Anda di halaman 1dari 25

Departemen Keperawatan Gawat Darurat

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN


THYPOID ABDOMINALIS DI RUANGAN IGD RSUP Dr. WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR

OLEH:
SRI RAHMA WAHYUNI, S.Kep
20.04.012

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG MAKASSAR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TA.2020/2021

94
BAB I
KONSEP MEDIS

A. DEFINISI

Thypoid Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan
kesadaran (Wijayaningsih, 2013).

Thypoid Abdominalis ialah penyakit sistemik akut yang di sebabkan oleh infeksi
bakteri negatif, genus salmonella yaitu salmonella typhi yang masuk ke dalam makanan,
minuman atau bahan-bahan lain yang dicemari bakteri tersebut (Yudi, 2008).

Thypoid Abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan
terkadang pada aliran darah, yang di sebabkan oleh kuman salmonella typhi atau
salmonella paratyphi A, B dan C, yang terkadang juga dapat menyebabkan
gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus).
(Ardiansyah, 2012).

Demam typhoid atau Typhoid Fever ialah suatu sindrom sistemik terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam merupakan jenis terbanyak dari salmonelosis.
Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh S.
paratyphi A, S. schottmuelleri (semula S. paratyphi B), dan S. hirschfeldii (semula S.
paratyphi C). Thypoid Abdominalis memperlihatkan gejala lebih berat dibandingkan
demam enterik yang lain (Widagdo, 2011) .

Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Thypoid Abdominalis


adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang manusia khususnya pada saluran
pencernaan yaitu pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang
masuk melalui makanan atau minuman yang tercemar dan ditandai dengan demam
berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan, dan lebih di
perburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.

94
B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Organ Pencernaan Utama


a. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri
atas dua bagian, bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi
serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang di
batasi di sisi - sisinya oleh tulang maxilaris dan Semua gigi, dan di sebuah
belakang bersambung dengan awal faring. Atap mulut di bentuk oleh palatum,
dan lidah terletak di lantainya dan terikat pada tulang hioid. Di garis tengah
terdapat lipatan membran mukosa (frenulum linguas) menyambung lidah dengan
lantai mulut. Di kedua sisi terletak papila sublingualis, yang memuat lubang
kelenjar ludah submandibularis. Sedikit external dari papila ini terletak lipatan
sublingualis tempat lubang-lubang halus kelenjar ludah sublingualis bermuara.
Selaput lendir mulut di tutupi oleh epitelium yang berlapis-lapis. Dibawahnya

94
terletak kelenjar – kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini sangat
kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris
(Pearce Evelyn,2009).
b. Faring dan Esofagus
Faring atau tekak terletak di belakang hidung, mulut dan laring
(tenggorokan). Faring berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran
berotot (maskulo membranosa) dengan bagian terlebar di sebelah atas dan
berjalan dari dasar tengkorak sampai di ketinggiaan vertebra servikal ke enam,
yaitu ketinggian tulang rawan krikoid tempat faring bersambung dengan
esofagus. Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya dua puluh
sampai dua puluh lima sentimeter, di atas di mulai dari faring sampai pintu trakea
dan di depan tulang punggung. Setelah melalui torax menembus diafragma untuk
masuk ke dalam abdomen dan menyambung dengan lambung. Esofagus
berdinding empat lapis. Di sebelah luar terdiri atas lapisan jaringan ikat yang
renggang, sebuah lapisan otot yang terdiri atas dua lapis serabut otot, yang satu
berjalan longitudinal dan yang lain sirkuler, sebuah lapisan submukosa dan di
paling dalam terdapat selaput lendir mukosa (Pearce Evelyn, 2009).
c. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang terdiri dari bagian atas disebut
fundus, bagian utama dan bagian bawah yang horizontal yakni antrum pilorik.
Lambung berhubungan langsung dengan esofagus melalui orifisium atau kardia
dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik, lambung ini terletak di bawah
diafragma dan di depan pankreas, limfa menempel pada sebelah kiri fundus.
Lambung memiliki dua fungsi. Pertama fungsi motorik, yakni sebagai reservoir
yaitu menampung makanan sampai dicerna sedikit - demi sedikit dan sebagai
pencampur yakni memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil dan campur
dengan asam lambung. Kedua fungsi sekresi dan pencernaan yakni untuk
mensekresi pepsin dan HCl yang akan memecah protein menjadi pepton,
sedang amylase memecah amilum menjadi maltose, lipase memecah lemak
menjadi asam lemak dan gloserol, untuk membentuk sekresi gastrin, mensekresi
faktor intrinsik yang memungkinkan mengabsorpsi vitamin B12 usus halus yaitu
di ilieum dan mensekresi mukus yang bersifat protektif. Pada lambung makanan
berada 2-6 jam kemudian mencampur makanan dengan getah lambung (cairan
asam bening tak berwarna) yang mengandung 0.4 % HCl yang mengasamkan
94
semua makanan yang bekerja sebagai antiseptik dan desinfektan. Dalam getah
lambung terdapat beberapa enzim diantaranya pepsin yang dihasilkan oleh
pepsinogen yang berfungsi mengubah makanan menjadi bahan yang lebih mudah
larut dan renin yang berfungsi untuk membekukan susu atau membentuk kasein
dari karsinogen yang dapat larut.
d. Usus Halus

Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang
dalam keadaan hidup. Angka yang biasa di berikan enam meter adalah penemuan
setelah mati bila otot telah kehilangan tonusnya. Usus halus memanjang dari
lambung sampai katup ileo- kolika tembang bersambung dengan usus besar. Usus
halus terletak di daerah umbilicus dan di kelilingi oleh usus besar. Usus halus
terdiri dari 3 bagian yaitu :

1) Duadenum adalah bagian pertama usus halus yang 25 cm panjangnya,


berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala prankeas. Satu
lubang yaitu di sebut ampula hepatoprankeatika atau ampula pateri, sepuluh
sentimeter dari vilorus.
2) Yeyunum menempati dua per lima sebelah atas dari usus halus yang
selebihnya.
3) Ileum menempati tiga per lima akhir. Fungsi usus halus adalah mencerna
dan mengabsorsi khime dari lambung. Isinya yang cair (khime) di jalankan
oleh serangkaiaan gerakan peristaltik yang cepat. Setiap gerakan lamanya
satu second dan antara dua gerakan ada istirahat beberapa second.
Terdapat juga dua jenis gerakan lain seperti berikut :
1) Gerakan segmental ialah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus
yang satu dengan yang lain karena diikat oleh gerakan konstriksi serabut
sikuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair ini sementara bersentuhan
dengan dinding.
2) Gerakan penduluan atau ayunan menyebabkan isi usus bercampuran dua
cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran-saluran mereka yaitu
empedu melalui hati dan getah prankeas.
e. Usus besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter panjangnya adalah

94
sambungan dari usus halus dan mulai di katup ilekolik atau ileosekal yaitu
tempat sisa makanan lewat. Kolon sebagai kantung yang mekar dan terdapat
apendix vermiformis atau umbay cacing. Apendik juga terdiri atas empat lapisan
dinding yang sama seperti usus lainya hanya lapisan submukosanya berisi
sejumlah besar jaringan limfe yang di anggap mempunyai fungsi serupa dengan
tonsil. Sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian di belakang sekum
atau di sebut retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel
pada otot iliopoas. Dari sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal dan
di sebut kolon asendens. Di bawah hati berbelok pada tempat yang di sebut
flexura hepatika, lalu berjalan melalui peti daerah epigastrik dan umbilikal
sebagai kolon transversus. Di bawah limpa membelok sebagai kolon desendens.
Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang di sebut flexura sigmoid dan di
bentuk kolon sigmodieus atau kolon pelvis, dan kemudian masuk pelvis dan
menjadi rektum. Rektum ialah yang sepuluh sentimeter terbawah dari usus besar,
di mulai pada kolon sigmoideus dan berakhir pada saluran yang kira-kira tiga
sentimeter panjangnya. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang di jaga oleh otot
internal dan external.
2. Organ aksesoris
Organ aksesoris terdiri dari hati, kantung empedu, dan prankeas. Ke tiga organ ini
membantu terlaksananya sistem pencernaan makanan secara kimia.
a. Hati
Merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas dalam
rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma. Hati terbagi dalam dua
belahan utama kanan dan kiri. Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di
bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan
(fisura tranversus). Permukaannya di lintasi oleh berbagai pembuluh darah yang
masuk keluar hati. Visura longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di
permukaan bawah
b. Kantung Empedu
Merupakan sebuah kantung berbentuk terong dan merupakan membran berotot.
Letaknya di dalam sebuah lekukan disebelah permukaan bawah hati sampai di
pinggiran depannya. Panjangnya delapan kantung empedu terbagi dalam sebuah
fundus, badan, leher dan terdiri dari atas tiga pembungkus yakni :
1) Sebelah luar pembungkus serosa peritoneal
94
2) Sebelah tengah jaringan berotot tidak bergaris.
3) Sebelah dalam membran mukosa.
c. Prankeas
Merupakan kelenjar majemuk bertandan, struknya sangat mirip dengan kelenjar
ludah. Panjangnya kira-kira lima belas sentimeter mulai dari duodenum sampai
limpa. Prankeas terdiri atas tiga bagian: yaitu bagian kepala prankeas yang
terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan rongga abdomen,
badan prankeas yang letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra
lumbalis pertama dan ekor prankreas yang merupakannbagian yang runcing di
sebelah kiri dan menyentuh limpan (Pearce Evelyn, 2009).

C. ETIOLOGI
Penyebab utama dari penyakit Thypoid Abdominalis adalah salmonella enteric yang
dapat hidup di lingkungan yang kering tetapi peka terhadap klorinisasi dan
plepasteurisasi. Salmonella paratypi adalah kuman penyebab penyakit demam paratifoid.
Sedangkan yang dinamakan salmonella schotmulleri dahulu disebabkan sebagai
penyebab demam paratifoid C (Ranuh 2013).
Menurut Widagdo (2011) Etiologi dari demam tifoid adalah Salmonella typhi, termasuk
genus Salmonella yang tergolong dalam family Enterobacteriaceae. Salmonella bersifat
bergerak, berbentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan terhadap berbagai bahan kimia, tahan
beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan makanan kering, bahan farmasi,
dan tinja. Salmonella mati pada suhu 54,4º C dalam 1 jam atau 60º C dalam 15 menit. Salmonella
mempunyai antigen O (somatik) adalah komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil
pada panas dan antigen H (flagelum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga
pada S. Dublin dan S. hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu polisakarida kapsul.

D. PATOFISIOLOGI
Bakteri salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung, dan sebagian masuk ke usus
halus, mencapai plague peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Salmonella typhi
memiliki fimbria khusus yang dapat menempel ke lapisan plague peyeri, sehingga bakteri
dapat di fagositosis. Setelah menempel, bakteri memproduksi protein yang mengganggu
brush bonder usus dan memaksa sel usus untuk membentuk kerutan membran yang akan

94
melapisi bakteri dalam vesikel. Bakteri dalam vesikel akan menyebrang melewati
sitoplasma sel usus dan di presentasikan ke makrofag (Wibisono et al, 2014).
Kuman memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari serangan system
imun seperti polisakarida kapsul Vi. Penggunaan makrofag sebagai kendaraan dan gen
Salmonella patogencity Island 2 (SPI2) (Wibisono et al, 2014).
Setelah sampai kelenjar getah bening mensenterika, kuman kemudian masuk ke
aliran darah melalui duktus torasikus sehingga terjadi bakteremia pertama yang
asimtomatik. Salmonella typhi juga bersarang dalam sistem retikuloendotelial terutama
hati dan limpa, dimana kuman meninggalkan sel fagosit berkemang biak dan masuk
sirkulasi darah lagi sehingga terjadi bakteremia kedua dengan gejala sistemik.
Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang berperan dalam inflamasi lokal jaringan
tempat kuman berkembang biak merangsang pelepasan zat pirogendan leukosit jaringan
sehingga muncul demam dan gejala sistemik lain. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri. Apabila proses patologis semakin
berkembang, perorasi dapat terjadi (Wibisono et al, 2014).

E. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Wibisono et al (2014) menifestasi klinik tifoid yaitu:


1. Nyeri kepala, lemah, lesu, nyeri otot pada minggu pertama,
2. Demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu, minggu
pertama peningkatan suhu tubuh berflukutasi. Biasanya suhu tubuh meningkat
pada malam hari dan menurun pagi hari. Pada minggu kedua suhu tubuh terus
meningkat, dan minggu ketiga suhu berangsurangsur turun dan kembali normal.
3. Gangguan pada saluran cerna: halitosis (bau nafas yang menusuk), bibir kering dan
pecah-pecah lidah di tutupi selaput putih kotor (coated tongue), metorismus, mual,
tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali yang disertai nyeri perabaan.
4. Gangguan kesadaran: penurunan kesadaran (apatis, somnolen).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suriadi & Yuliani (2006) Pemeriksaan Penunjang Thypoid Abdominalis
adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi Leokopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia,
trombositopenia.

94
2. Pemeriksaan sum-sum tulang Menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.
3. Biakan empedu
Terdapat basil salmonella typosa pada urin dan tinja. Jika pada pemeriksaan
selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella typosa pada urin
dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.
4. Pemeriksaan widal
Didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih, sedangkan titer
terhadap antigen H walaupun tinggi akan akan dapat tetap tinggi setelah dilakukan
imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh

G. KOMPLIKASI
Menurut Widagdo (2011) Komplikasi dari Thypoid Abdominalis dapat digolongkan
dalam intra dan ekstra intestinal. Komplikasi intestinal diantaranya ialah :
1. Perdarahan
Dapat terjadi pada 1-10 % kasus, terjadi setelah minggu pertama dengan ditandai
antara lain oleh suhu yang turun disertai dengan peningkatan denyut nadi.
2. Perforasi usus
Terjadi pada 0,5-3 % kasus, setelah minggu pertama didahului oleh perdarahan
berukuran sampai beberapa cm di bagian distal ileum ditandai dengan nyeri abdomen
yang kuat, muntah, dan gejala peritonitis. Komplikasi ekstraintestinal diantaranya
ialah :
a. Sepsis
Ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobic
b. Hepatitis dan kholesistitis
Ditandai dengan gangguan uji fungsi hati, pada pemeriksaan amylase serum
menunjukkan peningkatan sebagai petunjuk adanya komplikasi pancreatitis
c. Pneumonia atau bronchitis
Sering ditemukan yaitu kira-kira sebanyak 10 %, umumnya disebabkan karena
adanya superinfeksi selain oleh salmonella
d. Miokarditis toksik
Ditandai oleh adanya aritmia, blok sinoatrial, dan perubahan segmen ST dan
gelombang T, pada miokard dijumpai infiltrasi lemak dan nekrosis
e. Trombosis dan flebitis

94
Jarang terjadi, komplikasi neurologis jarang menimbulkan gejala residual yaitu
termasuk tekanan intrakranial meningkat, thrombosis serebrum, ataksia serebelum
akut, tuna wicara, tuna rungu, mielitis tranversal, dan psikosis
f. Komplikasi lain
Pernah dilaporkan ialah nekrosis sumsum tulang, nefritis, sindrom nefrotik,
meningitis, parotitis, orkitis, limfadenitis, osteomilitis, dan artritis.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Ngastiyah (2005) & Ranuh (2013) pasien yang di rawat dengan diagnosis

observasi Thypoid Abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai

pasien Thypoid Abdominalis dan di berikan pengobatan sebagai berikut:

1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama,

lemah, anoreksia, dan lain-lai

3. Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat

total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian

berjalan diruangan

4. Diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.

Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan

tidak menimbulkan gas.dianjurkan minum susu 2 gelas sehari. Apabila kesadaran

pasien menurun di berikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran

dan nafsu makan anak baik dapat juga di berikan makanan lunak.

5. Pemberian antibiotik

Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri. Obat antibiotik

yang sering di gunakan adalah

a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oralatau dengan dosis 75

94
mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis. Cloramhenicol dapat

menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse terjadi lebih cepat pula dan obat

tersebut dapat memberikan efek samping yang serius

b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV di bagi dalam 6 dosis.

Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan

chloramphenicol

c. Amoxicillin dengan dosis 100mg/kg/24 jam per os dalam3 dosis

d. Trimethroprim-sulfamethoxazol masing-masing dengan dosis 50 mg

SMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis,merupakan pengobatan klinik yang

efisien

e. Kotrimoksazol dengan dosis 2x 2 tablet (satu tablet mengandung 400mg

sulfamethoxazole dan 800 mg trimetroprim. Efektifitas obat ini hampir sama

dengan cloromphenicol

Pathway
Salmonella thyposa masuk saluran pencernaan lambung

Hati Diserap oleh usus

Hapatomegali masuk peredarandarah

Nyeri ulu hati Kelenjar Linfoid

Reaksi Inflamasi
Nyeri
Gangguan pencernaan Reaksi inflamsi
parasimpatik

Anoreksia Mual Muntah Sel usus vili naik

Kelemahan Ketidakseimbangan Pelepasan set point suhu


94
Nutrisi
Hipertermia
Devisit perawatan diri:
mandi
Devisit volume
cairan
Dihipotalamus
Intoleransi aktivitas

ADL terganggu Diare Demam

Output cairan berlebih

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Fase proses
keperawatan ini cukup dua langkah: Pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan
sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk
diagnosa keperawatan (Rohmah, 2009).
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status
kesehatan klien (Rohmah,2009).
2. Identitas klien Meliputi : nama, umur , jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, status
dan alamat.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utaman Pada penyakit Thypoid Abdominalis harus dikaji gejalandan
tanda meningkatnya suhu tubuh yang intermiten dan nyeri perut serta penurunan
kesadaran. Gejala tersebut sebagai data penunjang untuk menegakan diagnose
infeksi kuman salmonella pada tubuh.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi pengembangan dari pengaruh utama yang terdiri dari :
1) Provokative /palliative yaitu faktor penyebab keluhan pada Thypoid
Abdominalis kuman salmonella masuk ke dalam tubuh melalui makanan
atau minuman yang tercemar kemudian setelah masa inkubasi akan muncul

94
gejala dan biasanya gejala dirasakan semakin berat apabila kondisi tubuh
dalam keadaan lemah.
2) Qualitative /quantity bagaimana gejala dirasakan? Apakah menyebar atau
lokal, berapa kali gejala dirasakan?
3) Region Dibagian mana gejala dirasakan , apakah gejala dirasakan menyebar
kebagian lain? Adanya nyeri perut biasanya akan terasa pada daerah perut
bagian atas.
4) Skala Seberapa parah gejala dirasakan, apakah masih dalam batas normal
atau terasa nyeri hebat?
5) Time Kapan gejala timbul , seberapa sering gejala timbul ?
c. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang sama penyakitnya dengan pasien? Apakah
keluarga mempunyai herediter seperti diabetes
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan inspeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi. Adapun pengkajian fisik tersebut di lakukan secara sistematis mulai dari
kepala sampai ujung kaki.
a. Sistem pernafasan
Tanda : respirator rate normal kecuali bila terjadi infeksi sekunder yaitu
bronkopneumonia, penggunaan obat bantu pernafasan kemungkinan terjadi
karena tirah baring yang lama, mukosa mulut kering.
b. Sistem Kardiovaskuler
Tanda : takikardi, respon terhadap demam, proses inflamasi dan nyeri.
c. Sistem pencernaan
Tanda : pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-
pecah lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa di sertai
nyeri pada perabaan. Gejala : lidah kotor biasanya didapat konstipasi bahkan
dapat terjadi diare.
d. Sistem persyarafan
Tanda : kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu
apatis sampai samnolen , jarang terjadi sopor , coma, gelisah.
e. Sistem penglihatan
Komplikasi Thypoid Abdominalis tidak mengenai system penglihatan . Apabila
94
ada merupakan manifestasi dari gejala penyerta.
f. Sistem Genitourinaria
Pada biakan urine di dapatkan bakterimia, pada genetalia, eksternal tidak di
dapatkan kelainan. Produksi urine normal, warna jernih dan tidak di
dapatkan hematuria. Frekuensi menurun, kandung kemih kosong.
g. Sistem musculoskeletal
Gejala : merasa lemah, kekuatan otot normal.
h. Sistem integument
Kulit hangat , warna kulit normal . Suhu tubuh meningkat, turgor kulit buruk.

i. Pola kebiasaan sehari-hari


Pola makan akan berubah karena adanya mual dan muntah, adanya penurunan
berat badan , pola tidur pada pasien Thypoid Abdominalis akan berubah
karena adanya nyeri pada perut dan kecemasan, personal hygiene kurang
terawat, pola BAB pada pasien Thypoid Abdominalis berubah kemungkinan
adanya diare atau konstipasi, pola BAK mungkin terjadi anuria karena
dehidrasi karena diare yang berat. Demikian pula dengan pola aktivitas dan
kebiasaan akan mengalami perubahan dikarenakan adanya gangguan pada pola-
pola tersebut diatas (Nursalam, 2008)
5. Analisa Data
Analisa data merupakan tahap penting yang kita lakukan setelah data klien
terkumpul sehingga berguna untuk menegakkan masalah atau kebutuhan klien
(Prihardjo, 2006)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang menjelaskan respons
manusia (status kesehatan atau risiko perubahan pola) dari individu atau kelompok
dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan
mengubah (Nurarif .A.H, 2015). Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhus
abdominalis berdasarkan prioritas masalah adalah :

94
Tabel 2.1 Diagnosa Keperawatan

94
No Diagnosa Keperawatan Batasan Karakteristik

1. Hipertermi Batasan Karakteristik:


Definisi : suhu tubuh a. kenaikan suhu tubuh diatas rentang
naik diatas rentang normal normal
b. serangan atau konvulsi (kejang)
c. kulit kemerahan
d. pertambahan RR
e. takikardi
f. saat disentuh tangan terasa hangat .
Faktor faktor yang berhubungan :
a. penyakit/ trauma
b. peningkatan metabolisme
c. aktivitas yang berlebih
d. pengaruh medikasi/anastesi
e. ketidakmampuan/penurunan
kemampuan untuk
berkeringat
f. terpapar dilingkungan panas
g. dehidrasi
h. pakaian yang tidak tepat

2. Devisit volume cairan Batasan Karakteristik :


a. Kelemahan
Definisi :Penurunan cairan b. Haus
intravaskuler,interstisial c. Penurunan turgor kulit/lidah
, dan/atau d. Membran mukosa/kulit kering
intrasellular.Ini e. Peningkatan denyut nadi,
mengarah ke dehidrasi, penurunan tekanan darah,
kehilangan cairan penurunan volume/tekanan nadi
dengan pengeluaran f. Pengisian vena menurun
sodium g. Perubahan status mental
h. Konsentrasi urine meningkat
i. Temperatur tubuh meningkat
j. Hematokrit meninggi
k. Kehilangan berat badan seketika
(kecuali pada third spacing)

Faktor yang berhubungan:


Kehilangan volume cairan secara
aktif, Kegagalan mekanisme
pengaturan.
3. Nyeri akut Batasan karakteristik :
Definisi : Sensori yang tidak a. Laporan secara verbal atau non
menyenangkan dan pengalaman verbal
emosional yang muncul secara b. Fakta dari observasi
aktual atau potensial kerusakan c. Posisi antalgic untuk menghindari
jaringan atau menggambarkan adanya nyeri
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri d. Gerakan melindungi
Internasional): serangan mendadak94 e. Tingkah laku berhati-hati
atau pelan intensitasnya dari f. Muka topeng
ringan sampai berat yang dapat g. Gangguan tidur (mata sayu,
diantisipasi dengan akhir yang dapat tampak capek, sulit atau gerakan
C. RENCANA / INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Nursing Outcome Nursing Intervention
Keperawatan Classification Classification
(NOC) (NIC)
Hipertermia NOC : Fever treatment
Thermoregulation 1. Monitor suhu sesering mungkin
Kriteria Hasil : 2. Monitor IWL
1. Suhu tubuh 3. Monitor warna dan suhu kulit
dalam rentang 4. Monitor tekanan darah, nadi dan
normal RR
2. Nadi dan RR 5. Monitor penurunan tingkat
dalam rentang kesadaran
normal 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct
3. Tidak ada 7. Monitor intake dan output
perubahan warna 8. Berikan anti piretik
kulit dan tidak 9. Berikan pengobatan untuk
ada pusing, mengatasi penyebab demam
merasa nyaman 10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Berikan cairan intravena
13. Kompres pasien pada lipat paha
dan aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
16. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
17. Rencanakan monitoring suhu
secara kontinyu
18. Monitor TD, nadi, dan RR
19. Monitor warna dan suhu kulit
20. Monitor tanda-tanda hipertermi
dan hipotermi
21. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi
22. Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
23. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat panas
24. Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan

94
kemungkinan efek negatif dari
kedinginan
25. Beritahukan tentang
indikasi terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang
diperlukan
26. Ajarkan indikasi dari hipotermi
dan penanganan yang diperlukan
27. Berikan anti piretik jika perlu
Vital sign Monitoring
28. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
29. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
30. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
31. Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
32. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
33. Monitor kualitas dari nadi
34. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
35. Monitor suara paru
36. Monitor pola pernapasan
abnormal
37. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
38. Monitor sianosis perifer
39. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
40. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital sign
Devisit volume cairan NOC: Fluid management
1. Fluid balance
2. Hydration 1. Pertahankan catatan intake dan
3. Nutritional Status : output yang akurat
Food and Fluid 2. Monitor status hidrasi
Intake ( kelembaban membran mukosa,
Kriteria Hasil : nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan
1. Mempertahankan
3. Monitor hasil lab yang sesuai
urine output sesuai
dengan retensi cairan (BUN ,
94
dengan usia dan BB, Hmt , osmolalitas urin )
BJ urine normal, HT 4. Monitor vital sign
normal 5. Monitor masukan makanan /
2. Tekanan darah, nadi, cairan dan hitung intake kalori
suhu tubuh dalam harian
batas normal 6. Kolaborasi pemberian cairan IV
3. Tidak ada tanda 7. Monitor status nutrisi
tanda dehidrasi, 8. Berikan cairan
Elastisitas turgor 9. Berikan diuretik sesuai interuksi
kulit baik, membran 10. Berikan cairan IV pada
mukosa lembab, suhu ruangan
tidak ada rasa haus 11. Dorong masukan oral
yang berlebihan 12. Berikan penggantia nesogatrik
sesuai output
13. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
14. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
15. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
16. Atur kemungkinan tranfusi
17. Persiapan untuk tranfusi
Nyeri akut NOC 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
1. Pain Level komprehensif termasuk lokasi,
2. Pain control karakteristik, durasi, frekuensi,
3. Comfort level kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
Kriteria Hasil : ketidaknyamanan
1. Mampu mengontrol 3. Gunakan teknik komunikasi
nyeri (tahu penyebab terapeutik untuk mengetahui
nyeri, mampu pengalaman nyeri pasien.
menggunakan tehnik 4. Kaji kultur yang
nonfarmakologi mempengaruhi respon nyeri
untuk mengurangi 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
nyeri, mencari lampau
bantuan) 6. Evaluasi bersama pasien dan tim
2. Melaporkan bahwa kesehatan lain tentang
nyeri berkurang ketidakefektifan kontrol nyeri
dengan menggunakan masa lampau
manajemen nyeri 7. Bantu pasien dan keluarga untuk
3. Mampu mengenali mencari dan menemukan
nyeri (skala, dukungan
intensitas, frekuensi 8. Kontrol lingkungan yang dapat
dan tanda nyeri) mempengaruhi nyeri seperti suhu
94
4. Menyatakan rasa ruangan, pencahayaan dan
nyaman setelah nyeri kebisingan
berkurang 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
5. Tanda vital dalam 10. Pilih dan lakukan penanganan
rentang normal nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Ketidakseimbangan NOC : Weight Management
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh 1. Nutritional Status : 1. Diskusikan bersama pasien
food and Fluid Intake mengenai hubungan antara
2. Nutritional Status : intake makanan, latihan,
nutrient Intake peningkatan BB dan penurunan
3. Weight control BB
2. Diskusikan bersama pasien
Kriteria Hasil : mengani kondisi medis yang
dapat mempengaruhi BB
1. Mengerti factor yang 3. Diskusikan bersama pasien
meningkatkan berat mengenai kebiasaan, gaya hidup
badan dan factor herediter yang dapat
2. Mengidentfifikasi mempengaruhi BB
tingkah laku dibawah 4. Diskusikan bersama pasien
kontrol klien mengenai risiko yang
3. Memodifikasi diet berhubungan dengan BB
dalam waktu yang berlebih dan penurunan BB.
lama untuk 5. Dorong pasien untuk merubah
mengontrol berat kebiasaan makan
badan 6. Perkirakan BB badan ideal pasien
4. Penurunan berat
badan 1-2 Nutrition Management
pounds/mgg
5. Menggunakan energy 7. Kaji adanya alergi makanan
94
untuk aktivitas sehari 8. Kolaborasi dengan ahli gizi
hari untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien
9. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake Fe
10. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan
vitamin C
11. Berikan substansi gula
12. Yakinkan diet yang dimakan
mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
13. Berikan makanan yang terpilih (
sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
14. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian.
15. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori
16. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
17. Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan.
Intoleransi aktivitas NOC : Energy Management
1. Energy conservation
2. Self Care : ADLs 1. Observasi adanya pembatasan
Kriteria Hasil : klien dalam melakukan aktivitas
2. Dorong anal untuk
1. Berpartisipasi dalam mengungkapkan perasaan
aktivitas fisik tanpa terhadap keterbatasan
disertai peningkatan 3. Kaji adanya faktor yang
tekanan darah, nadi menyebabkan kelelahan
dan RR 4. Monitor nutrisi dan sumber
2. Mampu melakukan energi adekuat
aktivitas sehari hari 5. Monitor pasien akan adanya
(ADLs) secara kelelahan fisik dan emosi secara
mandiri berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
94
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi
yang tepat
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
4. Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda
6. Bantu untu mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emosi,
social dan spiritual
Devisit perawatan diri NOC : Self Care assistane : ADLs

Self care : Activity of 1. Monitor kemampuan klien untuk


Daily Living (ADLs) perawatan diri yang mandiri
Kriteria Hasil : 2. Monitor kebutuhan klien untuk
alat- alat bantu untuk kebersihan
1. Klien terbebas dari diri, berpakaian, berhias,
bau badan toileting dan makan
2. Menyatakan 3. Pertimbangkan usia klien jika
kenyamanan terhadap mendorong pelaksanaan aktivitas
94
kemampuan untuk sehari-hari
melakukan ADLs 4. Sediakan bantuan sampai klien
3. Dapat melakukan mampu secara utuh untuk
ADLS dengan melakukan self-care
bantuan 5. Dorong klien untuk
melakukan
aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki
6. Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya.
7. Ajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
8. Berikan aktivitas rutin sehari-
hari sesuai kemampuan
9. Berikan peralatan kebersihan
pribadi (seperti: deodorant, sikat
gigi dan sabun mandi )
10. Ciptakan rutinitas
aktivitas
perawatan diri

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah. Muhamad. 2012. Medikal Bedah untuk mahasiswa. DIVA Press: Jogjakarta

Debora. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisisk. Jakarta: Salemba medika.
Inawati, 2017. Demam Tifoid. Artikel Kesehatan Departemen Patologi Anatomi Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Kemenkes RI, 2011. Laporan Data Angka Demam Thypoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Dinas: Jakarta.

94
Librianty, 2014. Gangguan Metabolisme Hipertermia. Artikel kesehatan diakses di
http://www.kerjanya.net
Nelwan, 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jurnal penelitian CDK-192/vol. 39
no. 4 Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FKUI/RSCM-Jakarta.

Pearce, Evelyn C.( 2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta :Gramedia.
Purba, dkk, (2017). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan
peluang. Jurnal Penelitian Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, Juni 2016, 99 –
108.

Potter & Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik
Volume 1 Edisi 4. EGC : Jakarta
Priharjo, Robert. (2006). Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC Republik
Indonesia, Ranuh, IG.N. Gde, 2013, Beberapa Catatan Kesehatan Anak,
Jakarta: CV Sagung Seto.
Rohmah, Nikmatur (2009). Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Jakarta :Ar.Ruzz
media.
Rohman. 2012. Pedoman Praktik Keperawatan. EGC : Jakarta.
Suriadi dan Yulianni. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta :Sagung
Seto Taylor.
Syaiful. (2015). Fungsi dan Peran Perawat dalam Menyelenggarakan Praktik Mandiri
di Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Wibisono Elita et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Widagdo, (2012). Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan Demam. Jakarta
:Sagung Seto.
Widoyono, (2011), Penyakit Tropis Epidimologi, Penuluran, Pencegahan &
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Wijayaningsih, Kartika sari. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : CV. Trans
Info Media.
Yudi,G. (2008). Tinjauan umum Anamnesis Pediatri. Jakarta : FKUI.

94

Anda mungkin juga menyukai