Anda di halaman 1dari 6

Nama : Novi Melyanti

NIM : 170574201053

1. Hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata tercantum dalam pasal 1 KUHD. “Pasal
1 KUH Dagang, disebutkan bahwa KUH Perdata seberapa jauh dari padanya kitab ini tidak
khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang
dibicarakan dalam kitab ini.”. Juga disebutkan dalam pasal 15 KUHD, “Pasal 15 KUH
Dagang, disebutkan bahwa segala persoalan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan
pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.”. Lapangan hukum
perdata sangat penting dan menjadi persyaratan utama sebelum mempelajari hukum dagang,
sebab di dalamnya terdapat hukum dagang itu sendiri. Prof. Subekti SH. Berpendapat bahwa
terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Oleh
karena sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan
dagang bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian perekonomian. Seperti
telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD hanyalah
berdasarkan sejarah saja yaitu karena dalam hukum Romawi (yang menjadi sumber
terpenting dari Hukum Eropa Barat) belum terkena peraturan peraturan sebagai yang
sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru mulai berkembang
abad pertengahan.

2. Adapun asas-asas kontrak dalam Burgelijk Wetboek yaitu:


a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat
perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
b. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada
pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami
dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah
asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian
formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
(dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis
literis dan contractus innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah
berkaitan dengan bentuk perjanjian.
c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta
sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada
mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa
terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
d. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya
dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasuskasus posisi berikut ini.
Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest
ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.

3. Dasar hukum
 Dasar hukum tentang firma diatur dalam pasal 16-35 KUHD
 Dasar hukum pendirian CV diatur dalam pasal 19-35 KUHD
 Dasar hukum Perseroan Terbatas didasarkan pada peraturan pemerintah yang tertulis
dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007.
 Dasar hukum koperasi adalah UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang menyatakan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
 Dasar hukum perusahaan perseroan adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969.

4. Perbedaan firma dan cv yakni, bentuk usaha CV mengharuskan keanggotaan minimal 2 (dua)
pihak dengan tanggung jawab peran yang berbeda, yaitu sekutu aktif yang bertugas
menjalankan pengurusan CV, dan sekutu pasif yang hanya memberikan modal namun tidak
menjalankan pengurusan CV. Meskipun sekutu aktif merupakan sekutu yang menjalankan
pengurusan CV, namun sekutu aktif juga tetap harus memberikan modal ke dalam CV karena
CV adalah persekutuan perdata di mana seluruh sekutu diwajibkan memberikan modal untuk
kemudian berbagi keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dijalankan. Sedangkan, Firma
menganggap bahwa semua sekutu dapat menjalankan pengurusan Firma dan bertindak untuk
dan atas nama Firma. Hal ini dikarenakan dalam Firma tidak dikenal istilah sekutu aktif dan
sekutu pasif, sehingga semua sekutu dapat menjalankan pengurusan Firma, kecuali memang
ditentukan secara tegas dalam anggaran dasarnya bahwa sekutu tertentu tidak berwenang
menjalankan kegiatan usaha Firma

5. Badan usaha berbadan hukum:


 Perseroan Terbatas (“PT”)

Mempunyai sebuah ketentuan minimal modal dasar, yang ada dalam UU 40/2007
minimal modal dasar PT yakni Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25 %
dari modal tersebut telah disetorkan ke dalam PT Pemegang saham hanya memiliki
tanggung jawab atas saham yang ia miliki, Dengan bedasarkan peraturan UU tertentu
diwajibkan agar badan usaha berbentuk sebuah PT.

 Koperasi
Beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan berlandaskan
kegiatan berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus untuk gerakan ekonomi rakyat berdasar
atas asas kekeluargaan. Sifat keanggotaan koperasi ialah sukarela bahwa tidak ada
paksaan untuk menjadi anggota koperasi serta terbuka bahwa tidak ada pengecualian
untuk menjadi anggota koperasi. Dasar hukum koperasi adalah UUD 1945 Pasal 33 Ayat
1.

6. PT atau Perseroan Terbatas adalah Badan Hukum yang dimiliki oleh minimal dua orang
dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi
dari pengurus dan pemegang saham perusahaan tersebut. Di dalam PT, Pemilik Modal
(Pemegang Saham) tidak harus memimpin perusahaan dengan cara menunjuk orang lain di
untuk menjadi Direktur atau Komisaris.
Syarat umum pendirian perseroan terbatas (PT) adalah :
 Fotokopi KTP, NPWP & KK para pemegang saham dan pengurus, minimal 2 orang
 Foto Direktur ukuran 3x4 latar belakang merah
 Copy PBB tahun terakhir sesuai domisili perusahaan
 Copy Surat Kontrak/Sewa Kantor atau bukti kepemilikan tempat usaha
 Surat Keterangan Domisili dari pengelola Gedung jika berdomisili di Gedung
Perkantoran
 Surat Keterangan RT / RW (jika dibutuhkan, untuk perusahaan yang berdomisili di
lingkungan perumahan) khusus luar jakarta
 Kantor berada di Wilayah Perkantoran/Plaza, atau Ruko, atau tidak berada di wilayah
pemukiman
 Surat Keterangan Zonasi dari Kelurahan
 Stempel Perusahaan

7. Adapun prosedur pendirian PT yakni:


 Mempersiapkan Data PT
Beberapa rincian data yang harus dipersiapkan dalam mendirikan PT antara
lain: Nama PT; Tempat dan Kedudukan PT; Maksud dan Tujuan PT; Struktur
Permodalan PT; dan Pengurus PT. Nama PT minimal terdiri dari tiga kata. Nama PT
tidak boleh menggunakan kata serapan bahasa asing. Nama PT juga tidak boleh
menggunakan nama PT yang sudah digunakan oleh PT lain. Nama PT harus sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Tempat dan Kedudukan PT adalah alamat
kedudukan hukum PT. Alamat berada di wilayah tingkat kota/kabupaten. Alamat
dapat dirincikan, namun tetap harus mengandung nama kota/kabupaten PT
berkedudukan. Maksud dan Tujuan PT mengatur mengenai tujuan daripada PT
tersebut didirikan. Data ini juga harus diisi dengan bidang usaha PT yang
bersangkutan. Usahakan untuk menyusun tujuan selaras dengan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) agar mudah pada proses-proses selanjutnya. Jika
ingin mudah, maka cukup lihat KBLI. Misalnya, jika Anda hendak membuat PT, anda
dapat melihat KBLI pada Keputusan BPTSP Jakarta Nomor 50 Tahun 2016. Struktur
Permodalan PT pada saat ini juga sudah cukup mudah, yakni tergantung kesepakatan
para pendiri PT. Namun permodalan masih disesuaikan dengan Klasifikasi Kecil,
Menengah, dan Besar. Pengurus PT adalah Direktur dan Dewan Komisaris. Direktur
pada pokoknya adalah pihak yang menjalankan roda sehari-hari perusahaan.
Sementara Dewan Komisaris adalah yang melakukan pengawasan atas pekerjaan
perusahaan.
 Membuat Akta Pendirian di Depan Notaris
Akta pendirian dibuat di depan Notaris. Notaris tak perlu satu wilayah dengan
wilayah domisili perusahaan, yang penting terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham). Jangan lupa serahkan data yang sudah dipersiapkan
sebelumnya beserta dokumen pendukung kepada Notaris. Notaris memasukkan data
melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) yang juga terintegrasi dengan
sistem Online Single Submission (OSS). Setelah pengesahan keluar dari
Kemenkumham, maka Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) juga secara otomatis
keluar.
 Domisili Perusahaan
Tentu domisili perusahaan \ perlu dibuktikan melalui suatu surat keterangan.
Surat keterangan ini dikeluarkan oleh otoritas setempat, yakni kelurahan.
 NPWP
Diurus di KPP dengan disesuaikan dengan domisili perusahaan. Beberapa hal
memang bisa langsung keluar secara integrasi saat notaris finalisasi akta, namun
kadang juga tidak keluar saat proses finalisasi akta hal tersebut bisa jadi bermasalah
dengan Data WP (wajib pajak) atau bisa juga terkait Laporan WP itu sendiri.
 Nomor Induk Berusaha (NIB)
NIB didapatkan dengan melakukan pendaftaran melalui sistem OSS. NIB
dapat berfungsi sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Identitas
Kepabeanan (NIK), dan Angka Pengenal Importir (API).
 Izin Usaha dan Izin Operasional/ Izin KomersiaL
Izin Usaha diperlukan sebagi legalitas pada pwndirian PT.
 Laporan Kegiatan Penanaman Modal
Setiap pengusaha menengah dengan nilai investasi di setiap cabang bidang
usaha perusahaan yang bersangkutan minimal Rp 500 juta untuk membuat laporan
Kegiatan Penanaman Modal (LKPM).

8. Dalam tanggung jawab pengangkut atas kerusakan barang \diwujudkan melalui pemberian
ganti rugi sesuai dengan pasal 472 KUHD, merupakan bentuk perlindungan hukun secara
normatif untuk melindungi pengirim atau penerima barang dalam pengangkutan laut. Proses
tuntutan ganti rugi dilakukan di pelabuhan pembongkaran dengan menyertakan Bill of Lading
serta Notice of Claim yang diperoleh dari pihak pengangkut.

9. UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hadir
setelah keadaan krisis moneter yang terjadi di Indonesia dan memberikan dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar
terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.
Semakin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan makin banyak
permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan Undang-undang tentang
Kepailitan (Faillissements-verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348)
yang sebagian besar materinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat sehingga diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998, namun masih belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. UU
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didalamnya
mengatur tentang syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu
secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban
pembayaran utang. Undang-undang ini memberikan pengertian utang diberikan batasan
secara tegas.
10. Syarat untuk dinyatakan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004 tentang
Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) sebagai berikut:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”.
Jika dirinci, maka syarat dinyatakan pailit berdasarkan bunyi pasal di atas sebagai
berikut:
 Harus mempunyai minimal dua kreditor atau lebih;
 Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
 Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
 Permohonan pailit bisa atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Anda mungkin juga menyukai