DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
KELAS : A2 2019
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah “Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Stepen Jhonson” dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak bisa untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas di mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III.
Makalah ini tidak hanya diambil dari satu sumber saja, melainkan dari berbagai
sumber.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada dosen
pembimbing dalam menyusun makalah ini.
Kelompok 6
i
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
1.3. Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS.....................................................................................4
2.1 Definisi................................................................................................................. 4
2.2 Etiologi................................................................................................................. 4
2.3 Petofisiologi......................................................................................................... 5
2.4 Manifestasi Klinik................................................................................................ 7
2.5 Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................................8
2.6 Komplikasi........................................................................................................... 9
2.7 Prognosis.............................................................................................................. 9
2.8 Penatalaksaan....................................................................................................... 9
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS.................................................... 12
BAB IV ANALISIS KASUS......................................................................................... 17
4.1 Etiologi............................................................................................................... 17
4.2 Patofisiologi....................................................................................................... 17
4.3 Penatalaksanaan................................................................................................. 19
4.4 Komplikasi......................................................................................................... 23
4.5 Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................................23
4.6 Analisa Data....................................................................................................... 24
4.7 Rencana Asuhan Keperawatan...........................................................................26
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 30
5.1 Kesimpulan.........................................................................................................30
5.2 Saran...................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 31
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti
HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson
karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven
Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat,
dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-
merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan Steven
Johnson Syndrom.
b. Tujuan Khusus
1) Menjelaskan definisi, etiologi Steven Johnson, klasifikasi Steven Johnson,
manifestasi klinis Steven Johnson, patofisiologi Steven Johnson,komplikasi
etiologi Steven Johnson,pemeriksaan penunjang Steven Johnson,
penatalaksanaan Steven Johnson, asuhan keperawatan Steven Johnson.
2
2) Menjelasakan hasil asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan
Steven Johnson
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel /
bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium
dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 :
136 ). Jadi sindrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada
selaput lendir oritisium mata genital.
2.2 Etiologi
Penyebab dari penyakit SJS ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa
faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :
No Penyebab Keterangan
1. Infeksi virus jamur • Herpes simpleks, Mycoplasma
Bakteri pneumoniae, vaksinia
Parasit koksidioidomikosis, histoplasma.
• streptokokus, Staphylococcs
haemolyticus, Mycobacterium
tuberculosis, salmonella
• Malaria
4
2.3 Patofisiologi
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000:
147) .
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
5
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
6
2.4 Manifestasi Klinik
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk
pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal.
5. Kelainan mata
Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera
mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
7
ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa
okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
a. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
d. Pemeriksaan elektrolit
e. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
8
2.6 Komplikasi
2.7 Prognosis
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat
menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun
angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu
gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan
beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
2.8 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
9
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa
hari. Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila
terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin
dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
10
5. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in
orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.
11
BAB III
3.1 Pengkajian
f. Data Fokus
g. Data Penunjang
12
b. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
c. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
Rasional : meningkatkan
relaksasi, menurunkan
tegangan otot dan
kelelahan umum
Pantau TTV.
Rasional: metode IV
sering digunakan pada
awal untuk
memaksimalkan efek obat
13
Berikan analgetik sesuai
indikasi.
Rasional : menghilangkan
rasa nyeri
Rasional :
Menentukan garis dasar
dimana perubahan pada
status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi
yang tepat untuk
mencegah infeksi lebih
lanjut
14
Membantu mencegah
distensi gaster /
ketidaknyamanan
Kalori protein dan vitamin
untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan
metabolik,
mempertahankan berat
badan dan mendorong
regenerasi jaringan.
Meningkatkan nafsu
makan
Jelaskan pentingnya
pembatasan energy
15
Rasional: energi penting
untuk membantu proses
metabolisme tubuh
Rasional: Memberikan
keakuratan terhadap
penglihatan dan
perawatan.
Sesuaikan lingkungan
dengan kemampuan
pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan
self care dan mengurangi
ketergantungan.
16
BAB IV
ANALISIS KASUS
Learning outcome:
Tn.J usia 38 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan badan terasa lemas, lemah tidak
berenergi, terasa pegal, badan terasa gatal, sakit kepala, nyeri ketika menelan. Klien
sebelumnya mengalami demam dan berobat pada bidan di dekat rumahnya. Setelah
mengkonsumsi antibiotik dari bidan tersebut, klien mengalami gejala gatal pada kulit
dan memerah. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan bula pada seluruh tubuh
pasien, mata sulit dibuka, terdapat konjungtivitas, edema, pada area bibir terdapat
stomatitis yang luas. TD: 110/ 86 mmHg, N: 68x/ menit, RR: 22x/ menit, Suhu: 37,2oC.
4.1 Jelaskan etiologi dari penyakit yang dialami Tn.J pada kasus diatas!
Penyakit yang dialami Tn. J adalah Steve Jhonson Syndrom dimana penyakit ini
terjadi dikarenakan berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-
Johnson diantaranya adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide,
tetrasiklin, analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin
antipirin, chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan
17
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan.
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
18
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria,
kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang
harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim
pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk
menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas.
a) Penatalaksanaan Umum
19
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain
yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga
28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan
karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur
meningkatan rasa nyaman pasien. Pasien SSJ dan NET mengalami status
katabolik yang tinggi sehingga memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi
dan protein berhubungan dengan luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral
lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat ditoleransi dengan lebih baik
dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi
parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis.
Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.
20
hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir
seperti vaselin, lanolin.
b) Penatalaksanaan Spesifik
1) Kortikosteroid sistemik
21
masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan
terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA
sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan
keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih
diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika
diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat diberikan dosis 1
gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase awal penyakit yaitu
dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. Efek samping IVIG termasuk ginjal ,
hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang serius meningkat
pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada penderita
gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati
pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.
3) Siklosporin A
4) Agen TNF-α
22
memicu epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil
digunakan dalam sejumlah kecil pasien.
4.4 Apa saja akibat lanjut dari penyakit yang dialami Tn.J?
4.5 Apa pemeriksaan lebih lanjut yang perlu dilakukan pada kasus di atas?
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
23
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
4.6 Buatlah analisa data berdasarkan skenario kasus di atas, jelaskan patofisiologi
singkatnya!
DS: ↓
24
memerah Jaringan kulit dan mukosa
eritema
Integritas kulit
Kehilangan plasma
Gangguan
25
ketidakseimbangan cairan
terdapat ↓
konjungtivitas
Kelainan selaput lendir dan
DS: ofisium
26
kulit dan jaringan membaik Terapeutik
dengan kriteria hasil:
Ubah posisi tiap 2 jam
- kerusakan jaringan jika tirah baring
menurun 5 Gunakan produk
berbahan petolium atau
- kerusakan lapisan kulit
minyak pada kulit kering
menururn 5
Gunakan produk
berbahan ringan atau
-kemerahan menururn 5
alami dan hipoalargenik
pada kulit sensitif
Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
Anjurkan menggunkan
pelembab
Anjurkan minum air
yang cukup
Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan
konsumsi buah dan sayur
Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
Anjurkan menggunakan
tabir surya spf minimal
30
Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
27
2. Resiko Keseimbangan cairan Manajemen cairan
ketidakseimbangan
Setelah dilakukan Observasi
cairan d.d edema
intervensi keprawatan
Monitor status hidrasi
selama .. maka
Monitor berat badan
keseimbangan cairan
harian
membaik dengan kriteria
hasil:
Terapeutik
- edema menurun 5
Catat intake output dan
hitung balance cairan
selam 24 jam
Berikan asupan cairan
sesuai kebutuhan
Berikan cairan intravena
jika perlu
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
diuretik jika perlu
28
- nafsu makan membaik 5 Timbang berat badan
secara rutin
- memran mukosa
Diskusi kan perilaku
membaik 5
makan dan jumlah
aktivitas fisik
Rencanakan program
penhobatan untuk
perawatan di rumah
Edukasi
Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan pemicu
pengeluaran makanan
Ajarkan pengaturan diet
yang tepat
Ajarkan keterampilan
koping untuk
menyelesaikan masalah
perilaku makan
Kolaborasi
29
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Steven Johnson Adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura( Mochtar Hamzah, 2005 : 147 ).
5.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya
30
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media Aesculapius :
Jakarta
31