Anda di halaman 1dari 51

TUGAS

LAPORAN PENDAHULUAN
 INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
 PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY
DISEASE)
 EFUSI PLEURA

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1


Dosen : Syaukia Adini, M.Tr.Kep

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Ferdy Ilham ( P2.06.20.1.19.014 )
2. Gina Cahyani Rusman ( P2.06.20.1.19.015 )
3. Helen Noor Enzela ( P2.06.20.1.19.016 )

TINGKAT 2A
D3 KEPERAWATAN
 
POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
Jl. Cilolohan no.35, Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya
2020
TUGAS
LAPORAN PENDAHULUAN
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1
Dosen : Syaukia Adini, M.Tr.Kep

Disusun oleh :
HELEN NOOR ENZELA
P2.06.20.1.19.016
TINGKAT 2A
D3 KEPERAWATAN

 
POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
Jl. Cilolohan no.35, Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
ISPA adalah penyakit infeksi yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan
gejala batuk, pilek, panas atau ketiga gejala tersebut muncul secara bersamaan (Meadow, Sir
Roy. 2002 : 153).
ISPA (lnfeksi Saluran Pernafasan Akut) yang diadaptasi dari bahasa Inggris Acute
Respiratory Infection (ARl) mempunyai pengertian sebagai berikut :
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikoorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alfeoli beserta organ secara
anatomis mencakup saluran pemafasan bagian atas.
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan
ISPA. Proses ini dapat berlangsung dari 14 hari.
Infeksi saluran nafas adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan nafas dalam
menghadapi organisme asing.

2. Penyebab
Penyebab ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri penyebab
ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus,
Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus dan
lain-lain. (Suriadi, Yuliani R, 2001).
Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan
bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak
yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan.
Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih
banyak penyakit saluran nafas bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah (DepKes RI,
2007).
3. Tanda dan Gejala
a) Tanda dan gejala dari penyakit ISPA adalah sebagai berikut :
1) Batuk
2) Nafas cepat
3) Bersin
4) Pengeluaran sekret atau lendir dari hidung
5) Nyeri kepala
6) Demam ringan
7) Tidak enak badan
8) Hidung tersumbat
9) Kadang-kadang sakit saat menelan

b) Tanda-tanda bahaya klinis ISPA:


1) Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi
dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,
grunting expiratoir dan wheezing.
2) Pada sistem cardial adalah : tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi
dan cardiac arrest.
3) Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung,
papil bendung, kejang dan coma.
4) Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak (Naning R, 2002).

4. Klasifikasi
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :
1. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam
(chest indrawing).
2. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3. Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan
tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi
ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan
sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
a) Pneumonia berada : diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu
60 kali per menit atau lebih.
b) Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding
dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
a) Pneumonia berat : bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam
keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
b) Pneumonia : bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan
adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit
atau lebih.
c) Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada napas cepat (Rasmaliah, 2004).

5. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya
virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran
nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus
oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernafasan (Kending dan Chernick, 1983 dalam Depkes RI, 1992).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe,
1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat
infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan
bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak
tersebut (Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi
mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas
dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya
fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa
dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan
gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis
saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar
terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun
saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas
system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada
saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori
IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Siregar,
1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap,
yaitu :
1. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah
apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
3. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan
batuk.
4. Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna,sembuh
dengan atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.

6. Komplikasi
1) Penemonia
2) Bronchitis
3) Sinusitis
4) Laryngitis
5) Kejang deman (Soegijanto, S, 2009).
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah :
a) Pemeriksaan kultur / biakan kuman (swab) : hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
b) Pemeriksaan hitung darah (deferential count) : laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
c) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Suriadi, Yuliani R, 2001).

8. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan adanya
kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisapan lendir baik melalui
hidung maupun melalui mulut. Serta obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik.
Antibiotik tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret.
Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi telungkup,
dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga drainase sekret akan lebih
mudah keluar.
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
a) Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari.
b) Meningkatkan makanan bergizi.
c) Bila demam beri kompres dan banyak minum.
d) Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang
bersih.
e) Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.
f) Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih
menetek.
g) Mengatasi panas (demam) dengan memberikan kompres, memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
h) Mengatasi batuk, dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh,
diberikan tiga kali sehari.
B. Manajemen Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan secara komprehensif
meliputi aspek bio-psiko-sosiokultural. Pada tahap ini semua data atau informasi tentang
klien dikumpulkan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
diagnostik.
a. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
b) Riwayat penyakit sekarang
c) Riwayat penyakit dahulu
d) Riwayat penyakit keluarga
b. Pemeriksaan pernafasan
a) Inspeksi
b) Palpasi
c) Perkusi
d) Auskultasi

2. Analisa Data

Symptom Etiologi Problem


1. Biasanya pasien ditandai Penupukan secret Bersihan jalan nafas
dengan adanya secret,
suara ronchi/wising, otot
bantu pernafasan,
cuping hidung, dada
terasa sesak.
2. Adanya penupukan
secret, infeksi pada Kongesti hidung Pola nafas tidak efektif
saluran pernafasan,
adanya otot bantu
pernafasan
3. Ditandai adanya,
sianosis, otot bantu Ventilasi pervusi Gangguan pertukaran gas
pernafasan, expansi
didinding dada, suara
ronchi/wising
4. Ditandai
dengan penuran BB Input/autput tidak Gangguan nutrisi kurang
sebnyak 20%, kulit adekuat dari kebutuhan tubuh.
kriput, klien terlihat
kurus, nafsu makan
menurun, mual muntah,
nyeri abdomen
5. Adanya tanda-tanda
infeksi seperti: tumor, Resiko infeksi
dolor, calor, rubor, dan Agen bakteri/virus
disfusilaesa. Dan cek
leukosit tinggi/ rendah
6. Ditandai dengan adanya
panas lebih dari 37,6°C, Hipertermi
akral panas, bibir merah, Proses infeksi
wajah tampak merah.

3. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
muskus (secret).
2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan kongesti hidung.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi.
4) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
5) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan agen virus / bakteri.
6) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.

4. Intervensi Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
muskus (secret).
a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah bersihan jalan
nafas dapat teratasi dengan kreteria hasil: hidung bersih, tidak ada secret klien
dapat bernafas dengan lancer, tidak ada pernafasan menggunakan cuping
hidung.
b) Rencana tindakan :
- Observasi sistem pernafasan dan adanya subatan
- Bersihkan jika ada sumbatan
- Berikan posisi semi fowler
- Anjurkan klien untuk minum yang hangat
- Ajarkan batuk efektif
- Masase punggung dan dada klien
- Kalaborasi pemberian O2
- Kalaborasi pemberian obat

2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan kongesti hidung.


a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah gangguan pola nafas
teratasi dengan kreteria hasil: klien tidak sesak lagi, sudah tidak ada sumbatan,
inspirasi dan ekspirasi tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
b) Intervensi :
- Berikan posisi semi fowler
- Kalaborasi pemberian O2
- Kalaborasi pemberian obat

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan  ventilasi perfusi.


a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah gangguan
pertukaran gas teratasi dengan kreteria hasil: klien tidak sesak lagi, sudah tidak
ada sumbatan, inspirasi dan ekspirasi tidak menggunakan otot bantu
pernafasan.
b) Intervensi : 
- Berikan posisi semi fowler
- Anjurkan klien untuk minum yang hangat
- Ajarkan batuk efektif
- Masase punggung dan dada klien
- Kalaborasi pemberian O2
- Kalaborasi pemberian obat

4) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.


a) Tujuan :
Setelah dilakukan tidak keperawatan diharapkan masalah gangguan nutrisi
teratasi dengan kreteria hasil: nafsumakkan klien meningkat, klien tidak mual
dan muntah, peningkatan BB, wajah terlihat segar.
b) Rencana tindakan:
- Observasi adanya gangguan nutrisi
- Observasi pola makan
- Njurkan klien untuk makan sedikit tapi sering yaitu 2 jam sekali
- Anjurkan diit yang sehat
- Kalaborasi dengan tim gizi
- Kalaborasi pemberian obat

5) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan agen virus / bakteri.


a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi infeksi
dapat teratasi dengan kreteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksi, pemeriksaan
leukosit dalam batas normal.
b) Intervensi :
- Observasi adanya tanda-tanda infeksi seperti: tumor, dolor, rubor, color,
dan disfusilaesa.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
- Menggunakan APD untuk proteksi diri dank lien
- Kolaborasi dalam pemberian obat

6) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit


a) Tujuan :
Setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah hipertermi klien
dapat teratasi dengan kreteria hasil, suhu dalam rentang normal 36,5°C-37,5°C,
akral tidak panas, bibir tidak kering, turgor kulit elastic.
b) Intervensi :
- Observasi adanya peningkatan dan penurunan suhu
- Observasi vital sign
- Berikan kopres pada lipatan tubuh
- Anjurkan klien untuk menggunakan baju yang tipis dan menyerap keringat
- Lakukan kalaborasi pemberian obat

5) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang
lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

6) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan.

Referensi :
https://www.academia.edu/30255209/LAPORAN_PENDAHULUAN_ispa_baru_nih_docx?
auto=download
https://www.academia.edu/29136270/LAPORAN_PENDAHULUAN_ISPA
TUGAS
LAPORAN PENDAHULUAN
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE)
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1
Dosen : Syaukia Adini, M.Tr.Kep

Disusun oleh :
FERDY ILHAM
P2.06.20.1.19.014
TINGKAT 2A
D3 KEPERAWATAN

 
POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
Jl. Cilolohan no.35, Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya
2020

A. DEFINISI
 PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2009).
 PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005)
 PPOK  merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang
membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPDadalah : Bronchitis kronis,
emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001)
 P P O K  adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat
aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Bruner & Suddarth,
2002).
 PPOK  merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel, terjadi
bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).
B. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan
mucus yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk
kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun
berturut – turut (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang
mana akanmeningkatkan produksi mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan
mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal
timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi
polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Hiperkapnia
8) Anoreksia
9) Penurunan BB
10) Kelemahan

3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner
& Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran  nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif
5) takikardi
6) takipnea

C. ETIOLOGI
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah partikel gas
yang dihirup  oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas ini termasuk :
I. asap rokok 
a. perokok aktif 
b. perokok pasif 
II. polusi udara
a. polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
b. polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
III. polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
a. infeksi saluran nafas bawah berulang

D. PATOFISIOLOGI
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara
di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang
di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan
hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003).

E. MANIFESTASI KLINIS
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien PPOK. Batuk
bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu kemudian berlangsung lama dan
sepanjang hari. Batuk disertai dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan
mukoid kemudian berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin
bertambahnya parahnya batuk penderita.
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung lama, sepanjang hari,
tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas yang menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya
membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat
melakukan aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
1) Batuk bertambah berat
2) Produksi sputum bertambah
3) Sputum berubah warna
4) Sesak nafas bertambah berat
5) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7) Penurunan kesadaran

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1 Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar
dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
2) Corak paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan
KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas
kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
2 Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi
umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
3 Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari
satu. Sering terdapat RBBB inkomplet.
4 Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5 Laboratorium darah lengkap

G. KOMPLIKASI
1 Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2 Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3 Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4 Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
5 Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6 Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.

H. DERAJAT PPOK
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif Lung Disiase
(GOLD) 2011.
a. Derajat I (PPOK Ringan) : Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK
b. Derajat II (PPOK Sedang) : Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
c. Derajat III (PPOK Berat) : Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah
dan serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.

d. Derajat IV (PPOK Sangat Berat) : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas
atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal
napas kronik

I. PENATALAKSANAAN

1 Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:


1) Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
2) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih
awal.
2 Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1) Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2) Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3) Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba
tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman
penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
5) Pengobatan simtomatik.
6) Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7) Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan
aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
3 Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
1) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
2) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan
yang paling efektif.
3) Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat
kembali mengerjakan pekerjaan semula
4 Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
1 Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2 Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin
dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah
H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam
antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10
hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
3 Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari
fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
4 Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5 Mukolitik dan ekspektoran
6 Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)
7 Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PPOK

A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untu
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan
adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien (Iyer,et.al.,1995).
Berikut ini data yang diperoleh ketika melakukan pengkajian pada klien :
a. Data Dasar
Data dasar adalah seluruh informasi tentang status kesehatan klien.Data dasar ini
meliputi data umum,data demografi,riwayat keperawatan,pola fungsi kesehatan,dan
pemeriksaan.
b. Data Fokus
Data fokus adalah informasi tentang status kesehatan klien yang menyimpang dari
keadaan normal. Data fokus dapat berupa ungkapan klien maupun hasil pemeriksaan
langsung sebagai seorang perawat.
c. Data Subjektif
Data yang merupakan ungkapan keluhan klien secara langsung dari klien maupun
tidak langsung melalui orang lain yang mengetahui keadaan klien secara langsung
dan menyampaikan masalah yang terjadi kepada perawat berdasarkan keadaan yang
terjadi pada klien.
d. Data Objektif
Data yang diperoleh secara langsung melalui observasi dan pemeriksaan pada
klien.Data objektif harus dapat diukur dan diobservasi,bukan merupakan interpretasi
atau asumsi dari perawat.

1 Anamnese
Pengkajian riwayat keperawatan pada masalah kebutuhan oksigenasi meliputi: ada atau
tidak adanya riwayat gangguan pernapasan (gangguan hidung dan tenggorokan), seperti
epitaksis (kondisi akibat luka/kecelakaan,penyakit rematik akut, sinusitis akut, hipertensi,
gangguan pada system peredaran darah, dan kanker), obstruksi nasal (kondisi akibat
polip, hipertropi tulang hidung, tumor, dan influenza), dan keadaan lain yang
menyebabkan gangguan pernpasan. Pada tahap pengkajian keluhan atau gejala, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah infeksi kronis dari hidung, sakit pada daerah sinus, otitis
media, keluhan nyeri pada tenggorokan, kenaikan suhu tubuh hingga 38,5 derajat celcius,
sakit kepala, lemas, sakit perut hingga muntah-muntah (pada anak-anak), faring
berwarna merah, dan adanya edema. Li dan Huang (2012), penderita PPOK akan
mengalami hipoksemia, hipercapnea sampai pada gangguan kognitif. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik merupakan batuk yang hilang timbul selama 3
bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Berdahak kronik, kadang –
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Sesak
napas, terutama pada saat melakukan aktivitas, seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak napas ini
tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak. Pada pasien dengan PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang
dipengaruhi konstraksi otot dan kekuatan otot pernapasan. Dan menanyakan riwayat
penyakit klien
c. Riwayat Kesehatan
e) Keluhan utama
f) Riwayat penyakit sekarang
g) Riwayat penyakit dahulu
h) Riwayat penyakit keluarga

2 Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara, napas purse lips breathing
(seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertropi (pembesaran) otot bantu
napas dan pelebaran sela iga.
Inspeksi spesifikasi penapasan meliputi:
Pertama; penentuan tipe jalan napas, seperti menilai apakah napas spontan melalui
hidung, mulut, oral, nasal, atau menggunakan selang endotrakeal atau tracheostomi,
kemudian menentukan status kondisi seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret,
perdarahan, bengkak, atau obstruksi mekanik.
Kedua; penghitungan frekuensi pernapasan dalam waktu satu menit (umumnya, wanita
bernapas sedikit lebih cepat. Apabila kurang dari 10 kali per menit pada orang dewasa,
kurang dari 20 kali per menit pada anak-anak, atau kurang dari 30 kali per menit pada
bayi, maka disebut sebagai bradipnea atau pernapasan lambat. Gejala ini juga dijumpai
pada keracunan obat golongan barbiturat, uremia, koma diabetes, miksedema, dan proses
sesak ruang intrakranium. Bila lebih dari 20 kali per menit pada orang dewasa, kurang
dari 30 kali per menit pada anak-anak, atau kurang dari 50 kali per menit pada bayi,
maka disebut sebagai takhipnea atau pernapasan cepat
Ketiga; pemeriksaan sifat pernapasan, yaitu torakal, abnormal, atau kombinasi keduanya
(pernapasn torakal atau dada adalah mengembang dan pengempisannya rongga toraks
sesuai dengan irama inspirasi dan ekspirasi. Pernapasan abdominal atau perut adalah
seirama inspirasi dengan mengembanganya perut dan ekspirasinya dengan
mengempisnya perut. Selain itu, mengembang dan mengempisnya paru juga diatur oleh
pergerakan diagfagma. Pernapasan pada laki-laki adalah neonates, sedangkan pada anak
adalah abdominal atau tarokoabdominal, karena otot intercostal neonates masih lemah.
Keempat; pengkajian irama pernapasan, yaitu dengan menelaah masa inspirasi dan
ekspirasi (pada orang dewasa sehat, irama pernapasannya teratur dan menjadi cepat jika
terjadi pengeluaran tenaga dalam keadaan terangsang atau emosi, kemudian yang perlu
diperhatikan pada irama pernapasan adalah perbandingan antara inspirasi dan ekspirasi.
Pada keadaan normal, ekspirasi lebih lama dari pada orang yang mengalami sesak napas.
Keadaan normal, perbandingan antara frekuensi pernapasan dengan frekuensi nadi
adalah 1:1, sedangkan pada keracunan obat golongan barbiturate perbandingannya 1:6.
Penyimpanan irama pernapasan, seperti pernapasan kusmaul, dijumpai pada keracunan
alcohol, obat bius, koma diabetes, uremia, dan proses desak ruang instranium.
Pernapasan biot ditemukan pada pasien keruskn otak. Pernapasan cheyne stoke dapat
ditemui pada pasien keracunan obat bius, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit
ginjal kronis, dan perdarahan pada susunan saraf pusat.
Kelima; pengkajian terhadap dalam/dangkalnya pernapasan (pada pernapasan yang
dangkal, dinding toraks tampak hamper tidak bergerak. Gejala ini timbul jika terdapat
empisema atau pergerakan dinding toraks terjadi proses desak ruang, seperti penimbunan
cairan dalam rongga pleura dan pericardium serta konsolidasi yang dangkal dan lambat.

b. Palpasi

Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi kelainan, sepertinyeri tekan yang dapat
timbul akibat luka, peradangan setempat, metastasis tumor ganas, pleuritis, atau
pembengkakan dan benjolan pada dada. Palpasi dilakukan untuk menentukan besar,
konsistensi, suhu, apakah dapat atau tidak dipergerakan dari dasarnya. Melalui palpasi
dapat diteliti gerakan dinding toraks pada saat inspirasi dan ekspirasi terjadi. Cara ini
dapat dilakukan dari belakang dengan meletakan kedua tangan pada kedua sisi tulang
belakang. Jika pada puncak paru terdapat fibrosis, proses tuberculosis, atau suatu tumor,
maka tidak akan ditemukan pengembangan bagian atas pada toraks. Kelainan pada paru,
seperti getaran suara atau fremitu vocal, dapat dideteksi bila terdapat getaran sewaktu
pemeriksa meletakkan tangannya pada dada pasien ketika ia berbicara. Fremitus vocal
yang jelas mengeras dapat disebabkan oaleh konsolidari paru seperti pada pneumonia
lobaris, tuberculosis kaseosa pulmonum, tumor paru, atelektasis, atau kolaps paru dengan
bronkus yang utuh dan tidak tersumbat, kavitasi yang letaknya dekat permukaan paru.
Fremitus vocal menjadi lemah tau hilang sama sekali jika rongga pleura berisi air, darah,
nanah atau udara, bahkan jaringan pleura menjadi tebal, bronkus tersumbat, jaringan paru
tidak lagi elastis (emfisema), paru menjadi fibrosis, dan terdapat kaverna dalam paru
yang letaknya jauh dari permukaan. Getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa dapat
juga ditimbulkan oleh dahak dalam bronkus yang bergetar pada waktu inspirasi dan
ekspirasi atau oleh pergeseran antara kedu membran pleura pada pleuritic.

c. Perkusi

Pengkajian ini bertujuan untuk menilai normal atau tidaknya suara perkusi paru. Suara
perkusi normal dalah suara perkusi sonor, yang bunyinya seperti kata “dug-dug”. Suara
perkusi lain yang dianggap tidak normal adalah redup, seperti pada infiltrate, konsolidasi,
dan efusi pleura. Pekak, seperti suara yang terdengar bila kita memperkusi paha kita,
terdapat pada rongga pleura yang terisi oleh cairan nanah, tumor pada permukaan paru,
atau fibrosis paru dengan penebalan pleura. Hipersonor, bila udara relative lebih padat,
ditemukan pada enfisema, kavitas besar yang letaknya perifer, dan pneumotoraks.
Timpani, bunyinya seperti “dang-dang-dang”. Suara ini menunjukkan bahwa di bawah
tempat yang diperkusi terdapatpenimbunan udara, seperti pada pneumotoraks dan kavitas
dekat dengan permukaan paru. Batas atas paru dapat ditentukan dengan perkusi pada
supraklavikularis kedua sisi. Bila didapat suara perkusi yang kurang sonor, maka kita
harus menafsirkan bahwa bagian atas paru tidak berfungsi lagi dan berarti batas paru
yang sehat terletak lebih bawah dari biasa. Pada umumnya, hal ini menunjukkan proses
tuberculosis di puncak paru. Dari belakang, apeks paru dapat diperkusi di daerah otot
trpezius antara otot leher dan pergelangan bahu yang akan memperdengarkan seperti
sonor. Batas bawah paru dapat ditentukan dengan perkusi, dimana suara sonor pada
orang sehat dapat didengar sampai iga keenam garis midaksilaris, iga kedelapan garis
mid aksilaris, dan iga kesepuluh garis skapularis. Batas bawah paru pada orang tua agak
lebih rendah, sedangkan pada anak-anak agak lebih tinggi. Batas bahwa meninggi pada
proses fibrosis paru, konsolidasi, efusi pleura dan asites tumor ina abdominal. Turunnya
batas bawah paru didapati pada emfisema dan pneumotoraks
d. Auskultasi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai adanya suara napas, di antaranya suara napas
dasar dan suara napas tambahan. Suara napas dasar adalah suara napas pada orang
dengan paru yang sehat, seperti; Pertama; suaravasikuler, ketika suara inspirasi lebih
keras dan lebih tinggi nadanya. Bunyi napas vasikuler yang disertai ekspirasi memanjang
terjadi pada emfisema. Suara vesikuler dapat didengar pada bagian paru-paru. Kedua;
suara bronchial, yaitu suara yang bisa kita dengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi,
bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara inspirasi dan ekspirasi terdengar jarak
pause (jeda) yang jelas. Suara bronchial terdengar didaerah trakea dekat bronkus, dalam
keadaan tidak normal bisa terdengar seluruh area paru. Ketiga; bronkovasikular, yaitu
suara yang terdengar antara vesikuler dan bronchial, ketika ekspirasi menjadi lebih
panjang, hingga hampir menyamai inspirasi. Suara ini lebih jelas terdengar pada
manubrium sterni. Pada keadaan tidak normal juga terdengar pada daerah lain dari paru.
Suara napas tambahan, Suara napas tambahan seperti suara ronkhi, yaitu suara yang
terjadi dalam bronkhi karena penyempitan lumen bronkus. Sura mengi (wheezing), yaitu
ronkhi kering yang tinggi, terputus nadanya, dan panjang, terjadi pada asma. Suara
ronkhi basah, yaitu suara berisik yang terputus akibat aliran udara yang melewati cairan
(ronkhi basah, halus sedang, atau ksar tergantung pada besarnya bronkus yang terkena
pada umumnya terdengar pada inspirasi). Sedangkan suara krepitasi adalah suara seperti
hujan rintik-rintik yang berasal dari bronkus, alveoli, atau kavitas yang mengandung
cairan. Suara ini dapat ditiru dengan jalan menggeser-geserkan rambut dengan ibu jari
dan telunjuk dekat telinga. Krepitasi halus menandakan adanya eksudat dalam alveoli
yang membuat alveoli saling berkaitan, misalnya pada stadium dini pneumonia. Krepitasi
kasar, terdengar seperti suara yang timbul bila kita meniup dalam air. Suara ini terdengar
selama inspirasi dan ekspirasi. Gejala ini dijumpai pada bronchitis (Alimul, 2009)

3 Gejala psikologis pasien PPOK


Volpato et al (2015), menyebutkan bahwa pasien dengan PPOK bukan hanya mengalami
maslah secara fisik tetapi juga masalah psikologis yang berpengaruh terhadap kualitas
hidup pasien (quality of life). Masalah ini muncul karena pasien harus terpapar secara
berulang dengan gejala yang sama seumur hidup pasien. Masalah psikologis tersebut
antara lain : gangguan emosional/emosi yang tidak stabil, koping strategi yang rendah,
gangguan kecemasan, depresi, perasaan tidak berdaya, perasaan tidak mempunyai
kekuatan,perasaan kehilangan kebebasan dan aktivitas gerak, gangguan panic,terjadinya
isolasi social, gangguan dalam menjalin relasi sosial (social relation).

Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah :


1 Aktivitas dan Istirahat
Gejala :
 Keletihan, kelelahan, malaise,
 Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas
 Ketidakmampian untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
 Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda :
 Keletihan
 Gelisah, insomnia
 Kelemahan umum/kehilangan massa otot
2 Sirkulasi
Gejala :
 Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
 Peningkatan tekanan darah
 Peningkatan frekuensi jantung
 Distensi vena leher 
 Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
 Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameterAPdada)
 Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku tabuh dansianosis
perifer 
 Pucat dapat menunjukkan anemia.
3 Integritas Ego
Gejala :
 Peningkatan factor resiko
 Perubahan pola hidup
Tanda :
 Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4 Makanan/ cairan
Gejala :
 Mual/muntah
 Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
 ketidakmampuan untuk makankarena distress pernafasan
 penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan
edema (bronchitis)
Tanda :
 Turgor kulit buruk 
 Edema dependen
 Berkeringat
5 Hyegene
Gejala :
 Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitassehari-hari
Tanda :
 Kebersihan buruk, bau badan
6 Pernafasan
Gejala :
 Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode berulangnyasulit nafas (asma);
rasa dada tertekan,m ketidakmampuan untuk bernafas(asma)
 Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun)
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2tahun. Produksi
sputum (hijau, puith, atau kuning) dapat banyak sekali(bronchitis kronis)
 Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap dinimeskipun dapat
menjadi produktif (emfisema)
 Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasandalam
jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami
katun, serbuk gergaji
 Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.
Tanda :
 Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjangdengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema)
 Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu, melebarkan hidung.
 Dada: gerakan diafragma minimal.
 Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);menyebar, lembut
atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki, mengisepanjang area paru pada
ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak
adanya bunyi nafas (asma)
 Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara denganemfisema); bunyi
pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan, mukosa)
 Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
 Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-abukeseluruhan; warna
merah (bronchitis kronis, “biru mengembung”). Pasiendengan emfisema sedang
sering disebut “pink puffer” karena warna kulitnormal meskipun pertukaran gas tak
normal dan frekuensi pernafasancepat.
 Tabuh pada jari-jari (emfisema)
7 Keamanan
Gejala :
 Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
 Adanya/berulang infeksi
 Kemerahan/berkeringat (asma)
8 Seksualitas
Gejala :
 penurunan libido
9 Interaksi Sosial
Gejala :
 Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung
 Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
 Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda :
 Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena distress pernafasan
 Keterbatasan mobilitas fisik 
 Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan gas di lambung.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersihatau jelas.
NOC :
 Respiratory status : Ventilation
 Respiratory status : Airway patency
 Aspiration Control
Dengan Kriteria Hasil :
1 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
2 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan
nafas
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya
bunyi nafas adventisius.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6) Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
8) Kolaborasi :
- Berikan obat sesuai indikasi.
- Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
- Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
- Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
- Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal menurunkan spasme
jalan napas, mengi, dan produksi mukosa

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas
pasien membaik.
NOC :
 Respiratory status : Ventilation
 Respiratory status : Airway patency
 Vital sign Status
Dengan Kriteria Hasil :
1 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
2 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3 Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah (sistole 110-130mmHg
dan diastole 70-90mmHg), nad (60-100x/menit)i, pernafasan (18-24x/menit)
Intervensi:
1) Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
R/ membatu pernafasan pasien
2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
R/ istirahat dapat merilekskan pernafasan
3) Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat
toleransi pasien.
R/ agar perawatan dapat dilakukan dengan baik dan sesuai dengan pasien
4) Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.
R/ untuk melatih otot-otot pernafasan agar kuat

c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen


(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
NOC:
 Respiratory status : Ventilation
Dengan Kriteria Hasil :
1 Frekuensi nafas normal (16-24x/menit)
2 Itmia
3 Tidak terdapat disritmia
4 Melaporkan penurunan dyspnea
5 Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau
toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan
nafas.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6) Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
10) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
11) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
12) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
13) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


dengan kebutuhan oksigen
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat
beraktivitas dengan baik.
NOC :
 Energy conservation
 Self Care : ADLs
Kriteria Hasil :
 Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah,
nadi dan RR
 Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
Intervensi :
1) Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan
R/mengetahui keaadaan objektif klien
2) Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit
kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
R/untuk mengetahui keaadaan tubuh sesaat setelah aktivitas
3) Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan
exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
R/latihan dapat melatih otot supaya pulih
4) Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan
pada status fungsi dasar.
R/mengembangkan latihan berguna untuk meningkatkan kesehatan
5) Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan
spesifik terhadap kemampuan pasien.
R/ahli terapi dapat mengetahui porsi yang cocok untuk klien
6) Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas
untuk berjaga-jaga.
R/untuk membantu klien dalam mengalami sesak
7) Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai
melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
R/peningkatan gerak baik untuk saraf dan otot
8) Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas
lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau
dengan banyak bantuan.
R/istirahat yang cukup baik untuk kesehatan klien
9) Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar
tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
R/ peningkatan gerak baik untuk saraf dan otot

e. Gangguan rasa nyaman “nyeri” Berhubungan Dengan penumpukan gas di


lambung.
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 2x24 jam gangguan rasa nyaman “nyeri’
berkurang
NOC:
 Control nyeri
Dengan Kriteria Hasil :
Klien mengatakan nyeri berkurang.
- Skala nyeri 2
- klien tidak meringgis
- TTV
TD 120/80-140/100 mmhg
Nadi 60-100X/ menit
Suhu: 36,5-37,5 derajat
Intervensi :
1) Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
R/ mengetahui skala nyeri, lokasi nyeri
2) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam
R/ untuk meningkatkan dan menjaga keadaan klien terhadap rasa nyeri.
3) Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus Relaksasi.
R/ membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
4) Kolaborasi : Berikan analgesic sesuai kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
R/ analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri.

f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,


kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan nutrisi pasien
membaik.
NOC :
 Nutritional Status : food and Fluid Intake
Dengan Kriteria Hasil :
1 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4 Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/Mengetahui nutrisi klien
2) Auskultasi bunyi usus
R/mengetahui bising usus klien sebagai tolak ukur perawatan
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
R/agar klien nyaman saat makan
4) Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
R/agar proses pencernaan klien baik
5) Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
R/meningkatkan nafsu makan klien
6) Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
R/agar gas tidak menjadi racun tubuh
7) Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
R/mengetahui nutrisi klien dari BB

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Setelah melakukan intervensi keperawatan, tahap selanjutnya adalah mencatat intervensi
yang telah dilakukan dan evaluasi respons klien. Hal ini dilakukan karena pencatatan
akan lebih akurat bila dilakukan saat intervensi masih segar dalam ingatan. Tulislah apa
yang diobservasi dan apa yang dilakukan (Deswani, 2009). Implementasi yang
merupakan kategori dari proses keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan
dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. (Potter & Perry, 2005).

memenuhi kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.

Alat dan bahan:


Tabung oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidifier, Nasal kateter, kanula, atau
masker, Vaselin/jeli.
Prosedur Kerja:
Cuci tangan, Jelaskan prosedur yang akan dilakukan, Cek flowmeter dan humidifier,
Hidupkan tabung oksigen, Atur pasien pada posisi semifowler atau sesuai dengan kondisi
pasien, Berikan oksigen melalui kanula atau masker Apabila menggunakan kateter,
terlebih dulu ukur jarak hidung dengan telinga,setelah itu beri jeli dan masukkan, Catat
pemberian dan lakukan obsevasi, Cuci tangan.

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Namun, evaluasi dapat dilakukan
pada setiap tahap dari proses perawatan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan dan
perbaikan. Pada tahap ini, perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses
keperawatan dapat berhasil atau gagal (Alfaro-Lefevre, 1994 dalam Deswani, 2009).

Evaluasi terhadap masalah kebutuhan oksigenasi secara umum dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam:
1. Mempertahankan jalan napas secara efekttif yang ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk bernapas, jalan napas bersih, tidak ada sumbatan, frekuensi, irama, dan
kedalaman napas normal, serta tidak ditemukan adanya tanda hiposia.
2. Mempertahankan pola pernapasan secara efektif yang ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk bernapas, frekuensi, irama, dan kedalam napas normal, tidak
ditemukan adanya tanda hipoksia, serta kemampuan paru berkembang dengan baik.
3. Mempertahankan pertukaran gas secara efektif yang ditunjukkan denganadanya
kemampuan untuk bernapas, tidak ditemukan dispnea pada usaha napas, inspirasi, dan
ekspirasi dalam batas normal, serta siturasi oksigen dan pCO2 dalam keadaan normal.
4. Meningkatkan perfusi jaringan yang ditunjukkan dengan adanya kemampua pengisian
kapiler, frekuensi, irama, kekuatan nadi dalam batas normal, dan status hidrasi normal
(Alimul, 2009).

Referensi :

https://www.academia.edu/9820966/laporan_pendahuluan_PPOK
https://www.academia.edu/37422991/LAPORAN_PENDAHULUAN_PPOK_PENYAKIT_
PARU_OBSTRUKTIF_KRONIK_atau_CHRONIC_OBSTRUCTIVE_PULMONARY_DIS
EASE_COPD
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2014/01/Laporan-pendahuluan-
ppok.html#.X2BcQGgzbIU
https://www.google.com/search?
q=kti+ppok&rlz=1C1GCEA_enID836ID836&oq=kti+pp&aqs=chrome.1.69i57j0l6j69i60.40
13j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
TUGAS
LAPORAN PENDAHULUAN
EFUSI PLEURA
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1
Dosen : Syaukia Adini, M.Tr.Kep

Disusun oleh :

GINA CAHYANI RUSMAN


P2.06.20.1.19.015
TINGKAT 2A
D3 KEPERAWATAN
 
POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
Jl. Cilolohan no.35, Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya
2020

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan viceralis dan parietalis. Proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Amin Huda, 2015)
Efusi pleura adalah kondisi dimana udara atau cairan berkumpul dirongga pleura yang
dapat menyebabkan paru kolaps sebagian atau seluruhnya (Muralitharan, 2015)
Efusi pleura adalah jumlah cairan non purulen yang berlebihan dalam rongga pleural,
antara lapisan visceral dan parietal (Mansjoer Arif, 2001).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne,
2002).

2. Anatomi Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada. Masing-masing paru berbentuk kerucut. Paru
kanan dibagi oleh dua buah fisura ke dalam tiga lobus atas, tengah dan bawah. Paru kiri
dibagi oleh sebuah tisuda ke dalam dua lobus atas dan bawah.
Permukaan datar paru menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum.
Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hillus paru-paru dibungkus oleh
selaput yang tipis disebut pleura.
Pleura merupakan membran tipis, transparan yang menutupi paru dalam dua lapisan:
lapisan viseral, yang dekat dengan permukaan paru dan lapisan parietal menutupi
permukaan dalam dari dinding dada. Paru-paru yaitu: paru-paru kanan, terdiri dari tiga
lobus (belah paru), lobus pulmo dextra superior, lobus nedia, dan lobus inferior, tiap lobus
tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra, lobus superior dan lobus
inferior, tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu: 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah
segmen pada lobus medialis dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Kapasitas paru-paru
merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-
paru dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Kapasitas total, yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru inspirasi sedalam-
dalamnya.
b. Kapasitas vital, yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal.
3. Fisiologi Paru-paru
a. Pernapasan pulmoner
Merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru.
Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner yaitu :
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara
luar
2) arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksige masuk ke seluruh tubuh.
Karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
3) distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat yang bisa
dicapai untuk semua bagian.
4) difusi gas yang menembus membrane alveoli dan kapiler karbondioksida.
Proses pertukaran oksigen dengan karbondioksida, konsentrasi dalam darah
mempengaruhi dan meransang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar
kecepatan dalam pernapasan sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih
banyak
b. Pernapasan jaringan (pernapasan interna)
Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandung oksigen dari seluruh tubuh
masuk ke dalam jaringan akhirnya mencapai kapiler, darah mengeluarkan oksigen ke
dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk di bawah ke paru-paru terjadi
pernapasan eksterna
c. Daya muat paru-paru
Besarnya daya muat udara dalam paru-paru 4.500 ml – 5000 ml (4,5 – 5 L) udara
yang diproses dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10%. ±500 ml disebut juga
udara pasang surut yaitu yang dihirup dan dihembuskan pada pernapasan biasa
d. Mekanisme pernapasan
Mekanisme pernapasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama kimiawi dan
pengendalian syaraf. Adanya faktor tertentu meransang pusat pernapasan yang terletak di
dalam medulla oblongata kalau diransang mengeluarkan impuls yang disalurkan melalui
syaraf spinal.
Otot pernapasan (otot diafragma atau interkostalis) pengendalian oleh syaraf pusat
otomatik dalam medulla oblongata mengeluarkan impuls eferen ke otot pernapasan
melalui radiks syaraf servikalis diantarkan ke diafragma oleh syaraf prenikus. Impuls ini
menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostalis yang kecepatannya
kira-kira 15 kali setiap menit.
Pengendalian secara kimia, pengendalian dan pengaturan secara kimia meliputi
frekuensi kecepatan dan dalamnya pernapasan. Pusat pernapasan dalam sumsum sangat
peka, sehingga kadar alkali harus tetap dipertahankan. Karbondioksida adalah produksi
asam dari metabolisme dan bahan kimia yang asam meransang pusat pernapasan untuk
mengirim keluar impuls syaraf yang bekerja atas otot pernapasan.
e. Kecepatan pernapasan
Pada wanita lebih tinggi daripada pria, pernapasan secara normal maka ekspirasi akan
menyusul inspirasi dan kemudian istirahat, pada bayi ada kalanya terbalik inspirasi-
istirahat-ekspirasi disebut juga pernapasan terbalik. Kecepatan setiap menit :
1) Bayi baru lahir: 30-40 kali permenit
2) 12 bulan: 30 kali permenit
3) 2-5 tahun: 24 kali permenit
4) Dewasa: 10-20 kali permenit
f.Kebutuhan tubuh terhadap oksigen
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan, manusia sangat membutuhkan
oksigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan
mengakibatkan kerusakan pada otak yang tak dapat diperbaiki dan bisa menimbulkan
kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan
anoksia serebralis misalnya orang yang bekerja pada ruangan yang sempit, tertutup, ruang
kapal, kapal uap dan lain-lain. Bila oksigen tidak mencukupi maka warna darah merahnya
hilang berganti kebiru-biruan misalnya yang terjadi pada bibir, telinga, lengan, dan kaki
disebut sianosis.
4. Patofisologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas
antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui
bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat
terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic
koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya
sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak mikrovili
disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap. Karena adanya
keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadaan ini bisa terjadi karena adanya
tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o.
Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi
tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa
masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer
ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga
diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran.
Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi
cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa
paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain
dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga
pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu
berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein
getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam
setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula – mula yang
dominan adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat
sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya
bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa
perubahan fisik antara lain : Irama pernapasan tidak teratur, frekuensi pernapasan
meningkat , pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba
melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh
efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan
berat badan menurun.
5. Etiologi
a) Efusi pleura disebabkan oleh :
a. Peningkatan tekanan pada kapiler subpleura atau limfatik
b. Peningakatan permeabilitas kapiler
c. Penurunan tekanan osmotic koloid darah
d. Peningkatan tekanan negative intrapleura
e. Kerusakan drainase limfatik ruang pleura
b) Ada juga yang disebabkan oleh Infeksi (eksudat)
a. Tubercolosis
b. Pneumonitis
c. Emboli paru
d. Kanker
e. Infeksi virus,jamur,dan parasit.
c) Non infeksi (transudat)
a. Gagal jantung kongesif (90% kasus)
b. Sindroma nefrotik
c. Gagal hati
d. Gagal ginjal
e. Emboli paru
6. Klasifikasi
Efusi pleura di bagi menjadi 2 yaitu :
a. Efusi pleura transudat
Merupakan ultrafiltrat plasma, yang menandakan bahwa membran pleura tidak
terkena penyakit. Akumulasi cairan di sebabkan oleh faktor sistemik yang mempengaruhi
produksi dan absorbsi cairan pleura.
b. Efusi pleura eksudat
Efusi pleura ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler yang rusak
dan masuk kedalam paru terdekat (Morton, 2012).
7. Manifestasi Klinik
a. Batuk
b. Dispnea bervariasi
c. Adanya keluhan nyeri dada (nyeri pleuritik)
d. Pada efusi yang berat terjadi penonjolan ruang interkosta.
e. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang mengalami efusi.
f.Perkusi meredup diatas efusi pleura.
g. Suara nafas berkurang diatas efusi pleura.
h. Fremitus fokal dan raba berkurang.
8. Pathway

9. Komplikasi
a. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik
akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini
disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis
yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan
(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membran-membran pleura tersebut.
b. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh
penekanan akibat efusi pleura.
c. Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan
suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis
yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang
dengan jaringan fibrosis.
d. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada
sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps
paru.
e. Empiema
Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang mengelilinginya
(rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-paru dan
menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura. Cairan yang terinfeksi dapat
mencapai satu gelas bir atau lebih, yang menyebabkan tekanan pada paru-paru, sesak
napas dan rasa sakit.
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
b. CT-Scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau tumor
c. USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan
d. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan
cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada
dibawah pengaruh pembiusan lokal).
e. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan
biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab
dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
f.Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul.
11. Penatalaksanaan Medis
a. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
b. Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti
nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk
mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka
pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
c. Antibiotika jika terdapat empiema
d. Operatif
e. Therapy oksigen
Dapat diberikan jika terjadi pernafasan yang tidak adekuat
f. Pleurodesis
Pada prosedur ini zat kimia dimasukkan pada kavum pleura untuk melekatkan dualapis
pleura. Hal ini dapat mencegah terkumpulnya cairan pleura kembali. Zat-zatyang dipakai
adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai), bleomisin, korinebakterium parvum, Tio-tepa, 5-
Fluorourasil. Prosedur ini untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
g. Thoracosintesis
Aspirasi cairan pleura (thorakosintesis) berguna sebagai sarana diagnostik
maupunterapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi
duduk.Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior
denganmemakai jarum kateter nomor 14-16.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
b. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau
berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan
berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat
tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti
batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang
telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kepada pasien apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru,
pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain
sebagainya.
f.Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi
tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum
alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Mengukur tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga
perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan
effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum
dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak
bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur
abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
Karena adanya sesak napas pasien akan cepat mengalami kelelahan pada saat aktivitas.
Pasien juga akan mengurangi aktivitasnya karena merasa nyeri di dada.
5) Pola tidur dan istirahat
Pasien menjadi sulit tidur karena sesak naps dan nyeri. Hospitalisasi juga dapat membuat
pasien merasa tidak tenang karena suasananya yang berbeda dengan lingkungan di rumah.
6) Pola hubungan dan peran
Karena sakit, pasien akan mengalami perubahan peran. Baik peran dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Contohnya: karena sakit pasien tidak lagi bisa mengurus anak
dan suaminya.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba
mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini
pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses
berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks akan terganggu untuk sementara
waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
10) Pola koping
Pasien bisa mengalami stress karena belum mengetahui proses penyakitnya. Mungkin
pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang
mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kehidupan beragama klien dapat terganggu karena proses penyakit.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul antara lain:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru yang menurun.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan akibat
peningkatan mukus yang berlebih.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (insersi jarum/ selang WSD)
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dankebutuhan
O2, kelemahan umum.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran invasive.

3. Intervensi Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru yang menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien menunjukkan
pola nafas kembali efektif. Dengan Kriteria hasil:
1) RR = 12-16 x/menit
2) Tidak ada dyspnea
3) Pengembangan paru maksimal
Intervensi :
1) Aturlah posisi dengan memungkinkan ekspansi paru maksimum dengan semifowler atau
kepala agak tinggi kurang lebih 30 derajat.
Rasional : Posisi semi fowler akan meningkatkan ekspansi paru.2)
2) Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi untukmemantau saturasi
oksigen.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetrissering terjadi
karena ketidaknyaman gerakan dinding dada.
3) Berikan bantal atau sokongan agar jalan nafas memungkinkan tetap terbuka.
Rasional : Sokongan bantal akan membantu membuka jalan napas.
4) Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Relaksasi akan membantu menurunkan kecemasan sehinggakebutuhan O2 tidak
meningkat.
5) Kolaborasi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : Pemberian O2 akan membantu memenuhi kebutuhan O2 tubuh.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan akibat
peningkatan mukus yang berlebih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien menunjukkan
keefektifan jalan nafas.
Dengan Kriteria Hasil :
1) Tidak ada dyspnea
2) Perkusi paru sonor
3) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
4) Tidak ada batuk produktif
Intervensi :
2) Auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara dan bunyi nafas lain
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengancairan. Bunyi nafas
bronkhial (normal pada bronkhus) dapat juga terjadi padaarea konsolidasi. Krekels
terdengar pada inspirasi.
3) Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetrissering terjadi
karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada/ atau cairan paru.
4) Atur posisi semi fowler atau fowler.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebihkuat.
5) Berikan obat sesuai indikasi : mukoitik, ekspektoran, bronkodilator, analgetik.
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret. Analgetik
diberkan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan hati - hati
6) Berikan cairan tambahan IV atau oksigen.
Rasional : Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk taktampak) dan
memobilisasikan secret.
C. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (insersi jarum/ selang WSD)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan klien dapat
mengontrol nyeri.
Dengan Kriteria Hasil :
1) Melaporkan nyeri
2) Frekuensi nyeri
3) Lamanya episode nyeri
4) Ekspresi nyeri; wajah
5) Perubahan respirasi rate
6) Perubahan tekanan darah
7) Kehilangan nafsu makanKlien tidak tampak kelemahan
Intervensi :
1) Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,dan beratnya nyeri.
Rasional : Klien dapat mengetahui letak dan faktor apa yang dapat menyebabkan nyeri
meningkatkat
2) Pastikan klien menerima perawatan analgetik dengan tepat.
Rasional : Pemberian analgetik sesuai indikasi dapat mengurangi nyeri
3) Sediakan lingkungan yang nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membuat rilex sehingga mengurangi nyeri
4) Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi.
Rasional : Tehnik relaksasi dapat mengalihkan perhatian nyeri
5) Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk meringankan nyeri.
Rasional : Istirahat yang adekuat dapatt meringankan nyeri
D. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dankebutuhan
O2, kelemahan umum.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan klien toleran
terhadap aktivitas.
Denga Kriteria Hasil :
1) Klien tidak tampak kelemahan
2) Dyspnea berkurang
3) Tidak ada dyspnea saat aktivitas
4) Tidak ada sianosis setelah aktivitas
5) Dapat beraktivitas optimalf.
Intervensi :
1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, catat lapoan dyspnea, peningkatankelemahan /
kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi.
2) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akutsesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkanistirahat.
3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunyakeseimbangan
aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkankebutuhan
metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dankebutuhan
oksigen.

E. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran invasive.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien tidak
mengalami infeksi.
Dengan Kriteria Hasil : Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan
denganinfeksi dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegahinfeksi.
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi, kondisi penyakit yang mendasari. Rasional :mengidentifikasi individu
terhadap infeksi nosocomial
2) Cuci tangan dengan cermat.
Rasional : kurangi organisme yang masuk kedalam individu.
3) Rawat luka dengan teknik aseptik/ antiseptik.
Rasional : kurangi organismeyang masuk ke dalam individu
4) Observasi terhadap manifestasi klinis infeksi (demam, drainase, purulen).
5) Rasional : deteksi dini proses infeksi
b. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dengan cara
menilai sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Dalam mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai, serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Evaluasi keperawatan pada asuhan keperawatan
Efusi Pleura yaitu :
1) Bersihan jalan nafas kembali efektif
2) Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
3) Nyeri akut teratasi
4) Tidak terjadi resiko tinggi infeksi
5) Aktivitas sehari-hari kembali baik

DAFTAR PUSTAKA

Judith M. Wilkinson, P. A. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Kusumo, A. H. (2015). NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1 2015. Jogjakatra: MediAction
Publishing.

Morton, G. (2012). Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 dan 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Peate, M. N. (2015). Dasar-dasar Patofisiologi Terapan edisi 2. Jakarta: Bumi Medika.

Anda mungkin juga menyukai