“Ilmu Gizi”
Disusun Oleh
Kelompok 3/ IPA D:
Dosen Pengampu:
Titah Sayekti, S.Pd., M.Sc.
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Pengertian Anemia............................................................................. 3
B. Penyebab Terjadinya Anemia............................................................. 4
C. Akibat Anemia.................................................................................... 5
D. Anemia di Indonesia...........................................................................6
E. Anemia di Lingkungan Sekitar...........................................................7
BAB III PENUTUP...................................................................................... 16
Kesimpulan............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia masih menjadi salah satu masalah gizi di Indonesia, terutama pada kelompok
rentan seperti pada anak berusia di bawah lima tahun. Riset Kesehatan Dasar 2007
menunjukkan bahwa 27,7 persen anak usia 1-4 tahun dan 9,4 persen anak usia 5-14 tahun
menderita anemia. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan
di DKI Jakarta, anak berusia 2-4 tahun yang menderita anemia sebesar 26,8 persen . Hal
ini menunjukkan bahwa masalah anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Menurut WHO anemia dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat,
bila prevalensi lebih dari 5 persen. Penyebab anemia di Indonesia terbesar adalah
kekurangan zat besi. Dampak anemia kurang besi sangat luas di antaranya gangguan
perkembangan psikomotor, gangguan fungsi kognitif dan gangguan pertumbuhan. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan kami bahas mengenai anemia dan upaya
menanggulanginya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Anemia?
2. Apa Penyebab terjadinya anemia?
3. Apa akibat yang ditimbulkan dari anemia?
4. Bagaimana permasalahan anemia di Indonesia?
5. Bagaimana anemia di lingkungan sekitar?
6. Bagaimana Anemia di Pandemi Covid-19?
7. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi anemia dan mencegah anemia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahuai dan memahami apa itu anemia
2. Untuk Mengetahui dan memahami penyebab dari anemia
3. Untuk mengetahui dan memahami akibat yang ditimbulkan dari anemia
4. Untuk mengatahui dan memahami permasalahan anemia di Indonesia
5. Untuk mengetahui dan memahami anemia di lingkungan sekitar.
6. Untuk mengetahui dan memahami kondisi anemia di masa pandemi
7. Unuk mengetahui dan memahami upaya pencegahan anemia.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Marilyn E, Doenges. 2001. Rencana Asuhan Keperatawan.( Jakarta: EGC)
2
Amalia, Ajeng, dkk. 2016. Diagnosis dan Tata laksana Anemia Defisiensi Besi. MAJORITY. Vol 5 (5).
untuk pria adalah 13,8-17,2 gram/dl. Sedangkan wanita 12,1-15,1 gram/dl. Sedangka
nilai Hb anemia untuk pria <13,8-17,2 gram/dl dan wanita <12,1-15,1 gram/dl.
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin
yang dikandungnya yaitu:
1. Makrositik yaitu ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin
tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :
Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik yaitu Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh
defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan
metabolisme besi lainnya.
3. Normositik Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara
berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Selain itu anemia juga terjadi karena menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan
bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas
pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi,
berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah
menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya
terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb.4
4
Khaidir, M. (2007). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2(1), 140-145
Ada juga yang disebabkan perdarahan. Kehilangan darah akibat perdarahan
merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi
keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi
0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid,
indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap
darah dari pembuluh darah submukosa usus.
Transfusi feto-maternal juga menajdi penyebab kekurangan besi ang negakibaktkan
anemia. Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus. Hemoglobinuria juga menyebabkan
kekurangan besi Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin
rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari. 6. Iatrogenic blood loss Pada anak yang banyak bisa diambil
darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko untuk menderita ADB. Idiopathic
pulmonary hemosiderosis, penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan
perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang
timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl
dalam 24 jam. Dan yang terakhir adalah Latihan yang berlebihan. Pada atlit yang
berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja perempuan dan 17%
remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak
tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi
pada 50% pelari.5
D. Anemia di Indonesia
Anemia masih menjadi salah satu masalah gizi di Indonesia, terutama pada kelompok
rentan seperti pada anak berusia di bawah lima tahun. Riset Kesehatan Dasar 2007
menunjukkan bahwa 27,7 persen anak usia 1-4 tahun dan 9,4 persen anak usia 5-14 tahun
menderita anemia. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan
di DKI Jakarta, anak berusia 2-4 tahun yang menderita anemia sebesar 26,8 persen
Penyebab anemia di Indonesia terbesar adalah kekurangan zat besi. Dampak anemia
kurang besi sangat luas di antaranya gangguan perkembangan psikomotor, gangguan
fungsi kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Berdasarkan penelitian SEANUTS (South East Asian Nutrition Survey)
menunjukkan prevalensi anemia tertinggi pada kelompok anak usia muda dibandingkan
kelompok anak usia lebih tua. Prevalensi anemia pada kelompok usia muda (0,5-0,9
tahun) sebesar 54,7 persen di perkotaan dan 61,9 persen di perdesaan. 6 Temuan ini,
hampir sama dengan temuan di Bangladesh dan laporan Mc Lean Erin et al. (2007)
prevalensi anemia di Asia, yaitu masing-masing 60 dan 58 persen, namun lebih tinggi
bila dibandingkan dengan prevalensi anemia di Turki yaitu 40 persen. Temuan lain dari
penelitian ini adalah prevalensi anemia pada kelompok usia lebih tua (9,0-12,9 tahun)
yaitu hanya 5,0 persen di perkotaan dan 11,4 persen di perdesaan. Prevalensi ini jauh
lebih rendah dibandingkan prevalensi anemia kelompok usia lebih tua.
6
Ernawati, F., & Soekatri, M. (2013). Status vitamin A dan zat besi anak Indonesia. Gizi Indonesia, 36(2), 123-
130
Keadaan ini menunjukkan bahwa masalah anemia lebih berat pada kelompok yang
lebih muda. Hal ini disebabkan anak-anak yang lebih tua sudah dapat makan lebih
beragam dari pada kelompok anak usia muda. Besarnya proporsi anemia yang lebih
besar pada kelompok usia muda dibandingkan pada kelompok lebih tua, juga dapat
disebabkan ibu hamil menderita anemia, sehingga anak yang dilahirkan juga menderita
anemia. Temuan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak
yang lahir dari ibu anemia berisiko lahir dengan Hb rendah, karena prevalensi anemia ibu
hamil di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40,1 persen dan 24,5 persen. Hal ini
diperkuat lagi dari data (Susenas dan Survei Depkes-Unicef) bahwa dari sekitar 4 juta
ibu hamil, separuhnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya mengalami
kekurangan energi kronis.7
Bila dilihat dari kelompok jenis kelamin, proporsi anemia dan anemia kurang besi
pada kelompok usia muda (1,0-2,9 tahun) tidak jauh berbeda antara anak perempuan
dengan laki-laki, namun pada kelompok usia lebih tua (9,0- 12,9 tahun) proporsi anemia
dan anemia kurang besi ditemukan lebih besar pada anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian anak perempuan usia 9,0-12
sudah mendapat menstruasi sehingga mengalami kehilangan darah. Di negara sedang
berkembang seperti di Indonesia, pada umumnya penyebab terbesar kejadian anemia
adalah kekurangan zat besi akibat asupan zat besi yang rendah. Sementara itu, masa
pertumbuhan cepat terjadi pada kelompok umur 9,0-12 tahun, sehingga tubuh
memerlukan banyak zat besi untuk pertumbuhan.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah anemia masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Menurut WHO anemia dinyatakan sebagai masalah kesehatan
masyarakat, bila prevalensi lebih dari 5 persen.
10
Khaidir, M. (2007). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2(1), 140-145.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amalia, Ajeng, dkk. (2016). Diagnosis dan Tata laksana Anemia Defisiensi Besi.
MAJORITY, 5 (5), 166-169
Ernawati, F., & Soekatri, M. (2013). Status vitamin A dan zat besi anak Indonesia. Gizi
Indonesia, 36(2), 123-130
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.
Indartanti, D., & Kartini, A. (2014). Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja putri. Journal of nutrition college, 3(2), 310-316
Khaidir, M. (2007). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2(1),
140-145
Schwart E. (2000). Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia ;
Saunders, 1469-71
Susiloningtyas, I. (2021). Pemberian zat besi (Fe) dalam Kehamilan. Majalah Ilmiah Sultan
Agung, 50(128), 73-99
United Nations Indonesia. 2020. Pernyatan Bersama tentang Ketahanan Pangan dan Gizi
dalam Konteks Pandemi COVID-19 di Indonesia.