LANDASAN TEORI
4
Fakultas Teknik Unjani
Gambar 2.2.Transmisi Otomatis
Kontruksi dasar sistem CVT yang berbbasis pully pariable yang bekerja secara mekanis
terdiri dari beberapa komponen yaitu:
a. Pulley Primer (Primery Sheave)
b. Sabuk (V-Belt)
c. Pulley Sekunder (Secondary Sheave)
d. Gear Reduksi
5
Fakultas Teknik Unjani
Tenaga dari kerja mesin diteruskan oleh Pulley Primer > Sabuk > Pulley Sekunder > Unit
Kopling Sentrifugal > Gear Reduksi > Roda Belakang
a. Fixed Sheave
Berfungsi sebagai penahan V-Belt. Komponen ini tidak bergerak, berbentuk
piringan biasanya pada bagian sisinya menyerupai kipas berfungsi sebagai
pendingin.
b. Collar
Berfungsi sebagai dudukan Fixed Sheave, Sliding Sheave, dan Cam.
c. Sliding Sheave
Berfungsi menekan V-Belt dalam putaran tinggi.
d. Cam
Berfungsi sebagai dudukan slider
e. Roller
Berfungsi sebagai penekan sliding sheave, cara kerjanya sesuai putaran mesin.
Apabila mesin pada putaran tinggi, roller ini menekan sliding sheave dan begitu
pula sebaliknya.
f. Slider
Berfungsi sebagai pendorong roller, yang roller sendiri mendorong Slider
Sheave. Slider ini bergerak saat mesin pada putaran tinggi
6
Fakultas Teknik Unjani
2. Sabuk (V-Belt)
V-Belt berfungsi sebagai penghubung antara sliding sheave dan secondary sheave. Yaitu
meneruskan putaran mesin dari sliding sheave, biasanya V-Belt ini memiliki gerigi yang
dirancang agar V-Belt tidak terlalu panas akibat gesekan terus menerus.
7
Fakultas Teknik Unjani
d. Torque Cam
Berfungsi membantu menekan otomatis Sliding Sheave pada saat motor
memerlukan akselerasi.
e. Rumah Kopling (Clutch Housing)
Berfungsi meneruskan putaran V-Belt ke poros roda.
f. Sepatu Kopling
Berfungsi sebagai penghubung putaran ke poros roda belakang, sistem kerjanya
tipe sentrifugal yaitu bekerja sesuai dengan tinggi rendahnya putaran mesin.
4. Gear Reduksi
Fungsinya sendiri sebagai penyeimbang putaran mesin dengan roda. Selain itu juga sebagai
pendongkrak tenaga, biasanya ada oli khusus untuk melumasi gear untuk mengurangi panas,
dan merusak gear akibat gesekan terus menerus.
Roda gigi harus mempunyai perbandingan kecepatan sudut tetap antara dua poros. Di
samping itu terdapat pula roda gigi yang perbandingan kecepatan sudutnya dapat bervariasi. Ada
pula roda gigi dengan putaran yang terputus-putus.Dalam teori, roda gigi pada umumnya
dianggap sebagai benda kaku yang hampir tidak mengalami perubahan bentuk dalam jangka
waktu lama.
10
Fakultas Teknik Unjani
Gambar 2.11.Roda Gigi Dalam
12
Fakultas Teknik Unjani
b. Roda Gigi Cacing Silindris
Roda gigi cacing silindris dapat meneruskan putaran dengan perbandingan reduksi
yang besar namun berisik pada putaran tinggi.
13
Fakultas Teknik Unjani
2.2.2. Bagian-Bagian Roda Gigi
Keterangan gambar :
1. Lingkaran jarak bagi (Pitch circle) yaitu lingkaran imajiner yang dapat memberikan
gerakan yang sama seperti roda gigi sebenarnya.
2. Tinggi Kepala (Addendum) yaitu jarak radial gigi dari lingkaran jarak bagi ke
puncak kepala.
3. Tinggi kaki (Dedendum) yaitu jarak radial gigi dari lingkaran jarak bagi ke dasar
kaki.
4. Lingkaran kepala (Addendum circle) yaitu gambaran lingkaran yang melalui
puncak kepala dan sepusat dengan lingkaran jarak bagi.
5. Lingkaran kaki (Dedendum circle) yaitu gambaran lingkaran yang melalui dasar
kaki dan sepusat dengan lingkaran jarak bagi.
6. Lebar gigi (Tooth space) yaitu sela antara dua gigi yang saling berdekatan.
7. Tebal gigi (Tooth thickness) yaitu lebar gigi antara dua sisi gigi yang berdekatan.
8. Sisi kepala (Face of the tooth) yaitu permukaan gigi di atas lingkaran jarak bagi.
9. Sisi kaki (Flank of the tooth) yaitu permukaan gigi di bawah lingkaran jarak bagi.
10. Lebar gigi (Face width) yaitu lebar gigi pada roda gigi secara paralel pada
sumbunya.
14
Fakultas Teknik Unjani
Ukuran gigi dinyatakan dengan “ Jarak Bagi Lingkar “, jarak sepanjang lingkaran jarak bagi antara
profil dua gigi yang berdekatan.Jika jarak lingkaran bagi dinyatakan dengan d (mm), dan jumlah gigi
z, maka jarak bagi lingkar t (mm) dapat ditulis sebagai berikut :
𝜋𝜋. 𝑑𝑑
𝑡𝑡 =
𝑧𝑧
Jadi, jarak bagi lingkar adalah keliling lingkaran jarak bagi dibagi dengan jumlah gigi.
Dengan demikian ukuran gigi dapat ditentukan dari besarnya jarak bagi lingkar tersebut. Namun, karena
jarak bagi lingkar selalu mengandung faktor Π, pemakaianya sebagai ukuran gigi kurang praktis. Untuk
mengatasi hal ini, diambil ukuran yang di sebut “modul“ dengan lambang m, di mana :
𝑑𝑑
𝑚𝑚 =
𝑧𝑧
Dimana :
Z = Jumlah gigi pada roda gigi (buah)
D = Diameter bagi jarak (mm)
m = Modul Gigi (mm)
Harga modul diambil dari tabel harga modul standar JIS B1701-1973 (Buku
Sularso,1983,hal 216)
15
Fakultas Teknik Unjani
c. Diameter Lingkaran Kepala
𝐷𝐷𝐷𝐷 = 𝑍𝑍 × 2 × 𝑚𝑚 ............................................................... (2.3)
Dimana :
Dk = Diameter Lingkaran Kepala (mm)
Z = Jumlah Gigi (buah)
m = Modul Gigi (mm)
d. Kecepatan Keliling
𝜋𝜋×𝑑𝑑×𝑛𝑛
𝑉𝑉 = ......................................................................... (2.4)
60×100
Dimana :
V = Kecepatan Keliling (m/s)
d = Diameter jarak bagi tiap roda gigi (mm)
n = Putaran Poros (rpm)
e. Gaya Tangensial
102×𝑃𝑃𝑃𝑃
𝐹𝐹𝐹𝐹 = ...................................................................... (2.5)
𝑉𝑉
Dimana :
Ft = Gaya tangensial (Kg)
102 = Faktor Koreksi
Pd = Daya Rencana (kW)
V = Kecepata Keliling (m/s)
Setelah itu kita dapat melakukan perhitungan beban lentur, dalam perhitungan beban lentur ini
perlu diketahui faktor bentuk gigi (Y) yang diperoleh dari tabel faktor bentuk gigi ( Sularso,
1983 ) yang merupakan harga untuk profil gigi standar dengan sudut 20o.
16
Fakultas Teknik Unjani
Tabel 2.1.Bahan Kontruksi Roda Gigi
Tegangan
FC 20 20 160 – 180 9
FC 25 25 180 – 240 11
FC 30 30 190 – 240 13
SC 46 46 160 19
SC 49 49 190 20
Mesin
S 45 C 58 167 – 229 30
S 15 K 50 400 30
dgn minyak)
pengerasan
600
SNC 21 80 34 – 40
17
Fakultas Teknik Unjani
f. Beban Lentur
Sedangkan harga faktor dinamis diambil dari tabel faktor dinamis ( Sularso, 1983 ), di mana harganya
ditentukan berdasarkan tingkat kecepatan pada tiap roda gigi, di mana untuk kecepatan rendah dapat
menggunakan rumus
( Pers. 2 . 18 ) di bawah ini :
g. Lebar Gigi
𝐹𝐹𝐹𝐹
𝑏𝑏 = .................................................................... (2.7)
𝐹𝐹𝐹𝐹
Dimana :
b = Lebar Gigi (mm)
Ft = Gaya Tangensial (kg)
Fb = Beban Lentur (kg/mm)
18
Fakultas Teknik Unjani
2.3. Pengertian Poros Dan Jenisnya
Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap mesin. Hampir semua
mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran. Peranan utama dalam transmisi seperti
itu dipegang oleh poros.
Poros meneruskan daya diklasifikasikan menurut pembebananya sebagai berikut :
1. Poros Transmisi
Poros macam ini mendapat bebean punter murni atau puntir dan lentur. Daya di
transmisikan kepada poros ini melalui kopling, roda gigi, puli sabuk, atau sprocket rantai,
dll.
2. Spindel
Poros transmisi yang relative pendek, seperti poros utama mesin perkakas, dimana
beban utamanya berupa puntiran, disebut spindle. Syarat yang harus dipenuhi poros jenis
ini adalah deformasinya harus kecil dan bentuk serta ukuranya harus teliti.
3. Gandar
Poros seperti yang dipasang pada roda-roda kereta barang, dimana tidak mendapat
beban puntir, bahkan kadang-kadang tidak boleh berputar, disebut gandar.
19
Fakultas Teknik Unjani
4. Korosi
Bahan-bahan tahan korosi harus dipilih untuk poros propelar dan pompa bila terjadi
kontak dengan fluida korosif. Demikian juga dengan poros-poros yang terancam kavitasi,
dan poros-poros pada mesin yang berhenti lama.
5. Bahan Poros
Poros untuk mesin umum biasanya dibuat dari baja batang ditarik dingin dan difinis,
baja karbon konstruksi mesin (disebut bahan S-C) yang dihasilkan dari ingot yang di-“kill”
(baja yang dioksidasi dengan ferrosilicon dan dicor:kadar karbon terjamin)
Tabel 2.3. Batang baja karbon yang difinis dingin (Standar JIS)
Lambang Perlakuan Diameter Kekuatan Kekerasan
Panas (mm) Tarik
HRC (HRB) HB
(kg/mm2)
S35C-D Dilunakkan 20 atau 58 – 79 (84) – 23 -
kurang 53 – 69 (73) – 17 144 – 216
21 – 80
Tanpa 20 atau 63 – 82 (87) – 25 -
Dilunakkan kurang 58 – 72 (84) – 19 160 – 225
21 – 80
20
Fakultas Teknik Unjani
2.3.2. Perancangan Poros Dengan Baban Puntir
Berikut akan dibahas rencana sebuah poros yang mendapatkan pembebanan utama berupa
torsi. Pertama kali ambilah suatu kasus dimana daya P (kW) harus ditransmisikan dan putaran
poros n1 (rpm) diberikan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan terhadap daya tersebut. Jika
P adalah daya rata-rata yang dibutuhkan maka dibagi dengan efisiensi mekanis dari system
transmisi untuk mendapatkan daya penggerak mula yang dibutuhkan. Daya yang besar mungkin
diperlukan pada saat start, dengan demikian seringkali diperlukan koreksi pada daya rata-rata yang
diperlukan dengan menggunakan factor koreksi pada perencanaan (fc).
Jika daya diberikan dalam daya kuda (PS), maka harus dikalikan dengan 0,735 untuk
mendapatkan daya dalam kW. Jika momen puntir (disebut juga momen rencana) adalah T (kg.mm)
maka
(𝑇𝑇/1000)(2.𝜋𝜋.𝑛𝑛/60)
𝑃𝑃𝑃𝑃 = ............................................................ (2.9)
102
Sehingga
𝑇𝑇 = 9,74 × 105 .................................................................... (2.10)
Dimana :
T = Momen rencana (kg.mm)
n1 = Putaran poros (rpm)
21
Fakultas Teknik Unjani
Dalam pemilihan bahan perlu diketahui tegangan izinnya, yang dapat dihitung dengan
rumus:
𝜎𝜎𝑏𝑏
𝜏𝜏𝑎𝑎 = 𝑆𝑆 ......................................................................... (2.11)
𝑓𝑓1 ×𝑆𝑆𝑓𝑓2
Dimana :
τa = tegangan geser izin (kg/mm2)
σb = kekuatan tarik bahan (kg/mm2)
Sf1 = faktor keamanan yang tergantung pada jenis bahan, dimana untuk bahan S
besarnya : 6,0.
Sf2 = faktor keamanan yang bergantung dari bentuk poros, dimana harganya berkisar
antara 1,3 – 3,0.
Perencanaan untuk diameter poros dapat diperoleh dari rumus :
1
5,1 3
𝑑𝑑𝑝𝑝 = � . 𝐾𝐾𝑡𝑡 . 𝐶𝐶𝑏𝑏 . 𝑇𝑇� ............................................................ (1.12)
𝜏𝜏𝑎𝑎
Dimana :
dp = diameter poros (mm)
τa = tegangan geser izin (kg/mm2)
Kt = faktor koreksi tumbukan, harganya berkisar 1,5 – 3,0
Cb = faktor koreksi untuk terjadinya kemungkinan terjadinya beban lentur, harganya
berkisar 1,2 - 1,3
T = momen puntir yang ditransmisikan (kg.mm)
Hasil diameter poros yang dirancang harus diuji kekuatannya. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan memeriksa tegangan geser yang terjadi akibat tegangan puntir yang dialami poros. Jika
tegangan geser lebih besar dari tegangan geser izin dari bahan tersebut, maka perancangan akan
dikatakan gagal.
Besar tegangan geser yang timbul pada poros adalah :
16.𝑇𝑇
𝜏𝜏𝑝𝑝 = . ............................................................................. (2.13)
𝜋𝜋.𝑑𝑑3
Dimana :
τp = tegangan geser akibat momen puntir (kg/mm2)
T = momen puntir yang ditransmisikan (kg.mm)
dp = diameter poros (mm)
22
Fakultas Teknik Unjani
Gaya tangensial poros dapat dihitung dari)
𝑀𝑀𝑝𝑝
𝐹𝐹 = �𝑑𝑑 � ........................................................................ (2.14)
𝑝𝑝 /𝑆𝑆𝑓𝑓2
Dimana :
F = Gaya tangensial (kg)
T = Mp = Momen puntir (kg.mm)
dp = Diameter poros (mm)
Sf2 = Faktor keamanan yang tergantung pada bentuk poros dimana berkisa antara 1,3-
3,0.
2.3.3. Perancangan Poros Dengan Baban Puntir Dan Lentur
Poros pada umumnya meneruskan daya melalui sabuk, roda gigi dan rantai. Dengan
demikian poros tersebut mendapat puntir dan lentur sehingga pada permukaan poros akan terjadi
tegangan geser τ ( = T/Zp ), karena momen puntir T atau Mp dan tegangan σ (M/Z) karena momen
lentur.
sehingga
24
Fakultas Teknik Unjani
2.4.1. Perencanaan Pasak
Pasak benam mempunyai bentuk penampang segi empat dimana terdapat bentuk
prismatic dan tirus yang kadang-kadang diberi kepala. Pada pasak umumnya dipilih bahan
dengan kekuatan tarik yang lebih kecil disbanding kekuatan tarik bahan poros akan pasak
menjadi lebih lemah disbanding poros.
Gaya tangensial pada permukaan poros
𝐹𝐹 = 𝑇𝑇/(𝑑𝑑𝑠𝑠 /2) ...................................................................... (2.18)
Dimana :
F = Gaya tangensial (kg)
ds = Diameter poros (mm)
T = momen puntir (kg.mm)
25
Fakultas Teknik Unjani
𝑃𝑃 = 𝑓𝑓/𝑙𝑙 × (𝑡𝑡1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑡𝑡2) ...................................................... (2.22)
Dimana:
t1 = kedalaman alur pasak pada poros
t2 = kedalaman alur pasak pada naf
26
Fakultas Teknik Unjani