Anda di halaman 1dari 16

Clinical Reasoning 2

Nama : Hilyatul Aulia Puspasari


NPM : 113170035
Semester :7
Blok :7.1
Kelompok :6

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
2020
Kasus 2

Seorang bayi laki-laki usia 0 hari lahir dari ibu G3P2A0 merintih saat lahir

Step 1

Keluhan utama : merintih saat lahir

Step 2

Infeksi

- Pneumonia Metabolik
Congenital
neonatus
- Aspirasi
- ARDS mekonium
- HMD

Merintih saat
Lahir

Autoimun Trauma

- TTN
Step 3

1. ARDS
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru
akut yang memerlukan perawatan di ICU dan mempunyai angka kematian
yang tinggi.
a. Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab
yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan RDS tidak disebut
sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor yang
paling tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutma endotoksin)
bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko
terbesar kejadian ARDS.
b. Faktor resiko
Faktor resiko ARDS dibagi menjadi 2 akibat, akibat sistemik maupun
akibat paru sendiri. Contoh dari faktor resiko akibat sistemik adalah luka
berat dan sepsis, sedangkan untuk contoh faktor resiko akibat paru sendiri
adalah aspirasi asam lambung.
c. Diagnosa
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang
menjadi faktor ARDS. Tandnaya adalah takipnea, retraksi intercostal,
adanya ronkhi kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau
sianosis yang tidak respon dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai
hipotensi dan febris. Sebgaian besar kasus disertai dengan multiple organ
dysfunction syndrome (MODS) yang umumnya melibatkan ginjal, hati,
otak, sistem kardiovaskuler, dan saluran cerna seperti perdarahan saluran
cerna.
Pemeriksaan penunjang laboratorium:
1) AGDA  hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa teradi alkalosis
respiratorik pada proses awal dan kemudian berkembang menjadi
asidosis respiratorik.
2) Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis),
anemia, trombositopenia (refleksi nflamasi sistemik) dan kerusakan
endotel, peningkatan kadar amylase.
3) Gangguan fugnsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular
diseminata ang merupakan bagian dari MODS.
4) Radiologi  pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan
lapangan paru yang relative jernih, namun pada foto serial berikutmya
tampak bayangan radio-opak yang difus atau patchy bilateral.
d. Penatalaksanaan
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan
suportif bagi pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfunction
syndrome (MODS) meliputi:
1) Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
2) Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma,
infeksi nosokmial atau toksisitas oksigen.
3) Mem[ertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke organ dengan
cara meminimalkan angka metabolik.
4) Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan
tubuh.
5) Dukungan nutrisi
Terapi non farmakologis

Penggunaan ventilasi mekanis invasive pada kegagalan ventilasi biasanya


dsertai penurunan. Kapasitas residual fungsional (KRF) yaitu adalah
volume udara yang tetap berada di dalam paru pada akhir ekspirasi tidak
normal karena tidak ada otot pernafasan yang berkontraksi pada saat
ekspirasi. Kapasitas residu fungsional berisi 1/3 cadangan total o2 (1-2,3
liter) dan merupakan penyangga ventilasi alveolar dalam pertukaran gas
sehingga memperkecil fluktuasi komposis gas alveolar yang terjadi selama
pernafasan.

Terapi farmakologis

Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat terbatas.


Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang
bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih kontroversi.
Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan manfaat
penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa.

Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized


controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid
sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid
seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama
14 hari lalu ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan
kebutuhan penggunaan ventilator dalam hitungan hari, walaupun
penggunaan kortikosteroid tidak terbukti menurunkan angka mortalitas.
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin
dapat menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan
menurunkan impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami
perbaikan oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin intravena
mempunyai dampak aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara
pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata
memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS.
2. Sindrom Aspirasi Mekonium
Sindrom aspirasi mekonium (SAM) adalah kumpulan gejala yang diakibatkan
oleh terhisapnya meconium ke dalam saluran pernafasan bayi. Sindroma
aspirasi meconium terjadi jika janin menghirup meconium yang tercampur
dengan cairan ketuban, baik ketika bayi masih berada di dalam rahim maupun
sesaat setelah dilahirkan.
a. Etiologi
Aspirasi meconium terjadi jika janin mengalami stres selama proses
persalinan berlangsung. Bayi seringkali merupakan bayi post matur (lebih
dari 40 minggu). Selama persalinan berlangsung, bayi bisa mengalami
kekurangan oksigen. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya gerakan
usus dan pengendoran otot anus, sehingga meconium dikeluarkan ke
dalam cairan ketuban yang mengelilingi bayi dalam rahim. Cairan ketuban
dan mekoniuim becampur membentuk cairan berwarna hijau dengan
kekental yang bervariasi. Jika selama masih berada di dalam rahim janin
bernafas atau jika bayi menghirup nafasnya yang pertama, maka campuran
air ketuban dan mekonium bisa terhirup ke dalam paru-paru. Mekonium
yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada
saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan
pertukaran udara di paru-paru. Selain itu, mekonium juga menyebabkan
iritasi dan peradangan pada saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia
kimiawi
b. Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium:

1) Kehamilan post-matur
2) Pre-eklamsi
3) Ibu yang menderita diabetes
4) Ibu yang menderita hipertensi
5) Persalinan yang sulit
6) Gawat janin
7) Hipoksia intra-uterin (kekurangan oksigen ketika bayi masih berada
dalam rahim).
c. Gejala dan tanda
Gejalanya berupa:
1) Cairan ketuban yang berwarna kehijauan atau jelas terlihat adanya
mekonium di dalam cairan ketuban.
2) Kulit bayi tampak kehijauan (terjadi jika meconium telah dikeluarkan
lama sebelum persalinan).
3) Ketika lahir, bayi tampak lemas/lemah
4) Kulit bayi tampak kebiruan (sianosis)
5) Takipneu (laju pernafasan yang cepat).
6) Apneu (henti nafas).
7) Tampak tanda-tanda post maturitas.
d. Diagnosa
Rontgen dada untuk menemukan adanya atelektasis, peningkatan diameter
antero posterior, hiperinflation, flatened diaphragm akibat obstruksi dan
terdapatnya pneumothorax ( gambaran infiltrat kasar dan iregular pada
paru ) Analisa gas darah untuk mengidentifikasi acidosis metabolik atau
respiratorik dengan penurunan PO2 dan peningkatan tingkat PCO2.
e. Penatalaksanaan
Setelah kepala bay lahir, dilakukan pengisapan lender dari mulut bayi.
Jika mekoniumnya kental dan terjadi gawat janin, dimasukkan sebuah
selang ke dalam trakea bayi dan dilakukan pengisapan lender. Prosedur in
dilakukan secara berulang sampai di dalam lender bayi tidak lagi terdapat
meconium. Jika tidak ada tanda-tanda gawat janin dan bayinya aktif serta
kulitnya berwarna kehijauan, beberapa ahli menganjurkan untuk tidak
melakukan pengisapan trakea yang terlalu dalam karena khawatir akan
terjadi pneumonia respirasi.
Jika mekoniumnya agak kental, kadang digunakan larutan garam untuk
mencuci saluran udaran. Setelah bayi lahir, bayi dimonitor secara ketat.
Pengobatan lainnya adalah:
1) Fisioterapi dada (menepuk-nepuk dada)
2) Antibiotic (untuk mengatasi infeksi)
3) Menempatkan bayo diruang yang hangat (untuk menjaga suhu tubuh
bayi).
4) Ventilasi mekanik (untuk menjaga agar paru-paru tetap mengembang).

Gangguan pernafasan biasanya akan membaik dalam waktu 2-4 hari,


meskipun takipneu bisa menetap selama beberapa hari. Hipoksia antra-
uterin atau hipoksia akibat komplikasi aspirasi meconium bisa
menyebabkan kerusakan otak. Aspirasi meconium jarang menyebabkan
kerusakan paru-paru yang permanen.

Fisioterapi:

1) Pemberian terapi surfaktan.


2) Pemakaian ventilator khusus untuk memasukkan udara beroksigen
tinggi ke dalam paru bayi.
3) Penambahan nitrit oksida (nitric oxide) ke dalam oksigen yang
terdapat di dalam ventilator.
3. Transient Tachypnea of Newborn (TTN)
Suatu penyakit riangan pada neonates yang mendekati cukup bulan atau
neonates cukup bulan yang mengalami gawat nafas segera setelah lahir dan
hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari.
a. Faktor resiko
1) Penjepitan tali pusar.
2) Jenis kelamin laki-laki.
3) Bayi prematur.
4) Operasi Caesar.
5) Lahir dari ibu dengan diabetes
6) Lahir dari ibu penderita asma
7) Kecil masa kehamilan.
b. Gejala klinis
Neonatus biasanya hamper cukup bulan atau cukup bulan dan segera
setelah kelahiran mengalami takipnea (>80 pernafasan/menit). Neonates
mungkin juga merintih, nafas cuping hidung, mengalami retraksi dada dan
mengalami sianosis, keadaan ini biasanya tidak berlangsung > 72 jam.
c. Diagnosis
1) Anamnesis
Bayi cukup bulan, mengalami sesak nafas riwayat persalinan Caesar.
2) Pemeriksaan fisik
Didapatkan pernafasan cuping hidung, retraksi dad (+), bibir sianosis.
3) Pemeriksaan penunjang
Analisis gas darah merupakan indicator definitid dari pertukaran gas
untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada
memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan vwntilasi
mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk
menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil
melakukan monitoring dengan pulse oxymetri, rontgen toraks (dapat
dilakukan setelah pemasangan ETT).
d. Penatalaksanaan
Umum:
- Pemberian oksigen
- Pembatasan cairan
- Pemberian asupan setelah takipne membaik.
4. Hyaline Membrane Disease (HMD)
Penyakit membrane hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan
pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur.
a. Etiologi
Penyakit membran hialin merupakan gangguan pernafasan yang
disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutam terjadi pada
neonates usia gestasi < 34 minggu atau berat lahir < 1500 gram. Surfaktan
mulai dibentuk pada usia kehamilan 24-28 minggu oleh karena itu
kejadian PMH berbanding terbalik dengan usia gestasi.
b. Faktor resiko
1) Kelahiran operasi sesar dan ibu dengan diabetes.
2) Riwayat kelahiran kurang bulan.
3) Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin)
4) Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membran hialin.
c. Gejala klinis
1) Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
2) Sesak, merintih, takipnea, retraksi intercostal dan subcostal, nafas
cuping hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama
kehidupan.
3) Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
a) Takipnea (frekuensi mnapa > 60x/menit)
b) Grunting atau nafas merintih.
c) Retraksi dinding dada.
d) Kadang dijumpai sianosis (pada udara kamar)
e) Perhatikan tanda prematuritas.\kadang ditemukan hipotensi,
hipotermia, edema perifer, edema paru.
f) Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam
pertama.
g) Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, danya
pmh dapat disingkirkan.
d. Penatalaksanaan
Manajemen Umum
1) Jaga jalan nafas tetap bersih dan terbuka.
2) Terapi oksifen sesuai dengan kondisi:
a) Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi
yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara
50-70 mmHg.
b) Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg pada
konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan nasal
continuous positive airway pressure (NCPAP) terindikasi.
c) Ventilator mekanis digunakan pada bayi dengan hmd berat atau
komplikasi yang menimbulkan apneu persisten.
3) Antibiotic  diberikan antibiotic dengan spektrum luas. Biasanya
dimulai dengan ampisilin 50 mg/kg intravena tiap 12 jam dan
gentamisisn untuk berat lahir < 2 kg dosis 3 mg/kgBB per hari. Jika
tidak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotic dihentikan.
4) Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemne respirasi,
tekanan parsial o2 diharapkan antara 50-70 mmHg, PaCO2
diperbolehkan antara 45-60 mmHg (permissive hypercapnia)

Manajemen Khusus

Pemberian srfaktan dilakukan bila memenuhi persyaratan, obat tersedia,


dan lebih disukai bila tersedia fasilitas nicu. Syarat pemberian surfaktan
adalah:

1) Diberikan oleh dokter yang memiliki kualifikasi resusitasi neonatal


dan tatalaksana respiratorik serta mampu memberi perawatan pada
bayi hingga setelah satu jam pertama stabilisasi.
2) Tersedia staf (perawat atau terapis respiratorik) yang berpengalaman
dalam tatalaksana ventilasi berat bayi lahir rendah.
3) Peralatan pemantauan (radiologi, analisis gas darah, dan pulse
oximetry) harus tersedia.
4) Terdapat protocol pemberian surfaktan yang disetujui oleh intitusi
bersangkutan.

Surfaktan

Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayo terbukti mengalami


penyakit membrane hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui
pipa endotrakea setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis, tergantung jenis
preparat yang dipergunakan.

Survanta (bovine survaczant) dilakukan dengan dosis total 4 ml/kgBB


intratrakea (masing-masing 1 ml/kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan
kanan serta paru belakang kir dan kanan), terbagi dalam beberapa kali
pemberian, biasaya 4 kali (masing-masing ¼ dosis total atau 1 ml/kg).
dosis total 4 ml/kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam pertama
kehidupan dengan interval minimal 6 jam antar pemberian. Bayi tidak
perlu dimiringkan ke kanan atau kiri setelah pemberian surfaktan, karena
surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama
pemberian surfaktan fapat terjadi obstruksi jalan nafas yang
disebabkanoleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan
dan infeksi paru.

Bedah

Tindakan bedah dilakukan jika timbul komplikasi yang brsifat fatal seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, empisema subkutan. Tindakan yang
segera dilaksanakan adalah mengurani tekanan rongga dada dengan
pungsi toraks, bila gagal dilakukan drainase.
Suportif

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya) bila terjadi


apneu berulang atau perlu bantun ventilator maka harus dirujuk ke rumah
sakit dengan fasilitas pelayanan neonatal level III yang tersedia fasilitas
NICU.

5. Pneumonia neonatal
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing.
a. Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia neonates dapat dibagi menjadi:
1) Intrapartum pneumonia
a) Pneumonia intrapartum diperoleh selama perjalanan menuju jalan
lahir.
b) Intraparttum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi
hematogenous, atau aspirasi dari ibu yang terinfeksi, atau
terkontaminasi cairan atau dari mekanik, atau gangguan iskemik
dari permukaan mukosa yang telah baru saja dijajah dengan ibu
invasive organisme yang sesuai potensi dan virulensinya.
c) Bayi yang aspirasi benda asing, seperti meconium atau darah,
dapat mewujudkan tanda-tanda paru segera setelah atau sangat
seger setelah lahir.
d) Proses infkesi sering memiliki periode beberapa jam sebelum
invasi yang memadai, replikasi dan respon inflamasi telah terjadi
menyebabkan tanda-tanda klinis.
2) Pneumonia pasca lahir
a) Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam perta kehidupan berasal
setelah bayi lahir.
b) Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari eberapa
proses yang sama sepertiyang dijelaskan, tatapi infeksi terjadi
setelah proses kelahiran.
c) Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi
dalam banyak pelayanan obsetri dan bayi baru lahir unit perawatan
intensif (NICU) sering mengakibatkan kecenderugan dari bayi
untuk kolonisasi oleh organisme resisten pathogenicity yang tidak
biasa. Terapi invasive yang dierlukan dalam oleh bayi sering
menyebabkan mikroba masuk ke dalam struktur yang biasanya
tidak mudah diakses.
d) Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi
peradangan signifikan potensial. Selang maknan mungkin lebih
lanjut dapat mempenaruhi gastrophageal reflux dan aspirasi pada
bayi.
b. Gejala klinik
Gejala klinik tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat
penyakit. Adapun gejala kinis dari pneumonia yaitu:
1) Takipneu (laju pernafasan > 60 kali/menit).
2) Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
3) Perekrutan otot, aksesori pernafasan, seperti cuping hidung dan
retraksi di subcostal, intercostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
4) Sekresi saluran nafas dapat bervariasi secara substansial dalam
kualitas dan kuantitas, tetapi yang paling sering.
5) Rales, ronkhi, dan batuk diamati jarang terjadi pada bayi.
6) Sianosis pusat jaringan.
7) Peningkatan pernafasan seperti peningkatan menghirup oksigen
konsentrasi, ventilasi tekanan positif, atau tekanan saluran udara
positif terus menerus.
Selain itu, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR score rendah,
segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifir rendah, letargi,
tidak mau minum, distensi abdomen,suhu tidak stabuk, asidosis metabolik.

Hasil pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru berupa


perkusi paru pekek, auskultasi terdapat ronchi nyaring dan suara
pernafasan bronchial, inspirasi rales dan terdapat penggunaan otot
aksesori.

c. Pematalaksanaan
1) Terapi antibitika, merupakan terapi utama pada pasien pneumonia
dengan manifestasi apapun yang dimaksudkan sebagai terapi kausal
terhadap kuman penyebabnya.
2) Terapi suportif umum:
a) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-
96% berdasarkan pemeriksaan AGD.
b) Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang
kental.
c) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan
clapping dan vibrasi.
d) Pengaturan cairan
e) Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
f) Ventilasi mekanis  indikasi intubasi dan pemasangan ventilator
dilakukan bila terjadi hipoksemia persisten, gagal nafas yang
disertai peningkatan respiratory distress dan respiratory arrest.
Daftar Pustaka

1. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka. 2016


2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: IDAI. 2014
3. Arvin, B. K. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC 2013
4. Pudjiadi, A. H. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta:IDAI. 2011
5. Dahlan, A., Aminullah, A. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007

Anda mungkin juga menyukai