Anda di halaman 1dari 81

URGENSI GELAR PERKARA TERHADAP KASUS

NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg YANG DIPUTUS BERSALAH DI


PENGADILAN NEGERI

SKRIPSI

YAYAN EDDI SAPUTRA


NIM. 140574201009

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karna atas berkat

dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan sktipsi ini dengan judul “URGENSI

GELAR PERKARA TERHADAP KASUS NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg

YANG DIPUTUS BERSALAH DI PENGADILAN NEGERI”. Penulisan

skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Ilmu Hukum. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan berbagai

belah pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan selesai dengan sebagaimana

mestinya, oleh karna itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih

kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Agung Dhamar Syakti, S.Pi,DEA. Selaku rektor Universitas

Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.

2. Bapak Dr. Oksep Adhayanto, S.H.,M.H., Selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji

3. Ibu Marnia Rani, S.H.,M.H., Selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu politik yang telah memberikan pengarahan

pada saat perkuliahan

4. Ibu Ayu Efritadewi,S.H.,M.H. Selaku ketua komisi pembimbing yang telah

banyak membantu dalam memberikan masukan saran dalam kesempurnaan

penulisan skripsi ini.

5. Ibu Heni Widiyani, S.H,.M.H. selaku anggota komisi pembimbing yang

telah banyak membantu dalam memberikan masukan saran dalam

kesempurnaan penulisan skrispi ini.

i
6. Seluruh dosen-dosen dan para staf Program Studi Ilmu Hukum yang

telah membantu dan mendukung dalam penulisan skripsi ini.

7. Kedua orang tua saya yang selalu membantu, mendorong, dan memberikan

semangat untuk skripsi ini.

8. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Hukum FISIP UMRAH

yang sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi.

ii
URGENSI GELAR PERKARA TERHADAP KASUS
NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg YANG DIPUTUS BERSALAH DI
PENGADILAN NEGERI

Oleh :
Yayan Eddi Saputra
NIM. 140574201009

Abstrak
Pasal 9 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa hasil penyelidikan yang
telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk
menentukan suatu peristiwa tindak pidana tersebut. Pasal 66 ayat (2) Perkapolri
12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menentukan
memperoleh bukti permulaan ditentukan melalui gelar perkara. Meskipun tidak
secara jelas diatur dalam KUHAP, namun terkait gelar perkara dapat diketahui
melalui Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, dimana salah satu wewenang penyidik
adalah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Gelar
perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik
dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Gelar perkara merupakan salah
satu rangkaian kegiatan dari penyelidikan. Gelar perkara juga diatur lebih jelas
dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana, yang dalam pasal 15 menentukan bahwa gelar perkara merupakan
salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan. Kasus dengan nomor putusan
NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg merupakan sebuah kasus yang diputus bersalah di
Pengadilan Negeri, namun diputus bebas di Pengadilan Tinggi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya gelar perkara di Pengadilan Negeri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa telah dilakukan gelar perkara pada tahap
penyelidikan di Pengadilan Negeri, namun pada penyelenggaraan gelar perkara
tersebut terdapat kekurangan-kekurangan yang menyertai penyelenggaraan gelar
perkara tersebut.

Kata Kunci : Gelar Perkara, Putusan, Penyelidikan

iii
THE URGENCE OF THE DEGREE OF CASE ON CASE NO.
182/Pid.Sus/2019/PN Tpg WHO WAS GUARANTEED GUARANTEED IN
STATE COURT

By:
Yayan Eddi Saputra
NIM. 140574201009

Abstract
Article 9 of the Regulation of the State Police of the Republic of Indonesia
Number 6 of 2019 concerning Criminal Investigations explains that the results of
the investigation that have been reported by the investigative team must be carried
out with a case title to determine an event of the crime. Article 66 paragraph (2)
Perkapolri 12/2009 concerning Supervision and Control of Criminal Case
Handling within the State Police of the Republic of Indonesia, to determine
obtaining preliminary evidence is determined through a case title. Although it is
not clearly regulated in the Criminal Procedure Code, but regarding the title of the
case it can be known through Article 7 paragraph (1) letter j of the Criminal
Procedure Code, where one of the investigators' powers is to take other actions
according to the law that is responsible. The case title is part of the integrated
criminal justice system and process. Formally, the case is carried out by
investigators by presenting the reporting party and the reported party. The case
title is one of the series of activities of the investigation. The title of the case is also
regulated more clearly in the Regulation of the National Police Chief Number 14
of 2012 concerning Management of Criminal Investigations, which in article 15
stipulates that the title of the case is one of the series of activities of the
investigation. The case with decision number NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg is a
case that was found guilty in the District Court, but was acquitted in the High Court.
This study aims to determine whether there is a case title in the District Court. The
results of the study indicate that a case title has been carried out at the investigation
stage in the District Court, but in the implementation of the case title there are
deficiencies that accompany the implementation of the case title.

Keywords: Case Title, Decision, Investigation

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................ 9
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 10
2.1. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 10
2.1.1. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 10
2.1.2. Hukum Acara Pidana ...................................................................... 13
2.1.3. Tinjauan Tentang Penyelidikan....................................................... 15
2.1.4. Tinjauan Tentang Gelar Perkara ..................................................... 22
2.1.5. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan ...................... 25
2.1.6. Politik Uang .................................................................................... 31
2.2. Kerangka Teori ....................................................................................... 34
2.2.1. Teori Gelar Perkara ......................................................................... 34
2.2.2. Teori Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Murah ............. 35
2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 36
2.4. Definisi Konsep ...................................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................... 39
3.1. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 39
3.2. Objek dan Lokasi Penelitian................................................................... 39
3.3. Fokus Penelitian ..................................................................................... 40
3.4. Sumber Data ........................................................................................... 40

v
3.5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 41
3.6. Teknik Analisa Data ............................................................................... 41
3.7. Jadwal Penelitian .................................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 43
4.1 Deskripsi Objek dan Lokasi Penelitian .................................................. 43
4.2 Hasil Penelitian....................................................................................... 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 66
5.1. Kesimpulan ............................................................................................. 66
5.2. Saran ....................................................................................................... 66
DAFTAR REFERENSI ........................................................................................ 68
LAMPIRAN .......................................................................................................... 72

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perbandingan putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang dan putusan


Pengadilan Tinggi Pekanbaru............................................................... 7
Tabel 4.1 Hasil Wawancara……………………………………………………..61

vii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Kerangka Berpikir .................................................................... 39

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia

merupakan Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan

berdasarkan hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama

lain. Sebagaimana disebutkan dalam naskah perubahan Undang-Undang Dasar

1945 paham Negara hukum tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) berkaitan

erat dengan paham Negara kesejahteraan (welfare state) atau paham Negara hukum

materiil sesuai dengan bunyi alenia keempat Pembukaan dan Ketentuan Pasal 34

UUD 1945. Pelaksanaan paham Negara hukum materiil akan mendukung dan

mempercepat terwujudnya kesejahteraan di Indonesia.1

Usaha perwujudan kesejahteraan di Indonesia dilakukan dengan pelaksanaan

paham negara hukum materiil dengan adanya instrumen hukum. Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) sebagai sebuah instrumen hukum publik mendukung pelaksanaan dan

penerapan ketentuan hukum pidana materiil yang mempunyai tujuan penting yaitu

mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Seperti halnya tujuan pokok hukum

adalah menciptakan tatanan masyarakat tertib, menciptakan ketertiban dan

keseimbangan

1
Ridlwan Zulkarnain, “Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat”. Fiat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5, 2012

1
2

Tercapainya ketertiban di dalam masyarakat adalah dengan harapan kepentingan

manusia akan terlindungi.2

Awal dari rangkaian peradilan pidana, adalah tindakan penyelidikan dan

penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi

peristiwa pidana. Penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu harus dilakukan

dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat

bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau

peraturan hukum pidana, yang itu tentang hakikat peristiwa pidana. Apabila

pengumpulan alat bukti-alat bukti dalam peristiwa pidana itu telah memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu, maka pemenuhan unsur dalam peristiwa pidana

itu telah siap untuk diproses.3

Proses dimulainya penyidikan dan penyelidikan harus selalu berpedoman

kepada hukum formil atau hukum acara, hukum acara yang diatur dalam KUHAP

terdapat dalam Pasal 75; Pasal 102; Pasal 103; Pasal 104; Pasal 105; Pasal 106;

Pasal 107; Pasal 108 ayat 4, 5, 6; Pasal 109; dan Pasal 110 ayat 1, selain di dalam

KUHP, hukum acara juga diatur di luar KUHAP, yaitu Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana; Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, termasuk juga hakikat

dari kepentingan hukum itu sendiri, karena hukum dalam perkara ini sangat

2
Amrullah, “Urgensi Saksi Mahkota dalam Persidangan Pidana di Indonesia”,Jurnal Ilmiah
Peuradeun (Media Kajian Ilmiah Sosial Politik, Hukum, Agama dan Budaya , Vol. II, 2014
3
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012 hal.1
3

menentukan arah identifikasi peristiwa tentang ada dan tidak adanya peristiwa

pidana yang telah dilanggar.4

Mengenai pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan diperlukan beberapa

tahap, yaitu menentukan ada atau tidaknya peristiwa pidana dan menentukan siapa

orang yang bisa ditetapkan menjadi tersangka dalam suatu perkara pidana agar tidak

terjadi kesalahan dalam penetapannya. Pada Pasal 9 Peraturan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

dijelaskan bahwa hasil penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik,

wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan suatu peristiwa tindak pidana

tersebut.

Hasil gelar perkara akan berdampak pada putusan hakim yang akan

menghasilkan sebuah keputusan, apakah suatu perkara tersebut dapat ditetapkan

sebagai tindak pidana dan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Pada Pasal 25 Peraturan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan

Tindak Pidana ayat 2 dijelaskan penetapan tersangka dilaksanakan melalui gelar

perkara , kecuali tertangkap tangan. Gelar perkara itu sendiri yaitu merupakan

upaya berupa kegiatan penggelaran proses perkara yang dilakukan oleh penyidik

dalam rangka menangani tindak pidana tertentu sebelum diajukan kepada Penuntut

Umum5. Fungsi gelar perkara dalam penyelidikan tindak pidana merupakan salah

satu upaya untuk membantu penyelidikan dalam memberikan gambaran yang

objektif dan jelas akan status hukum dan aspek hukum suatu permasalahan bagi

4
Ibid., hal. 3
5
Gelar Perkara pada Tindak Pidana Ringan (http://www.gresnews.com, diakses pada 26
Oktober 2020)
4

penyidik pada suatu kasus yang menurut penilaian penyidik tidak jelas6. Jika tidak

dilakukannya gelar perkara dalam suatu kasus yang tidak jelas, maka putusan

terkait kasus tersebut dapat dikatakan belum memenuhi syarat untuk dijadikan

sebuah putusan hakim.

Salah satu kasus yang terjadi di Kota Tanjungpinang yang mana tidak

dilakukannya gelar perkara yaitu kasus money politik yang dilakukan oleh

Apriyandy, S.IP. Money politik yang dilakukan oleh terdakwa dengan modus

membagikan uang kepada saksi terdakwa, padahal uang tersebut digunakan untuk

dibagikan kepada warga di Perumahan Bukit Raya Blok Malino, Kelurahan Pinang

Kencana, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang. Perbuatan

Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 523 ayat (1) Jo Pasal

280 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor : 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan

Umum Jo Pasal 55 ayat(1) ke 1 e KUH. Pidana. Terdakwa kemudian dijatuhkan

amar putusan berikut:

a. Menyatakan Terdakwa M. Apriyandi, S.IP tersebut diatas, terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pelaksana Kampanye

Pemilu dengan sengaja memberikan uang sebagai imbalan kepada peserta

kampanye pemilu secara tidak langsung.

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 5 (lima) bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalankan

terdakwa kecuali sebelum habis masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan,

terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Putusan

Hakim yang berkekuatan hukum tetap dan pidana denda sebesar


5

Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah),dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1

(satu) bulan;

c. Menetapkan barang bukti berupa: Uang tunai Rp.600.000,00 (enam ratus ribu

rupiah); 1 (satu) Unit handphone merk OPPO Tipe CPH1729; 1 (satu) Unit

handphone merk Lenovo Hitam; 1 ( satu) Unit hanphone merk Samsung warna

hitam; Screenshot Chat Whatsapp antara sdri. ENI dan sdri. DEWI terkait

pengumpulan Kartu Keluarga untuk mendukung suara M.APRIYANDY,S.IP

pada pemilu 2019; Screenshot Group Whatsapp “KORLAP

READY”;dipergunakan dalam perkara An. Terdakwa Agustinus Marpaung,

SH.MH,Dkk;

d. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesarRp.5.000,00

(lima ribu rupiah)

Hasil sidang di Pengadilan Negeri Tanjungpinang kemudian dilakukan

banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Pengajuan banding yang dilakukan oleh

terdakwa di Pengadilan Tinggi Pekanbaru menghasilkan amar putusan sebagai

berikut:

a. Menyatakan Terdakwa M. APRIYANDY, S.IP, tersebut diatas tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

yang didakwakan terhadapnya;

b. Membebaskan Terdakwa M. APRIYANDY, S.IP., oleh karena itu dari segala

dakwaan (vrijspraak) ;
6

c. Memulihkan hak-hak Terdakwa M. APRIYANDY, S.IP., dalam

kemampuan,kedudukan, dan harkat serta martabatnya dalam keadaan seperti

semula;

d. Menetapkan barang bukti berupa Uang tunai Rp.600.000,00 (enam ratus ribu

rupiah); 1 (satu) Unit handphone merk OPPO Tipe CPH1729; 1 (satu) Unit

handphone merk Lenovo Hitam; 1 ( satu) Unit hanphone merk Samsung warna

hitam; Screenshot Chat Whatsapp antara sdri. ENI dan sdri. DEWI terkait

pengumpulan Kartu Keluarga untuk mendukung suara M.APRIYANDY,S.IP

pada pemilu 2019; Screenshot Group Whatsapp “KORLAP

READY”;Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam

perkara lain;

e. Membebankan biaya perkara kepada Negara

Kasus tersebut diatas memiliki putusan yang berbeda antara Pengadilan Negeri

Tanjungpinang dan Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Dimana Pengadilan Tinggi

Pekanbaru mengabulkan uji banding dari terdakwa. Uji banding terdakwa dpat

dikabukan dengan alsan tidak adanya alat bukti yang secara sah mengarah kepada

tindak pidana yang dilakuakn oleh terdakwa, disinilah terlihat bahwa tidak adanya

gelar pekara yang dilakukan. Kasus ini menjadi sebuah kasus yang menarik untuk

diteliti karena adanya perbedaan putusan antara Pengadilan Negeri Tanjungpinang

dan Pengadilan Tinggi Pekanbaru, dimana untuk pengadilan Negeri Tanjungpinang

pianang menyatakan bersalah, namun di Pengadilan Tinggi Pekanbaru menyatakan

tidak berslah dengan alsan kuat bahwa tidak adanya bukti yang menunjukkan

bahwa telah dilakukannya tindak pidana oleh terdakwa bersangkutan.


7

Tabel 1. 1 Perbandingan putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang dan putusan


Pengadilan Tinggi Pekanbaru

No. putusan No. putusan Putusan Putusan Keterangan


Pengadilan Pengadilan Pengadilan Pengadilan
Negeri Tinggi Negeri Tinggi
Tanjungpinang Pekanbaru Tanjungpinang Pekanbaru
Terdapat
perbedaan
putusan
antara
261/PID.SUS Pengadilan
182/Pid.Sus/20
/2019/PT Bersalah Bebas Negeri
19/PN Tpg
PBR Tanjungpin
ang dan
Pengadilan
Tinggi
Pekanbaru
Sumber: Putusan PN Tanjungpinang & Putusan PT Pekanbaru

Dua putusan yang berbeda tersebut menimbulkan persepsi dari peneliti

mengapa hal tersebut dapat terjadi. Putusan pengadilan tidak terlepas dari tahap

penyidikan Kepolisian. Salah satu tahapan penyeidikan tindak pidana yang

dilakukan oleh Kepolisisan adalah gelar perkara. Dalam gelar perkara diperlukan

asas - asas yakni salah satunya adalah asas sederhana, cepat dan biaya ringan.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan

Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan

membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan

untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 6

6
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
8

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut dalam rangka penulisan hukum (skripsi) dengan judul :

“Urgensi Gelar Perkara terhadap Kasus NO.182/Pid.Sus/2019/PN Tpg yang

diputus Bersalah di Pengadilan Negeri”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kronologis gelar perkara di Pengadilan Negeri pada kasus

182/Pid.Sus/2019/PN Tpg ?

b. Bagaimana urgensi dilakukannya gelar perkara terhadap kasus

182/Pid.Sus/2019/PN Tpg?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut :


a. Untuk mengetahui bagaimanakah kronologis gelar perkara pada kasus

182/Pid.Sus/2019/PN Tpg ?

b. Untuk mengetahui Bagaimana urgensi dilakukannya gelar perkara terhadap

kasus 182/Pid.Sus/2019/PN Tpg yang diputus bebas di Pengadilan Tinggi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :


9

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pembahasan bahan kajian

pembelajaran serta informasi mengenai ilmu pengetahuan hukum

khususnya di bidang gelar perkara hukum pidana.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembahasan dan

referensi bagi rekan-rekan serta daik-adik seperjuangan khususnya

mahasiswa ilmu hukum konsentrasi hukum pidana selama mengikuti

perkuliahan di Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang mengenai

urgensi gelar perkara.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian hukum yang meneliti pada objek gelar perkara sudah beberapa kali

dilakukan sebagai bahan kajian. Penelitian dengan objek gelar perkara cukup

menarik perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian. Adapun penelitian

yang pernah dilakukan dengan bahasan gelar perkara diantaranya:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Wahyu Mahalani (2016) dengan judul

“Studi Urgensi Gelar Perkara dalam Kelancaran Penyelesaian Perkara Pidana”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pentingnya proses gelar perkara

dalam kelancaran penyelesaian perkara pidana, untuk mengetahui proses gelar

perkara yang dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap perkara pidana serta

untuk mengetahui hambatan yang dialami oleh penyidik dalam pelaksanaan

gelar perkara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan

jenis penelitian deskriptif. Sumber data terdiri dari data primer yaitu hasil

wawancara dan data sekunder yaitu data hukum primer, sekunder dan tersier.

Metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan wawancara kemudian

dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gelar perkara

dilaksanakan untuk memberikan status hukum atas penanganan kasus,sehingga

proses penyelesaiannya tidak mengalami kesalahan dalam pengambilan

keputusan, yang akan berpengaruh dalam proses penanganan perkara pidana.

10
11

Proses gelar perkara oleh penyidik dimulai dari laporan masuk, rancangan gelar

perkara, pelaksanaan gelar perkara dan tahap akhir gelar perkara yang

menghasilkan sebuah kesimpulan dan dibuat notulen kemudian diserahkan kepada

pimpinan untuk ditindaklanjuti. Faktor penghambat pelaksanaan gelar perkara

adalah banyaknya komplain masyarakat dan lamanya penanganan perkara dari

penegak hukum hingga menemukan bukti baru yang akan menghambat jalannya

perkara pidana. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini

adalah fokus pada penelitian dimana pada penelitian yang akan dilakukan berfokus

lebih mendalam kepada kasus yang diputus bebas.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Putu Prashanti,Vahini Kumara & Yohanes

Usfunan (2018) dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Gelar Perkara Dalam

Proses Penyidikan Sebagai Upaya Pengungkapan Tindak Pidana Di Indonesia”.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar

hukum dalam pelaksanaan gelar perkara dan mengetahui bagaimana mekanisme

gelar perkara dalam proses penyidikan sebagai upaya mengungkap tindak pidana

di Indonesia.Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk

dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

(normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk

perilaku hukum, misalnya mengkaji undang-undang.Kesimpulan dari penulisan

ini adalah dasar hukum pelaksanaan gelar perkara dalam proses peradilan pidana

di Indonesia dapat kita lihat dalam beberapa aturan, diantaranya Pasal 7 ayat (1)

huruf j KUHAP, Pasal 66 ayat (2) Perkapolri 12/2009 tentang Pengawasan dan

Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara


12

Republik Indonesia, dan pasal 15 Perkapolri 14/2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana. Mekanisme gelar perkara dalam proses penyidikan

sebagai upaya mengungkap tindak pidana di Indonesia terdiri dari 3 (tiga) tahap,

yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap kelanjutan hasil gelar

perkara. Pada penelitian ini berfokus pada tinjaun yuridis dari gelar perkara,

sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berfokus pada

implikasi dari tinjauan yuridis tersebut dalam gelar perkara tindak pidana.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Andi Afrianty (2013) yang berjudul “Implikasi

Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Hubungannya dengan Gugatan

Perceraian di Pengadilan Agama Makassar”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui implikasi asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam

hubungannya dengan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Makassar dan

selain itu juga bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara pelaksanaan asas

sederhana, cepat dan biaya ringan oleh hakim dengan kultur hukum

masyarakat.Berdasarkan analisis terhadap data dan fakta yang telah penulis

dapatkan, maka penulis berkesimpulan bahwa pertama, asas sederhana, cepat

dan biaya ringan sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, cepatnya

proses berperkara menyebabkan diabaikannya proses mediasi sehingga

meningkatkan jumlah gugatan cerai yang masuk di Pengadilan Agama

Makassar.. Kedua, hakim pada Pengadilan Agama Makassar, tidak terlalu

mempertimbangkan kultur hukum sebagai pertimbangan dalam mengambil

putusan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

implikasinya. Pada penelitian terdahulu implikasinya pada gugatan perceraian,


13

sedangkan pada penelitian yang akan dilakuakan implikasi asas tersebut pada

gelar perkara pada tindak pidana.

2.1.2. Hukum Acara Pidana

Difinisi hukum acara pidana tidak hanya satu dijumpai di kalangan para sarjana

, namun pada intinya mengandung makna dan tujuan yang sama . Seperti oleh Prof.

DR Wirjono Projodikora, mendifinisikan Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu

menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan

hukuman pidana, jadi jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan

untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana, timbul soal cara

bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu

putusan Pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan Pengadilan yang

menjatuhkan suatu hukuman pidana, harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur

dan peratura inilah yang dinamakan hukum acara pidana7.

Amin dalam bukunya, mendifinisikan bahwa hukum acara pidana adalah

Kumpulan ketentuan–ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha

mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum

dalam hukum materiil, berarti memberikan kepada hukum acara ini , suatu

hubungan yang mengabdi terhadap hukum materiil8. Secara keseluruhan Hukum

Pidana dapat dibedakan menjadihukum pidana material dan hukum pidana formal.

Hukum pidana formal menurut R. Soesilo dikatakan bahwa hukum pidana formal

7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967. hal. 15
8
S. M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Sinar Grafika, jakarta 2008, hal. 15
14

itu adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan

tentang :

a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jika ada sangkaan bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran

tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.

b. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara

bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik orang-orang yang

disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan, dan

memeriksa orang itu.

c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa,

menggeledahbadan dantempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu

untuk mambuktikan kesalahan tersangka.

d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh

hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.

e. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu sendiri

dilakukan dan atau dengan singkat dapat dikatakan yang mengatur tentang cara

bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana material,

sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu

harus dilaksanakan9.

Hukum pidana formal itu dinamakan hukum acara pidana, menurut Moeljatno,

berdasarkan atas definisi-definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara

Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang

9 R Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi

Penegak Hukum, Politeia, Bogor, 1982. hal. 57


15

memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur

macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat

dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

Ilmu hukum acara pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan oeh

Negara, dalam hal adanya dugaan dilanggarnya UU Pidana sebagai berikut :

1. Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran.

2. Sedapat mungkin menyidik pelakunya.

3. Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap, kalau perlu ditahan.

4. Alat–alat yang diperoleh dari hasil penyidikan dilimpahkankepada hakim dan

dihadapkan terdakwa kedepan hakim tersebut.

5. Menyerahkan kepada hakim agar diambil putusan tentang terbukti tidaknya

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan tindakan atau hukuman

apakah yang akan diambil atau dijatuhkan.

6. Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut.

7. Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk

dilaksanakan.

2.1.3. Tinjauan Tentang Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang

dengan bukti itu membuat terang tentang perbuatan pidana yang terjadi, guna

menemukan tersangkanya. Dalam hal penyidik telah memulai melakukan


16

penyidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana, penyidik

memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).

Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan dengan SPDP (Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), yang dilampiri : Laporan polisi, Resume

BAP saksi, Resume BAP Tersangka, Berita acara penangkapan, Berita acara

penahanan, Berita acara penggeledahan, Berita acara penyitaan. Secara umum

tahap-tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yaitu :

1. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berisi tentang dasar

penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan, waktu dimulainya

penyidikan, jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak

pidana, identitas tersangka jika sudah diketahui, dana identitas pejabat yang

mengeluarkan SPDP. Adapun tujuan dari SPDP adalah bagian dari pengawasan

antara lembaga dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini adalah bentuk

koordinasi dan pengawasan antara penyidik kepada penuntut umum yang nantinya

akan menerima dan melanjutkan berkas perkara hasil penyidikan.

2. Upaya Paksa

Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat

penegak hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atua untuk memiliki dan

menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak

mendapat gangguan terhadap siapa pun yang diperlukan untuk memperlancar

proses pemeriksaan atau mendapatkan bahan-bahan pembuktian. Secara umum,


17

upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan, sebagai

berikut :

a. Pemanggilan

Pemanggilan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik

kepada seseorang saksi, ahli maupun tersangka, karena kewenangannya

untuk datang di kantor yang telah ditentukan, untuk kepentingan tertentu

yang berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang terjadi. Pemanggilan

merupakan tindakan hukum yang mempuyai kekuatan memaksa, dan

berakibat hukum dan menimbulkan implikasi yang dapat dilihat dari status

orang yang dipanggil yaitu sebagai saksi maupun tersangka. Pemanggilan

diatur dalam Pasal 112 KUHAP yaitu penyidik yang melakukan

pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,

berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk

diperiksa dengan surat pemanggilan yang sah dengan memperhatikan

tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang

itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Orang yang dipanggil wajib

datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali

lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

b. Penangkapan

Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka

20 KUHAP yaitu Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila

terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan


18

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini. Pasal 16 KUHAP menyatakan bahwa untuk kepentingan penyelidikan,

penyelidik atas perintah penyidik, dan untuk kepentingan penyidikan,

penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Selanjutnya dalam Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah

penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan

tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Adapun bukti

permulaan yang cukup adalah berupa laporan polisi ditambah dengan satu

alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah

melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukannya

penangkapan

c. Penahanan

Pengertian penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21

KUHAP yaitu Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa

ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan

penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini. Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan

kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang

harus dihormati, namun demi kepentingan ketertiban umum yang harus

dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, oleh karena itu penahanan

dilakukan jika perlu sekali. Penahanan dilakukan oleh penyidik untuk

kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dan


19

hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Adapun jangka

waktu penahanan oleh penyidik selama 40 hari dapat diperpanjang selama

20 hari, penahanan oleh penuntut umum selama 20 hari dapat diperpanjang

selama 30 hari, penahanan hakim pengadilan negeri selama 30 hari dapat

diperpanjang selama 60 hari, penahanan oleh hakim pengadilan tinggi

selama 30 hari dapat diperpanjang selama 60 hari, dan penahanan oleh

hakim mahkamah agung selama 50 hari dapat diperpanjang selama 60 hari,

sehingga total jangka waktu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa

adalah selama 400 hari, dan apabila jangka waktu pada tiap-tiap tahapan

kewenangan tersebut telah berakhir, maka tersangka atau terdakwa harus

dikeluarkan dari penahanan demi hukum (Pasal 24-29 KUHAP).

d. Penggeledahan

Penggeledahan merupakan salah satu upaya paksa yang merupakan

kewenangan penyidik dalam proses penyidikan. Pengertian penggeledahan

terdiri dari penggeledahan rumah diatur dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP

yaitu Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki

rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan

pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan

penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP yaitu

Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan

pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang

diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta untuk disita.
20

e. Penyitaan

Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 16

KUHAP yaitu : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk

mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda

bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Dengan kata lain, bahwa penyitaan adalah mengambil barang-barang dari

tangan seseorang yang memegang atau menguasai barang itu, kemudian

menyerahkannya kepada pejabat yang memerlukan untuk keperluan

pemeriksaan atau pembuktian perkara di sidang pengadilan, dan barang

tersebut ditahan untuk sementara waktu sampai ada keputusan pengadilan

tentang status barang tersebut, artinya mengenai siapa yang berhak

menerima/memiliki barang tersebut.

f. Pemeriksaan Surat

Mengenai pemeriksaan surat berkaitan dengan pencarian alat bukti

surat yang akan digunakan dalam pembuktian. Pemeriksaan surat diatur

dalam Pasal 47 KUHAP yaitu : 1) Penyidik berhak membuka, memeriksa

dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi,

jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut

dicurigai dengan alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana

yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari

ketua pengadilan negeri. 2) Untuk kepentingan tersebut, penyidik dapat

meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
21

perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan

kepadanya surat yang dimaksud, dan untuk itu harus diberikan surat tanda

penerimaan. Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat pasal ini, dapat

dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dan proses peradilan menurut

ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 48

KUHAP mengatur bahwa jika dalam surat yang telah dibuka dan diperiksa

mempunyai hubungan dengan perkara yang diperiksa, maka surat tersebut

dilampirkan pada berkas perkara, apabila tidak maka surat tersebut ditutup

dengan rapih dan diserahkan kembali dengan dibubuhi tanda tangan,

tanggal, tanda tangan penyidik serta cap yang berbunyi bahwa surat tersebut

telah dibuka oleh penyidik, di mana penyidik wajib merahasiakan isi surat

tersebut.

3. Pemeriksaan

Pemeriksaan pada tahap penyidikan dilakukan terhadap tersangka, saksi dan

kepada ahli jika dibutuhkan berkaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana.

Pemeriksaan kepada tersangka, saksi, dan ahli dilakukan dengan memanggil

terlebih dahulu melalui surat resmi dengan memperhatikan tenggang waktu

pemeriksaan, kecuali kepada tersangka yang sudah ditahan tidak perlu dilakukan

pemanggilan.

4. Penyelesaian Berkas Perkara

Setelah penyidik melakukan serangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan

bukti antara lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, dan

tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta


22

tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang, selanjutnya

penyidik menganalisa dan mengambil kesimpulan serta pendapat atas hasil

penyidikan tersebut. Semua tindakan dalam penyidikan dituangkan dalam berita

acara kemudian disusun dan dihimpun menjadi berkas perkara hasil penyidikan

5. Pelimpahan Perkara Ke Penuntut Umum

Penyerahan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum diatur dalam Pasal

8 KUHAP bahwa penyidik menyerahkan berkas perkara ke penuntut umum dengan

dua tahap, yaitu tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, dan

tahap kedua dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

berkas perkara beserta tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada

penuntut umum.

2.1.4. Tinjauan Tentang Gelar Perkara

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHP, yang dimaksud dengan tersangka adalah

seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (2)

Perkapolri 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara

Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menentukan

memperoleh bukti permulaan tersebut ditentukan melalui gelar perkara. Meskipun

tidak secara jelas diatur dalam KUHAP, namun terkaitgelar perkara ini dapat kita

ketahui melalui Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, dimana salah satu wewenang

penyidik adalah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu

(integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh
23

penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Gelar perkara

merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyelidikan. Gelar perkara juga

diatur lebih jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang dalam pasal 15 menentukan bahwa

gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Perkapolri 14/2012, mekanisme gelar perkara

dilaksanakan dengan cara gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Gelar

perkara biasa dilaksanakan dengan tahap awal, pertengahan, dan akhir proses

penyidikan10. Gelar perkara biasa pada tahap awal penyidikan bertujuan untuk :

a. Menentukan status perkara pidana atau bukan;

b. Merumuskan rencana penyidikan;

c. Menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;

d. Menentukan saksi, tersangka, dan barang bukti;

e. Menentukan target waktu; dan

f. Penerapan teknik dan taktik penyidikan.

Gelar perkara biasa pada tahap pertengahan penyidikan bertujuan untuk :

a. Evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penyidikan;

b. Mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan

penyelesaian penyidikan;

c. Menentukan rencana penindakan lebih lanjut;

d. Memastikan terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan;

10
Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012
24

e. Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan barang bukti dengan pasal

yang dipesangkakan;

f. Memastikan pelaksanaan penyidikan telah sesuai dengan target yang ditetapkan;

dan/atau

g. Mengembangkan rencana dan sasaran penyidikan.

Gelar perkara biasa pada tahap akhir penyidikan bertujuan untuk :

a. Evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan;

b. Pemecahan masalah atau hambatan penyidikan;

c. Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan bukti;

d. Penyempurnaan berkas perkara;

e. Menentukan layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut

umum atau dihentikan; dan/atau

f. Pemenuhan petunjuk jpu.

Sementara itu, selain gelar perkara biasa, juga ada gelar perkara khusus. Gelar

perkara khusus ini bertujuan untuk :

a. Merespon laporan/ pengaduan atau protes dari pihak yang berperkara atau

penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik;

b. Membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti

baru ;

c. Menentukan tindakan kepolisian secara khusus; atau

d. Membuka kembali penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang

berkekuatan hukum tetap.


25

Berdasarkan Pasal 72 Peraturan Kapolri 14/2012, tahapan penyelenggaraan

gelar perkara meliputi:

a. Persiapan

1. Penyiapan bahan paparan gelar perkara oleh tim penyidik;

2. Penyiapan sarana dan prasarana gelar perkara; dan

3. Pengiriman surat undangan gelar perkara.

b. Pelaksanaan

1. Pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara;

2. Paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan

hasil penyidikan yang telah dilaksanakan;

3. Tanggapan para peserta gelar perkara;

4. Diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara; dan

5. Kesimpulan gelar perkara.

c. Kelanjutan hasil gelar perkara

1. Pembuatan laporan hasil gelar perkara;

2. Penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang;

3. Arahan dan disposisi pejabat yang berwenang;

4. Tindak lanjut hasil gelar perkara oleh penyidik dan melaporkan

perkembangannya kepada atasan penyidik; dan

5. Pengecekan pelaksanaan hasil gelar perkara oleh pengawas penyidik

2.1.5. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Proses peradilan pidana yang dilaksanakan dengan sederhana mempunyai arti

penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara


26

dari masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan, yang

tidak memberikan peluang bekerja secara berbelit-belit, dan dari dalam berkas

tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang mudah

dimengerti oleh pihak yang berkepentingan. Proses peradilan pidana yang

dilaksanakan dengan cepat mempunyai arti menghindari segala rintangan yang

bersifat prosedural, agar tercapainya efisiensi kerja mulai dari kegiatan

penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan akhir yang berkekuatan hukum

tetap dapat selesai dalam waktu relatif singkat. Proses peradilan dengan biaya

ringan mempunyai arti menghindari sistem administrasi perkara dan mekanisme

bekerjanya aparat penegak hukum yang mengakibatkan beban biaya bagi pihak

yang berkepentingan atau masyarakat yang tidak sebanding, karena biaya yang

dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan lebih kecil.11

Proses perkara pidana yang cepat dan sederhana di Indonesia seyogyanya dapat

dijalankan tanpa jajaran paralel badan peradilan, melainkan dapat ditempuh dua

cara lain, yaitu :

1. Membentuk sub bagian khusus perkara ringan disamping perkara biasa, dan

2. Fungsi lembaga supervisi tidak perlu dibentuk sendiri, tetapi dibebankan kepada

satiap pimpinan dari masing-masing dinas di tingkat daerah selaku satuan tugas,

dan pada tingkat pusat pelaksana yang terdiri atas pimpinan Kepolisian,

Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Badan Kehakiman lain yang ditunjuk.

11
Poernomo, Bambang. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta. Amarta Buku,
2011. hal 65
27

Proses perkara pidana cepat, sederhana dan biaya yang ringan dapat diwujudkan

dengan bantuan sarana penunjang berupa :

a. Kerjasama secara koordinatif dan tindakan yang sinkron diantara para petugas,

b. Membentuk badan koordinasi yang bersifat fungsional untuk pengawasan,

c. Proses verbal interogasi dan surat tuduhan disusun dengan singkat dan mudah

dimengerti, dan

d. Meningkatkan diferensiasi jenis kejahatan atau pelanggaran disertai

intensifikasi pembagian tugas penyelesaian perkara.12

Asas ini lazim disebut sebagai asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

atau asas contente justitie serta asas peradilan yang bebas, jujur dan tidak memihak

atau asas fair trial. Pada dasarnya asas ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-

undang nomor 14 tahun 1970 jis Undang-undang No. 35 Tahun 1999 , Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 : Penjelasan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor

24 tahun 1970 jis Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor

4 Tahun 2004; Penjelasan Umum angka 3 huruf (e) KUHAP. Secara konkret

apabila dijabarkan, dengan dilakukan peradilan secara cepat, sederhana dan biaya

ringan dimaksudkan supaya terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai

berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses

administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya.

Penerapan asas ini dalam praktik peradilan dapat diberi nuansa bahwa peradilan

cepat dan sederhana tampak dengan adanya pembatasan waktu perkara baik perdata

12
Ibid., hal 66-67.
28

maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negri dan pengadilan tinggi)

masing-masing selama 6 bulan dan jika waktu enam bulan belum diputus, Ketua

Pengadilan Negeri atau pengadilan tinggi harus melaporkan hal tersebut beserta

alasan-alasannya kepada ketua pengadilan tinggi atau Ketua Mahkamah Agung

(Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal

21 Oktober 1992). Sedangkan terhadap peradilan dengan biaya ringan khususnya

dalam perkara pidana berorientasi pada pembebanan biaya perkara yang dijatuhi

pidana (Pasal 197 ayat (1) huruf (i) jo. Pasal 222 ayat (1) KUHAP). Yang

berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi

Seluruh Indonesia Nomor KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 jo. Surat

Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor SE-MA/17 Tahun 1983 dan

angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.14-

PW. 07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman

Pelaksanaan KUHAP ditentukan pedoman biaya perkara minimal Rp. 500,- dan

maksimal Rp. 10.000,- itu adalah Rp. 7500,- bagi pengadilan tingkat pertama dan

Rp. 2.500,- bagi pengadilan tingkat banding.13

Sebagai perbandingan mengenai peradilan cepat, Lintong Oloan Siahaan, dalam

bukunya menjabarkan tentang sistem peradilan Prancis lebih cepat dari sistem

peradilan Indonesia. Adapun hal-hal yang menyebabkan jalannya peradiilan

Prancis lebih cepat adalah sebagai berikut:

13
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti,
2012, hal.10
29

a. Tidak dapat disangkal, bahwa kemampuan ekonomi dan kemajuan teknologi


mereka sudah jauh melebihi kita, memegang peranan yang penting sekali
dalam hal ini. Betapa pun hebatnya sistem dan peraturan-peraturan yang sibuat,
jika kemampuan ekonomi dan sarana-sarana perlengkapan tidak
mengimbanginya, maka mustahil hal itu akan terlaksana. Adapun kemampuan
ekonomi dan kemajuan teknologi yang penulis maksudkan kurang lebih
sebagai berikut :
1. Sarana lalu lintas jalan yang sudah sampai hingga pelosok, dan fasilitas
kendaraan baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, sudah
memungkinkan para pencari keadila untuk dapat menghadiri sidang-sidang
pengadilan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan.
2. Sistem komputer yang sudah dipakai dalam bidang peradilan, sangat
membantu sekali, misalnya seorang Hakim yang ingin mengetahui segala
peraturan-peraturan atau jurisprudensi-jurisprudensi atas kasus-kasus yang
sedang dihadapinya, maka hanya dengan menyebutkan saja tindak-tindak
pidananya atau petunjuk-petunjuk yang launnya, malam komputer tadi akan
menjawab semua itu. Juga dalam proses penyidikan oleh kepolisian,
komputer ini memegang peranan yang lebih penting lagi.
3. Peralatan kantor misalnya mesin tik, lemari meja, alat-alat fotocopy dan
lain-lain jauh lebih komplit dari yang kita miliki.
4. Bidang personalia, diamping jumlah Hakim-hakim dan Panitera yang
cukup, sesuai dengan volume pekerjaan yang ada, staf kepaniteraan itu, juga
dilengkapi dengan tenaga pengetik dan sekretaris-sekretaris lulusan dari
skolah-sekolah khusus yang mereka tempuh. Mereka semua bekerja pada
bidangnya masing-masing.
5. Gaji dari semua personalia-personalia diatas adalah pantas, hingga mereka
dapat bekerja dengan tenang dan baik, dimana hal itu mendorong ke arah
displin kerja yang baik pula. Dengan penghasilan yang mereka peroleh,
mereka takut sekali berbuat korupsi, dan melanggar peraturan disiplin kerja.
b. Sistem judge de la mise en etat dalam perkara-perkara perdata, dan sistem
judge d’ instruction dalam perkara-perkara pidana, sangat mempercepat sekali
jalnnya persidangan . Dimana dalam persidangan-persidangan hampir tidak
pernah diulang ladi peeriksaan saksi-saksi dan alat-alat bukti, kecuali adanya
sangkalan keras yang masuk akal. Hali itu semua sudah dipercayakan kepada
Hakim-hakim judge se la mise en etat dan judge d’ instruction di atas.
Terkecuali pada La Cour d’ assis dalam perkara-perkara pidana. Sistem JI ii
juga penting sekali terhadapa perlindungan hak-hak asasi mausia, sekalipun
mereka itu adalah tersangka.
c. Sistem oral (lisan) atas plaidoirie pengacara dan requisitoir Jaksa dalam
perkara-perkara perdata, juga mempercepat jalannya persidangan. Mereka
mengucapkan ini semua secara lisan, segera setelah pemeriksaan dinyatakan
selesai (cloture). Hal yang sama dalam perkara-perkara perdata juga demikian,
akan tetapi pengacara tadi, setelah mengucapkan plaidoire-nya wajib
menyerahkan kesimpulan-kesimpulan tertulis yang telah disusunnya terlebih
dahulu. Sidang perkara perdata hanya debat semata-mata oleh karena Hakim
juge de la mise en etat sudah merampungkan semuanya sebelum sidang.
30

d. Bentuk-bentuk putusan baik dalam perkara-perkara perdata, maupun dalam


perkara-perkara pidana sangat sederhana sekali. Dalam perkara-perkara
perdata pada umumnya putusan tidak perlu diucapkan dalam suatu sidang lagi,
cukup hanya diumumkan di tempat-tempat pengumuman saja, agar mudah
dilihat oleh pengacara. Dalam perkara-perkara pidana putusan-putusan tersebut
hanya beberapa kalimat saja, tak perlu dengan pertimbangan-pertimbangan
yang banyak seperti yang kita lakukan disini. Putusan verstek (en defaut)
adalah banyak sekali. Pokoknya dalam suatu sidang kalau tertuduh tudak hadir,
langsung verstek. Apakah hal ini juga tidak mempercepat jalannya
persidangan? Catatan Bentuk-bentuk putusan yang tertulis biasanya menyusul
kemudian, akan tetapi itu pun singkat juga, jika dibandingkan dengan bentuk-
bentuk putusan-putusan kita. Cukup satu sampai tiga halaman saja.
e. Wewenang memutuskan dalam tingkat terakhir (er derniere ressorts) dari
pengadilan tingkat I, atas perkara-perkara yang bernilai 3500 F ke bawah dalam
perkara-perkara perdata, banyak mengurangi arus mengalirnya perkara-
perkara ke pengadilan-pengadilan Tinggi, maupun ke Mahkamah Agung.
f. Hampir dalam setiap perkara pidana tanpa kecuali, ada tuntutan ganti-
kerugiannya, dari pihak-pihak yang menjadi korban. Hal ini diperiksa dan
diputus bersama-sama. Cara ini adalah sangat menguntungkan sekali bagi
pihak-pihak yang akan tidak perlu lagi mengajukan gugatan-gugatan ganti-
rugi. Dengan cara ini dia tidak perlu lagi mengajukan gugatan-gugatan
tersendiri dalam proses persidangan yang tersendiri, yang sudah barang tentu
akan memakan waktu dan pengorbanan-pengorbanan lain yang banyak pula.
g. Sistem pemeriksaan yang marathon dan oral pada La Cour d’ assis dan caranya
mengambil serta mengucapkan putusan yang langsung dilakukan segera
setelah Requisitor dan Plaidoire daripada Jaksa dan pengacara selesai, sangat
cepat sekali. Boleh dikatakan perkara-perkara besar seperti pembunuhan,
perampokan dan sebagainya, yang di negara kita disidangkan dalam waktu dua
atau tiga bulan lamanya, disana hanya paling lama dua atau tiga hari saja.
h. Akhirnya mutu hakim menurut penulis menentukan juga terhadap cepatnya
jalan peradilan. Hakim-hakim yang bermutu akan cepat sekali mengetahui
serta menguasai persoalan-persoalan yang dihadapinya. Untuk itu seleksi
calon-calon Hakim harus diperketat. Mereka harus digodok di dalam suatu
pendidikan khusus selama lebih kurang satu tahun, kemudian satu tahun lagi
berpraktek dalam berbagai-bagai bidang di pengadilan-pengadilan. Barulah
setelah itu dilepas bekerja sebagai Hakim pada pengadilan yang
membutuhkannya. Di samping itu harus dipikirkan juga penataran-penataran
yang permanen bagi Hakim-hakim sebagai tempat penyegaran, tukar fikiran,
serta tukar-tukar pengalaman antara sesama.14

14
Lintong O. Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. akarta .
Ghalia Indonesia. 2009, hal. 113-117
31

2.1.6. Politik Uang

Politik uang berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris yaitu money dan

politic, money yaitu uang dan politic yaitu politik dari kedua penertian tersebut daat

disimpulkan secara kebahasaan yaitu politik uang. Politik uang dapat diartikan

sebagai suap, arti suap dalam buku kaus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.

Sedangkan Istilah money politic (politik uang) ialah menggunakan uang untuk

memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk

memengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan.

Ada yang mengartikan politik uang pengertiannya adalah suatu upaya

memengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga

diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-

bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih

(voters).

Menurut pakar hukum tata negara Yuzril Ihza Mahendra definisi money politic

sangat jelas, yakni mempengaruhi masa pemilu dengan imbalan materi. Sedangkan

menurut Hamdan Zoelva, money politic adalah upaya mempengaruhi perilaku

pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi (uang atau barang).

Demikian juga money politic termasuk mempengaruhi penyelenggara dengan

imbalan tertentu untuk mencuri atau menggelembungkan suara, termasuk membeli

suara dari pesertaatau calon tertentu15. Namun demikian, money politic berbeda

dengan biaya politik dimana hal itu adalah sebuah keniscayaan karena biaya politik

15
Dedi Irawan, Jurnal tentang Ilmu Pemerintahan Vol. 3 No. 4
32

merupakan biaya pemenangan yang wajar dan dibenarkan oleh hukum. Selain itu

definisi dari Johny Lomulus, juga menyatakan bahwa money politic merupakan

kebijaksanaan dan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau

pimpinan partai politik agar masuk sebagai calon kepala daerah yang definitif dan

atau masyarakat pemilih memberikan suaranya kepada calon tersebut yang

memberikan bayaran atau bantuan tersebut.

Gary Goodpaster, dalam studinya mendifinisikan money politic sebagai bagian

dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses pemilu, yang meliputi pemilihan

presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Gary Goodpaster, kemudian

menyimpulkan bahwa money politic merupakan transaksi suap-menyuap yang

dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam

pemilihan16.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan money politic

adalah semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi

lainnya kepada seseorang supaya memilih calon tertentu pada saat pemilihan umum

ataupun tidak menjalankan haknya untuk tidak memilih. Politik uang umumnya

dilakukan untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan hak suaranya tiap

pemilihan umum.

Selanjutnya dari definisi tersebut dapat disimpulkan money politic terdiri

dari beberapa unsur, yaitu:

16
Dedi Irawan, Jurnal tentang Ilmu Pemerintahan Vol. 3 No. 4
33

1) Dengan sengaja, maksudnya perbuatan itu memang diketahui dan dikehendaki

oleh pelakunya;

2) Menjanjikan, dianggap sudah cukup perbuatan pelaku hanya dengan perkataan

saja;

3) Memberikan, berupa memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada orang

lain;

4) Kepada pemilih;

5) Lansung atau tidak langsung;

6) Memilih calon tertentu; atau

7) Tidak menggunakan hak pilih

Money politic dalam Hukum Positif terdapat dalam Pasal 73 ayat 3 Undang-

Undang No. 3 Tahun 1999 yang berbunyi : “ Barang siapa pada waktu

diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan

pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu menjalankan

haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,

dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu

dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji

berbuat sesuatu.” Praktek money politic dalam sejarah Indonesia diantaranya diatur

dalam UndangUndang No.10 Tahun 2001 dan Undang-Undang Anti Korupsi atau

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya tindak pidana

suap adalah bagian dari tindak pidana korupsi. Dalam KUHP yaitu pasal 149 ayat

(1) dan (2) untuk menjerat pelaku politik uang. Ayat (1) berbunyi “Barang siapa

pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum dengan memberi


34

atau menjanjikan sesuatu menyuap seorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau

supaya memakai hak itu menurut cara tertentu diancam dengan pidana paling lama

sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah”.

Sedangkan ayat (2) berbunyi “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang

dengan menerima pemberian atau janji mau disuap”.

2.2. Kerangka Teori

2.2.1. Teori Gelar Perkara

Gelar perkara/ Aan Wijzing adalah penjelasan para pihak dalam kegiatan

pergelaran proses penyidikan suatu perkara yang dilakukan oleh penyidik dalam

rangka menangani suatu perkara secara tuntas sebelum diajukan ke jaksa penuntut

umum. Gelar perkara sangat penting dalam proses penyelidikan dan penyidikan

untuk mendapatkan masukan/tanggapan melalui penjelasan yang disampaikan oleh

para pihak yakni pelapor/kuasa hukumnya, demikian juga pihak terlapor/kuasa

hukumnya yang hadir dalam gelar perkara sesuai undangan penyidik/pengawas

penyidik17. Gelar perkara diatur dalam beberapa undang undang dan peraturan

pelaksana lainnya diantaranya adalah:

Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 huruf j tentang Hukum Acara Pidana

(“KUHAP”) yang berbunyi:

“Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”

17
M. Yahya Harahap. 2017. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
35

Pasal 9 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

6tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang berbunyi :

“Dalam hal atasan Penyidikm enerima keberatan dari pelapor atas penghentian
penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,dilakukan gelar perkara
untuk menentukan kegiatan penyelidikan dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap
penyidikan”

Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun


2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang berbunyi:

“Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi: a.penyelidikan;


b.pengiriman SPDP; c.upaya paksa; d.pemeriksaan; e.gelar perkara; f.penyelesaian
berkas perkara; g.penyerahan berkas perkara ke penuntut umum; h.penyerahan
tersangka dan barang bukti; dan i.penghentian Penyidikan.”

2.2.2. Teori Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Murah

Setiawan di dalam bukunya menyatakan pendapat tentang asas peradilan


sederhana, cepat dan biaya murah yakni18 :

“Peradilan cepat didalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah
“segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut dalam
KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebenarnya harus
diterapkan dalam peradilan terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum adanya keputusan Hakim karena menyangkut hak-hak asasi manusia.”

“Peradilan Cepat, Sederhana dan biaya Ringan tidak hanya ada di peradilan perdata
saja tapi juga ada di peradilan pidana. Pengadilan perdata baru bertindak kalau
sudah ada pengaduan, dari pihak yang menjadi korban. Orang itulah sendiri yang
harus mengurus perkaranya ke dan di muka pengadilan perdata. Sedangkan dalam

18
Gelar Perkara : Gelar Perkara pada Tindak Pidana Ringan. (2017, Maret 14).
36

hukum pidana yang bertindak dan yang mengurus perkara ke dan di muka
pengadilan pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan
negara seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim.”

“Peradilan yang sederhana jangan sengaja dipersulit oleh Hakim kearah proses
pemeriksaan yang berbelit-belit sampai jalannya pemeriksaan “mundur terus”
dengan berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum. Cepat dalam proses
peradilan artinya penyelesaian perkara memakan waktu tidak terlalu lama,
peradilan cepat ini bukan bertujuan untuk menyuruh Hakim memeriksa dan
memutuskan perkara misalnya dalam tempo satu jam atau setengah jam, yang
dicita-citakan ialah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka
waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kederhanaan peradilan itu
sendiri”

“Biaya ringan berarti tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar diperlukan
secara rill untuk penyelesaian perkara. Biaya harus ada tarif yang jelas dan
seringan-ringannya. Segala pembayaran di pengadilan harus jelas kegunaannnya
dan diberi tanda terima uang”

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir di dalam sebuah penelitian diperlukan sebagai pedoman alur

penelitian yang berangkat dari latar belakang dan kerangka teori. Alur pada

penelitian ini dimulai dari undang-undang dan peraturan pelaksana yang kemudian

diselarakan dengan asas pereadilan sederhana, cepat dan biaya murah sebagai

bentuk efisiensi dalam gelar perkara peradilan.


37

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

Putusan NO.182/Pid.Sus/2019/PN Putusan No.


Tpg (dinyakan bersalah di 261/PID.SUS/2019/PT PBR
(dinyakan bebas di Pengadilan
Pengadilan Negeri)
Tinggi)

Bagaimana kronologis gelar


perkara di Pengadilan Negeri pada
kasus 182/Pid.Sus/2019/PN Tpg

Bagaimana urgensi dilakukannya


gelar perkara terhadap kasus
182/Pid.Sus/2019/PN Tpg

Analisa kronologi gelar perkara


menggunakan teori gelar perkara
dan Perkapolri No. 12 Tahun 2014

Kesimpulan

2.4. Definisi Konsep

Dalam peradilan gelar perkara menjadi salah satu tahapan yang harus

dilakukan untuk mengambil keputusan, akan tetapi pelaksanaan gelar perkara


38

terkadang kurang efisien yang mengakibatkan sebuah kasus harus melakukan

sidang berulang. Padahal dalam konsep peradilan dapat digunakan asasa peradilan

yang meliputu asasa sederhana, cepat dan biaya murah. Perlu adanya indikasi untuk

melihata bagaimana urgensi gelar perkara pada tindak pidana yang diputus bebas

berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah. Indikator penelitian

ini akan berpegang pada beberapa hal yang sudah disebutkan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris.

Penelitian hukum normatif-empiris ini pada dasarnya ialah penggabungan antara

pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan dari berbagai unsur-unsur

empiris. Dalam metode penelitian normatif-empiris ini juga mengenai

implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya setiap

peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Non Judicial Case Study. Pendekatan Non

Judicial Case Study adalah pendekatan studi kasus hukum tanpa adanya konflik

sehingga tidak akan ada campur tangan pengadilan19. Sedangkan sifat penelitian

adalah deskritif yang bertujuan memberikan gambaran secara jelas tentang masalah

yang diteliti.

3.2. Objek dan Lokasi Penelitian

Objek penelitian dalam suatu penelitian diperlukan untuk mengidentifikasi dan

mendapatkan pertukaran informasi ilmiah di dalam sumber penelitian yang tujuan

utamanya adalah menyediakan mekanisme untuk mengaitkan sumber data terkait

tentang suatu penelitian ilmiah sehingga dapat diidentifikadikan sutu hasil

penelitian yang bersifat ilmiah. Pada penelitian ini adalah terkait dengan gelar

perkara dengan objek penelitian adalah Satreskrim Polres Tanjungpinang yang

19
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo, 1996, hal. 28

39
40

menangani kasus dengan No Putusan 182/Pid.Sus/2019/PN Tpg dan lokasi

penelitian ini di Polres Tanjungpinang.

3.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian bermanfaat bagi pembatasan mengenai objek penelitian yang

diangkat, manfaat lainnya dalah agar peneliti tidak terjebak ke luar pemetaan

penelitian yang hendak diteliti. Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana

pelakasanaan gelar perkara yang efektif dan berdasar pada asas peradilan

sederhana, cepat dan murah biaya.

3.4. Sumber Data

Sumber data adalah subyek darimana data dapat di peroleh. Pada penelitian

ini sumber data yang diperoleh berupa:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang penulis peroleh secara langsung melalui

responden dengan cara melakukan penelitian dilapangan.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data hukum dalam penelitian yang diambil dari studi

kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan non hukum.20 Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan

penelusuran literatur yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dan teori

yang mendukungnya.

20
Ibid. hal 141

40
41

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk mengumpulkan

informasi atau fakta-fakta lapangan dalam suatu penelitian. Adapun sumber data

dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data

berupa:

a. Wawancara/Interview

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan

langsung daftar pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti kepada responden.

b. Kajian Kepustakaan

Kajian kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan

literatur-literatur kepustakaan yang memiliki korelasi dengan permasalahan

yang sedang diteliti.

3.6. Teknik Analisa Data

Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif,

metode analisis deskriptif kualitatif adalah menganalisis, menggambarkan, dan

meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa

hasil wawacara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di

lapangan 21.

3.7. Jadwal Penelitian

Adapun target jadwal penelitian yang akan dilaksankan oleh peneliti dapat

dilihat pada tabel berikut.

21
Ananda P, 2017, Trunojoyo Jurnal. Vol 35

41
42

42
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Objek dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berupa penelitian tentang urgensi gelar

perkara terhadap kasus No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg yang diputus bersalah di

Pengadilan Negeri. Fokus pada penelitian ini adalah tentang gelar perkara pada

kasus tersebut yang dilakukan oleh tim penyidik Polres Tanjungpinang. Lokasi

pada penelitian ini ialah di Polres Tanjungpinang pada bagian Satreskrim yang

menangani kasus ini.

Polres Tanjungpinang beralamat di Jalan Sei Jang, Bukit Bestari,

Tanjungpinang. Memiliki visi “Terwujudnya Kota Tanjungpinang yang Aman dan

Tertib” dengan misi “Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat”. Polres

Tanjungpinang hingga saat ini di pimpin oleh Kapolres AKBP FERNANDHO, S.H,

S.I.K. Data pada penelitian ini diambil melalui teknik wawancara pada Satreskrim

Polres Tanjungpinang yang di pimpin oleh RIO REZA PARINDRA, S.H, S.I.K.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Ketentuan tentang gelar perkara

Awal dari rangkaian peradilan pidana, adalah tindakan penyelidikan dan

penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi

peristiwa pidana. Penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu harus dilakukan

dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat

bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau

43
44

peraturan hukum pidana, yang itu tentang hakikat peristiwa pidana. Apabila

pengumpulan alat bukti-alat bukti dalam peristiwa pidana itu telah memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu, maka pemenuhan unsur dalam peristiwa pidana

itu telah siap untuk diproses.

Proses penyelidikan dan penyidikan adalah hal yang sangat penting dalam

hukum acara pidana, sebab dalam pelaksanaannya sering kali harus menyinggung

derajat dan/atau martabat individu yang berada dalam persangkaan. Dalam

mengungkap kebenaran terkait dengan kejadian-kejadian yang sudah lampau,

diperlukan suatu cara khusus karena semakin lama kejadian tersebut, maka semakin

sukar bagi penyidik untuk menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh

karena itu, penyidik tidak dapat memastikan bahwa suatu peristiwa hukum benar-

benar sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, maka hukum acara pidana

sebetulnya hanya menunjukkan jalan guna mencari kebenaran materiil.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri

Kehakiman, Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran

yang selengkap-legkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah

pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan

selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa

itu dapat dipersalahkan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga

memberikan juga kewenangan kepada penyidik Polri untuk melakukan penyidikan.


45

Proses penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim, bersama-

sama lembaga pemasyarakatan dalam suatu sistem peradilan pidana.

Polri sebagai ujung tombak dari penegakan hukum perlu memelihara

integritasnya selaku penyidik oleh karenanya penyidikan tindak pidana sebagai

salah satu tahap dari penegakan hukum. Kepolisian Negara Republik Indonesia pun

tergerak untuk mengikuti arus reformasi dengan melakukan perubahan struktur

organisasi dan sikap mental. sesuai dengan nawacita presiden jokowi yaitu revolusi

mental, Polri yang semula terkesan sebagai sok penguasa, harus menjadi penegak

hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat, serta meningkatkan

kemampuanya baik dari segi fisik maupun kemampuan teknis penyidikanya melalui

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dituntut secara professional

menangani tindak pidana yang terjadi baik dilaporkan oleh masyarakat maupun

ditemukan sendiri oleh petugas polri.

Masyarakat dengan pengetahuan hukum yang semakin tinggi sering

mengkritisi langkah-langkah dan tindakan polisi dalam menangani suatu perkara

tindak pidana seperti demo/unjuk rasa, mengajukan gugatan praperadilan, maupun

komentar melalui media cetak dan elektronik. Dalam melakukan penyelidikan

sebelum ditingkatkan ke penyidikan, penyidik polri terkadang mengalami

hambatan dalam menentukan perkara yang ditanganinya termasuk pidana atau

bukan, serta hambatan dalam menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan

atau dituduhkan kepada tersangka kadang masih dianggap kabur dan kurang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukanya, serta dalam menentukan

saksi, penetapan tersangka dan barang bukti.


46

Adanya perbedaan-perbedaan pendapat dalam penafsiran hukum diantara

penyidik dan penasehat hukum maupun penuntut umum, selain itu dalam rangka

pengawasan intern kepolisian untuk meminimalisir tindakan yang bertentangan

dengan hukum, serta penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik dan guna

memecahkan masalah atau hambatan penyidikan, dengan dilandasi

motivasi/landasan filosofi untuk meningkatkan kemampuan teknis professional

dalam sistem penyidikan tindak pidana maka Kepolisian mengambil langkah yang

cukup positif dengan membuat terobosan Peraturan Kepolisian Nomor 14 tahun

2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana serta standar operasional

pelaksanaan penyidikan tindak pidana dan gelar perkara.

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHP, yang dimaksud dengan tersangka adalah

seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (2)

Perkapolri 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan

Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk

menentukan memperoleh bukti permulaan tersebut ditentukan melalui gelar

perkara.

Tersangka sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah

seseorang yang karena perbuatanya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan bukti permulaan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 21 Perkap No.14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana adalah alat bukti berupa laporan Polisi dan

satu alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah
47

melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.

Sedangkan untuk melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka yang

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dan penahanan terhadap

tersangka harus dilakukan setelah melalui gelar perkara, selain itu penghentian

penyidikan oleh penyidik polri sesuai Pasal 76 ayat 2 Perkap No 14 Tahun 2012

tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana bahwa sebelum dilakukan

penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara.

Pasal 1 butir (17) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur

Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana, pengertian dari gelar perkara adalah

kegiatan penyampaian tentang proses atau hasil penyelidikan dan penyidikan oleh

penyidik kepada peserta gelar dalam bentuk diskusi kelompok untuk mendapatkan

tanggapan/koreksi dalam rangka menghasilkan rekomendasi untuk menentukan

tindak lanjut proses penyidikan. Proses pelaksanaan gelar perkara dilaksanakan

untuk meminimalisir kesalahan terhadap tindakan yang dipersangkakan. Agar

penyidik dalam mengambil keputusan tidak salah langkah dalam menentukan

putusan/tindakan lebih lanjut.

Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan

pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka

gelar perkara yang dilakukan menjadi cacat hukum. Tujuan gelar perkara adalah

untuk mencegah terjadinya praperadilan, untuk memantapkan penetapan unsur-

unsur pasal yang dituduhkan, sebagai wadah komunikasi antar penegak hukum,

untuk mencapai efisiensi dalam penanganan perkara.


48

Agar panggilan untuk proses gelar perkara tersebut dapat dianggap sah dan

sempurna, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dan harus

dihadiri langsung oleh pihak pelapor dan terlapor. Dengan kata lain tak boleh

diwakilkan kepada pihak lain. Adapun prosedur dan bentuk pemangggilan, yaitu:

1) Panggilan berbentuk surat panggilan yang berisi alasan pemanggilan, status

orang yang dipanggil (sebagai tersangka atau saksi).

2) Surat panggilan ditanda tangani pejabat penyidik.

3) Pemanggilan memperhatikan tenggang waktu antara tanggal hari diterimanya

surat panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap.

Setelah dilakukan Penyelidikan jika sudah ada 2 (dua) alat bukti, maka akan di

tingkatkan ke tingkat Penyidikan, dalam hal status dari penyelidikan ditingkatkan

ke Penyidikan serta penetapan tersangka di lakukan Gelar Perkara. Pasal 69

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana. Mengenai pelaksanaannya gelar perkara dibagi menjadi 2 yaitu : 22

1) Gelar Perkara Biasa adalah gelar perkara yang dilaksanakan penyidik dan

dipimpin ketua tim penyidik atau atasan penyidik,

2) Gelar Perkara Khusus adalah gelar perkara yang dilaksanakan karena adanya

komplain dari pengadu baik pihak pelapor ataupun terlapor atau atas

permintaan pimpinan Polri atau permintaan dari pengawas internal atau

pengawas eksternal Polri atau perintah penyidik itu sendiri.

22
Bangkut, N. S. (2019). Kajian Yuridis Gelar Perkara Oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Journal Lex Et Societatis, Volume VII No. 2 p 154- 160.
49

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Perkapolri 14/2012, mekanisme gelar perkara

dilaksanakan dengan cara gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Gelar

perkara biasa dilaksanakan dengan tahap awal, pertengahan, dan akhir proses

penyidikan. Gelar perkara biasa pada tahap awal penyidikan bertujuan untuk :

1) Menentukan status perkara pidana atau bukan;

2) Merumuskan rencana penyidikan;

3) Menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;

4) Menentukan saksi, tersangka, dan barang bukti;

5) Menentukan target waktu; dan

6) Penerapan teknik dan taktik penyidikan.

Gelar perkara biasa pada tahap pertengahan penyidikan bertujuan untuk :

1) Evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penyidikan;

2) Mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan

penyelesaian penyidikan;

3) Menentukan rencana penindakan lebih lanjut;

4) Memastikan terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan;

5) Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan barang bukti dengan

pasal yang dipesangkakan;

6) Memastikan pelaksanaan penyidikan telah sesuai dengan target yang

ditetapkan; dan/atau

7) Mengembangkan rencana dan sasaran penyidikan.


50

Gelar perkara biasa pada tahap akhir penyidikan bertujuan untuk :

1) Evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan;

2) Pemecahan masalah atau hambatan penyidikan;

3) Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan bukti;

4) Penyempurnaan berkas perkara; menentukan layak tidaknya berkas perkara

dilimpahkan kepada penuntut umum atau dihentikan; dan/atau

5) Pemenuhan petunjuk JPU.

Sementara itu, selain gelar perkara biasa, juga ada gelar perkara khusus. Gelar

perkara khusus ini bertujuan untuk :

1) Merespons laporan/pengaduan atau complain dari pihak yang berperkara

atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku

penyidik;

2) Membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan

bukti baru ;

3) Menentukan tindakan kepolisian secara khusus; atau

4) Membuka kembali penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang

berkekuatan hukum tetap.

Gelar perkara khusus sebagaimana Pasal 71 ayat (2) Perkapolri 14/2012

dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan pertimbangan:

1) Memerlukan persetujuan tertulis Presiden/Mendagri/Gubernur;

2) Menjadi perhatian publik secara luas;

3) Atas permintaan penyidik;


51

4) Perkara terjadi di lintas negara atau lintas wilayah dalam negeri;

5) Berdampak massal atau kontinjensi;

6) Kriteria perkaranya sangat sulit;

7) Permintaan pencekalan dan pengajuan DPO ke Interpol/Divhubinter Polri;

atau

8) Pembukaan blokir rekening.

Meskipun tidak secara jelas diatur dalam KUHAP, namun terkait gelar perkara

ini dapat kita ketahui melalui Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, dimana salah satu

wewenang penyidik adalah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab. Gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara

dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Gelar

perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan. Gelar perkara

juga diatur lebih jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang dalam Pasal 15 menentukan bahwa

gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan.

Frans Hendra Winarta, dalam artikel Gelar Perkara Bagian dari Sistem

Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system) 23. Secara formal, gelar perkara

dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika

tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat

23
Novia Puspa Ayu Larasti (2020). Tinjaun Yuridis Sosiologis terhadap Gelar Perkara dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Studi di Polrestabes Semarang).
52

cacat hukum. Lebih jauh Frans menjelaskan, gelar perkara atau biasa disebut

dengan ekspos perkara juga harus dihadiri langsung oleh pihak pelapor dan terlapor.

Tak boleh diwakilkan oleh pihak lain. Selain itu, masih menurut Frans, gelar

perkara juga mesti dihadiri ahli yang independen, kredibel, dan tidak memiliki

catatan hukum. Dari gelar perkara yang menghadirkan pelapor, terlapor dan juga

saksi ahli maka diharapkan dihasilkan kejelasan perkara.

Gelar perkara sangat penting dalam proses penyelidikan dan penyidikan untuk

mendapatkan masukan/tanggapan melalui penjelasan yang disampaikan oleh para

pihak yakni pelapor/kuasa hukumnya, demikian juga pihak terlapor/kuasa

hukumnya yang hadir dalam gelar perkara sesuai undangan penyidik/pengawas

penyidik.

Penjelasan para pihak pelapor/terlapor/kuasa hukumnya masing-masing

didalam gelar perkara tersebut merupakan masukan yang akan dikaji oleh para

peserta gelar terutama fungsi hukum polri dan propam polri untuk meneliti sampai

sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan penyidik terutama peningkatan

penyelidikan menjadi penyidikan termasuk penetapan tersangka apakah

pembuktian telah sesuai dengan prosedur serta menjunjung tinggi hak asasi

manusia.

Berdasarkan hal tersebut pada intinya bahwa pelaksanaan gelar perkara sebagai

upaya untuk menemukan solusi tindak lanjut penyelesaian penyidikan tindak

pidana yang menjadi tanggung jawabnya dan gelar perkara dapat dijadikan sebagai

sarana pengawasan dan pengendalian penyidikan perkara agar tidak terjadi


53

penyimpangan dan salah satu arah serta mempercepat penyelesaian penyidikan

tindak pidana dengan memanfatkan pendapat para ahli, praktisi, penyidik serta para

atasan penyidik dan pihak-pihak lain yang berkepentingan serta gelar perkara

sebagai wadah komunikasi antar penegak hukum.

Proses penyidikan dikepolisian wajib dilakukan gelar perkara karena dengan

dilakukan gelar perkara hasil penyidikanya lebih sempurna lebih fair dari pada yang

tidak dilakukan gelar perkara, dan gelar perkara dapat mencegah kesalahan

administrasi penyidikan/penetapan tersangka yang tidak tepat serta mencegah

gugatan praperadilan terhadap penyidik yang menangani perkara tersebut.

Kebijakan dibidang sistem peradilan pidana diperlukan dalam upaya

menangulangi kejahatan terdiri dari tahapan kebijakan formulatif, kemudian

tahapan aplikatif dan tahapan eksekutif. Kebijakan formulasi merupakan kebijakan

menetapkan dan merumuskan sesuatu dalam peraturan perundang-undangan,

kebijakan ini dapat dilakukan dengan membuat atau merumuskan suatu perundang-

undangan yang efektif untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari aparat

penegak hukum sehingga adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Kebijakan formulasi mengenai pelaksanaan gelar perkara dalam proses penyidikan

tindak pidana serta mengenai praperadilan dan penerapan hukumnya hendaknya

memperhatikan pula faktor-faktor pendukung yang berperan penting.

Meskipun tidak secara jelas diatur dalam KUHAP, namun terkait gelar perkara

ini dapat kita ketahui melalui Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, dimana salah satu

wewenang penyidik adalah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang


54

bertanggung jawab. Gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara

dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Gelar

perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan. Gelar perkara

juga diatur lebih jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang dalam pasal 15 menentukan bahwa

gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan.

Gelar perkara diatur dalam beberapa undang undang dan peraturan pelaksana

lainnya diantaranya adalah:

1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;

2) UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

3) Petunjuk Pelaksanaan No. Pol: Juklak/5/IV/1984/Ditserse, tanggal 1 April

1984 tentang Pelaksanaan Gelar Perkara.

4) Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000

tentang Himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan tindak pidana;

5) Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polri;

6) Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002

tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polda.

Tujuan dilakukannya gelar perkara oleh penyidik di tingkat kepolisian adalah

untuk memantapkan penetapan unsur-unsur pasal yang dituduhkan dan untuk

mencapai efisiensi dan penuntasan dalam penanganan perkara. Dengan dilakukan


55

gelar perkara atas indikasi tindak pidana atas diri seseorang juga diharapkan untuk

meminimalisir dilakukannya praperadilan kepada penyidik, dalam hal ini

Kepolisian.

Mekanisme gelar perkara baik pelapor maupun terlapor akan dipertemukan

oleh pihak penyidik, dimana kerap kali pihak penyidik juga menghadirkan Ahli

untuk memberikan keterangan atas perkara tersebut, dengan harapan bahwa

keterangan ahli akan memperjelas tentang dugaan tindak pidana tersebut dan

langkah/tahapan yang akan diambil oleh penyidik selanjutnya.

Kecermatan penyidikan itu bertujuan untuk mendapatkan bukti-bukti yang

diperlukan yang terkait dengan peristiwa pelanggaran hukum pidana. Hal ini

merupakan langkah yang sangat penting untuk menemukan dan menentukan

peristiwa pelanggaran hukum atau bukan pelanggaran pelanggaran hukum, yang

didukung oleh ketercukupan unsur-unsur hukum dalam peristiwa tindak pidananya.

Kegiatan penyelidikan dilakukan sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan dan

sesudah ada Laporan Polisi/pengaduan atau dalam rangka penyidikan. Kegiatan

penyelidikan tersebut, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan

penyidikan untuk :

1) Menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau

bukan.

2) Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya

3) Dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa


56

Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, melainkan hanya

merupakan salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan. Penyelidikan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Tindakan

penyelidikan lebih dikategorikan sebagai tindakan pengusutan sebagai usaha

mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa

yang diduga merupakan tindak pidana. Penyelidikan menurut KUHAP tersebut

dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk

mencari tahu dan memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah

terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Seperti kita ketahui bahwa tidak setiap

peristiwa yang terjadi diduga sebagi tindak pidana merupakan tindakan pidana,

maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan

konsekuensi digunakan upaya paksa maka berdasarkan data atau keterangan yang

didapat dari hasil penyelidikan ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang

terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana

sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan. Jadi di sini kita lihat bahwa

penyelidikan memegang peranan penting, penyelidikan merupakan tindakan awal,

dan tindakan-tindakan dalam rangka proses penyelesaian perkara itu tergantung

pada penyeledikan yang mengawalinya.

Tahap Penyelidikan Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki

koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana

tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan. Artinya para penyidik

terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuanketentuan,

yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan hal tersebut, dalam


57

pelaksanaan proses penyidikan, peluangpeluang untuk melakukan penyimpangan

atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat

dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan etika

penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus di miliki oleh seorang

penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang

penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik

dalam menjalankan tugas-tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan

sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara-cara yang

mengatur dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Pasal I angka 5. Penyelidik

karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari

keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain

menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik. Apabila

didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik

dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan,

meninggal-kan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga

dapat meakukan pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari

dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap

tangan tersebut. Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan
58

orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP

menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik

dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

4.2.2 Hasil
Kasus No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg merupakan sebuah kasus yang disinyalir

adalah kasus pelanggaran pemilu tahun 2019 di wilayah kota Tanjungpinnag yang

dilakukan oleh tersangka berupa kasus money politik yang kemudian diputus

bersalah di Pengadilan Negeri Tanjungpinang berdasarkan putusan

No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg namun diputus bebas di Pengadilan Tinggi

Pekanbaru berdasarkan putusan No. 261/PID.SUS/2019/PT PBR, sehingga dapat

ditarik kesimpulan terdapat perbedaan putusan antara Pengadilan Negeri

Tanjungpinang dan Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

Perbedaan putusan ini membuat peneliti berpikir tentang alasan yang membuat

beda kedua putusan ini dan dari sekian banyak tahap penyelidikan disini terdapat

satu tahap penyelidikan yang berpotensi menyebabkan adanya perbedaan hasil

putusan antara putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang dan putusan Pengadilan

Tinggi Pekanbaru yakni pada tahap gelar perkara.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Satreskrim


24
Polres Tanjungpinang yang menangani kasus ini dengan pembahasan terkait

gelar perkara yang peneliti asumsikan dengan membuat list pertanyaan wawancara

di dapatkan hasil yang telihat pada tabel 4.1

24
Satreskrim Polres Tanjungpinang
59

Tabel 4.1 Hasil Wawancara


No Pertanyaan Jawaban
Apakah kasus Untuk kasus ini diadakan penyidikan dari
No.182/Pid.Sus/2019 PN tim gabungan yang terdiri dari polisi, jaksa
1
Tpg diadakan penyidikan dan tim dari bawaslu
oleh Polres Tanjungpinang?
Bagaimana jalannya Penyidikan kasus ini dilakukan sesuai SOP
2 penyidikan terhadap kasus yang berlaku dan sesuai dengan peraturan
tersebut? yang ada
Adakah kendala dalam Tidak ada kendala yang berarti dalam
3
penyidikan kasus tersebut? penyidikan kasus ini
Apakah dilakukan gelar Ya dilakukan gelar perkara, namun ada
4 perkara terhadap kasus beberapa unsur yang sesuai Perkapolri
tersebut? yang tidak terpenuhi
Apakah gelar perkara Gelar perkara tentu saja di lakukan untuk
5 dilakukan di setiap kasus setiap kasus tindak pidana
atau hanya kasus tertentu?
Bagaimana efektivitas gelar Hasil gelar perkara tentu saja
6 perkara tehadap putusan mempengaruhi putusan yang dikeluarkan
kasus? oleh pengadilan
Putusan sepenuhnya merupakan hak dari
Bagaimana tanggapan Pengadilan sesuai dengan keputusan
terhadap kasus yang diputus hakim, dari tim penyidik hanya bisa
7 bersalah di Pengadilan mengumpulkan bukti yang diperlukan
Negeri namun di putus sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
bebas di Pengadilan Tinggi? pengadilan, untuk putusan akhir
sepenuhnya kewenangan Pengadilan
Sumber: Hasil wawancara peneliti

Pada kasus ini dilakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan namum pada

tahapan gelar perkara. Proses penyelidikan dikepolisian wajib dilakukan gelar

perkara karena dengan dilakukan gelar perkara hasil penyidikanya lebih sempurna

lebih fair dari pada yang tidak dilakukan gelar perkara, dan gelar perkara dapat

mencegah kesalahan administrasi penyidikan/penetapan tersangka yang tidak tepat

serta mencegah gugatan praperadilan terhadap penyidik yang menangani perkara


60

tersebut25. Kasus dengan No No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg Putusan terdapat

beberapa tahapan yang tertuang dalam Perkapolri Tentang gelar perkara yang tidak

terpenuhi. Namun informasi tentang tahapan yang tidak terpenuhi tersebut tidak

peneliti peroleh disebabkan oleh keterbatasan informasi berupa jawaban dari

narasumber Satreskrim Polres Tanjungpinang. Pada penyelidikan ini tim penyidik

tidak hanya terdiri dari tim polisi tapi juga melibatkan tim dari pengadilan dan tim

dari bawaslu karena kasus ini merupakan kasus pelanggaran pemilu sesuai dengan

Peraturan bersama No. 31 Tahun 2019 tentang pelaksanaan penyidikan pelaku

dugaan pidana pelanggaran pemilu.

4.2.3 Pembahasan
Kedudukan gelar perkara dalam proses penyelesaian perkara pidana sendiri

adalah sebagai salah satu dari kegiatan pengawasan penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana yang sedang ditangani.

Kegiatan pengawasan dilaksanakan agar memastikan setiap tahapan penyidikan

berjalan sesuai dengan ketentuan. Gelar perkara dilaksanakan untuk meminimalisir

tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik agar tidak terjadi kesalahan

dalam menentukan tindak lanjut terhadap sebuah perkara pidana yang sedang

ditangani. Tindakan penyidik Kepolisian yang melakukan gelar perkara merupakan

suatu tindakan yang bersifat kehati-hatian penyidik dalam penanganan sebuah

perkara pidana.

25
61

Dilaksanakannya gelar perkara selain untuk memberi kepastian hukum atas

sebuah kasus yang ditangani, gelar perkara juga dilaksanakan dalam rangka

mendukung efektivitas penyidikan dan pengawasan, mengefektivitas tugas dan

peran pengawas penyidik dan atasan penyidikan, memberikan klarifikasi

pengaduan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum

dan juga dilaksanakan berdasarkan kebutuhan dalam proses penyidikan dan bukan

intervensi pimpinan. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya gelar perkara dapat

dihadiri siapasiapa saja yang mempunyai kepentingan dalam kasus/gelar perkara

yang sedang dilaksanakan oleh Kepolisian, dari pelapor, pengacara/kuasa

hukumnya atau mungkin bisa dihadiri oleh jaksa dan terlapor sendiri bahkan juga

dapat dihadirkan untuk gelar bersama jadi diharapkan dengan adanya gelar perkara

termasuk keterbukaan dalam proses penyidikan, tidak tertutup semua orang berhak

mengikuti gelar perkara jadi bisa menganalisa perkara itu, nanti hasil gelar terakhir

bisa direkomendasikan untuk menjadi pedoman tindak lanjut proses selanjutnya

Pelaksanaan gelar perkara dalam kasus Dugaan Pelanggaran Pemilu Bahwa

pengadu melaporkan teradu ke pihak Kepolisian Kota Tanjungpinang dengan

tuduhan money politik yang dilakukan oleh teradu dalam Pemilu 2019 di Kota

Tanjungpinang. Selanjutnya, dalam kasus tersebut terlapor disimpulkan bersalah

dan terdapat cukup bukti melakukan pelanggaran Pemilu politik uang berdasrkan

putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Dengan dilaksanakannya gelar perkara

dapat membuktikan apakah kasus yang sedang ditangani adalah kasus pidana atau

bukan pidana dan apakah terlapor terbukti melakukan tindak yang dipersangkakan

atau tidak. Oleh karena itulah pelaksanaan gelar perkara harus atau penting untuk
62

dilaksanakan agar dapat membuktikan bahwa sebuah tindakan/peristiwa yang telah

terjadi atau dilaporkan merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana dan juga

terhadap tersangka/ terlapor terbukti melakukan tindak pidana atau tidak, jadi untuk

kepentingan pengadilan sebelum perkara di lanjutkan ketahap berikutnya yaitu

pembuatan berkas pengadilan.

Menurut Pasal 1 butir (17) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar

Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana, pengertian dari gelar

perkara adalah kegiatan penyampaian tentang proses atau hasil penyelidikan dan

penyidikan oleh penyidik kepada peserta gelar dalam bentuk diskusi kelompok

untuk mendapatkan tanggapan/koreksi dalam rangka menghasilkan rekomendasi

untuk menentukan tindak lanjut proses penyidikan. Proses pelaksanaan gelar

perkara dilaksanakan untuk meminimalisir kesalahan terhadap tindakan yang

dipersangkakan. Agar penyidik dalam mengambil keputusan tidak salah langkah

dalam menentukan putusan/tindakan lebih lanjut.

Mengenai pelaksanaannya gelar perkara dibagi menjadi 2 yaitu: (1) Gelar

Perkara Biasa adalah gelar perkara yang dilaksanakan penyidik dan dipimpin ketua

tim penyidik atau atasan penyidik, (2) Gelar Perkara Khusus adalah gelar perkara

yang dilaksanakan karena adanya komplain dari pengadu baik pihak pelapor

ataupun terlapor atau atas permintaan pimpinan Polri atau permintaan dari

pengawas internal atau pengawas eksternal Polri atau perintah penyidik itu sendiri.
63

Gelar perkara yang dilakukan pada kasus politik uang yang termasuk dalam

pelanggaran pemilu ini disinyalir tidak memenuhi kriteria tahapan sesuai dengan

Perkapolri, namun informasi tersebut tidak penulis peroleh karena kurangnya

keterbukaan informasi dari Satreskrim yang bertindak sebagai penyidik dari kasus

ini.

Pasal 72 Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan

Tindak Pidana ada 3 tahap penyelenggaraan Gelar Perkara yaitu tahap persiapan,

pelaksanaan, dan kelanjutan hasil gelar perkara. Tahap persiapan dalam

penyelenggaraan Gelar Perkara meliputi:

a. Penyiapan bahan paparan gelar perkara oleh tim penyidik.

b. Penyiapan sarana dan prasarana gelar perkara, dan

c. Pengiriman undangan gelar perkara

Tahapan penyelenggaraan Gelar Perkara meliputi:

a. Pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara.

b. Paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan hasil

penyidikan yang telah dilaksanakan

c. Tanggapan para peserta gelar perkara.

d. Diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara.

e. Kesimpulan gelar perkara.

Tahap kelanjutan hasil gelar perkara dalam penyelenggaran gelar perkara

meliputi:
64

a. Pembuatan laporan hasil gelar perkara

b. Penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang

c. Arahan dan diposisi pejabat yang berwenang.

d. Tindak lanjut hasil gelar perkara oleh penyidik dan melaporkan

perkembangannya kepada atasan penyidik.

e. Pengecekan pelaksanaan hasil gelar perkara oleh pengawas

penyidikan.Banyaknya kasus hukum yang melibatkanpejabat ataupun publik

figur akhir-akhir inikerap menyebutkan istilah hukum yang terdapat dalam acara

pidana. Salah satunyaistilah gelar perkara oleh penyidik.

Pelaksanaan gelar perkara sebagai upaya untuk menemukan solusi tindak lanjut

penyelesaian penyidikan tindak pidana yang menjadi tanggung jawabnya dan gelar

perkara dapat dijadikan sebagai sarana pengawasan dan pengendalian penyidikan

perkara agar tidak terjadi penyimpangan dan salah satu arah serta mempercepat

penyelesaian penyidikan tindak pidana dengan memanfaatkan pendapat para ahli,

praktisi, penyidik serta para atasanpenyidik dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan serta gelar perkara sebagai wadah komunikasi antar penegak

hukum. Bahwa Polri sebagai ujung tombak dari pada penegakan hukum perlu

memelihara integritasnya selaku penyidik yang mandiri oleh karenanya penyidikan

tindak pidana sebagai salah satu tahap dari pada penegakan hukum harus

dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku26.

26
Hilmy, Yunan, “Penegakan Hukum oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justice
dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 2, No. 2, Agustus 2018.
65

Pelaksanaan gelar perkara yang tepat dan sesuai dengan Perkapolri akan

mempengaruhi hasil putusan yang tepat pula sehingga ketika dilakukan pengusulan

ulang terhadap kasus maka hasilnya tidak akan jauh berbeda27. Jika dilakukan tidak

sesuai dengan Perkapolri, maka akan menimbukan beberapa hal seperti kerugian

waktu dan materi yang telah dikeluarkan dalam pelaksanaan gelar perkara tersebut.

27
Rumajar, Johana Olivia, “Alasan Pemberhentian Penyidikan Suatu Tindak Pidana Korupsi”,
Jurnal Lex Crimen, Vol. 3, No.4, Agustus-November 2014.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil penelitian yang dilakkan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa dalam

kasus No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg yang diputus bersalah, telah dilakukan gelar

perkara oleh pihak terkait, namun gelar perkara tesebut tidak atau kurang efektif.

Karena tidak sesuai dengan ketentuan gelar perkara yang tertuang dalam

Perkapolri. Hal tersebut didasari dari keterangan yang diperoleh oleh peneliti

pada saat melakukan wawancara terhadap narasumber yang menangani gelar

perkara kasus No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg.

2. Kesimpulan yang dibuat oleh peneliti ini, peneliti tarik berdasarkan

pertimbangan dengan studi literasi yang peneliti lakukan. Kesimpulan ini bukan

menjadi penentu atau berniat menghakimi atas gelar perkara yang dilakukan

pada kasus No.182/Pid.Sus/2019 PN Tpg. Kesimpulan ini hanya bersifat hasil

penelitian sesuai dengan apa yang dipahami oleh peneliti tentunya dengan hasil

pemikiran yang yang didasari dengan Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku hingga pada saat sekarang ini.

5.2. Saran

Gelar perkara yang sejatinya merupakan bagian penting dala tahap

penyelidikan hendaknya dilakukan sesuai dang mengacu pada Permenkapolri dan

peraturan-peraturan terkait yang berhubungan dan memiliki kaitan, sehingga hasil

gelar perkara akan baik yang berimbas pada penyelesaian kasus dengan baik.

66
67

Adapun saran dari peneliti dalam akhir penelitian ini adalah bagi diri peneliti

sendiri semoga dapat mengumpulkan informasi yang lebih kompleks kedepannya

dan bagi para pembaca semoga hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai sebuah

referensi serta dapat disempurnakan lagi penelitian ini kedepannya.


DAFTAR REFERENSI

A. Buku
Amin. S. M. (2016). Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta. Sinar Grafika

Adami Chazawi. 2017. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I; Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Adami Chazawi. 2017. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3; Percobaan &


Penyertaan.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah. 2016. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Andi Hamzah. 2016. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Chairuddin Ismail. 2017. Kapita Selekta Penegakan Hukum Tindak Pidana


Tertentu. Jakarta: PTIK Press.

Eldin H. Zainal. 2017. Hukum Pidana Islam (Sebuah Perbandingan ; AlMuqaranah


Al Mazhab Fi Al-Jinayah). Medan: Cita Pustaka Media Perintis.

Gatot Supramono. 2017. Bagaimana Mendampingi Seseorang Di Pengadilan


(Dalam Perkara Pidana dan Perkara Perdata). Jakarta: Djambatan.

H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib. 2016. Hukum Pidana. Malang: Setara
Press.

Hartono. 2018. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan


Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Hilman Hadikusuma. 2016. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.

Hartono. (2012). Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan


Hukum Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.

Leden M. 2017. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

68
Lintong O. S. (2009). Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita.
Jakarta . Ghalia Indonesia.

M. Yahya Harahap. 2017. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP;


Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Mahmud Mulyadi. 2016. Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana. Medan: USU
Press.

Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral. 2011. Community Policing: Diskresi Dalam
Pemolisian Yang Demokratis. Medan: PT. Sofmedia.

Moeljatno. 2018. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta

Mulyadi. L (2012) Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. Citra
Aditya Bakti.

Poernomo. B. (2011) . Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta.


Amarta Buku.

Prodjodikoro. W. (1967). Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta . Sumur

Bandung.

Soesilo. R. (1982) Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum. Bogor. Politeia.

Sunggono. B. (1996). Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Raja Grafindo.

Suharto. 2016. Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai

Proses Penyelidikan Sampai Persidangan. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka

Karya.

69
B. Jurnal
Agustina. M. (2016). Proses Pelaksanaan Gelar Perkara, Jurnal Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Amrullah, (2016). Urgensi Saksi Mahkota dalam Persidangan Pidana di Indonesia.
Jurnal Ilmiah Peuradeun (Media Kajian Ilmiah Sosial Politik, Hukum, Agama
dan Budaya) , Vol. II.
Ananda P. (2017). Keabsahan Gelar Perkara Terbuka Dalam Kasus Basuki Tjahaja
Purnama Sesuai Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang
Manajeman Penyidikan Tindak Pidana. Trunojoyo Jurnal. Vol 35

Bangkut, N. S. (2019). Kajian Yuridis Gelar Perkara Oleh Kepolisian Negara


Republik Indonesia. Journal Lex Et Societatis, Volume VII No. 2 p 154-
160.

Dedi Irawan, 2016. Jurnal Tentang Ilmu Pemerintah, Vol. 3, Nomor 4 Studi
Tentang Politik Uang (Money Politics) Dalam Pemilu Legislatif Tahun
2014 (Studi Kasus di Kelurahan Sempaja Selatan). Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Mulawarman

Hamdan Tuna. (2016) Peran Penyidik dalam Mengungkap Peristiwa Tindak Pidana
Pencemaran Nama Baik Ditinjau dari Penegakan Hukum Pidana. Law
Jurnal. Vol 67

Hilmy, Yunan, “Penegakan Hukum oleh Kepolisian Melalui Pendekatan


Restorative Justice dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Rechtsvinding,
Vol. 2, No. 2, Agustus 2018.

Juwono, H. (2016). Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development:


Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia. Indonesian Journal of
International Law, Volume 3 No. 2 p 212-241.

Moeliono, Tristam P. dan Wulandari, Widadi, “Asas Legalitas dalam Hukum Acara
Pidana: Kritikan terhadap Putusan MK tentang Praperadilan”, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 22, No. 4, Oktober 2016.

70
Novia Puspa Ayu Larasti (2020). Tinjaun Yuridis Sosiologis terhadap Gelar
Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Studi di Polrestabes
Semarang). Jurnal UNNES.

Rumajar, Johana Olivia, “Alasan Pemberhentian Penyidikan Suatu Tindak Pidana


Korupsi”, Jurnal Lex Crimen, Vol. 3, No.4, AgustusNovember 2014.

Sahuri. (2020). Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana


Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 2, Nomor 3, Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Hukum,
Purwokerto

Sugama, I Dewa Gede Dana, “Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Magister Hukum Udayana,
Vol. 3, No. 1, 2016

Tri Bawono. B (2016). Tinjauan Yuridis Hak-Hak Tersangka dalam Pemeriksaan


Pendahuluan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 245, Fakultas Hukum
UNISULA, Semarang,

Zulkarnain. R. (2017). Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat.


Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5

C. Website
Gelar Perkara : Gelar Perkara pada Tindak Pidana Ringan. (2017, Maret 14).
http://www.gresnews.com
Sahetapi. (2011). Asas Peradilan Pidana. UNILA.
D. Undang- undang
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekusaan Kehakiman

71
LAMPIRAN

Dokumentasi Penelitian

72

Anda mungkin juga menyukai