkan perasaan saling
memiliki antara ibu dan bayi.
d. Tangis bayi.
4. Cara Melakukan Bounding Attachment
Terdapat beberapa cara untuk membangun bounding attachment, antara lain:
a. Pemberian ASI Ekslusif
Dengan dilakukannya pemberian ASI secara eksklusif segera setelah lahir,
secara langsung bayi akan mengalami kontak kulit dengan ibunya yang
menjadikan ibu merasa bangga dan diperlukan, rasa yang dibutuhkan oleh
semua manusia (Elisabeth, Endang 2015).
b. Rawat Gabung
Rawat gabung merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan agar antara
ibu dan bayu terjali proses lekat (early infant mother bounding) akibat
sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini sangat mempengaruhi
perkembangan psikologis bayi selanjutnya karena kehangatan tubuh ibu
merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi. Bayi yang
merasa aman dan terlindungi merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri
dikemudian hari (Elisabeth, Endang 2015).
Rawat gabung antara ibu dan bayi setelah melahirkan akan menimbulkan
kasih sayang, rasa cinta, dan kehangatan antara ibu dan bayi. Rawat gabung
juga memberanikan seorang ibu untuk dapat memberikan air susu ibu,
menyentuh dan melakukan perawatan pada bayi (Girsang, 2016).
10

c. Kontak Mata
Kontak mata merupakan komunikasi verbal yang dilakukan oleh dua orang
dengan saling melihat satu sama lain dan sangat diperlukan ibu dalam
mengembangkan komunikasi dengan bayinya. Kontak mata yang dilakukan
oleh ibu dan bayinya akan membuat mereka lebih dekat sehingga bayi dapat
mengenali ibunya dan sebaliknya (Lowdermilk,dkk. 2013).
d. Suara
Mendengar dan merespon suara antara orang tua dan bayinya sangat
penting.Orang tua menunggu tangisan pertama bayi mereka dengan tegang.
Suara tersebut membuat mereka yakin bahwa bayinya dalam keadaan sehat.
Tangis tersebut membuat mereka melakukan tindakan menghibur. Bayi dapat
mendengar sejak dalam rahim, jadi tidak mengherankan jika ia dapat
mendengar suara-siara dan membedakan nada dan kekuatan sejak lahir,
meskipun suara-suara itu terhalang selama beberapa hari oleh cairan amniotic
dari rahim yang melekat pada telinga (Elisabeth, Endang 2015).
Seperti yang dinyatakan oleh Procelli dalam Suryani, dkk.(2011) bahwa
ibu postpartum menyusui yang diberi terapi musik mengalami penurunan
kecemasan dan perubahan perilaku terhadap bayinya selama menyusui secara
bermakna dibandingkan dengan ibu postpartum menyusui yang tidak diterapi
musik. Kondisi ibu yang demikian dapat mendukung terjadi bounding
attachment yang baik. Kondisi ini ada kaitannya dengan pengaruh musik
sebagaimana yang dinyatakan oleh Rosch dan Koeditz bahwa musik
memengaruhi sistem limbik diotak yang menekan fungsi poros hipotalamus,
hipofisis dan kelenjar adrenal sehingga menghambat pengeluaran hormon
stres.
e. Aroma
Orang tua dan bayi akan melakukan perilaku untuk menjalin kedekatan
yaitu dengan cara merespon bau masing-masing. Ibu mengetahui bahwa
anaknya memiliki aroma yang unik dan bayi belajar mengetahui bau ibu
dengan cepat dari aroma air susunya (Stainton dalam Lowdermilk, dkk.
2013). Indra penciuman pada bayi baru lahir sudah berkembang dengan baik
dan masih memainkan peran dalam nalurinya untuk mempertahankan hidup.
11

f. Gaya Bahasa (Entrainment)


Setiap bayi yang baru lahir akan bergerak mengikuti struktur pembicaraan
orang yang didengarnya. Bayi akan meniru apa yang dilakukan oleh orang
tuanya seperti menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendangkan
kaki seperti sedang berdansa, saat itulah bayi telah dapat berkomunikasi
secara nonverbal kepada orang tuanya. Hal tersebut sangat positif dalam
proses pembentukan karakter seorang anak (Lowdermilk, dkk. 2013).
g. Bioritme
Anak yang masih berada di dalam kandungan dan ketika baru lahir akan
senada dengan ritme alamiah seorang ibunya. Karenanya, salah satu adaptasi
fisiologis bayi dengan cara menangis dan dapat ditenangkan dengan dipeluk
sehingga dapat mendengar denyut jantung ibunya. Salah satu tugas bayi yang
lahir adalah membentuk ritme personal (bioritme). Kasih sayang yang
konsisten dari orang tua dapat membantu proses ini dengan memanfaatkan
waktu saat bayi mengembangkan perilaku yang responsif sehingga dapat
meningkatkan interaksi sosial dan kesempatan bayi untuk belajar
(Lowdermilk, dkk. 2013).
h. Kontak dini
Kontak dini merupakan suatu yang penting bagi orang tua dan anak untuk
membangun suatu pola hubungan namun sampai saat ini belum ada penelitian
yang mampu membuktikan, diketahui bahwa kotak dini memiliki banyak
manfaat diantaranya yaitu fisiologis, dapat meningkatkan kadar oksitosit dan
prolaktin, merangsang reflek hisap sejak dini, akan munculnya kekebalan
aktif, dan dapat mempercepat bonding atau ikatan batin antara orang tua dan
anak. Kontak dini juga berfungsi sebagai body warm (kehangatan tubuh)
dimana ada kontak langsung antara ibu dan bayi sehingga bayi merasa
kehangatan saat berada dalam dekapan ibu, serta akan menambah lebih
banyak kasih sayang ibu dan sebagai stimulasi hormon. (Klaus, Kenel dalam
Wahyuni, 2018).
i. Timbal Balik dan Sinkroni
Timbal balik adalah gerakan tubuh atau perilaku yang memberikan isyarat
kepada pengamat. Pengamat akan mengartikan petunjuk tersebut dan
12

meresponnya. Timbal balik sering kali butuh beberapa minggu untuk


berkembang pada bayi. Contohnya ketika bayi rewel dan menangis, ibu akan
merespons dengan mengangkat dan menimang bayi, bayi akan diam, bangun
dan melakukan kontak mata, ibu akan bicara, berdecak dan menyanyi
sementara bayi menjaga kontak mata. Istilah sinkron menunjukkan kecocokan
isyarat bayi dan respon orang tua. Ketika orang tua bayi mengalami interaksi
yang sinkron, hal ini akan sangat membanggakan bagi keduanya. Orang tua
butuh waktu untuk mengisyaratkan bayi dengan benar (Lowdermilk, dkk.
2013).
5. Prinsip dan Upaya Meningkatkan Bounding Attachment
Menurut Elisabeth dan Endang (2015) upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan bounding attachment adalah:
a. Dilakukan segera (menit pertama jam pertama)
b. Sentuhan orang tua pertama kali
c. Adanya ikatan yang baik dan sistematis berupa kedekatan orang tua ke
anak
d. Kesehatan emosional orang tua
e. Terlibat pemberian dukungan dalam proses persalinan
f. Persiapan PNC (post natal care)sebelumnya
g. Adaptasi
h. Tingkat kemampuan, komunikasi dan keterampilan untuk merawat anak
i. Kontak sedini mungkin sehingga dapat membantu dalam memberikan
kehangatan ada bayi, menurunkan rasa sakit ibu, serta memberi rasa
nyaman.
j. Fasilitas untuk kontak lebih lama
k. Penekanan pada hal-hal positif
l. Perawat maternitas khusus atau bidan
m. Libatkan anggota keluarga lainnya atau dukungan sosial dari keluarga,
teman, dan pasangan
n. Informasi bertahap mengenai bounding attachment
13

6. Hambatan Bounding Attachment


Ada beberapa hal yang dapat menghambat proses bounding attachment,
antara lain (Elisabeth, Endang 2015):
a. Kurangnya support system
b. Ibu dengan risiko (ibu sakit)
c. Bayi dengan risiko ( premature, bayi sakit, bayi dengan cacat fisik)
d. Kehadiran bayi yang tidak diinginkan
7. Manfaat Bounding Attachment
Adapun manfaat dari implementasi teori bounding attachment jika dilakukan
secara baik (Elisabeth, Endang 2015), yaitu:
a. Bayi merasa dicintai, diperhatikan, mempercayai, menumbuhkan sikap sosial.
b. Bayi merasa aman, berani mengadakan eksplorasi.
c. Akan sangat berpengatuh positif pada pola perilaku dan kondisi psikologis
bayi kelak.
8. Tanda-tanda Bounding Attachment Yang Baik
Menurut Lestari Okta dan Sumiati (2013) hasil penelitian didapatkan ibu
nifas yang memberikan perlakuan inisiasi menyusu dini 47% yang mempunyai
interaksi positif pada bounding attachment dan 3% yang mempunyai interaksi
negatif, sedangkan ibu nifas yang tidak memberikan perlakuan inisiasi menyusu
dini 7% mempunyai interaksi positif pada bounding attachment dan 43% yang
mempunyai interaksi negatif. Interaksi positif dan negatif ini dapat dilihat dari
hasil pengamatan langsung yang dapat diketahui dari interaksi ibu terhadap
bayinya. Tindakan ibu digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Memandang (ibu terlihat sangat gembira, bahagia, tersenyum dan antusias
dengan kehadiran bayinya)
2. Berkata (ibu berbicara langsung, menggunakan nama bayinya,
memperlihatkan reaksi, memuji bayinya, serta membuat sebutan bagi bayi)
3. Melakukan sesuatu (mengulurkan tangan ingin memegang bayinya,
memeriksa bayinya, membuat kontak mata dengan bayinya dan mencium.
Interaksi positif pada bounding attachment ini dapat tercipta karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu adanya dukungan dari suami, keluarga dan
tenaga kesehatan, keterampilan ibu yang berusaha mengajak bicara pada bayinya,
14

rasa senang akan kehadiran bayinya serta kecocokan jenis kelamin pada bayinya.
Sedangkan interaksi negatif yang terjadi pada ibu nifas terjadi karena adanya
ketidak cocokan antara ibu dan bayi, dimana ibu tidak menginginkan jenis
kelamin anaknya selain itu ibu merasa tidak ada dukungan dari suaminya.
9. Peran Perawat Dalam Mendukung Terjadinya Bounding Attachment
Menurut Elisabet dan Endang (2015) peran perawat dalam mendukung
terjadinya bounding attachment adalah:
a. Membantu menciptakan terjadinya ikatan antara ibu dan bayi dalam jam
pertama pasca kelahiran.
b. Memberikan dorongan pada ibu dan keluarga untuk memberikan respon
positif tentang bayinya, baik melalui sikap maupun ucapan dan tindakan.
c. Sewaktu pemeriksaan ANC, perawat selalu mengingatkan untuk menyentuh
dan meraba perutnya yang semakin membesar.
d. Perawat mendorong ibu untuk selalu mengajak janin berkomunikasi.
e. Perawat juga men-support ibu agar dapat meningkatkan kemampuan dan
keterampilannya dalam merawat anak, agar saat sesudah kelahiran nanti ibu
tidak merasa kecil hati karena tidak dapat merawat bayinya sendiri dan tidak
memiliki waktu yang seperti ibu inginkan.
f. Ketika dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan salah
satu cara bounding attachment dalam beberapa saat setelah melahirkan,
hendaknya perawat tidak benar-benar memisahkan ibu dan bayi, melainkan
perawat mampu untuk mengundang rasa penasaran ibu untuk mengetahui
keadaan bayinya dan ingin segera memeluk bayinya. Pada kasus ibu dengan
risiko, ibu dapat tetap melakukan bounding attachment ketika ibu memberi
ASI bayinya atau ketika mengunjungi bayi di ruang perinatal.
B. Sectio Caesarea
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi
untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Jitowiyono, Kristiyanasari, 2010).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
15

dinding uterus melalui depan perut atau vagina atau disebut juga histerotomia
untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 1998 dalam Padila, 2015).
2. Etiologi Sectio Caesarea
Indikasi klasik sectio caesarea menurut Manuaba, LB, 2001 dalam Padila
(2015) yang dapat dikemukakan sebagai dasar adalah:
a. Ruptura uteri imminen
b. Fetal distress
c. Janin besar melebihi 4000 gram
d. Pendarahan antepartum
3. Indikasi dan Kontra Indikasi Sectio Caesarea
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin
akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan
hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/kegagalan
proses persalinan normal (Dystasias).
a. Indikasi Sectio Caesarea antara lain: Fetal distress, his lemah/melemah, janin
dalam posisi sungsang atau melintang, bayi besar (BBL 2-4,2 kg), plasenta
previa, kelainan letak, disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar
ukuran kepala dan panggul), rupture uteri mengancam, hydrocephalus, primi
muda atau tua, partus dengan komplikasi, panggul sempit dan, problema
plasenta.
b. Kontra Indikasi Sectio Caesarea
 Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga
kemungkinan hidup kecil. Dalam keadaaan ini tidak ada alasan untuk
melakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan.
 Kalau jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk caesarea
extrapertoneal tidak tersedia.
 Kalau dokter bedahnya tidak berpengalaman, kalau keadaannya tidak
menguntungkan bagi pembedahan, dan kalau tidak tersedia tenaga asisten
yang memadai.
4. Komplikasi Sectio Caesarea
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain (Padila,
2015):
16

1) Infeksi puerperal (Nifas)


 Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari.
 Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung.
 Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik.
2) Perdarahan
 Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
 Perdarahan pada plasenta bed.
3) Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
peritonealisasi terlalu tinggi.
4) Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya
5. Adaptasi Psikologi Ibu Dalam Masa Nifas
Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi yang harus
dijalani.Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya bayi yang baru lahir.
Dorongan serta perhatian anggota keluarga lainnya merupakan dukungan positif
untuk ibu. Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan mengalami
fase-fase sebagai berikut (Elisabeth, Endang 2015) dan (Suherni, dkk. 2010) .
1. Fase Taking In
Fase taking in yaitu periode ketergantungan. Periode ini berlangsung dari
hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan.Pada fase ini ibu sedang
berfokus terutama pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali menceritakan
proses persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir. Ibu perlu bicara
tentang dirinya sendiri.Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada fase ini
seperti rasa mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu cukup
istirahat untuk mencegah gangguan psikologis yang mungkin dialami, seperti
mudah tersinggung, menangis.Hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif
terhadap lingkungannya. Pada fase ini petugas kesehatan harus menggunakan
pendekatan yang empati agar ibu dapat melewati fase ini dengan baik. Ibu hanya
ingin didengarkan dan diperhatikan. Kemampuan mendengarkan (listening
skills) dan menyediakan waktu yang cukup merupakan dukungan yang tidak
ternilai bagi ibu. Kehadiran suami atau keluarga sangat diperlukan pada fase ini.
17

Petugas kesehatan dapat menganjurkan suami dan keluarga untuk memberikan


dukungan moril dan menyediakan waktu untuk mendengarkan semua hal yang
disampaikan agar ibu dapat melewati fase ini dengan lancar. Gangguan
psikologis yang mungkin dirasakan ibu adalah:
a. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang
bayinya misal jenis kelamin tertentu, warna kulit, jenis rambut dan lain-
lain.
b. Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisik yang dialami ibu
misal rasa mulas karena rahim berkontraksi untuk kembali pada keadaan
semula, payudara bengkak, nyeri luka jahitan.
c. Rasa bersalahan karena belum bisa menyusui bayinya.
d. Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayi dan
cenderung melihat saja tanpa membantu. Ibu akan merasa tidak nyaman
karena sebenarnya hal tersebut bukan hanya tanggungjawab ibu semata.
2. Fase Taking Hold
Fase Taking hold yaitu periode berlangsung antara 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu timbul rasa khawatir akan ketidakmampuan dan
rasa tanggungjawabnya dalam merawat bayi. Ibu mempunyai perasaan sangat
sensitif sehingga mudah tersinggung dan gampang marah. Kita perlu berhati-hati
menjaga komunikasi dengan ibu. Dukungan moril sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri ibu. Bagi petugas kesehatan pada fase ini
merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan berbagai penyuluhan dan
pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu nifas. Tugas kita adalah mengajarkan
cara merawat bayi, cara menyusui yang benar, cara merawat luka jahitan, senam
nifas, memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan ibu seperti gizi,
istirahat, kebersihan diri, dan lain-lain.
3. Fase Letting Go
Fase Letting go yaitu periode menerima tanggung jawab akan peran
barunya. Fase ini berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Ibu memahami bahwa bayi
butuh disusui sehingga siap terjaga untuk memenuhi kebutuhan
bayinya.Keinginan untuk merawat diri dan bayinya sudah meningkat pada fase
18

ini. Ibu akan lebih percaya diri dalam menjalani peran barunya. Pendidikan
kesehatan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan sangat berguna bagi ibu.
Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan bayinya. Dukungan
suami dan keluarga masih terus diperlukan ibu. Suami dan keluarga dapat
membantu merawat bayi, mengerjakan urusan rumah tangga sehingga ibu tidak
terlalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup sehingga mendapatkan
kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat bayinya.
Berdasarkan fase adaptasi psikologis pada ibu post partum didapatkan
hasil bahwa sebagian besar ibu memiliki adaptasi psikologis yang baik. Ibu post
partum primigravida sectio caesarea dan partus normal semua mengalami
perubahan adaptasi psikologis post partum mengarah pada perubahan psikologis
yang baik, dan mereka melewati setiap fasenya dengan baik hanya beberapa ibu
post partum yang mengalami gangguan perubahan adaptasi psikologis post
partum. Hanya saja terdapat hal yang berbeda yaitu pada fase taking in yaitu ibu
post partum sectio caesarea merasakan nyeri lebih lama untuk mobilisasi
dibanding dengan ibu post partum secara normal. Proses melahirkan melalui
sectio caesarea beresiko mengalami nyeri dan cemas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan persalinan spontan (Taviyanda Dian, dkk.2017).

C. Terapi Musik
1. Pengertian Terapi Musik
Terapi musik adalah terapi yang menggunakan musik yang bertujuan
untuk meningkatkan untuk memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif, dan
sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia (Pratiwi, 2008). Menurut
Campbell (2001) dalam Tetti dan Cecep (2015), musik merupakan suatu bentuk
seni yang menyangkut organisasi atau kombinasi dari suara atau bunyi dan
keadaan diam yang dapat menggambarkan keindahan dan ekspresi dari emosi
dalam alur waktu dan ruang tertentu.
Menurut Suryana (2012), terapi musik adalah suatu proses terencana
yang bersifat preventif dalam usaha penyembuhan terhadap penderita yang
mengalami kelainan atau hambatan dalam pertumbuhannya, baik fisik, motorik,
sosial emosional, maupun mental intelegensi. Terapi musik juga berhubungan
dengan keahlian menggunakan musik atau elemen musik oleh seorang terapis
19

untuk meningkatkan, mempertahankan, dan mengembalikan kesehatan mental,


fisik, emosional, dan spiritual.
2. Mekanisme
Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut
sensori ascenden ke neuron-neuron Rericular Activaty System (RAS). Stimuli ini
akan ditransformasikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati area cortex
serebri, system limbic, corpus collosum, serta area system saraf otonom dan
system neuroendokrin. Musik dapat memberikan rangsang pada system saraf
simpatis dan parasimpatis untuk menghasilkan respon relaksasi. Karakteristik
respons relaksasi yang akan ditimbulkan berupa penurunan frekuensi nadi,
keadaan relaksasi otot, dan tidur (Tuner, 2010).
Efek musik pada system neuroendokrin adalah memelihara
keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam
darah, seperti ekskresi endorphin yang berupa dalam menurunkan nyeri,
mengurangi pengeluaran katekolamin dan kadar kortikosteroid adrenal (Toner,
2010).
3. Manfaat Musik
Menurut Kemper & Denhauner, 2005; Mucci & Mucci 2002; Campbell, 2001
dalam Tetti dan Cecep (2015), keuntungan musik antara lain sebagai berikut.
a. Musik memberikan efek terhadap peningkatan kesehatan.
b. Musik menurunkan stres dan mengurangi ketegangan otot.
c. Musik mengurangi nyeri.
d. Musik menciptakan suasana rileks, aman, dan menyenangkan.
e. Musik menutupi perasaan yang tidak menyenangkan.
f. Musik mempengaruhi system limbic dan saraf otonom sehingga merangsang
pelepasan zat kimia gamma amino butyric acid(GABA), enkefalin, dan beta
endorphin yang akan mengeliminasi neurotransmitter nyeri.
g. Musik memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak. Musik dengan
denyut kurang lebih 60 ketukan per menit dapat mengubah kesadaran dari
beta menuju kisaran alfa. Gelombang alfa merupakan kondisi yang
menunjukkan ketenangan dan kesadaran yang meningkat.
20

h. Musik mempengaruhi pernapasan. Dengan mendengarkan musik irama tempo


lambat atau musik yang bunyinya lebih panjang dan lebih lambat, pernapasan
akan melambat sehingga membuat pikiran tenang.
i. Musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan darah.
Denyut jantung menanggapi variabel-variabel musik (frekuensi, tempo, dan
volume) dan cenderung menjadi lebih lambat atau ebih cepat guna menyamai
ritme suatu bunyi. Musik dengan rata-rata ketukan 55 hertz dapat
menurunkan tekanan darah.
j. Musik mempengaruhi suhu badan. Musik yang lembut dengan ketukan lemah
dapat menurunkan suhu tubuh. Sebaliknya musik yang keras dapat
menaikkan suhu tubuh.
k. Musik mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres. Hormon
seperti :adrenocorticotrophic (ACTH), prolaktik, dan human growth
hormone (HGH) dalam darah menurun secara signifikan pada orang-orang
yang mendengarkan musik yang santai. Selain itu musik juga dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Rangsangan musik dapat
meningkatkan pelepasan endorphin. Pelepasan tersebut memberikan suatu
pengalihan perhatian dari rasa sakit dan mengurangi kecemasan.
l. Musik dapat mengubah persepsi tentang ruang. Musik dapat membuat
lingkungan terasa lebih ringan, lebih lega, dan lebih elegan.
4. Jenis Musik
Menurut Djohan (2006) dalam Tetti dan Cecep (2015), terdapat empat elemen
yang menjadi dasar perlakukan yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi musik, yaitu sebagi berikut:
1. Pitch adalah nada yang dihasilkan melalui vibrasi dengan kecepatan tertentu.
2. Tempo adalah rata-rata satuan waktu pada saat musik dimainkan yang
menggambarkan kecepatan musik.
3. Timbre disebut juga warna suara atau kualitas suara.
4. Dinamika adalah tingkat kekerasan bungi atau gradasi kekerasan dan
kelembutan suara musik.
Menurut Wigram (dalam Djohan, 2006), jika elemen musik stabil dan dapat
dipresiksi, cenderung subjek merasa rileks. Akan tetapi jika elemen musik
21

bervariasi setiap saat dan subjek merasakan perubahan tiba-tiba, maka tingkat
rangsang akan menjadi tinggi karena adanya stimulasi.
5. Efektivitas Terapi Musik
Musik merupakan teknik distraksi efektif yang dapat menurunkan intensitas
nyeri, keadaan stres, dan tingkat kecemasan dengan cara mengalihkan perhatian
seseorang dari perasaan nyeri yang dirasakan. Schneider dan Workman (2000)
dalam Tetti dan Cecep (2015) menyebutkan bahwa distraksi dengan
menggunakan musik menjadi efektif karena individu berkonsentrasi pada
astimulus yang menarik atau menyenangkan daripada berfokus pada gejala yang
tidak menyenangkan.
Menurut Kemper & Denhauner (2005) dalam Tetti dan Cecep (2015), musik
dapat memberikan efek pada peningkatan kesehatan, mengurangi stress, dan
mengurangi nyeri. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terapi musik
efektif dalam menurunkan nyeri. Penelitian Good, Stanton, Grass, Anderson, Lai
& Adler (2001) dalam Tetti dan Cecep (2015) menemukan bahwa terapi musik
dan relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri.
Terapi musik dapat meningkatkan pengeluaran hormon endorphin yang
merupakan bahan neuromedulator yang terlibat dalam sistem analgesia dan
relaksasi. Pemberian tambahan terapi musik terhadap ibu nifas pasca operasi
sectio caesarea dapat menurunkan nyeri lebih banyak dibandingkan hanya
mendapatkan asuhan nifas normal pasca operasi sectio caesarea (Marlina,
2017).
6. Persiapan
Hal-hal yang perlu disiapkan oleh perawat sebelum memberikan terapi musik
kepada pasien antara lain:
a. Menyediakan peralatan bagi pasien untuk mendengarkan musik, seperti :tape,
compact disk, MP3, MP4, MP5, dan lain-lain.
b. Memperhatikan lamanya pemberian terapi musik.
c. Pada beberapa pasien, terapi musik hanya diberikan waktu singkat dan dapat
memberikan efek positif bagi pasien (Mucci & Mucci, 2002) dalam Tetti dan
Cecep (2015).
22

Musik yang berfungsi untuk relaksasi pada prinsipnya adalah harus


memiliki tempo yang sama atau dibawah denyut jantung pada saat istirahat
(72 kali atau kurang). Dinamikanya harus dapat diperkirakan, pergerakan
melodi seperti air, harmoninya menyenangkan bagi yang mendengarkannya,
iramanya teratur tanpa perubahan yang mendadak, dan kualitas nada meliputi
alat musik gesek, flute, piano, atau musik yang dipadu secara khusus (Robb,
2002) dalam Tetti dan Cecep (2015).
Ada beberapa musik yang biasa digunakan dalam penelitian, seperti
musik kitaro, musik instrumentalia, musik klasik, dan beberapa musik lain
yang sering digunakan dalam intervensi dapat menurunkan nyeri ataupun
tingkat kecemasan pasien. Musik apapun itu yang penting memenuhi
persyaratan untuk dapat dijadikan sebagai terapi relaksasi musik seperti yang
telah dijelaskan.
7. Pelaksanaan
a) Pesiapan Alat
Alat disiapkan sesuai yang dibutuhkan pada saat akan dilakukan pelatihan
relaksasi pada pasien, seperti tape, compact disk, MP3, MP4, MP5, dan lain-
lain. Pilih salah satu alat tersebut sesuai dengan keadaan pasien di ruangan.
b) Persiapan Pasien
Pasien disiapkan untuk memilih musik mana yang akan digunakan dalam
terapi musik tersebut
8. Teknik Relaksasi Musik
a. Menyiapkan semua alat yang dibutuhkan, seperti:
1. CD
2. MP3 Player
3. Earphone
b. Persiapan pasien. Pasien diberi penjelasan dan informed consent.
c. Atur dan bantu posisi pasien senyaman mungkin.
d. Beri tahu pasien, bahwa dirinya tidak akan terganggu selama pemberian
terapi musik dilakukan, kecuali jika ada kepentingan medis atau permintaan
dari pasien itu sendiri.
23

e. Bantu pasien untuk memperbaiki perlengkapan terapi, seperti earphone dan


volume musik.
f. Nyalakan MP3 dengan volume sedang.
1. Cek terlebih dahulu ke telinga pemberi intervensi relaksasi musik sebelum
diberikan kepada pasien
2. Pasang earphone di telinga pasien, tanyakan apakah volumenya cukup.
g. Mainkan musik sesuai dengan waktu yang telah disepakati, yaitu 30 menit.
h. Bimbing klien dengan memberi perintah sebagai berikut.
1. Bimbing pasien untuk menutup mata.
2. Dengarkan ritme musik dan alunannya.
3. Anjurkan pasien untuk membiarkan pikirannya mengikuti ritme musik.
i. Biarkan musik dimainkan selama 30 menit. Selama dimainkan, anjurkan
pasien untuk membiarkan dirinya menjadi rileks dengan musik.
j. Anjurkan dan bimbing pasien untuk melemaskan otor-ototnya selama musik
berlangsung.
k. Anjurkan dan bombing pasien untuk menarik napas melalui hidung, dan
mengeluarkan napas secara perlahan melalui mulut secara perlahan-lahan
sambil mendengarkan musik relaksasi.
l. Anjurkan pasien untuk tetap fokus pada pernapasannya dan musik.
m. Lakukan evaluasi kepada pasien terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Tanyakan bagaimana perasaan pasien setelah pemberian terapi musik.
n. Setelah 30 menit, akhiri intervensi relaksasi musik.
o. Bereskan pasien
p. Bereskan peralatan.
D. Penelitian Terkait
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dian Charla dkk. tahun 2015 dengan
judul Hubungan Bonding Attachment dengan Resiko Terjadinya Postpartum
Blues pada Ibu Postpartum dengan Sectio Caesaria di Rumah Sakit Ibu dan
Anak (RSIA) Srikandi IBI Kabupaten Jember dengan sampel berjumlah 47
orang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ada 17 responden (68%)
memiliki bonding attachment tidak baik dan mengalami postpartum blues.
Hasil uji Spearman menunjukkan p value =0,000; r =-0,736 yang artinya ada
24

hubungan antara bonding attachment dengan resiko postpartum blues pada


ibu postpartum dengan sectio caesaria di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA)
Srikandi IBI Jember.
2. Penelitian oleh Dewi Marfuah dkk. (2019) dengan judul Pain Intensity among
Women with Post-Caesarean Sectio: A Descriptive Study. Wanita seksio
sesarea mengalami nyeri akibat trauma operatif. Variabilitas individu nyeri
pasca operasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk sensitivitas
terhadap nyeri, faktor psikologis, usia, dan genetika. Pasien persalinan sesar
memiliki alasan yang lebih kuat untuk mencapai penghilang rasa sakit pasca
operasi yang optimal daripada pasien bedah lainnya, tetapi mereka juga
menghadirkan tantangan unik. Pasien pelahiran sesar berisiko lebih tinggi
untuk kejadian tromboemboli, yang juga dapat dipicu oleh imobilitas akibat
kontrol nyeri yang tidak adekuat atau sedasi berlebihan dari opioid. Penelitian
ini dilakukan di bangsal kebidanan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,
Jawa Barat, Indonesia dengan 60 wanita dengan bagian postesarean.
Instrumen menggunakan Visual Rating Scale (VAS) untuk pengukuran nyeri.
Didapatkan hasil intensitas nyeri pada wanita dengan seksio sesaria adalah
tingkat nyeri ringan dengan rata-rata tingkat nyeri 2,8. Wanita dengan tingkat
nyeri ringan sebanyak 81,6%.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Ike dkk.tahun 2015 dengan judul efektifitas
terapi musik klasik mozart terhadap penurunan gejala post partum blues. Tiga
puluh orang dipilih sebagai sampel menggunakan teknik purposive sampling
dengan berfokus pada kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
skor rata-rata gejala post partum blues pada kelompok eksperimen setelah
mendapat terapi musik klasik Mozart adalah 4,93 dan untuk kelompok
kontrol yang tidak diberi terapi musik klasik Mozart adalah 7,80. Hasil
statistik diperoleh nilai p (0,000) <α (0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa terapi musik klasik Mozart efektif untuk mengurangi gejala post
partum blues.
4. Penelitian oleh Wilda Nurul Fadilah1, Meti dan Endang (2018) dengan judul
Pengaruh Hipnosis Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Post Sectio Caesarea
dengan 30 responden. Pengolahan data menggunakan uji Wilcoxon.
25

Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil
pretest-postest dengan tingkat signifikasi ρ value 0,001 < 0,05, yang berarti
hipnosis berpengaruh terhadap tingkat kecemasan. Penelitian ini tidak
memberi efek negatif yang merugikan bagi responden, sehingga hipnosis
dianjurkan dilakukan untuk menurunkan tingkat kecemasan ibu postsectio
caesarea.
5. Penelitian oleh Dian Taviyanda dkk.tahun 2017 dengan judul adaptasi
psikologis pada ibu post partum primigravida sectio caesarea dan partus
normal di ruang sarah (kandungan dan kebidanan) Rumah Sakit Baptis
Kediri. Sejumlah 8 responden baik ibu post partum primigravida sectio
caesarea maupun partus normal. Berdasarkan Fase adaptasi psikologis pada
ibu post partum didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu memiliki adaptasi
psikologis yang baik. Kesimpulan: Ibu Post Partum Primigravida sectio
caesarea dan partus normal semua mengalami perubahan adaptasi psikologis
post partum mengarah pada perubahan psikologis yang baik, dan mereka
melewati setiap fasenya dengan baik hanya beberapa ibu post partum yang
mengalami gangguan perubahan adaptasi psikologis post partum. Hanya saja
terdapat hal yang berbeda yang yaitu pada fase taking in yaitu ibu post partum
sectio caesarea merasakan nyeri lebih lama untuk mobilisasi dibanding
dengan ibu post partum secara normal.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Cara melakukan Bounding Attachment:

1. Asi esklusif
2. Rawat gabung
3. Kontak mata
Bounding
4. Suara
Attachment
5. Aroma
6. Gaya Bahasaa
7. Bioritme
8. Kontak dini
9. Timbal Balik dan Sinkroni

Gambar 1.
Kerangka Teori
Sumber: Elisabeth, Endang. (2015)
26

F. Kerangka Konsep

Bonding
Bonding Attachment Attachment
Terapi Musik
sebelum diberikan setelah diberikan
terapi musik terapi musik

Bonding
Bonding Attachment Attachment pada
pada ibu Post Sectio ibu Post Sectio
Caesarea pada Caesarea setelah
kelompok kontrol 3 hari perawatan

Gambar 2.
Kerangka Konsep Penelitian
Sumber: Rancangan Non Equivalent Control Grup (Notoatmodjo, 2018)

G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Hα
a. Ada pengaruh terapi musik terhadap bounding attachment pada ibu post
sectio caesarea di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu Bunda Lampung tahun
2020 pada kelompok intervensi.
b. Ada perbedaan rata-rata bounding attachment pada ibu post sectio caesarea
di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu Bunda Lampung tahun 2020 pada
kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
27

Anda mungkin juga menyukai