Anda di halaman 1dari 34

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stepen Jhonson

Dosen Pengampu : Ns. Mulyanti Roberto,S. Kep, M. Kep

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
KELAS : A2 2019

Vita Delfi Yanti 1911312023

Gina Fayzah Zein 1911311005

Suci Faisal 1911312041

Ariesta Dwi Putri 1911312047

Fajar Audio 1911313028

Moedis Chintia Ridani 1911312011

Khairunnisa hazira 1911313001

Cantika Dwi Putri 1911312065

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah “Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Stepen Jhonson” dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak bisa untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas di mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III.

Makalah ini tidak hanya diambil dari satu sumber saja, melainkan dari berbagai
sumber.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada dosen
pembimbing dalam menyusun makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat terima kasih.

Padang, 11 Oktober 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
1.3. Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS.....................................................................................4
2.1 Definisi................................................................................................................. 4
2.2 Etiologi................................................................................................................. 4
2.3 Petofisiologi......................................................................................................... 5
2.4 Manifestasi Klinik................................................................................................ 7
2.5 Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................................8
2.6 Komplikasi........................................................................................................... 9
2.7 Prognosis.............................................................................................................. 9
2.8 Penatalaksaan....................................................................................................... 9
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS.................................................... 12
BAB IV ANALISIS KASUS......................................................................................... 17
4.1 Etiologi............................................................................................................... 17
4.2 Patofisiologi....................................................................................................... 17
4.3 Penatalaksanaan................................................................................................. 19
4.4 Komplikasi......................................................................................................... 23
4.5 Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................................23
4.6 Analisa Data....................................................................................................... 24
4.7 Rencana Asuhan Keperawatan...........................................................................26
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 30
5.1 Kesimpulan.........................................................................................................30
5.2 Saran...................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS atau dikenal juga


dengan sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat, infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker
merupakan faktor risiko penyakit ini. Efek samping obat ini mengenai kulit, mata
terutama selaput mukosa. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M.
Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ
merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta di ruang rawat inap di
bangsal Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, yang didiagnosis SSJ, SSJ overlap NET,
dan NET periode Agustus 2011-Agustus 2013. Hasil menunjukkan, bahwa terdapat 27
kasus SSJ, SSJ overlap NET, dan NET dari 485 pasien yang dirawat. Dari 27 pasien,
sebanyak 15 pasien (3,09%) didiagnosis SSJ, 7 pasien (1,44%) dengan SSJ overlap
NET, dan 5 pasien (1,030%) didiagnosis sebagai NET. Pada penelitian ini didapatkan,
bahwa angka kejadian SSJ lebih tinggi dibandingkan dengan NET selama periode
Agustus 2011-Agustus 2013. Penanganan NET yang komprehensif, dapat membantu
klinisi dalam menurunkan angka kematian pada pasien dengan NET di rumah sakit.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar
1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal
hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah
beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul
demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka

1
seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti
HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson
karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven
Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat,
dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-
merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.

1.2. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian Steven Johnson?

b. Apa etiologi dari Steven Johnson?

c. Apa Klasifikasi dari Steven Johnson ?

d. Apa manifestasi klinis Steven Johnson?

e. Bagaimana patofisiologi dari Steven Johnson?

f. Apa komplikasi dari Steven Johnson?

g. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk Steven Johnson?

h. Bagaimana penatalaksanaan untuk sindrom Steven Johnson?

i. Mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit Steven Johnson?

1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan Steven
Johnson Syndrom.
b. Tujuan Khusus
1) Menjelaskan definisi, etiologi Steven Johnson, klasifikasi Steven Johnson,
manifestasi klinis Steven Johnson, patofisiologi Steven Johnson,komplikasi
etiologi Steven Johnson,pemeriksaan penunjang Steven Johnson,
penatalaksanaan Steven Johnson, asuhan keperawatan Steven Johnson.

2
2) Menjelasakan hasil asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan
Steven Johnson

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi

Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel /
bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium
dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 :
136 ). Jadi sindrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada
selaput lendir oritisium mata genital.

2.2 Etiologi

Penyebab dari penyakit SJS ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa
faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :

No Penyebab Keterangan
1.  Infeksi virus jamur • Herpes simpleks, Mycoplasma
 Bakteri pneumoniae, vaksinia
 Parasit koksidioidomikosis, histoplasma.
• streptokokus, Staphylococcs
haemolyticus, Mycobacterium
tuberculosis, salmonella
• Malaria

2. Obat salisilat, sulfat, penisilin, etambutol,


tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif,
klorpromazin, karbamazepin, kinin,
analgetik/antipiretik
3. Makanan Cokelat
4. Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
5. Lain – lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

4
2.3 Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang


diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.Patogenesisnya belum jelas, disangka
disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.

Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000:
147) .

a. Reaksi Hipersensitif tipe III.

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

b. Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T


penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi

5
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.

6
2.4 Manifestasi Klinik

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)

3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk
pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal.

4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian


atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak
dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernafas.

5. Kelainan mata
Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera
mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya

7
ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa
okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.

6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.

7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium:

Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.

b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.

c. Determine renal function and evaluate urine for blood.

d. Pemeriksaan elektrolit

e. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.

f. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan


kolonoskopi dapat dilakukan

g. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

h. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung


ditegakkannya diagnosa.

8
2.6 Komplikasi

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai


berikut:

a. Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan


b. Gastroenterologi - Esophageal strictures
c. Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
d. Pulmonari – pneumonia
e. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder
f. Infeksi sitemik, sepsis
g. Kehilangan cairan tubuh, shock

2.7 Prognosis

SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat
menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun
angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu
gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan
beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

2.8 Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan

9
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa
hari. Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila
terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin
dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

10
5. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in
orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.

11
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3.1 Pengkajian

a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien


b. Gambaran klinik
c. Histopatologi
d. Riwayat kesehatan : riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta
zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
e. Pemeriksaan kulit infeksi

I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor

P : Turgor kulit, edema

f. Data Fokus

DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas


menurun.

DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah untuk melihat,


tampak lemas dalam aktivitas

g. Data Penunjang

 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia


 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis
dan edema intrasel di epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.

3.2 Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit.

12
b. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
c. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa NOC NIC


Gangguan rasa Tujuan :  Kaji keluhan nyeri,
nyaman, nyeri b.d. perhatikan lokasi dan
 Nyeri berkurang atau
inflamasi pada kulit intensitasnya
hilang
 Rasional: nyeri hampir
Kriteria Hasil :
selalu ada pada beberapa
derajat beratnya
 Melaporkan nyeri
keterlibatan jaringan
berkurang
 Menunjukkan ekspresi
 Berikan tindakan
wajah/postur tubuh
kenyamanan dasar ex:
rileks
pijatan pada area yang
sakit

 Rasional : meningkatkan
relaksasi, menurunkan
tegangan otot dan
kelelahan umum

 Pantau TTV.

 Rasional: metode IV
sering digunakan pada
awal untuk
memaksimalkan efek obat

13
 Berikan analgetik sesuai
indikasi.

 Rasional : menghilangkan
rasa nyeri

Gangguan integritas Tujuan : Diharapkan  Observasi kulit setiap hari


kulit b.d. inflamasi inflamasi dermal dan catat turgor sirkulasi dan
dermal dan epidermal epidermal berkurang sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Kriteria hasil :
 Gunakan pakaian tipis dan
menunjukkan kulit dan
alat tenun yang lembut
jaringan kulit yang utuh
 Kolaborasi dengan tim
medis.

 Rasional :
Menentukan garis dasar
dimana perubahan pada
status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi
yang tepat untuk
mencegah infeksi lebih
lanjut

Gangguan nutrisi Tujuan : Nafsu makan  Berikan makanan sedikit


kurang dari kebutuhan meningkat tapi sering
tubuh b.d. kesulitan  Kolaborasi dengan tim
Kriteria hasil :
menelan gizi
Menunjukkan berat badan
 Hidangkan makanan
stabil / peningkatan berat
dalam keadaan hangat
badan
Rasional :

14
 Membantu mencegah
distensi gaster /
ketidaknyamanan
 Kalori protein dan vitamin
untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan
metabolik,
mempertahankan berat
badan dan mendorong
regenerasi jaringan.
Meningkatkan nafsu
makan

Gangguan intoleransi Kriteria Hasil : klien  Kaji respon individu


aktivitas b.d. melaporkan peningkatan terhadap aktivitas
kelemahan fisik toleransi aktivitas
 Rasional: mengetahui
tingkat kemampuan
individu dalam
pemenuhan aktivitas
sehari-hari.

 Bantu klien dalam


memenuhi aktivitas
sehari-hari dengan tingkat
keterbatasan yang dimiliki
klien

 Rasional: energi yang


dikeluarkan lebih optimal

 Jelaskan pentingnya
pembatasan energy

15
 Rasional: energi penting
untuk membantu proses
metabolisme tubuh

 Libatkan keluarga dalam


pemenuhan aktivitas klien

 Rasional: klien mendapat


dukungan psikologi dari
keluarga

Gangguan persepsi Tujuan : Kooperatif dalam  Kaji dan catat ketajaman


sensori: kurang tindakan pengelihatan
penglihatan b.d
Kriteria Hasil : Menyadari  Rasional : Menetukan
konjungtifitis
hilangnya pengelihatan kemampuan visual
secara permanen
 Kaji deskripsi fungsional
apa yang dapat
dilihat/tidak.

 Rasional: Memberikan
keakuratan terhadap
penglihatan dan
perawatan.

 Sesuaikan lingkungan
dengan kemampuan
pengelihatan:

 Rasional: Meningkatkan
self care dan mengurangi
ketergantungan.

16
BAB IV

ANALISIS KASUS

Learning outcome:

Mahasiswa mampu membuat rencana asuhan keperawatan sesuai dengan skenario


kasus yang ada.

Tn.J usia 38 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan badan terasa lemas, lemah tidak
berenergi, terasa pegal, badan terasa gatal, sakit kepala, nyeri ketika menelan. Klien
sebelumnya mengalami demam dan berobat pada bidan di dekat rumahnya. Setelah
mengkonsumsi antibiotik dari bidan tersebut, klien mengalami gejala gatal pada kulit
dan memerah. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan bula pada seluruh tubuh
pasien, mata sulit dibuka, terdapat konjungtivitas, edema, pada area bibir terdapat
stomatitis yang luas. TD: 110/ 86 mmHg, N: 68x/ menit, RR: 22x/ menit, Suhu: 37,2oC.

4.1 Jelaskan etiologi dari penyakit yang dialami Tn.J pada kasus diatas!

Penyakit yang dialami Tn. J adalah Steve Jhonson Syndrom dimana penyakit ini
terjadi dikarenakan berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-
Johnson diantaranya adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide,
tetrasiklin, analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin
antipirin, chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan

4.2 Jelas patofisiologi penyakit yang terjadi pada Tn.J tersebut!

Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi


kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen

17
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan.

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam


jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan
mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel,
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi


berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai
reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-
sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.Pada beberapa kasus
yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta
kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan
berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor
penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul
akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).

Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

18
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria,
kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.

4.3 Bagaimanakah penatalaksanaan untuk kasus tersebut?

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang
harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim
pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk
menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas.

a) Penatalaksanaan Umum

1) Penghentian Obat Penyebab

Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari


segala obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil
akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi
penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk
menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis
pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian
lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek
dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang
mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki
resiko kematian yang lebih tinggi

2) Menjaga Keseimbangan Cairan, Termogulasi dan Nutrisi

SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan


dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran

19
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain
yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga
28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan
karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur
meningkatan rasa nyaman pasien. Pasien SSJ dan NET mengalami status
katabolik yang tinggi sehingga memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi
dan protein berhubungan dengan luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral
lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat ditoleransi dengan lebih baik
dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi
parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis.
Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.

3) Perawatan Mata dan Mulut

Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap


SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh
skar konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering
dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa
pasien penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep mata.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan
topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat
mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila
penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu
panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang
halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang
diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat,

20
hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir
seperti vaselin, lanolin.

b) Penatalaksanaan Spesifik

1) Kortikosteroid sistemik

Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi


menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan
penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid
tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan
kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak
kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat
direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan SSJ/NET. Kortikosteroid
dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran
yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara
bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari.
Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya
penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid
berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.
Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan
termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.

2) Immunoglobulin Intravena (IVIG)

Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan


pada demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan
oleh aktivitas anti- Fas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia
normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh beberapa studi dan laporan kasus
tetapi disangkal oleh beberapa yang lainnya.IVIG mengandung antibodi imun
yang mengganggu jalur apoptosis yang diperantarai oleh FasL dan reseptor.
Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam setelah
munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan, walaupun

21
masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan
terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA
sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan
keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih
diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika
diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat diberikan dosis 1
gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase awal penyakit yaitu
dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. Efek samping IVIG termasuk ginjal ,
hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang serius meningkat
pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada penderita
gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati
pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.

3) Siklosporin A

Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan


dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam
pengobatan SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET
diterapi dengan siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan
reepitelisasi yang cepat dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan
dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus
individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau
oral juga telah dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa
toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24
hari, biasanya hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping termasuk
peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid
sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di
kebanyakan sentra.

4) Agen TNF-α

Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5


mg/kgbb TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan

22
memicu epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil
digunakan dalam sejumlah kecil pasien.

5) Plasmafaresis atau Hemodialisis

Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah


mendorong perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator
peradangan seperti sitokin. Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan
keamanannya dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun,
mempertimbangkan tida SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak
adanya dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan pemasangan kateter
intravaskular, penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.

4.4 Apa saja akibat lanjut dari penyakit yang dialami Tn.J?

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai


berikut:

 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan


 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
 Pulmonari – pneumonia
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis
 Kehilangan cairan tubuh, shock

4.5 Apa pemeriksaan lebih lanjut yang perlu dilakukan pada kasus di atas?

1. Pemeriksaan laboratorium:

Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.

23
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.

3. Determine renal function and evaluate urine for blood.

4. Pemeriksaan elektrolit

5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.

6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan


kolonoskopi dapat dilakukan

7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung


ditegakkannya diagnosa.

4.6 Buatlah analisa data berdasarkan skenario kasus di atas, jelaskan patofisiologi
singkatnya!

Analisa data Patofisiologi Masalah

DO: Kompleks antigen & Gangguan integritas kulit


antibodi
 Hasil pemeriksaan
fisik ditemukan ↓
eritema
Jaringan kapiler rusak
 Pada area bibir

terdapat stomatitis
yang luas Akumulasi netrofil

DS: ↓

 badan terasa gatal Reaksi radang

 gatal pada kulit dan ↓

24
memerah Jaringan kulit dan mukosa
eritema

Inflamasi dermal dan


epidermal

Integritas kulit

Gangguan integritas kulit

DO: Reaksi alergi type III Resiko ketidakseimbangan


cairan
 Edema ↓

 bula pada seluruh Akumulasi netrofil


tubuh pasien,

DS:
Reaksi radang
 dengan keluhan badan

terasa lemas, lemah
tidak berenergi, terasa Vesuka atau bula
pegal,

Kehilangan plasma

Kehilangan volume cairan

Gangguan

25
ketidakseimbangan cairan

DO : Reaksi radang Resiko Defisit nutrisi

 terdapat ↓
konjungtivitas
Kelainan selaput lendir dan
DS: ofisium

 nyeri ketika menelan ↓

 terasa lemas, lemah Kesulitan menelan


tidak berenergi, terasa

pegal
Intake tidak adekuat

Kelamahan fisik, lemas


lemah tidak benergi, dan
pegal

Resiko defisit nutrisi

4.7 Buatlah rencana intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan


yang timbul pada kasus tersebut!

No. Diagnosa Outcome Intervensi


1. Gangguan integritas kulit Integritas kulit dan Perawatan integritas kulit
b.d bahan kimia : obat jaringan
Observasi
jenis antibiotik d.d
Setelah dilakukan
ditemukan eritema,
 Observasi penyebab
intervensi keprawatan
badan terasa gatal pada
gangguan integritas kulit
selama .. maka integritas
kulit dan memerah

26
kulit dan jaringan membaik Terapeutik
dengan kriteria hasil:
 Ubah posisi tiap 2 jam
- kerusakan jaringan jika tirah baring
menurun 5  Gunakan produk
berbahan petolium atau
- kerusakan lapisan kulit
minyak pada kulit kering
menururn 5
 Gunakan produk
berbahan ringan atau
-kemerahan menururn 5
alami dan hipoalargenik
pada kulit sensitif
 Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering

Edukasi

 Anjurkan menggunkan
pelembab
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan
konsumsi buah dan sayur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
 Anjurkan menggunakan
tabir surya spf minimal
30
 Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun

27
2. Resiko Keseimbangan cairan Manajemen cairan
ketidakseimbangan
Setelah dilakukan Observasi
cairan d.d edema
intervensi keprawatan
 Monitor status hidrasi
selama .. maka
 Monitor berat badan
keseimbangan cairan
harian
membaik dengan kriteria
hasil:
Terapeutik

- edema menurun 5
 Catat intake output dan
hitung balance cairan
selam 24 jam
 Berikan asupan cairan
sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena
jika perlu

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
diuretik jika perlu

3. Resiko Defisit nutrisi d.d Status nutrisi Manajemen gangguan


ketidakmampuan makan
Setelah dilakukan
menelan makanan
intervensi keprawatan Observasi
selama .. maka status
 Monitor asupan dan
nutrisi membaik dengan
keluarnya makanan dan
kriteria hasil:
cairan serta kebutuhan
- kekuatan otot menelam kalori
meningkat 5
Terapeutik

28
- nafsu makan membaik 5  Timbang berat badan
secara rutin
- memran mukosa
 Diskusi kan perilaku
membaik 5
makan dan jumlah
aktivitas fisik
 Rencanakan program
penhobatan untuk
perawatan di rumah

Edukasi

 Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan pemicu
pengeluaran makanan
 Ajarkan pengaturan diet
yang tepat
 Ajarkan keterampilan
koping untuk
menyelesaikan masalah
perilaku makan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang berat badan,
kebutuhan kalori dan
pemilihan makanan

29
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS atau dikenal juga


dengan sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat, infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker
merupakan faktor risiko penyakit ini. Efek samping obat ini mengenai kulit, mata
terutama selaput mukosa. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Sindrom stevens-Johnson ( SSJ ) merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lender di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
(Smeltzer, Suzanne C. 2001)

Steven Johnson Adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura( Mochtar Hamzah, 2005 : 147 ).

5.2 Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya

30
DAFTAR PUSTAKA

Doengos, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Buku Kedokteran EGC :


Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media Aesculapius :
Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth, edisi 8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Corwin, lizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai