Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

Kejang Demam

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh
Laras Rimadhani
20090310160

Diajukan Kepada :
dr. Anik Dwiani, Sp.A.

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

DEMAM TIFOID

Disusun oleh :

Nama : Laras Rimadhani

No. Mahasiswa : 20090310060

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal: , Oktober 2013

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Anik Dwiani, Sp.A


BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi
khususnya anak. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak di Amerika Serikat, Amerika
Selatan, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan kejadian di Asia dilaporkan lebih
tinggi, yakni sekitar 80%. Hampir 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam
sederhana. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam
tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak, kejang demam terjadi pada waktu anak berusia
antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Sekitar
6-15% terjadi pada usia >4 tahun. Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki.
(Waruiru & Appleton, 2008).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak
usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hipertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus (Soetomenggolo, 2004).

Penyebab demam bisa karena berbagai hal salah satunya akibat penyakit
rhinofaringitis. Rhinofaringitis merupakan salah satu IRA-atas yang banyak terjadi pada
anak. Faringitis dapat disebabkan bakteri atau virus. Streptokokus beta hemolitikus A adalah
bakteri penyebab terbanyak rhinofaringitis akut (15-30%). Virus yang dapat menyebabkan
rhinofaringitis akut adalah Adenovirus, Rhinovirus, virus epstein Barr, virus Parainfluenza

Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tatalaksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau
sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur
berapa.Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain
yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian.

4
Penanganan awal kejang sangat penting, yaitu dengan menghentikan segera menggunakan
diazepam, sedangkan penanganan untuk diare yaitu dengan mencegah dan mengatasi
keadaan dehidrasi. Pemberian cairan pengganti (cairan rehidrasi) baik yang diberikan secara
oral (diminumkan) maupun parenteral (melalui infus) telah berhasil menurunkan angka
kematian akibat dehidrasi pada ribuan anak yang menderita diare.

5
BAB II

Status Pasien

A. Kasus

1. Identitas

Nama : An. M

Umur : 4 tahun 6 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 8 Maret 2010

BB : 14 kg

2. Anamnesis

a. Keluhan utama

Demam sejak 1 hari yang lalu diseratai kejang

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak perempuan datang ke IGD Rumah Sakit bersama orangtuanya, datang

dengan demam, 2 jam sebelum masuk rumah sakit anak mengalami demam dengan

durasi <5 menit disertai batuk dan pilek. Batuk (+), pilek (+) mual (-) mutah (-), sesak

(-), gusi berdarah (-), BAB (+) BAK (+) cair (-) lendir (-) darah (-), nafsu makan (-).

c. Riwayat Penyakit dahulu

Ibu pasien mengatakan pasien pernah menderita kejang demam dengan diare cair akut

1 tahun yang lalu.

Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat penyakit paru : disangkal

Riwayat asma : disangkal

6
Riwayat gula : disangkal

Riwayat ginjal : disangkal

Riwayat hepatitis : disangkal

Riwayat penyakit saluran cerna : disangkal

Riwayat maag : disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat kejang atau epilepsi disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit hipertensi disangkal

Riwayat diabetes mellitus disangkal

Riwayat penyakit asma disangkal

Riwayat penyakit alergi disangkal

Kesan : Tidak ada riwayat penyakit yang diturunkan dari keluarga

3. Pemeriksaan

KU : tampak lemah, sadar (CM E4V5M6), tak anemis.

Vital sign : HR 120 X/Menit. Suhu 38,5 . RR 30 X/Menit.

Status Gizi: Berat badan berbanding usia -1SD  baik (-2 SD sampai -1SD)

Kepala:

 Fontanella datar nutup.

 Mata : Cekung -, sclera ikterik -, CA -, secret –, pupil isokor +, reflek cahaya +,

 Hidung: secret -, nafas cuping hidug -,

 Mulut : Sianosis -, Stomatitis -, faring hiperemis +, Tonsil T0 dengan permukaan

eritem, nyeri telan +, bibir pecah-pecah (-)

 Telinga : secret -, tragus pain -, bulging -.

7
 Leher : Pembesaran limfonodi -.

Thorax :

Jantung

1. Inspeksi : iktus kordis tidak telihat

2. Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga ke 4 linea midklavikula sinistra

3. Perkusi : tidak dilakukan

4. Auskultasi : S1 S2 reg/reg, Murmur (-), Gallop (-)

Paru-paru

1. Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)

2. Palpasi : vocal fremitus +/+ sama

3. Perkusi : sonor +/+

4. Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-

Abdomen :

1. Inspeksi : datar, warna kecoklatan

2. Palpasi : turgor baik, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

3. Perkusi : tympani di seluruh lapang perut

4. Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2detik, nadi kuat reguler

4. pemeriksaan penunjang

Tanggal 28 September 2014

Darah lengkap

Jenis Nilai Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 10.5 9,5 – 14 g/dl

8
Lekosit 45.2 4 – 11 10^3/uL

Eritrosit 4.3 4–5 10^6/uL

Trombosit 318 150 – 450 10^3/uL

Hematokrit 32.8 36 – 46 Vol %

Hitung Jenis

Eosinofil 0 2–4 %

Basofil 0 0–1 %

Batang 0 2–5 %

Segmen 79 51 – 67 %

Limfosit 10 20 – 35 %

Monosit 11 4–8 %

Jenis Nilai Nilai Rujukan Satuan

Kimia Klinik

Diabetes
GDS 85 80 – 200 mg/dl

Elektrolit

Natrium 133.2 137 – 145 mmol/l

Kalium 3.78 3.5 – 5.1 mmol/l

Klorida 101.5 98 – 107 mmol/l

5. Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Terapi

Hari ke-1 S: Infus

28/09/2014 Pasien baru datang dari IGD dengan keluhan - D5% 8 tpm

9
demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Injeksi

Ketika di rumah 2 jam sebelum masuk IGD - Ampicillin 3 x 500 mg

pasien kejang yang didahului dengan demam, - Cefotaxim 3 x 500 mg

lama kejang <5 menit, 1 kali serangan kejang, Po

kaku seluruh badan. Nyeri telan (+). Batuk - Lasal syrup 3 x ¾ cth

berdahak putih jernih disertai pilek. BAB (+), syr

BAK (+), muntah (-), mual (-). Riwayat kejang - Paracetamol 3 x 1 ¼

(+) 1 tahun yang lalu. cth syr

O - Diazepam 2 mg (k/p)

KU : composmentis tampak lemah

T : 390 C, Nadi : 96 kali/menit, RR : 24

kali/menit

Limfonodi: tak teraba, nyeri tekan (-)

Kulit: turgor kulit kembali cepat

Kepala: Mesochepale, massa (-), CA (-)

Leher: massa (-), nyeri tekan (-)

Thorax:

- Inspeksi: pergerakan dinding dada

simetris, retraksi (-)

- Perkusi: sonor +/+

- Palpasi: vocal fremitus +/+

- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,

whezzing -/-

Abdomen

10
- Inspeksi: datar, kecoklatan

- Perkusi: tympani seluruh lapang

- Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Auskultasi: bising usus (+)

Ekstremitas: akral hangat, CR < 2 detik, nadi kuat

A: Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis

Hari ke-2 S: Infus

29/09/2014 Nyeri telan (+). Batuk berdahak putih jernih - D5% 8 tpm

disertai pilek. BAB (+), BAK (+), muntah (-), Injeksi

mual (-). - Ampicillin 3 x 500 mg

O - Cefotaxim 3 x 500 mg

KU : composmentis tampak lemah Po

T : 36o C, Nadi : 102 kali/menit, RR : 24 - Lasal syrup 3 x ¾ cth

kali/menit syr

Limfonodi: tak teraba, nyeri tekan (-) - Paracetamol 3 x 1 ¼

Kulit: turgor kulit kembali cepat cth syr

Kepala: Mesochepale, massa (-), CA (-) - Diazepam 2 mg (k/p)

Leher: massa (-), nyeri tekan (-)

Thorax:

- Inspeksi: pergerakan dinding dada

simetris, retraksi (-)

- Perkusi: sonor +/+

- Palpasi: vocal fremitus +/+

11
- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,

whezzing -/-

Abdomen

- Inspeksi: datar, kecoklatan

- Perkusi: tympani seluruh lapang

- Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Auskultasi: bising usus (+)

Ekstremitas: akral hangat, CR < 2 detik, nadi kuat

A: Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis

Hari ke-3 S: Infus

30/09/2014 Nyeri telan (+). Batuk berdahak putih jernih, - D5% 8 tpm

pilek (-), BAB (+), BAK (+), muntah (-), mual Injeksi

(-). - Ampicillin 3 x 500 mg

O - Cefotaxim 3 x 500 mg

KU : composmentis tampak lemah Po

T : 36,80 C, Nadi : 94 kali/menit, RR : 22 - Lasal syrup 3 x ¾ cth

kali/menit syr

Limfonodi: tak teraba, nyeri tekan (-) - Paracetamol 3 x 1 ¼

Kulit: turgor kulit kembali cepat cth syr

Kepala: Mesochepale, massa (-), CA (-) - Diazepam 2 mg (k/p)

Leher: massa (-), nyeri tekan (-)

Thorax:

- Inspeksi: pergerakan dinding dada

12
simetris, retraksi (-)

- Perkusi: sonor +/+

- Palpasi: vocal fremitus +/+

- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,

whezzing -/-

Abdomen

- Inspeksi: datar, kecoklatan

- Perkusi: tympani seluruh lapang

- Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Auskultasi: bising usus (+)

Ekstremitas: akral hangat, CR < 2 detik, nadi kuat

A: Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis

akut

Hari ke-4 S: Infus

01/10/2014 Nyeri telan (-), batuk berdahak putih jernih, pilek - D5% 8 tpm

(-) BAB (+), BAK (+), muntah (-), mual (-). Injeksi

O - Ampicillin 3 x 500 mg

KU : composmentis tampak lemah - Cefotaxim 3 x 500 mg

T : 36 C, Nadi : 100 kali/menit, RR : 28 Po

kali/menit - Lasal syrup 3 x ¾ cth

Limfonodi: tak teraba, nyeri tekan (-) syr

Kulit: turgor kulit kembali cepat - Paracetamol 3 x 1 ¼

Kepala: Mesochepale, massa (-), CA (-) cth syr

13
Leher: massa (-), nyeri tekan (-) - Diazepam 2 mg (k/p)

Thorax:

- Inspeksi: pergerakan dinding dada

simetris, retraksi (-)

- Perkusi: sonor +/+

- Palpasi: vocal fremitus +/+

- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,

whezzing -/-

Abdomen

- Inspeksi: datar, kecoklatan

- Perkusi: tympani seluruh lapang

- Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Auskultasi: bising usus (+)

Ekstremitas: akral hangat, CR < 2 detik, nadi kuat

A: Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis

akut

Hari ke 5 S: Infus

02/10/2014 Nyeri telan (-), batuk berdahak putih jernih - D5% 8 tpm

disertai pilek. BAB (+), BAK (+), muntah (-), Injeksi

mual (-). - Ampicillin 3 x 500 mg

O - Cefotaxim 3 x 500 mg

KU : composmentis tampak lemah Po

14
T : 36 C, Nadi : 102 kali/menit, RR : 24 - Lasal syrup 3 x ¾ cth

kali/menit syr

Limfonodi: tak teraba, nyeri tekan (-) - Paracetamol 3 x 1 ¼

Kulit: turgor kulit kembali cepat cth syr

Kepala: Mesochepale, massa (-), CA (-) - Diazepam 2 mg (k/p)

Leher: massa (-), nyeri tekan (-)

Thorax: BLPL

- Inspeksi: pergerakan dinding dada

simetris, retraksi (-)

- Perkusi: sonor +/+

- Palpasi: vocal fremitus +/+

- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,

whezzing -/-

Abdomen

- Inspeksi: datar, kecoklatan

- Perkusi: tympani seluruh lapang

- Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Auskultasi: bising usus (+)

Ekstremitas: akral hangat, CR < 2 detik, nadi kuat

A: Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis

akut

15
6. Diagnosis Kerja

 Kejang Demam Sederhana

 Rhinofaringitis akut

7. Diagnosis Banding

Diagnosis Banding Kejang Demam:

1. Kelainan Intrakranium

o Meningitis
o Encephalitis
o Abses otak
2. Gangguan metabolik

o Hipoglikemi
o Gangguan elektrolit
o Sinkop
3. EpilepsiEpilepsi Triggered by Fever (ETOF)

Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk
menentukanpenyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang
tersebut.

Tabel 2. Diagnosis banding infeksi susunan saraf pusat.

Klinis/Lab Ensefalitis Meningitis Meningitis Meningitis Kejang Demam


Herpes Bacterial/ Tuberkulosa Virus
Simpleks Purulenta

Awitan Akut Akut Kronik Akut Akut


Demam < 7 hari < 7 hari >7 hari < 7 hari < 7 hari
Tipe kejang Fokal/umum Umum Umum Umum Umum/fokal
Singkat/lama Singkat Singkat Singkat Lama>15
menit

Kesadaran Sopor-koma Apatis-somnolen Somnolen-sopor Sadar-apatis Somnolen


Pemulihan
kesadaran

16
Lama Cepat Lama Cepat Cepat
Tanda
rangsang - ++/- ++/-
meningeal +/- -

Tekanan Sangat Sangat


intrakranial meningkat meningkat
Meningkat Normal Normal
Paresis +++/- +/- +++ - -
Pungsi Jernih Keruh/opalesen Jernih/xanto Jernih Jernih
lumbal
Normal/limfo Segmenter/limf Limfo/segmen Normal Normal
Etiologi Virus HS Bakteri M.Tuberculosis Virus Di luar SSP

Terapi Antivirus Antibiotik Anti TBC Simtomatik Penyakit dasar

17
1. Kejang Demam
Definisi Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam adalah kejang yang terjadi pada anak umur enam bulan sampai lima tahun
dengan suhu lebih dari 38C yang tidak disebabkan karena infeksi sistem syaraf
pusat atau gangguan metabolisme dan tidak memiliki riwayat kejang tanpa demam.
Etiologi Kejang Demam
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia,
bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih (Staff Pengajar
IKA FKUI, 2005).

Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa
kehidupan lainnya.Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan
perdarahan serta cacat kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada
bayi kecil.Pada masa bayi lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering
adalah infeksi akut.Penyebab yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi
idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia, perdarahan intrakranial spontan serta
trauma postnatal (Soetomenggolo, 2004).

Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut


semakin jarang menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali
muncul sebagai penyebab penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor
paling umum. Penyebab lain setelah masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa
kerusakan otak akibat trauma, infeksi, dan tumor otak.Dari penelitian yang telah
dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297 penderita kejang demam,
66(±22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya (Baumann, 2002). Penyebab
utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan.

Tabel 1. Penyebab demam pada 297 anak penderita kejang demam

Penyebab demam Jumlah penderita

Tonsilitis dan/atau faringitis 100


Otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91

18
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44
Bronkitis (radang saiuran nafas) 17
Bronkopeneumonia (radang paru dan 38
salurannafas)
12
Morbili (campak)
1
Varisela (cacar air)
1
Dengue (demam berdarah)
66
Tidak diketahui

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman
Shigella mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding
penderita gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya (Waruiru & Appleton, 2008).
Patofisiologi Kejang Demam
Pada keadaaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Hanya pada kejang yang berlangsung lama (lebih
dari 15 menit) yang dapat menyebabkan kerusakan neuron otak dan epilepsi.
Manifestasi Klinis Kejang Demam
1) Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa

19
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

2) Kejang demam komplek


1. Kejang lama > 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Faktor Resiko Terjadinya Kejang Demam
Faktor-faktor yang terjadinya kejang demam menurut Friedman (2006), yaitu:
 Pengalaman demam yang sering
 Kejang yang terjadi pada suhu yang relatif rendah
 Gangguan tumbuh kembang
 Suhu tubuh lebih dari 39C
 Demam yang terjadi kurang dari dua jam
 Riwayat kejang pada keluarga terdekat (orang tua dan saudara kandung)
 Usia anak kurang dari dua tahun
 Riwayat asfiksia
Diagnosis Kejang Demam
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat
(otak). Berikut merupakan diagnosa banding kejang demam menurut Paul (2012)
dan WHO (2005) adalah:
Infeksi sistem saraf pusat : meningitis, enchepalitis
Kejang yang disebabkan oleh demam pada anak yang terdiagnosis epilepsi
Reflex anoxic seizure yaitu kejang yang dicetuskan karena anak mengalami nyeri
dan anak tiba-tiba menjadi lemas.
Serangan asma yaitu saat anak mengalami gangguan kesadaran sementara
Delirium yang disebabkan karena suhu tubuh yang sangat tinggi
Anak demam yang mengalami pingsan
Anak demam yang mengalami kekakuan pada ekstremitas tetapi tidak mengalami
penurunan kesadaran
Malaria serebral (hanya pada anak yang terpajan Plasmodium Falsifarum)
Gloumonefritis akut dengan ensefalopati

20
Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dipertimbangkan setelah anak mengalami kejang demam
sederhana menurut American Academy of Pediatrics (2011) adalah :
 Identifikasi penyebab demam
 Pungsi lumbal
Pungsi lumbal perlu dilakukan apabila :
 Anak mengalami kejang dan demam yang mempunyai gejala klinis
meningitis (kernig sign, brudzinski sign, atau kaku kuduk).
 Anak usia 6-12 bulan yang kemungkinan kejang tidak disebabkan karena
haemophilus influensae type b (Hib) atau Streptococcus pneumoniae (anak
yang belum mendapatkan imunisasi)
 Anak yang sedang dalam pengobatan antibiotik pada saat sebelum
mengalami kejang demam. Hal ini dilakukan karena antibiotik dapat
menyamarkan tanda gejala meningitis.
Elektroensefalografi
Secara umum kejang demam sederhana tidak biasanya membutuhkan evaluasi
lebih lanjut khususnya elektroensefalografi

Penatalaksanaan

Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam (Tumbelaka, 2005).

Pengobatan Fase Akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan


untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar
oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres
air hangat dan pemberian antipiretik (Waruiru & Appleton, 2008).

Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat –

21
obatan antipiretik sangat diperlukan. Obat – obatan yang dapat digunakan sebagai
antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau
ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam (American Academy of Pediatrics,
1999).

Tatalaksana penghentian kejang akut dapat dilaksanakan sebagai berikut

(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):

1. Di Rumah (pre hospital):


Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtuadengan
pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara
sederhana bila berat badan kurang dari 10 kg diberikan 5 mg, sedangkan
jika berat badan lebih dari 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian di rumah
diberikan maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih
berlangsung, bawa pasien ke klinik atau rumah sakit terdekat.

2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan
intravena, dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil
mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya
dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit,
dan gula darah sesuai indikasi.

Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin i.v dengan dosis 20


mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0,9%, diberikan perlahan-lahan dengan
kecepatan pemberian 50mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat
diberikan tambahan fenitoin i.v 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan
pemberian fenitoin setelah 12 jam, kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg.

Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital i.v dengan dosis


maksimum 15-20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100mg/menit.
Awasi dan atasi kelainan metabolik yang ada. Bila kejang berhenti,
lanjutkan dengan pemberian fenobarbital i.v rumatan 4-5 mg/kg setelah
12 jam kemudian.

3. Perawatan Intensif di Rumah Sakit

22
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang
intensif. Dapat diberikan salah satu dari obat berikut:

 Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti


infus midazolam 0,01-0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.
 Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5
mg/kg/jam dan diturunkan setelah 12-24 jam.
 Pentobarbital 5-15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5
mg/kg/jam.
Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan


kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan lumbal pungsi hanya pada kasus
yang dicurigai mengalami meningitis, atau bila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil manifestasi klinis meningitis sering tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada
pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan
(Tumbelaka, 2005).

Pengobatan Profilaksis

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan


dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara
profilaksis, yaitu:

a. Profilaksis intermiten pada waktu demam untuk kejang demam sederhana


Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang
tidak mendapat hasil dengan fenobarbital intermiten. Diazepam
intermitenmemberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat
digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5 o C atau lebih.

23
Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,3 mg/kg BB/hari setiap 8
jam pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia,
mengantuk danhipotonia.

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu


efektif karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam
sempat diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi
gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat(Tumbelaka,
2005).

b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan) untuk


kejang demam kompleks.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis setiap hari terus
menerus hanya diberikan jika kejang demam mempunyai ciri sebagai berikut
(salah satu / lebih)

(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):

1. Kejang lama lebih dari 15 menit


2. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang, seperti
hemiparesis, paresis Todd, serebal palsi, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
Antikonvulsan yang dapat diberikan antara lain fenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis (Pedoman
Pelayanan Medis, IDAI, 2010).

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan jika

(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):

1. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam


2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
3. Kejang demam lebih dari 4 kali dalam 1 tahun.

24
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat ini efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (Pedoman Pelayanan Medis,
IDAI, 2010).

Indikasi Rawat Inap:

Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut (Pedoman
Pelayanan Medis, IDAI, 2010):

a. Kejang demam kompleks


b. Hiperpireksia
c. Usia di bawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis

A. Komplikasi

Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan mengambil


perhatian yang besar dari orang tua, sebagian besar kejang demam tidak
menimbulkan efek yang menetap.Kejang demam jika diterapi dengan tepat, tidak
menyebabkan kerusakan otak, retardasi mental, gangguan belajar, atau epilepsi
dikemudian hari.

Komplikasi paling sering dari kejang demam adalah kemungkinan terjadinya


kejang demam lagi. Kira-kira sepertiga anak yang pernah kejang demam akan
mengalami kejang lagi pada demam berikutnya. Risiko kambuh lebih tinggi jika
anak mengalami demam yang tidak terlalu tinggi pada saat pertama kali mengalami
kejang demam. Jika waktu antara permulaan demam dan kejang pendek, atau jika
ada anggota keluarga yang memiliki riwayat kejang demam. Tetapi factor yang
paling berpengaruh adalah usia. Anak yang lebih muda saat kejang demam pertama
kali, kemungkinan besar akan mengalami kejang demam lagi.

B. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik
dan tidak menyebabkan kematian.Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.

25
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:

1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.


2. Kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam.
3. Kejang yang berlangsung lama, atau kejang fokal (Baumann, 2003).
Bila terdapat paling sedikit 2 dari ketiga faktor di atas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibandingkan jika hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali dari faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa
demam hanya 2%-3% saja.

Rhinitis Akut

Rhinitis atau dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau salesma adalah
salah satu dari penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering
mengalami rinitis daripada dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali rinitis
pertahun, sedangkan orang mengalami 6-8 kali kali pertahun, sedangkan orang
dewasa 2-4 kali pertahun. Rinitis adalah infeksi virus akut yang sangat menular.
Rinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi tenggorokan, serta
dapat disertai dengan atau tanpa demam. Hampir semua rinitis disebabkan oleh
virus.

Definisi

Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernafasan atas ringan
dengan gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok,
dan batuk. Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan
penyakit yang paling sering diderita manusia.

Etiologi

Tabel 1. Etiologi Rinitis Berdasarkan Kekerapannya

Kategori Mikroorganisme
Penyebab rinitis terbanyak Rhinovirus
Virus Parainfluenza
RSV

26
Coronavirus
Dapat menyebabkan rinitas Adenovirus
Enterovirus
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumonia
Jarang menyebabkan rinitis Coccidiodes immitis
Histoplasma Capsulatum
Bordatella Pertusis
Chlamydia psitacci
Coxiella Burnetti
Sumber: Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract.
Dalam: Behrman ER, Kliegman MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16.
Textbook of pediatrics. Philadelphia.

Gejala Klinis

Gejala rinitis timbul setelah masa inkubasi yang sangat bervariasi antar virus.
Gejala klinis pada infeksi Rhinovirus terjadi 10-12 jam setelah inokulasi intranasal,
sedangkan masa inkubasi virus Influenza adalah 1-7 hari. Secara umum, keparahan
gejala meningkat secara cepat, mencapai puncak dalam 2-3 hari, dan setelah itu
membaik. Rata-rata lama terjadinya rinitis adalah 7-14 hari, tetapi pada beberapa
pasien gejala dapat menetap hingga tiga minggu. Sekret di hidung dan demam
merupakan gejala yang sering ditemukan selama tiga hari pertama. Secret hidung
yang semula encer dan jernih akan berubah menjadi kental dan purulen. Sekret
yang purulen tersebut tidak selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, tetapi
berhubungan dengan peningkatan jumlah sel PMN. Secret berwarna putih atau
kuning berhubungan dengan adanya sel PMN, sedangkan sekret berwarna
kehijauan disebabkan oleh aktivitas enzim sel PMN

Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur, dan penurunan
nafsu makan. Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat
dijumpai edema dan eritema mukosa hidung serta limfadenopatiservikalis anterior.

Diagnosis

27
Penegakkan diagnosis rinitis sebetulnya relaif mudah, tetapi perlu diwaspadai
beberapa diagnosis banding yang mempunyai gejala menyerupai rinitis untuk
menghindari terjadinya undertreatment. Satu hal lagi yang perlu diingat adalah
menentukan apakah rinitis tersebut memiliki komplikasi atau tidak.

Diagnosis rinitis ditegakan berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit yang
diperoleh dari anamnesis lengkap. Perlu ditanyakan mengenai karakteristik rinorea
unilateral atau bilateral, dan apakah pasien memiliki riwayat alergi. Kebiasaan
merokok pada orang tua juga penting ditanyakan, karena asap rokok yang terhirup
dapat memperberat gejala rinitis. Selain itu, perjalanan penyakit juga perlu
ditanyakan untuk melihat kompliasi pada pasien. Nyeri tenggorok kadang-kadang
sulit dibedakan dengan gejala pada faringitis karena Streptokokus. Akan tetapi,
hidung buntu dan nasal discharge yang merupakan gejala utama rinitis tidak
dijumpai pada faringitis karena Streptokokus.

Tatalaksana

1. Istirahat yang cukup


2. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat
3. Rhinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontn
setelah kurang lebih 1-2 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan
lebih bersifat simptomatik seperti analgetik, antipiretik, dan nasal dekongestan
disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi khusus tidak perlu kecuali bila
terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu
diberikan.
- Antipiretik dapat diberikan paracetamol
- Dekongestan oral dapat mengurangi sekret hidung yang banyak,
membuat pasien lebih nyaman
- Antibiotik digunakan apabila ada indikasi infeksi bakteri

Faringitis Akut

Faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring,
termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis
merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di

28
sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang
terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil.

Etiologi

Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai
manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan
etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak 3 tahun (prasekolah). Virus
penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus
Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis tetapi disertai dengan gejala
infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi
sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan
berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.

Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak


faringitis akut. Bateri tersebut mencakup 15-30% (diluar kejadian endemik) dari
penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10%
kasus. Streptokokkus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum
pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat
penitipan anak (day care).

Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan


infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.

Patogenesis

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat sekrei nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan
nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi
dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptoccous ditandai
dengan invasi lokal serta pengelapasan toksi ekstaseluler dan protease. Transmisi
dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan
sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.

29
Manifestasi klinis

Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya
dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan
muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40 derajat
celcius, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea,
suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus.

Pada pemeriksaan fisis tidak, tidak semua pasien faringitis akut Streptokokus
menunjukan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang
disertai dengan pemebesaran tonsil. Faringitis Streptokokus sangat mungkin jika
dijumpai gejala dan tanda berikut:

 awitan akut, disertai mual dan muntah


 Faring hiperemis
 demam
 nyeri tenggorokan
 tonsil bengkak dengan eksudasi
 Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
 uvula bengkak dan merah
 eksoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
 ruam skarlatina
 petekie palatum mole

Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar
bukan faringitis streptokokus:

- Usia dibawah 3 tahun


- Awitan bertahap
- Kelainan melibatkan beberapa mukosa
- Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- Mengi, ronki di paru
- Eksantem ulseratif

30
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior
tonsil hingga ke palatum mole dan/ \atau ke uvula.

Tanda faringitis virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat
pada faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam,
berlangsung 4-10 hari, jarang ditemukan komplikasi, dan memiliki prognosis yang
baik.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan laboratorium.

Sulit untuk membedakan antara faringitis Stretokokus dan faringitis virus hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan
tenggorok.

Tatalaksana

Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian
antibiotik sesuai indikasi. Faringitis Streptokokus grup A merupakan satu-satunya
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik.

Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat
cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat
diberika. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap),
pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila
terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan paracetamol atau
ibuprofen.

Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat ini
masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut.

31
Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis
akut Streptokokus, dan memberikan antibiotik karena khawatir dengan salah satu
komplikasinya, berupa demam reumatik.

Komplikasi

Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus dapat
berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus
dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas. Komplikasi faringitis
bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan
langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis,
adenitis servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau mengakibatkan
meningitis, osteomielitis, atau artritis septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif
berupa demam reumatik dan glomerulonefritis.

32
Daftar Pustaka

1. Abdoerrahman. (2002). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI
2. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang Pada
Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
3. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizures. 2004. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Kejang Demam. Dalam : Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 209.
5. Paul, S; Blaikley, S.; Chintapalli, R. (2012). Clinical update : febrile convulsion in
childhood. Community Practicioner. Swindon, 85(7), 36-38
6. Kundu, G.K., Rabin, F., Nandi, E., Sheikh, N., Akhtar, S. (2010). Etiology and risk
factor febrile seizure – an update. G.K. Bangladesh J. Child Health, 34, 103-112
7. Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI
8. Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta. EGC

33

Anda mungkin juga menyukai