Anda di halaman 1dari 19

OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM PERSALINAN NORMAL

&
PENATALAKSANAAN BAYI BARU LAHIR
dr. Raafika Studiviani, MMR

OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM PERSALINAN


NORMAL
A. Lidokain
1. Pengertian Lidokain
Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia lokal) dan
blok saraf. Bidan di Inggris boleh menggunakan larutan obat anestesia ini hingga
konsentrasi 1% untuk memberikan anelgesia perineum sebelum melakukan episiotomi
dan perbaikan perineum (Tiran,2006). Lidocaine adalah obat anastesi lokal yang
menyebabkan hilangnya sensasi rasa sakit pada tubuh, (Alodokter, 2015).
2. Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme,
ekskresi / eliminasi)
Lidokain cepat diserap dari tempat suntikan, saluran cernaserta dapat melewati sawar
darah otak. Kadarnya dalam plasenta fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah
ibu, (Syarif dan Sunaryo, 2012). Sekitar 70% (55-95%) lidokain dalam plasma terikat
protein, hampir semuanya dengan alfa 1 – acid glycoprotein. Distribusi berlangsung
cepat, volume distribusi adalah 1 liter per kilogram; volume ini menurun pada pasien
gagal jantung. Tidak ada lidokain yang diekskresi secara utuh dalam urin, (Bangun,
2012).
Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar (retikulum endoplasma), mengalami
dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function oxidases) membentuk
monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dimetabolisme lebih lanjut
menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun
glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari
xilidid aka diekskresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi 2-6
dimetil-anilin (Syarif dan Sunaryo, 2012). Lidokain dimetabolisme di dalam hati ibu

1
hamil, janin atau neonatus menjadi metabolit aktif. Meskipun lama kerja dan waktu
paruh lignokain atau lidokain relatif singkat (82 menit pada ibu hamil dan 95 menit
pada neonatus), metabolitnya tetap diekskresikan oleh neonatus selama 36-48 jam
sesudah kelahirannya, periode waktu untuk ekskresi obat ini bergantung pada cara
pemberiannya. Metabolit ini bertanggung jawab atas beberapa efek toksik yang
ditimbulkan oleh lignokain (Kuhnert, 1993).
3. Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek
merugikan, efek tak terduga)
a) Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Komunikasi dalam sistem saraf dan aktifitas mekanis dalam otot bergantung pada
eksitabilitas-elektris membran sel jaringan. Timbulnya impuls saraf bergantung
pada produksi potensial aksi dalam membran sel pada akson neuron. Kerja utama
obat anestesi lokal adalah untuk mengurangi kemampuan saraf dalam
menghantarkan potensial aksi dan impuls saraf (Jordan, 2004).
Pada saat istirahat, membran sel saraf dan otot berada dalam keadaan terpolarisasi
(atau bermuatan). Kalau suatu potensial aksi dipicu, saraf tersebut akan mengalami
depolarisasi atau (melepaskan muatannya) lewat influksi ion natrium yang cepat,
kejadian ini akan diikuti oleh peristiwa repolarisasi (pemuatan kembali) karena
terjadinya efluksi ion kalium. Obat anestesi lokal mencegah influksi ion natrium
yang cepat dengan menyekat saluran natrium dalam membran sel saraf. Keadaan
ini akan menghambat pembentukan potensial aksi dan mencegah transmisi impuls
serta sinyal disepanjang akson dan menyekat fungsi syaraf yang normal (Jordan,
2004).
b) Efek Samping Obat
Efek sampingnya adalah menyekat saluran ion natrium pada semua jaringan
penghantar impuls yaitu sistem saraf pusat (SSP), jantung dan sistem
kardiovaskuler, sistem saraf perifer, sistem saraf simpatik, otot polos-uterus,
kandung kemih, usus dan otot skelet (Jordan, 2004).
 Eksitasi dan Inhibisi SSP
Pada SSP, saluran ion natrium dalam neuron penghambat (inhibitor) lebih
mudah disekat daripada saluran ion natrium dalam neuron pemicu (eksitatorik).
Karena itu, respons SSP terhadap obat anestesi lokal akan melewati beberapa
tahap mulai dari eksitasi hingga inhibisi dan depresi seperti telinga yag

2
berdenging (tinitus), perasaan yang aneh dalam mulut, kebingungan atau agitasi,
penglihatan kabur, menggigil, keadaan gelisah, euforia, gemeteran, mual,
tremor, konvulsi, depresi pernafasan, koma dan kematian. Pada pemberian
intravena yang tidak disengaja, respons awal terhadap obat anestesi lokal
biasanya berupa eksitasi, kegelisahan, tremor, dan bahkan konvulsi (Hughes,
1992). Eksitasi paradoksal ini akan diikuti oleh depresi SSP khususnya depresi
pernafasan. Namun demikian, jika pemberian sistemik lidokain atau bupivikain
berlangsung cepat, respons eksitasinya tidak terlihat. Sebaliknya, ibu hamil yang
mengalami hal tersebut hanya memperlihatkan depresi SSP dan respiratory
arrest yang mendadak, (Jordan, 2004)
 Blok Saraf Simpatik
Konsekuensi blok saraf simpatik adalah penurunan tekanan darah maternal,
kegagalan thermoregulasi maternal dan neonatal, kehilangan refleks asfiksia
neonatal.
Obat anestesi lokal menghambat fungsi saraf simpatik. Saraf ini mengendalikan
diameter pembuluh darah dan dengan demikian akan mempengaruhi suatu aspek
yang penting dalam pengaturan tekanan darah (total tahanan perifer). Dengan
terganggunya aktivitas saraf simpatik, pembuluh darah akan berdilatasi sehingga
terjadi penurunan tekanan darah dan ketidakmampuan untuk melakukan
vasokontriksi sebagai reaksi terhadap ligkungan yang sejuk. Ibu hamil dapat
mengeluh kedinginan, menggigil tanpa terkendali atau sebaliknya dapat
mengalami pireksia. Demikian pula, neonatus akan rentan terhadap hawa
dingin(Howell, 1995a; Reynolds et a, 1996; El-Refaey et al, 2000).
Berkaitan dengan terapi analgesia epidural, keadaan piraksia (suhu tubuh >
98oC) ditemukan pada 16,6% (120/724) ibu melahirkan yang sehat (n = 1218).
Bayi mereka lebih cenderung mengalami konvulsi atau hipotonia dan
memerlukan resusitasi (Lieberman et al, 2000). Demam materal intrapartum
dapat menimbulkan suhu tubuh yang lebih tinggi lagi pada janin (lebih tinggi
0,5-0,90C), dalam keadaan ketika janin juga sedang menderita gangguan
iskemia, derajat pireksia ini dapat meningkatkan derajat kerusakan neurologis
(Jordan, 2004).
Pada saat dilahirkan, neonatus akan bergantung pada respons refleksnya sendiri
terhadap asfiksia dengan menarik nafas pertama, dan refleks ini bergantung pada
aktivitas sistem saraf simpatiknya. Dengan pemberian obat anestesi lokal pada

3
ibu, respons refleks neonatus terhadap kelahirannya dapat tertekan sehingga
diperlukan pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin tindakan yang segera
oleh bidan (Jordan, 2004).
 Hipotensi
Obat anestesi lokal menghambat sistem saraf simpatik yang betanggung jawab
untuk mempertahankan kontriksi arteriole dan tekanan darah serta frekuensi
jantung dalam batas yang normal. Karena itu, obat ini dapat berpotensi
mengganggu sistem kardiovaskuler dengan menimbulkan hipotensi, bradikardia
dan bahkan henti jantung. Hipotensi maternal yang signifikan secara klinik yaitu
penurunan tekanan darah sistolik pra-anestesi sebesar 20-30% atau tekanan
darah sistolik dibawah 100mmHg, terjadi 5-15% proses melahirkan dengan
pemberian anestesi epidural dan 5-82% proses melahirkan dengan anestesi
spinal (Hollmen, 1993; Shennan et al, 1995).
Obat anestesi lokal yang menimbulkan vasodilatasi dapat mengurangi
kemampuan pembuluh darah untuk melakkan vasokontriksi sebagai respons
terhadap pendarahan. Karena itu, pendarahan yang tidak begitu berat sekalipun
dapat terjadi hipotensi dan kemungkinan terjadinya kehilangan darah
postpartum akan semakin meningkat (Beische et.al, 1997). Namun, untuk
tindakan seksio Caesarea, jumlah darah yang hilang lebih sedikit daripada
tindakan bedah dengan anestesi umum (Lertakyamanee et al, 1999). Setiap
keadaan hipotensi maternal harus segera diketahui karena aliran darah ke daam
uterus dan demikian pula oksigenasi janin akan berkurang dalam kaitannya
secara langsung dengan tekanan darah maternal. Dengan mengorbankan
pasokan darah ke dalam plasenta, keadaan hipotensi maternal dapat
menyebabkan asidosis fetal dan menekan sistem saraf pusat neonatus (Roberts
et al, 1995). Secara klinik mungkin sulit untuk mengaitkan abnormalitas
frekuensi detak jantung janin dengan kerja langsung obat tersebut, kendati
asidosis fetal pada saat seksio Caesarea merupakan komplikasi obat anestesi
lokal yang sudah diakui (Steer, 1995).
 Depresi Otot Polos
Kontraksi uterus, usus, dan kandung kemih akan tertekan oleh kerja obat-obat
anestesi lokal. Inhibisi kandung kemih biasanya menimbulkan retensi urine
tetapi sebaliknya inkontensia urine dan feses mungkin saja terjadi (Karch,
1992). Anelgesia epidural akan disertai dengan peningkatan risiko retensi urine

4
postpartum (Olofsoon et al, 1997). Masalah yang potensial dalam jangka pendek
dan jangka panjang yang timbul akibat katerisasi urine yang berkali-kali tidak
boleh diremehin (Mander, 1994).
Obat-obat anestesi lokal memperpanjang masa persalinan dengan menimbulkan
relaksasi otot-otot dasar panggul, mengurangi refleks ‘mengejan’, mengurangi
upaya ibu untuk mendorong bayinya lahir, bekerja langsung pada otot rahim
dengan menurunkan tonus otot, mengurangi pelepasan oksitosin secara pulsatile
dari kelenjar hipofisis posterior (Jordan, 2004).
 Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot, skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi, lokal adalah miotoksik (bupivacaine >lidocaine > procaine).Secara
histologi,hiperkontraksi miofibril menyebabkandegenarasi litik, edema, dan
nekrosis.Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau
injeksiepinefrin memperburuk nekrosis otot.Data penelitian hewan
menunjukkanbahwa ropivacaine menghasilkankerusakan otot yang tidak terlalu
beratdibanding bupivacaine(Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).
 Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokainmenurunkan koagulasi (mencegahtrombosis
dan menurunkan agregasiplatelet) dan meningkatkan fibrinolysisdalam darah
yang diukur denganthromboelastography. Pengaruh inimungkin berhubungan
dengan penurunanefikasi autolog epidural setelah pemberiananestesi lokal dan
insidensi terjadinyaemboli yang lebih rendah pada pasienyang mendapatkan
anestesi epidural (Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).
c) Indikasi
Local anesthica untuk penjahitan episiotomi dan laserasi
d) Kontraindikasi
Ibu dengan Hypotensi
4. Interaksi Obat (makan minum, polypharmacy)
Efek obat anestesi lokal yang tidak diinginkan dapat ditingkatkan oleh penggunaan
antagonis H2 (simetidin), obat-obat anti aritmia dan preparat depresan sistem saraf
pusat lainnya yang meliputi alkohol serta proklorperazin (Malseed et al, 1995).
Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas lidokain. Konsumsi alkohol
yang teratur akan meningkatkan risiko kegagalan terapeutik (Stockley, 1999).

5
Benzodiazepin dapat mempengaruhi klirens obat anestesi lokal. Peningkatan
konsentrasi bupivikain (tetapi bukan lignokain atau lidokain) pernah dilaporkan pada
pasien yang menggunakan diazepam (Stockley, 1999). Preparat antidepresan trisiklik
dan fenotiazin (misalnya proklorperazin) meningkatkan risiko blok jantug, khusunya
jika digunakan epinefrin atau adrenalin (Jordan,2004).
5. Dosis Lidokain
Dosis yang biasa digunakan sebelum tindakan episotomi :
 Lidocain HCL 1% injeksi tiap ml mengandung 10 mg lidocain HCL
 Lidocain HCL 2% injeksi tiap ml mengandung 20 mg lidocain HCL
6. Sediaan Lidokain
 Vial 0.2 mg/mL
 Ampul 5 ml lidokain 2%
7. Cara Pemberian Lidokain
Berikan anestesia lokal secara dini agar obat tersebut memiliki cukup waktu untuk
memberikan efek sebelum episiotomi dilakukan. Episiotomi adalah tindakan yang
menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anestesia lokal adalah bagian dari asuhan
sayang ibu.
a. Jelaskan kepada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu dia untuk merasa
rileks.
b. Hisap 10 ml larutan lidokain 1% tanpa epinefrin ke dalam tabung suntik steril
ukuran 10 ml (tabung suntik lebih besar boleh digunakan, jika diperlukan). Jika
lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian lidokain 2% dengan 1 bagian cairan
garam fisiologis atau air distilasi steril, sebagai contoh larutkan 5 ml lidokain
dalam 5 ml cairan garam fisiologis atau air steril.
c. Pastikan bahwa tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm (jarum
yang lebih panjang boleh digunakan, jika diperlukan).
d. Letakkan dua jari ke dalam vagina di antara kepala bayi dan perineum.
e. Masukkan jarum di tengah fourchette dan arahkan jarum sepanjang tempat yang
akan di episiotomi.
f. Aspirasi (tarik batang penghisap) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di
dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan
suntikkan lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan
kembali.

6
ALASAN:   IBU BISA MENGALAMI KEJANG DAN BISA TERJADI
KEMATIAN JIKA LIDOKAIN DISUNTIKKAN KE DALAM PEMBULUH
DARAH.

g. Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan maksimum 10 ml lidokain.


h. Tarik jarum bila sudah kembali ke titik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit
melembung karena anestesia bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum di
sepanjang garis yang akan dilakukan episiotomi.
8. Cara Penyimpanan Lidokain
Simpan pada suhu kamar (25-30oC) dan tempat kering. Hindarkan dari cahaya.

7
B. Oksitosin (Syntosinon)
1. Pengertian Oksitosin
Oksitosin adalah hormon yang disekresikan oleh lobus posterior kelenjar hipofisis dan
menimbulkan stimulasi (yaitu, kontraksi) pada miometrium uteri. Oksitosin juga
menyebabkan ejeksi ASI dari alveoli mammae ke dalam duktus laktiferus pada saat
bayi menyusu. Oksitosin sintetik (Syntocinon) dapat disuntikan secara intravena
untuk menginduksi atau menguatkan persalinan atau secara intramuskuler atau
intravena untuk menimbulkan kontraksi otot rahim sesudah plasenta dilahirkan dan
untuk mengendalikan perdarahan postpartum. Oksitosin sintetik dapat pula
digabungkan dengan ergometron untuk memproduksi syntometrine (Tiran, 2006).
Oksitosin (Syntocinon) dibuat untuk reproduksi bangunan dan kerja hormon yang
alami. Sekresi oksitosin endogenus tidak disupresi oleh mekanisme umpan balik yang
negatif. Sintosinon artifisial tidak akan mensupresi pelepasan oksitosin endogenus
(Jordan, 2004).
2. Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme,
ekskresi/eliminasi)
Oksitosin memberikan hasil baik pada pemberian parenteral. Oksitosin diabsorpsi
dengan cepat melalui mukosa mulut dan bukal, sehingga memungkinkan oksitosin
diberikan sebagai tablet isap. Oksitosin tidak dapat diberikan per oral karena akan
dirusak lambung dan usus. Cara pemberian nasal atau tablet isap dicadangkan untuk
penggunaan pasca persalinan. Waktu paruh oksitosin sangat singkat antara 3-5 menit
(Syarif dan Muchtar, 2012). Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit
sesudah pemberiannya (Clayworth, 2000). Oksitosin dengan cepat dieliminasi lewat
hati, ginjal, dan enzim plasenta.Oksitosin akan dimetabolisasi dengan cepat dan
diekskresikan dalam hati (Kee dan Hayes, 1996).
3. Farmakodinamik
a) Mekanisme Kerja
Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intramuskular timbul 3-5 menit,
waktu untuk mencapai puncak konsentrasi belum diketahui dan lama kerjanya
adalah 2-3 jam. Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intravena terjadi
segera, waktu untuk mencapai puncak konsentrasiya tidak diketahui dan lama
kerjanya adalah 20 menit. Obat diberikan secara intravena untuk mengiduksi
kehamilan atau mempercepat persalinan.

8
Kerja Oksitosin yang lain meliputi : kontraksi tuba uterine untuk membantu
pengangkutan sperma, peranan neurotransmitter yang lain dalam sistem saraf
pusat. Oksitosin disintesiskan dalam hipotalamus, kelenjar gonad, plasenta dan
uterus. Mulai dari usia kehamilan 32 minggu dan selanjutnya, konsentrasi
oksitosin dan demikian pula aktivitas uterus akan lebih tinggi pada malam harinya
(Hirst et al,1993)
b) Efek Samping
Bila oksitosin sintetik diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan berambah
sehingga dapat menimbulkan efek samping yang potensial berbahaya. Efek
samping tersebut yaitu stimulasi berlebih pada uterus, kontraksi pembuluh darah
tali pusat, kerja antidiuretika, kerja pada pembuluh darah (kontraksi dan dilatasi),
mual, reaksi hipersensitivitas (Jordan, 2004).
 Stimulasi berlebih pada uterus
Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot rahim terhadap
oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat (Graves, 1996). Bila dilakukan
pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan kontraksi otot polos
rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri persalinan semakin hebat (Olah da
Gee, 1996). Peguatan persalinan dengan oksitosin membawa risiko
hiperstimulasi uterus, karena beberapa individu hipersensitif terhadap
oksitosin, pemberian infus oksitosin selalu mengandung bahaya kontraksi
uterus tetanik atau spasmodk sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah
(BNF, 2000).
Pemberian oksitosin akan mengganggu masuknya kepala janin ke dalam
serviks (Allman et al, 1996). Jika serviks tidak melunak atau mengalami
dilatasi, proses persalinan tidak dapat berlangsung dan dalam keadaan ini
kontraksi uterus yang keras, lama serta kuat dapat menimbulkan konsekuensi
yang serius diantaranya :
 Trauma pada neonatus dan ibu
Jika bayi dipaksa lahir melewati serviks yang masih belum berdilatasi
secara lengkap, jaringan lunak ibu dapat mengalami laserasi (luka yang
disebabkan oleh robekan, bukan bentuk yang teratur seperti sayatan bedah)
yang luas.

9
 Ruptura Uteri
Kemungkinan terjadinya ruptura uteri lebih kecil pada ibu yang multipara
kendati peristiwa tersebut pernah terjadi. Pemberian oksitosin merupakan
kontraindikasi pada ibu hamil dengan risiko ruptura uteri yang tinggi
seperti misalnya grande multipara, kehamilan kembar dan polihidramnion
atau pada ibu hamil dengan sikatriks pada rahimnya (BNF, 2000).
 Perdarahan Postpartum
Keadaan ini sudah pernah terjadi, tetapi mungkin berkaitan dengan
komplikasi obstetrol atau ruptura uteri dan bukan karena hiperstimulasi
uterus (Reynolds et al, 1996).
 Hematoma Pelvik
Hematoma adalah didapatkannya gumpalan darah sebagai akibat cidera
atau robeknya pembuluh darah wanita hamil aterm tanpa cidera mutlak
pada lapisan jaringan luar. Keadaan ini dapat terjadi karena kontraksi yang
kuat. Jika hematomanya luas, deplesi faktor-faktor pembekuan dapat
terjadi sehingga timbul koagulopati intravaskuler diseminata, kegagalan
koagulasi dan perdarahan.
 Solusio Plasenta
Terlepasnya sebagian atau seluruh perukaan maternal plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada lapisan desibua endometrium sebelum
waktunya yaitu anak lahir. Solusio plasenta berkaitan dengan kontraksi
uterus yang kuat dan turut terlibat dalam peristiwa kematian Ibu.
 Emboli Cairan Amnion
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh rposes persalinan yang sulit,
khususnya jika di dalam caoran amnion terlihat noda-noda mekonium atau
bila sudah terjadi kematian janin in utero.
 Hipoksia Fetal
Pada saat kontraksi uterus terjadi kompresi pembuluh darah yang
mengganggu pengangkutan oksigen ke dalam uterus, plasenta dan janin.
Normalnya, oksigenasi akan pulih kembali setelah terjadi relaksasi uteru
dan pemulihan keadaan ini mencegah penumpukan asam laktat. Akan
tetapi, jika uterus mengalami stimulasi yang berlebihan dan relaksasinya

10
terlalu singkat, maka akan terjadi hipoksia serta asidosis pada janin (Kulb,
1990).

11
4. Indikasi
Sebagai stimulan uterus pada :
1. Induksi partus aterm.
2. Inertia uteri (atonia uteri) atau hipotoni uteri.
3. Perdarahan post-partum.
4. Abortus inkompletus kehamilan setelah 20 minggu.
5. Kontraindikasi
Toksemia, disproporsi sevalopelvik, distres janin, hipersensitivitas, persalinan
nonvaginal yang telah diantisipasi, kehamilan (intranasal), Disproporsi sefalopelvik,
Malpresentasi, Plasenta previa, Jaringan ikat pada uterus akibat sectio caesarea.
6. Interaksi obat (makan minum, polypharmacy)
Jika oksitosin diberikan bersama preparat vasokonstriktor lainnya, maka akan terdapat
bahaya peningkat TD yang dapat menyebabkan serangan stroke. Keadaan ini dapat
terjadi jika adrenalin (epinefrin) ditambahkan dengan obat anestesi lokal. Estrogen
akan memperkuat kontraksi uterus oleh oksitosin. Progestin akan melemahkan
kontraksi uterus oleh oksitosin.
7. Dosis
1. Injeksi intravena :
 Induksi partus : mula-mula 0.5 miliunit/menit; dapat ditambah 1 – 2
miliunit/menit tiap 30 – 40 menit sampai kontraksi uterus optimal (3 – 4 kali
kontraksi tiap 10 menit).
 Induksi partus aterm : 8 – 10 miliunit/menit sudah cukup.

12
2. Infus :
Mencegah atoni atau perdarahan post-partum : 20 – 40 miliunit/mL dalam larutan
elektrolit dengan kecepatan 40 miliunit/menit.

8. Sediaan
a) Larutan injeksi 10 miliunit/mL
b) Ampul 1 mL.
9. Cara Pemberian
a) IM : mula = 3 – 5 menit.
P = TD
L = 2 – 3 jam
b) IV : mula = segera.
P = TD
L = 1 jam
10. Cara Penyimpanan
a) Suhu di bawah 250C
b) Sebaiknya 2 – 100C
c) Terlindung dari sinar langsung.

13
C. Methergin
1. Pengertian Methylergometrine atau Methergin
Methylergometrine (Methergin)merupakan obat golongan alkaloid ergot semi sintetis
yang mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Methergin tersedia dalam
bentuk tablet dan suntikan. Obat ini bekerja pada otot polos rahim secara langsung
meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme kontraksi rahim.
Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan mengontrol perdarahan rahim
setelah melahirkan (post partum). Methergin bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit
setelah diminum.
2. Farmakokinetik Methylergometerine (absorbsi,
distribusi, biotransformasi/ metabolisme, ekskresi/ eliminasi)
Absorsi methergin baik pada pemberian melalui oral maupun intramuscular adalah
cepat, kadar maksimum dalam plasma di capai setelah 30 menit absorpsinya menjadi
lebih lambat pada gastrointestinal perperium, kadar maksimum dalam plasma dicapai
setelah 3 jam. Pada pemberian secara oral, bioavailabilitasnya kurang lebih 60%
volume distribusinya rendah (0,5 liter/kg).
Biotransformasi methergin di dalam hati. Ekskresi atau Eliminasinya melalui hati dan
ginjal serta terjadi dua tahap, waktu paruh yang lama adalah 0,5 sampai 2 jam. Pada
pemberian melalui oral hanya 3 % zat asal dapat ditemukan pada urine, hal ini
menunjukkan metabolism yang ekstensif. Kerja methergin terjadi dalam waktu 30-60
detik setelah penyuntikan i.v, 2-5 menit setelah penyuntikan i.m, dan 5-10 menit
setelah pemberian peroral dan bertahan selama 4-6 jam.
3. Farmakodinamik Methylergometerine
a) Mekanisme Kerja Methylergometerine
 Mempengaruhi otot uterus berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek
kala III.
 Menstimulasi otot-otot polos terutama dari pembuluh darah perifer dan rahim.
 Pembuluh darah mengalami vasokonstraksi sehingga tekanan darah naik dan
terjadi efek oksitosik pada kandungan mature

14
b) Efek Samping Methylergometerine
 Efek samping yang sering terjadi dapat berupa nyeri kepala, hipertensi, ruam
pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang kuat;
 Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran,
kejang, nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah;
 Efek samping seperti syok anafilaktik sangat langka namun dapat terjadi pada
pasien yang hipersensitif terhadap methergin.
c) Indikasi Methylergometerine
Penanganan aktif kala ke-3 proses kelahiran, atonia (tidak adanya tegangan atau
kekuatan otot)/perdarahan rahim, perdarahan dalam masa nifas, subinvolusi
(mengecilnya kembali rahim sesudah persalinan hampir seperti bentuk asal),
lokiometra (pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).
d) Kontraindikasi Methylergometerine
Wanita hamil, belum terjadi penurunan kepala tetapi persalinan telah memasuki
kala pertama dan kedua, hipertensi berat, toksemia hipertensif, penyakit sumbatan
pembuluh darah, sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri, zat-
zat yang dihasilkan bakteri, atau kedua-duanya), hipersensitifitas. Gangguan fungsi
hati atau ginjal.Hati-hati penggunaan pada penderita hipertensi, penyakit hati,
jantung, ginjal, infeksi puerpuralis dan penyakit penyumbatan pembuluh darah.
Tidak dianjurkan untuk induksi partus karena masa kerja yang lama dan
memberikan kontraksi uterus non fisiologik.
e) Interaksi Obat Methylergometerine
Makrolid, protease HIV atau penghambat transkiptase, anti jamur azole,
vasokonstriktor lain atau alkaloid ergot, bromokriptin, anestesi. Obat tersebut dapat
menurunkan efektivitas methergin dan dapat meningkatkan resiko efek samping
methergin.

15
4. Dosis Methylergometerine
 Oral : 0.2 – 0.4 mg sehari 2 – 4 kali, selama 2 hari
 IV atau IM : 0.2 mg (1 mL). IM boleh diulang setelah 2 – 4 jam, bila perdarahan
hebat. Pemberian IM lebih menguntungkan daripada IV karena efek samping lebih
ringan.
5. Sediaan Methylergometerine
 Tablet salut 0.125 mg dalam strip 10x10 tablet
 Vial 0.2 mg/mL
Ampul 1 Ml
6. Penyimpanan Methylergometerine
 Wadah kedap udara
 Terlindung dari panas dan cahaya langsung
7. Pemberian Methergin
 PO : 0,2-0,4 mg, setiap 6-12 jam maksimum 1 minggu
 IM : 0,2 mg setelah melahirkan bahu anterior, setelah melahirkan plasenta atau
post partum, ulangi setiap 2-4 jam, dosis dapat diberikan setelah parenteral.
 IV : sama seperti IM tetapi perlahan-lahan selama 1 menit dengan pemantuan TD
yang hati-hati.

16
DAFTAR PUSTAKA
Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC
Tiran, Denise. 2006. Kamus Saku Bidan. Jakarta : EGC
Alodokter. 2015. Pengertian Lidokain. http://www.alodokter.com/lidocaine. Diakses 7
September 2016
Bangun. 2012. Chapter II.pdf- USU Institutional Repository.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32609/4/Chapter%20II.pdf. Diakses 7
September 2016
Jordan, Sue. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC
Samodro, Ratno ; Doso Sutiyono dan Hari Hendriarto Satoto. 2011. Mekanisme Kerja Obat
Anestesi Lokal. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol III, No 1 (48-59).
Syarif, Amir dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kee, Joyce.L dan Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EG. https://books.google.co.id/. Diakses 8 September 2016.
Katzung, B.G. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC

17
PENATALAKSANAAN BAYI BARU LAHIR

Penatalaksaan Segera Bayi Baru Lahir

1. Membersihkan jalan nafas


2. Bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir. Bila bayi baru lahir segera
menangis spontan atau segera menangis, hindari melakukan penghisapan secara rutin
pada jalan nafasnya karena penghisapan pada jalan nafas yang tidak dilakukan secara
hati-hati dapat menyebabkan perlukaan pada jalan nafas hingga terjadi infeksi, serta dapat
merangsang terjadinya gangguan denyut jantung dan spasme (gerakan involuter dan tidak
terkendali pada otot, gerakan tersebut diluar kontrol otak). Pada laring dan tenggorokan
bayi.
3. Bayi normal akan segera menangis segera setelah lahir. Apabila tidak langsung menangis
maka lakukan :
a. Letakkan bayi pada posisi telentang di tempat yang keras dan hangat.
b. Posisi kepala diatur lurus sedikit tengadah ke belakang.
c. Bersihkan hidung, rongga mulut dan tenggorokan bayi dengan jari tangan yang
dibungkus kassa steril.
d.  Tepuk kedua telapak kaki bayi sebanyak 2 – 3 kali atau gosok kulit bayi dengan kain
kering dan kasar agar bayi segera menangis.
4.  Memotong dan merawat tali pusat
Setelah bayi lahir, tali pusat dipotong 5 cm dari dinding perut bayi dengan gunting steril
dan diikat dengan pengikat steril. Luka tali pusat dibersihkan dan dirawat dengan
perawatan terbuka tanpa dibubuhi apapun.
5.  Mempertahankan suhu tubuh bayi
Cegah terjadinya kehilangan panas dengan mengeringkan tubuh bayi dengan handuk atau
kain bersih kemudian selimuti tubuh bayi dengan selimut atau kain yang hangat, kering,
dan bersih. Tutupi bagian kepala bayi dengan topi dan anjurkan ibu untuk memeluk dan
menyusui bayinya serta jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir
karena bayi baru lahir mudah kehilangan panas tubuhnya.
6. Pemberian vitamin K
Kejadian perdarahan karena defisiensi Vitamin K pada bayi baru lahir dilaporkan cukup
tinggi, sekitar 0,25-0,5 %. Untuk mencegah terjadinya perdarahan tersebut, semua bayi

18
baru lahir normal dan cukup bulan perlu diberi Vitamin K peroral 1 mg/hari selama 3
hari, sedangkan bayi resiko tinggi diberi Vitamin K perenteral dengan dosis 0,5-1 mg IM.
7. Upaya profilaksis terhadap gangguan mata
Pemberian obat tetes mata Eritromisin 0,5% atau Tetrasiklin 1% dianjurkan untuk
pencegahan penyakit mata karena klamidia (penyakit menular seksual). (Saifuddin,
A.B  2009) Tetes mata / salep antibiotik tersebut harus diberikan dalam waktu 1 jam
pertama setelah kelahiran. Upaya profilaksis untuk gangguan pada mata tidak akan efektif
jika tidak diberikan dalam 1 jam pertama kehidupannya.
8. Teknik pemberian profilaksis mata
a. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
b. Jelaskan pada keluarganya tentang apa yang anda lakukan, yakinkan mereka bahwa
obat tersebut akan sangat menguntungkan bayi
c. Berikan salep / teki mata dalam satu garis lurus, mulai dari bagian mata yang paling
dekat dengan hidung bayi menuju ke bagian luar mata
d. Jangan biarkan ujung mulut tabung / salep atau tabung penetes menyentuh mata bayi
e. Jangan menghapus salep / tetes mata bayi dan minta agar keluarganya tidak
menghapus obat tersebut
9. Mulai Pemberian ASI
Pastikan bahwa pemberian ASI dimulai dalam waktu 1 jam setelah bayi lahir. Jika
mungkin, anjurkan ibu untuk memeluk dan mencoba untuk menyusukan bayinya segera
setlah tali pusat diklem dan dipotong berdukungan dan bantu ibu untuk menyusukan
bayinya. Keuntungan peberian ASI :
a. Merangsang produksi air susu ibu
b. Memperkuat reflek menghisab bayi
c. Merangsang kontraksi uterus
d. Memberikan kekebalan pasif segera kepada bayi melalui kolostrum

19

Anda mungkin juga menyukai