Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan Berdasarkan Evidence-Based Practice in Nursing

Kasus 1
Inpatient Rehabilitation Improves Functional Capacity, Peripheral Muscle
Strength and Quality of Life in Patients with Community-acquired Pneumonia: a
Randomised Trial

Community-acquired pneumonia adalah kondisi kesehatan yang


merugikan yang dengan tingkat kematian yang tinggi. Hal ini dikarenakan biaya
perawatan yang besar dan memiliki dampak sosial yang signifikan di seluruh
dunia. Pasien yang dirawat di rumah sakit karena Community-acquired
pneumonia mengalami penurunan kapasitas fungsional, yang terkait dengan
tingkat rawat inap ulang dan kematian yang lebih tinggi, serta penurunan kekuatan
otot perifer dan kualitas hidup. Selain itu, pasien tersebut dapat bertahan lama
sebelum gejala sembuh total dan kembali ke aktivitas kehidupan sehari-hari
sebelumnya. Meskipun banyak digunakan dalam praktik klinis, fisioterapi saat ini
untuk pasien dengan Community-acquired pneumonia yang berfokus pada
pembersihan jalan napas, tidak didukung oleh bukti dan pedoman utama untuk
pengelolaan kondisi ini tidak merekomendasikannya. Pada pasien yang dirawat di
rumah sakit karena eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
program rehabilitasi rawat inap mengarah pada peningkatan segera dalam
kapasitas fungsional, kualitas hidup, kekuatan otot perifer, toleransi olahraga,
kecemasan dan depresi. Namun, publikasi baru-baru ini dari studi utama oleh
Greening dan rekannya telah menunjukkan bahwa rehabilitasi berbasis latihan
yang sangat awal yang dimulai selama rawat inap dapat mengurangi penyerapan
rehabilitasi paru dan meningkatkan kematian setelah keluar dari rumah sakit.
Penelitian ini merupakan uji coba acak, dengan alokasi tersembunyi,
merahasiakan penilai dari beberapa hasil dan analisis niat untuk mengobati. Pasien
yang dirawat di rumah sakit karena Community-acquired pneumonia secara acak
ditugaskan untuk menerima pelatihan latihan fisik (kelompok eksperimen) atau
fisioterapi pernapasan (kelompok kontrol). Setelah pasien yang memenuhi syarat
diberi tahu tentang penelitian dan setuju untuk berpartisipasi, mereka secara acak
dialokasikan ke salah satu dari dua kelompok. Alokasi acak yang akan datang
kelompok kontrol. Evaluasi dyspnoea menggunakan Medical Research Council
Scale mengungkapkan penurunan yang lebih besar pada kelompok eksperimen
dibandingkan pada kelompok kontrol, meskipun kedua kelompok meningkat
secara substansial (Jose dan Corso 2016).

Referensi :
Jose, A dan S.D Corso. 2016. Inpatient rehabilitation improves functional
capacity, peripheral muscle strength and quality of life in patients with
communityacquired pneumonia: a randomised trial. Journal of Physiotherapy. 62
(1) : 96 – 102
Kasus 2
Pengaruh Perawatan Menggunakan Balutan Basah Terhadap
Penyembuhan Luka Ganggren Di Puskesmas Muliorejo Tahun 2020
Diabetes dapat terjadi pada semua populasi, tanpa melihat faktor ekonomi
sehingga dapat menyerang masyarakat Negara dengan berpendapatan rendah
hingga menengah. Penderita Diabetes melitus berisiko 29 kali terjadi komplikasi
Ulkus diabetika. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit
yang disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neoropati. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya
bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk
pertumbuhan kuman. Luka merupakan suatu ketidaksinambungan jaringan tubuh
yang terjadi akibat kekerasan atau trauma. Luka infeksi adalah luka yang di tandai
dengan tanda rubor (merah), kalor (panas), tumor (edema), dolor (nyeri),
fungsiolesa (kehilangan fungsi). Selain itu luka infeksi terus menerus mengalami
eksudat dan jaringan luka ini tidak terlokalisir. Proses penyembuhan luka di bagi
atas beberapa fase yaitu fase inflamasi dimana fase ini berlangsung sampai hari
ke-5 masih terjadi perdarahan dan peradangan dan belum ada kekuatan pertautan
luka. Fase berikutnya adalah fase poliferasi dimana pada fase ini luka di isi oleh
sel-sel radang, fibrolas, serat kolagen, kapiler baru sehingga membentuk jaringan
kemerahan dengan permukaan tak rata atau di sebut dengan jaringan granulasi
atau proses pendewasaan jaringan penyembuhan luka. Fase penyembuhan luka
berikutnya adalah fase reabsobsi atau remodeling dimana pada fase ini tanda
radang sudah hilang, parut di sekitarnya pucat, tak ada rasa sakit dan gatal. Proses
penyembuhan luka baik dan berhasil apa bila penata laksanaan secara medis
dilakukan sesuai dengan prosedur apalagi penatalaksanaan di lakukan pada
kondisi luka yang sudah terinfeksi harus di perhatikan.
Penelitian ini dilakukan kepada 10 responden yang didapatkan dari metode
pengambilan sampel accidental sampling. Pada awal penelitian ini mendapatkan
hasil tidak adanya perkembangan penyembuhan luka diabetic karena balutan
basah dapat menyerap eksudat yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan
maserasi disekeliling kulit akibat eksudat luka. Pada observasi hari ketiga
beberapa responden mengalami regenerasi penyembuhan luka disebabkan
keadaan lingkungan yang optimal dengan konsep “moist wound healing” yaitu
metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan balutan
penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan
dapat terjadi secara alami. Terdapatnya perbedaan derajat luka diabetic sebelum
dan sesudah diberikan balutan basah pada penderita Diabetic melitus tipe II
disebabkan proses kerja hydrocoloid yang mempertahankan dan menjaga
lingkungan luka tetap lembap untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka,
mempertahankan kehilangan cairan jaringan dan kematian sel sehingga
mempercepat regenerasi penyembuhan luka. Pada saat intervensi pemberian
hydrocoloid dilakukan pada tempat dan suasana yang menyenangkan, dapat
meningkatkan semangat dan motivasi responden selama intervensi. Pada beberapa
responden yang tidak mengalami penurunan luka diabetic setelah dilakukan
intervensi dipengaruhi oleh kondisi luka (luas, kedalaman luka, dan lama
perawatan luka). Penatalaksanaan luka diabetik sebaiknya harus dilakukan secara
berkesinambungan yang meliputi diet makanan yang menjadi pemicu
keterlambatan penyembuhan luka, agar tidak terjadi komplikasi lanjutan seperti
amputasi , jadi perawatan luka adalah tindakan keperawatan yang bertujuan untuk
mencegah resiko amputasi.

Referensi :
Megawati.2020. Pengaruh perawatan menggunakan balutan basah terhadap
penyembuhan luka ganggren di puskesmas muliorejo tahun 2020. 5 (2): 203-210
Kasus 3
Reducing Undernutrition through Counseling on Diversified Food Intake among
Adult People Living with HIV on HAART, Northern Ethiopia
Malnutrisi menginduksi imunodepresi dan memodulasi tanggapan
imunologi terhadap infeksi HIV, mempengaruhi hasil klinis secara keseluruhan
dan memperburuk depresi kekebalan terkait HIV. Penelitian ini dilakukan di
Mekelle Hospital, Ayder, Referral Hospital, Quiha Hospital, Mekelle Health
Center, Kasech Health Center, and Semen Health Center) dengan menggunakan
metode case control study. Total sampel pada penelitian ini sejumlah 324
responden. Masalah nutrisi dinilai dengan menggunakan BMI (Body Mass Index)
kurang dari 18,5 kg/m2 responden dipilih menggunakan pemilihan acak.
Pengukuran tinggi badan dan berat badan dilakukan dengan metode yang
terstruktur agar hasil ukur akurat. Selain itu dilakukan juga pengkajian tentang
variabel sosial ekonomi dan demografi, faktor terkait gizi, dan faktor lingkungan.
Terdapat 84% responden telah mendapat konseling gizi. Konseling didapatkan
responden ketika melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Sebanyak 2/3 kasus
tidak memiliki control terhadap makanan. Infeksi HIV telah lama dikaitkan
dengan sindrom kurus dan kekurangan berat badan. Penelitian ini menyatakan
bahwa usia, pendapatan rata-rata per bulan, konseling nutrisi, dan keragaman
makanan merupakan faktor paling kuat dari kekurangan gizi pada pasien HIV
dengan pengobatan. Temuan lain menunjukkan bahwa pasien HIV dengan
keragaman makanan yang tidak memadai memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk menjadi kurang gizi. Keragaman makanan merupakan indikator keamanan
makanan, dengan mengkonsumsi kelompok makanan menunjukkan gizi yang
lebih baik dan peningkatan mikronutrien. Pada penelitian ini didapatkan hasil juga
bahwa pasien yang tidak mendapatkan konseling gizi dikaitkan dengan
kekurangan gizi. Memberikan penyuluhan tentang konsumsi makanan bergizi
yang tepat dan tepat waktu serta memperkuat kegiatan yang menghasilkan
pendapatan adalah penting untuk memastikan bahwa ODHA mampu mengatasi
penyebab yang mendasari kurang gizi. Meningkatkan penilaian gizi, konseling
dan dukungan selama kunjungan ke fasilitas, dan meningkatkan program terpadu
lintas sektor yang efektif akan meningkatkan status gizi. Selain itu, diperlukan
penelitian longitudinal untuk menggali masalah gizi kurang pada penderita HIV /
AIDS (Tedla dkk, 2020).
Referensi :
Tedla, W.H., A. Aregay., K. Gabremariam., M.W Abrha, dan H.G. Weldearegay.
2020. Reducing Undernutrition through Counseling on Diversified Food Intake
among Adult People Living with HIV on HAART, Northern Ethiopia. Journal of
Nutrition and Metabolism. 2020 ID Artikel 9858619.
https://doi.org/10.1155/2020/9858619

Anda mungkin juga menyukai