Oleh:
Indira Ika Christianti 2120322009
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. dr. Masrul, M.Sc, SpGK.
BAB 1 PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Tujuan 3
1.3 Manfaat 3
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja (21,8‰). Berdasarkan tempat tinggal,
prevalensi stroke di perkotaan (12,6‰) lebih tinggi dibanding di perdesaan (8,8‰)
(Kemenkes, 2019).
Periode emas penanganan stroke adalah waktu yang sangat bergharga untuk
penanganan Stroke, yaitu kurang dari 4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda
sampai dilakukan penanganan stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba
di Rumah Sakit kurang dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan membutuhkan
waktu maksimal 2,5 jam (Kemenkes, 2019).
2.2 Tujuan
1. Mengetahui konsep non communicable disease atau penyakit tidak menular.
2. Meningkatkan pengetahuan tentang faktor risiko penyakit stroke.
3. Mengetahui prevalensi penyakit stroke di Indonesia.
2.3 Manfaat
1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai non communicable disease
2. Meningkatkan usaha dan program pemerintah dalam menyusun kebijakan dan
strategi pencegahan dan pengendalian penyakit stroke di Indonesia
3. Meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat untuk memperhatikan kesehatan
serta pola hidup yang sehat agar terhindar dari penyakit stroke.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
didefinisikan sebagai deficit neurologis disebabkan cedera fokal akut pada susunan
saraf pusat (SSP) oleh penyebab vaskular, termasuk infark serebral, perdarahan
intraserebral (ICH), dan perdarahan subarachnoid (SAH), dan merupakan penyebab
utama dari kecacatan dan kematian di seluruh dunia (Lidia, et al., 2016).
Stroke terjadi karena adanya hambatan suplai darah atau kebocoran dari
pembuluh darah. Ada dua jenis utama stroke, yaitu:
a. Stroke Iskemil atau Non-Hemoragik (Penyumbatan)
Stroke ini merupakan jenis yang banyak dijumpai sekitar 80% stroke.
Secara patologis stroke iskemik adalah kematian jaringan otak karena
pasokan darah yang tidak mencukupi. Disebut pula defisit neurologis yang
timbul secara akut dan lebih dari 24 jam.Stroke iskemik menyerang pada pagi
hari hingga siang sekitar pukul 06.00 hingga 12.00 karena tekanan darah
biasanya meningkat pada pagi hingga siang. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan peningkatan intraplak hemoragik atau pendarahan pada plak
pembuluh darah (Zainuddin, et al., 2016).
Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan
yaitu aterotrombotik, kardioemboli, lakuner, dan penyebab lain.
Aterotrombotik merupakan penyumbatan pembuluh darah oleh plak di
dinding arteri. Kardioemboli merupakan sumbatan arteri oleh pecahan plak
(emboli) dari jantung. Lakuner merupakan sumbatan plak pada pembuluh
darah yang berbentuk lubang. Penyebab lain yaitu semua hal yang
mengakibatkan tekanan darah turun atau hipotensi. Berdasarkan perjalanan
klinisnya, stroke iskemik dikelompokkan menjadi 4, yaitu (Hambali &
Lisiswanti, 2015):
• Transient Ischemic Attack (TIA): serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
• Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND): gejala neuorologis
yang akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 3 minggu.
• Stroke Progresif: kelainan atau deficit neurologis yang berlangsung
secara bertahap dari yang ringan samppai yang berat.
• Stroke Komplit: kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak
berkembang lagi.
6
b. Stroke Hemoragik (Perdarahan)
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak atau
pembuluh darah otak bocor. Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan
menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarachnoid (Zainuddin, et al., 2016). Perdarahan intraserebral biasanya
disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun karena suatu penyakit yang
menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh. Perdarahan Subarakhnoid
diakibatkan masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain
berupa perdarahan subarakhnoid sekunder atau sumber perdarahan berasal
dari rongga subarakhnoid itu sendiri seperti perdarahan subarakhnoid primer
(Zainuddin, et al., 2016).
7
Gambar 1. Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik
(Heart and Stroke Foundation of Canada, 2013)
8
dari deposisi protein amyloid di arteriol kortikal; deposisi seperti ini sangat jarang
terjadi di basal ganglia dan batang otak (lokasi lazim terjadi intracerebral
hemorrhage (ICH) terkait HTN dan lokasi yang tidak lazim dari intracerebral
hemorrhage (ICH) terkait CAA. Apolipoprotein E (ApoE) genotipe memainkan
peran penting dalam patogenesis CAA, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk
diagnosis utama dari kondisi ini. Usia juga merupakan faktor resiko penting untuk
intracerebral hemorrhage (ICH) kemungkinan keseluruhan penderita intracerebral
hemorrhage (ICH) tertinggi pada usia ≥ 85 (Ciputra, 2018).
9
2.2.2. Patofisiologi Stroke
Infark regional kortikal, subkortikal ataupun infark regional dibatang otak terjadi
karena kawasan perdarahan suatu arteri tidak/kurang mendapat jatah darah lagi. Jatah
darah tidak disampaikan kedaerah tersebut. Lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik
jika arteri tersumbat dan infark hemoragik jika arteri pecah (Soertidewi, 2011).
Stroke hemoragik disebabkan karena adanya kematian sel pada jaringan otak
yang mana kematian sel tersebut disebabkan oleh inflamasi ataupun karena terjadinya
apoptosis. Pada Gambar 2 dijelaskan mekanisme terjadinya kematian sel pada jaringan
otak. Pada saat terjadi perdarahan, terbentuk suatu massa yang mana massa tersebut
menyebabkan inflamasi dan memberikan efek toksik sehingga terjadilah kematian sel
pada otak. Sedangkan mekanisme terjadinya apoptosis karena terbentuknya clotting oleh
trombin. Trombin menyebabkan lisisnya eritrosit yang dikarenakan adanya pelepasan
heme/besi sehingga terjadi aktivasi caspase yang mengakibatkan sel melakukan
apoptosis.
Gambar 2. Patofisiolodi Stroke Hemoragik
(Soertidewi, 2011)
Patofisiologi stroke hemoragik tidak seperti stroke iskemik. Adanya darah dalam
parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya melalui efek mekanik
menghasilkan massa dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk degradasi.
Sekitar 30% dari intracerebral hemorrhage (ICH) terus membesar selama 24 jam pertama,
paling cepat dalam waktu 4 jam, dan volume gumpalan adalah prediktor yang paling
10
penting dari hasil perdarahan yang terlepas dari lokasi. Perdarahan dengan volume > 60
mL berhubungan dengan 71% kematian pada 15 hari dan 93% kematian pada 30 hari.
Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik (hingga 50% pada 30 hari) disebabkan
oleh peningkatan mendadak tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan
kematian (Soertidewi, 2011).
Sebagian besar kasus intracerebral hemorrhage (ICH) terjadi ketika adanya
bocoran kecil pada arteri (50-700 μm) yang kemudian darah masuk ke dalam parenkim
otak. Bagian dari cedera induksi intracerebral hemorrhage (ICH) adalah karena gangguan
fisik jaringan yang berdekatan dan efek massa disebabkan sebagai bentuk intracerebral
hemorrhage (ICH). Volume intracerebral hemorrhage (ICH) sering dibagi menjadi tiga
kategori: kecil ketika < 30 mm, menengah antara 30 dan 60 mm, dan besar bila > 60 mm
(Soertidewi, 2011).
11
mengalami stroke atau serangan transien iskemik. Risiko terhadap stroke terkait
dengan garis keturunan dikarenakan adanya gen resesif yang memengaruhinya. Gen
tersebut terkait dengan penyakit - penyakit yang merupakan faktor risiko pemicu
stroke. Penyakit yang terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes, hipertensi,
hiperurisemia, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner dan kelainan pada pembuluh
darah yang bersifat menurun (Zainuddin, 2016).
d. Ras atau Etnik
Berdasarkan data American Heart Association, ras Afrika Amerika memiliki
resiko lebih tinggi karena stroke dibandingkan dengan ras kaukasia.
e. Diabetes
Penderita diabetes mempunyai risiko 2 kali lebih besar mengalami stroke, hal ini
dapat terjadi akibat gangguan metabolisme pada para penderita diabetes. Hal ini
dikarenakan dapat memicu terjadinya aterosklerosis yang lebih cepat dibandingkan
orang yang tidak menderita diabetes mellitus.
f. Arterosklerosis
Kondisi dimana terjadi penyumbatan dinding pembuluh darah dengan lemak,
kolestrol ataupun kalsium.
g. Penyakit Jantung
Orang dengan penyakit jantung memiliki risiko dua kali lipat terkena stroke
dibandingkan orang berjantung sehat.
Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan antara lain:
a. Obesitas
Resiko stroke akan meningkat pada orang dengan indeks masa tubuh IMT lebih
dari 30 kg/m (obesitas).
b. Kurang aktivitas fisik dan olahraga
Efeknya adalah meningkat risiko hipertensi, rendahnya kadar HDL (kolestrol
baik) dan diabetes. Berolahraga yang dilakukan secara rutin 30-40 menit perhari dapat
mengurangi resiko tersebut.
c. Merokok
Peluang terjadinya stroke pada orang yang mempunyai kebiasaan merokok 50
persen lebih tinggi daripada yang bukan perokok.
12
d. Mengkonsumsi alkohol dan penggunaan obat-obatan
Risiko stroke iskemik akan meningkat dalam dua jam setelah mengkonsumsi
minuman beralkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang seperti halnya kokain juga
dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung.
e. Tekanan darah tinggi (Hipertensi)
Hampir sekitar 40% kejadian stroke disebabkan atau dialami oleh penderita
hipertensi.
f. Tingkat kolestrol darah yang berbahaya
Kadar kolestrol LDL yang tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya pengerasan
pembuluh nadi (areteroklerosis), karena kolestrol cenderung menumpuk pada dinding
pembuuh darah dan membentuk plak.
g. Sleep apnea (mendengkur disertai berhenti bernafas selama 10 detik).
Penderita sleep apnea beresiko mengalami hipertensi dan kekurangan suplai
oksigen dalam darahnya yang dapat menyebabkan stroke (Bustan, 2015).
13
penduduk. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8
per seribu penduduk), diikuti DI Yogyakarta (10,3 per seribu penduduk), Bangka Belitung
dan DKI Jakarta (masing-masing 9,7 per seribu penduduk). Prevalensi Stroke berdasarkan
terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9 per seribu
penduduk), DI Yogyakarta (16,9 per seribu penduduk), Sulawesi Tengah (16,6 per seribu
penduduk), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per seribu penduduk. Kasus stroke di provinsi
Jawa Tengah tahun 2013 sebesar 12,3 per seribu penduduk (Kemenkes, 2013).
Dari 50 sampel penelitian, 26 pasien (52%) mempunyai lebih dari satu komplikasi,
24 pasien (48%) tidak mempunyai komplikasi selama tinggal di rumah sakit. Infeksi thorax
12 pasien (24%), konstipasi 12 pasien (24%), aspirasi pneumonia 6 pasien (12%), UTI 5
pasien (10%), depresi 4 pasien (8%), kejang 2 pasien (4%), stroke berulang 2 pasien (4%),
dan retensi urin 2 pasien (4%) (WHO, 2017).
Penelitian lain menjelaskan Komplikasi pada 360 pasien stroke (59%), komplikasi
individu yang paling umum adalah jatuh (22% dari semua stroke), dekubitus (18%), dan
Infeksi saluran kemih (16%) atau Infeksi dada (12%). Komplikasi lain 32% dari stroke.
Kejang dan infeksi dada terjadi lebih awal, sedangkan depresi dan dekubitus adalah masalah
di kemudian. Komplikasi yang lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua, pada stroke
berulang dan menderita stroke lebih parah (Langhorne, 2000).
14
diletakkan dengan posisi terlentang dan leher disanggah sampai hiperekstensi
maksimal
b. Breathing
Jika pasien tidak bernapas atau terjadi henti napas maka diberikan oksigen 4
liter/menit melalui hidup. Jika tidak terdapat oksigen dapat diberikan bantuan
napas buatan dari mulut ke mulut dan segera dibawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan.
c. Circulation
Perbaikan sirkulasi dan perfusi ke otak dengan cara mempertahankan jantung
dan tekanan darah. Pemantauan EKG dalam 24 jam pertama dan diinfus
dengan NaCl 0,9%.
b. Langkah Kedua
Melakukan penilaian deficit neurologis dengan mempertimbangkan seberapa berat
gangguan neurologis yang terjadi dan apakkah gangguan neurologis tersebut masih
akan memburuk atau membaik.
c. Langkah Ketiga
Menentukan jenis strok dengan penilaian skoring dan pemeriksaan penunjang
d. Langkah Keempat
Penatalaksanaan suportif agar kondisi fisik pasien segera membaik. Dilakukan
elevasi kepala 30o untuk mengurangi peningkatan tekanan intracranial,
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke sedini
mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan
adalah
• Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
• Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas
• Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 % dengan kecepatan
20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 % dalam air dan
salin 0, 45 %, karena dapat memperhebat edema otak
• Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
• Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
• Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks
15
• Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap dan
trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan kreatinin), masa
protrombin, dan masa tromboplastin parsial
• Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati, gas darah
arteri, dan skrining toksikologi
• Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
• CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia (Kemenkes, 2019).
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi pada
stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih
buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan
umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-
menerus selama 24 jam setelah serangan stroke (Gorelick, 2015).
Prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup baik karena tingkat
ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan
meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama (Asmedi & Lamsudin, 1998). Sekitar 30-60
% penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas
hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas
hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian
mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu
ketiga sampai 6 bulan pasca stroke (Gorelick, 2015).
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang terjadi pada
penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur diantaranya outcome
fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut
Hornig, prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan
secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan
penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih
baik dibandingkan pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini sebesar
4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.
16
BAB 3
PEMBAHASAN
17
Kematian dan Faktor Risiko Data Tahun 2012
Jumlah Kematian Penyakit Tidak 38 juta kematian
Menular
Kematian Prematur Penyakit Tidak 48% kematian sebelum usia 70 tahun
Menular (negara dengan low dan middle income)
Pencegahan Faktor Risiko 80% premature heart disease, stroke dan
diabetes
Tabel 2. Kematian akibat penyakit tidak menular tahun 2012
18
Dalam upaya pencegahannya, maka diperlukan identifikasi karakteristik
epidemiologi yang dapat merupakan faktor risiko dari penyakit stroke iskemik. Peranan dan
pendekatan epidemiologi dalam stroke:
a. Peranan
1. Mengetahui distribusi stroke didalam masyarakat
2. Mengetahui penyebab tingginya distribusi stroke dalam suatu masyarakat
3. Menentukan pilihan prioritas dalam menangani masalah stroke
b. Pendekatan Epidemiologi Stroke
Untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke
atau mengetahui faktor determinannya. Distribusi ini untuk melihat beban dari
stroke, trend yang meningkat, frekuensi melalui rate, ratio dan proporsi. Pendekatan
epidemiologi dalam stroke tidak terlepas dari dasar segitiga epidemiologi (person,
place, time) disamping melihat populasi dan determinan.
Pada penelitian epidemiologi dapat digunakan penelitian observasional dan
eksperimental. Namun karena waktu berlangsungnya yang lama, maka umumnya penelitian
penyakit tidak menular seperti stroke merupakan penelitian observasional. Jenis-jenis
penelitian terhadap penyakit tidak menular yang merupakan penelitiaan observasional antara
lain:
a. Penelitian Cross Sectional
Studi Cross Sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi,
distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan dengan cara observasional secara
serentak pada individu-individu suatu populasi pada suatu saat.
b. Penelitian Case Control
Studi case control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan
penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (kasus) dan
sekelompok orang-orang tidak berpenyakit (control), lalu membandingkan frekuensi
paparan pada kedua kelompok.
c. Penelitian Kohort
Studi kasus control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan
penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (kasus) dan
sekelompok orang-orang tidak berpenyakit (control), lalu membandingkan frekuensi
paparan pada kedua kelompok.
Stroke dapat dicegah dengan pengendalian perilaku yang berisiko seperti
penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat dan obesitas, kurang aktivitas fisik serta
19
penggunaan alkhohol. Menurut data Riskesdas, faktor risiko perilaku utama yang menjadi
tantangan dalam upaya pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia adalah :
a. Sekitar 93,5% penduduk berusia >10 tahun kurang konsumsi buah dan sayur.
b. Sekitar 36,3% penduduk berusia >15 tahun merokok, perempuan berusia > 10
tahun yang merokok sekitar 1,9%.
c. Sekitar 26,1% penduduk kurang melakukan aktivitas fisik.
20
BAB 4
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Stroke merupakan salah satu non-communicable disease yang menyerang
system saraf dan berakibat kelumpuhan. Patologi stroke berlangsung secara progresif
dan bertahap, mulai dari gejala stroke ringan hingga dapat menyebabkan kematian.
Stroke memiliki beberapa faktor resiko yang dapat mendukung perkembangan stroke
yang terdiri dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi (gaya hidup) dan faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, keturunan dan ras).
Pencegahan penyakit stroke dalam dilakukan dengan meminimalisir faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan konsumsi makanan yang
disesuaikan.
Jumlah penderita stroke di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan
mulai menyerang orang dengan usia produktif. Pengobatan awal/dini seperti
pencegahan sangat bermanfaat, namun harus disertai dengan pengenalan dan
pemahanan stroke pada semua lapisan dan komunitas dalam masyarakat. Periode
emas adalah waktu yang sangat bergharga untuk peanganan Stroke, yaitu kurang dari
4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda sampai dilakukan penanganan
stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba di Rumah Sakit kurang
dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan membutuhkan waktu maksimal
2,5 jam.
4.2. Saran
Untuk masyarakat agar lebih memperhatikan gaya hidup yang sehat dengan
makan sehat dan gizi seimbang agar terhidar dari stroke. Pemerintah diharapkan
fokus pada upaya promotive dan preventif dengan tidak meninggalakan upaya kuratif
dan rehabilitatif. Meningkatkan kualitas program pelatihan penanganan stroke,
penyediaan, perlengkapan, pelatihan, penunjangan proses optimasi di RS dan
penyediaan sarana sebagai wadah komunikasi serta akses bimbingan dari stroke
spesialis.
21
DAFTAR PUSTAKA
Armaidi Darmawan. (2016). JMJ. Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular. 4 (2), 195-202.
Gorelick PB., and Farooq MU. Stroke: An Emphasis on Guidelines. The Lancet Neurology.
2015. 14(1).
Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. In: Buku Ajar Penyakit Tidak
Menular. Yogyakarta: Absolute Media. 10-15.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Nasional. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS);
2013. Republik Indonesia: Kementerian Kesehatan; 2013.
Kesuma, N.M.T.S., Dharmawan, D.K., Fatmawati, H. 2019. Gambaran Faktor Risiko dan
Tingkat Risiko Stroke Iskemik Berdasarkan Stroke Risk Scorecard di RSUD
Klungkung. Intisari Sains Medis 10(3): 720-729. DOI: 10.15562/ism.v10i3.397
M.N. Bustan. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015) hlm.
79.
P. Langhorne, D. J. Stott, L. Robertson, J. MacDonald, L. Jones, C. McAlpine, dkk.
Medical Complication After Stroke. American Heart Association; 2000. 31: 1223-1229
P2PTM Kemenkes RI. (2019). Hari Stroke Sedunia 2019 : Otak Sehat, SDM
Unggul. Available:http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/hari-stroke-sedunia-2019-
otak-sehat-sdm-unggul. Last accessed 20 Oktober 2021.
Quek K.F., Non-Communicable Diseases – A Major Problem Worldwide. Public Health
Open J. 2016; 1(2):32-35.
Soertidewi L, Misbach J. Epidemiologi Stroke. Jakarta, Indonesia: Balai Penerbit FKUI;
2011.
Smith WS., Johnston SC., dan Hemphill JC. Cerebrovascular Disease, dalam Braunwald,
E., Kasper, D. L., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L., dan Loscalzo, J. (Eds.),
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19 th Ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2015
World Health Organizations. Noncommunicable Disease. 2017. [serial online]
http://www.who.int/news-room/factsheets/detail/noncommunicable-diseases [18
October 2021].
Zainuddin, M., Hidjah, K., & Tunjung, I. W. (2016). Penerapan Case Based Reasoning (CBR) Untuk
Mendiagnosis Penyakit Stroke Menggunakan Algoritma K-Nearest Neighbor. 21–26.
22