Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kematian maternal (maternal mortality) atau yang biasa di sebut

dengan Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator

pembangunan dalam bidang kesehatan di seluruh dunia yang dapat

menggambarkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara termasuk di

Indonesia. Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat dari proses

kehamilan, melahirkan, dan setelah melahirkan. Menurut World Health

Organization (WHO) angka kematian ibu adalah kematian selama kehamilan

atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab

terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi

bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera [1].

Penurunan angka kematian ibu belum mencapai target Millenium

Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000

KH pada tahun 2015 dan masih jauh dari output SDGs untuk mengurangi AKI

hingga 70 per 100.000 KH pada tahun 2030. Sustainable Development Goals

(SDGs) merupakan upaya pembangunan berkelanjutan yang menjadi acuan

dalam kerangka pembanggunan dan perundingan negara-negara di dunia

sebagai pengganti pembangunan global Millenium Development Goals

(MDGs) yang telah berakhir di tahun 2015. SDGs memiliki beberapa tujuan,

1
2

diantaranya menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan

bagi semua orang di segala usia, dengan salah satu outputnya mengurangi

Angka Kematian Ibu (AKI) hingga 70 per 100.000 kelahiran hidup (KH) pada

tahun 2030 [2].

Jumlah kematian terbanyak pada masa ibu bersalin dan penyebab

terbanyak akibat komplikasi dalam persalinan seperti perdarahan dan

kelahiran sulit. Ditinjau dari sisi obstetrik, empat penyebab utama kematian

utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah perdarahan, infeksi atau

sepsis, hipertensi dan preeklamsia/eklamsia, serta persalinan macet (dystonia)


[3]
. Preeklamsia/eklamsia merupakan penyebab ke-2 kematian ibu di dunia

setelah perdarahan. Pada preeklamsia terjadi penurunan perfusi plasenta akibat

vasospasme dan aktivasi endotel yang akhirnya dapat mempengaruhi seluruh

sistem organ. WHO memperkirakan kasus preeklamsia lebih tinggi di negara

berkembang dari pada negara maju. Insiden preeklamsia di Indonesia sendiri

128.273 per tahun atau sekitar 5,3% [4].

Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang

terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya

normotensi. Keadaan ini di tandai oleh peningkatan tekanan darah yaitu lebih
[5]
dari 140/90 mmHg yang disertai oleh proteinuria . Etiologi terjadinya

preeklamsia belum diketahui secara pasti, bukti terakhir menyatakan bahwa

terdapat beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi

terjadinya preeklamsia pada ibu hamil meliputi usia ibu saat hamil, paritas,

riwayat keturunan, kehamilan ganda, riwayat hipertensi sebelum kehamilan,


3

[6]
Antenatal Care (ANC), jarak kehamilan, status gizi . Jika preeklamsia tidak

ditangani dengan benar dapat membahayakan keselamatan ibu dan janin,

dapat menimbulkan komplikasi seperti Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC), gagal ginjal akut, kerusakan hepatoseluler, HELLP

sindrom, perdarahan intraserebral, edema paru, henti jantung paru, dan

perdarahan pasca persalinan. Sedangkan bahaya preeklamsia pada fetal dan

bayi baru lahir adalah insufiensi plasenta, asfiksia nenonatrum, prematur,


[7]
abrasion plasenta, berat badan lahir rendah dan kematian janin . Salah satu

penyebab dari preeklamsia diduga adalah paparan asap rokok.

Kebiasaan merokok merupakan masalah kesehatan di dunia yang

sampai saat ini sulit untuk ditangani. Secara global, diperkirakan terdapat 1,3

milyar orang yang merupakan perokok dan jumlah tersebut diperkirakan akan
[8]
terus meningkat setiap tahunnya . Global Adult Tobacco Survey (GATS)

menemukan bahwa 30% orang dari dewasa dari 22 negara yang disurvey

merupakan perokok [9]. Sementara itu berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang

dilakukan oleh Kemenkes RI dari tahun 2007-2016 di Indonesia, jumlah

perokok berusia lebih dari 10 tahun mengalami peningkatan, yaitu 34,2%

(2007), 34,3% (2010), 36,3% (2013), dan 32,6% (2016). Hasil Riset

Kesehatan Dasar terbaru menunjukkan bahwa prevalensi nasional perokok di

Indonesia berada pada angka 28,3%. Di Jawa Tengah, prevalensinya sedikit di

bawah prevalensi nasional, yaitu 27,7%.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rokok memiliki efek yang

berbahaya bagi seluruh jaringan tubuh, terutama pada sistem pernapasan.


4

Perilaku merokok secara langsung terkait dengan penyakit bronkitis kronis


[10]
dan kanker paru . Beberapa efek merokok lainnya adalah gangguan

perkembangan saraf yang menyebabkan gangguan intelektual, osteoporosis,

disfungsi ereksi, serangan jantung, stroke, termasuk gangguan jiwa seperti


[11]
mudah gelisah, depresi, dan cenderung ke penyalahgunaan obat . Merokok

juga dapat meningkatkan risiko kematian sebesar 70% dibandingkan orang

yang tidak merokok dan perokok beresiko meninggal 5-8 tahun lebih awal

dibandingkan orang yang bukan perokok [12]. Dari data kemenkes, di Indonesia

diperkirakan sekitar 962.403 kasus kematian prematur karena penyakit terkait

rokok. Sekitar 100 juta orang telah meninggal akibat rokok di abad 20 dan

apabila tren ini terus berlanjut maka di abad 21 diperkirakan terdapat satu

milyar orang yang akan meninggal akibat rokok.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa preeklamsia merupakan

salah satu masalah kesehatan yang penting untuk diperhatikan karena

merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu. Diduga paparan asap

rokok terkait dengan hal ini. Tingginya perilaku merokok di Indonesia diduga

berkontribusi terhadap tingginya angka preeklamsia ini. Oleh sebab itu,

penulis tertarik melakukan penelitian ini.


5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menetapkan rumusan

masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara

paparan asap rokok dengan kejadian preeklamsia?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian

preeklamsia.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian preeklamsia di rumah sakit A

2. Mengetahui hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian

preeklamsia di rumah sakit A

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi

masyarakat mengenai bahaya paparan asap rokok terhadap ibu hamil

2. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi

ilmiah dalam bidang ilmu obsteri dan ginekologi

3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana bagi peneliti untuk

memperdalam keilmuan dalam bidang obstetri dan ginekologi


6

1.5. Orisinalitas Penelitian

Tabel 1. Orisinalitas Penelitian

Penulis Judul Kesimpulan


Nisa Faktor-Faktor Risiko Menunjukkan faktor risiko terjadinya
(2018) Kejadian preeklamsia adalah umur kehamilan
Preeklamsia Di berisiko (<20 atau >35 tahun) (OR=5,4,
Puskesmas p=0,001), riwayat preeklamsia
Kabupaten sebelumnya (OR=7,1, p=0,001), riwayat
Indramayu preeklamsia dalam keluarga (OR=7,2,
p=0,001), obesitas (OR=6,5, p=0,001),
tingkat kecukupan protein kurang
(OR=2,7, p=0,020), tingkat kecukupan
vitamin D kurang (OR=3,7, p=0,013),
stress (OR=2,6, p=0,013) dan paparan
asap rokok (OR=2,3, p=0,030)
Kasriatun Faktor Risiko faktor risiko yang paling kuat adalah
(2019) Internal Dan riwayat hipertensi ibu sebelum
Eksternal kehamilan. Hal ini sesuai dengan
Preeklamsia Di wilayah Kabupaten Pati yang
Wilayah Kabupaten merupakan daerah pesisir dan sebagian
Pati Provinsi Jawa besar warga cenderung mengkonsumsi
Tengah natrium yang berlebih.
Zakiyah Beberapa Faktor Variabel yang terbukti merupakan
(2018) Risiko Kejadian faktor risiko kejadian preeklamsia usia
Preeklamsia Pada <20 atau >35 tahun, aktivitas fisik
Ibu (Studi Di tinggi, stres berat, riwayat preeklamsia
Kabupaten keluarga, dan paparan asap rokok
Sukoharjo) dengan probabilitas 86,7%
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Merokok

2.1.1.1. Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rokok adalah

gulungan tembakau yang dibungkus kertas. Rokok adalah salah satu

produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap dan atau

dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan

spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan


[10]
tar, dengan atau tanpa bahan tambahan . Rokok dijadikan sebagai

simbol kejantanan, kekuatan, kegagahan, keberanian dan ketangguhan


[13]
.

2.1.1.2. Kandungan Rokok

Sebatang rokok mengandung zat-zat kimiawi yang sangat

berbahaya bagi tubuh manusia, terdapat 4000 zat kimia pada asap

rokok [14], berikut kandungan utama dalam rokok:

1) Nikotin

Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang membuat

jantung berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras, frekuensi

7
8

jantung meningkat dan kontraksi jantung meningkat sehingga

menimbulkan tekanan darah meningkat.

1) Tar

Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan

menempel pada paru-paru, mengandung bahan-bahan karsinogen.

2) Karbon Monoksida

Merupakan gas berbahaya yang terkandung dalam asap

pembuangan kendaraan. CO menggantikan 15% oksigen yang

seharusnya dibawa oleh sel-sel darah merah. CO juga dapat

merusak lapisan dalam pembuluh darah dan meninggikan endapan

lemak pada dinding pembuluh darah, menyebabkan pembuluh

darah tersumbat.

2.1.1.3. Bahaya yang Ditimbulkan Rokok

1) Kanker Paru

Dewasa ini penyakit kanker akibat merokok semakin

meningkat. Penelitian WHO menjelaskan bahwa kanker paru

merupakan penyebab kematian terbesar didunia. Setidaknya dalam

sehari ada lebih dari satu kasus kanker. Sekitar 80 persen insiden

kanker paru terkait dengan persoalan merokok. Sebagian besar

orang tidak mengetahui bahwa efek negatif rokok tak hanya dari

nikotin. Dimulai dari asap yang dihasilkan rokok menyebabkan


9

gangguan pada mekanisme pertahanan paru sampai efek negatif

lebih dari 45 bahan yang bersifat karsinogen (pemicu kanker) [15].

3) Tuberkulosis (TBC)

Pada seseorang yang telah mengonsumsi rokok selama 20

tahun lebih ternyata 2,6 kali lebih sering menderita TBC daripada

mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok meningkatkan

kematian akibat TBC sebesar 2,8 kali. Akibat racun yang dibawa

oleh rokok maka akan merusak mekanisme pertahanan paru – paru.

Alat dalam paru yang berfungsi sebagai penahan infeksi akan rusak

akibat asap rokok [16].

4) Memperlambat Pertumbuhan Anak

Berdasarkan fakta ilmiah sejak tahun 1986, Amerika

Serikat mengatakan bahwa asap rokok yang dihasilkan langsung

dari pembakaran rokok dapat memperlambat pertumbuhan serta

mengganggu kinerja fungsi paru – paru pada masa kanak – kanak

dan meningkat risiko terjadinya penyakit saluran pernapasan. Hal

tersebut di akibatkan karena asap rokok mengandung banyak zat

beracun yang dapat membahayakan kesehatan tubuh [17].

5) Penyakit Jantung

Pada dasarnya orang yang merokok lebih dari 20 batang

rokok per hari memiliki resiko enam kali lipat terkena penyakit

jantung dan kanker. Asap rokok akan merusak dinding pembuluh


10

darah. Nikotin yang terdapat di asap rokok akan merangsang

hormon adrenalin, sehingga metabolisme lemak akan berubah dan


[18]
menyebabkan kadar HDL atau kolestrol baik menurun .

Adrenalin akan menyebabkan perangsangan kerja jantung dan

menyempitkan pembuluh darah.

Selain itu adrenalin menyebabkan terjadinya

pengelompokkan trombosit, sehingga proses penyepitan akan

terjadi, baik dipembuluh darah arteri otak atau jantung yang akan

menyebabkan penyakit jantung koroner. Hal ini lah yang menjadi

penyebab kematian tiba – tiba akibat serangan jantung tanpa

peringatan terlebih dahulu lebih sering terjadi pada orang yang

yang merokok dibandingkan mereka yang tidak merokok [11].

6) Mengganggu Kehamilan

Pada dasarnya, asap rokok akan menimbulkan efek yang

relatif sama terhadap kondisi fisik ibu hamil. Permasalahan utama

terjadi pada sistem kardiovaskular dimana terjadi respon sistemik

berupa vasospasme, aktivasi sel endotel, penurunan produksi nitric

oxide, dan produksi protein angiogenik. Seluruhnya menyebabkan

peningkatan tekanan darah, sehingga dapat terjadi preeklamsia.


11

2.1.2. Preeklamsia

2.1.2.1. Definisi

Preeklamsia adalah sindrom spesifik pada kehamilan berupa

berkurangnya perfusi plasenta akibat vasospasme dan aktivasi endotel

yang akhirnya dapat mempengaruhi seluruh sistem organ, ditandai

dengan hipertensi dan proteinuria pada pertengahan akhir kehamilan

atau di atas 20 minggu kehamilan. Proteinuria didefinisikan sebagai

ekskresi protein dalam urin yang melebihi 300 mg dalam 24 jam, rasio

protein : kreatinin urin ≥ 0,3, atau terdapatnya protein sebanyak 30

mg/dL (carik celup +1) dalam sampel acak urin secara menetap [7].

2.1.2.2. Epidemiologi

Hipertensi pada kehamilan termasuk preeklamsia

mempengaruhi 10% dari kehamilan diseluruh dunia. Preeklamsia

diperkirakan sebagai penyebab kematian 50.000-60.000 ibu hamil

setiap tahunnya. Insiden global gangguan hipertensi pada wanita hamil

selama 2002-2012 adalah 4,6% angka yang bervariasi dari 2,7%-8,2%

menurut wilayah dan tingkat kejadian preeklamsia di seluruh dunia

2,16%. Angka – angka ini bervariasi sesuai dengan perbedaan

karakteristik populasi, definisi, dan kriteria diagnosis. Di Indonesia

preeklamsia merupkan penyebab kematian ibu berkisar 1,5-25% dan

kematian pada bayi antara 40-50%. Selain itu hipertensi dalam

kehamilan merupakan contributor utama prematuritas. Preeklamsia di

ketahui merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular dan


12

metabolik perempuan, insidens eklamsia adalah 1-3 dari 1000 pasien

preeklamsia [19].

2.1.2.3. Etiologi

Etiologi terjadinya preeklamsia belum diketahui secara pasti,

bukti terakhir menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang

merupakan faktor predisposisi atau penyebab disfungsi endotel.

Disfungsi endotel ini akan menimbulkan hipertensi, proteinuria, dan

edema yang merupakan sindrom dari preeklamsia. Terdapat beberapa

hipotesis mengenai penyebab preeklamsia [20]:

1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel – sel

trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks

sekitarnya. Lapisan otot spiralis menjadi tetap keras dan kaku

sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami

distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative

mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling

arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun,

dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan

ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G disesidua daerah

plasenta, menghambat invasi troblas ke dalam desidua.

3. Teori Iskemia Plasenta Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel


13

Kegagalan remodeling arteri spiralis mengakibatkan plasenta

mengalami iskemia dan hipoksia yang akan menghasilkan

oksidan. Peroksida lemak sebagai oksidan akan beredar di

seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membrane

sel endotel. Kerusakan membrane sel endotel mengakibatkan

terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur

sel endotel. Keadaan ini di sebut disfungsi endotel.

4. Teori adaptasi Kardio Vaskular

Pada hamil normal pembuluh darah tidak peka terhadap

rangsangan bahan vasopressor, sebaliknya pada hipertensi

dalam kehamilan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-

bahan vasopressor.

5. Teori Stimulasi Inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas,

sebagai sisa-sisa proses apotosis dan neurotic trofoblas, akibat

reaksi stress oksidatif. Bahan–bahan ini sebagai bahan asing

yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas

wajar sehingga reaksi imun inflamasi masih dalam batas

normal. Berbeda dengan proses apotosis pada preeklamsia, di

mana pada preeklamsia terjaadi peningkatan stress oksidatif

sehingga produksi debris apoptosis dan neurotik trofoblas juga

meningkat.
14

2.1.2.4. Klasifikasi

Pembagaian preeklamsia ringan dan preeklamsia berat tidaklah

berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali di

temukan penderita dengan preeklamsia dapat mendadak mengalami

kejang dan jatuh koma. Klasifikasi preeklamsia [21]:

1. Preeklamsia ringan

a. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg

dengan interval pemeriksaan 6 jam.

b. Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15mmHg

dengan interval pemeriksaan 6 jam.

c. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.

d. Proteinuria 0,3 g atau lebih dengan tingkatan kualitatif

+1 sampai +2 pada urine kateter atau urine aliran

pertengahan.

e. Edema pada lengan, muka, perut, atau edema

generalisata.

2. Preeklamsia berat

a. Tekanan darah 160/100 mmHg

b. Oligouria, urine < 100.000/mm.

c. Kenaikan kadar keratinin plasma.

d. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran,

nyeri kepala, scotoma dan pandangan kabur.


15

e. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas

abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson)

f. Edem paru

g. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3

h. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler):

peningkatan kadar alanine dan aspartate

aminotransferase.

2.1.2.5. Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko preeklamsia antara lain [22]:

1. Obesitas

Overweight dan obesitas merupakan risiko terbesar kelima yang

dapat menyebabkan kematian global. Berat badan berlebih pada

wanita hamil berhubungan dengan preeklamsia.

2. Kehamilan Ganda

Kehamilan ganda memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi

untuk menjadi preeklamsia dibandingkan normal. Selain itu,

wanita dengan kehamilan multifetus dan kelainan hipertensi

pada saat hamil memiliki luaran neonatal yang lebih buruk dari

pada kehamilan monofetus.

3. Usia Ibu
16

Usia ibu merupakan salah satu faktor resiko yang berhubungan

erat dengan preeklamsia. Usia ibu <17 tahun atau >35 tahun

merupakan factor resiko preeklamsia pada ibu hamil.

4. Paritas

Insiden preeklamsia pada primigravida sebesar 3-5% kemudian

menurun menjadi 2% pada kehamilan berikutnya. Risiko lebih

besar pada primigravida telah banyak di ketahui, tetapi tidak di

ketahui penyebabnya. Pada beberapa penelitian yang telah di

lakukan nulliparitas meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia

tiga kali lipat.

5. Jarak kehamilan

Wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun

atau lebih memiliki resiko preeklamsia dan eklamsia semakin

meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan

pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua).

6. Riwayat Preeklamsia Sebelumnya

Riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya merupakan

faktor resiko utama. Kehamilan pada wanita dengan riwayat

preeklamsia sebelumnya berkaitan tingginya preeklamsia berat,

preeklamsia onset dini dan dampak perinatal yang buruk.

7. Penyakit Kronik

Preeklamsia pada hipertensi kronik yaitu preeklamsia yang

terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi


17

sebelum hamil. Selain itu diabetes, penyakit ginjal, dan obesitas

juga dapat menyebabkan preeklamsia.

2.1.2.6. Patogenesis

1. Vasospasme

Terjadinya konstriksi vaskular yang menyebabkan

meningkatnya tahanan pembuluh sehingga timbul hipertensi.

Pada waktu yang bersamaan, terjadikebocoran interstitial

akibat rusaknya sel endote, tempat lewatnya komponen-

komponen darah, termasuk fibrinogen dan trombosit yang

kemudian tertimbun di subendotel. Berkurangnya aliran darah

akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan

menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gaangguan pada

organ-organ lainnya yang khas terdapat pada sindrom

preeklaamsia [7].

2. Aktivasi Sel Endotel

Endotel yang normal memiliki sifat antikoagulan dan sel

tersebut dapat menimbulkan respon otot polos pembuluh darah

terhadap agonis dengan cara melepaskan nitrat oksida. Sel

endotel yang abnormal dan menyekresikan substansi yang

mengacu koagulasi dan meningkatkan sensitivitas terhadap

vasopressor [7].

3. Prostaglandin
18

Pada kehamilan yang normal, terjadi penumpulan terhadap

presor yang disebabkan oleh turunnya responsivitas vaskuler

yang di pengaruhi oleh sintesis prostaglandin endotel. Pada ibu

hamil dengan preeklamsia, terjadi penurunan produksi

prostaglandin edotel (PGI2). Efek ini dimediasi oleh fosfolifase

A2 menurun. Akibatnya, cendrung meningkatkan sennsitivitas

terhadap angiotensin II yang diinfuskan sehingga terjadi

vasokonstriksi [7].

4. Peningkatan Respon Vasopressor

Pada umunya secara normal perempuan hamil tidak sensitif

terhadap vasopressor yang diinfuskan, namun pada perempuan

dengan preeklamsia dini memiliki peningkatan reaktivitas

vaskuler terhadap norepinefrin dan angiotensin II yang

diinfuskan [7].

5. Nitrat Oksida

Penurunan nitrat oksida menyebabkan munculnya gambaran

klinis yang serupa dengan preeklamsia pada model binatang

yang sedang hamil. Pada manusia, nitrat oksida diduga

merupakan senyawa yang mempertahankan kondisi normal

pembuluh darah yang berdilatasi dan bertekanan rendah, yang

khas untuk perfusi fetoplasenta. Zat ini juga menghasilkan oleh

endotel janin dan kadarnya meningkat sebagai respon terhadap

preeklamsia, eklamsia, diabetes, dan infeksi [7].


19

6. Endotelin

Peptida 21-asam amino ini merupakan vasokonstriktor poten

dan endotelin-1 (ET-1) merupakan isoform utama yang

dihasilkan oleh endotel manusia [7].

7. Protein Angiogenik dan Antiangiogenik

Terdapat jumlah berlebih dari factor angiogenik yang diduga

dirangsang oleh hipoksia yang memburuk pada permukaan

kontak uteroplasenta. Pada preeklamsia, jaringan trofoblas

menghasilkan sedikitnya dua peptida antiangiogenik secara

berlebihan yang selanjutnya memasuki sirkulasi maternal [7].

2.1.2.7. Patofisiologi

Perburukan patologis preeklamsia kemungkinan diakibatkan

oleh adanya vasospasme dan iskemia. Adapun konsep dasar terjadinya

patofisiologis preeklamsia antara lain sebagai berikut:

1. Iskemik region uteroplasenter: Invasi sel trofoblas dapat

menimbulkan dilatasi pembuluh darah pada kehamilan normal,

sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan O2 serta

berfungsi normal. Pada preeklamsia trofoblas terjadi hanya

sebagian pada arteri spiralis di daerah endometrium-desidua,

akibatnya sebagian besar arteri spiralis di daerah endometrium

tetap dalam kondisi konstriksi sehingga tidak mampu

memenuhi kebutuhan nutrisi dan O2. Penurunan O2 dalam

darah menimbulkan dikeluarkannya metabolism PO2 yang


20

labil, disebut sebagai “radikal bebas”, yang dianggap sebagai

toksin. Toksin khusus inilah yang dapat menyebabkan

preeklamsia-eklampsia [23].

2. Pembentukan radikal bebas/toksin: Plasenta yang iskemik

menyebabkan labilnya distribusi oksigenasi, menimbulkan

radikal bebas, yang merupakan peroksidase dari asam lemak

tak jenuh. Kekurangan vitamin C dan E juga berperan terhadap

berkurangnya antiaksi terhadap radikal bebas. Radikal bebas

sulit diatasi, sehingga mampu merusak membrane sel yang

berakibat pada rusaknya endotel. Fungsi sel endotel antara lain

melancarkan sirkulasi darah sehingga aliran nutrisi-

pembuangan hasil metabolism berjalan baik, melindungi

pembuluh darah agar tidak terjadi timbunan trombosit,

menghindari pengaruh vasokontriksi [23].

3. Kerusakan fosfolipid endotel pembuluh darah: Rusaknya sel

endotel menyebabkan rusaknya fosfolipid endotel pembuluh

darah, sehingga terjadi:

a. Permeabilitas pembuluh darah naik

b. Timbulnya dan mudahnya trombosit mengadakan

agregasi dan adhesi, sehingga terjadi timbunan

trombosit, yang dapat mempersulit lumen dan makin

menganggu aliran darah ke organ vital. Upaya untuk

mengatasi timbunan trombosit ini terjadi lisis, sehingga


21

dapat menurunkan jumlah trombosit darah serta

memudahkan perdarahan [23].

4. Membrane sel eritrosit: Peroksidase lemak/radikal bebas dapat

merusak eritrosit yang menimbulkan hemolisis, sehingga

terjadi:

a. Peningkatan ion besi dalam darah

b. Peningkatan reaksi terhadap lemak peroksidase

(hiperlipemia) yang berakibat terjadinya hiperglikemia

darah [23].

5. Gangguan metabolisme prostaglandin: Radikal bebas dapat

merusak membrane, khususnya sel endotel pembuluh darah

sehingga akan mengubah matabolisme sel, serta menganggu

keseimbangan derivate prostaglandin total (tromboksan dan

prostasiklin). Perubahan terhadap metabolisme sel tersebut,

dapat terjadi

a. Peningkatan tromboksan, yang merupakan

vasokontriktor yang kuat;

b. Penurunan produksi prostasiklin, yang merupakan

vasodilator

c. Penurunan produksi angitensi II-III, yang menyebabkan

makin meningkatnya sensitivitas otot embuluh darah

terhadap vasopressor. Perubahan-peruahan tersebut

menimbulkan terjadiya vasokontriksi pembuluh darah,


22

sehingga meningkatkan permeabilitas dan tekanan

darah. Kemudian vasokontriksi yang hebat,

menyebabkan sirkulasi tanpa putus dan hipoksia

plasenta semakin bertambah [23].

6. Gangguan perfusi jaringan Kerusakan membrane endotel

pembuluh darah, timbunan trombosit, dan vasokontriksi

pembuluh darah, mengakibatkan gangguan perfusi dan

metabolism endorgan atau organ vital dalam bentuk:

a. Ekstravasasi cairan menuju ekstraseluler, menimbulkan

edema local tibia atau anasarka, menurunkan volume

darah yang menimbulkan hipovolume pada system

kardiovaskuler, terjadinya hemokonsentrasi darah.

b. Vasokonsentrasi menimbulkan gangguan metablisme

endorgan dan terjadi perubahan patologi-anatomi secara

umum, antara lan: neroksis, perdaraha, edema [23].

7. Kerusakan end-organ Perubahan patologi-anatomi akibat

nekrosis, edema, dan perdarahan organ vital, akan menambah

beratnya manifestasi klinik dari masingmasing organ vital,

antara lain:

a. Perubahan pada otak Terjadinya vasokontriksi secara

mum menyebabkan edema otak, nekrosis local, disritmi

otak meningkatkan sensitivitas motoric, tekanan darah

yang terus meningkat menimbulkan AVA (Acute


23

Vascular Accident). Manifestasi klinik yang merpakan

bentuk dari perubahan diatas, antara lain nyeri kepala

sebagi prodromal eklmsia, terjadinya kejang/konvulsi-

eklampsia dan hipersensitif motoric, koma karena

pembengkakan dan perdarahan, gangguan visus yang

sifatnya reversibel.

b. Perubahan pada ginjal Terjadinya penurunan aliran

darah ke ginjal, menimbulkan perfusi dan filtrasi ginjal

menurun dan menimbulkan oliguria, kerusakan

pembuluh darah glomerulus dalam bentuk “gromerulo-

capilary endothelial” menibulkan proteinurin (terdapat

protein dalam urin).

c. Perubahan pada liver Akibat vasokontriksi, naiknya

permeabilitas pembuluh darah, dan terjadinya

perdarahan terutama periportal, dapat menimbulkan

manifestasi klinis pembengkakan dan perdarahan liver

menimbulkan nyeri pada epigastriumdan liver akan

membesar; kerusakan sel “hepatoseluler”,

mengakibatkan dikeluarkannya enzim liver dan terjadi

kenaika dalam darah.

d. Akibat dari perubahan-perubahan dari patologi anatomi

organ vital dapat berlanjut terjadi perburukan gejala

klinis, yang dapat menimbulkan manifestasi terjadinya


24

sindrom HELLP yakni haemolisys akibat dari

kerusakan membrane eritrosit oleh radikal bebas asam

lemak jenuh dan tak jenuh, elevated liver, kenaikan

enzim liver (dengan gejala cepat lelah, nausea dan

vomiting), low platelet terjadi trombositopenia [23].

2.1.2.8. Gejala

1. Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa

penyakit preeklamsia. Dimana didapatkan tekanan darah ≥

140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu.

2. Edema Timbulnya edema yang didahului oleh penambahan

berat badan yang berlebihan. Penambahan berat setengah Kg

seminggu pada wanita hamil dianggap normal, tetapi jika

mencapai satu Kg seminggu atau tiga Kg dalam sebulan,

kemungkinan timbulnya preeklamsia harus dicurigai. Namun

dalam hal ini, edema tidak termasuk sebagai kriteria diagnostik

karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan

kehamilan normal.

3. Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi

300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik ≥ positif 1, dalam 2

kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam. Proteinuria berat adalah

adanya protein dalam urin ≥ 5 g/24 jam. Pemeriksaan urin

dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam

memperkirakan kadar proteinuria, sehingga untuk mengurangi


25

kesalahan penilaian proteinuria harus dilakukan konfirmasi

hasil tes positif 1 dipstik dengan menggunakan pemeriksaan

urin tampung 24 jam atau menggunakan rasio protein :

kreatinin.

4. Gejala-gejala subjektif yang umum ditemukan pada

preeklamsia, yaitu:

a. Sakit kepala hebat karena vasospasme atau edema otak.

b. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh

perdarahan atau edema atau sakit karena perubahan

pada lambung.

c. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan menjadi

kabur bahkan kadang-kadang pasien buta. Gangguan ini

disebabkan vasospasme, edema, atau ablasio retina.

Perubahan ini dapat dilihat dengan oftalmoskop [24]

2.1.2.9. Penegakan Diagnosis

1. Preeklamsia ringan

Kriteria diagnosis untuk preeklamsia ringan meliputi: Tekanan

darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg atau

terjadi peningkatan tekanan darah sistolik hingga 30 mmHg

dan diastolik hingga 15 mmHg dari tekanan darah awal.

Ambang batas proteinuria pada 24 jam yaitu 300 mg, edema

pada muka dan tangan.


26

Pemeriksaan dilakukan pada kehamilan lebih 20 minggu.

Dilihat dari kenaikan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih

dengan pemeriksaan 2 kali selang 6 jam dalam keadaan

istirahat (untuk pemeriksaan pertama dilakukan 2 kali setelah

istirahat 10 menit), terjadi edema tekanan pada tungkai, dinding

perut, lumbosakral, wajah, dan kadar proteinuria lebih 0,3

gram/liter/24 jam [21].

2. Preeklamsia berat

Karakteristiknya berdasarkan derajat dari hipertensi dan

proteinuria serta gejala yang ada kaitannya dengan ginjal, otak,

hepar, dan sistem kardiovaskular. Sakit kepala yang parah,

gangguan visual, hiperrefleksia merupakan gejala yang

mengarah pada preeklamsia. Peningkatan presisten vascular

perifer dan udem pulmonari sering terjadi. Penurunan laju

filtrasi glomerulus akan menyebabkan oliguria dan gagal ginjal

akut dengan kadar serum kreatinin mencapai 0,9 mg/dl [21].

2.1.2.10. Komplikasi

1. Komplikasi awal. Kejang meningkatkan kemungkinan

mortalitas maternal meningkat 10 kali lipat, dengan penyebab

kolaps sirkulasi, pendarahan serebral dan gagal ginjal. Kejang

meningkat kemungkinan kematian vetal 40 kali lipat, dengan

penyebab hipoksia, asidosis, dan asolusio plasenta. Kebutaan,

terjadi karena lepasnya retina atau perdarahan intracranial.


27

Peradarahan post partum, toksik delirium, aspirasi pneumonia.

Luka karena kejang berupa laserasi bibir atau lidah dan faktur

vertebra [25].

2. Komplikasi jangka panjang. 40-50% pasien dengan

preeklamsia berat atau eklampsia memiliki kemungkinan

kejadian yang sama pada kehamilan berikutnya. Hipertensi

permanen, terjadi pada 30-50% pasien dengan preeklamsia

berat atau eklampsia [25].

2.1.2.11. Penatalaksanaan

1. Manajemen ekspektatif atau aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk

memperbaiki luaran perinatal dengan memperpanjang usia

kehamilan tanpa membahayakan ibu serta mengurangi

morbiditas neonatal. Manajemen ekspektatif tidak

meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal

ginjal, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low

platelets), angka seksio sesarea, atau solusio plasenta.

Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta

mengurangi morbiditas perinatal akibat seperti penyakit

membran hialin dan necrotizing enterocolitis. Berat lahir bayi

rata-rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun

insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak.

Pemberian kortikosteroid pada manajemen ekspektatif adalah


28

untuk mengurangi morbiditas (sindrom gawat napas,

perdarahan intraventrikular dan infeksi) serta mortalitas

perinatal. Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada

kasus preeklamsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang

bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal [26].

2. Pemberian magnesium sulfat untuk mencegah kejang

Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia

adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian

eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas

maternal serta perinatal. Salah satu mekanisme kerjanya adalah

menyebabkan vasodilatasi vaskular melalui relaksasi dari otot

polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga

selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna

sebagai antihipertensi dan tokolitik. Pedoman RCOG (Royal

College of Obstetrics and Gynaecology) untuk penatalaksanaan

preeklamsia berat merekomendasikan dosis loading magnesium

sulfat 4 gram selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 1-2 gram/jam selama 24 jam postpartum atau

setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk

melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan

produksi urin, refleks patella, frekuensi napas, dan saturasi

oksigen penting dilakukan saat memberikan magnesium sulfat.


29

Pemberian ulang 2 gram bolus dapat dilakukan apabila terjadi

kejang berulang [26].

3. Pemberian antihipertensi

Antihipertensi lini pertama Nifedipin dengan dosis awal 10-20

mg per oral, diulangi setelah 30 menit dan maksimum 120 mg

dalam 24 jam. Nifedipin merupakan salah satu penghambat

kanal kalsium yang sudah digunakan sejak dekade terakhir

untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai

antihipertensi. Antihipertensi lini kedua Sodium nitroprusside

dengan dosis 0,25 µg iv/kg/menit infus, ditingkatkan 0,25 µg

iv/kg/ 5 menit atau diakzoside 30-60 mg iv/5 menit [26].


30

2.2. Kerangka Teori

2.3. Kerangka Konsep

2.4. Hipotesis

H0 : tidak terdapat hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian

preeklamsia

H1 : terdapat hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian

preeklamsia
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Obstetri Ginekologi.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit A pada bulan Agustus 2020.

3.3. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan

desain cross sectional. Analitik berarti penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel. Observasional berarti

peneliti tidak memberikan intervensi apapun selama penelitian berlangsung,

tetapi hanya mengamati. Cross sectional berarti seluruh data dalam penelitian

ini diukur dalam satu waktu yang sama.

31
32

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pasien

melahirkan di rumah sakit A. Populasi terjangkau dalam penelitian ini

adalah pasien melahirkan di rumah sakit A pada bulan Agustus 2020.

3.4.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan adalah pasien melahirkan di

rumah sakit A pada bulan Agustus 2020 yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi:

 Bersedia ikut serta dalam penelitian ini

 Berusia 25-35 tahun

Kriteria eksklusi:

 Memiliki penyulit dalam kehamilan, seperti diabetes gestasional

 Hamil kembar

3.4.4. Cara Sampling

Sampel penelitian ini akan diambil menggunakan teknik simple

random sampling. Besar sampel penelitian ini dihitung menggunakan

rumus Slovin sebagai berikut:

N 100
n= 2
= 2
=80 orang
1+ N e 1+(100 x 0,05 )
33

Keterangan:
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi (prediksi 100 orang)
e : toleransi kesalahan (5% atau 0,05)

3.5. Variabel Penelitian

3.5.1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah paparan asap rokok.

3.5.2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah preeklamsia.

3.6. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Hasil Skala


Paparan Riwayat kontak dengan asap  Tidak ada Ordinal
Asap Rokok rokok secara langsung dalam  Paparan ringan
kehidupan/aktivitas sehari-hari  Paparan sedang
berdasarkan hasil pengisian  Paparan berat
kuesioner
Preeklamsia Diagnosis preeklamsia yang  Tidak Nominal
tercatat pada rekam medis  Ya

3.7. Cara Pengumpulan Data

3.7.1. Alat dan Bahan

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medis

yang merupakan data sekunder yang berisi data pasien serta kuesioner

penelitian. Kuesioner yang akan digunakan pada penelitian ini merupakan


34

kuesioner baru yang dibuat oleh peneliti. Sebelum kuesioner tersebut

digunakan, akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.

3.7.2. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dalam 3 tahap:

1) Tahap Persiapan:

a. Penetapan sasaran

b. Konsultasi ke pembimbing

c. Kesiapan alat dan bahan

d. Koordinasi dengan pihak-pihak yang menjabat di Fakultas

Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ)

e. Menentukan waktu pelaksanaan penelitian

2) Tahap pelaksanaan:

a. Menemui petugas/tenaga kerja kesehatan di rumah sakit A

b. Perizinan

c. Menyebar kuesioner dan mencatat data sekunder

3) Tahap Penyelesaian:

a. Mengolah dan menganalisis data

b. Menyusun laporan penelitian dan penyajian


35

3.8. Alur Penelitian

3.9. Pengolahan Data dan Analisis Data

3.9.1. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan cara manual dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Editing
36

Melihat kembali apakah data yang dikumpulkan (data sekunder)

sesuai atau tidak dengan data sebenarnya agar dapat segera

diproses lebih lanjut. Editing langsung dilakukan di tempat

pengumpulan data di lapangan, sehingga jika terjadi kesalahan

maka upaya pembetulan dapat segera dilakukan.

2) Coding

Setiap data yang diambil dari data sekunder adalah data dari

sampel yang telah memenuhi kriteria sampel dan telah terisi semua

dilakukan pengkodean data.

3) Entry data (pemasukan data)

Memasukkan data kedalam kartu tabulasi.

4) Cleaning Data (pembersihan data)

Data yang sudah dimasukkan dilakukan pengecekan. Pembersihan

dilakukan jika ditemukan kesalahan pada entry data sehingga dapat

diperbaiki dan dilakukan skoring terhadap pertanyaan yang

berhubungan dengan masing-masing variabel.

3.9.2. Analisis Data

Analisis univariat akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan

hasil penelitian mengikuti asas statistik deskriptif dan ditampilkan dalam

suatu tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat akan dilakukan dengan

cara mengujinya menggunakan metode Chi Square atau Kruskal-Wallis,

tergantung apakah data penelitian ini nanti dapat memenuhi syarat uji Chi

Square. Metode tersebut dipilih karena variabel penelitian ini merupakan


37

variabel kategorik ordinal. Apabila nilai p < 0,05, maka hipotesis

penelitian ini diterima.

3.10. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti meminta persetujuan etik

(Ethical Clearance) terlebih dahulu dari Komisi Etika Penelitian Fakultas

Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati, kemudian menghubungi

kepada instasi yang berwenang untuk memperoleh izin pengambilan data

penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan barulah peneliti melakukan

penelitian. Peneliti melakukan pendekatan dengan menggunakan subyek

manusia yang sesuai kriteria inklusi dengan diberi penjelasan mengenai

penelitian yang akan dilakukan, yaitu tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan

jaminan terhadap kerahasiaan semua informasi dan data diri responden.

Kemudian peneliti meminta persetujuan tenaga kerja kesehatan di lokasi akan

dilakukannya penelitian untuk dapat mengambil data sekunder yang akan

dijadikan data untuk penelitian.


DAFTRA PUSTAKA

1. Alkema L, Chou D, Hogan D, Zhang S, Moller AB, Gemmill A, et al.


Global, regional, and national levels and trends in maternal mortality
between 1990 and 2015, with scenario-based projections to 2030: A
systematic analysis by the un Maternal Mortality Estimation Inter-Agency
Group. Lancet 2016;
2. Maternal Health Task Force. The Sustainable Development Goals and
Maternal Mortality. Harvard TH Chan Sch Public Heal 2017;
3. Cristina Rossi A, Mullin P. The etiology of maternal mortality in developed
countries: A systematic review of literature. Arch. Gynecol. Obstet.2012;
4. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 [Internet].
2018. Available from: http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-
litbangkes/menu-riskesnas/menu-riskesdas
5. Sibai BM. Preeclampsia. In: Protocols for High-Risk Pregnancies: An
Evidence-Based Approach: Sixth Edition. 2015.
6. Young BC, Levine RJ, Karumanchi SA. Pathogenesis of Preeclampsia.
Annu Rev Pathol Mech Dis 2010;
7. Phipps E, Prasanna D, Brima W, Jim B. Preeclampsia: Updates in
pathogenesis, definitions, and guidelines. Clin. J. Am. Soc. Nephrol.2016;
8. WHO. Global Progress Report on implementation of the WHO Framework
Convention on Tobacco Control. 2018.
9. Asma S, Mackay J, Yang Song, S et al. The GATS Atlas. Global Adult
Tobacco Survey. 2016.
10. Prasetya LD. Pengaruh Negatif Rokok bagi Kesehatan di Kalangan
Remaja. Pengaruh Negatif Rokok bagi Kesehat di Kalangan Remaja 2016;
11. Herawati MH. Bahan yang Mengandung Zat Adiktif pada Produk Rokok
dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Pros Semin Nas XIX “Kimia dalam
Ind dan Lingkungan” 2016;
12. Kemenkes. Situasi Umum Konsumsi Tembakau di Indonesia. Pus Data dan
Inf Kementeri Kesehat RI 2018;

38
39

13. Rahmah N. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. Pengaruh Rokok


Terhadap Kesehat 2017;
14. Tirtosastro, S., & Murdiyati, A S. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok.
Bul Tanam Tembakau, Serat dan Miny Ind 2017;
15. Suardita IW, Chrisnawati, Agustina DM. Faktor-faktor resiko pencetus
prevalensi kanker payudara. J Keperawatan Suaka Insa 2016;
16. Nururrahmah. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. Pengaruh Rokok
Terhadap Kesehat 2014;
17. Kemenkes. Bahaya Merokok Bagi Kesehatan Tubuh. Kementeri Kesehat
Ri 2016;
18. Joseph V. Efek akut merokok kretek terhadap fungsi ventrikel kanan. J
BIOMEDIK 2016;
19. Jeyabalan A. Epidemiology of preeclampsia: Impact of obesity. Nutr Rev
2013;
20. Cunningham Z. William’s Obstetry. Jakarta: EGC; 2015.
21. Roberts JM, Druzin M, August PA, Gaiser RR, Bakris G, Granger JP, et al.
ACOG Guidelines: Hypertension in pregnancy. 2012.
22. Shah S, Gupta A. Hypertensive Disorders of Pregnancy. Cardiol.
Clin.2019;
23. Mayrink J, Costa ML, Cecatti JG. Preeclampsia in 2018: Revisiting
Concepts, Physiopathology, and Prediction. Sci World J 2018;
24. Mabry-Hernandez I, Romano MJ. Screening for preeclampsia. Am Fam
Physician 2018;
25. Ngwenya S. Severe preeclampsia and eclampsia: Incidence, complications,
and perinatal outcomes at a low-resource setting, mpilo central hospital,
bulawayo, Zimbabwe. Int J Womens Health 2017;
26. Norwitz ER. Preeclampsia : Management and prognosis. UpToDate 2019;

Anda mungkin juga menyukai