Anda di halaman 1dari 2

BERSATU DALAM MENGHADAPI CORONA

Oleh : Muhammad Faisal Adnan

Rasanya tak lepas apabila dalam membahas Covid-19, tidak mengikutsertakan dampak yang
terjadi karenanya. Wabah virus yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok ini telah merenggut nyawa
ratusan hingga ribuan jiwa di seluruh dunia. Apabila negara maju yang terkenal karena
“higienitasnya” pun kalang kabut dalam memberantasinya, maka bagaimana dengan negara
berkembang seperti halnya Indonesia dan negara-negara lainnya? Titik puncak dari kengeriannya
tentunya adalah perlambatan ekonomi hingga kebuntuan perdagangan yang dapat membuat negara
serasa “mati suri” karena tak dapat berkutik dari imbasnya virus yang cepat menyebar ini.
Namun kembali lagi dari pokok permasalahan, kita tak boleh memandang sisi ekonomi yang
sedang terpuruk sebagai dampak terburuk dari penyebaran virus COVID-19 ini. Justru bagi saya
sendiri yang lebih mengkhawatirkan daripada dampak ekonomi ini adalah penyebaran isu-isu
informasi yang lebh berujung ke tindak “menyampingkan fakta”, alias HOAKS. Ya, ternyata selama
pandemi ini tidak hanya sang virus COVID-19 saja yang bergerak kian kemari, tetapi juga informasi
tak benar lainnya yang ikut “menyebar” juga di tengah situasi dunia yang carut-marut seperti
sekarang.
Tidak berlebihan apabila saya mengatakan informasi HOAKS itu sebagai “virus kedua” yang
juga berbahaya bagi masyarakat. Pasalnya, informasi yang tidak tersaring dengan benar itu akan
mudah dipercayai dan disebarkan kembali oleh masyarakat yang telah menerimanya. Masyarakat lain
akan menerimanya kembali dan menyebarkannya kembali ke masyarakat sekitarnya, terus berulang-
ulang, hingga menjadi siklus publikasi yang telah paten dan tak larut dihantam oleh pembenaran
fakta. Sebuah berita klarifikasi yang telah akurat pun hanya menjadi figuran semata, karena mudah
disanggah oleh argumentasi dangkal yang telah dicerna dalam batin masyarakat yang tak sadar akan
HOAKS itu sendiri.
Dan inilah yang menjadi alasan utama, mengapa HOAKS justru lebih mengerikan dibanding
virus COVID-19 itu sendiri. Umpamanya sebagai berikut, apabila seorang yang terbukti telah terkena
virus COVID-19 akan berusaha untuk menghilangkan penyakit tersebut, bagaimana pun caranya.
Tetapi seseorang yang telah terpengaruh oleh HOAKS, justru malah akan “bangga” atas berita itu
sendiri, alias menerima, mempercayai, dan mempertahankan kepercayaan akan HOAKS tersebut,
bahkan malah menyangkal informasi fakta yang telah ada. Dan masalah itu belum sampai di sini,
karena penyebarannya akan jauh lebih cepat, secepat notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponsel
kita, secepat kita mengetik balasan yang kita tanggapi, dan secepat pesan HOAKS tersebut kita share
ulang ke kontak-kontak teman atau grup lainnya.
Kalau kita mencoba bertanya kepada diri sendiri, siapa yang akan terkena imbasnya?
Jawabannya adalang bidang sosial, agama, bahkan pendidikan. Kenapa bidang pendidikan juga turut
terkena imbasnya? Maka dari itu akan kita bahas satu-satu. Untuk segi sosial, masyarakat akan
kesulitan dalam menerima informasi mana yang benar mengenai pencegahan yang seharusnya
dilakukan dalam mempersempit penyebaran COVID-19 ini. Contohnya, beberapa bulan yang lalu
pemerintah telah membuat keputusan untuk membebaskan para tahanan yang sebelumnya ada di
penjara, tetapi karena wabah pandemi ini para narapidana pun ada yang dibebaskan. Meskipun
faktanya hanya beberapa napi saja yang dibebaskan sesuai pemilahan (tidak semua napi dibebaskan),
dan pemerintah juga telah memutuskan balik untuk kembali menahan narapidana itu kembali ke
penjara. Namun, banyak masyarakat masih baru mengetahui kalau narapidana masih berada di
lingkungan warga, dan menimbulkan kerincuhan di tengah masyarakat seperti perampokan dan
penganiayaan. Padahal, dalam fakta di lapangan, bukan hanya napi yang dibebaskan saja yang berani
melakukan itu, tetapi warga yang sebelumnya memang bukan sebagai napi namun mengalami
kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan akhirnya berujung dalam tindakan
perampokan tersebut, hal tersebut tentu bisa saja terjadi kan?
Dalam segi agama pun juga mengalami dampak yang sama. Masih terlintas di benak kita
ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan kebijakan untuk menganjurkan beribadah di
rumah, dengan alasan menghindari kerumunan orang banyak. Namun kebijakan tersebut malah
ditentang oleh berita-berita provokatif yang membawa sebuah anjuran atau hadist yang berisi
maklumat kita tak perlu takut corona karena kita lebih takut pada Tuhan!. Kepercayaan ini jelas
salah, karena dalam agama apapun, apabila kemudharat-an (tidak bermanfaat) lebih banyak daripada
faedahnya (manfaat), maka lebih baik menahan hal tersebut dan menggantikannya dengan cara yang
lain, termasuk cara ibadah itu sendiri. Pemahaman ini dapat berbahaya bagi orang-orang yang
memiliki wawasan agama yang kurang, dan ciri-ciri ini sendiri di Indonesia masih sangat banyak.
Dalam bidang pendidikan, hal ini masih hangat-hangatnya, bahkan sangat terdampak bagi
angkatan 2020 yang sedang berjuang untuk mempersiapkan tes masuk perguruan tinggi. Informasi
palsu seputar tes masuk perguruan tinggi telah banyak melintang di berbagai medsos. Seperti
contohnya, beredar kabar bahwa biaya untuk tes UTBK akan naik menjadi Rp 300.000,00. Hal ini
jelas salah, karena fakta yang sebenarnya biaya untuk tes UTBK tidak akan semahal itu, bahkan
digratiskan bagi pemegang KIP yang memenuhi syarat. Beredar juga kabar bahwa SBMPTN akan
dihapus, hal ini juga jelas salah, karena bagaimanapun, SBMPTN adalah jalur utama bagi penerima
mahasiswa didik baru dan akan tetap dijalankan dalam kondisi apapun. Selain itu masih banyak
berita-berita bohong lainnya yang patut untuk diwaspadai terutama bagi calon mahasiswa baru.
Untuk itu, mari kita rajut kembali kedamaian negara kita, meskipun sedang dihadang oleh musibah
Corona ini. Menjadi warga negara yang bersikap selektif terhadap segala berita dan hanya
menyebarkan informasi yang bermanfaat saja kepada orang lain. Memang kita tak boleh banyak
berkegiatan di luar, tetapi dari dalam rumah saja, dengan menyebarkan berita yang informatif, sudah
banyak membantu tenaga medis yang saat ini berada di garda terdepan. Pernah ada suatu pepatah
lama, “Perang senjata akan meruntuhkan pasukan tentara, namun perang mulut akan
menghancurkan tentara sekaligus warga negaranya”. Pepatah ini ada benarnya, dan pernah terjadi
kala Perang Dunia II yang terkenal menggunakan artileri sebagai senjatanya, justru hanya bertahan
selama 3-5 tahun saja. Namun Perang Dingin yang hanya menggunakan provokasi sebagai
senjatanya, justru bisa bertahan hingga 30 tahun lebih, hingga mempengaruhi kondisi dunia seperti
sekarang ini. Dalam kesiapan kita menghadapi wabah virus ini, tak hanya kekuatan tubuh saja yang
harus kebal, tetapi juga kekuatan mental yang harus kita kuatkan.~

Terima Kasih.

MACHE PODCAST COMPETITION 2020.

Anda mungkin juga menyukai