Anda di halaman 1dari 23

TUGAS EPIDEMIOLOGI INTERMEDIATE

KONSEP & PRINSIP DALAM EPIDEMIOLOGI

(NON COMUNNICABLE DISEASE PADA PENYAKIT STROKE)

Oleh:
Indira Ika Christianti 2120322009

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. dr. Masrul, M.Sc, SpGK.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
2021
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Tujuan 3
1.3 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4


2.1. Penyakit Non Communicable Disease 4
2.2. Penyakit Stroke 5
2.2.1. Etiologi Stroke 7
2.2.2. Patofisiologi Stroke 10
2.2.3. Faktor Risiko Stroke 11
2.3. Epidemiologi Stroke di Indonesia 13
2.4. Pencegahan, Pengobatan dan Perlindungan Penderita Stroke 14
8
BAB 3 PEMBAHASAN 16
BAB 4 PENUTUP 21
4.1. Kesimpulan 21
4.2. Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tidak menular telah membunuh 41 juta orang setiap tahun atau setara
dengan 70% kematian secara global. Salah satu dari empat penyakit tidak menular utama
menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular yaitu penyakit jantung koroner dan stroke
(WHO, 2017). Stroke menempati urutan kedua penyebab kematian terbanyak di dunia dan
menyebabkan 6,2 juta kematian pada tahun 2011 dengan angka beban stroke terbanyak
kedua setelah Mongolia yaitu sebanyak 3.382,2/100.000 orang berdasarkan DALYs
(disability-adjusted life-year) (Smith, 2015).
Menurut World Health Organization, stroke merupakan penyakit neurologis
dengan tanda-tanda klinis yang berkembang secara cepat dari gangguan fungsi serebral
fokala dan global, berlangsung lebih dari 24 jam atau hingga menyebabkan kematian. Stroke
terjadi ketika aliran darah ke otak hilang akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah
ke otak sehingga terjadi kekurangan oksigen dan kematian mendadak beberapa sel otak.
Pembagian stroke berdasarkan patologi anatomi dan manifestasi klinisnya yaitu stroke non-
hemoragik (iskemik) dan strok hemoragik (WHO, 2017).
Menurut WHO tahun 2012, stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya
menjadi iskemik dan hemoragik. Faktor risiko dapat dubedakan menjadi tiga kategori yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, ras, berat badan lahir rendah
dan faktor-faktor genetik), faktor terkdokumentasi dengan baik dan dapat dimodifikasi
(fisik, hipertensi, merokok, diabetes, dislipidemia, fibrilasi atrium), dan kurang
terdokumentasi dengan baik dan berpotensi dapat dimodifikasi (sindrom metabolic,
konsumsi alcohol, penyalahgunaan obat-obatan, gangguan pernafasan saat tidur,
hiperhomosisteinemia) (Gorelick, 2015).
Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi stroke tertinggi di Indonesia terdapat
di Provinsi Kalimantan Timur (14,7‰) dan terendah di Provinsi Papua (4,1‰). Prevalensi
stroke di Provinsi Sumatera Selatan adalah 10‰ (Kemenkes, 2019). Prevalensi penyakit
stroke meningkat seiring bertambahnya umur dengan kasus tertinggi pada kelompok umur
75 tahun keatas (50,2‰) dan terendah pada kelompok umur 15-24 tahun (0,6‰).
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi stroke pada laki-laki (11‰) hampir sama dengan
perempuan (10,9‰). Berdasarkan pendidikan, prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan pendidikan rendah (21,2‰). Berdasarkan pekerjaan, prevalensi stroke

2
lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja (21,8‰). Berdasarkan tempat tinggal,
prevalensi stroke di perkotaan (12,6‰) lebih tinggi dibanding di perdesaan (8,8‰)
(Kemenkes, 2019).
Periode emas penanganan stroke adalah waktu yang sangat bergharga untuk
penanganan Stroke, yaitu kurang dari 4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda
sampai dilakukan penanganan stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba
di Rumah Sakit kurang dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan membutuhkan
waktu maksimal 2,5 jam (Kemenkes, 2019).

2.2 Tujuan
1. Mengetahui konsep non communicable disease atau penyakit tidak menular.
2. Meningkatkan pengetahuan tentang faktor risiko penyakit stroke.
3. Mengetahui prevalensi penyakit stroke di Indonesia.

2.3 Manfaat
1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai non communicable disease
2. Meningkatkan usaha dan program pemerintah dalam menyusun kebijakan dan
strategi pencegahan dan pengendalian penyakit stroke di Indonesia
3. Meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat untuk memperhatikan kesehatan
serta pola hidup yang sehat agar terhindar dari penyakit stroke.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Non Communicable Disease


Non-Communicable Disease (NCD) atau juga disebut penyakit tidak menular
telah menjadi masalah utama di seluruh dunia. NCD merupakan penyakit yang tidak
dapat ditularkan. Berdasarkan laporan WHO, di kawasan Asia Tenggara paling
sering ditemui lima NCD dengan tingkat kesakitan dan kematian yang sangat tinggi,
beberapa di antaranya adalah penyakit Jantung (Kardiovaskuler), DM, kanker,
penyakit pernafasan obstruksi kronik dan penyakit karena kecelakaan. Kebanyakan
PTM dikategorikan sebagai penyakit degeneratif dan cenderung diderita oleh orang
yang berusia lanjut (Armaidi, 2016).
Istilah penyakit tidak menular juga dapat disebut dengan:
1. Penyakit Kronik
Penyakit yang bersifat kronis/menahun/lama. Namun, ada juga NCD yang
bersifat akut, seperti pada kasus keracunan.
2. Penyakit Non-Infeksi
Pada NCD pada umumnya tidak disebabkan oleh mikroorganisme.
3. New Communicable Disease
Gaya hidup menjadi penyebab dari berbagai penyakit Non-Communicable
Disease (NCD), seperti pola makan, aktivitas olahraga, kehidupan seksual,
dan lain-lain.
4. Penyakit Degeneratif
5. Penyakit Perilaku
Non-Communicable disease disebabkan oleh adanya interaksi antara agent
(Non living agent) dengan host yaitu manusia (faktor predisposisi, infeksi,
dan lain-lain) serta lingkungan sekitar (source and vehicle of agent)
(Armaidi, 2016).
Adapun karakteristik dari non-communicable disease atau penyakit tidak
menular yaitu:
1. Penularan penyakit tidak melalui suatu rantai penularan tertentu
2. Masa inkubasi yang panjang dan laten
3. Keberlangsungan penyakit berlarut-larut atau yang disebut dengan kronis
4. Banyak menghadapi kesulitan diagnosis
4
5. Mempunyai variasi yang luas
6. Memerlukan biaya yang tinggi dalam upaya pencegahan dan
penaggulangannya
7. Faktor penyebabnya bermacam-macam (multikausal), bahkan tidak jelas.
Agen pada penyakit tidak menular teridir dari berbagai macam karakteristik,
dari yang sedergana hingga yang kompleks. Suatu agent tidak menular menyebabkan
tingkat keparahan yang bervariasi (dinyatakan dalam skala pathogenitas).
Pathogenitas Agent merujuk pada kemampuan / kapasitas agent penyakit dalam
menyebabkan sakit pada host. Karakteristik dari agent penyakit tidak menular adalah
kemampuan menginvasi/memasuki jaringan, kemampuan merusak jaringan
(reversible dan irreversible), kemampuan menimbulkan reaksi hipersensitif.
Pada kasus penyakit tidak menular, reservoir atau tempat dimana agent dapat
hidup dan berkembang biar dengan baik adalah benda mati. Pada penyakit menular,
orang yang terpapar dengan agent/reservoir tidak memiliki potensi ditularkan.
Adapun relasi antara agent dan host pada kasus penyakit tidak menular, yaitu:
a. Fase Kontak
Adanya kontak antara agent dan host bergantung dari lamanya kontak, dosis
dan patogenitas
b. Fase Akumulasi pada Jaringan
Fase ini terjadi jika terpapar dalam waktu lama dan terus menerus
c. Fase Subklinis
Gejala dan tanda belum terlihat, namun beberapa kerusakan telah terjadi
pada jaringan. Hal ini bergantung pada jaringan yang terkena, kerusakan
yang diakibatkan, sifat kerusakan.
d. Fase Klinis
Agent penyakit telah menyebabkan reaksi pada host dengan menimbulkan
manifestasi (gejala dan tanda) (Irwan, 2017).

2.2. Penyakit Stroke


Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian
sel-sel saraf neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak.
Secara klinis stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan
gejala tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Stroke juga

5
didefinisikan sebagai deficit neurologis disebabkan cedera fokal akut pada susunan
saraf pusat (SSP) oleh penyebab vaskular, termasuk infark serebral, perdarahan
intraserebral (ICH), dan perdarahan subarachnoid (SAH), dan merupakan penyebab
utama dari kecacatan dan kematian di seluruh dunia (Lidia, et al., 2016).
Stroke terjadi karena adanya hambatan suplai darah atau kebocoran dari
pembuluh darah. Ada dua jenis utama stroke, yaitu:
a. Stroke Iskemil atau Non-Hemoragik (Penyumbatan)
Stroke ini merupakan jenis yang banyak dijumpai sekitar 80% stroke.
Secara patologis stroke iskemik adalah kematian jaringan otak karena
pasokan darah yang tidak mencukupi. Disebut pula defisit neurologis yang
timbul secara akut dan lebih dari 24 jam.Stroke iskemik menyerang pada pagi
hari hingga siang sekitar pukul 06.00 hingga 12.00 karena tekanan darah
biasanya meningkat pada pagi hingga siang. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan peningkatan intraplak hemoragik atau pendarahan pada plak
pembuluh darah (Zainuddin, et al., 2016).
Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan
yaitu aterotrombotik, kardioemboli, lakuner, dan penyebab lain.
Aterotrombotik merupakan penyumbatan pembuluh darah oleh plak di
dinding arteri. Kardioemboli merupakan sumbatan arteri oleh pecahan plak
(emboli) dari jantung. Lakuner merupakan sumbatan plak pada pembuluh
darah yang berbentuk lubang. Penyebab lain yaitu semua hal yang
mengakibatkan tekanan darah turun atau hipotensi. Berdasarkan perjalanan
klinisnya, stroke iskemik dikelompokkan menjadi 4, yaitu (Hambali &
Lisiswanti, 2015):
• Transient Ischemic Attack (TIA): serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
• Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND): gejala neuorologis
yang akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 3 minggu.
• Stroke Progresif: kelainan atau deficit neurologis yang berlangsung
secara bertahap dari yang ringan samppai yang berat.
• Stroke Komplit: kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak
berkembang lagi.

6
b. Stroke Hemoragik (Perdarahan)
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak atau
pembuluh darah otak bocor. Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan
menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarachnoid (Zainuddin, et al., 2016). Perdarahan intraserebral biasanya
disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun karena suatu penyakit yang
menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh. Perdarahan Subarakhnoid
diakibatkan masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain
berupa perdarahan subarakhnoid sekunder atau sumber perdarahan berasal
dari rongga subarakhnoid itu sendiri seperti perdarahan subarakhnoid primer
(Zainuddin, et al., 2016).

2.2.1. Etiologi Stroke


Penyebab utama dari stroke diurutkan dari yang paling sering adalah
aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang menimbulkan pendarahan
intraserebral dan ruptur aneurisme vaskuler. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa
penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah,
diabetes melitus, atau penyakit vaskuler perifer.
1. Etiologi Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki presentasi 80%-85% dari semua kasus stroke.
Stroke iskemik terjadi karena adanya pengurangan atau penyumbatan suplai darah
ke otak, terutama karena penyakit komprehensif oklusal dari pembuluh darah yang
memasok wilayah tersebut. Stroke iskemik terjadi bila pembuluh darah yang
membawa darah ke otak tersumbat oleh gumpalan darah. Hal ini menyebabkan
darah tidak mencapai otak. Hipertensi merupakan faktor resiko yang paling utama
untuk stroke jenis ini. Stroke iskemik disebabkan oleh trombus lokal atau emboli,
sehingga menyebabkan penyumbatan arteri serebral. Emboli bisa terjadi baik dari
arteri intra atau ekstrakranial (termasuk arkus aorta) atau seperti pada 20% kasus
stroke iskemik berasal dari jantung. Emboli kardiogenik terjadi jika pasien memiliki
fibrilasi atrium (denyut jantung tidak teratur), kelainan pada katup jantung, atau
kondisi lain dari jantung yang dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan.
Gumpalan darah dapat disebabkan oleh timbunan lemak (plak) terbentuk dalam
arteri sehingga mengurangi aliran darah (aterosklerosis) atau kondisi arteri lainnya.

7
Gambar 1. Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik
(Heart and Stroke Foundation of Canada, 2013)

2. Etiologi Stroke Hemoragik


Stroke hemoragik merupakan stroke yang memiliki tingkat kejadian yang
jarang terjadi. Faktanya stroke hemoragik hanya memiliki persentase kejadian
sebesar 15%, tetapi stroke hemoragik bertanggung jawab atas 40% kematian
karena stroke. Stroke hemoragik dapat terjadi karena pecahnya aneurisma pada
otak atau disebabkan oleh pembuluh darah yang bocor. Darah tumpahan masuk ke
dalam atau masuk ke sekitar otak sehingga terbentuk pembengkakan dan tekanan,
merusak sel dan jaringan otak. Ada dua jenis stroke hemoragik yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH) (Ciputra, 2018).

3. Intracerebral Hemorrhage (ICH)


Intracerebral hemorrhage (ICH) didefinisikan sebagai perdarahan
nontraumatik ke dalam jaringan otak. Intracerebral hemorrhage (ICH) adalah
bentuk paling mematikan dari stroke dan mempengaruhi sekitar satu juta orang di
seluruh dunia setiap tahun. Cedera otak sekunder dan pembentukan edema dengan
menghasilkan efek massa dianggap berkontribusi terhadap morbiditas dan
mortalitas terkait intracerebral hemorrhage (ICH) (Aksoy, 2013). Hipertensi
adalah faktor resiko yang paling umum atau utama. Angiopati amiloid serebral
(CAA), kondisi yang meningkat dengan usia, adalah faktor resiko yang paling
umum kedua. Angiopati amiloid serebral merupakan penyebab penting dari lobar
intracerebral hemorrhage (ICH), terutama padaorang lanjut usia.Kondisi ini hasil

8
dari deposisi protein amyloid di arteriol kortikal; deposisi seperti ini sangat jarang
terjadi di basal ganglia dan batang otak (lokasi lazim terjadi intracerebral
hemorrhage (ICH) terkait HTN dan lokasi yang tidak lazim dari intracerebral
hemorrhage (ICH) terkait CAA. Apolipoprotein E (ApoE) genotipe memainkan
peran penting dalam patogenesis CAA, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk
diagnosis utama dari kondisi ini. Usia juga merupakan faktor resiko penting untuk
intracerebral hemorrhage (ICH) kemungkinan keseluruhan penderita intracerebral
hemorrhage (ICH) tertinggi pada usia ≥ 85 (Ciputra, 2018).

4. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)


Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia dengan tingkat kematian yang tinggi dan tingkat kecacatan tetap. Insiden
subarachnoid hemorrhage (SAH) termasuk stabil, sekitar 600 per 100.000 pasien
dalam satu tahun. Kebanyakan pasien berusia <60 tahun. Faktor resiko dari
subarachnoid hemorrhage sama seperti stroke pada umumnya. Penyebab SAH
adalah pecahnya aneurisma pada 85% kasus, perdarahan non-aneurisma
perimesencephalic dengan prognosis sangat baik di 10% dan berbagai kondisi
langka di 5%. Pecahnya aneurisma memiliki tingkat kematian yang tinggi dan
komplikasi (Van Gijn, 2001). Pada bagian pertama, SAH berpusat suprasellar atau
pusat basal dan meluas ke perifer secara difusi. Hal ini terjadi karena pecahnya
aneurisma sakular yang dapat terjadi dengan bagian lain, seperti pecahnya
aneurisma nonsaccular atau malformasi vaskuler. Bagian kedua, subarachnoid
hemorrhage (SAH) berpusat di perimesencephalic atau bagian basal rendah yang
tidak meluas ke perifer. Hal ini terjadi akibat perdarahan perimensephalic
idiopatik, namun pecahnya aneurisma vertebrobasiar sekitar 5% dari kasus stroke.
Penyebab lainnya yang jarang dari pola perimesencephalic termasuk tumor
cervicomedullary persimpangan, malformasi vascular atau diseksi arteri akut
(Ciputra, 2018).

9
2.2.2. Patofisiologi Stroke
Infark regional kortikal, subkortikal ataupun infark regional dibatang otak terjadi
karena kawasan perdarahan suatu arteri tidak/kurang mendapat jatah darah lagi. Jatah
darah tidak disampaikan kedaerah tersebut. Lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik
jika arteri tersumbat dan infark hemoragik jika arteri pecah (Soertidewi, 2011).
Stroke hemoragik disebabkan karena adanya kematian sel pada jaringan otak
yang mana kematian sel tersebut disebabkan oleh inflamasi ataupun karena terjadinya
apoptosis. Pada Gambar 2 dijelaskan mekanisme terjadinya kematian sel pada jaringan
otak. Pada saat terjadi perdarahan, terbentuk suatu massa yang mana massa tersebut
menyebabkan inflamasi dan memberikan efek toksik sehingga terjadilah kematian sel
pada otak. Sedangkan mekanisme terjadinya apoptosis karena terbentuknya clotting oleh
trombin. Trombin menyebabkan lisisnya eritrosit yang dikarenakan adanya pelepasan
heme/besi sehingga terjadi aktivasi caspase yang mengakibatkan sel melakukan

apoptosis.
Gambar 2. Patofisiolodi Stroke Hemoragik
(Soertidewi, 2011)

Patofisiologi stroke hemoragik tidak seperti stroke iskemik. Adanya darah dalam
parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya melalui efek mekanik
menghasilkan massa dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk degradasi.
Sekitar 30% dari intracerebral hemorrhage (ICH) terus membesar selama 24 jam pertama,
paling cepat dalam waktu 4 jam, dan volume gumpalan adalah prediktor yang paling

10
penting dari hasil perdarahan yang terlepas dari lokasi. Perdarahan dengan volume > 60
mL berhubungan dengan 71% kematian pada 15 hari dan 93% kematian pada 30 hari.
Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik (hingga 50% pada 30 hari) disebabkan
oleh peningkatan mendadak tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan
kematian (Soertidewi, 2011).
Sebagian besar kasus intracerebral hemorrhage (ICH) terjadi ketika adanya
bocoran kecil pada arteri (50-700 μm) yang kemudian darah masuk ke dalam parenkim
otak. Bagian dari cedera induksi intracerebral hemorrhage (ICH) adalah karena gangguan
fisik jaringan yang berdekatan dan efek massa disebabkan sebagai bentuk intracerebral
hemorrhage (ICH). Volume intracerebral hemorrhage (ICH) sering dibagi menjadi tiga
kategori: kecil ketika < 30 mm, menengah antara 30 dan 60 mm, dan besar bila > 60 mm
(Soertidewi, 2011).

2.2.3. Faktor Risiko Stroke


Faktor risiko penyebab stroke digolongkan menjadi 2 yaitu faktor risiko yang
tidak dapat dikendalikan dan faktor risiko yang dapat dikendalikan. Faktor risiko yang
tidak dapat dikendalikan yaitu sebagai berikut:
a. Umur
Stroke meningkat seiring pertambahan usia. Setelah umur memasuki usia 55 tahun
keatas, risiko stroke meningkat dua kali lipat setiap kurun waktu 10 tahun. Namun
bukan berarti stroke hanya terjadi pada kelompok usia lanjut melainkan stroke juga
dapat menyerang berbagai kelompok umur. kelompok umur diatas 45 tahun berisiko
lebih tinggi dibandingakan dengan umur dibawah 45 tahun (Udani, 2013). Dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara faktor resiko umur dengan
kejadian stroke di Rumah Sakit Abdoel Moelek.
b. Jenis Kelamin
Hasil dari suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisa berdasarkan jenis
kelamin ditemukan bahwa, pasien stroke lebih banyak pada laki – laki dibandingkan
perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan lebih terlindungi dari penyakit stroke
sampai umur pertengahan akibat hormon estrogen yang dimilikinya. Setelah
menopause risiko perempuan sama dengan laki-laki untuk terkena serangan stroke
c. Garis Keturunan
Risiko stroke lebih tinggi jika dalam keluarga terdapat riwayat keluarga penderita
stroke. Perlu diwaspadai apabila ada anggota keluarga (orang tua dan saudara) yang

11
mengalami stroke atau serangan transien iskemik. Risiko terhadap stroke terkait
dengan garis keturunan dikarenakan adanya gen resesif yang memengaruhinya. Gen
tersebut terkait dengan penyakit - penyakit yang merupakan faktor risiko pemicu
stroke. Penyakit yang terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes, hipertensi,
hiperurisemia, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner dan kelainan pada pembuluh
darah yang bersifat menurun (Zainuddin, 2016).
d. Ras atau Etnik
Berdasarkan data American Heart Association, ras Afrika Amerika memiliki
resiko lebih tinggi karena stroke dibandingkan dengan ras kaukasia.
e. Diabetes
Penderita diabetes mempunyai risiko 2 kali lebih besar mengalami stroke, hal ini
dapat terjadi akibat gangguan metabolisme pada para penderita diabetes. Hal ini
dikarenakan dapat memicu terjadinya aterosklerosis yang lebih cepat dibandingkan
orang yang tidak menderita diabetes mellitus.
f. Arterosklerosis
Kondisi dimana terjadi penyumbatan dinding pembuluh darah dengan lemak,
kolestrol ataupun kalsium.
g. Penyakit Jantung
Orang dengan penyakit jantung memiliki risiko dua kali lipat terkena stroke
dibandingkan orang berjantung sehat.
Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan antara lain:
a. Obesitas
Resiko stroke akan meningkat pada orang dengan indeks masa tubuh IMT lebih
dari 30 kg/m (obesitas).
b. Kurang aktivitas fisik dan olahraga
Efeknya adalah meningkat risiko hipertensi, rendahnya kadar HDL (kolestrol
baik) dan diabetes. Berolahraga yang dilakukan secara rutin 30-40 menit perhari dapat
mengurangi resiko tersebut.
c. Merokok
Peluang terjadinya stroke pada orang yang mempunyai kebiasaan merokok 50
persen lebih tinggi daripada yang bukan perokok.

12
d. Mengkonsumsi alkohol dan penggunaan obat-obatan
Risiko stroke iskemik akan meningkat dalam dua jam setelah mengkonsumsi
minuman beralkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang seperti halnya kokain juga
dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung.
e. Tekanan darah tinggi (Hipertensi)
Hampir sekitar 40% kejadian stroke disebabkan atau dialami oleh penderita
hipertensi.
f. Tingkat kolestrol darah yang berbahaya
Kadar kolestrol LDL yang tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya pengerasan
pembuluh nadi (areteroklerosis), karena kolestrol cenderung menumpuk pada dinding
pembuuh darah dan membentuk plak.
g. Sleep apnea (mendengkur disertai berhenti bernafas selama 10 detik).
Penderita sleep apnea beresiko mengalami hipertensi dan kekurangan suplai
oksigen dalam darahnya yang dapat menyebabkan stroke (Bustan, 2015).

2.3. Epidemiologi Stroke di Indonesia


Menurut World Heatlh Organization, 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia
setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lainnya dinonaktifkan secara
permanen. Tekanan darah tinggi menyumbang lebih dari 12,7 juta stroke di seluruh dunia.
Di Eropa rata-rata sekitar 650.000 kematian disebabkan oleh stroke yang setiap tahun.
Prevalensi estimasi stroke menunjukkan sedikit variasi di negara-negara Asia Selatan. Sri
Lanka, dengan populasi sekitar 20 juta jiwa, diperkirakan memiliki prevalensi stroke 9 per
1.000 penduduk. Data yang terbatas yang tersedia dalam kaitannya dengan prevalensi stroke
pada Bangladesh: satu studi melaporkan prevalensi keseluruhan 3 per 1.000 penduduk, naik
setinggi 10 per 1.000 pada orang di atas usia 70 tahun (Soertidewi, 2011).
Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperlihatkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk mengalami
serangan stroke dan 25% di antaranya (125.000 penduduk) meninggal, sisanya mengalami
cacat ringan maupun berat. Di Indonesia, kecenderungan prevalensi stroke per 1000 orang
mencapai 12,1 dan setiap 7 orang yang meninggal, 1 diantaranya terkena stroke (Kemenkes,
2019).
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per
seribu penduduk dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per seribu

13
penduduk. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8
per seribu penduduk), diikuti DI Yogyakarta (10,3 per seribu penduduk), Bangka Belitung
dan DKI Jakarta (masing-masing 9,7 per seribu penduduk). Prevalensi Stroke berdasarkan
terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9 per seribu
penduduk), DI Yogyakarta (16,9 per seribu penduduk), Sulawesi Tengah (16,6 per seribu
penduduk), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per seribu penduduk. Kasus stroke di provinsi
Jawa Tengah tahun 2013 sebesar 12,3 per seribu penduduk (Kemenkes, 2013).
Dari 50 sampel penelitian, 26 pasien (52%) mempunyai lebih dari satu komplikasi,
24 pasien (48%) tidak mempunyai komplikasi selama tinggal di rumah sakit. Infeksi thorax
12 pasien (24%), konstipasi 12 pasien (24%), aspirasi pneumonia 6 pasien (12%), UTI 5
pasien (10%), depresi 4 pasien (8%), kejang 2 pasien (4%), stroke berulang 2 pasien (4%),
dan retensi urin 2 pasien (4%) (WHO, 2017).
Penelitian lain menjelaskan Komplikasi pada 360 pasien stroke (59%), komplikasi
individu yang paling umum adalah jatuh (22% dari semua stroke), dekubitus (18%), dan
Infeksi saluran kemih (16%) atau Infeksi dada (12%). Komplikasi lain 32% dari stroke.
Kejang dan infeksi dada terjadi lebih awal, sedangkan depresi dan dekubitus adalah masalah
di kemudian. Komplikasi yang lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua, pada stroke
berulang dan menderita stroke lebih parah (Langhorne, 2000).

2.4. Pencegahan, Pengobatan dan Perlindungan Penderita Stroke


Untuk dapat melakukan pencegahan stroke, harus ditemukan terlebih dahulu
penyebab terjadinya stroke. Faktor risiko yang terbanyak adalah hipertensi, diabetes, kadar
kolesterol tinggi, kekakuan pembuluh darah dan penyakit jantung. Pencegahan stroke dapat
dilakukan dengan menjalankan gaya hidup sehat, seperti pola makan sehat, tidak merokok,
olahraga teratur, menjaga berat badan dan mengendalikan stress (Quek, 2016).
Prinsip penanganan pasien stroke bersifat suportif yaitu dengan mengurangi luas
kerusakan otak yang sudah terjadi dan mencegah semakin meluasnya kerusakan otak akibat
iskemik atau perdarahan.
Penanganan atau penatalaksanaan serta pencegahan pasien stroke dapat diaplikasikan
dengan Langkah-langkah berikut:
a. Langkah Pertama
a. Airway
Bebaskan jalan napas pasien untuk memasktikan oksigen masuk ke dalam
tubuh pasien terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Pasien

14
diletakkan dengan posisi terlentang dan leher disanggah sampai hiperekstensi
maksimal
b. Breathing
Jika pasien tidak bernapas atau terjadi henti napas maka diberikan oksigen 4
liter/menit melalui hidup. Jika tidak terdapat oksigen dapat diberikan bantuan
napas buatan dari mulut ke mulut dan segera dibawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan.
c. Circulation
Perbaikan sirkulasi dan perfusi ke otak dengan cara mempertahankan jantung
dan tekanan darah. Pemantauan EKG dalam 24 jam pertama dan diinfus
dengan NaCl 0,9%.
b. Langkah Kedua
Melakukan penilaian deficit neurologis dengan mempertimbangkan seberapa berat
gangguan neurologis yang terjadi dan apakkah gangguan neurologis tersebut masih
akan memburuk atau membaik.
c. Langkah Ketiga
Menentukan jenis strok dengan penilaian skoring dan pemeriksaan penunjang
d. Langkah Keempat
Penatalaksanaan suportif agar kondisi fisik pasien segera membaik. Dilakukan
elevasi kepala 30o untuk mengurangi peningkatan tekanan intracranial,
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke sedini
mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan
adalah
• Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
• Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas
• Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 % dengan kecepatan
20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 % dalam air dan
salin 0, 45 %, karena dapat memperhebat edema otak
• Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
• Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
• Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks

15
• Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap dan
trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan kreatinin), masa
protrombin, dan masa tromboplastin parsial
• Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati, gas darah
arteri, dan skrining toksikologi
• Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
• CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia (Kemenkes, 2019).

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi pada
stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih
buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan
umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-
menerus selama 24 jam setelah serangan stroke (Gorelick, 2015).
Prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup baik karena tingkat
ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan
meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama (Asmedi & Lamsudin, 1998). Sekitar 30-60
% penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas
hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas
hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian
mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu
ketiga sampai 6 bulan pasca stroke (Gorelick, 2015).
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang terjadi pada
penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur diantaranya outcome
fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut
Hornig, prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan
secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan
penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih
baik dibandingkan pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini sebesar
4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

16
BAB 3
PEMBAHASAN

Non-communicable disease menjadi permasalahan di bidang kesehatan seluruh dunia


karena telah mencapai 36 juta kematian setiap tahunnya dan 16 juta orang meninggal
sebelum mencapai usia 70 tahun. Biasanya non-communicable disease terjadi pada negara
menengah dan negara dengan penghasilan rendah. Peningkatan kejadian penyakit tidak
menular, berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring
dengan perkembangan dunia yang semakin modern, peningkatan usia harapan hidup serta
pertumbuhan penduduk atau populasi.
Sebanyak 39,5 juta atau 70% dari 56,4 juta kematian di dunia pada tahun 2015
disebabkan oleh penyakit tidak menular. Empat penyakit utama dari penyakit tidak menular
adalah penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes dan penyakit paruparu kronis. Beban
penyakit ini meningkat di negara berpenghasian rendah. Pada tahun 2015 lebih dari 30,7 juta
kematian akibat penyakit tidak menular terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah dengan 48% kematian terjadi sebelum usia 70 tahun. Pada tabel 1 tampak
penyebab utama kematian akibat penyakit tidak menular pada tahun 2015 adalah penyakit
kardiovaskular yaitu 17,7 juta atau 45% dari semua kematian Non Communicable Disease,
kanker berjumlah 8,8 juta atau 22% dari semua kematian penyakit tidak menular, penyakit
pernapasan sebanyak 3,9 juta. Diabetes menyebabkan 1,6 juta kematian lainnya. Menurut
WHO, total kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia berjumlah 1.340.000 atau
73% pada tahun 2017.

Non-Communicable Disease Mortality


Penyakit Kardiovaskular 17,7 juta
Kanker 8,8 juta
Paru-paru Kronis 3,9 juta
Diabetes 1,6 juta
Tabel 1. Non-communicable disease dan jumlah kematian di seluruh dunia tahun 2015

17
Kematian dan Faktor Risiko Data Tahun 2012
Jumlah Kematian Penyakit Tidak 38 juta kematian
Menular
Kematian Prematur Penyakit Tidak 48% kematian sebelum usia 70 tahun
Menular (negara dengan low dan middle income)
Pencegahan Faktor Risiko 80% premature heart disease, stroke dan
diabetes
Tabel 2. Kematian akibat penyakit tidak menular tahun 2012

Angka kejadian penyakit stroke meningkat sesuai dengan bertambahnya umur,


semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi pula kemungkinannya terkena stroke. World
Health Organization memprediksikan kematian akibat stroke akan meningkat seiring
dengan kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung dan kanker yang kurang lebih 6
juta pada tahun 2010 yang menjadi 8 juta pada tahun 2030. Jumlah penderita penyakit stroke
di dunia yang memiliki usia di bawah 45 tahun terus meningkat. Konferensi ahli saraf
Internasional di Inggris melaporkan bahwa terdapat lebih dari 1000 penderita penyakit stroke
yang berusia kurang dari 30 tahun (Yastroki, 2012).
Penderita penyakit stroke terbanyak di Indonesia dan tertinggi di Asia. Penyakit
stroke juga merupakan penyakit penyebab kecatatan serius menetap nomor 1 di dunia. Di
Indonesia, setiap tahunnya diperkirakan terjadi 500.000 penduduk yang terkena serangan
stroke, sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal dunia sedangkan sisanya mengalami
cacat ringan dan berat. Secara umum, dikatakan angka kejadian penyakit stroke adalah 200
per 100.000 penduduk. Dengan kata lain, di antara 100.000 penduduk, 200 orang akan
menderita stroke. Kejadian stroke iskemik sekitar 80% dari total kasus stroke, dan kejadian
stroke hemoragik sekitar 20% dari total kasus stroke (Yastroki, 2012). Sebanyak 57,9%
kasus stroke telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Prevalensi penyakit gagal jantung,
penyakit jantung koroner dan stroke meningkat seiring peningkatan umur responden.
Prevalensi stroke sama banyak antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Kemenkes,
2013).

18
Dalam upaya pencegahannya, maka diperlukan identifikasi karakteristik
epidemiologi yang dapat merupakan faktor risiko dari penyakit stroke iskemik. Peranan dan
pendekatan epidemiologi dalam stroke:
a. Peranan
1. Mengetahui distribusi stroke didalam masyarakat
2. Mengetahui penyebab tingginya distribusi stroke dalam suatu masyarakat
3. Menentukan pilihan prioritas dalam menangani masalah stroke
b. Pendekatan Epidemiologi Stroke
Untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke
atau mengetahui faktor determinannya. Distribusi ini untuk melihat beban dari
stroke, trend yang meningkat, frekuensi melalui rate, ratio dan proporsi. Pendekatan
epidemiologi dalam stroke tidak terlepas dari dasar segitiga epidemiologi (person,
place, time) disamping melihat populasi dan determinan.
Pada penelitian epidemiologi dapat digunakan penelitian observasional dan
eksperimental. Namun karena waktu berlangsungnya yang lama, maka umumnya penelitian
penyakit tidak menular seperti stroke merupakan penelitian observasional. Jenis-jenis
penelitian terhadap penyakit tidak menular yang merupakan penelitiaan observasional antara
lain:
a. Penelitian Cross Sectional
Studi Cross Sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi,
distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan dengan cara observasional secara
serentak pada individu-individu suatu populasi pada suatu saat.
b. Penelitian Case Control
Studi case control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan
penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (kasus) dan
sekelompok orang-orang tidak berpenyakit (control), lalu membandingkan frekuensi
paparan pada kedua kelompok.
c. Penelitian Kohort
Studi kasus control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan
penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (kasus) dan
sekelompok orang-orang tidak berpenyakit (control), lalu membandingkan frekuensi
paparan pada kedua kelompok.
Stroke dapat dicegah dengan pengendalian perilaku yang berisiko seperti
penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat dan obesitas, kurang aktivitas fisik serta

19
penggunaan alkhohol. Menurut data Riskesdas, faktor risiko perilaku utama yang menjadi
tantangan dalam upaya pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia adalah :

a. Sekitar 93,5% penduduk berusia >10 tahun kurang konsumsi buah dan sayur.
b. Sekitar 36,3% penduduk berusia >15 tahun merokok, perempuan berusia > 10
tahun yang merokok sekitar 1,9%.
c. Sekitar 26,1% penduduk kurang melakukan aktivitas fisik.

d. Sekitar 4,6% penduduk berusia >10 tahun minum minuman beralkohol .

Faktor perilaku tersebut di atas, merupakan penyebab terjadinya faktor risiko


fisiologis atau faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, dan
lain-lain yang dapat menyebabkan terjadinya stroke.
Untuk mencegah terkena penyakit tidak menular seperti stroke maka dianjurkan
untuk setiap individu meningkatkan gaya hidup sehat dengan perilaku “CERDIK”, yaitu Cek
Kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat dan
seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.

20
BAB 4
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Stroke merupakan salah satu non-communicable disease yang menyerang
system saraf dan berakibat kelumpuhan. Patologi stroke berlangsung secara progresif
dan bertahap, mulai dari gejala stroke ringan hingga dapat menyebabkan kematian.
Stroke memiliki beberapa faktor resiko yang dapat mendukung perkembangan stroke
yang terdiri dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi (gaya hidup) dan faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, keturunan dan ras).
Pencegahan penyakit stroke dalam dilakukan dengan meminimalisir faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan konsumsi makanan yang
disesuaikan.
Jumlah penderita stroke di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan
mulai menyerang orang dengan usia produktif. Pengobatan awal/dini seperti
pencegahan sangat bermanfaat, namun harus disertai dengan pengenalan dan
pemahanan stroke pada semua lapisan dan komunitas dalam masyarakat. Periode
emas adalah waktu yang sangat bergharga untuk peanganan Stroke, yaitu kurang dari
4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda sampai dilakukan penanganan
stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba di Rumah Sakit kurang
dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan membutuhkan waktu maksimal
2,5 jam.

4.2. Saran
Untuk masyarakat agar lebih memperhatikan gaya hidup yang sehat dengan
makan sehat dan gizi seimbang agar terhidar dari stroke. Pemerintah diharapkan
fokus pada upaya promotive dan preventif dengan tidak meninggalakan upaya kuratif
dan rehabilitatif. Meningkatkan kualitas program pelatihan penanganan stroke,
penyediaan, perlengkapan, pelatihan, penunjangan proses optimasi di RS dan
penyediaan sarana sebagai wadah komunikasi serta akses bimbingan dari stroke
spesialis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Armaidi Darmawan. (2016). JMJ. Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular. 4 (2), 195-202.
Gorelick PB., and Farooq MU. Stroke: An Emphasis on Guidelines. The Lancet Neurology.
2015. 14(1).
Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. In: Buku Ajar Penyakit Tidak
Menular. Yogyakarta: Absolute Media. 10-15.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Nasional. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS);
2013. Republik Indonesia: Kementerian Kesehatan; 2013.
Kesuma, N.M.T.S., Dharmawan, D.K., Fatmawati, H. 2019. Gambaran Faktor Risiko dan
Tingkat Risiko Stroke Iskemik Berdasarkan Stroke Risk Scorecard di RSUD
Klungkung. Intisari Sains Medis 10(3): 720-729. DOI: 10.15562/ism.v10i3.397
M.N. Bustan. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015) hlm.
79.
P. Langhorne, D. J. Stott, L. Robertson, J. MacDonald, L. Jones, C. McAlpine, dkk.
Medical Complication After Stroke. American Heart Association; 2000. 31: 1223-1229
P2PTM Kemenkes RI. (2019). Hari Stroke Sedunia 2019 : Otak Sehat, SDM
Unggul. Available:http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/hari-stroke-sedunia-2019-
otak-sehat-sdm-unggul. Last accessed 20 Oktober 2021.
Quek K.F., Non-Communicable Diseases – A Major Problem Worldwide. Public Health
Open J. 2016; 1(2):32-35.
Soertidewi L, Misbach J. Epidemiologi Stroke. Jakarta, Indonesia: Balai Penerbit FKUI;
2011.
Smith WS., Johnston SC., dan Hemphill JC. Cerebrovascular Disease, dalam Braunwald,
E., Kasper, D. L., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L., dan Loscalzo, J. (Eds.),
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19 th Ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2015
World Health Organizations. Noncommunicable Disease. 2017. [serial online]
http://www.who.int/news-room/factsheets/detail/noncommunicable-diseases [18
October 2021].
Zainuddin, M., Hidjah, K., & Tunjung, I. W. (2016). Penerapan Case Based Reasoning (CBR) Untuk
Mendiagnosis Penyakit Stroke Menggunakan Algoritma K-Nearest Neighbor. 21–26.

22

Anda mungkin juga menyukai